Partai Politik Lokal Aceh (Studi Etnografi Antropologi Politik Tentang Kekalahan Partai Aceh Dalam Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2012)

(1)

36 BAB II

DESKRIPSI LOKASI ACEH TAMIANG

2.1 Latar Belakang Sejarah Kabupaten Aceh Tamiang 2.1.1 Sejarah Kerajaan Benua Tamiang

Tamiang pada awalnya merupakan suatu negeri kerajaan yang telah ada sekitar tahun 1020-an. Bukti adanya Negeri Tamiang adalah bersumber dari data-data sejarah, seperti dalam Prasasti Sriwijaya, buku Wee Pei Shih yang mencatat Negeri Kan Pei Chiang (Tamiang), dan buku Nagarakretagama yang menyebut "Tumihang".1Padatahun 960, di wilayah Aceh Timur telah berkuasa seorang raja diNegeri Tamiang bernama Tan Ganda.Negeri ini berpusat di Bandar Serangjaya, bandar ini pernah diserang oleh Raja Indra Cola I yang menyebabkan Raja Tan Ganda meninggal.Anak Raja Tan Ganda yaitu Tan Penuh berhasil melarikan diri dari serangan itu. Ketika kondisi Negeri Tamiang telah aman, ia memindahkan pusat pemerintahan ke daerah pedalaman, yaitu Bandar Bukit Karang, di dekat Sungai Simpang Kanan. Sejak saat pemindahan itu, maka mulai berdirilah Kerajaan Bukit

Karang dengan raja-rajanya sebagai berikut:2

1. Tan Penuh (1023-1044)

2. Tan Kelat (1044-1088)

3. Tan Indah (1088-1122)

4. Tan Banda (1122-1150)

5. Tan Penok (1150-1190)

Tamiang sendiri adalah sebuah nama yang berdasarkan legenda dan data

November 2014 2

Panitia Pekan Kebudayaan Aceh Timur. 1978. Deskripsi Daerah Kabupaten Aceh


(2)

37 sejarah berasal dari kata "Te-Miyang" yang berarti tidak kena gatal atau kebal gatal dari miang bambu. Hal tersebut berhubungan dengan cerita sejarah tentang Raja Tamiang yang bernama Pucook Sulooh, ketika masih bayi ditemukan dalam rumpun bambu Betong (istilah Tamiang "bulooh") dan Raja Tan Penoklah yang kemudian mengambil bayi tersebut. Setelah dewasa dinobatkan menjadi Raja Tamiang dengan gelar "Pucook Sulooh Raja Te-Miyang", yang artinya seorang raja yang ditemukan di

rumpun rebong (bambu), tetapi tidak kena gatal atau kebal gatal.3 Sepeninggalan Tan

Penok, karena tidak mempunyai anak kandung, maka anak angkatnya bernama Pucook Sulooh diangkat sebagai raja yang menggantikan dirinya. Sejak saat itu, Kerajaan Bukit Karang dikuasai oleh Dinasti Sulooh, dengan raja-rajanya sebagai berikut:4

1. Raja Pucook Sulooh (1190-1256)

2. Raja Po Pala (1256-1278)

3. Raja Po Dewangsa (1278-1300)

4. Raja Po Dinok (1300-1330)

Pada akhir pemerintahan Raja Po Dinok (1330), sebuah rombongan para da‘i yang dikirim oleh Sultan Ahmad Bahian Syah bin Muhammad Malikul Thahir (1326-1349) dari Samudera Pasai tiba di Tamiang.Kedatangan para da‘i itu tidak mendapat respon positif oleh Raja Po Dinok.Ia menyerang rombongan tersebut yang menyebabkan dirinya tewas di medan perang. Setelah masuknya rombongan da‘i ke Tamiang dan melakukan dakwah keagamaan, banyak rakyat Tamiang yang kemudian memeluk Islam.Berdasarkan kesepakatan antara Sultan Ahmad Bahian Syah dengan para bangsawan dan rakyat Tamiang yang telah memeluk Islam, maka ditunjuklah

3

Panitia Pekan Kebudayaan Aceh Timur.Op.Cit.Hal. 164

November 2014


(3)

38 Sultan Muda Setia sebagai Sultan I di Kesultanan Benua Tamiang (1330-1352) untuk memimpin negeri itu. Dengan demikian dialah yang merupakan raja pertama yang menjadi peletak dasar Kerajaan Islam Benua Tamiang (ibu kota benua lokasinya sekitar kota Kualasimpang sekarang).

Sebagai negara Islam yang baru didirikan Raja Muda Sedia segera bertindak untuk mengkonsolidasikan kekuasaan dan menyusun sebuah pemerintahan yang kuat di Kerajaan Benua Tamiang. Adapun bentuk pemerintahan yang disusunnya adalah bentuk pemerintahan yang disebutkan ber “Balai” dengan susunannya sebagai berikut

1. Raja dibantu oleh seorang Mangkubumi yang mempunyai tugas sehari-hari

mengawasi jalannya pemerintahan dan ia bertanggung jawab kepada raja (pada saat Raja Muda Sedia, mangkubuminya adalah Muda Sedinu)

2. Untuk mengawasi jalannya pelaksanaan hukum oleh pemerintah atau oleh

lembaga-lembaga penegak hukum yang dibentuk, diangkat pula seorang Qadhi Besar. Sementara di tingkat pemerintah daerah terdapat pula :

a Datuk-datuk Besar yang memimpin daerah-daerah kedatuan.

b Datuk-datuk Delapan Suku yang memimpin daerah-daerah suku

perkauman.

c Raja-raja Imam yang memimpin para Imam di daerah-daerah dan

sekaligus juga bertindak sebagai penegak hukum di daerahnya.

Selain itu dalam rangka terjaminnya keamanan dan pertahanan negara dibentuk juga lasykar-lasykar rakyat yang berada di bawah seorang panglima yang membawahi juga tujuh panglima daerah, yaitu :

1. Panglima Birin

2. Panglima Gempal Alam

3. Panglima Nayan


(4)

39

5. Panglima Ranggas

6. Panglima Megah Burai

7. Panglima Nakuta Banding (khusus bagi lasykar di laut)

Selanjutnya tingkat kepemimpinan yang paling bawah dari susunan organisasi kelasykaran ini ialah Pang yang berada pada setiap kampung di daerah-daerah dalam wilayah Kerajaan Islam Benua Tamiang..Di akhir pemerintahan Sultan Muda Setia (1352), Kesultanan Benua Tamiang diserang oleh Kerajaan Majapahit.

Mangkubumi Muda Sedinu ternyata mampu mengatasi serangan tersebut, meski kondisi Kesultanan Benua Tamiang sempat porak-poranda. Atas kemampuannya tersebut, Mangkubumi Muda Sedinu dipercaya menggantikan kedudukan Sultan Muda Sedia pada tahun 1352, namun bukan dalam kedudukannya sebagai sultan, hanya sebagai pemangku sultan saja. Pada masa pemerintahan Muda Sedinu ini, pusat pemerintahan kesultanan dipindahkan ke Pagar Alam (kini letaknya sekitar daerah Simpang Jenih) karena alasan keamanan dan pertahanan.Pemerintahan Muda Sedinu berakhir pada tahun 1369.

Tahta kekuasaan kesultanan kemudian beralih ke Sultan Po Malat sebagai Sultan II (1369-1412).Pada masanya, serangan Majapahit masih berlanjut hingga menyebabkan kegiatan penyebaran Islam di kesultanan ini tidak berjalan sebagaimana mestinya. Penggantinya, Sultan Po Tunggal atau Sultan III (1412-1454) juga tidak dapat berbuat banyak, kegiatan yang dapat dilakukan oleh Sultan Po Tunggal hanya mengkoordinir kekuatan baru dan menyusun pemerintahan kembali.

Keadaan baru dapat kembali stabil pada masa pemerintahan Sultan Po Kandis atau Sultan IV (1454-1490).Pada masanya, pusat pemerintahan kesultanan dipindahkan dari Pagar Alam ke Kota Menanggini (kini bernama Karang Baru).Kegiatan penyiaran Islam kembali dapat dilakukan pada masa ini.Sultan Po Kandis memprioritaskan kegiatan pendidikan Islam dan pembinaan seni budaya yang


(5)

40 bernafaskan Islam sebagai program utama pemerintahannya.

Sultan Po Kandis digantikan oleh anaknya sendiri, Sultan Po Garang sebagai Sultan V (1490-1528). Oleh karena tidak mempunyai anak, ia kemudian digantikan oleh menantunya Po Kandis, ipar Po garang, yang bernama Pendekar Sri Mengkuta (1528-1558). Peristiwa penting yang terjadi pada masa Sultan VI ini adalah penggabungan Tamiang menjadi bagian dari Kesultanan Aceh Darussalam pada masa Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1530).Ketika itu Sultan Ali Mughayat Syah gencar mempersatukan kerajaan-kerajaan kecil di Aceh dalam satu federasi yang kokoh, yang tujuannya adalah sebagai strategi penting untuk menghadapi serangan Portugis.Masa pemerintahan Sultan VI ini dapat dikatakan sebagai masa berakhirnya Kesultanan Benua Tamiang.

Adapun urutan sultan-sultan yang berkuasa di Kesultanan Benua Tamiang adalah sebagai berikut:

1. Sultan Muda Setia (1330-1352)

2. Mangkubumi Muda Sedinu (1352-1369)

3. Sultan Po Malat (1369-1412)

4. Sultan Po Kandis (1454-1490)

5. Sultan Po Garang (1490-1528)

6. Pendekar Sri Mengkuta (1528-1558)

Kerajaan Tamiang juga telah mendapat Cap Sikureung dan Hak Tumpang Gantung dari Sultan Aceh Darussalam, atas wilayah Negeri Karang dan negeri Kejuruan Muda. Sementara negeri Sultan Muda Seruway, negeri Sungai Iyu, negeri Kaloy dan negeri Telaga Meuku merupakan wilayah-wilayah yang belum mendapatcap Sikureung dan dijadikan sebagai wilayah protektor bagi wilayah yang telah mendapat cap Sikureung.


(6)

41 Wilayah Tamiang dimasukkan ke dalam Geuverment Aceh en Onderhoorigheden yang artinya wilayah tersebut berada dibawah status hukum Onderafdelling. DalamAfdeling Oostkust Van Atjeh (Aceh Timur) terdapat beberapa wilayah Landschaps dimana berdasarkan Korte Verklaring diakui sebagai Zelfbestuurder dengan status hukum Onderafdelling Tamiang termasuk wilayah-wilayah :

• Landschap Karang

• Landschap Seruway / Sultan Muda

• Landschap Kejuruan Muda

• Landschap Bendahara

• Landschap Sungai Iyu, dan

• Gouvermentagebied Vierkantepaal Kualasimpang.

Tamiang pada masa lalu juga pernah terpecah hingga menjadi dua kerajaan yakni Kerajaan Karang dan Kerajaan Benua Tunu.Tapi kedua kerajaan itu tetap tunduk pada negeri Karang.Dalam buku Tamiang Dalam Lintas Sejarah yang dikarang Ir Muntasir Wan Diman secara ringkas disebutkan bahwa Kerajaan Tamiang dijadikan dua kerajaan otonom.

Pada masa pemerintahan Raja Proomsyah yang kimpoi dengan Puteri Mayang Mengurai anak Raja Pendekar Sri Mengkuta tahun 1558 menjadi Raja Islam kedelapan dengan pusat pemerintahan di Desa Menanggini. Sementara itu Raja Po Geumpa Alamsyah yang kimpoi dengan Puteri Seri Merun juga anak Raja Pendekar Sri Mengkuta memerintah di Negeri Benua sebagai Raja Muda Negeri Simpang Kiri Raja Benua Tunu.Diuraikan Muntasir bahwa Kerajaan Karang muncul setelah Tan Mudin Syari (Raja Islam Tamiang ke 10) wafat, lalu diganti kemanakannya yang bergelar “Tan Kuala” (Raja Kejuruan Karang I) yaitu putera dari Raja Kejuruan Tamiang Raja Nanjo (Banta Raja Tamiang). Raja Kejuruan Karang Tan Kuala


(7)

42 memerintah 1662 -1699 merupakan pengganti turunan Suloh

Setelah Raja Tan Kuala meninggal dunia digantikan Raja Mercu yang bergelar Raja Kejuruan Mercu yang merupakan Raja Kejuruan Karang II.Pusat pemerintahan Raja Kejuruan Karang II di Pente Tinjo.Raja Kejuruan Karang II berdaulat 1699 - 1753 berlangsung aman dan tenteram.Penggantinya Raja Kejuruan Banta Muda Tan egia berdaulat 1753 - 1800 merupakan Kerajaan Karang III. Selanjutnya Raja Karang III diganti Raja Sua yang bergelar Raja Kejuruan Sua (Raja Karang IV) memerintah 1800 - 1845 .Raja Sua diganti Raja Achmad Banta dengan gelar Raja Ben Raja Tuanku di Karang sebagai Raja Kejuruan Karang V yang memerintah 1845 - 1896.Pada masa raja ini-lah terjadi peperangan Aceh dengan Belanda 1873 - 1908 dan melalui peperangan itu, Raja Kejuruan Karang V meninggal dunia dalam tawanan Belanda.

Penggantinya adalah anak dia sendiri bernama Raja Muhammad bergelar Raja Silang sebagai Raja Kejuruan Karang ke VI.Raja Silang memerintah setelah lepas dari tawanan Belanda sejak tahun 1901 - 1925.Setelah Raja Silang meninggal dunia dimakamkan di belakang Masjid Desa Tanjung Karang.Makamnya saat ini dari pantauan Serambi terawat bersih dan sudah dipugar pihak Dinas Kebudayaan Provinsi NAD setahun lalu.

Pengganti Raja Silang adalah Tengku Muhammad Arifin sebagai Raja Kejuruan Karang ke VII yang merupakan Raja Kejuruan Karang terakhir memerintah tahun 1925-1946.Pada masa pemerintahan Tengku Muhammad Arifin dia membangun Istana Karang yang saat ini dikuasai pihak Pertamina Rantau karena sebelumnya keluarga Raja Kejuruan Karang telah menjualnya kepada seorang pengusaha yang bernama Azis.Tapi sekitar tahun 1999 terjadi bencana alammenyemburnya gas panas akibat dari pengeboran gas yang dilakukan pihak Pertamina.


(8)

43

Pemilik istana Azis disebut-sebut meminta ganti rugi kepada Pertamina, karena sudah diganti rugi oleh pihak Pertamina sehingga istana tersebut dikuasai Pertamina.Belakangan kabarnya istana itu telah dihibahkan Pertamina kepada Pemkab Aceh Tamiang. Karenanya sekarang istana tersebut dijadikan Kantor Perpustakaan dan Arsip Pemkab Aceh Tamiang sebagian dan sebagian lagi dijadikan Kantor Penghubung Kodim 0104 Aceh Timur.Sementara halaman istana tersebut saat ini selalu dibuat acara seremonial keramaian masyarakat.Kini turunan Tengku Muhamad Arifin salah seorangnya yang masih hidup adalah H Helmi Mahera Almoejahid anggota DPD/MPR-RI yang berkantor di Gedung MPR-RI Jakarta.Ibundanya Hj. Tengku Mariani adalah putri Tengku Muhammad Arifin Raja Kejuruan Karang VII.Tengku Hj. Mariani dipersunting sebagai isteri salah seorang pelaku sejarah Aceh pada zaman DI/TII yang bernama Tgk. H. Amir Husin Almoejahid.

Lintas sejarah mengenai Raja Karang berakhir sampai dengan Tengku Muhammad Arifin yang menyisakan sebuah istana yang kini tak jelas siapa pemiliknya.Sebab meskipun kabarnya sudah dihibahkan Pertamina, tapi berita acara serah terimanya tidak ada di daftar kepemilikan aset Pemkab Aceh Tamiang. Kemudian lintasan Kerajaan Benua Tunu diceritakan dalam buku yang sama di karang Ir. Muntasir Wan Diman bahwa pada saat Raja Benua dikuasai Raja Muda Po Gempa Alamsyah sebagai Raja Benua Tunu yang pertama, diberi gelar Raja Muda Negeri Sungai Kiri Benua Tunu I yang memerintah 1558 - 1588. Setelah wafat Raja Muda Po Gempa Alamsyah berturut-turut akhirnya hingga Raja Benua Tunu III yang dikenal Raja Muda Po Perum sebagai Raja Benua Tunu terakhir yang berdaulat 1629-1669. Setelah Raja Benua Tunu III wafat, kekuasaan kembali dipegang Raja Tan Kuala yang berarti Kerajaan Tamiang sudah tidak terpecah kembali.


(9)

44 datanglah Raja Po Nita bersama rombongan yang menggugat tentang silsilah bahwa beliau adalah keturunan Raja Muda Sedia (Raja Islam Tamiang yang pertama) dengan bukti menunjukkan surat dan sislsilah yang lengkap. Akibatnya terjadi perang saudara antara rakyat Tanjung Karang dengan yang mengakui Raja Tan Kuala sebagai Raja Tamiang dan rakyat di Benua Tunu mendukung Raja Penit sebagai Raja Tamiang, sehingga perang saudara pecah dan banyak memakan korban jiwa.

Kelanjutan dari kekuasaan antara Raja Tan Kuala dengan Raja Penita berakhir dengan campur tangannya Sultan Aceh yang pada saat itu dipimpin seorang ratu yang bernama Ratu Kemalat Syah.Hasil dari intervensi ratu tersebut diputuskan negeri Tamiang dipecah menjadi dua daerah lagi.Raja Tan Kuala sebagai raja yang berkuasa di daerah Sungai Simpang Kanan dan Raja Penita berkuasa di wilayah Sungai Simpang Kiri.

Banyak peristiwa lanjutan dari kedua kerajaan tersebut hingga masa penjajahan Belanda sampai merdeka. Belakangan Negeri Tamiang menjadi bagian dari Wilayah Aceh Timur yang berstatus Pembantu Bupati Wilayah III yang pusat pemerintahannya adalah kota Kuala Simpang. Pada tanggal 2 Juli 2002, kabupaten ini resmi menjadi kabupaten otonom yang terpisah dari Kabupaten Aceh Timur, terbentuknya kabupaten ini didasarkan pada Undang-Undang No. 4 Tahun 2002, tertanggal 10 April 2002.

2.1.2 Pemekaran Kabupaten Aceh Tamiang

Pemekaran wilayah baik itu provinsi dan kabupaten akhir-akhir ini begitu sering terjadi di Indonesia, banyak faktor yang membuat suatu daerah dimekarkan. Seperti pembentukan daerah pemekaran tersebut dilandasi alasan untuk mensejahterakan masyarakat, akan tetapi ada faktor lain juga yang melingkupi pemekaran ini, misalnya masalah sosial budaya, politik, pertahanan keamanan, dan sebagainya. Tentunya, pembentukan kabupaten telah melewati perjalanan sejarah


(10)

45

yang cukup panjang.Oleh karena itulah, pengkajian sejarah tentang keberadaan sebuah wilayah dapat dijadikan sebuah upaya untuk menemukan jati diri, baik bagi

wilayah tersebut maupun bagi masyarakatnya.5

Aspirasi pemekaran wilayah di Aceh termasuk fenomenal karena terjadi secara bertingkat yaitu: (1) Keinginan GAM untuk memekarkan wilayah Aceh menjadi suatu Negara berdaulat; (2) Keinginan beberapa persekutuan kabupaten di Aceh untuk membentuk 1-2 provinsi baru; (3) Keinginan persekutuan beberapa wilayah kecamatan untuk membentuk kabupaten baru, dimana diantaranya sudah terealisir.

Begitu pula halnya yang terjadi pada pemekaran kabupaten dan provinsi di wilayah Aceh.

6

Tuntutan pemekaran daerah di Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebenarnya telah dicetuskan dan diperjuangkan sejak tahun 1957 awal masa Provinsi Aceh ke-II, termasuk eks Kewedanaan Tamiang diusulkan menjadi Kabupaten Daerah Otonom.

Tamiang sendiri dipakai menjadi usulan bagi pemekaran status wilayah Pembantu Bupati Aceh Timur Wilayah-III meliputi wilayah bekas Kewedanaan Tamiang.Berikutnya usulan tersebut mendapat dorongan semangat yang lebih kuat lagi sehubungan dengan keluarnya ketetapan MPRS hasil sidang umum ke-IV tahun 1966 tentang pemberian otonomi yang seluas-luasnya.

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah - Gotong Royong (DPRD-GR) Provinsi Daerah Istimewa Aceh dalam usul memorendumnya tentang Pelaksanaan Otonomi Riel dan luas dengan Nomor B-7/DPRD-GR/66, terhadap Pemekaran Daerah yang dianggap sudah matang untuk dikembangkan secara lengkap adalah sebagai berikut :

5

Rusdi Sufi, 2008. Sejarah Kabupaten Aceh Timur dari Masa Kolonial hingga Kemerdekaan. Banda Aceh : Badan Arsip dan Perpustakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Hal. 3.

6

Edy Mulyana, 2007.Aceh Menembus Batas. Badan Perpustakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Hal. 42.


(11)

46

a Bekas Kewedanaan Alas dan Gayo Lues menjadi Kabupaten Aceh Tenggara

dengan ibukotanya Kutacane.

b Bekas daerah Kewedanaan Bireun, menjadi Kabupaten Djeumpa dengan

ibukota Bireun.

c Tujuh kecamatan dari bekas kewedanaan Blang Pidie menjadi Kabupaten Aceh

Barat Daya dengan ibukota Blang Pidie.

d Bekas Daerah "Kewedanaan Tamiang" menjadi Kabupaten Aceh Tamiang

dengan ibukotanya Kualasimpang.

e Bekas daerah Kewedanaan Singkil menjadi Kabupaten Singkil dengan

ibukotanya Singkil.

f Bekas daerah Kewedanan Simeulue menjadi Kabupaten Simeulue dengan

ibukotanya Sinabang.

g Kotif Langsa menjadi Kotamadya Langsa.

Usulan tersebut diatas sebahagian besar sudah menjadi kenyataan dari 7 wilayah usulan, saat itu yang sudah mendapat realisasi sebanyak 4 wilayah dan Tamiang termasuk yang belum mendapatkannya. Bertitik tolak dari hal-hal tersebut di atas dan sesuai dengan tuntutan dan kehendak masyarakat di Wilayah Tamiang, maka selaras dengan perkembangan zaman diera reformasi, demokrasi wajar jika masyarakat setempat mengajukan pemekaran dan peningkatan statusnya.

Sebagai tindak lanjut dari cita - cita masyarakat Tamiang tersebut yang cukup lama proses secara historis, maka pada era reformasi sesuai dengan undang - undang No. 22 tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah, pintu cita - cita tersebut terbuka kembali serta mendapat dukungan dan usul dari :

1. Bupati Aceh Timur, dengan surat No. 2557 / 138 / tanggal 23 Maret 2000,

tentang usul peningkatan status Pembantu Bupati Wilayah III Kualasimpang menjadi Kabupaten Aceh Tamiang kepada DPRD Kabupaten Aceh Timur.


(12)

47

2. DPRD Kabupaten Aceh Timur dengan surat No. 1086 / 100 - A / 2000, tanggal

9 Mei 2000, tentang persetujuan peningkatan status Kabupaten Aceh Tamiang.

3. Surat Bupati Aceh Timur, No. 12032 / 138 tanggal 4 Mei 2003 kepada

Gebernur Daerah Istimewa Aceh tentang peningkatan status Kabupaten Aceh Tamiang.

4. Surat Gubernur Daerah Istimewa Aceh No. 138 / 9801 tanggal 8 Juni 2000

kepada DPRD Propinsi Daerah Istimewa Aceh tentang peningkatan status Kabupaten Aceh Tamiang.

5. Surat DPRD Daerah Istimewa Aceh No. 1378 / 8333 tanggal 20 Juli 2000

tentang persetujuan peningkatan status Kabupaten Aceh Tamiang.

6. Surat Gubernur Daerah Istimewa Aceh No. 135 / 1764 tanggal 29 Januari 2001

kepada Menteri Dalam dan Otonomi Daerah Republik Indonesia Cq. Dirjen PUMD tentang usul peningkatan status Pembantu Bupati dan Kota Adminstrasi menjadi Daerah Otonom.

Kerja keras yang cukup panjang itupun akhirnya membuahkan hasil. Pada tanggal 2 Juli 2002, Tamiang resmi mejadi Kabupaten berdasarkan UU No. 4 Tahun2002 tentang Pembentukan Kabupaten Aceh Barat Daya, Kabupaten Gayo Lues, Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten Nagan Raya dan Kabupaten Aceh Tamiang di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (sekarang Provinsi Aceh).


(13)

48 2.2 Profil Kabupaten Aceh Tamiang

Kabupaten Aceh Tamiang adalah salah satu kabupaten yang terdapat di Provinsi Aceh, Indonesia.Kabupaten ini adalah hasil pemekaran dari Kabupaten Aceh Timur yang diresmikan pada 2 Juli 2002 berdasarkan UU No.4 Tahun 2002.Kabupaten yang mempunyai semboyan “Kaseh pape setie mati” ini terletak dekat dengan perbatasan Sumatera Utara. Kabupaten ini berada di jalur timur Sumatera yang strategis dan hanya berjarak lebih kurang 250 km dari Kota Medan sehingga akses serta harga barang di kawasan ini relatif lebih murah daripada daerah Aceh lainnya.

Mukim : 27

Desa/Kelurahan : 212/1

Dasar Hukum

Tanggal Pemekaran : 02 Juli 2002

Ibu Kota : Karang Baru

Bupati/Wakil Bupati : H. Hamdan Sati, ST/Drs. Iskandar Zulkarnain, MAP

Luas : 1.956,72 km2

Letak Koordinat : 03°53'18,81"-04°32'56,76" LU 97°43'41,51"-98°14'45,41" BT

Populasi : 251.914 jiwa ( Sensus Penduduk 2010)

Kepadatan : 129,87 jiwa/km2


(14)

49 Tabel 1

Batas Wilayah Aceh Tamiang

Gambar 1.

Kabupaten Aceh Tamiang Sebelah Utara

Berbatasan dengan Kecamatan Langsa Timur, Kota Langsa dan Selat Malaka

Sebelah Timur Berbatasan dengan Kabuparten Langkat Provinsi

Sumatera Utara

Sebelah Selatan

Berbatasan dengan Kabuparten Langkat Sumatera Utara dan Pinding Kabupaten Gayo Luwes

Sebelah Barat

Berbatasan dengan Kecamatan Serba Jadi dan Kecamatan Bireun Beuyun Kabupaten Aceh Timur


(15)

50 Gambar 2

Lambang Kabupaten Aceh Tamiang

Motto :Kaseh pape setie mati

Gambar 3

Peta Kabupaten Aceh Tamiang

2.2.1 Wilayah Administratif

Wilayah administratif pemerintahan Kabupaten Aceh Tamiang terdiri dari 12 Kecamatan yakni Kecamatan Banda Mulia, Bandar Pusaka, Bendahara, Karang Baru,


(16)

51 Kejuruan Muda, Kota Kuala Simpang, Manyak Payed, Rantau, Sekrak, Seruway, Tamiang Hulu, Tenggulun, serta terdiri dari 212 desa, 1 kelurahan, 27 pemukiman

dan 701 dusun yang secara keseluruhan mempunyai luas 1.956,72 Km2 atau 195.672

Hektar. Dari keduabelas Kecamatan tersebut, terlihat bahwa Kecamatan Tenggulun merupakan yang paling luas yaitu 295,55 Km2 atau 29.555 Hektar.

Tabel 2

Luas Kabupaten Aceh Tamiang

No Kecamatan Luas Jumlah

Km2 Ha Mukim Desa Lurah Dusun

1 Manyak Payed 267.11 26.711 4 39 - 109

2 Bendahara 132.72 13.272 7 33 - 107

3 Banda Mulia 47.78 4.778 1 10 - 39

4 Seruway 188.49 18.849 4 24 - 83

5 Rantau 51.71 5.171 2 16 - 67

6 Karang Baru 139.45 13.945 3 31 - 95

7 Sekerak 257.95 25.795 1 14 - 34

8 Kota Kuala 4.48 448 1 4 1 21

Simpang

9 Kejuruan Muda 124.48 12.448 2 15 - 60

10 Bandar Pusaka 252.37 25.237 1 15 - 40

11 Tamiang Hulu 194.55 19.455 1 9 - 28

12 Tenggulun 295.55 29.555 - 5 - 18

Jumlah 1.956.72 195.672 27 212 1 701

Sumber : Badan Pusat Statistik Aceh Tamiang tahun 2010

2.2.2 Demografi

Berdasarkan sensus penduduk 2010, jumlah penduduk di kabupaten Aceh Tamiang berjumlah 251.914 jiwa dengan jumlah laki-laki 127.355 dan jumlah perempuan 124.55.


(17)

52 Tabel 3

Jumlah Penduduk Tahun 2010

No Kecamatan Laki-Laki Perempuan Total

1 Tamiang Hulu 8.840 8.513 17.353

2 Bandar Pusaka 5.933 5.665 11.598

3 Kejuruan Muda 16.051 15.712 31.763

4 Tenggulun 8.443 7.872 16.316

5 Rantau 16.501 16.349 32.850

6 Kota Kualasimpang 9.048 8.982 18.030

7 Seruway 11.813 11.814 23.627

8 Bendahara 9.309 9.242 18.551

9 Banda Mulia 5.430 5.214 10.644

10 Karang Baru 18.310 17.916 36.226

11 Sekerak 3.070 2.959 6.029

12 Manyak Payed 14.607 14.321 28.928

Sumber : Badan Pusat Statistik Aceh Tamiang, tahun 2010

2.2.3 Sosial, Budaya dan Ekonomi

Kabupaten ini merupakan satu-satunya kawasan di Aceh yang dikuasai oleh etnis Melayu (Tamiang).Disamping etnis Melayu, kabupaten ini juga terdiri dari etnis


(18)

53

Aceh, Gayo, Jawa, Karo, dan lain sebagainya.Sektor pertanian masih memegang peranan penting dalam perekonomian masyarakat Tamiang karena mayoritas penduduk di kabupaten ini berprofesi sebagai petani.Sekitar 29.201 rumah tangga petani menggeluti dunia bercocok tanam, yang terbanyak berada di Kecamatan

Kejuruan Muda (sebanyak 7.093 rumah tangga).7

Aceh Tamiang dikenal sebagai salah satu daerah berbasis pertanian dan perkebunan yang bernilai ekonomi tinggi, seperti kelapa sawit, karet, kakao, jagung, dan buah-buahan.Tanaman pangan yang biasa ditanam penduduk adalah padi, palawija, sayur-sayuran, dan buah-buahan, sedangkan tanaman perkebunan yang dibudidayakan di antaranya adalah karet, kelapa sawit, kopi, kelapa, kakao, dan jeruk. Dalam beberapa tahun terakhir ini, sumbangan sektor pertanian terhadap produk domestik regional bruto (PDRB) sebesar 40 persen lebih, dan kontribusi terbesarnya adalah dari tanaman bahan pangan, yaitu sekitar 20 persen.

Wilayah Aceh Tamiang dialiri dua cabang sungai besar, yaitu Sungai Tamiang (yang terbagi menjadi Sungai Simpang Kiri dan Sungai Simpang Kanan) dan Sungai Krueng Kaloy.Keberadaan sungai-sungai ini bagi masyarakat Tamiang sangat penting karena di samping dapat digunakan sebagai pengairan tanaman pangan juga dapat digunakan sebagai alat transportasi, seperti untuk mengangkut produksi pertanian, perkebunan, maupun untuk mengangkut bahan-bahan kebutuhan konsumsi, dagang, dan konstruksi.Daerah ini juga memiliki posisi strategis di Aceh, baik karena letaknya yang berbatasan langsung dengan Provinsi Sumatera Utara, maupun karena keunikan dan potensi sumber daya alam cukup kaya yang dimilikinya.Salah satu


(19)

54 keunikan itu adalah kemajemukan masyarakatnya, kondisi ini tentu menghadirkan dinamika tersendiri bagi Pemerintah kabupaten Aceh Tamiang.

Saat ini, Tamiang dikenal sebagai kawasan perkebunan yang cukup berhasil.Setidaknya ada 21 perusahaan besar yang mengembangkan usaha perkebunan kabupaten ini. Di sisi lain, sebagai daerah yang berbatasan langsung dengan Sumatera Utara, Kabupaten Aceh Tamiang berpotensi sebagai kawasan investasi dan tempat industri pengolahan dan perdagangan. Semua potensi itu adalah sumber daya yang harus dijaga, dirawat, dan dikembangkan, adalah tugas bupati dan wakil bupati untuk tetap mengoptimalkan semua potensi itu demi menopang sistem pemerintahan yang baik.

Tabel 4

Jumlah Penduduk Kabupaten Aceh Tamiang Menurut Agama Tahun 2010

No Agama Jumlah Penduduk

1. Islam 248.435

2. Katolik 75

3. Protestan 574

4. Hindu 0

5. Budha 1.234

6. Kong Hu Chu 6


(20)

55 Tabel 5

Jumlah Rumah Tangga Di Kabupaten Aceh Tamiang Menurut Lapangan Pekerjaan Utama Tahun 2010

No Lapangan Pekerjaan Jumlah Rumah

Tangga

1. Pertanian 34.050

2. Pertambangan 794

3. Industri 1.697

4. Kointruksi 2.789

5. Perdagangan 7.266

6. Jasa-jasa 12.324

Sumber: Aceh Tamiang Dalam Angka, 2010 (diolah)

2.2.4 Pemerintahan

Pada awalnya, pemerintahan di Benua Tamiang ini adalah berbentuk Kesultanan yang diperintah oleh seorang sultan. Dalam kegiatan pemerintahan sehari-harinya, ia dibantu oleh seorang mangkubumi yang bertugas mengawasi jalannya pemerintahan dan bertanggung jawab sepenuhnya kepada sultan. Dalam bidang hukum, diangkat seorang Qadhi Besar yang bertugas mengawasi pelaksanaan hukum, baik oleh pemerintah sendiri maupun oleh lembaga-lembaga penegak hukum.

Di tingkat pemerintahan daerah, sultan dibantu oleh tiga sistem kepemimpinan, yaitu:

1. Datuk-datuk Besar yang memimpin daerah-daerah kedatuan

2. Datuk-datuk Delapan Suku yang memimpin daerah-daerah suku perkauman


(21)

56 bertindak sebagai penegak hukum di daerah.

Dalam bidang keamanan dan pertahanan kesultanan, juga dibentuk laskar-laskar rakyat yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab seorang panglima. Panglima ini juga membawahi tujuh panglima daerah, yaitu Panglima Birin, Panglima Gempal Alam, Panglima Nayan, Panglima Kuntum Menda, Panglima Ranggas, Penglima Megah Burai, dan Panglima Nakuta Banding (khusus untuk di laut). Tingkat kepemimpinan yang paling bawah di kelaskaran ini adalah Pang yang ada di setiap kampung di daerah-daerah kekuasaan Kesultanan Benua Tamiang.

Sementara sejak masa kesultanan berakhir daerah ini termasuk dalam wilayah Aceh Timur yang dipimpin oleh seorang bupati, bupati adalah sebutan untuk seorang pemimpin daerah ditingkat kabupaten/kota, yang bertugas untuk memimpin birokrasi, menggerakkan jalannya roda pemerintahan dan dijadikan tempat perlindungan, pelayanan publik serta pembangunan. Awalnya, pemilihan pemimpin daerah ini dipilih oleh DPRD, akan tetapi karena adanya perubahan yang terjadi pada masa reformasi tahun 1998 maka pemilihan umum kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat. Pilkada langsung di Indonesia pertama kali dilaksanakan pada tahun 2005 dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah.

Kemudian daerah ini memisahkan diri dengan membentuk kabupaten Aceh Tamiang, sejak berdirinya Aceh Tamiang yang diresmikan pada 2 Juli 2002 berdasarkan UU No.4 tahun 2002, daerah ini dipimpin oleh Bupati Ishak Djuned yang notabene merupakan bupati Aceh Timur, lalu Ishak Djuned menunjuk Abdul Latief yang merupakan karyawan PDAM kota Langsa sebagai PJ Bupati Aceh Tamiang dan


(22)

57 berhasil kembali memimpin Aceh Tamiang periode 2007-2012 pada pemilihan umum kepala daerah tahun 2007 bersama wakilnya Awaluddin. Lalu pada pemilihan umum kepala daerah yang berlangsung tahun 2012 lalu, pasangan Hamdan Sati-Iskandar Zulkarnain berhasil memimpin Aceh Tamiang dengan periode 2012-2017 sebagai bupati dan wakil bupati.


(1)

52 Tabel 3

Jumlah Penduduk Tahun 2010

No Kecamatan Laki-Laki Perempuan Total

1 Tamiang Hulu 8.840 8.513 17.353

2 Bandar Pusaka 5.933 5.665 11.598

3 Kejuruan Muda 16.051 15.712 31.763

4 Tenggulun 8.443 7.872 16.316

5 Rantau 16.501 16.349 32.850

6 Kota Kualasimpang 9.048 8.982 18.030

7 Seruway 11.813 11.814 23.627

8 Bendahara 9.309 9.242 18.551

9 Banda Mulia 5.430 5.214 10.644

10 Karang Baru 18.310 17.916 36.226

11 Sekerak 3.070 2.959 6.029

12 Manyak Payed 14.607 14.321 28.928

Sumber : Badan Pusat Statistik Aceh Tamiang, tahun 2010

2.2.3 Sosial, Budaya dan Ekonomi

Kabupaten ini merupakan satu-satunya kawasan di Aceh yang dikuasai oleh etnis Melayu (Tamiang).Disamping etnis Melayu, kabupaten ini juga terdiri dari etnis


(2)

53

Aceh, Gayo, Jawa, Karo, dan lain sebagainya.Sektor pertanian masih memegang peranan penting dalam perekonomian masyarakat Tamiang karena mayoritas penduduk di kabupaten ini berprofesi sebagai petani.Sekitar 29.201 rumah tangga petani menggeluti dunia bercocok tanam, yang terbanyak berada di Kecamatan Kejuruan Muda (sebanyak 7.093 rumah tangga).7

Aceh Tamiang dikenal sebagai salah satu daerah berbasis pertanian dan perkebunan yang bernilai ekonomi tinggi, seperti kelapa sawit, karet, kakao, jagung, dan buah-buahan.Tanaman pangan yang biasa ditanam penduduk adalah padi, palawija, sayur-sayuran, dan buah-buahan, sedangkan tanaman perkebunan yang dibudidayakan di antaranya adalah karet, kelapa sawit, kopi, kelapa, kakao, dan jeruk. Dalam beberapa tahun terakhir ini, sumbangan sektor pertanian terhadap produk domestik regional bruto (PDRB) sebesar 40 persen lebih, dan kontribusi terbesarnya adalah dari tanaman bahan pangan, yaitu sekitar 20 persen.

Wilayah Aceh Tamiang dialiri dua cabang sungai besar, yaitu Sungai Tamiang (yang terbagi menjadi Sungai Simpang Kiri dan Sungai Simpang Kanan) dan Sungai Krueng Kaloy.Keberadaan sungai-sungai ini bagi masyarakat Tamiang sangat penting karena di samping dapat digunakan sebagai pengairan tanaman pangan juga dapat digunakan sebagai alat transportasi, seperti untuk mengangkut produksi pertanian, perkebunan, maupun untuk mengangkut bahan-bahan kebutuhan konsumsi, dagang, dan konstruksi.Daerah ini juga memiliki posisi strategis di Aceh, baik karena letaknya yang berbatasan langsung dengan Provinsi Sumatera Utara, maupun karena keunikan dan potensi sumber daya alam cukup kaya yang dimilikinya.Salah satu


(3)

54 keunikan itu adalah kemajemukan masyarakatnya, kondisi ini tentu menghadirkan dinamika tersendiri bagi Pemerintah kabupaten Aceh Tamiang.

Saat ini, Tamiang dikenal sebagai kawasan perkebunan yang cukup berhasil.Setidaknya ada 21 perusahaan besar yang mengembangkan usaha perkebunan kabupaten ini. Di sisi lain, sebagai daerah yang berbatasan langsung dengan Sumatera Utara, Kabupaten Aceh Tamiang berpotensi sebagai kawasan investasi dan tempat industri pengolahan dan perdagangan. Semua potensi itu adalah sumber daya yang harus dijaga, dirawat, dan dikembangkan, adalah tugas bupati dan wakil bupati untuk tetap mengoptimalkan semua potensi itu demi menopang sistem pemerintahan yang baik.

Tabel 4

Jumlah Penduduk Kabupaten Aceh Tamiang Menurut Agama Tahun 2010

No Agama Jumlah Penduduk

1. Islam 248.435

2. Katolik 75

3. Protestan 574

4. Hindu 0

5. Budha 1.234

6. Kong Hu Chu 6


(4)

55 Tabel 5

Jumlah Rumah Tangga Di Kabupaten Aceh Tamiang Menurut Lapangan Pekerjaan Utama Tahun 2010

No Lapangan Pekerjaan Jumlah Rumah

Tangga

1. Pertanian 34.050

2. Pertambangan 794

3. Industri 1.697

4. Kointruksi 2.789

5. Perdagangan 7.266

6. Jasa-jasa 12.324

Sumber: Aceh Tamiang Dalam Angka, 2010 (diolah)

2.2.4 Pemerintahan

Pada awalnya, pemerintahan di Benua Tamiang ini adalah berbentuk Kesultanan yang diperintah oleh seorang sultan. Dalam kegiatan pemerintahan sehari-harinya, ia dibantu oleh seorang mangkubumi yang bertugas mengawasi jalannya pemerintahan dan bertanggung jawab sepenuhnya kepada sultan. Dalam bidang hukum, diangkat seorang Qadhi Besar yang bertugas mengawasi pelaksanaan hukum, baik oleh pemerintah sendiri maupun oleh lembaga-lembaga penegak hukum.

Di tingkat pemerintahan daerah, sultan dibantu oleh tiga sistem kepemimpinan, yaitu: 1. Datuk-datuk Besar yang memimpin daerah-daerah kedatuan

2. Datuk-datuk Delapan Suku yang memimpin daerah-daerah suku perkauman 3. Raja-raja Imam yang memimpin para imam di daerah-derah dan sekaligus


(5)

56 bertindak sebagai penegak hukum di daerah.

Dalam bidang keamanan dan pertahanan kesultanan, juga dibentuk laskar-laskar rakyat yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab seorang panglima. Panglima ini juga membawahi tujuh panglima daerah, yaitu Panglima Birin, Panglima Gempal Alam, Panglima Nayan, Panglima Kuntum Menda, Panglima Ranggas, Penglima Megah Burai, dan Panglima Nakuta Banding (khusus untuk di laut). Tingkat kepemimpinan yang paling bawah di kelaskaran ini adalah Pang yang ada di setiap kampung di daerah-daerah kekuasaan Kesultanan Benua Tamiang.

Sementara sejak masa kesultanan berakhir daerah ini termasuk dalam wilayah Aceh Timur yang dipimpin oleh seorang bupati, bupati adalah sebutan untuk seorang pemimpin daerah ditingkat kabupaten/kota, yang bertugas untuk memimpin birokrasi, menggerakkan jalannya roda pemerintahan dan dijadikan tempat perlindungan, pelayanan publik serta pembangunan. Awalnya, pemilihan pemimpin daerah ini dipilih oleh DPRD, akan tetapi karena adanya perubahan yang terjadi pada masa reformasi tahun 1998 maka pemilihan umum kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat. Pilkada langsung di Indonesia pertama kali dilaksanakan pada tahun 2005 dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah.

Kemudian daerah ini memisahkan diri dengan membentuk kabupaten Aceh Tamiang, sejak berdirinya Aceh Tamiang yang diresmikan pada 2 Juli 2002 berdasarkan UU No.4 tahun 2002, daerah ini dipimpin oleh Bupati Ishak Djuned yang notabene merupakan bupati Aceh Timur, lalu Ishak Djuned menunjuk Abdul Latief yang merupakan karyawan PDAM kota Langsa sebagai PJ Bupati Aceh Tamiang dan


(6)

57 berhasil kembali memimpin Aceh Tamiang periode 2007-2012 pada pemilihan umum kepala daerah tahun 2007 bersama wakilnya Awaluddin. Lalu pada pemilihan umum kepala daerah yang berlangsung tahun 2012 lalu, pasangan Hamdan Sati-Iskandar Zulkarnain berhasil memimpin Aceh Tamiang dengan periode 2012-2017 sebagai bupati dan wakil bupati.