KERAGAAN KELEMBAGAAN USAHA PELAYANAN JAS

KERAGAAN KELEMBAGAAN USAHA PELAYANAN JASA ALAT DAN MESIN
PERTANIAN (UPJA) DI KALIMANTAN BARAT
Tatang M. Ibrahim1, L.M. Gufroni1, Sudarman2, Arsyal2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Barat
2
Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kalimantan Barat
1

ABSTRACT
Ibrahim et al. (2004). Performance of UPJA in West Kalimantan. The low
population density in West Kalimantan indicated that this province had a high need for
agricultural machinery. However, the application of technology on agricultural machinery was
not enough to anticipate the problems of agricultural development but had to be supported by
a suitable institution. In relation to these matters, institution in form of a group corporation on
services for agricultural machinery (UPJA) had been developed in West Kalimantan.
Currently, it was reported that 358 unit of UPJA available in this province, spread over 9
districts but only 44% of those were active. Wetland rice and corn were the two main
commodities supported by UPJA. There were 7 type of agricultural machinery own by UPJA,
i.e. hand tractor, power thresher, water pump, reaper, trans-planter, dryer and Rice Milling
Unit (RMU). The numbers of agricultural machinery that currently available for wetland rice
was much lower than the demand. Type of machinery that were reported to be moderately high

in availability were RMU (45%) and water pump (21%), while others ranged from 0.1 %
(transplanter) to 8.1% (power thresher). There were 3 models of institution for agricultural
machinery, i.e. a) Government, b) Sanggau and c) Ketapang. Based on the total net margin
and the rate of credit returned, it was shown that the performance of Sanggau and Ketapang
models were better than a model of government. In case of Sanggau model, this was closely
related to the high participation of the members in controlling the management through the
existence of UPJA association both in district and sub-district levels. Meanwhile, Ketapang
model characterized by working contract made between manager and operator ensured the
high rate of payback for the credit given. Based on these facts, the suitable UPJA institution
that may developed in West Kalimantan have to fulfill the aspects of transparency,
participatory, efficiency and effectively applied. Therefore, a combination of Sanggau and
Ketapang models that characterized by the existence of association as the highest authority in
UPJA supported with the contract system may fulfill the type of ideal UPJA model for this
province.
Key words : Institution for agricultural machinery (UPJA), West Kalimantan
ABSTRAK
Ibrahim dkk. (2004). Keragaan Kelembagaan UPJA di Kalimantan Barat.
Rendahnya tingkat kepadatan penduduk di Kalimantan Barat menunjukkan bahwa propinsi ini
memiliki kebutuhan tinggi terhadap alat dan mesin pertanian. Namun demikian, penerapan
teknologi mekanisasi pertanian saja tidak cukup untuk mengatasi permasalahan pembangunan

pertanian tetapi perlu diimbangi oleh dukungan kelembagaan yang sesuai. Sejalan dengan hal
tersebut, kelembagaan berupa Usaha Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA) telah berkembang di
Disajikan pada “Seminar Nasional Mekanisasi Pertanian” yang diselenggarakan oleh BBP MEKTAN di Bogor, 5
Agustus 2004
1

Kalimantan Barat. Saat ini dilaporkan terdapat 358 unit UPJA yang tersebar di 9
kabupaten/kota tetapi hanya sekitar 44% diantaranya masih tergolong aktif sesuai fungsinya.
Komoditas pertanian yang didukung UPJA pada umumnya adalah padi sawah dan jagung.
Secara keseluruhan terdapat 7 jenis alat dan mesin pertanian (alsintan) yang dimiliki meliputi
traktor tangan (hand tractor), perontok padi (power tresher), pompa air (water pump), alat
panen (reaper), alat tanam pindah (transplanter), alat pengering (dryer) dan penggilingan padi
(Rice Milling Unit, RMU). Untuk komoditas padi sawah, jumlah penyebaran alsintan yang
saat ini tersedia masih jauh di bawah jumlah kebutuhan efektif. Jenis alsintan yang memiliki
tingkat ketersediaan cukup tinggi adalah RMU (45%) dan pompa air (21%) sedangkan yang
lainnya berkisar antara 0,1 % (transplanter) sampai 8,14% (power tresher). Terdapat variasi
model kelembagaan UPJA yang diterapkan oleh masing-masing kabupaten/kota yaitu a) model
Pemerintah, b) model Sanggau dan c) model Ketapang. Berdasarkan tingkat sisa hasil usaha
(SHU) dan tingkat pengembalian kredit ke negara, data menunjukkan bahwa model Sanggau
dan Ketapang memiliki keragaan terbaik. Hal ini sangat erat berkaitan dengan tingginya

tingkat kebersamaan dalam pengawasan kinerja manajemen dengan adanya Asosiasi UPJA
tingkat kabupaten dan kecamatan. Di lain pihak model Ketapang dengan ciri adanya kontrak
kerja antara manajer dan operator memberikan nilai pelunasan kredit tertinggi. Kelembagaan
UPJA yang layak dikembangkan di Kalimantan Barat harus memenuhi unsur transparansi,
partisipatif, efisiensi dan efektif. Kombinasi model kelembagaan Sanggau dan Ketapang yang
dicirikan dengan adanya Asosiasi sebagai unsur tertinggi manajemen UPJA yang ditambah
dengan adanya kontrak kerja berimbang (mempertimbangkan kemampuan teknis dan biaya
pemeliharaan alsintan) akan memenuhi karakteristik UPJA yang diinginkan.
Kata Kunci : UPJA, Kalbar

PENDAHULUAN
Penerapan teknologi saja tidak cukup untuk mengatasi permasalahan di lapangan,
tetapi perlu diimbangi dengan pengelolaan sumber daya alam, sumberdaya manusia, dan
kelembagaan (Sugiarto dkk, 2003).

Dengan kekayaan alam dan hayati serta dukungan

teknologi yang memadai Indonesia berpotensi menjadi produsen pangan dan hasil pertanian.
Persaingan global menyebabkan industri hasil pertanian berusaha untuk menaikkan mutu
produknya dan menekan biaya produksinya. Kualitas produk merupakan salah satu faktor

dalam meningkatkan daya saing disamping biaya produksi dan ketepatan waktu. Kualitas yang
berkelanjutan menjadi keharusan industri agar mampu menaikkan daya saing dan tetap
survive. Kualitas bukan hal yang terjadi secara kebetulan tetapi dapat didefinisikan, dirancang,
direncanakan dan dilaksanakan dengan tepat (Raharjo, 2004).
Disajikan pada “Seminar Nasional Mekanisasi Pertanian” yang diselenggarakan oleh BBP MEKTAN di Bogor, 5
Agustus 2004
2

Tantangan yang dihadapi pengembangan sistem dan usaha agribisnis saat ini adalah era
globalisasi atau perdagangan bebas (WTO, AFTA) sampai masalah kelestarian lingkungan
(ecolabelling) telah merubah paradigma pembangunan pertanian dari orientasi produksi
menjadi orientasi pasar, dari komoditas produk primer menjadi komoditas produk antara atau
produk akhir yang memberi nilai tambah dan dari keunggulan kompetisi atas sumberdaya
manusia murah, teknologi tradisional dan harga murah, menjadi keunggulan mutu dan
keamanan, kontinuitas, distribusi tepat waktu, harga proporsional, teknologi terjangkau dan
sumberdaya manusia yang terdidik/terampil (Handaka, 2002).
Bagi sebagian besar negara sedang berkembang, teknologi dan inovasi baru dalam
kegiatan-kegiatan pertanian merupakan syarat penting yang harus dipenuhi demi menciptakan
perbaikan tingkat output dan produktivitasnya. Bagi negara yang memiliki lahan luas yang
belum tergarap peningkatan output memang dapat dicapai tanpa memerukan teknologi baru

yang lebih efisien, melainkan cukup dengan memperluas lahan garapan dengan membuka
lahan-lahan potensial baru yang belum digunakan. Namun tentu saja praktek ekstensifikasi ada
batasnya, apalagi dengan terus meningkatnya jumlah penduduk.
Terdapat dua sumber inovasi teknologi yang berpotensi meningkatkan hasil-hasil
pertanian, yaitu mekanisasi pertanian dan inovasi biologis (bibit unggul) dan produk kimia
penunjang pertanian. Pengenalan mesin-mesin yang menghemat tenaga kerja (misalnya
traktor) memang mampu menghasilkan output yang berlipat ganda dari yang dihasilkan oleh
tenaga manusia. Efektivitasnya semakin terasa terutama apabila tanah yang diolah sangat luas,
sedangkan tenaga kerja manusia langka (Todaro, 1998). Mekanisasi pertanian khususnya
usaha jasa asintan telah menjadi kebutuhan dasar dalam mendukung keberhasilan
pembangunan perberasan nasional. Hal tersebut diwujudkan dengan usaha pemerintah dalam
rangka meningkatkan produksi dan efisiensi usahatani padi serta peningkatan mutu hasil
gabah/beras (Azahari, 2003).
Daerah pedesaan dengan luas lahan relatif sempit, modal yang langka, dan tenaga
kerja manusia berlimpah, teknik mekanisasi bukan hanya tidak sesuai dengan lingkungan
fisik, tetapi justru mengakibatkan masalah sampingan, misalnya lonjakan pengangguran di
pedesaan padahal penggunaannya belum tentu berhasil menurunkan unit-unit biaya produksi
Disajikan pada “Seminar Nasional Mekanisasi Pertanian” yang diselenggarakan oleh BBP MEKTAN di Bogor, 5
Agustus 2004
3


pangan. Oleh karena itu perlu diperhatikan tingkat efisiensi penggunaannya yang memerlukan
areal lahan yang sangat luas (Todaro, 1998).
Teknologi mekanisasi pertanian sebagai suatu input teknologi memiliki peran dan
potensi yang sangat strategis dalam a) peningkatan produktifitas tenaga kerja dan lahan, b)
pemanfaatan sumber daya secara efisien, c) peningkatan mutu dan nilai tambah, d)
pengelolaan irigasi secara efisien dan pengembangan energi terbarukan untuk kelestarian
lingkungan (BPTP Kalbar, 2004). Berdasarkan data statistik tahun 2000 jumlah penggilingan
padi/huller/pengering di Indonesia sebanyak 108.000 unit, terdiri dari 513 large rice mill,
39.425 small rice mill dan 35.093 rice milling unit, serta 13.178 unit penyosoh. Jumlah ini
menggambarkan potensi usaha penggilingan padi yang sangat besar. Penggilingan padi
tersebut telah melayani puluhan juta ton produksi padi petani per tahun dari sekitar 11,5 juta
ha lahan sawah dan ladang. Penggilingan padi telah menjadi titik sentral dari sebuah kawasan
produksi padi sekaligus titik pertemuan antara perubahan bentuk dari bahan baku menjadi
hasil olahan primer. Penggilingan padi ikut menentukan jumlah ketersediaan pangan, mutu
pangan, tingkat harga dan pendapatan petani, dan tingkat harga yang harus dibayar konsumen
serta turut menentukan ketersediaan lapangan pekerjaan di pedesaan. Penggilingan padi dapat
dikatakan sebagai embrio bagi industrialisasi pertanian di pedesaan (Azahari, 2003).
Aspek kelembagaan merupakan peubah bebas (independent variable) atau peubah
penjelas yang menentukan keberhasilan pembangunan pertanian dan pedesaan (sebagai

peubah tergantung atau dependent variable). Oleh karena itu sangat memadai jika aspek
kelembagan ditempatkan dalam bingkai pembangunan atau perubahan social yang
direncanakan (intended social change) dan evolusi sosial yang dipercepat (accelerated
evolution). Aspek kelembagaan menjadi faktor penentu atau prime mover keberhasilan
pembangunan pertanian dan pedesaan (Pranadji, 2003).
Kalimantan Barat memiliki potensi sumber daya lahan yang cukup tinggi untuk
pengembangan usaha pertanian, sekitar 70% dari total luas lahan yang berjumlah 14,68 juta ha
merupakan kawasan yang sesuai untuk budidaya pertanian. Namun demikian hanya sebagian
kecil (9,5 %) sudah dimanfaatkan untuk usaha pertanian. Jumlah penduduk Kalimantan Barat
saat ini sekitar 4 juta jiwa atau dengan tingkat kepadatan 27 jiwa/km2, jauh lebih rendah
Disajikan pada “Seminar Nasional Mekanisasi Pertanian” yang diselenggarakan oleh BBP MEKTAN di Bogor, 5
Agustus 2004
4

dibandingkan Jawa dan Sumatera. Kepadatan penduduk yang rendah tersebut diduga
merupakan faktor utama terhadap masih luasnya lahan pertanian yang belum dimanfaatkan.
Menyadari hal ini Pemda Kalbar telah melakukan pengembangan pertanian dengan
menggunakan alat dan mesin pertanian (alsintan) yang utamanya difokuskan untuk
mendukung pertanaman padi dan palawija. Sejalan dengan itu, kelembagaan berupa Usaha
Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA) menjadi semakin penting utamanya dalam hal penyediaan

jasa alsintan tepat waktu dengan biaya terjangkau petani. Makalah ini menyajikan kinerja
kelembagaan UPJA di Kalimantan Barat dan prospek pengembangan alsintan di masa
mendatang.
LAHAN PERTANIAN DAN KEBUTUHAN ALSINTAN KALIMANTAN BARAT
Lahan Pertanian. Menurut statistik tahun 2002, dari 14.680.700 ha luas wilayah
Kalimantan Barat, seluas 10.719.600 ha (73,02 %) berupa kawasan budidaya dan 3.961.100 ha
(26,98 %) kawasan non budidaya, yang sudah dimanfaatkan seluas 1.389.758 ha (9,47 %)
sedangkan seluas 9.329.842 ha (90,53 %) belum dimanfaatkan (Dinas Pertanian Kalbar,
2003b). Luas total penggunaan lahan sawah sampai dengan tahun 2002 mencapai 456.632
hektar atau mengalami kenaikan 3,14 % (Tabel 1) dibandingkan tahun 2001 seluas 442.738
ha, diantaranya 179.652 ha (39,34 %) sementara tidak diusahakan (Dinas Pertanian Kalbar,
2003a).
Tabel 1. Luas Lahan Sawah dan Luas Lahan Non Sawah Kalimantan Barat Tahun 2002
Tahun
Luas Lahan
Peningkatan Lahan
Sawah (%)
Sawah
Non Sawah
2002

456.632
14.224.070
3,14
2001
442.738
14.237.964
3,46
2000
427.937
14.252.765
-0,97
1999
432.112
14.248.590
7,32
1998
402.622
14.278.080
1,30
Sumber : Dinas Pertanian Kalbar (2003a)

Luasnya lahan sawah yang sementara tidak diusahakan diduga berkaitan erat dengan
permasalahan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat setempat.

Sampai saat ini masih

berkembang anggapan bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab sepenuhnya dalam
Disajikan pada “Seminar Nasional Mekanisasi Pertanian” yang diselenggarakan oleh BBP MEKTAN di Bogor, 5
Agustus 2004
5

memberdayakan seluruh lahan yang ada.

Oleh karena itu, umumnya masyarakat selalu

menunggu bantuan pemerintah juga dalam memenuhi kebutuhan alsintan mereka walaupun
diketahui kemampuan pemerintah semakin terbatas. Selain itu rendahnya tingkat permodalan
yang dimiliki petani juga erat berkaitan dengan terbentuknya sikap tersebut. Diharapkan ke
depan, pemberdayaan sektor swasta utamanya dalam memberikan kemudahan akses terhadap
permodalan kelompok tani dapat mengatasi permasalahan ini.
Potensi pengembangan tanaman pangan pada lahan kering seluas 2.714.151 ha yang

terdiri dari pekarangan (8,84 %), tegal/kebun (18,63 %), ladang/huma (9,76 %) dan lahan yang
termasuk katagori sementara tidak diusahakan (62,77 %). Sehingga total potensi lahan untuk
tanaman pangan dari penjumlahan luas areal lahan sawah dan areal potensi pengembangan
seluas 3.170.783 ha.
Kebutuhan Alsintan.

Potensi pengembangan lahan tanaman pangan yang luas

tersebut tentunya memerlukan dukungan alsintan yang cukup banyak. Selain itu, masyarakat
pertanian Kalimantan Barat juga telah sepakat untuk menjadikan propinsi ini menjadi salah
satu propinsi jagung di Indonesia. Dalam tahun 2005, pengembangan jagung seluas 25.000 ha
dilakukan di Kalimantan Barat. Sejalan dengan hal ini pengembangan alsintan akan semakin
penting artinya dalam mendukung berbagai sasaran pembangunan pertanian di propinsi ini.
Secara keseluruhan terlihat bahwa jumlah penyebaran alsintan saat ini masih jauh
dibawah tingkat kebutuhan efektifnya. Tingkat penyebaran jenis alsintan yang cukup tinggi
saat ini adalah RMU (45,4%) dan pompa air (20,7%, Tabel 2).
Tabel 2. Sasaran Areal Efektif, Penyebaran dan Jumlah Kebutuhan Efektif Alsintan di
Kalimantan Barat
Jenis Alsintan
Sasaran Areal
Penyebaran
Kebutuhan Efektif
Konversi
Efektif (ha)
Alsintan
(Unit)
Hand Traktor
140.741
341
6.121
23 ha/unit/MT
Power Tresher
164.407
446
5.480
30 ha/unit/MT
Pompa Air
70.371
292
1.408
50 ha/unit/MT
Reaper
82.098
3
1.366
60 ha/unit/MT
Transplanter
93.651
2
2.082
45 ha/unit/MT
Dryer
58.645
127
1.956
30 ha/unit/MT
RMU
199.387
1.809
3.988
35 ha/unit/MT
Sumber : Dinas Pertanian Kalbar (2004)
Disajikan pada “Seminar Nasional Mekanisasi Pertanian” yang diselenggarakan oleh BBP MEKTAN di Bogor, 5
Agustus 2004
6

Lebih tingginya tingkat penyebaran RMU dan pompa air menunjukkan bahwa 2 jenis
alsintan ini sesuai dengan kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat.

Budaya

masyarakat Dayak dalam cara panen dan pasca panen masih tradisional yaitu dengan
menggunakan ketam untuk panen sedangkan perontokan padi dilakukan dengan tangan. Hal
ini juga berkaitan dengan jenis padi lokal yang ditanam dan tidak serentaknya waktu masak
padi serta rendahnya tingkat hasil yang didapatkan.

Oleh karena itu, peningkatan

pengembangan alsintan juga erat berkaitan dengan tingkat pengembangan teknologi varietas
dan budidaya. Sementara itu, tingkat penyebaran jenis alsintan lainnya masih cukup rendah
berkisar antara 0,1% (transplanter) sampai dengan 8,1% (power tresher). Namun demikian,
tingkat penyebaran seluruh jenis alsintan akan meningkat seiring dengan tingkat adopsi
varietas unggul yang memiliki potensi hasil yang jauh lebih tinggi.
Berdasarkan tingkat kebutuhan efektif dan penyebaran alsintan terlihat bahwa
Kalimantan Barat masih memerlukan alsintan yang sangat besar. Namun perlu diperhatikan
bahwa kebutuhan ini merupakan konversi dari asumsi luas lahan yang efektif dapat diolah
dengan alsintan dan berdasarkan kapasitas terpakai masing-masing alsintan tersebut. Selain itu
keterampilan operator, jarak ke lokasi lahan, jenis tanah, akses jalan ke lahan dan kapasitas
mesin akan sangat berpengaruh terhadap produktivitas alsintan. Singkatnya waktu untuk
mengolah tanah dan panen juga merupakan pembatas dalam pemanfaatan kapasitas kerja
mesin.
KERAGAAN KELEMBAGAAN UPJA DI KALIMANTAN BARAT
Dalam memenuhi kebutuhan alsintan yang merata baik untuk kegiatan pra panen
maupun pasca panen telah dikembangkan kelembagaan berupa kelompok-kelompok UPJA
yang diharapkan mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam penggunaan alat
dan mesin pertanian. Pengelolaan dan operasionalisasi alsintan diharapkan akan lebih efisien
jika ditunjang dengan sistem kelembagaan yang mengatur pola kerja, perwilayahan,
perawatan, pembagian hasil dan pengembangannya. Oleh karena itu di Kalimantan Barat
berkembang kelompok-kelompok Usaha Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA). Dengan
Disajikan pada “Seminar Nasional Mekanisasi Pertanian” yang diselenggarakan oleh BBP MEKTAN di Bogor, 5
Agustus 2004
7

berkembangnya kelompok UPJA ini petani/kelompok tani tidak harus mengadakan sendiri alat
dan mesin pertanian yang dibutuhkan, tetapi cukup dengan membayar jasa yang disediakan
oleh kelompok-kelompok UPJA. Sampai saat ini di Kalimantan Barat telah terbentuk 358
kelompok UPJA yang tersebar di sembilan kabupaten dan kota, seperti disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Luas Lahan Sawah dan Sebaran Kelompok UPJA per Kabupaten di Kalimantan
Barat
Kabupaten
Luas Lahan
Jumlah Kelompok UPJA
UPJA Aktif
Sawah
Sambas
68.676
64
5
Bengkayang
27.116
52
30
Landak
68.005
10
9
Pontianak
86.213
81
12
Sanggau
74.296
34
22
Ketapang
81.655
69
47
Sintang
28.739
31
26
Kapuas Hulu
21.783
17
6
Kota Pontianak
149
Jumlah
456.632
358
157
Sumber : Dinas Pertanian Kalbar (2004)
Berdasarkan potensi luas lahan sawah per kabupaten, terlihat jumlah kelompok UPJA
yang ada belum proporsional, sehingga pada akhirnya akan berpengaruh terhadap
produktifitas usahatani. Kabupaten Sambas dengan luas lahan sawah sebesar 68.676 ha
memiliki 64 kelompok UPJA, sementara Kabupaten Landak dengan luas yang hampir sama
memiliki hanya 10 kelompok UPJA. Sedangkan untuk kabupaten lain relatif lebih
proporsional.
Masih sedikitnya jumlah UPJA yang aktif (43,8%) menunjukkan kondisi yang sangat
tidak berimbang dengan jumlah UPJA yang tercatat, Kabupaten Sambas dengan 64 kelompok
UPJA hanya 5 kelompok (7,8 %) saja yang masih aktif sedangkan Kabupaten Landak dengan
10 kelompok UPJA masih terdapat 9 kelompok (90 %) UPJA yang masih aktif. Pada
kabupaten lainnya walaupun terjadi penurunan UPJA yang aktif, masih menunjukkan proporsi
yang berimbang dengan kondisi awal. Diduga ketidakaktifan kelompok UPJA ini disebabkan
karena kurang berfungsinya manajemen (tidak adanya pelaporan, tidak ada penyetoran
pinjaman ke kas negara) atau juga akibat kerusakan alsintan yang dimiliki.
Disajikan pada “Seminar Nasional Mekanisasi Pertanian” yang diselenggarakan oleh BBP MEKTAN di Bogor, 5
Agustus 2004
8

Tujuan pembentukan kelompok UPJA adalah untuk meningkatkan penggunaan alat
dan mesin pertanian yang mengarah pada peningkatan luas garapan usahatani, meningkatkan
mutu juga untuk mendidik petani supaya mandiri. Melalui pengelolaan oleh tenaga terlatih dan
dengan manajemen yang baik diharapkan akan berkembang profesionalisme dalam
penanganan mesin pertanian dan mengembangkan aktivitas perekonomian di pedesaan yang
bermuara pada efisiensi usahatani.
Dengan demikian masih rendahnya tingkat keaktifan kelompok UPJA merupakan
indikasi bahwa pembangunan pertanian melalui lembaga UPJA di Kalimantan Barat masih
belum menunjukkan prestasi yang menggembirakan. Kondisi ini berdampak pada masih
lambatnya tingkat perluasan lahan sawah yaitu hanya 3 %/tahun (Tabel 1) yang akan
menghambat pencapaian potensi produksi sehingga masih terdapat sumber daya lahan yang
belum sepenuhnya termanfaatkan. Dengan demikian masih ada peluang untuk meningkatkan
kontribusi sektor pertanian bagi PDB Kalimantan Barat, salah satu solusinya dengan
memperbaiki kinerja kelembagaan UPJA.
MODEL KELEMBAGAAN UPJA DI KALIMANTAN BARAT
Identifikasi model kelembagaan UPJA dapat diketahui dari struktur dan fungsi
kelembagaan UPJA tersebut. Bentuk struktur dan fungsi kelembagaan UPJA di Kalimantan
dapat dibedakan menjadi 3 model. Ketiga model ini berkembang sebagai konsekuensi otonomi
daerah, yang memberikan hak bagi daerah untuk memilih bentuk kebijakan yang spesifik
berdasarkan kondisi daerah masing-masing. Komparasi model-model kelembagaan UPJA di
Kalimantan Barat disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Model Kelembagaan UPJA di Kalimantan Barat
Faktor
Struktur

Kelebihan

Model Pemerintah
Manajer-OperatorPetani
Kendali Pada Manager
(Perusahaan)
Mudah Kontrol UPJA

Model Sanggau
Asosiasi-Blok-ManajerOperator-Petani
Manajer Tanggung
Jawab Pada Asosiasi
Pengawasan Bersama

Kelemahan

Sulit Kontrol Manajer

Keputusan Relatif
Lambat

Fungsi

Model Ketapang
Dinas – Manajer-OperatorPetani
Manajer Kontrak Kerja
Operator
Setoran Dijamin Dengan
Kontrak
Operator Kejar Setoran

Disajikan pada “Seminar Nasional Mekanisasi Pertanian” yang diselenggarakan oleh BBP MEKTAN di Bogor, 5
Agustus 2004
9

Kelembagaan Model Pemerintah. Model kelembagaan UPJA seperti yang
ditawarkan pemerintah dijalankan oleh sebagian besar kabupaten, kecuali Kabupaten Sanggau
dan Ketapang yang memiliki model kelembagaan UPJA tersendiri. Pada model pemerintah,
kelompok UPJA diarahkan berbentuk sebuah perusahaan, dimana Manajer bertindak sebagai
pengusaha yang memiliki kewenangan penuh. Secara struktural kelembagaan model
pemerintah disajikan pada Gambar 1.
Manajer
Operator

Operator

Operator

Petani
Gambar 1. Struktur Organisasi UPJA Model Pemerintah
Manajer bertanggung jawab atas penyediaan alsintan, bahan bakar, perawatan dan keuangan.
Dengan kewenangan penuh seperti ini timbul kecemburuan sosial karena kurang atau tidak
adanya transparansi. Dalam model kelembagaan UPJA pemerintah ini tidak ada beda harga
sewa antara anggota UPJA dan non UPJA sehingga tidak muncul rasa memiliki dari
anggotanya.

Selain itu, petani menganggap alsintan yang dikelola adalah milik Negara

sehingga mereka tidak mau membayar.
Kelembagaan UPJA Model Sanggau. Pada dasarnya model ini meniru model
pemerintah dengan tambahan adanya Asosiasi UPJA di tingkat kecamatan dan di Kabupaten.
Asosiasi di tingkat kecamatan membawahi beberapa kelompok UPJA, asosiasi di Kabupaten
membawahi beberapa Blok yang terdiri dari beberapa Asosiasi (Gambar 2).
Asiosiasi berfungsi sebagai a) Wadah komunikasi antar asosiasi kecamatan, b)
Mengatur Rencana Pengembangan Alsin berdasarkan SHU/penerimaan, c) Mengatur
keuangan, c) Mengatur Alokasi alsintan dan d) Mengatur dan mengawasi manajer. Kelompok
UPJA membayar setoran sebesar 50 % dari sisa hasil usaha (SHU) kepada Asosiasi
Kabupaten. Setiap tahun dibuat Rapat Anggota Tahunan yang mengatur sistem kerja dan

Disajikan pada “Seminar Nasional Mekanisasi Pertanian” yang diselenggarakan oleh BBP MEKTAN di Bogor, 5
Agustus 2004
10

arahan program asosiasi. SHU digunakan juga untuk kegiatan pertemuan. Penanggung jawab
UPJA tetap berada pada manajer, yang bertanggung jawab pada Asosiasi.
Asosiasi UPJA Kabupaten

Blok

Asosiasi
Kecamatan

UPJA :
Manajer
Operator

Blok

Asosiasi
Kecamatan

Asosiasi
Kecamatan

Asosiasi
Kecamatan

UPJA :
Manajer
Operator

Petani
Gambar 2. Struktur Organisasi UPJA Model Sanggau
Kelembagaan UPJA Model Ketapang. Pada kelembagaan UPJA model ini, Sub
Dinas Pertanian membuat aturan bahwa manajer UPJA harus membuat kontrak dengan
operator. Kontrak kerja berisi kewajiban setoran operator yang disepakati untuk membayar
kewajiban ke manajer dan melalui sistem ini, UPJA memiliki kepastian jumlah setoran yang
akan diterima. Struktur organisasi model UPJA Ketapang dapat dilihat pada Gambar 3.
Subdinas
Manajer
Kontrak

Operator

Kontrak

Operator

Kontrak

Operator

Petani
Gambar 3. Struktur Organisasi UPJA Model Ketapang
Disajikan pada “Seminar Nasional Mekanisasi Pertanian” yang diselenggarakan oleh BBP MEKTAN di Bogor, 5
Agustus 2004
11

Kinerja Kelembagaan UPJA di Kalimantan Barat. Ukuran kinerja UPJA sebagai
sebuah lembaga dapat diukur dari aspek teknis, ekonomis dan sosial budaya masyarakat.
Untuk mengukur kinerja secara teknis perlu dilakukan kajian lebih mendalam untuk
mendapatkan validitas data, seperti ukuran produktivitas alat untuk menghasilkan produksi
beras, perluasan areal yang merupakan pengaruh langsung satuan unit alsintan pada kawasan
tertentu. Secara ekonomis perlu dilakukan analisa kelayakan jasa alsintan berdasarkan model
kelembagaan yang berbeda. Kelayakan secara sosial dan budaya juga perlu dilakukan untuk
mendapatkan alsintan dan kelembagaan UPJA yang secara operasional mengarahkan petani
sebagai subsistem agroindustri ke dalam sistem agribisnis yang berdayasaing.
Kinerja kelembagaan UPJA secara kuantitatif dapat diukur dari jumlah SHU yang
didapatkan dan jumlah pengembalian kredit alsintan ke kas negara, seperti disajikan pada
Tabel 5.
Tabel 5. SHU dan Setoran Kas Negara Model Kelembagaan UPJA di Kalimantan Barat
Kabupaten

Model Kelembagaan
SHU (Rp)
UPJA
Sambas
Model Pemerintah
Pontianak
Model Pemerintah
Bengkayang Model Pemerintah
7.907.500
Landak
Model Pemerintah
17.943.700
Sanggau
Model Sanggau
13.492.500
Sintang
Model Pemerintah
64.152.100
Ketapang
Model Ketapang
Kapuas Hulu Model Pemerintah
Jumlah
103.495.800
Sumber : Dinas Pertanian Kalbar (2003a)

Setoran Kas
Negara
7.300.000
8.210.700
1.050.000
10.514.400
45.500.000
3.719.000
76.294.100

Total
Pemasukan
7.300.000
8.210.700
8.957.500
17.943.700
24.006.900
64.152.100
45.500.000
3.719.000
179.789.900

Sisa hasil usaha (SHU) merupakan pemasukan bersih bagi kelompok UPJA dilaporkan
oleh 4 kabupaten dari 9 kabupaten/kota yang ada.

Namun demikian, hampir semua

kabupaten/kota melakukan pembayaran terhadap kredit alsintan yang diterima (Tabel 5),
kecuali kabupaten Landak dan Sintang. Dua kabupaten ini sebenarnya memiliki nilai SHU
yang cukup tinggi, utamanya kabupaten Sintang. Secara keseluruhan dapat dilihat bahwa
seluruh kelompok UPJA di setiap kabupaten/kota mendapatkan nilai surplus usaha. Hal ini
Disajikan pada “Seminar Nasional Mekanisasi Pertanian” yang diselenggarakan oleh BBP MEKTAN di Bogor, 5
Agustus 2004
12

menunjukkan bahwa seluruh kelompok UPJA yang ada telah berhasil menunjukkan kinerja
positif usahanya.
Setoran ke kas Negara merupakan kewajiban pengelola alsintan hasil pengadaan
pemerintah. Pada tabel 5 ditunjukkan bahwa ada dua kabupaten yaitu Kabupaten Landak dan
Kabupaten Sintang belum menyetorkan kewajiban ke Kas Negara yang dapat dilihat dari
rekening yang dipegang Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Kalimantan Barat.
Keadaan ini menunjukkan bahwa pemasukan uang masih berada di rekening kelompok UPJA.
Pertanyaan yang muncul, bagaimana pengelolaan pertanggungjawaban pemegang rekening
kelompok UPJA (SHU), jika Manager diberi hak penuh atas pengelolaan kelompok UPJA.
Berdasarkan jumlah setoran ke kas Negara, tampak bahwa kelompok dengan model
pemerintah menunjukkan kinerja yang lebih rendah jika dibandingkan dengan kinerja
kelompok model Sanggau dan model Ketapang. Pada model Sanggau antara SHU dan setoran
Kas Negara hampir mencapai kondisi ideal yaitu 50 % SHU dan 50 % setoran ke kas Negara.
Keadaan ini menunjukkan bahwa kelembagaan model Sanggau dapat berfungsi secara
operasional. Hal ini dimungkinkan karena adanya Asosiasi yang melalui Rapat Anggota
Tahunan dapat menjadi pengendali secara sosial (Public Control) dan kondisi ini merupakan
keunggulan Model Kelembagaan UPJA Sanggau.
Model kelembagaan Ketapang juga memiliki keunggulan yang ditunjukkan tingginya
tingkat setoran ke kas Negara, yang membuktikan bahwa model ini efektif digunakan untuk
menarik kembali pinjaman Negara dari masyarakat. Keunggulan model ini muncul disebabkan
terdapat sedikit unsur paksaan melalui sistem kontrak yang mewajibkan operator untuk
menyetorkan pemasukan pada nilai tertentu. Peran Sub Dinas Pertanian untuk mengontrol
pengembalian pinjaman pada Model Ketapang sangat dominan, karena merekalah yang
membuat kontrak antara Manajer dengan operator alsintan. Sayangnya belum ada data berapa
jumlah SHU yang diterima, bagaimana operator mengelola penerimaan sebagai sisa setoran
dan berapa proporsinya dari keseluruhan penerimaan. Mungkin ini sekaligus menjadi
kelemahan model ini, sebab setelah kewajiban untuk menyetor ke kas Negara dibayarkan,
maka sisanya belum tentu masuk ke dalam SHU kelompok UPJA.

Disajikan pada “Seminar Nasional Mekanisasi Pertanian” yang diselenggarakan oleh BBP MEKTAN di Bogor, 5
Agustus 2004
13

Kelembagaan UPJA Kalbar Masa Depan. Berdasarkan kinerja model kelembagaan
UPJA di atas, model kelembagaan UPJA Sanggau dan Ketapang memperlihatkan berbagai
keunggulan. Transparansi dan partisipasi aktif dari seluruh anggota UPJA terlihat jelas pada
model kelembagaan UPJA Sanggau yang bermuara dengan berimbangnya nilai SHU dan
jumlah pelunasan kredit alsintan. Hal ini dimungkinkan melalui adanya struktur Asosiasi yang
secara aktif dan positif mampu melaksanakan fungsinya sehingga keuntungan usaha dan
kewajiban pembayaran kredit dapat sekaligus terpenuhi. Sementara itu, keunggulan model
Ketapang juga terlihat dengan tingginya tingkat pelunasan kredit alsintan melalui adanya
kontrak kerja yang dibuat antaran manajer dan operator. Namun demikian, sistem ini juga
memperlihatkan bahwa dengan kewajiban operator memenuhi jumlah setoran yang disepakati,
maka tingkat pemeliharaan alsintan menjadi minimal. Berdasarkan hal tersebut, kelembagaan
UPJA yang layak dikembangkan di Kalimantan Barat harus memenuhi unsur transparansi,
partisipatif, efisiensi dan efektif. Kombinasi model kelembagaan Sanggau dan Ketapang yang
dicirikan dengan adanya Asosiasi sebagai unsur tertinggi manajemen UPJA yang ditambah
dengan adanya kontrak kerja berimbang (mempertimbangkan kemampuan teknis dan biaya
pemeliharaan alsintan) akan memenuhi karakteristik UPJA yang diinginkan.
KESIMPULAN
1. Terdapat 358 unit UPJA yang tersebar di 9 kabupaten/kota Kalimantan Barat tetapi
hanya sekitar 44% diantaranya masih tergolong aktif sesuai fungsinya
2. Komoditas pertanian yang didukung UPJA pada umumnya adalah padi sawah dan
jagung.
3. Untuk komoditas padi sawah, jumlah penyebaran alsintan yang saat ini tersedia masih
jauh di bawah jumlah kebutuhan efektif.

Jenis alsintan yang memiliki tingkat

ketersediaan cukup tinggi adalah RMU (45%) dan pompa air (21%) sedangkan yang
lainnya berkisar antara 0,1 % (transplanter) sampai 8,14% (power tresher).
4. Terdapat variasi model kelembagaan UPJA yang diterapkan oleh masing-masing
kabupaten/kota yaitu a) model Pemerintah, b) model Sanggau dan c) model Ketapang,
masing-masingnya memiliki keunggulan dan kelemahan.
Disajikan pada “Seminar Nasional Mekanisasi Pertanian” yang diselenggarakan oleh BBP MEKTAN di Bogor, 5
Agustus 2004
14

5. Kelembagaan UPJA yang layak dikembangkan di Kalimantan Barat harus memenuhi
unsur transparansi, partisipatif, efisiensi dan efektif.
6. Kombinasi model kelembagaan Sanggau dan Ketapang yang dicirikan dengan adanya
Asosiasi sebagai unsur tertinggi manajemen UPJA yang ditambah dengan adanya
kontrak kerja berimbang (mempertimbangkan kemampuan teknis dan biaya
pemeliharaan alsintan) akan memenuhi karakteristik UPJA yang diinginkan.

DAFTAR PUSTAKA
Azahari, D. H. 2003. Revitalisasi Peran Penggilingan Padi Dalam Meningkatkan
Ketahanan Pangan. Analisis Kebijakan Pertanian Vol 1 (1) : 1-8.
BPTP Kalbar. 2004. Hasil Unggulan Penelitian dan Pengembangan Mekanisasi Pertanian.
Dalam “Kumpulan Bahan-Bahan Pengarahan Kepala Badan Litbang Pertanian di PSE Bogor”,
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Barat, Pontianak.
Dinas Pertanian Kalbar. 2003a. Laporan Penggunaan Lahan (SP-VA) Propinsi Kalimantan
Barat. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kalimantan Barat, Pontianak.
Dinas Pertanian Kalbar. 2003b. Laporan Tahunan Dinas Pertanian Tanaman Pangan
Propinsi Kalimantan Barat Tahun 2002. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kalimantan Barat,
Pontianak.
Dinas Pertanian Kalbar. 2004. Buku Teknis Penggunaan Alsintan di Kalimantan Barat
Tahun 2003. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kalimantan Barat, Sub Dinas Prasarana dan
Sarana, Pontianak.
Handaka. 2002. Hasil Riset Mekanisasi untuk Mendukung Sistem dan Usaha Agribisnis
yang Berdaya Saing.
Pranadji, T. 2003. Menuju Transformasi Kelembagaan Dalam Pembangunan Pertanian dan
Pedesaan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
Raharjo, B. 2002. Peningkatan Mutu dan Nilai Tambah Industri Hasil Pertanian. Dalam
“Prosiding Gelar Teknologi Alsintan”. Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian, Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Yogyakarta, Yogyakarta.
Sugiarto, Hendiarto dan Nizwar Syafaat. 2003. Panduan Teknis Pengembangan
Kelembagaan Kelompok Usaha Agribisnis Terpadu. Departemen Pertanian, Jakarta.
Todaro, M.P. 1998. Pembangunan Ekonomi Dunia Ketiga. Penerbit Erlangga, Jakarta.

Disajikan pada “Seminar Nasional Mekanisasi Pertanian” yang diselenggarakan oleh BBP MEKTAN di Bogor, 5
Agustus 2004
15