HUBUNGAN KECEMASAN DENGAN ASUPAN MAKAN PADA LANSIA DI UPTD PELAYANAN SOSIAL LANJUT USIA TRESNA WERDHA KECAMATAN NATAR KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

(1)

ABSTRACT

RELATIONSHIP BETWEEN ANXIETY AND FOOD INTAKE IN THE ELDERLY AT UPTD SOCIAL SERVICES ELDERLY, ELDERLY

TRESNA SUBDISTRICT NATAR, SOUTH LAMPUNG by:

MIRNA CANDRA DEWI

The success of development is seen from the increase in the standard of living and life expectancy. Based on data from the Ministry of Health in 2011, the year was 66.4 years 200-2005, this figure will rise in life expectancy from 2045 to 2050 were estimated to be 77.6 years. The purpose of this study to analyze the relationship of anxiety with food intake in elderly do UPTD Social Services Elderly Elderly Tresna Natar District of South Lampung.

It’s a cross-sectional study design. There are 100 elderly population who meet the inclusion and exclusion criteria were 40 elderly. This research was conducted in UPTD Integrated Services Social Seniors Elderly Tresna Natar District of South Lampung.

The results showed that most of anxiety 65.0% 90.0% energy intake enough, 60.0% less protein intake, carbohydrate intake 92.5%, and 92.5% of fat intake, and intake of less than 67 fibers, 5%. There was no relationship between anxiety with energy intake (p = 0.278), there was no correlation with protein intake (p = 0.101), There was no relationship between anxiety with carbohydrate intake (p = 0.037), there was no correlation between anxiety with fat intake (p = 0.539), and there was no correlation between anxiety with fiber intake (p = 0.316). From the research needed special attention


(2)

ABSTRAK

HUBUNGAN KECEMASAN DENGAN ASUPAN MAKAN LANSIA DI UPTD PELAYANAN SOSIAL LANJUT USIA TRESNA WERDHA

KECAMATAN NATAR KABUPATEN LAMPUNG SELATAN Oleh

MIRNA CANDRA DEWI

Keberhasilan pembangunan adalah cita-cita suatu bangsa yang terlihat dari peningkatan taraf hidup dan Umur Harapan Hidup (UHH). Berdasarkan data Kementrian Kesehatan tahun 2011, pada tahun 200-2005 adalah 66,4 tahun, angka ini akan meningkat pada tahun 2045-2050 yang diperkirakan UHH menjadi 77,6 tahun. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis hubungan kecemasan dengan asupan makan pada lansia di UPTD Pelayanan Sosial Lanjut Usia Tresna Werdha Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan.

Desain penelitian adalah cross-sectional. Populasi sebanyak 100 lansia yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi adalah 40 lansia. Penelitian ini dilakukan di UPTD Pelayanan Terpadu Sosial Lanjut Usia Tresna Werdha Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan.

Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar mengalami kecemasan dengan persentase 65,0 % dan asupan energi cukup dengan presentase 92,5 % .Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kecemasan dengan asupan energi, asupan karbohidrat, asupan lemak dan asupan serat serta terdapat hubungan yang bermakna antara kecemasan dengan asupan protein di UPTD Pelayanan Terpadu Tresna Werdha Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan. Kesimpulan: Terdapat hubungan antara kecemasan dengan asupan makanan.


(3)

HUBUNGAN KECEMASAN DENGAN ASUPAN MAKAN PADA LANSIA DI UPTD PELAYANAN SOSIAL LANJUT USIA TRESNA WERDHA

KECAMATAN NATAR KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

Oleh :

MIRNA CANDRA DEWI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai SARJANA KEDOKTERAN

Pada

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015


(4)

(5)

(6)

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 9 Januari 1993, sebagai anak pertama dari dua bersaudara, dari Bapak Drs.H.Amir Husin.M.Pd dan Ibu Hj. Ratna Djuwita BSc.

Riwayat Pendidikan diawali dengan bersekolah di Taman Kanak – kanak (TK) Kartika II-5 Bandar Lampung diselesaikan tahun 1998, dan dilanjutkan Sekolah Dasar (SD) Kartika II-5 Bandar Lampung dan lulus tahun 1999, dilanjutkan Tingkat Sekolah Pertama (SLTP) di SMP Negeri I Bandar Lampung, dan lulus tahun 2008 dilanjutkan Sekolah Menegah Umum (SMU) Negeri 16 Bandar Lampung, dan lulus tahun 2011.

Pada Tahun 2011 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Program Studi Pendidikan Fakultas Kedokteran Universtias Lampung.

Penyusunan Skripsi ini merupakan tugas akhir sebelum penulis memperoleh gelar Sarjana Kedokteran dan melanjutkan Pendidikan Profesi .


(8)

(9)

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN ABSTRAK ...

HALAMAN JUDUL ... HALAMAN PERNYATAAN ... HALAMAN PENGESAHAAN ... HALAMAN RIWAYAT HIDUP ... MOTTO ... SANWACANA ... DAFTAR ISI ... DAFTAR TABEL ... DAFTAR LAMPIRAN ... BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian... 3

1.4 Manfaat Penelitian... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lansia ... 5

2.1.1 Definisi Lansia ... 5

2.1.2 Teori-Teori Tentang Manua ... 6

2.2 Asupan Makanan ... 11


(10)

2.2.3 Faktor-Faktor yang mempengaruhi Kebutuhan Gizi Lansia ... 16

2.2.4 Asupan Energi Pada Lansia ... 18

2.2.5 Jenis Menu Makanan ... 18

2.2.6 Jadwal Makan ... 19

2.2.7 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pola Makan Secara Umum .. 19

2.2.8 Faktor yang mempengaruhi pola makan pada lansia ... 21

2.2.9 Motivasi Diri ... 22

2.2.10 Perasaan dan Emosi ... 23

2.2.11 Dukungan Keluarga ... 24

2.2.12 Kebutuhan Gizi Lansia ... 25

2.2.13 Permasalahan Gizi pada Lansia ... 26

2.2.14 Pengukuran Asupan Makanan Lansia ... 26

2.3 Kecemasaan ... 30

2.3.1 Pengertian Kecemasaan ... 30

2.3.2 Tingkat Kecemasaan ... 31

2.3.3 Ciri-Ciri Kecemasaan ... 33

2.3.4 Penyebab Kecemasaan ... 34

2.3.5 Pencegahan Kecemasaan ... 34

2.3.6 Penanganan Gangguan Kecemasaan ... 35

2.3.7 Faktor-Faktor yang mempengaruhi Kecemasaan pada Lansia ... 37

2.4 Hubugan Kecemasaan dengan asupan makan ... 42

2.5 Kerangka Penelitian ... 44

2.6 Hipotesis ... 45

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian ... 46

3.2 Tempat dan Waktu Penenlitian ... 46


(11)

3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ... 48

3.5 Variabel Penelitian ... 48

3.6 Definisi Operasional ... 48

3.7 Pengumpulan data ... 50

3.8 Instrumen Penelitian ... 50

3.9 Pengelolaan data dan analisis data ... 51

3.10 Etika Penelitian ... 52

3.11 Alur Penelitian ... 52

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian... 54

4.2 Analisis Univariat ... 54

4.3 Analisis Bivariat ... 57

4.4 Pembahasan ... 60

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan... 73

5.2 Saran ... 74

DAFTAR PUSTAKA ... 75 LAMPIRAN – LAMPIRAN ...


(12)

MOTO

Sesuatu yang terlihat susah akan mudah bila kita mengerjakannya dengan

sungguh-sungguh

Kalahkan kemalasan dengan semangat Kalahkan kebencian dengan kasih sayang Kalahkan kesombongan dengan rendah hati Wanita hebat itu mampu membalut luka dengan sabar

Mampu merendam amanah dengan istighfar Mampu menghapus dendam dengan maaf


(13)

SANWACANA

Puji syukur hanya kepada Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, atas rahmat dan hidayah-Nya skripsi ini dapat diselesaikan. Shalawat serta salam dijunjungkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang menjadi suri tauladan sampai akhir zaman.

Skripsi dengan judul “HUBUNGAN KECEMASAN DENGAN ASUPAN MAKANAN PADA LANSIA DI UPTD PELAYANANAN SOSIAL LANJUT USIA TRESNA WERDHA KECAMATAN NATAR KABUPATEN LAMPUNG SELATAN” ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran di Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Hasriadi Mat Akin, M.P. selaku Rektor Universitas Lampung.

2. dr. Muhartono,M.Kes,Sp.PA selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.

3. dr. Reni Zuraida, M.Si selaku pembahas yang telah memberikan saran dan kritik serta masukan demi kebaikan skripsi ini.

4. dr. Dian Isti Angraini, M.PH sebagai pembimbing pertama yang telah banyak meluangkan waktu, memberikan ilmu, membimbing, memberikan bantuan,


(14)

kritik dan saran serta nasihat yang sangat bermanfaat sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

5. Ibu Soraya Rahmanisa, S.Si, M.Sc sebagai pembimbing kedua yang telah meluangkan waktu, memberikan kritik dan saran, serta nasihat yang sangat bermanfaat bagi penyelesaian skripsi ini.

6. dr. M. Yusran,M.Sc,Sp.M selaku pembimbing akademik yang telah meluangkan waktu untuk memberikan masukan selama perkuliahan.

7. Seluruh dosen dan staf karyawan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang banyak berjasa selama ini.

8. Ayah H. Amir Husin dan Mama Hj. Ratna Djuwita tersayang yang telah memberikan dukungan, sara, semangat , tidak pernah lelah memndengarkan keluhan serta tak pernah berhenti berdoa.

9. Terimakasih Sinta Meidina adikku tersayang sangat membantu dan terus memberikan semangat.

10. Untuk Bu Mimi, Pak Yusuf, Bude, Kak Riska, Wak Jaya, Yuk Pipit dan semua om dan tanteku serta sepupu tersayang yang telah mendukung dan menjadi penyemangat dalam menyelesaikan skripsi ini.

11.Untuk teman seperjuangan Sugma Epri Setiawati dan M. Agung PAY yang telah membantu dalam penelitian ini.


(15)

12. Terimakasih sahabat-sahabatku Sugma Epri Setiawati, Belda Evina, Miranda Rades, Niluh Ita Pasyanti, Melly Anida, Rayi Lujeng, Nur Amalina,Ayu Aprilia,Aulia Agristika, Putri Fitriana,Ani Yuliyanti, Bianti Nuraini dan Rama Rapina yang telah menghibur, membawa keceriaan, dan selalu bersama-sama selama menjalani studi di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.

13. Terimakasih untuk teman KKN Margosari Kak Jajab, Mbak Opi, Lia, Windy, Neneng, Nico, Harry dan Ipon yang telah memberikan semangat.

14. Terimakasih Yulia Zahra, Puspa Ayu, Hafsah, Nazir Ultama, Median Utami,dan Ummi serta teman-teman SMA yang masih memberikan semangat walaupun saling berjauhan.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun demi perbaikan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat digunakan sebagai referensi yang bermanfaat bagi penelitian selanjutnya, seluruh civitas akademika serta masyarakat pembacanya.

Amin.

Bandar Lampung, Agustus 2015

Penulis


(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keberhasilan pembangunan adalah cita-cita suatu bangsa yang terlihat dari peningkatan taraf hidup dan Umur Harapan Hidup (UHH)/Angka Harapan Hidup (AHH). peningkatan UHH ini dapat mengakibatkan terjadinya transisi epidemiologi dalam bidang kesehatan akibat meningkatnya jumlah angka kesakitan karena penyakit degeneratif. Perubahan struktur demografi ini diakibatkan oleh peningkatan populasi lanjut usia (Kemenkes RI, 2013).

Indonesia sebagai salah satu negara berkembang juga akan mengalami ledakan jumlah penduduk lansia, kelompok umur 0-14 tahun dan 15-49 berdasarkan proyeksi 2010-2035 menurun. Sedangkan kelompok umur lansia (50-64 tahun dan 65+) berdasarkan proyeksi 2010-2035 terus meningkat. Berdasarkan data Kementrian Kesehatan tahun 2011, pada tahun 2000-2005 UHH adalah 66,4 tahun (dengan persentase populasi lansia tahun 2000 adalah 7,74%), angka ini akan meningkat pada tahun 2045-2050 yang diperkirakan UHH menjadi 77,6 tahun (dengan pesentase populasi lansia tahun 2045 adalah 28,86%) (Kemenkes RI, 2013).

Di satu sisi, adanya peningkatan jumlah lansia berdampak timbulnya berbagai masalah jika tidak ditangani dengan segera. Salah satu masalah yang


(17)

mungkin terjadi adalah terkait gizi. Beberapa kelompok dalam populasi lansia beresiko terkena malnutrisi. Malnutrisi pada lansia sama halnya seperti pada balita atau dewasa, lansia dapat mengalami gizi kurang maupun gizi lebih. Lansia di Indonesia yang ada dalam keadaan kurang gizi sejumlah 3,4 persen, berat badan kurang sebesar 28,3 persen, berat badan ideal berjumlah 42,4 persen, berat badan lebih ada 6,7 persen dan obesitas sebanyak 3,4 persen (Muis, 2006).

Masalah gizi pada lansia dapat disebabkan oleh perubahan lingkungan dan status kesehatan mereka. Secara alamiah lansia akan mengalami kemunduran (degenerasi) fungsi organ-organ tubuh. Menurut Sari (2006) menambahkan dengan semakin bertambahnya usia maka kemampuan indera penciuman dan pengecapan mulai menurun. Muis (2006) berpendapat bahwa hilangnya sebagian geligi sering menimbulkan lansia tidak nafsu makan dan menyebabkan berkurangnya asupan makanan pada lansia. Faktor kesehatan yang berperan dalam masalah gizi adalah naiknya insidensi penyakit degeneratif dan nondegeneratif yang berakibat pada perubahan asupan makanan, perubahan absorbsi dan utilisasi zat- zat gizi pada tingkat jaringan serta penggunaan obat-obatan tertentu yang harus diminum lansia karena penyakit yang sedang diderita.

Perubahan kondisi ekonomi akibat masa pensiun, isolasi sosial berupa hidup sendiri setelah pasangannya meninggal dan rendahnya pemahaman gizi menyebabkan memburuknya keadaan gizi lansia (Muis, 2006). Perubahan


(18)

pada tingkat demografi, lingkungan fisik serta sosial dapat menempatkan lansia pada posisi yang sulit sehingga memungkinkan lansia mengalami gejala depresi. Harris (2004) menyatakan bahwa depresi mempengaruhi nafsu makan, asupan makanan, berat badan dan kesejahteraan secara keseluruhan.

Masalah psikologis yang terjadi yaitu lansia dalam menghadapi masa pensiun, takut akan kesepian, sadar akakn kematian dan lain-lain, perubahan tersebut akan menimbulkan masalah kecemasan. Topik mengenai kematian lebih banyak dibicarakan pada golongan lanjut usia jika dibandingkan dengan golongan lain usia sebelumnya, namun demikian masih saja kematian merupakan hal yang ditakuti oleh sebagian lanjut usia. Sebagain besar lanjut usia mengalami ketakutan, kecemasan, kebingungan dan frustasi akan datangnya kematian. Kecemasan ini muncul karena orang yang sudah mati menjadi terputus hubungan dengan orang-orang yang ada di dunia (Pamungkas, 2009).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana hubungan antara kecemasan dengan asupan makan pada lansia di Panti Tresna Werdha Natar Lampung Selatan.


(19)

1.3 Tujuan penelitian a. Tujuan Umum :

Untuk mengetahui hubungan antara kecemasan dengan asupan makan pada lansia di Panti Tresna Werdha Natar Lampung Selatan.

b. Tujuan Khusus:

1) Untuk mengetahui gambaran kecemasan pada lansia di Panti Tresna Werdha Natar Lampung Selatan

2) Untuk mengetahui hubungan antara kecemasan dengan asupan makan(energi, protein, lemak, karbohidrat, dan serat) lansia di Panti Tresna Werdha Natar Lampung Selatan.

1.4 Manfaat Penelitian: a. Bagi peneliti:

Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan serta dapat mengaplikasikan ilmu yang telah didapat selama perkuliahan.

b. Bagi masyarakat/institusi:

Sebagai pencegahan terjadinya risiko kecemasan dan pengaruh kecemasan terhadap psikologi lansia dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang bahaya dari kecemasan tersebut.


(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lansia

2.1.1 Definisi Lansia

Lanjut usia (lansia) merupakan kelompok orang yang sedang mengalami suatu proses perubahan secara bertahapn dalam jangka waktu tertentu. Menurut WHO, lansia dikelompokkan menjadi 4 kelompok yaitu:

1. Usia pertengahan (middle age) : usia 45-59 tahun 2. Lansia (elderly) : usia 60-74 tahun

3. Lansia tua (old) : usia 75-90 tahun

4. Usia sangat tua (very old): usia diatas 90 tahun

Departemen Kesehatan RI memberikan batasan lansia sebagai berikut:

1. Virilitas (prasenium) : masa persiapan usia lanjut yang menampakkan kematangan jiwa (usia 55-59 tahun)

2. Usia lanjut dini (senescen) : kelompok yang mulai memasuki masa usia lanjut dini (usia 60-64 tahun).

3. Lansia beresiko tinggi untuk menderita berbagai penyakit degeneratif : usai diatas 65 tahun (Fatmah, 2010).

Pengertian lansia dibedakan atas 2 macam, yaitu lansia kronologis (kalender) dan lansia biologis. Lansia biologis mudah diketahui dan dihitung, sedangkan lansia biologis berpatokan pada keadaan jaringan


(21)

tubuh. Individu yang berusia muda tetapi secara biologis dapat tergolong lansia jika dilihat dari keadaan jaringan tubuhnya (Fatmah, 2010).

Lanjut usia merupakan proses alamiah dan berkesinambungan yang mengalami perubahan anatomi, fisologis, dan biokimia pada jaringan atau organ yang pada akhirnya mempengaruhi keadaan fungsi dan kemapuan badan secara keseluruhan.

2.1.2 Teori-Teori Tentang Menua

Menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas dan kerusakan yang diderita (Darmojo,2010). Proses menua yang harus terjadi secara umum pada seluruh spesies secra progresif seiring waktu yang menghasilkan perubahan yang menyebabkan disfungsi organ dan menyebabkan kegagalan suatu organ atau sistem tubuh tertentu (Fatmah, 2010).

Terdapat tiga dasar fundamental yang dipakai untuk menyusun berbagai teoi menua yaitu:

1. Pola penuaan pada hampir semua spesies mamalia diketahui adalah sama.

2. Laju penuaan ditentukan oleh gen yang sangat bervariasi pada setiap spesies.

3. Laju atau kecepatan penuaan dapat diperlambat, namun tidak dapat dihindari atau dicegah (Fatmah, 2010)


(22)

1. Teori Berdasarkan Sistem Organ

Teori berdasarkan sistem organ (organ system based story) ini berdasarkan dugaan adanya hambatan dari organ tertentu dalam tubuh yang akan menyebabkan terjadinya proses penuaan. Organ tersebut adalah sistem endokrin dan sistem imun. Pada proses penuaan, kelenjar timus mengecil yang menurunkan fungsi imun. Penurunan sistem imun menimbulkan peningkatan insidensi penyakit infeksi pada lansia. Dapat dikatakan bahwa peningkatan usia berhubungan dengan peningkatan insidensi penyakit (Fatmah, 2010). Lansia mengalami penanggalan gigi akibat hilangnya tulang penyokong periostal dan periodontal, sehingga lansia akan mengalami kesulitan mencerna makanan (Stanley, 2006). 2. Teori Kekebalan Tubuh

Teori kekebalan tubuh (breakdown theory) ini memandang proses penuaan terjadi akibat adanya penurunan sistem kekebalan secara bertahap, sehingga tubuh tidak dapat lagi mempertahankan diri terhadap luka, penyakit, sel mutan ataupun sel asing. Hal ini terjadi karena hormon-hormon yang dikeluarkan oleh kelenjar timus yang mengontrol sistem kekbalan tubuh telah menghilang seiring dengan bertambahnya usia (Fatmah, 2010).

3. Teori Kekebalan

Teori kekebalan (autoimmunity) ini menekankan bahwa tubuh lansia yang mengalami penuaan sudah tidak dapat lagi membedakan anatar sel normal dan sel tidak normal, dan muncul antibodi yang menyerang


(23)

keduanya yang pada akhirnya menyerang jaringan itu sendiri. Mutasi yang berulang atau perubahan protein pascatranslasi dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem tubuh mengenali dirinya sendiri (self recognition). Jika mutasi somatik menyebabkan terjadinya kelainan pada antigen permukaan sel, maka hal ini dapat menyebabkan sistem imun tubuh menganggap sel yang mengalami perubahan tersebut sebagai sel asing dan menghancurkannya. Perubahan inilah yang menjadi dasar terjadinya peristiwa autoimun. Salah satu bukti yang ditemukan ialah bertambahnya kasus penyakit degeneratif pada orang berusia lanjut (Fatmah, 2010).

4. Teori Fisiologik

Sebagai contoh, teori adaptasi stress (stress adaptation theory) menjelaskan proses menua sebagai akibat adaptasi terhadap stres. Stres dapat berasal dari dalam maupun dari luar, juga dapat bersifat fisik, psikologik, maupun sosial (Fatmah, 2010).

5. Teori Psikososial

Semakin lanjut usia seseorang, maka ia semakin lebih memperhatiakn dirinya dan arti hidupnya, dan kurang memperhatikan peristiwa atau isu-isu yang terjadi (Fatmah, 2010).

6. Teori Kontinuitas

Gabungan antara teori pelepasan ikatan dan teori pelepasan ikatan dan teori aktivitas. Perubahan diri lansia dipengaruhi oleh tipe kepribadiannya. Seseorang yang sebelumnya sukses, pada usia lanjut


(24)

akan tetap berinteraksi dengan lingkungannya serta tetap memlihara identitas dan kekuatan egonya karena memiliki tipe kepribadian yang aktif dalam kegiatan sosial (Fatmah, 2010)

7. Teori Sosiologik

Teori perubahan sosial yang menerangkan menurunnya sumber daya dan meningkatnya ketergantungan, mengakibatkan keadaan sosial yang tidak merata dan menurunnya sistem penunjang sosial. Teori pelepasan ikatan (disengagement theory) menjelaskan bahwa pada usia lanjut terjadi penurunan partisipasi ke dalam masyarakat karena terjadi proses pelepasan ikatan atau penarikan diri secara pelan-pelan dari kehidupan sosialnya. Pensiun merupakan contoh ilustrasi proses pelepasan ikatan yang memungkinkan seseorang untuk bebas dari tanggung jawab dari pekerjaan dam tidak perlu mengejar peran lain untuk mendapatkan tambahan penghasilan. Teori ini banyak mendapatkan kritikan dari berbagai ilmuwan sosial (Fatmah, 2010)

8. Teori Aktifitas

Berlawanan dengan teori pelepasan ikatan, teori aktivitas ini menjelaskan bahwa lansia yang sukses adalah yang aktif dan ikut dalam kegiatan sosial. Jika seseorang sebelumnya sangat aktif, maka pada usia lanjut ia akan tetap memelihara keaktifannya seperti peran dalam keluarga dan masyarakat dalam berbagai kegiatan sosial dan keagamaan, karena ia tetap merasa dirinya berarti dan puas di hari tuanya. Bila lansia kehilangan peran dan tanggung jawab di masyarakat


(25)

atau kelaurga, maka ia harus segera terlibat dalam kegiatan lain seperti klub atau organisasi yang sesuai dengan bidang atau minatnya.

Teori ini menganggap bahwa pelepasan ikatan bukan merupakan proses alamiah seperti pendapat Cumming & Hendry. Dalam pandangan teori aktivitas, teori pelepasan adalah melekatnya sifat atau pembawaan lansia dan tidak ke arah masa tua yang positif (Fatmah, 2010).

9. Teori Penuaan Ditinjau dari Sudut Biologis.

Dulunya proses penuaan biologis tubuh dikaitkan dengan organ tubuh. Akan tetapi, kini proses penuaan biologis ini dihubungkan dengan perubahan dalam sel-sel tubuh disebabkan oleh :

a. memiliki batas maksimum untuk membelah diri sebelum mati, b. setiap spesies mempunyai karakteristik dan masa hidup yang

berbeda,

c. penurunan fungsi dan efisiensi selular terjadi sebelum sel mampu membelah diri secra maksimal.

Lansia mengalami penurunan fungsi fisiologis pada rongga mulut sehingga mempengaruhi mekanisme makanan. Perubahan dalam rongga mulut yang terjadi pada lansia mencakup tanggalnya gigi, muluit kering dan penurunan motilitas esofagus (Meiner, 2006).


(26)

2.2 Asupan Makanan

2.2.1 Asupan Makan Pada Lansia

Penuaan juga berhubungan dengan gangguan pengaturan nafsu makan dan asupan energi sehingga dapat menimbulkan anoreksia atau obesitas. Kehilangan berat badan mungkin akan menyebabkan malnutrsi, perubahan tiba-tiba dan dapat menimbulkan kematian. Penelitian dilaksanakan untuk mempelajari nafsu makan dan pengarturan energi pada latihan fisik pada manula. Hasil penelitian menyatakan perubahan sensasi nafsu makan (appetite) dan hormon berhubungan dengan appetite timbul karena bentuknya makanan dan latihan. Manula mempunyai kecenderungan obesitas harus konsumsi makanan dalam bentuk padat tetap atau mulai dengan latihan fisik teratur dan terukur dan terus menerus tetap atau mulai dengan latihan fisik teratur dan terukur dan terus menerus untuk mencegah kehilangan otot dan menurunnya efek gangguan regulasi energi yang bersamaan dengan penuaan (Apolzan, 2009).

1. Energi

Kecukupan gizi yang dianjurkan untuk lansia(>60 tahun) pada pria adalah 2200 kalori pada wanita ialah 1850 kalori. Menurut WHO, seseorang yang telah berusia 40 tahun sebaiknya menurunkan konsumsi energi sebanyak 5% dari kebutuhan sebelumnya, kemudian pada usia 50 tahun dikurangi lagi sebanyak 5%. Selanjutnya, pada usia 60-70 tahun, konsumsi energi dikurangi lagi 10%, dan setelah berusia di atas 70 tahun sekali lagi dikurangi 10% (Fatmah, 2010).


(27)

Makanan untuk lansia adalah yang cukup energi untuk mempertahankan fungsi tubuh, aktivitas otot dan pertumbuhan serta membatasi kerusakan yang menyebabkan penuaan dan penyakit (Barasi,2007). Energi yang diperlukan diperoleh dari karbohidrat, protein dan lemak. Masyarakat Indonesia umumnya menggunakan karbohidrat sebagai penyumbang energi terbesar karena dijadikan sebagai makanan pokok. Asupan energi yang berlebihan akan mempengaruhi terjadinya penyakit degeneratif karena kelebihan energi akan disimpan dalam bentuk jaringan lemak. Hal ini dapat mengakibatkan berat badan lebih (Proverawati, 2011)

2. Karbohidrat

Karbohidrat merupakan senyawa yang terbentuk dari molekul karbon, hidrogen, dan oksigen. Sebagai salah satu zat gizi, fungsi utama karbohidrat adalah penghasil energi di dalam tubuh. Seiring dengan bertambahnya usia, gangguan-gangguan fungsional tubuh pada lansia sangat mempengaruhi aktivitas sel tubuh. Hal ini tentunya akan mempengaruhi sistem pencernaan dan metabolisme pada lansia dapat berupa kekurangan bahkan kelebihan gizi. Munculnya gangguan- gangguan ini dapat menimbulkan penyakit tertentu atau sebagai akibat dari adanya suatu penyakit tertentu (Fatmah, 2010).

3. Protein

Protein adalah suatu substansi kimia dalam makanan yang terbentuk dari serangkaian atau rantai-rantai asam amino. Prtotein dalam makanan di dalam tubuh akan berubah menjadi asam amino yang sangat berguna


(28)

bagi tubuh yaitu untuk membangun dan memelihara sel, seperti otot, tulang,enzim, dan sel darah merah. Selain fungsinya sebagai pembangun dan pemelihara sel, protein juga dapat berfungsi sebagai sumber energi dengan menyediakan 4 kalori per gram, namun sumber energi bukan merupakan fungsi utama protein. Pemilihan protein yang baik untuk lansia sangat penting mengingat sintesis protein di dalam tubuh tidak sebaik saat masih muda, dan banyak terjadi kerusakan sel yang harus segera diganti. Kebutuhan protein untuk usia 40 tahun masih tetap sama seperti usia sebelumnya. Pakar gizi menganjurkan kebutuhan protein lansia dipenuhi dari yang bernilai biologis tinggi seperti telur, ikan, dan protein hewani lainnya karena kebutuhan asam amino esensial meningkat pada usia lanjut. Akan tetapi, harus diingat bahwa konsumsi protein yang berlebihan akan memberatkan kerja ginjal dan hati (Fatmah, 2010). Kebutuhan protein untuk lansia USA ditentukan sebesar 0,8 gr/kgBB/hari. Pada lansia yang sakit kebutruhan dapat meningkat menjadi 1,5 gr/kgBB/hari untuk dapat mempertahankan keseimbangan nitrogen. Keadaan peningkatan kebutuhan protein karena terjadi katabolisme jaringan (penurunan massa otot) serta adanya penyakit baik yang akut maupun yang kronik (Darmojo, 2010)

4. Lemak

Lemak adalah penyumbang energi terbesar per gramnya dibandingkan penghasil energi yang lain (karbohidrat dan protein). Satu gram lemak menghasilkan 9 kilokalori, sedangkan satu gram protein dan karbohidrat


(29)

masing-masing menghasilkan 4 kilokalori. Fungsi lain dari lemak adalah sebagai pelarut vitamin A, D, E, dan K untuk keperluan tubuh (Fatmah, 2010).

Lemak jenuh adalah lemak yang dalam struktur kimianya mengandung asam lemak jenuh. Konsumsi lemak jenis ini dalam jumlah berlebihan dapat meningkatkan kolesterol dalam darah. Lemak jenis ini cenderung meningkatkan kadar kolesterol dan trigliserida yang merupakan komponen-komponen lemak di dalam darah yang berbahaya bagi kesehatan (Fatmah, 2010).

Lemak tak jenuh merupakan lemak yang memiliki ikatan rangkap yang terdapat di dalam minyak (lemak cair) dan dapat berada dalam dua bentuk yaitu isomer cis dan trans. Asam lemak tak jenuh alami biasanya berada sebagai asam lemak cis, hanya sedikit yang berada dalam bentuk trans. Jumlah asam lemak trans (trans-fatty acid-TFA) dapat meningkat di dalam makanan berlemak terutama margarin akibat proses pengolahan yang diterapkan (Fatmah, 2010).

Karena kebutuhan energi telah menurun saat seseorang berada di atas usia 40 tahun, maka dianjurkan untuk mengurangi konsumsi makanan berlemak terutama lemak hewani yang kaya akan asam lemak jenuh dan kolesterol. Lemak nabati umumnya tidak berbahaya karena banyak mengandung asam lemak tak jenuh dan tidak mengandung kolesterol (Fatmah, 2010).


(30)

Laki-Laki Perempuan

55-64 >/65 55-64 >/65

Energi 2250 kalori 2050 kalori 1750 kalori 1600 kalori

Protein 60 gr 60 gr 50 gr 50 gr

Lemak 50 gr 45,5 gr 39 gr 36 gr

Karbohidrat 400 gr 350 gr 285 gr 248 gr

(AKG berdasarkan WNPG 2004)

2.2.2. Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Selera Makan Lansia

Beberapa faktor yang mempengaruhi perubahan selera makan lansia diuraikan sebagai berikut:

1. Kehilangan gigi

Usia tua merusak gigi dan gusi sehingga menimbulkan kurangnya kenyamanan atau munculnya rasa sakit saat mengunyah makanan (Fatmah, 2010).

2. Kehilangan indera perasa dan penciuman

Hilangnya indera perasa dan oenciuman akan menurunkan nafsu makan. Selain itu, sensitivitas rasa manis dan asin berkurang (Fatmah, 2010). 3. Berkurangnya cairan saluran cerna (sekresi pepsin), dan enzim- enzim

pencernaan proteolitik. Pengurangan ini mengakibatkan penyerapan protein tidak berjalan efisien (Fatmah, 2010)

4. Berkurangnya sekresi saliva

Kurangnya saliva dapat menimbulkan kesulitan dalam menelan dan dapat mempercepat terjadinya proses kerusakan pada gigi (Fatmah, 2010)


(31)

5. Penurunan motilitas usus

Terjadinya penurunan motilitas usus yang memperpanjang waktu singgah (transit time) dalam saluran gastrointestinal mengakibatkan pembesaran perut dan konstipasi (Fatmah, 2010).

2.2.3 Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Kebutuhan Gizi Lansia 1. Usia

Seiring pertambahan usia, kebutuan zat gizi karbohidrat dan lemak menurun, sedangkan kebutuhan protein, vitamin, dan mineral meningkat karena ketiganya berfungsi sebagai antioksidan untuk melindungi sel-sel tubuh dari radikal bebas (Fatmah, 2010).

2. Jenis Kelamin

Dibandingkan lansia wanita, lansia pria lebih banyak memerlukan kalori, protein dan lemak. Ini disebabkan karena perbedaan tingkat aktivitas fisik (Fatmah, 2010). Pria memrlukan zat gizi lebih banyak dibandingkan dengan wanita karena postur dan luas permukaan tubuh lebih besar atau lebih luas dibandingkan wanita. Banyak penelitian yang melaporkan bahwa wanita mudah mengalami kelebihan berat badan daripada wanita. Sedangkan pria, jumlah sel lemak lebih banyak pada wanita disamping itu juga wanita mempunyai basal metabolisme rate (BMR) yang lebih rendah daripada laki-laki yang lebih rendah daripada laki-laki (Simanjuntak, 2011).


(32)

3. Faktor Lingkungan

Perubahan lingkungan sosial seperti perubahan kondisi ekonomi karena pensiun dan kehilangan pasangan hidup dapat membuat lansia merasa terisolasi dari kehidupan sosial dan mengalami depresi. Akibatnya, lansia kehilangan nafsu makan yang berdampak pada penurunan status gizi lansia (Fatmah, 2010). Faktor lingkungan mempengaruhi seseorang dalam menikmati makanan serta kemampuan untuk memperoleh makanannya. Banyak hambatan diidentifikasi dalam lingkungan perawatan lansia sperti panti werdha, pelayanan sosial dan rumah sakit (Miller, 2004).

4. Penurunan Aktivitas Fisik

Semakin bertambahnya usia sesorang, maka aktivitas fisik yang dilakukannya semakin menurun. Hal ini terkait dengan penurunan kemampuan fisik yang terjadi secara alamiah. Pada lansia yang aktivitas fisiknya menurun, asupan energi harus dikurangi untuk mencapai keseimbangan antara masukan energi dan keluaran energi. Aktivitas fisik yang memadai diperlukan untuk mengontrol berat badan. Selain memberi keuntungan pada kontrol berat badan, aktivitas fisik juga memberikan keuntungan lain, di antaranya yaitu efek positif terhadap metabolisme energi, memberikan latihan pada jantung, dan menurunkan risiko diabetes melitus karena aktivitas fisik meningkatkan sensitivitas insulin (Garrow, 2000). Penurunan aktivitas fisik pada lansia dapat meningkatkan risiko penyakit degeneratif (Fatmah, 2010). Berdasarkan


(33)

bukti epedemiologi yang menunjukkan bahwa aktivitas fisik sangat bermanfaat untuk kesehatan seperti latihan fisik yang teratur berkaitan dengan angka mortalitas, kematian karena penyakit kardiovaskular, timbulnya diabetes tipe 2, hipertensi dan penyakit kanker yang lebih rendah (Gibney, 2008)

2.2.4 Asupan Energi Pada Lansia

Energi yang dibutuhkan oleh lansia berbeda dengan energi yang dibutuhkan oleh orang dewasa karena perbedaan aktivitas fisik yang dilakukan. Selain itu, energi juga dibutuhkan oleh lansia untuk menjaga sel-sel maupun organ-organ dalam tubuh agar bisa tetap berfungsi dengan baik walaupun fungsinya tidak sebaik seperti saat masih muda. Oleh karena itu, mengatur pola makan setelah berusia 40 tahun ke atas menjadi sangat penting. Asupan gizi seimbang sangat diperlukan tubuh jika ingin awet muda dan berusia lanjut. Kalori adalah energi potensial yang dihasilkan dalam satuan. Kebutuhan kalori pada seseorang ditentukan oleh beberapa faktor, seperti tinggi dan berat badan, jenis kelamin, status kesehatan dan penyakit serta tingkat kebiasaan aktivitas fisik (Miller, 2004).

2.2.5 Jenis Menu Makanan

Menu adalah susunan hidangan yang dipersiapkan atau disajikan pada waktu makan. Menu seimbang bagi lansia adalah susunan makanan yang mengandung cukup semua unsur semua zat gizi dibutuhkan lansia. Pedoman untuk makanan bagi lansia adalah makan makanan yang beraneka ragam dan mengandung zat gizi yang cukup, makanan mudah dicerna dan


(34)

dikunyah, sumber protein yang berkualitas seperti susu, telur, daging dan ikan. Sebaiknya mengkonsumsi sumber karbohidrat kompleks, makanan sumber lemak harus berasal dari lemak nabati, mengkonsumsi makanan sumber zat besi seperti bayam, kacang-kacangan dan sayuran hijau (Maryam, 2008).

Dalam menu seimbang bagi lansia juga harus membatasi makana yang diawetkan dan dianjurkan pada lansia untuk minum air putih 6-8 gelas sehari karna kebutuhan cairan meningkat dan untuk memperlancar proses metabolisme serta makanan sehari disajikan dalam keadaan masih panas (hangat), segar dan porsi kecil (Maryam, 2008).

2.2.6 Jadwal Makan

Menu yang disusun untuk lansia dalam pemberiannya sebaiknya terbagi atas 7-8 kali pemberian, yang terdiri dari 3 kali makanan utama (pagi, siang dan malam) serta 4-5 kali makanan selingan. Sebagai contoh pukul 05.00 minum susu atau jus, pukul 07.00 makanan utama, pukul 09.30 makan minum selingan, pukul 12.00 makanan utama, pukul 15.00 makan minum selingan, pukul 18.30 makanan utama dan sebelum tidur makan minum selingan (Maryam, 2008)

2.2.7 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Makan secara Umum

Pola makan pada individu dipengaru oleh faktor-faktor antara lain budaya, agama/kepercayaan, psikososial, status ekonomi, kesukaan terhadap makanan, rasa lapar/nafsu makan dan rasa kenyang serta kesehatan individu. Faktor budaya merupakan kemampuan individu dalam menentukan jenis


(35)

makanan yang sering dikonsumsi dan letak geografis juga mempengaruhi makanan yang dikonsumsi. Faktor budaya merupakan faktor yang diturunkan dari pendahulu atau bersifat turun temurun, yang akhirnya menjadi kebiasaan pada individu. (Maryam, 2008).

Faktor agama/kepercayaan pada diri individu juga mempengaruhi makanan yang dikonsumsi sehari-hari. Dalam agama/kepercayaan terdapat yang disebut pantangan atau larangan. Makanan mana yang boleh dikonsumsi dan mana yang tidak boleh dikonsumsi. Walaupun terkadang makanan tersebut merupakan sumber gizi yang dibutuhkan oleh tubuh, akan tetapi karena agama/kepercayaan melarangnya sehingga jenis makanan tersebut tidak dapat dikonsumsi. Adapun status ekonomi sangat mempengaruhi terhadap jenis dan kualitas makanan yang akan dikonsumsi oleh individu. Pemilihan dan pembelian bahan makanan akan menjadi mudah apabila pendapatam atau ketersediaan keuangan mencukupi (Maryam, 2008).

Psikososial yang sering dijumpai pada lansia menambah berat beban keluarga dan masyarakat. Dari segi sosial, lansia mengalami penurunan interaksi antara diri lansia dengan lingkungan. Hal tersebut bisa terjadi karena lansia mulai menarik diri dari kehidupan sosial, status kesehatannya menurun, penghasila berkurang, dan terbatasnya program untuk memberi kesempatan lansia untuk tetap berinteraksi dan beraktifitas. Hal tersebut berpengaruh kepada kepercayaan diri motivasi, perasaan beraktifitas. Menurunnya keinginan beraktifitas dengan lingkungan berpengaruh terhadap keinginan mengkonsumsi makanan/pola makan, karena kebutuhan


(36)

kalori yang terbatas. Apabila dibiarkan berlanjut tentunya akan mempengaruhi keadaan status gizi lansia (Maryam, 2008).

Personal preference (kesukaan individu terhadap makanan), hal-hal yang disukai dan tidak disukai sangat berpengaruh terhadap pola makan seseorang. Perassan suka atau tidak suka dimulai sejak dari masa kanak-kanak hingga dewasa. Perasaan tersebut terhadap makanan tergantung penilaian individu terhadap makanan yang disediakan. Sedangkan rasa lapar, nafsu makan dan rasa kenyang merupakan sensasi yang berhubungan dengan terpenuhinya makanan dalam diri seseorang. Hal tersebut berhubungan terhadap perasaan senang dan tidak senang dalam menerima makanan yang disediakan (Maryam, 2008).

Kesehatan merupakan faktor penting dalam pemenuhan kebutuhan akan makanan pada diri individu. Adanya penyakit seperti sakit gigi atau sariawan yang diderita akan mempengaruhi penerimaan individu tersebut terhadap makanan yang ada. Sehingga kesehatan merupakan faktor yang terpenting dalam pola makan (Maryam, 2008).

2.2.8 Faktor yang Mempengaruhi Pola Makan pada Lansia

Lansia dengan berbagai kemunduran yang dialami, dapat mempengaruhi derajat kesehatan lansia tersebut. Derajat kesehatan yang baik, salah satunya dapat diperoleh dengan menjaga status gizinya dengan mempertahankan kecukupan gizi melalui pola makan baik pula. Keseimbangan motivasi, perasaan dan emosi mencakup rasa marah, cemas, takut, kehilangan, sedih dan kecewa akan berdampak pada berbicara sembarangan, sikap berbicara


(37)

yang buruk pada orang lain, menolak makan minum, menolak ketergantungan dengan orang lain, melemparkan makanan dan lain-lain serta tak kalah penting adalah dukungan sosial dari lingkungan seperti dukungan keluagra, kelompok maupun masyarakat. Faktor yang mempengaruhi pola makan lansia diantaranya motivasi diri, perasaan, serta dukungan keluarga (Maryam, 2008).

2.2.9 Motivasi Diri

Motif atau motivasi diri merupakan suatu pengertisn yang mencakup penggerak, keinginan, rangsangan, hasrat, pembangkit tenaga, alasam dan dorongan dari dalam diri manusia yang menyebabkan ia berbuat sesuatu. Motif merupakan suatu proses pengertian yang melengkapi semua penggerak, alasan atau dorongan dalam diri manusia yang menyebabkan ia berbuat sesuatu yang berkaitan dengan prilaku kesehatan individu (Sunaryo, 2004)

Motivasi merupakan suatu proses psikologis yang mencerminkan interaksi antara sikap, kebutuhan, persepsi, dan keputusan yang terjadi pada diri seseorang, dan motivasi sebagai proses psikologis timbul diakibatkan oleh faktor di dalam diri (faktor intrinsik) dan faktor diluar dirinya (faktor ekstrinsik). Faktor di dalam diri seseorang dapat berupa kepribadian, sikap, pengalaman dan pendidikan atau berbagai harapan, cita-cita yang menjangkau ke masa depan. Faktor luar diri dapat ditimbulkan oleh berbagai sumber dari lingkungan atau faktor lain yang sangat kompleks sifatnya (Sunaryo, 2004)


(38)

Motivasi menunjukan pada proses gerakan, termasuk situasi yang mendorong sehingga timbul dalam diri individu, tingkah laku yang ditimbulkan oleh situasi tersebut dan tujuan akhir dari gerakan atau perbuatan. (Sunaryo, 2004)

Individu yang melakukan suatu aktivitas atau kegiatan, atas dasar motivasi masing-masing. Pada prinsipnya motivasi, didasari pada pemenuhan kebutuhan yang dibagi atas kebutuhan primer dan kebutuhan sekunder. Kebutuhan primer mempunyai aspek vital, biologis dan fisiologis, sedangkan kebutuhan sekunder mempunyai aspek sosial, non vital dan psikologis (Sunaryo, 2004).

2.2.10 Perasaan dan Emosi

Perasaan menurut adalah gejala psikis yang memilik sifat khas subjektif yang berhunbungan dengan persepsi dan dialami sebagai rasa senang, tidak senang, sedih gembira dalam berbagai derajat tingkatannya. Sementara itu emosi merupakan manifestasi perasaan atau afek keluar dan disertai banyak komponen fisiologik dan biasanya berlangsung lama (Sunaryo, 2004).

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi timbulnya perasaan yaitu keadaan jasmani atau fisik individu, struktur kepribadian dan keadaan temporer. Keadaan jasmani atau fisik individu dicontohkan seperti perasaan individu yang sedang sakit, lebih sensitif daripada orang sehat. Struktur kepribadian yang mempengaruhi timbulnya perasaan digambar kan seperti individu yang berkepribadian introvert memiliki perasaan yang


(39)

sensitif sedangkan keadaan temporer pada diri individu atau tergantung pada suasana hati, individu yang sedang sedih sangat peka perasaannya dibanding individu yang normal (Sunaryo, 2004)

Emosi adalah suatu keadaan perasaan yang telah melampaui batas sehingga untuk mengadakan hubungan dengan sekitarnya mungkin terganggu. Emosi merupakan perasaan yang mendasar, dapat mengarahkan perilaku individu, baik perilaku positif atau perilaku negatif (Sunaryo, 2004).

2.2.11 Dukungan Keluarga

Perubahan yang terjadi pada lansia erat kaitannya dengan perilaku kesehatan individu yaitu adanya interaksi sosial dalam bentuk dukungan baik dukungan keluarga/ kelompok maupun dukungan secara sosial. Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal disuatu tempat dibawah satu atap dalam keadaan saling ketergantungan. Peranan keluarga menggambarkan seperangkat perilaku interpersonal, sifat, kegiatan yang berhubungan dengan individu dalam posisi dan situasi tertentu. Peranan individu dalam keluarga didasari oleh harapan dan pola perilaku dari keluarga, kelompok dan masyarakat (Darmojo, 2000)

Pada umumnya lansia berkeinginan menikmati hari tuanya di lingkungan keluarga, namun dalam keadaan dan sebab tertentu mereka tidak tinggal bersama keluarganya. Oleh karena itu, lansia yang berada di lingkungan keluarga atau tinggal bersama keluarga serta mendapat dukungan dari


(40)

keluarga akan membuat lansia merasa lebih sejahtera. Fungsi dasar keluarga antara lain adalah fungsi efektif, yaitu fungsi internal keluarga untuk pemenuhan kebutuhan psikososial, saling mengasuh dan memberikan cinta kasih, serta saling menerima dan mendukung satu sama lain (Sudiharto, 2007).

2.2.12. Kebutuhan Gizi Lansia

Perubahan status gizi pada lansia lebih disebabkan pada perubahan lingkunagn maupun faali tubuh dan status kesehatan lansia. Perubahan tersebut semakin nyata pada kurun usia 70-an. Faktor lingkungan meliputi perubahan kondisi ekonomi akibat pensiun, isolasi sosial karena hidup sendiri setelah pasangan meninggal dunia dan rendahnya pemahaman gizi akan memperburuk keadaan gizi lansia. Faktor kesehatan yang mempengaruhi status gizi adalah timbulnya penyakit degeneratif dan non degeneratif yang berakibat pada perubahan dalam asupan makanan dan perubahan penyerapan zat gizi (Darmojo, 2004).

Maryam(2008) menyatakan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya gizi kurang pada lansia adalah keterbatasan ekonomi keluarga, menderita penyakit kronis, pengaruh psikologis, hilangnya gigi, kesalahan dalam pola makan, kurangnya pengetahuan tentang gizi dan cara pengolahan bahan makanan. Menurut Darmojo & Martono (2004), terjadinya kurang gizi pada lansia oleh karena sebab-sebab yang bersifat primer dan sekunder. Sebab primer meliputi ketidaktahuan, ketidakmampuan, isolasi sosial, hidup sendiri, kehilangan pasangan, gangguan fisik,gangguan


(41)

penginderaan, gangguan metal dan kemiskinan, sehingga asupan makanan sehari-hari kurang. Sebab sekunder meliputi mal absorbsi, penggunaan obat-obatan, peningkatan kebutuhan gizi, pola makan yang salah serta alkoholisme.

2.2.13. Permasalahan Gizi Pada Lansia

Selain permaslahan tersebut diatas akibat dari terjadinya perubahan-perubahan pada seluruh sistem, lansia juga mengalami masalah gizi. Perubahan fisik dan penurunan fungsi organ tubuh akan mempengaruhi konsumsi dan penyerapan zat makanan oleh tubuh. Hal ini akan berakibat pada terjadinya masalah gizi lebih atau terjadi gizi kurang (Fatmah, 2010). Gizi lebih pada lansia lebih banyak terdapat di perkotaan daripada pedesaan. Kebiasaan mengkonsumsi makan yang berlebih pada waktu muda menyebabkan berat badan berlebih dan juga karena kurangnya aktivitas fisik. Kebiasaan mengkonsumsi makan berlebih tersebut sulit untuk diubah walaupun lanjut usia menyadari dan berusaha untuk mengurangi makan. Kegemukan merupakan salah satu pencetus berbagai penyakit, mislanya penyakit jantung, diabetes melitus, penyemitan pembuluh darah dan tekanan darah tinggi (Nugroho, 2008).

2.2.14 Pengukuran Asupan Makanan Lansia 1. Metode Frekuensi Makan

Metode frekuensi makanan adalah untuk memperoleh data tentang frekuensi konsumsi sejumlah bahan makanan atau makanan jadi selama periode tertentuseperti hari, minggu, bulan ataupun tahun. Selain itu


(42)

juga akan diperoleh gambaran pola konsumsi bahan makanan secara kualitatif, tapi karena periode pengamatannya lebihlama dan dapat membedakan individu berdasarkan ranking tingkat konsumsi zat gizi maka cara ini paling sering digunakan dalam penelitian epidemiologi gizi. Kuesioner frekuensi makana dalah metode penilaiaan kualitatif yang bertujuan untuk mengetahui gambaran kualitatif pola konsumsi makanan agar diperoleh data tentang frekuensi dari konsumsi sejumlah bahan makanan atau makanan jadi dalam suatu periode hari, minggu, bulan atau tahun (Gibson, 2005)

Langkah-langkah metode frekuensi makanan menurut Supariasa (2002) adalah sebagai berikut:

a. Responden diminta untuk memberi tanda pada daftar makanan yang tersedia pada kuesioner mengenai frekuensi penggunaannya dan ukuran porsinya.

b. Lakukan rekapitulasi tentang frekuensi penggunaan jenis-jenis bahan makanan terutama bahan makanan yang merupakan sumber-sumber zat gizi tertentu selama periode tertentu pula.

Kelebihan metode frekuensi makanan menurut Supariasa (2002) adalah sebagai berikut:

1) Relatif murah dan sederhana.

2) Dapat dilakukan sendiri oleh responden. 3) Tidak membutuhkan latihan khusus.


(43)

4) Dapat membantu untuk menjelaskan hubungan antara penyakit dan kebiasaan makan.

Kekurangan metode frekuensi makanan menurut Supariasa (2002) adalah sebagai berikut:

1) Tidakdapatuntukmenghitungintakezatgizisehari.

2) Sulitmengembangkankuesionerpengumpulandata.

3) Cukupmenjemukanbagipewawancara.

4) Perlumembuatpercobaanpendahuluanuntukmenentukanjenisbah

anmakan yangakanmasukdalamdaftarkuesioner. 5) Respondenharusjujurdanmempunyaimotivasitinggi.

2.MetodeFoodRecall2x24Jam

Tingkat konsumsi makanan dapat diukur dengan menggunakan metode food recall 2x24 hours. Prinsip dari metode recall 2x24 jam dilakukan dengan mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu.

Dalam metode ini responden disuruh menceritakan semua yang dim

akan dan diminum selama 24 jam yang lalu (kemarin). Biasanya

dimulaisejak responden bangun pagi kemarin sampai istirahat tidur malamharinya,ataudapatjugadimulaidariwaktusaatdilakukanwawan caramundurkebelakangsampai 24 jam penuh. Apabila pengukuran

hanya dilakukan satu kali(1X 24 jam), maka data data yang diperoleh kurang representatif untuk menggambarkan kebiasaan makan individu.


(44)

Food recall 24 hours sebaiknya dilakukan berulang-ulang dan harinya

tidak berurutan sehingga dapat menghasilkan gambaran asupan gizi secara lebih optimal dan bervariasi (Supariasa, 2002)

Hal penting yang diketahui adalah dengan recall 24 jam data yang diperoleh cenderung lebih bersifat kuantitatif. Oleh karena itu, untuk mendapatkan data kuantitatif, maka jumlah konsumsi makanan individu ditanyakan secra teliti dengan menggunakan alat URT( sendok, gelas, piring dan lain-lain) atau ukuran lainnya yang biasa digunakan sehari- hari.

Kelebihan metode recall 2X24 jam menurut Supariasa (2002) adalah sebagai berikut:

1) Mudahnya melaksanakan serta tidak terlalu membebani responden. 2) Biaya relatif murah, karena tidak memerlukan peralatan khusus dan

tempat yang luas untuk wawancara,

3) Cepat, sehingga dapat mencakup banyak responden 4) Dapat digunakan untuk merespon yang buta huruf.

5) Dapat memberikan gambaran nyata yang benar- benar dikonsumsi individu sehingga dapat dihitung intake zat gizi sehari.

Kekurangan metode recall 2X24 jam adalah sebagai berikut:

1) Tidak dapat menggambarkanasupan makanan sehari-hari, bila hanya dilakukan recall satu hari.


(45)

3) The flat sindrome yaitu kecenderungan bagi responden yang kurus untuk melaporkan konsumsinya lebih banyak (over estimate) dan bagi responden yang gemuk cenderung melaporkan lebih sedikit (under estimate).

4) Membutuhkan tenaga atau petugas yang terlatih dan terampil dalam menggunakan alat-alat bantu URT dan ketepatan alat bantu yang dipakai menurut kebiasaan masyarakat.

5) Responden harus diberi motivasi dan penjelasan tentang tujuan dari penelitian.

6) Untuk mendapatkan gambarab konsumsi makanan sehari-hari recall jangan dilakukan pada saat panen, hari pasar, hari akhir pekan, pada saat melakukan upacara-upacara keagamaan, selamatan dan lain-lain.

2.3 Kecemasan

2.3.1 Pengertian Kecemasan

Kecemasan adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar yang berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya, dan keadaan emosi ini tidak memiliki obyek yang spesifik (Stuart, 2006).

Kecemasan adalah perasaan takut yang tidak jelas dan tidak didukung oleh situasi. Ketika merasa cemas, individu merasa tidak nyaman atau takut atau mungkin memiliki firasat akan ditimpa malapetaka padahal ia tidak mengerti mengapa emosi yang mengancam tersebut terjadi. Tidak ada obyek yang dapat diidentifikasi sebagai stimulus ansietas (Videbeck, 2008).


(46)

Kecemasan adalah kekhawatiran yang tidak jelas menyebar di alam dan terkait dengan perasaan ketidak pastian dan ketidak berdayaan. Perasaan isolasi, keterasingan, ketidakamanan juga hadir (Stuart and Laraia, 2005). Dari pendapat beberapa para ahli diatas maka dapat disimpulkan bahwa kecemasan adalah respon emosi tanpa objek yang spesifik dan bersifat subjektif berupa rasa takut, kekhawatiran pada sesuatu yang akan terjadi dengan penyebab yang tidak jelas dan dihubungkan dengan perasaan tidak menentu dan tidak berdaya.

2.3.2 Tingkat Kecemasan

Cemas sangat berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya. Keadaan emosi ini tidak memiliki objek yang spesifik. Kondisi dialami secara subyektif dan dikomunikasikan dalam hubungan interpersonal. Cemas berbeda dengan rasa takut, yang merupakan penilaian intelektual terhadap sesuatu yang berbahaya. Cemas adalah respon emosional terhadap penialaian tersebut. Kapasitas untuk menjadi cemas diperlukan untuk bertahan hidup, tetapi tingkat cemas yang parah tidak sejalan dengan kehidupan.

Menurut Stuart and Laraia (2005), ada empat tingkat kecemasan yang dialami oleh individu yaitu ringan, sedang, berat, dan panik.

1. Kecemasan Ringan

Berhubungan dengan ketegangan yang dialami sehari-hari. Individu masih waspada serta lapangan persepsinya meluas, menajamkan indra. Dapat memotivitasi individu untuk belajar dan mampu memevahkan


(47)

masalah secara dan menghasilkan pertumbuhan dan kreatifitas (Stuart and Laraia, 2005).

2. Kecemasan Sedang

Memungkinkan individu untuk berfokus pada hal yang penting dan mengesampingkan yang lain. Ansietas ini mempersempit lapang persepsi individu. Dengan demikian, individu mengalami tidak perhatian yang selektif namun dapat berfokus pada lebih banyak area jika diarahkan untuk melakukannya (Stuart and Laraia, 2005).

3. Kecemasan Berat

Lapangan persepsi individu sangat sempit. Individu cenderung berfokus pada sesuatu yang rinci dan spesifik serta tidak berpikir tentang hal lain. Semua perilaku ditujukkan untuk mengurangi ketegangan individu. Individu tersebut memerlukan banyak arahan untuk berfokus pada area lain (Stuart and Laraia, 2005).

4. Panik

Berhubungan dengan terperangah, ketakutan, dan teror. Hal yang rinci terpecah dari proporsinya. Karena mengalami kehilangan kendali, individu yang mengalami panik tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan arahan. Panik mencakup disorganisasi kepribadian dan menimbulkan peningkatan aktivitas motorik, menurunnya kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain, persepsi yang menyimpang, dan kehilangan pemikiran yang rasional. Tingkat ansietas ini tidak sejalan


(48)

dengan kehidupan, jika berlangsung terlalu dalam waktu yang lama, dapat terjadi kelelahan dan kematian(Stuart and Laraia,2005).

2.3.3 Ciri- ciri Kecemasan

Menurut Nevid(2005), seseorang yang mengalami kecemasan akan menampakkan ciri-ciri sebagai berikut:

1. Ciri fisik dari kecemasan

Gelisah, gugup, banyak keringat, mulut atau kerongkongan terasa kering, sulit bernafas, bernafas pendek, jantung berdetak kencang, suara yang bergetar, pusing, merasa lemas, tangan yang dingin, sering buang air kecil, terdapat gangguan sakit perut atau mual, muka memerah, leher atau punggung terasa kaku, merasa sensitif atau mudah marah (Nevid, 2005). 2. Ciri behavioral dari kecemasan

Seseorang yang mengalami kecemasan biasanya akan menunjukkan perilaku menghindar, perilaku melekat dan dependen, ataupun perilaku terguncang (Nevid, 2005).

3. Ciri kognitif dari kecemasan

Khawatir tentang sesuatu bahkan terhadap hal-hal sepele, perasaan terganggu terhadap sesuatu yang terjadi di masa depan, keyakinan bahwa sesuatu yang mengerikan akan terjadi tanpa ada penjelasan yang jelas, sangat waspada, khawatir akan ditinggal sendiri, sulit berkonsultasi atau mefokuskan pikiran, pikiran terasa bercampur aduk atau kebingungan, ketakutan akan ketidakmampuan menghadapi masalah, berpikir tentang hal-hal yang mengganggu secara berulang (Nevid, 2005).


(49)

2.3.4 Penyebab Kecemasan 1. Kontribusi biologis

Daerah otak yang paling sering berhubungan dengan kecemasan adalah sistem limbik, yang bertindak sebagai mediator antara batang otak dan korteks. Batang otak yang lebih primitif memonitor dan merasakan perubahan dalam fungsi- fungsi jasmaniah kemudian menyalurkan sinyal-sinyal bahasa potensial ini ke proses-proses kortikal yang lebih tinggi menyalurkan sinyal-sinyal bahasa potensial ini ke proses- proses kortikal yang lebih tinggi melalui sistem limbik (Durand, 2007).

2. Kontribusi psikologis

Sense of control (perasaan mampu mengontrol) sejak dini yang tinggi pada seseorang merupakan faktor psikologis yang sangat rentan mengakibatkan kecemasan (Durand, 2007).

3. Kontribusi Sosial

Peristiwa dalam kehidupan sehari hari yang menimbulkan stress dapat memicu kerentanan terhadap kecemasan. Misalnya masalah di sekolah, tekanan sosial untuk selalu menjadi juara kelas, kematian orang yang dicintai dan lain sebagainya (Durand, 2007).

2.3.5 Pencegahan Kecemasan

Menurut Hawari (2008), kecemasan dapat dicegah dengan:

a. Makan makanan yang baik dan halal secra tidak berlebihan dan mengandung gizi seimbang.


(50)

c. Olahraga, untuk meningkatkan kekebalan fisik dan mental, minimal dengan jalan kaki, lari pagi atau senam.

d. Tidak merokok dan mengkonsumsi minuman beralkohol. e. Banyak bergaul

f. Pengaturan waktu dalam kehidupan sehari-hari(manajemen waktu yang baik dan kedisiplinan diri)

g. Rekreasi

h. Mengatur keuangan dengan baik i. Kasih sayang, support dan motivasi. 2.3.6 Penanganan Gangguan Kecemasan

Jika kecemasan itu sudah sangat menganggu dalam kehidupan sehari- hari maka diperlukan tindakan untuk mengatasinya, meliputi:

1. Terapi humanistika

Terapi yang berfokus pada membantu klien mengidentifikasi dan menerima dirinya yang sejati dan bukan dengan bereaksi pada kecemasan setiap kali perasaan-perasaan dan kebutuhan-kebutuhannya yang sejati mulai muncul ke permukaan (Nevid, 2005).

2. Terapi psikofarmaka

Terapi psikofarmaka berfokus pada penggunaan obat anti cemas (anxiolytic) dan obat-obat anti depresan seperti Diazepam, Clobazam, Bromazepam, Lorazepam, Meprobamate, Alprazolam, Oxazolam, chlordiazepoxide HCL, Hidroxyzine HCL (Hawari, 2008).


(51)

Terapi somatik dilakukan dengan memberikan obat-obatan untuk mengurangi keluhan-keluhan fisik pada organ tubuh yang bersangkutan yang timbul sebagai akibat dari stres, kecemasan dan depresi yang berkepanjangan (Hawari, 2008).

4. Psikoterapi

Terapi dilakukan dalam sebuah kelompok dan biasanya dipilih di group terapi dengan kondisi anggota yang satu tidak jauh beda dengan anggota yang lain sehingga proses penyembuhan dapat berjahan lebih efektif. Dalam psikoterapi ini dilakukan terapi pernafasan dan teknik relaksasi ketika menghadapi kecemasan serta sugesti bahwa kecemasan yang muncul adalah tidak realistis (Hawari, 2008).

5. Terapi psikososial

Terapi psikososial adalah untuk memulihkan kembali kemampuan adaptasi agar yang bersangkutan dapat kembali berfungsi secara wajar dalam kehidupan sehari-hari baik dirumah, sekolah/kampus, si tempat kerja maupun di lingkungan pergaulan sosialnya (Hawari, 2008).

6. Terapi psikoreligius

Pendekatan agama akan memberika rasa nyaman terhadap pikiran, kedekatan kepada Allah, dzikir dan doa-doa yang disampaikan akan memberikan harapan positif (Hawari, 2008).

7. Pendekatan Keluarga

Dukungan (support) keluarga cukup efektif dalam mengurangi kecemasan (Nevid, 2005).


(52)

8. Konseling

Konseling dapat dilakukan secara efisien dan efektif bila ada motivasi dari kedua belah pihak, antara klien (orang yang mendapat konsultasi) dan konselor (orang yang memberikan konsultasi) (Hawari, 2008). 2.3.7 Faktor- faktor yang mempengaruhi kecemasan pada lansia

Menurut Noorkasiani dan Tamher (2009), pada setiap stresor seseorang akan mengalami kecemasan, baik ringan, sedang, maupun berat. Pada lansia dalam pengalaman hidupnya tentu diwarnai oleh masalah psikologi. Banyak faktor yang mempengaruhi kecemasan pada lansia, antara lain:

1. Pekerjaan

Pada umumnya setelah orang memasuki lansia, ia mengalami penurunan fungsi kognitif dan psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses belajar, persepsi, pemahaman, pengertian, perhatian dan lain-lain sehingga menyebabkan reaksi dan perilaku lansia menjadi semakin lambat. Sementara fungsi psikomotor meliputi hal-hal yang berhubungan dengan dorongan kehendak, seperti gerakan, tindakan dan koordinas, yang mengakibatkan lansia kurang cekatan (Sutarto dan Cokro, 2009).

Tuckman dan Lorge menemukan bahwa pada waktu menginjak usia pensiun (65 tahun) hanya 20% diantara orang-orang tua tersebut yang masih betul-betul ingin pensiun, sedangkan sisanya sebenarnya masih ingin bekerja terus (Tamher dan Noorkasiani, 2009).

Pensiun setelah bertahun-tahun bekerja dpat membahagiakan dan memenuhi harapan, atau hal ini dpat menyebabkan maslah kesehatan


(53)

fisik dan mental. Setelah pensiun bebrapa orang tidak pernah dapat menyesuaikan diri dengan waktu luangnya dan selalu merasa mengalami hari yang panjang. Beberapa lansia tidak termotivasi untuk mempertahankan penampilan mereka ketika mereka tidak atau hanya sedikit melakukan kontak dengan orang lain diluar rumahnya (Stanley, 2006).

Kehilangan peran kerja sering memiliki dampak besar bagi orang yang telah pensiun. Identitasnya biasanya berasal dari peran kerja, sehingga individu harus membangun identitas baru pada saat pensiun. Mereka juga kehilangan struktur pada kehidupan harian saat mereka tidak lagi memiliki jadwal kerja. Interaksi sosial dan interpersoanal yang terjadi pada lingkungan kerja juga telah hilang. Sebagai penyesuaian, lansia harus menyusun jadwal yang bermakna dan jaringan sosial pendukung (Potter, 2009).

2. Status kesehatan

Setelah orang memasuki masa lansia umumnya mulai dihinggapi adanya kondisi fisik yang bersikap patolohgis berganda (multiple pathology), misalnya tenaga berkurang, energi menurun, kulit makin keriput, gigi makin rontok, tulang makin rapuh, dan sebagainya. Secara umum kondisi fisik seseorang yang sudah memasuki masa lansia mengalami penurunan secara berlipat ganda. Hal ini semua dpat menimbulkan gangguan atau kelainan fungsi atau kelainan fungsi fisik, psikologik maupun sosial, yang


(54)

selanjutnya dapat menyebabkan suatu keadaan ketergantungan kepada orang lain. (Kuntjoro, 2000).

Meski kebanyakan individu lansia mengagap dirinya dalam keadaan sehat, namun empat dari lima mereka menderita paling tidak satu penyakit kronis. Pada periode kehidupan selanjutnya kondisi akut akan terjadi dengan frekuensi yang lebih jarang, sementara penyakit kronis lebih sering. Kemajuan proses yang lebih jarang, sementara penyakit mengancam kemandirian dan kualitas hidup dengan membebani kemapuan melakukan perawatan personal dan tugas sehari-hari (Smeltzer and Brenda, 2011).

Kecemasan bisa terjadi karena suatu kelainan media atau pemakaina obat. Penyakit yang bisa menyebabkan kecemasan adalah kelainan neurologis (cedera kepala, infeksi otak, penyakit telinga bagian dalam), kelainan jantung & pembuluh darah (gagal jantung, aritmia), kelainan endokrin (kelenjar adrenal atau kelenjar tiroid yang hiperaktif), kelainan pernafasan (asma dan penyakit paru obstruktif menahun). Obat–obatan yang dapat menyebabkan kecemasan adalah alkohol, stimulan (perangsang), kafein, kokain dan obat-obatan yang diresepkan lainnya.

3. Kehilangan pasangan

Kehilangan merupakan suatu keadaan individu berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada menjadi tidak ada, baik sebagian atau seluruhnya (Tarwoto, 2006). Pengalaman kehilangan melalui kematian kerabat dan teman merupakan bagian sejarah kehidupan yang dialami lansia. Termasuk


(55)

pengalaman kehilangan keluarga yang lebih tua dan terkadang kehilangan anak (Potter, 2009).

Salah satu dari kehilangan yang terberat yang dapat dialami individu adalah kematian pasangan. Jika kehilangan pasangan terjadi pada masa tua, seseorang tersebut memiliki risiko mengalami penyakit fisik dan mental yang lebih tinggi dibandingkan individu yang lebih muda (Stockslager dan Liz, 2007). Kematian pasangan lebih banyak dialami wanita lansia dibandingkan pria dan kecendrungan ini masih akan terus berlangsung (Perry, 2009).

4. Keluarga

Keluarga merupakan support system utama bagi lansia dalam mempertahankan kesehatannya. Peranan keluarga dalam perawatan lansia antara lain menjaga atau merawat lansia, mempertahankan dan meningkatkan status mental, mengantsipasi perubahan sosial ekonomi, serta memberikan motivasi dan memfasilitasi kebutuhan spiritual bagi lansia (Maryam, 2008).

Bagi para orang lanjut usia yang tinggal jauh dari anak cucu ataupun tinggal di rumah perawatan, ternyata kehadiran orang lain sangat berarti (Hadi, 2004). Lansia mungkin dapat mengalami pengasingan dari anggota keluarga karena banyak alasan, seperti penyalahgunaan obat atau alkohol dan ketidaksetujuan terhadap agama ,orientasi seksual, pilihan terhadap pasangan pernikahan, masalah keturunan, atau masalah bisnis. Pengasingan dari cucu dan cicit dapat sangat menyakitkan. Seiring dengan


(56)

waktu, lansia dapat merindukan untuk mebina ikatan keluarga yang pecah tahun-tahun sebelumnya. Merujuk pasien tersebut ke terapi keluarga dapat sangat efektif (Stockslager dan Liz, 2007).

Dukungan dari keluarga merupakan unsur terpenting dalam membantu individu menyelesaikan masalah. Apabila ada dukungan, rasa percaya diri akan bertambah dan motivasi untuk menghadapi masalah yang akan terjadi akan meningkat (Stuart and Sundeen, 1995).

5. Dukungan sosial

Komponen penting yang lain dari masa tua yang sukses dan kesehatan mental adalah adanya sistem pendukung yang efektif. Sumber pendukung pertama biasanya merupakan anggota keluarga seperti pasangan, anak-anak, saudara kandung, atau cucu. Namun, struktur keluarga akan mengalami perubahan jika ada anggota yang meninggal dunia, pindah ke daerah lain, atau menjadi sakit. Oleh karena itu, kelompok pendukung yang lain sangat penting. Beberapa dari kelompok ini adalah tetangga, teman dekat, kloega sebelumnya dari tempat kerja atau organisasi dan anggota lansia di tempat kerja atau organisasi, dan anggota lansia di tempat ibadah (Stanley and Patricia, 2006).

Ketika individu dewasa mencapai usia lanjut, jaringan pendukung sosial mereka mulai terpecah ketika teman meninggal atau pindah. Kekuatan dan kenyamanan yang berikan oleh teman- temannya ini, yang membantu individu menahan atau mengatasi kehilangan, tidak ada lagi. Kehilangan


(57)

tersebut dapat menjadi pencetus terjadinya penyakit fisik dan mental pada masa tua (Stanley and Patricia, 2006).

2.4 Hubungan kecemasan dengan asupan makan

Kecemasan dapat mempengaruhi asupan makan seseorang, adanya faktor psikologis seperti depresi, kecemasan, dan demensia mempunyai kontribusi yang besar dalam menentukan asupan makan dan zat gizi lansia. dapat menyebabkan gangguan makan, baik berupa nafsu makan berkurang atau meningkat. Perilaku ngemil dilaporkan sebesar 73% dilakukan pada saat stres. Sebaiknya, asupan buah, sayur, daging dan ikan menurun selama mengalami stres (Rahmawati, 2010).

Kecemasan juga telah dikaitkan dengan alkohol dan asupan lemak meningkat, termasuk lemak jenuh, omega-6 dan omega-3. Subyek dengan anxiety tinggi cenderung makan snack manis dan asin berenergi tinggi serta lemak tinggi(p<0,01), sedangkan subyek dengan anxiety kurang cenderung memiliki buah-buahan dan sayuran, daging, ikan orang dengan anxiety tinggi dibandingkan orang dengan anxiety kurang, pada laki-laki dan perempuan menunjukkan pola diet yang berbeda. Pola vegetarian ditemukan pada perempuan dengan kecemasan rendah, yang juga ditujukkan dengan konsumsi daging merah dan permen rendah (Rahmawati, 2010).

Pada penelitian didapatkan hubungan anxiety dengan asupan makan lebih dan kurang terbukti bermakna secara statistik (p=0,022). Hal ini cenderung menunjukkan bahwa dalam penelitian ini lansia dengan anxiety sedang cenderung untuk mengalami asupan makan lebih dan kurang. Nilai OR


(58)

sebesar 3,21 menunjukkan bahwa lansia yang memiliki kemungkinan 3,21 kali lebih besar mengalami asupan energi lebih dan kurang dibandingkan dengal lansia yang mengalami kecemasan ringan. Lansia perempuan berisiko 2,68 kali lebih besar mengalami kecemasan sedang dibandingkan dengan lansia laki-laki. Dalam keadaan stres, pola makan berbeda secara signifikan untuk perempuan dan laki-laki (p<0,01). Perempuan lebih cenderung meningkatkan konsumsi makan, dalam makanan manis tertentu atau konsumsi lemak, dalam respon terhadap stres, dibandingkan dengan laki-laki. Sebesar 71% subyek meningkatkan konsumsi makanan saat stres. Stres tidak hanya meningkatkan konsumsi seseorang, tetapi juga menggeser pilihan makanan dari lemak rendah menjadi lemak tinggi.(Rahmawati, 2010).


(59)

2.5 Kerangka Penelitian 1. Kerangka Teori

Gambar 1. Kerangka Teori Penelitian Faktor Faktor Yang

Mempengaruhi Asupan Makan Lansia

(Modifikasi Nugroho 2008, Maryam 2008, Hadi 2004)

Asupan Makan

kecemasan depresi Faktor

ekonomi

Pensiun

Keadaan fisik

Faktor penyerapan makanan

Status gizi lansia


(60)

2. Kerangka Konsep

Variabel bebas Variabel terikat

Gambar 2. Kerangka Konsep Penelitian 2.6 Hipotesis

Ho = Tidak terdapat hubungan antara kecemasan dengan asupan makan (energi, protein, lemak, karbohidrat dan serat).

Ha = Terdapat hubungan antara kecemasan dengan asupan makan (energi, protein, lemak, karbohidrat dan serat).


(61)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan pendekatan cross sectional. Penelitian cross sectional adalah penelitian dengan satu kali pengamatan pada waktu tertentu untuk menganalisa bagaimana hubungan antara tingkat kejadian kecemasan dengan asupan makan lansia pada lansia di panti UPTD Tresna Werdha Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan (Notoadmodjo, 2002).

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di UPTD Tresna Werdha Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan.

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan September 2014- Februari 2015


(62)

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian 1. Populasi Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah semua lansia yang terdapat di UPTD Tresna Werdha Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan sebanyak 100 orang.

2. Sampel Penelitian

Besar sampel diperoleh dengan rumus:

KesalahantipeI=5%,hipotesisduaarah,Z�=1,96 KesalahantipeII=20%,maka Zβ=0,84

P2=proporsipajananpadakelompokkasussebesar0,258 (Rohmawati, 2013) Q2=1–0,258=0,742

Q1 = 1–0,60 = 0,40

P2 = proporsi pajanan pada kelompok kasus sebesar 0,60 (Rohmawati, 2013) P =(P1+P2)/2= 0,606+0,258/2= 0,735

Q = 1-P = 1- 0,735 = 0,265

2

2 1 2 2 2 1 1 2 P P Q P Q P Z PQ Z n      

2

2 1 2 2 2 1 1 2 P P Q P Q P Z PQ Z n      

2

258 , 0 606 , 0 2 742 , 0 . 258 , 0 258 , 0 . 606 , 0 84 , 0 265 , 0 . 735 , 0 . 2 96 , 1     n

2

348 , 0 2 191 , 0 156 , 0 84 , 0 389 , 0 96 ,

1  

n


(63)

Pada penelitian ini digunakan total sampling yaitu dengan mengambil semua lansia yang ada di UPTD Pelayanan Terpadu Tresna Werdha Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi 1. Kriteria Inklusi

1) Masih bisa berkomunikasi dengan baik dan tercatat di wilayah tersebut 2) Lansia yang bersedia menjadi responden

2. Kriteria Eksklusi

1) Lansia yang mengalami penurunan daya ingat (gangguan penurunan kognitif dinilai dengan kuesioner MMSE)

2) Lansia yang menderita penyakit kronis yang membutuhkan diet khusus 3) Mengkonsumsi obat antiansietas.

3.5 Variabel Penelitihan 1. Variabel Bebas

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah kecemasan lansia 2. Variabel Terikat

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah asupan makan lansia. 3.6. Definisi Operasional

Tabel 1. Definisi Operasional

Variabel Definisi Skala Alat Ukur

Kecemasan pada lansia

kondisi dimana seseorang mengalami

perasaan khawatir berlebihan yang dirasakan oleh

Ordinal Kuesioner T-Mas

a. cemas b. tidak cemas skor<20 = tidak


(64)

lansia dengan menggunakan kuesioner T-Mas

cemas

skor>20 = cemas

Asupan Energi Banyaknya makanan

dan minuman yang dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan energi dalam satu hari dengan

menggunakan form food recall 24 jam (Supariasa, 2001)

Ordinal a. Cukup b. Lebih cukup=bila TKG \<110% lebih=bila TKG > 110% Asupan Protein Banyaknya makanan dan minuman yang dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan protein dalam satu hari dengan

menggunakan form food recall 24 jam (Supariasa, 2001)

Ordinal a. Kurang b. Cukup kurang=bila TKG <80% cukup=bila TKG >/ 80%

Asupan Lemak

Jumlah asupan lemak responden per hari dalam satu minggu terakhir yang dinilai

menggunakan form food recall 24 jam (Herviani, 2004)

Ordinal a. Cukup

b. Lebih cukup=bila TKG \<110% lebih=bila TKG > 110% Asupan Karbohidrat Jumlah asupan karbohidrat ke dalam tubuh yang berasal dari makanan oleh subjek yang diukur dengan

menggunakan form food recall 24 jam (Herviani, 2004)

Ordinal a. Kurang b. Cukup

cukup= bila TKG \<110%

lebih=bila TKG > 110%


(65)

Asupan Serat Sebagai bagian dari integral dari bahan pangan yang dikonsumsi sehari hari dengan sumber utama dari tanaman, sayur- sayuran, sereal, buah-buahan, kacang-kacangan (Meyer, 2004).

Ordinal

a. Kurang b. Cukup kurang=bila TKG <80% cukup= bila TKG >/ 80%

3.7 Pengumpulan Data

Jenis Data yang digunakan pada penelitian ini :

a. Data primer ialah data yang berasal dari subyek penelitian meliputi kecemasan lansia dan asupan makan, karakteristik subyek dan ada/ tidaknya gangguan kognitif lansia diperoleh dengan kuesioner yang diambil pada waktu tersebut.

b. Data sekunder diperoleh dengan mengumpulkan data lansia yang ada di Panti Tresna Werdha Natar Lampung Selatan.

3.8 Instrumen Penelitian

Alat pengumpulan data dalam penelitian ini terdiri dari : a. Form identitas subyek

b. Kuesioner T-MAS: umtuk mengetahui kecemasan pada lansia.

c. Form food recall 2X 24 jam: untuk menilai asupan makan lansia yang meliputi asupan energi, protein, karbohidrat, lemak dan serat.


(66)

d. Kuesioner MMSE : untuk mengetahui/skrinning ada atau tidaknya gangguan kognitif pada lansia.

3.9 Pengelolaan Data dan Analisis Data 1. Pengolahan data

Data yang diperoleh dari proses pengumpulan data akan diubah kedalam bentuk bentuk tabel-tabel, kemudian data diolah menggunakan data software statistik.

Kemudian, proses pengolahan data menggunakan program komputer ini terdiri dari beberapa langkah:

a. Koding, untuk mengkonversikan (menerjemahkan) data yang dikumpulkan selama penelitian ke dalam simbol yang cocok untuk keperluan analisis.

b. Data entry, memasukan data ke dalam komputer.

c. Verifikasi, melakukan pemeriksaan secara visual terhadap data yang telah dimasukkan ke dalam komputer.

d. Output komputer, hasil analisis yang telah dilakukan komputer kemudia dicetak.

2. Analisis Data

a. Analisis Univariat


(67)

b. Analisis Bivariat

Analisis ini digunakan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat. Dikarenakan variabel-variabel dalam penelitian ini berskala katagorik maka analisa ini dilakukan dengan menggunakan uji chi- square apabila uji chi- square tidak terpenuhi maka dilakukan uji fisher atau uji kolmogorov-smrnov.

Bila nilai probabilitas p< 0,05 maka signifikan, dengan kata lain variabel jumlah tingkat kecemasan lansia dapat dihubungkan dengan asupan makan lansia. Bila nilai > 0,05 maka tidak signifikan dengan kata lain variabel tersebut tidak ada hubungan antara asupan makan lansia dengan kecemasan lansia.

3.10 Etika Penelitian

Etika penelitian adalah suatu sistem nilai normal, yang harus dipatuhi oleh peneliti saat melakukan aktivitas penelitian yang melibatkan responden, meliputi keuntungan dari penelitian tersebut, dan resiko yang didapatkan (Polit & Hurgler, 2005). Penelitian ini telah mendapat persetujuan dari Ethical Clearance Fakultas Kedokteran Universitas Lampung dan pada saat pengambilan data telah mendapatkan informed consent dari subyek penelitian.

3.11 Alur Penelitian

Pengambilan data dilakukan pada Agustus 2014 di UPTD Pelayanan Terpadu Sosial Lanjut Usia Trensa Werdha terletak di Jalan Sitara


(68)

Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan. Penelitian ini dimulai dengan penyaringan sampel menggunakan MMSE untuk menyingkirkan kriteria eksklusi pada sampel, dari pemeriksaan MMSE didapatkan MMSE di dapatkan 30 lansia yang berada di Wisma Isolasi memiliki nilai <18, 26 lansia berusia < 60 tahun, 10 lansia mengalami cacat fisik seperti stroke, amputasi dan gangguan psikis, sehingga teknik sampel dilakukan dengan total sampling yang berjumlah 40 lansia.


(1)

72 kecemasan tinggi cenderung makan snack manis dan asin berenergi tinggi serta lemak tinggi sedangkan lansia dengan kecemasan kurang cenderung makan buah-buahan dan sayur-sayuran.


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian mengenai hubungan kecemasan dengan asupan makan di UPTD Pelayanan Terpadu Sosial Lanjut Usia Tresna Werdha Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan yang dilakukan sejak penulisan proposal dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Persentase kecemasan pada lansia di UPTD Pelayanan Terpadu Sosial Lanjut Usia Tresna Werdha Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan memiliki kecemasan dengan persentase 65,0 % dan untuk yang tidak mengalami kecemasan dengan pesentase 35,0%.

2. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kecemasan dengan asupan makan yang terdiri dari asupan energi, asupan karbohidrat, asupan lemak dan asupan serat dan terdapat hubungan yang bermakna pada asupan protein di UPTD Pelayanan Terpadu Tresna Werdha Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan.

5.2 Saran 1. Bagi Lansia

a. Meningkatkan asupan makanan yang banyak mengandung serat. b. Menghindari kecemasan yang berlebihan pada lansia.


(3)

74 a. Perlu dilakukan penelitian lain mengenai asupan makan dengan

kecemasan pada lansia.

b. Meningkatkan usaha promotif dan preventif

3. Bagi UPTD Pelayanan Terpadu Tresna Werdha Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan

a. Memberikan pengetahuan mengenai asupan makan kepada lansia. b. Memberikan pelayanan kesehatan umum secara rutin kepada lansia. c. Memberikan pengetahuan kepada lansia tentang bahaya dari kecemasan

yang berlebih.

d. Memberikan asupan makanan yang sesuai dengan kebutuhan gizi lansia yang dapat dibedakan dari usia, jenis kelamin, lingkungan, aktifitas fisik, penyakit dan pengobatan.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abdul, H.2007 .Teori Belajar dan Pembelajaran Jakarta:Rineka Cipta Azizah, L.2011.Keperawatan Lanjut Usia. Edisi 1.Yogyakarta: GrahaIlmu Barasi,M.2007. At Glance Ilmu Gizi.Jakarta: Erlangga

Boedhi, D. dan Martono,H.2006. Buku Ajar Geriatri, Ilmu Kesehatan Usia Lanjut, Jakarta. Fakultas Kedokteran. Universitas Indonesia

BPOM. (2003). Bahan Tambahan Pangan. Direktorat SPKP, Deputi III. Jakarta. Hal: 9.

Darmojo,B. 2010. Geriatri, Ilmu Kesehatan Usia Lanjut. Edisi ke-4. Balai Penerbit FK UI:Jakarta.

Durand, V. M, and Barlow, D.H . 2007. Essentials of Abnormal Psychology. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Dilman, Vladimir. Theories Of Aging. http://www.antiaging

systems.com/ARTICLE-613/theories-of-aging.htm. Diaskes pada tanggal 15 Oktober 2010

Fatmah. 2010. Gizi Usia Lanjut. Jakarta: Erlangga. Hlm 11, 40-41 dan 81-87 Hadi. 2004. Metodologi Research Jilid 3. Yogyakarta : Andi.

Hastuti, Hakimi, Dasuki, 2010. Hubungan antara kecemasan dengan aktifitas dan fungsi seksual pada wanita usia lanjut di Kabupaten Purworedjo. Berita Kedokteran Masyarakat

Hawari. 2008. Manajemen Stres, Cemas dan Depresi. Jakarta: FKUI

Kemenkes RI. 2013. Pusat data dan informasi. Kemenkes RI semester I. Jakarta www. depkes.go.id/downloads/Buletin%20Lansia.pdf diakses 29 Oktober 2013

Martono, 2010. Gangguan Kesadaran dan Kognitif Pada Usia Lanjut. Jakarta: Balai Penerbit FK UI

Miller., Carol, A. 2004. Nursing for wellness in older adults: theory and practice. Philadelphia: Lippincot William and Wilkin


(5)

76 Muis, S.F. 2009. Buku ajar geriatri Ilmu Kesehatan Usia Lanjut : Gizi pada usia

lanjut. Jakarta: Balai Penerbit FK UI

Nevid. 2005. Psikologi Abnormal. Jakarta: Erlangga

Nugroho. 2008. Keperawatan Gerontik dan Geriatrik. Jakarta:EGC

Notoatmojdo,S.1997.Ilmu Kesehatan Masyarakat.Jakarta : PT Rineka Cipta Oenzil, F. 2012. Gizi Meningkatkan Kualitas Manula. Jakarta: EGC. Hlm 2,

56-57 dan 79-80

Pamungkas,Aris.2009. Hubungan Religiusitas Dan Dukungan Sosial Dengan Kecemasan Menghadapi Tutup Usia Pada Lanjut Usia Di Kelurahan Jebres Surakarta.Skripsi Universitas Sebelas Maret

Potter, Patricia A. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan, Volume 2, Edisi 4. Jakarta: EGC

Proverawati, Atikah. 2010. Ilmu Gizi untuk Keperawatan dan Gizi Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika

Rahmawati, N.2013. Anxiety, Asupan Makan, Dan Status Gizi Pada Lansia di Kabupaten Jember.

Riyanto A.2011. Aplikasi Metodologi Penelitihan kesehatan.Yogyakarta, Nuha Medika

Simanjuntak, E. 2010. Status Gizi Usia Lanjut di Daerah Pedesaan, Kecamatan Porsea, Kabupaten Toba Samosir, Provinsi Sumatera Utara (artikel

penelitian). Depok. Fakultas Kesehatan Masyarakat Indonesia. Hlm 18-23 Smeltzer, Suzanne C and Bare, Brenda G. 2005 .Buku Ajar Keperawatan Medikal

Bedah Brunner&Suddarth Edisi 8. Alih Bahasa:dr. Andry Hartono.Editor : Monica Ester. Jakarta : EGC

Stanley, M .2006. Buku Ajar Keperawatan Gerontik, Edisi 2. Jakarta: EGC Stuart, G.W, and Laraia, M.T. 2005. Principles and Practice of Psychiatric

Nursing. St. Louis: Mosby Book Inc

Stuart and Sundeen. 1995.Buku Keperawatan(Alih Bahasa) Achir Yani S.Hamid. Edisi 3. Jakarta : EGC

Sunaryo. 2004. Psikologi Untuk Keprawatan. Jakarta: EGC Supariasa, I.D. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC

Sutarto, J. T. dan Cokro, C. I. 2008. Pensiun Bukan Akhir Segalanya, Cara Cerdas Menghadapi Pensiun. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.


(6)

Tamher, S. & Noorkasiani. 2009. Kesehatan Usia Lanjut dengan Pendekatan Asuhan Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Wartonah, T. 2006. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses keperawatan, Edisi 3, Jakarta : Salemba Medika

Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG). 2004. Jakarta : Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia


Dokumen yang terkait

PENGARUH SENAM JANTUNG SEHAT TERHADAP KADAR GLUKOSA DARAH PUASA PADA LANSIA DI PANTI SOSIAL DAN LANJUT USIA TRESNA WERDHA' NATAR LAMPUNG SELATAN

3 36 71

PENGARUH BRAIN GYM TERHADAP PERUBAHAN FUNGSI KOGNITIF PADA LANSIA DI PANTI TRESNA WERDHA NATAR LAMPUNG SELATAN

1 18 81

PERANAN PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA DALAM PENANGANAN LANJUT USIA TERLANTAR (Studi Pada UPTD Pelayanan Lanjut Usia Panti Sosial Tresna Werdha Bhakti Yuswa Natar, Kabupaten Lampung Selatan)

8 96 69

PERANAN PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA DALAM PENANGANAN LANJUT USIA TERLANTAR (Studi Pada UPTD Pelayanan Lanjut Usia Panti Sosial Tresna Werdha Bhakti Yuswa Natar, Kabupaten Lampung Selatan)

3 50 79

PENGARUH SENAM OTAK TERHADAP LANSIA DENGAN GANGGUAN INSOMNIA DI PANTI TRESNA WERDHA NATAR LAMPUNG SELATAN

23 117 76

Hubungan Asupan Energi, Protein dan Aktivitas Fisik Terhadap Status Gizi Lanjut Usia di UPTD Panti Sosial Tresna Werdha Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan

9 68 77

HUBUNGAN ANTARA KECEMASAN DENGAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA LANSIA DI PANTI SOSIAL TRESNA Hubungan Antara Kecemasan Dengan Kejadian Hipertensi Pada Lansia Di Panti Sosial Tresna Werdha Puspakarma Mataram.

2 19 17

PEMBINAAN SOSIAL KEAGAMAAN TERHADAP LANSIA ( Studi Di UPTD PSLU Tresna Werdha Natar Kabupaten Lampung Selatan) - Raden Intan Repository

0 0 111

DZIKIR SEBAGAI METODE TERAPI KESEHATAN MENTAL PADA LANJUT USIA DI UNIT PELAKSANA TEKNIS DAERAH PANTI SOSIAL LANJUT USIA (UPTD PSLU) TRESNA WERDHA NATAR LAMPUNG SELATAN - Raden Intan Repository

0 0 14

BAB III UNIT PELAKSANA TEKNIK DAERAH PANTI SOSIAL LANJUT USIA TRESNA WERDHA NATAR LAMPUNG SELATAN DAN PENERAPAN DZIKIR SEBAGAI METODE TERAPI KESEHATAN MENTAL A. Gambaran Umum UPTD PSLU Tresna Werdha Natar Lampung Selatan 1. Sejarah Singkat UPTD PSLU Tresn

0 0 21