ASUHAN KEPERAWATAN JIWA HALUSINASI (3)

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut WHO sehat adalah keadaan secara jasmani, mental sosial dan bukan hanya
suatu keadaan bebas dari penyakit, cacat dan kelemahan.
Menurut UU No 36/2009 tentang kesehatan. Sehat adalah sejahtera dari badan (jasmani)
jiwa (rohani) dan sosial yang memungkinka setiap orang hidup secara sosial dan ekonami.
Pembangunan kesehatan pada hakekatnya adalah mengutamakan dalam mencapai
kemampuan dan hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan
masyarakat yang optimal kesehatan mencakup selurunh kehidupan aspek manusia baik kesehatan
fisik dan mental.
Kesehatan jiwa merupakan salah satu dari empat masalah kesehatan utama di negara-negara
maju. Meskipun masalah kesehatan jiwa tidak dianggap sebagai gangguan yang menyebabkan
kematian secara langsung, Namun gangguan tersebut dapat menimbulkan ketidakmampuan
individu dalam berkarya serta ketidaktepatan individu dalam berperilaku yang dapat mengganggu
kelompok dan masyarakat serta dapat menghambat pembangunan karena mereka tidak produktif
(Hawari,2000).
Manusia bereaksi secara keseluruhan, secara holistik, atau dapat dikatakan juga, secara
somato-psiko-sosial. Gangguan jiwa artinya bahwa yang menonjol ialah gejala-gejala yang
patologik dari unsur psikis. Hal ini tidak berarti bahwa unsur yang lain tidak terganggu. Hal-hal
yang dapat mempengaruhi perilaku manusia ialah keturunan, usia dan Jenis Kelamin, keadaan

fisik, keadaan psikologik, keluarga, adat-istiadat, kebudayaan dan kepercayaan, pekerjaan,
pernikahan dan kehamilan, kehilangan dan kematian orang yang dicintai, agresi, rasa
permusuhan, hubungan antar manusia, dan sebagainya.
Gangguan jiwa adalah suatu perubahan pada fungsi jiwa yang menyebabkan adanya
gangguan pada fungsi jiwa, yang menimbulkan penderitaan pada individu dan atau hambatan
dalam melaksanakan peran social (Depkes, 2000).
Menurut klasifikasi Diagnostic and Statisyical Manual of Mental Disorder Text Revision
(DSM IV, TR 2000), harga diri rendah merupakan salah satu jenis gangguan jiwa kategori
gangguan kepribadian (Videbeck, 2008).
Menurut WHO, jika prevelensi gangguan jiwa diatas 100 jiwa per 1000 penduduk dunia,
maka berarti di Indonesia mencapai 264 per 1000 penduduk yang merupakan anggota keluarga,
1

data hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995, artinya 2,6 kali lebih tinggi dari
ketentuan WHO. Ini sesuatu yang sangat serius dan World Bank menyimpulkan bahwa gangguan
jiwa dapat mengakibatkan penurunan produktivitas sampai dengan 8,5 % saat ini. Saat ini
gangguan jiwa menempati urutan kedua setelah penyakit infeksi dengan 11,5 %
(http://www.kompas.com, diambil pada tanggal 20 oktober 2010).
Penduduk Indonesia yang mengalami gangguan jiwa diperkirakan sebanyak 26 juta, dimana
panik dan cemas adalah gejala paling ringan (WHO, 2006).

Gambaran gangguan jiwa berat di Indonesia pada tahun 2007 memiliki prevalensi sebesar
4,6 permil, artinya bahwa dari 1000 penduduk Indonesia terdapat empat sampai lima diantaranya
menderita gangguan jiwa berat (Puslitbang Depkes RI, 2008).
Penduduk Indonesia pada tahun 2007 sebanyak 225.642.124 jiwa sehingga pasien gangguan
jiwa di Indonesia pada tahun 2007 diperkirakan 1.037.454 jiwa (Pusat Data dan Informasi Depkes
RI, 2009). Hasil Riskesdas tahun 2007 untuk provinsi Jawa Barat didapatkan data individu yang
mengalami gangguan jiwa sebesar 0,22% dari jumlah penduduk dan untuk wilayah Bogor sebesar
0,40% (Puslitbang Depkes RI, 2008). Angka ini menunjukkan bahwa anggota masyarakat yang
mengalami gangguan jiwa berat cukup besar atau dapat dikatakan cukup banyak. Gangguan jiwa
berat yang paling banyak ditemukan adalah Skizofrenia.
Upaya mengatasi masalah kesehatan jiwa diberikan dalam bentuk pelayanan kesehatan jiwa
berbasis komunitas. Bentuk pendekatan manajemen pelayanan kesehatan jiwa komunitas yang
dikenal dengan istilah Community Mental Health
Nursing (CMHN) (Keliat, 2007).
Tingginya Angka Kejadian Gangguan Jiwa Halusinasi Di Jawa Barat dan Peran Perawat Dalam
Mengatasinya
Menurut undang-undang No 36 Tahun 2009 pasal 1 kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan,
jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial . Menurut UU kesehatan
Jiwa No.36 tahun 2014 Kesehatan Jiwa adalah suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan Fisik,
intelektual, emosional secara optimal dari seseorang dan perkembangan ini berjalan selaras dengan orang

lain Dari pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa manusia selalu dilihat sebagai kesatuan
yang utuh (holistik) dari unsur badan (organobiologi), jiwa (psiko edukatif), sosial (sosio kultural),
yang tidak dititik beratkan pada penyakit tetapi pada kualitas hidup yang dimilikinya yang terdiri dari
kesejahteraan dan produktifitas ekonomi serta kesehatan jiwanya.
Kesehatan jiwa mempunyai sifat yang harmonis (serasi), dan memperhatikan semua segi
kehidupan manusia dalam hubungannya dengan orang lain. Kesehatan jiwa adalah bagian yang tidak
terpisahkan (integral) dari kese

hatan dan unsur utama dalam menunjang terwujudnya
2

kualitas hidup manusia secara utuh. (Depkes RI,2002) . Masalah kesehatan jiwa mempunyai lingkup
yang sangat luas dan kompleks serta saling berhubungan satu dengan lainnya. Apabila individu tidak
mampu mempertahankan keseimbangan atau mempertahankan kondisi mental yang sejahtera, maka
individu tersebut akan mengalami gangguan, dan apabila gangguan tersebut secara psikologis maka akan
mengakibatkan individu mengalami gangguan jiwa. Dari berbagai penyelidikan dapat dikatakan bahwa
gangguan jiwa adalah kumpulan dari keadaan-keadaan yang tidak normal,baik yang berhubungan dengan
fisik,maupun yang mental (Yosef,iyus,2009:77)
Menurut Dadang hawari dalam bukunya pendekatan holistik pada gangguan jiwa menyebutkan
bahwa salah satu bentuk gangguan jiwa yang terdapat diseluruh dunia adalah gangguan jiwa Skizofrenia

dan salah satu jenis Skizofrenia adalah Skizofrenia Paranoid Berdasarkan data laporan insiden kasus
gangguan jiwa yang dirawat di rumah sakit jiwa Provinsi Jawa Barat Priode bulan Januari sampai April
2011 dapat dilihat pada table Berikut :
Tabel 1.1 Distribusi Frekuensi Penyakit Gangguan Jiwa Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa
Barat Periode Bulan Januari-April 2011
No

Jenis Gangguan Jiwa

Jumlah

Persentase

1
2
3
4

Schizofrenia Hebefrenik
Schizofrenia Paranoid

Schizofrenia Residual
Episode Depresi; Gangguan Suasana

(orang)
277
261
115
95

(%)
30 %
28 %
13 %
10 %

5
6
7

Perasaan YTT

Gangguan Psikosa Akut dan Sementara
Schizofrenia YTT
Episode Manik dan Gangguan Afektif

77
30
22

8%
3%
2%

8

Bipolar
Gangguan Mental dan Perilaku Akibat

18

2%


9

Zat Psikoaktif
Gangguan Anxietas Fobik; Gangguan

14

2%

10

Anxietas Lainnya
Gangguan Psikotik

13

2%

922


100%

Non

Organik

Lainnya
Total

Sumber : Laporan Diagnosa Penyakit Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat
Periode Januari-April 2011
3

Data diatas menunjukan persentase penyakit gangguan jiwa dari jumlah 922 orang yang dirawat dirumah
RSJ provinsi Jawa Barat. Kasus Skizofrenia Paranoid menduduki urutan kedua sebanyak 261 orang
(28%) dari 10 besar gangguan jiwa yang ada dirumah sakit jiwa Provinsi Jawa Barat. Maka dapat
diketahui bahwa Skizofrenia Paranoid memiliki prevalensi yang cukup besar.Salah satu faktor
pendukung timbulnya Skizofrenia Paranoid adalah mengalami gangguan sensori persepsi.. Gangguan
sensori persepsi adalah ketidakmampuan individu dalam mengidentifikasi stimulus sesuai dengan

informasi yang diterima melalui panca indra. Gangguan sensori persepsi ditandai oleh adanya halusinasi,
yaitu individu menginterpretasikan sesuatu yang tidak ada stimulus dari lingkungan. Tabel dibawah ini
menjelaskan angka kejadian Gangguan sensori persepsi halusinasi di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa
Barat :
Tabel 1.2 Daftar Distribusi Diagnosa Keperawatan Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat
Periode Bulan Januari-April 2011
No
1
2
3
4
5
6
7

Diagnosa Keperawatan
Gangguan sensori persepsi halusinasi
Isolasi sosial
Perilaku kekerasan
Waham

Harga diri rendah
Defisit perawatan diri
Resiko bunuh diri
Total

Jumlah (orang)
8922
1823
1799
902
647
446
194

Persentase (%)
61 %
12 %
12 %
6%
5%

3%
1%

14810

100%

Sumber : Catatan Rekam Medik RSJ Prov. Jawa Barat Periode Januari-April 2011
Berdasarkan data tabel 1.2 diatas diagnosa keperawatan jiwa Gangguan Sensori Persepsi berada pada
tingkat Pertama sebanyak 8922 orang (61%). gangguan sensori persepsi halusinasi Berdampak langsung
pada permasalahan dalam pemenuhan kebutuhan dasar klien itu sendiri seperti : gangguan kebutuhan
nutrisi, kebutuhan istirahat tidur, kebutuhan personal hygine, kebutuhan rasa aman, komunikasi,
sosialisasi, spiritual dan aktualisasi diri.oleh karena itu peran perawat dalam membantu pasien dalam
memenuhi kebutuhannya. Perawat harus mampu melakukan pendekatan pada klien khususnya klien
sebagai manusia yang utuh yang meliputi aspek bio-psiko-sosiak-spritual melalui proses keperawatan
yang komprenshif, dan perawat harus memiliki kemampuan dan tekhnik komunikasi terapeutik dalam
membina hubungan saling percaya dengan pasien yang merupakan dasar utama dalam melakukan asuhan
keperawatan
B. Tujuan
4

1. Tujuan umum
Penulis mampu mempeloleh pengalaman secara nyata dan mampu melaksanakan asuhan
keperawatan yang komprehensif meliputi Bio, Psiko, Soisial, dan Spiritual pada klien dengan
gangguan sensori persepsi halusinasi pendengaran.
2. Tujuan kusus
Penulis diharapkan mampu :
a. Melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan sensori persepsi :
halusinasi pendengaran.
b. Menentukan diagnosa keperawatan pada pasien dengan gangguan persepsi sensori :
halusinasi pandengaran
c. Menyusun rencana asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan sensori persepsi :
halusinasi pendengaran.
d. Melakukan tindakan keperawatan pada pasien dengan gangguan persepsi sensori :
halusinasi pandengaran
e. Melakukan evaluasi asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan persepsi sensori :
f.

halusinasi pandengaran
Mendokumentasikan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan persepsi

sensori : halusinasi pandengaran.
C. Metode Poenulisan
Dalam penulisan laporan kuliah lapangan ini, penulis m,enggunakan metode pengumpulan data
diantaranta :
1. Metode wawancara
2. Metode studi
3. Observasi
4. Sumber dan jenis data
D. Sistematika penulisan
BAB I. pendahuluan yang bersi latar belakang , tujuan penelitian, metode penelitian dan
sistematika penulisan. BAB II. Tinjauan teoritis yang bersisi tentang konsep dasar gangguan
sensori persepsi : halusinasi pendengaran. BAB III. Berisi tentang pembahasan kasus dan BAB
IV. Berisi kesimpulan dan saran.

5

BAB II
TINJAUAN TEORETIS

A.

Pengertian
Halusinasi adalah persepsi yang salah atau palsu tetapi tidak ada rangsangan yang
menimbulkannya atau tidak ada objek (Drs. Sunardi 2005)
Halusinasi adalah distorsi persepsi yang terjadi pada respon neurobiological yang maladaptif
(Stuart and Sundeen, 1998)
Halusinasi adalah persepsi tanpa adanya rangsangan apapun pada panca indera seorang
pasien yang terjadi dalam keadaan sadar/terbangun. (Maramis, hal 119)
Halusinasi adalah gangguan persepsi panca indra tanpa adanya rangsangan dari luar yang
dapat terjadi pada system penginderaan dimana pada saat kesadaran individu itu penuh dan
baik. (Wilson 1983)

6

Kesimpulannya Halusinasi adalah gangguan persepsi sensori tentang suatu objek atau
gambaran dan pikiran yang sering terjadi tanpa adanya rangsangan dari luar yang dapat
meliputi semua sistem penginderaan.

B.

Psikodinamika
a. Etiologi
Gangguan otak karena keracunan, obat halusinogenik, gangguan jiwa seperti emosi tertentu
yang dapat mengakibatkan ilusi, psikosisi yang dapat menimbulkan halusinasi dan pengaruh
sosial budaya, social budaya yang berbeda menimbulkan persepsi berbeda atau orang yang
berasal dari sosial budaya yang berbeda.
b. Proses
Halusinasi terjadi apabila yang bersangkutan mempunyai kesan tertentu tentang sesuatu,
padahal dalam kenyataan tidak terdapat rangsangan apapun atau tidak terjadi sesuatu apapun
atau bentuk kesalahan pengamatan tanpa objektivitas penginderaan tidak disertai stimulus
fisik yang adekuat.

C.

Jenis-jenis Halusinasi
Jenis-jenis halusinasi menurut Stuart dan Sundeen 1998 adalah :
1) Halusinasi pendengaran atau auditori
Halusinasi yang seolah-olah mendengar suara, paling sering suara orang. Suara dapat
berkisar dari suara yang sederhana sampai suara orang berbicara mengenai klien, klien
mendengar orang sedang membicarakan apa yang sedang dipikirkan oleh klien dan
memerintah untuk melakukan sesuatu dan kadang-kadang melakukan hal yang
berbahaya.
2) Halusinasi penglihatan atau visual
Halusinasi yang merupakan stimulus penglihatan dalam bentuk pancaran cahaya,
gambaran geometris, gambar kartun dan panorama yang luas dan kompleks. Penglihatan
dapat berupa sesuatu yang menyenangkan.
3) Halusinasi Penciuman atau olfaktori
Halusinasi yang seolah-olah mencium bau busuk, amis atau bau yang menjijikan seperti
darah, urine atau feses. Halusinasi penciuman khususnya berhubungan dengan stroke,
tumor, kejang dan dimensial.
4) Halusinasi Pengecap
Halusinasi yang seolah-olah merasakan sesuatu yang busuk, amis dan menjijikan seperti
darah, urine dan feses.
5) Halusinasi peraba atau tartil
Halusinasi yang seolah-olah mengalami rasa sakit atau tidak enak tanpa stimulasi yang
terlihat . merasakan sensasi listrik datang dari tanah, benda mati atau orang lain.
7

D.

Tahap halusinasi
Menurut tim kesehatan jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tahap-tahap
halusinasi, karakteristik dan perilaku yang ditampilkan oleh klien yang mengalami halusinasi
adalah

Tahap

Karakteristik

Tahap I




Memberi nyaman


umum halusinasi
merupakan suatu
kesenangan.



Tersenyum atau tertawa

ketakutan
Mencoba berfokus pada



sendiri
Menggerakkan bibir tanpa

pikiran yang dapat





suara
Pergerakan mata yang cepat
Respon verbal yang lambat
Diam dan berkonsentrasi



Terjadi peningkatan denyut

kesepian, rasa bersalah dan

tingkat ansietas
sedang secara

(non verbal)
Mengalami ansietas,

Perilaku Klien



menghilangkan ansietas
Pikiran dan pengalaman
sensori masih ada dalam
kontrol kesadaran

Tahap II



Menyalahkan
Tingkat
kecemasan
secara

Pengalaman sensori



menakutkan
Merasa dilecehkan oleh


tekanan darah
Perhatian dengan lingkungan



pengalaman sensori tersebut
Mulai merasa kehilangan

berkurang
Konsentrasi



kontrol
Menarik diri dari orang lain




pengalaman sensorinya
Kehilangan
Kemampuan

berat
umum

halusinasi
menyebabkan rasa
antipati



jantung,

pernafasan

membedakan

dan

terhadap

halusinasi

dengan realitas.

8

Tahap III



Klien menyerah dan




Mengontrol
Tingkat




kecemasan berat
Pengalaman

sensorinya (halusinasi)
Isi halusinasi menjadi

sensori



atraktik
Kesepian bila pengalaman

(halusinasi)

menerima pengalaman

tidak

sensori berakhir




Perintah halusinasi ditandai
Sulit berhubungan dengan



orang lain
Perhatian dengan lingkungan
kurang atau hanya beberapa



detik
Tidak mampu mengikuti
perintah dari perawat,

dapat ditolak

tampak termor dan
berkeringat.
Tahap IV


Menguasai tingkat



Pengalaman sensori menjadi



mengancam
Halusinasi dapat menjadi

kecerdasan, panic

beberapa jam atau beberapa

secara umum,

hari

diatur dan




Perilaku panik
Potensial untuk bunuh diri



atau membunuh
Tindak kekerasan agitasi,



menarik atau katatonik
Tidak mampu merespon
terhadap lingkungan.

dipengaruhi oleh
halusinasi.

9

E.

Rentang Respon

● Pikiran logis
● Persepsi akurat
● Emosi konsisten
● Perilaku social
● Hubungan social

● Pikiran terkadang menyimpang
● Ilusi
● Emosional berlebihan/ dengan
pengalaman kurang
● Perilaku ganjil
● Menarik diri

● Kelainan pikiran
● Halusinasi
● Tidak mampu
mengatur emosi
● Ketidakteraturan
● Isolasi social

Keterangan gambar :
a. Respon adaptif adalah respon yang dapat diterima oleh norma- norma sosial budaya yang
berlaku. Dengan kata lain individu tersebut dalam batas normal jika menghadapi suatu
masalah akan dapat memecahkan masalah tersebut. Respon adaptif meliputi :
1) Pikiran Logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan.
2) Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan.
10

3) Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan yang timbul dari pengalaman ahli.
4) Perilaku sosial adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam batas kewajaran.
5) Hubungan sosial adalah proses suatu interaksi dengan orang lain dan lingkungan.
b. Respon psikososial meliputi :
1) Prosep pikir terganggu adalah proses pikir yang menimbulkan gangguan.
2) Ilusi adalah miss interpretasi atau penilaian yang salah tentang penerapan yang benarbenar terjadi (objek nyata) karena rangsangan panca indera.
3) Emosi berlebihan atau berkurang.
4) Perilaku tidak biasa adalah sikap dan tingkah laku yang melebihi batas kewajaran.
5) Menarik diri yaitu percobaan untuk menghindar interaksi dengan orang lain.
c. Respon Maladaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan masalah yang menyimpang
dari norma-norma social budaya dan lingkungan, adapun respon maladaptif ini meliputi :
1) Kelainan pikiran adalah keyakinan yang secara kokoh dipertahankan walaupun tidak
diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan kenyataan sosial.
2) Halusinasi merupakan persepsi sensori yang salah atau persepsi eksternal yang tidak
realita atau tidak ada.
3) Kerusakan proses emosi adalah perubahan sesuatu yang timbul dari hati.
4) Perilaku tidak terorganisir merupakan suatu perilaku yang tidak teratur.
5) Isolasi sosial adalah kondisi kesendirian yang dialami yang dialami oleh individu dan
diterima sebagai ketentuan oleh orang lain dan sebagai suatu kecelakaan yang negatif
mengancam.

F.

Faktor Predisposisi
a. Biologis
Abnormalitas yang menyebabkan respon neurobiologi yang maladaptif termasuk hal-hal
berikut :
Penelitian pencitraan otak yang menunjukan keterlibatan otak yang lebih luas dalam
perkembangan skizofrenia, lesi pada area frontal, temporal dan limbic.
Beberapa kimia otak dikaitkan dengan skizofrenia seperti dopamine neurotransmitter
yang berlebihan dan masalah pada respon dopamine.
b. Psikologis
Teori psikodinamika yang menggambarkan bahwa halusinasi terjadi karena adanya isi alam
tidak sadar yang masuk alam sadar sebagai suatu respon terhadap konflik psikologis dan
kebutuhan yang tidak terpenuhi, sehingga halusinasi merupakan gambaran dan rangsangan
keinginan dan ketakutan yang dialami oleh klien.
c. Sosial Budaya
Stress yang menumpuk dapat menunjang terhadap awitan skizofrenia dan gangguan psikotik
lain tetapi diyakini sebagai penyebab utama gangguan. Seseorang yang merasa tidak diterima
11

lingkungannya sejak bayi ( unwanted child ) akan merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak
percaya pada lingkungannya.
d.

Perkembangan
Tugas perkembangan klien terganggu, misalnya rendahnya kontrol dan kehangatan keluarga
menyebabkan klien tidak mampu mandiri sejak kecil, mudah frustasi, hilang percaya diri dan
lebih rentan terhadap stress

e. Biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya stress yang berlebihan
dialami seseorang maka di dalam tubuh akan dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat
halusinogenik neurokimia, seperti Buffofenon dan Dimetytranferase

( DMP ). Akibat

stress berkepanjangan menyebabkan teraktivasinya neurotransmitter otak. Misalnya terjadi
ketidakseimbangan acetylcholine dan dopamine.
f.

Genetik dan Pola Asuh
Penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang diasuh oleh orangtua skizofernia cenderung
mengalami skizofrenia. Hasil studi menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan
hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini

G.

Faktor Presipitasi
a. Biologi
Stressor biologi yang berhubungan dengan respon neurobiologi yang maladaptif, termasuk
gangguan dalam putaran umpan balik otak yang mengatur proses informasi dan abnormalisasi
pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang mengakibatkan ketidak mampuan untuk
selektif menghadapi rangsangan.
b. Stress Lingkungan
Secara biologis menetapkan ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap
stressor lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.
c. Pemicu Gejala
Pemicu yang biasanya terdapat pada respon neurobiologi yang maladaptif berhubungan
dengan kesehatan (gizi buruk, infeksi), lingkungan rasa bermusuhan/lingkungan yang penuh
kritik, gangguan dalam hubungan interpersonal , sikap dengan peilaku (keputusasaan,
kegagalan).
d. Perilaku
Respons klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakuatan, perasaan tidak aman,
gelisah dan bingung, perilaku merusak diri, kurang perhatian, tidak mampu mengambil

12

keputusan serta tidak dapat membedakan keadaan nyata dan tidak nyata. Menurut Rawlins
dan Heacock, 1993 mencoba memecahkan masalah halusinasi berlandaskan atas hakikat
keberadaan seorang indivudu sebagai makhluk yang dibangun atas dasar unsur-unsur biopsiko-sosio-spiritual sehingga halusinasi dapat dilihat dari lima dimensi, yaitu :
1. Dimeni Fisik
Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan yang luar
biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium, intoksikasi alkohol dan
kesulitan untuk tidur dalam waktu yang lama.
2. Dimensi Emosional
Perassan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat diatasi merupakan
penyebab halusinasi itu terjadi. Isi dari halusinasi dapat berupa perintah memaksa dan
menakutkan. Klien tidak sanggup lagi menentang perintah tersebut hingga dengan
kondisi tersebut klien berbuat sesuatu terhadap ketakutan tersebut.
3. Dimensi Intelektual
Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa indivudu dengan halusinasi akan
memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada awalnya halusinasi merupakan usaha
dari ego sendiri untuk melawan impuls yang menekan, namun merupakan suatu hal yang
menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tak jarang
akan mengontrol semua perilaku klien.
4. Dimensi Sosial
Klien mengalami gangguan interaksi sosial dalam fase awal dan comforting, klien
menganggap bahwa hidup bersosialisasi di alam nyata sangat membahayakan. Klien
asyik dengan halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat untuk memenuhi
kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri dan harga diri yang tidak didapatkan dalam
dunia nyata. Isi halusinasi dijadikan sistem kontrol oleh individu tersebut, sehingga jika
perintah halusinasi berupa ancaman, dirinya atau orang lain individu cenderung untuk itu.
Oleh karena itu, aspek penting dalam melaksanakan intervensi keperawatan kien dengan
mengupayakan suatu proses interaksi yang menimbulkan pengalaman interpersonal yang
memuaskan, serta mengusahakan klien tidak menyendiri sehingga klien selalu
berinteraksi dengan lingkungannya dan halusinasi tidak berlangsung.
5. Dimensi Spiritual
Secara spiritual klien halusinasi mulai dengan kehampaan hidup, rutinitas tidak
bermakna, hilangnya aktivitas ibadah dan jarang berupaya secara spiritual untuk
menyucikan diri. Irama sirkandiannya terganggu, karena ia sering tidur larut malam dan
bangun sangat siang. Saat terbangun merasa hampa dan tidak jelas tujuan hidupnya. Ia
sering memaki takdir tetapi lemah dalam upaya menjemput rejeki, menyalahgunakan
lingkungan dan orang lain yang menyebabkan takdirnya memburuk.
13

H.

Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Sangat penting untuk mengkaji perintah yang diberikan lewat isi halusinasi klien. Karena
mungkin saja klien mendengar perintah menyakiti orang lain, membunuh atau loncat jendela.
Hasil riset Junginger tentang isi halusinasi dapat dijelaskan sebagai berikut :
command hallucinations must be assessed sarefully, because the voices may command the
person to hurt self or others. For example, a client might state that “ the voices “ are telling to “
jump out the window “ or “ take a knife dan kill my child “. Command hallucinations are often
terrifiying for the individual. Command hallucinations may signal psychiatric emergency. (
Junginger dalam Varcarolis, 2006 : 393 )
Membina Hubungan Saling Percaya dengan Pasien
Tindakan pertama dalam melakukan pengkajian klien dengan halusinasi adalah membina
hubungan saling percaya, sebagai berikut :
Awali pertemuan dengan selalu mengucapkan salam. Misalnya :
Assalamualaikum,selamat pagi/siang/malam atau sesuai dengan konteks agama pasien.
Berkenalan dengan pasien. Perkenalkan nama lengkap dan nama panggilan perawat
termasuk peran, jam dinas, ruangan, dan senang dipanggil dengan apa. Selanjutnya
perawat menanyakan nama klien serta senang sipanggil dengan apa.

Buat kontrak asuhan. Jelaskan pada pasien tujuan kita merawat klien, aktivitas apa yang
akan dilaksanakan dan berapa lama akan dilaksanakan aktivitas tersebut.
Bersikap empati yang ditunjukkan dengan : mendengarkan keluhan pasien dengan penuh
perhatian, tidak membantah dan tidak menyokong halusiansi paien, segera menolong
pasie jika pasien membutuhkan perawat.
Mengkaji Data Objektif dan Subjektif
Di rumah sakit jiwa Indonesia, sekitar 70% halusinasi yang dialami pasien gangguan jiwa
adalah halusinasi suara, 20% halusinasi penglihatan dan 10% halusinasi penciuman,
pengecapan dan perabaan. Mengkaji halusinasi dapat dilakukan dengan mengobservasi
perilaku pasien dan menanyakan secara verbal apa yang sedang dialami oleh pasien.
Berikut ini jenis-jenis halusinasi dengan cara mengbservasi perilaku pasien, memeriksa,
mengukur, sedangkan sata subjektif didapatkan dengan cara wawancara, curahan hati,

14

ungkapan-ungkapan klien, apa-apa yang dirasakan dan didengar klien secara subjektif.
Data ini ditandai dengan “ klien menyatakan atau klien merasa “.
o

Adapun Manifestasi Klinis halusinasi menurut Videback ( 2004 : 310 ) sebagai berikut :

Jenis Halusinasi
Halusinasi pendengaran

Data subjektif
 Mendengar suara



Data Objektif
Mengarahkan telinga

sesuatu yang berbahaya.
 Mendengar suara atau



pada sumber suara.
Bicara atau tertawa

bunyi
 Mendengar suara yang



sendiri.
Marah-marah tanpa

mengajak bercakap-





sebab.
Menutup telinga.
Mulut komat-kamit.
Ada gerakan tangan.



Tatapan mata pada



tempat tertentu.
Menunjukkan kearah



tertentu.
Ketakutan pada objek

(auditory-hearing voices or
sounds)

menyuruh melakukan

cakap.
 Mendengar seseorang
yang sudah meninggal.
 Mendengar suara yang
mengancam diri klien
atau orang lain atau suara
lain yang
membahayakan.
Halusinasi pengihatan



(visual-seeing persons or

Melihat seseorang yang
sudah meninggal,

things)

melihat makhluk
tertentu, melihat
bayangan, hantu atau

yang dilihat.

sesuatu yang
menakutkan, cahaya.
Monster yang memasuki
Halusinasi penciuman



(olfactory-smelling odors)



perawat.
Mencium sesuatu, seperti



Ekspresi wajah seperti

bau mayat, darah, bayi,

mencium sesuatu dengan

feces, atau bau masakan,

gerakan cuping hidung,

parfum yang

mengarahkan hidung

menyenangkan.
Klien sering mengatakan

pada tempat tertentu.

15



mencium bau sesuatu.
Tipe halusinasi ini sering
menyertai klien
demensia, kejang atau

Halusinasi perabaan



(tactile-feeling bodily
sensations)



penyakit serebrovaskular.
Klien mengatakan ada



Mengusapkan,

sesuatu yang

menggaruk, meraba-raba

menggerayangi tubuh,

permukaan kulit. Terlihat

seperti tangan, binatang

menggerak-gerakan

kecil, makhluk halus.
Merasakan sesuatu di

badan seperti merasakan
suatu rabaan.

permukaan kulit,
merasakan sangat panas
atau dingin, merasakan
tersengat aliran listrik.
Halusinasi pengecapan



(gustatory-experiencing
tastes)

Cenesthetic & Kinestetic
hallucinations



Klien seperti sedang



Seperti mengecap

merasakan makanan

sesuatu. Gerakan

tertentu atau mengunyah

mengunyah,meludah atau

sesuatu.

muntah.

Klien melaporkan bahwa



Klien terlihat menatap

fungsi tubuhnya tidak

tubuhnya sendiri dan

dapat terdeteksi,

terlihat merasakan

misalnya tidak adanya

sesuatu yang aneh tentang

denyutan di otak atau

tubuhnya.

sensasi pembentukan
urine dalam tubuhnya,
perasaan tubuhnya
melayang di atas bumi.

Mengkaji Waktu, Frekuensi dan Situasi Munculnya Halusinasi
Perawat juga perlu mengkaji waktu, frekuensi dan situasi munculnya halusinasi yang
dialami oleh pasien. Hal ini dilakukan untuk menentukan intervensi khusus pada waktu
terjadinya halusinasi, menghindari situasi yang menyebabkan munculnya halusinasi.
16

Sehingga pasien tidak larut dengan halusinasinya. Dengan mengetahui frekuensi terjadinya
halusinasi dapat direncanakan frekuensi tindakan untuk mencegah terjadinya halusinasi.
Mengkaji Respons terhadap Halusinasi
Untuk mengetahui dampak halusinasi pada klien dan apa respons klien ketika halusinasi
itu mucul, perawat dapat juga menanyakan kepada keluarga atau orang terdekat dengan klien.
Selain itu, dapat juga dengan mengobservasi dampak halusinasi pada pasien jika halusiasi
timbul.
Mekanisme Koping
Perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi diri sendiri dari pengalaman yang
menakutkan berhubungan dengan respon neurobiology termasuk
a. Regresi, menghindari stress, kecemasan dan menampilkan perilaku kembali seperti pada
perilaku perkembangan anak atau berhubungan dengan masalah proses informasi dan
upaya untuk menanggulangi ansietas
b. Proyeksi, keinginan yang tidak dapat ditoleransi, mencurahkan emosi pada orang lain
karena kesalahan yang dilakukan diri semdiri (sebagai upaya untuk menjelaskan
kerancuan persepsi)
c. Menarik diri, reaksi yang ditampilkan dapat berupa reaksi fisik maupun psikologis, reaksi
fisik yaitu individu pergi atau lari menghindar sumber stressor, misalnya menjauhi polusi,
sumber infeksi,gas beracun dll, sedangkan reaksi psikologis individu menunjukan
perilaku apatis, mengisolasi diri, tidak berminat, sering disertai rasa takut dan
bermusuhan.

17

2. Intervensi
PERENCANAAN
TGL

DX
TUJUAN

1

KRITERIA

INTERVENSI

EVALUASI
4
Setelah …, pertemuan

5
SP. 1 (Tgl … … … … … )

Mengenali

pasien dapat



halusinasi yang

menyebutkan :

dialaminya
Mengontrol






halusinasinya
Mengikuti

2
Gangguan

3
Pasien mampu :

Sensori



Persepsi
Halusinasi

halusinasi :
o Isi
o Waktu terjadinya
o Frekuensi
o Situasi Pencetus
o Perasaan saat

Isi, waktu,
frekuensi, situasi



program

pencetus, perasaan
Mampu
memperagakan

pengobatan

cara dalam

secara optimal

mengontrol

Bantu pasien mengenal



terjadi halusinasi
Latih mengontrol halusinasi
dengan cara menghardik
Tahapan tindakannya

halusinasi

meliputi :
o Jelaskan cara
o

menghardik halusinasi
Peragakan cara

o

menghardik halusinasi
Minta pasien

o

memperagakan ulang
Pantau penerapan cara
ini, beri penguatan

o

perilaku pasien
Masukkan dalam
jadwal kegiatan pasien.

Setelah …. , Pertemuan

SP. 2 (Tgl … … … … …)

pasien mampu :





Menyebutkan



kegiatan yang


sudah dilakukan
Memperagakan
cara bercakapcakap dengan
orang lain

Evaluasi kegiatan yang lalu
(SP 1)
Latih berbicara/ bercakap
dengan orang lain saat



halusinasi muncul
Masukkan dalam jadwal
kegiatan pasien

Setelah …., Pertemuan

SP. 3 (Tgl … … … … …)

pasien mampu :





Menyebutkan



kegiatan yang

halusinasi tidak muncul
Tahapannya:
o Jelaskan pentingnya

sudah dilakukan


Evaluasi kegiatan yang lalu
(SP 1 & SP 2)
Latih kegiatan agar

dan,
Membuat jadwal

aktivitas yang teratur

kegiatan sehari-

untuk mengatasi

hari dan mampu
o

memperagakannya

halusinasi.
Diskusikan aktivitas
yang biasa dilakukan

o

oleh pasien
Latih pasien melakukan

o

aktivitas
Susun jadwal aktifitas
sehari-sehri sesuai
dengan aktifitas yang
telah dilatih (dari
bangun pagi sampai

o

tidur malam)
Pantau pelaksaan
jadwal kegiatan,
berikan penguatan
terhadap perlaku pasien
yang (+)

Setelah …. Pertemuan

SP. 4 (Tgl … … … … …)

pasien mampu :





Menyebutkan



Evaluasi kegiatan yang
(SP.2 &3)
Tanyakan program



pengobatan
Jelaskan pentignya

kegiatan yang


sudah dilakukan
Menyebutkan

penggunannya obat pada

manfaat dari
program



gangguan jiwa.
Jelaskan akibat bila tidak



digunakan sesuai program
Jelaskan akibat bila putus

pengobatan.

obat



Jelaskan cara mendapatkan





obat/berobat
Jelaskan pengobatan (5 B)
Latih pasien minum obat
Masukan dalam jadwal
harien pasien.

Keluarga mampu :

Setelah ….., pertemuan

SP. 1 (Tgl … … … … …)

Merawat Pasien di

Keluarga mampu



rumah dan menjadi

menjelaskan tentang

sistem pendukung

halusinasi

keluarga dalam merawat


yang efektif untuk

Identifikasi masalah
pasien.
Jelaskan tentang
halusinasi :
o Pengertian

pasien.

o

halusinasi
Jenis halusinasi

o

yang dialami pasien
Tanda dan gejala

o

halusinasi
Cara merawat
pasien halusinasi
( cara
berkomunikasi
pemberian obat dan
pemberian aktivitas

o

kepada pasien)
Sumber-sumber
pelayanan
kesehatan yang bisa

o

dijangkau
Bermain peran cara

o

merawat
Rencana tindak
lanjut keluarga,
jadwal keluarga
untuk merawat
pasien

Setelah …,Pertemuan

SP. 2 (Tgl … … … … … …)

keluarga mamapu :





Menyelesaikan

Evaluasi kemampuan
keluarga (SP. 1)



kegiatan yang



Latih Keluarga merawat

sudah dilakukan
Memperagakan



pasien
RTL keluarga/ jadwal

cara merawat

keluarga untuk merawat

pasien

pasien

Setelah …, Pertemuan

SP. 3 (Tgl … … … … … …)

Keluarga mampu :



Evaluasi kemampuan




keluarga (SP.2)
Latih Keluarga merawat
RTL keluarga/ jadwal



Menyebutkan
kegiatan yang



sudah dilakukan
Memperagakan

keluarga untuk merawat
pasien

cara merawat
pasien serta
mampu membuat
RTL
Setelah …, Pertemuan

SP. 4 (Tgl … … … … … …)

Keluarga mampu :





Menyebutkan
kegiatan yang



sudah dilakukan
Melaksanakan
follow up rujukan




Evaluasi kemampuan
keluarga
Evaluasi kemampua pasien
RTL Keluarga :
o Follow Up
o Rujukan