Politik Partai Dan Kaum Muda

Politik Partai Dan Kaum Muda
Oleh: Muhammad Rafiq

Indonesia merupakan negara yang demokrasi yang berasaskan pancasila. Parpol
sebagai organisasi jembatan antara kepentingan rakyat dan pemerintah menempatkan
dirinya sebagai sebagai organisasi yang berpengaruh. Berbagai diskursus tentang
peranan partai politik misalnya Miriam Budihardjo, Jimli Asshiddiqie, Sigit Pamungkas
dalam bukunya Partai Politik: Teori dan Praktik di Indonesia, semuanya mengarah pada
peranan parpol sebagai organisasi yang penting dalam proses berjalannya demokrasi
di Indonesia.

Kehadiran partai politik dalam era demokrasi tidak bisa di hindari. Perwujudan hakhak berserikat dan berpendapat selalu dikaitkan dengan kehadiran partai politik.
Kehidupan orang-orang seperti ini senantiasa beraktivitas yang berkaitan dengan
kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurut Mifta Thoha (2011) mereka adalah
orang-orang yang nantinya bisa membentuk Cognitife Maps. Cognitife maps
merupakan pondasi dasar mentalitas seseorang yang menentukan sikap apa yang
akan diputuskan, melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Selanjutnya Mifta Thoha
(2011) mengatakan bahwa orang-orang yang tidak mempunyai Cognitfe Maps sama
halnya orang tersebut tidak mempergunakan hak kemerdekannya.

Dalam konteks politik kepemudaan, Cognitife Maps harus dimiliki seorang pemuda

dalam melakukan kerja-kerja politik. Keputusan politik pemuda tidak bisa disamakan
dengan keputusan politik para politisi partai. Menurut pengamatan penulis, perbedaan
ini dibagi dalam dua jenis politik, yaitu politik partai dan politik kepemudaan.

Pertama, Politik partai kental dengan praktek-praktek politik praktis. Dalam hal ini,
praktis yang dimaksud bukan terfokus pada sesuatu yang mudah didapatkan. Menurut
Kart dan Hadiz dalam penelitiannya mengatakan bahwa karakter partai politik di
Indonesia selalu menggunakan dana untuk mencapai akses ke sektor publik. Hal ini
bisa dimaknai bahwa politik partai bergantung pada kekuatan dana untuk bisa berperan
aktif dalam politik nasional.

Kedua, politik kepemudaan selalu dilekatkan bagaimana peranan sebagai kaum
intelektual. Aulia Kosasih dan M. Ilyas menggambarkan bahwa politik pemuda adalah
politik nilai. Politik nilai mengedepankan ideologi dan pondasi akhlakul kharimah dalam
berpolitik. Maksudnya adalah pemuda bertindak berdasarkan nilai-nilai yang dianutnya
menurut ajaran agama dan organisasi. Dalam ajaran agama, sesuatu yang didapatkan
untuk kepentingan pribadi, kelompok, dan menjatuhkan orang dalah hal yang tidak baik
untuk dilakukan.

Kedua jenis politik ini semakin berkembang bahkan keduanya telah bekerjama

secara diam-diam dan terang-terangan. Politik praktis sudah menjadi gaya politik

pemuda dalam bertindak memperjuangkan kepentingan. Untuk memuluskan jalan
tersebut, kekuatan dana menjadi tolak ukur kekuatan seseorang. Semakin kuat dana,
maka dia semakin besar peluang untuk berkuasa. Misalnya dalam kontes perebutan
kursi pimpinan. Para kandidat mendapatkan suara berdasakan kontrak politik nominal
per-suara atau per-organisasi. Biasanya nominal ditetapkan mulai dari 1 juta hingga 7
juta. Selain itu juga, dalam pilkada, seringkali partai memakai mahasiswa sebagai tim
sukses atau sekedar menjadi tim peluru meraut massa atau suara dikampus-kampus.
Berbagai praktek politik partai bermunculan bahkan tersembunyi agar tidak dikehatui
keberadaan aktornya. Hal seperti ini menjadi bukti penelitian Kart dan Hadiz, karakter
politik partai sudah masuk dalam politik pemuda. Ini merupakan contoh bagaimana
politik praktis mengenyampingkan Cognitife Maps pemuda. Dalam sebuah buku yang
berjudul agama dan politik moral, Julien Benda mengatakan kaum intelektual yang
terlibat dalam politik praktis adalah pengkhianat. Julien Benda mencoba memperingati
kepada pemuda sebagai kaum intelektual bahwa politik praktis sangatlah tidak sesuai
dengan gaya berpolitik kaum intelektual.

Politik Partai dalam hal ini tidak bisa disalahkan. Perlunya pemuda kembali
memahami politik kaum muda sehingga bisa mencegah tindakan yang merusak

marwah kaum intelektual. Gagasan yang perlu bangkitkan kembali adalah menguatkan
Cognitife Maps pemuda disegala lini sektor gerakan yang berpondasi pada ajaran
agama dengan menyusun kembali agenda-agenda perubahan. Pertama, agenda
perubahan mitos. Pada kondisi kekinian, pemuda tidak boleh bergantung pada
kebesaran sejarahnya sendiri. Setiap siklus gerakan pemuda selalu menyesuaikan

dengan kondisi tanpa melunturkan pondasinya sendiri. Sejarah harus dijadikan sumber
inspirasi dan edukasi untuk agenda dimasa akan datang. Kedua, agenda perubahan
logos. Pemuda sebagai kaum intelektual harus dilegitimasi sebagai kaum bangsawan
pikiran. Budaya literasi, menulis, diskusi harus terus dijaga hingga menghasilkan karyakarya. Ketiga, agenda perubahan etos. Pemuda harus lebih progresif dalam
menghadapi segala tantangan global. Mengesampingkan kemalasan belajar dan
mengedepankan intelektual sebagai insan akademis, penciptan dan pengabdi.