Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Hal Terjadinya Kebakaran Lahan (Studi Putusan Nomor:228 Pid.Sus 2013 PN.PLW)

29

BAB II
BENTUK PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA OLEH KORPORASI

A. Korporasi Sebagai Subjek Hukum Pidana
1. Sejarah Korporasi Sebagai Subjek Hukum Pidana
Subjek Hukum adalah pihak yang melakukan suatu perbuatan hukum dan
mengakibatkan adanya akibat hukum dari perbuatan tersebut. Dalam hal ini subjek
hukum dapat dimintai pertanggung jawaban atas perbuatan hukum yang dilakukan.
Subjek hukum adalah setiap pembawa hak (recht, right) dan kewajiban (verplicht,
obligation) dalam hukum 36.
Asal mula korporasi sendiri masih jadi persoalan hingga sekarang, walau
masyarakat sendiri sudah hidup dalam suatu kelompok (group), persoalan itu masih
ada walau sudah dikenal perbedaan individu yang terlepas dari suatu kelompok dan
telah dikenal kedudukan seorang individu dalam sebuah kelompok. Pada zaman
dahulu perkembangan korporasi berupa pembentukan kelompok yang terjadi seperti
dalam masyarakat Asia Kecil, Yunani dan masyarakat Romawi 37. Pada abad
pertengahan ditandai dengan mulai menurunnya kekuasaan Romawi, perdaganganpun

36


Tan Kamello dan Syarifah Lisa Andriati, Hukum Perdata: Hukum Orang & Keluarga,
(Medan:USU Press,2011),Hal. 20.
37
Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum
Pidana,(Bandung:Sekolah Tinggi Hukum Bandung,1991),Hal 22

29
Universitas Sumatera Utara

30

mulai suram karena pada masa itu orang tidak mungkin melakukan suatu
perdagangan tanpa didukung oleh perlindungan militer dan tertib social.
Pada masa itu perkembangan korporasi di Eropa ditandai dengan adanya
Dewan Gereja yang dipengaruhi oleh Hukum Romawi. Gereja sebagai suatu
korporasi memberikan suatu sumbangan yang sangat besar terhadap “the concept of
thye

corporate


personality”

yakni

dalam

bentuk

“Kota

Praja”

yang

menyelenggarakan pemerintahan secara umum 38. Perkembangan korporasi pada
permulaan zaman modern dipengaruhi oleh bisnis perdagangan yang sifatnya
kompleks. Misalnya pada tahun 1599 dibentuklah “The English East India
Company”. Kemudian sebelumnya dibentuk juga beberapa usaha dagang seperti di
Rusia, dibentuk “The Muscovy Company” pada tahun 1555.

Amerika pada tahun 1795 tepatnya di North Carolina didirikan korporasi yang
pendiriannya didasarkan pada prinsip hukum yang berlaku pada waktu itu, dimana
bergerak pada bidang penyelenggaraa kepentingan umum. Prancis sendiri baru
memasukkan korporasi dalam kodifikasi “Code de Commerce” pada tahun 1807.
Nampaklah waktu yang berdekatan dan hubungannya sebagai suatu Negara yang
dikuasai Prancis akan tercermin dalam W.v.K Nederland, yang sistem dan isi
W.v.KNederland secara nyata mengacu pada “Code de Commerce” dan “Code de La
Marine”.

38

Ibid Hal 23

Universitas Sumatera Utara

31

Pada permulaan abad ke XVII terjadi perkembangan atas pengaruh semakin
meluasnya perdagangan pelayaran ke Indonesia dimana banyak yang menanamkan
modalnya pada perusahaan pelayaran dengan cara meminjamkan uang dengan sistem

kepercayaan (toevertrouwen). Tahun 1602 terbentuklah VOC yang terdiri atas
pengusaha-pengusaha dan pada saat inilah pertama kali terbentuk badan usaha yang
mempunyai bentuk N.V yang disebut dengan “Societe Anonyme” yang diatur dalam
Pasal 36 sampai Pasal 56 KUH Dagang 39. Kedua peraturan ini setelah Indonesia
merdeka mengalami perubahan dan diadakan pembaharuan yang disesuaikan dengan
situasi dan kondisi Indonesia merdeka. Namun, pada dasarnya tidak mengalami
perubahan yang prinsipal kecuali lebih disederhanakan prosedur kerjanya dengan
Undang-Undang No.3 Tahun 1954 L.N. Nomor 6 Tahun 1954 Jo Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1955 L.N Tahun 1955.
Perusahaan-perusahaan pemerintah yang modalnya sebagian atau ikut serta
dalam sebuah perusahaan terdapat pula dalam bentuk Perseroan Terbatas atau N.V.
yang tunduk pada hukum perdata dan dagang, antara lain PT. Jakarta Loyd dengan
Akta Notaris No. 81 Tahun 1851, PT.Pelayaran Nasional Indonesia (PELNI) dengan
Akta Notaris No. 92 Tahun 1952 dan lainnya. Akan tetapi perkembangan PT-PT
sangat menyedihkan dengan banyak mengalami kerugian-kerugian sehingga perlu
diadakan reorganisasi Perusahaan Negara dengan dikeluarkannya Undang-undang
Nomor 1 Prp Tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara, ditetapkan dengan

39


Ibid Hal 5

Universitas Sumatera Utara

32

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1969. Dalam pasal 1 menetapkan ada 3 bentu usaha
Negara yakni:
a. Perusahaan Jawatan (PERJAN)
b. Perusahaan Umum (PERUM)
c. Perusahaan Perseroan (PERSERO) 40
Korporasi tidak hanya bergerak di bidang kegiatan ekonomi saja, akan tetapi
sekarang ini ruang lingkupnya sudah mulai luas dan mencakup bidang pendidikan,
kesehatan, lingkungan, pemerintah dan perkembangan teknologi itu sendiri. Hal
inilah yang membuat pengaturan korporasi terus berkembang. Terutama pengaturan
hukumnya, harus terus berkembang karena perkembangan korporasi dari waktu ke
waktu sifatnnya dinamis.
2. Perkembangan Dan Perubahan Korporasi Sebagai Subjek Hukum
Pidana
Dalam


paham

konvensional,

subjek

hukum

meliputi

manusia

(natuurlijkpersoon) dan badan hukum (rechtspersoon). Hal ini menunjukkan bahwa
tidak hanya manusia yang mendapat posisi sebagai subjek hukum. Korporasi juga
telah mendapat pengakuan sebagai salah satu subjek hukum. Jadi manusia dan badan
hukum membawa hak dan kewajiban yang diberikan oleh hukum. Hak ialah
wewenang yang didapat oleh subjek hukum umtuk melakukan atau tidak melakukan

40


Ibid Hal 8

Universitas Sumatera Utara

33

suatu perbuatan hukum. Kewajiban merupakan pembebanan yang diberikan hukum
terhadap subjek hukum untuk melakukan sesuatu.
Hukum perdata mengenal subjek hukum sebagai pembawa hak untuk
melakukan suatu perbuatan hukum. Status subjek hukum diperoleh manusia pada saat
momentum ketika manusia itu dilahirkan (sudah merupakan kodrat) dan akan
berakhir ketika meninggal dunia 41. Dalam KUHPerdata telah mengatur mengenai
prinsip pengakuan manusia sebagai subjek hukum yakni Pasal 2 KUH Perdata yang
berbunyi;
“Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah
dilahirkan bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya. Mati sewaktu
dilahirkannya, dianggaplah ia tak pernah telah ada”. Hal ini berarti bahwa
hukum perdata mengakui keberadaan subjek hukum sekalipun subjek hukum
itu belum lahir ke duni ini, apabila ada kepentingan khusus. 42


Subjek hukum badan hukum sendiri merupakan suatu lembaga yang dibuat
oleh hukum serta mempunyai tujuan tertentu. Badan hukum tersebut memiliki
kekayaan yang terpisah dengan kekayaan anggotanya. Badan hukum hukum tersebut
juga memiliki hak dan kewajiban yang terpisah pulak dengan hak dan kewajiban
yang dimiliki oleh anggotanya.
Objek hukum itu sendiri merupakan segala sesuatu yang bermanfaat bagi
subjek hukum. Perolehan objek hukum ini sendiri berasal dari hubungan hukum yang

41
42

Ibid Hal 20.
KUH Perdata

Universitas Sumatera Utara

34

telah dilakukan terlebih dahulu oleh subjek hukum yang bersangkutan. Objek hukum

juga dikenai hak dan kewajiban subjek hukum. Simons mencampur unsur objektif
(perbuatan) dan unsur subjektif (pembuat). Yang disebut sebagai unsur objektif ialah:
a. Perbuatan orang
b. Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu
c. Ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan seperti itu dalam Pasal
281 KUHP yang sifatnya “openbaar” atau “di muka umum” 43.
Subjek Hukum Pidana Korporasi di Indonesia dikenal sejak tahun 1951, yakni
ada pada Undang-Undang Penimbunan Barang-Barang. Mulai dikenal secara luas
sejak muncul Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi (Pasal 15 ayat (1)), Pasal 49
Undang-Undang No. 9 Tahun 1976. Sehingga demikian korporasi sebagai subyek
hukum pidana hanya ditemukan dalam perundang-undangan khusus diluar KUHP
yang merupakan pelengkap KUHP, sebab untuk Hukum Pidana atau KUHP itu
sendiri masih menganut subyek hukum pidana secara umum yaitu manusia (Pasal 59
KUHP).
Dalam

perubahan

korporasi


menjadi

subyek

hukum

pidana masih

menimbulkan pertentangan. Adanya pro dan kontra dikarenakan ketidaksepahaman

43

Asep Supriadi, Kecelakaan Lalu Lintas Dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Dalam Perspektif Hukum Pidana Indonesia,(Bandung:PT.Alumni,2014),Hal.35

Universitas Sumatera Utara

35

tiap orang dalam memandang kedudukan korporasi itu sendiri. Adapun alasan pihak

yang tidak setuju jika korporasi dijadikan sebagai subyek hukum pidana ialah 44:
1. Masalah kejahatan yang berhubungan dengan kesengajaan dan kesalahan
hanya terdapat dalam person alamiah.
2. Tingkah laku materiil yang adalah syarat dapat dilakukannya pidana beberapa
delik, hanya dapat dilakukan oleh persona alamiah.
3. Pidana dan tindakan berupa perampasan kemerdekaan orang tidak dapat
dikenakan pada korporasi.
4. Dalam kenyataannya tidak mudah menentukan normas dan dasar hukum
untuk memutus apakah korporasi saja atau pengurus daja atau malah
keduanya yang harus dituntut dan dipidana.
Sedangkan pihak yang berpendapat setuju menempatkan korporasi sebagai
subyek hukum pidana menyatakan 45:
a. Dalam perkembangan di kehidupan social dan ekonomi, korporasi semakin
memainkan peran yang penting pula.
b. Dipidananya pengurus ternyata tidak cukup untuk mengadakan repressi
terhadap delik-delik yang dilakukan oleh korporasi.
c. Hukum pidana harus bisa melindungi masyarakat dan menegakkan norma
yang berlaku. Jika hanya berlaku pada manusia, maka tujuan itu tidak dapat
tercapai. Maka tidak ada alasan untuk menentang menjatuhkan pidana pada
korporasi.
d. Pidana pada korporasi merupakan upaya agar pengurus yang tidak bersalah
tidak serta merta harus bertanggungjawab atas perbuatan yang tidak
sepenuhnya mereka lakukan 46.
Namun, dalam kenyataannya sangat sulit menemukan kasus dimana dimuat
korporasi dijatuhi pidana. namun kedudukan badan hukum atau korporasi sebagai
subyek hukum pidana telah dimuat dalam suatu Putusan yakni Putusan Mahkamah
Agung Republik Indonesia tanggal 1 Maret 1969, Nomor 136/Kr/1966 dalam perkara

44

Ibid Hal. 40-41
Ibid Hal. 42
46
Muladi dan Dwidja Priyatno, Opcit, Hal 32
45

Universitas Sumatera Utara

36

PT.Kosmo dan PT.Sinar Sahara, yang menyatakan bahwa “suatu badan hukum tidak
dapat disita”. Menurut Prof. Muladi, pandangan Mahkamah Agung itu tepat, yakni
kedua perusahaan itu memang tidak dapat disita karena keduanya bukanlah barang
melainkan subyek hukum. Dengan kata lain Putusan Mahkamah Agung ini
menegaskan bahwa badan hukum atau korporasi adalah subyek hukum dalam hukum
pidana.
Penulisan skripsi ini berhubungan erat dengan Lingkungan Hidup. UU
Lingkungan hidup pun telah menempatkan korporasi sebagai subyek hukum tindak
pidana. Pasal 1 angka 32 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan bahwa “Orang adalah orang perorangan,
dan.atau kelompok orang, dan/atau badan hukum. Maka dalam proses penyidikan,
korporasi dapat diperikisa meliputi badan hukum itu sendiri, perseroan, perserikatan,
yayasan atau organisasi lainnya”,
Indonesia adalah negara yang telah mengalami proses modernisasi dengan
melihat sejarah dan perkembangan kedudukan korporasi dalam sistem hukum yang
berlaku. Hal ini memang sudah menjadi suatu keharusan. Glanville Williams dalam
bukunya

“Textbook

of

Criminal

Law”

yang

menyatakan

bahwa

dapat

dipertanggungjawabkannya korporasi berdasarkan utilitarian theory, dan semata-mata

Universitas Sumatera Utara

37

bukan berdasarkan asas “theory of justice” tetapi adalah untuk pencegahan
kejahatan 47.
B. Teori Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Ada beberapa teori tentang badan hukum. Teori tersebut diutarakan oleh
Curzon, diantaranya:
1. Teori Fiksi
Teori ini dikemukakan oleh Friedrich Carl Von Savigny yang mengatakan
bahwa badan hukum itu adalah fiksi. Badan hukum itu semata-mata buatan
negara saja.
a. Teori Harta Kekayaan Bertujuan
A.Brinz mengatakan bahwa pemisahan harta kekayaan badan hukum dengan
harta kekayaan anggota memiliki suatu tujuan tertentu. Dengan adanya
pemisahan harta kekayaan ini, menjadikan badan hukum merupakan subjek
hukum.
b. Teori Organ
Tokoh dari teori ini Otto Von Gierka yang menyatakan bahwa badan hukum
sama saja dengan manusia sebagai subjek hukum. Hal ini dikarenakan badan
hukum memiliki alat perlengkapan dan memiliki perantara untuk melakukan
suatu perbuatan hukum. Dimana perantaranya berupa pengurus, komisaris,
dan rapat anggota.
47

Ibid Hal 34

Universitas Sumatera Utara

38

c. Teori Kepemilikan bersama
Bahwa badan hukum tidak lain merupakan perkumpulan manusia yang ada
hak dan kewajiban anggota.
Keberadaan korporasi sebagai subjek hukum telah lama dikenal dalam sistem
hukum Indonesia. Konsep korporasi merupakan konsep dari stelsel hukum perdata.
Konsep korporasi sendiri telah mencakup hampir semua bidang hukum. Jika
berbicara dalam ranah administrasi negara, maka korporasi akan terkait dengan izin
dari pendirian korporasi itu. Misalnya dalam stelsel hukum Indonesia sendiri,
setiappendirian PT harus mendapat persetujuan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi
Manusia, dimana syarat itu diberlakukan agar kelayakannya dapat dikontrol 48.
Dalam hukum lingkungan, badan hukum diterima sebagai subjek hukum. Hal
ini telah diatur secara yuridis dalam Pasal 38 dalam Undang-Undang No. 23 Tahun
1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jadi , selain ranah administrasi negara,
hukum lingkungan juga menerima korporasi sebagai salah satu subjek hukum selain
manusia. Selain Undang-Undang tersebut masih banyak lagi komponen peraturan
perundang-undangan yang memuat korporasi sebagai subjek hukum yang diatur
penggunaan hak dan kewajibannya, dimana pelaksanaannya dilakukan oleh perangkat
korporasi
Korporasi merupakan subjek hukum dan dapat dikenai pertanggungjawaban
atas perbuatan yang dilakukan oleh korporasi. Hal ini terjadi ketika sebuah korporasi
48

H. Setiyono, Kejahatan Korporasi, (Malang:Bayumedia, 2005), Hal. 8

Universitas Sumatera Utara

39

terbukti melakukan kesalahan. Kesalahan tersebut kemudian menimbulkan akibat
yang harus dipertanggungjawabkan oleh korporasi layaknya seorang manusia. Ketika
korporasi melakukan perbuatan pidana yang mana mengakibatkan kerugian untuk
masyarakat luas, maka korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban pidana pula
layaknya subjek hukum yang lainnya.
Ada beberapa teori pertanggungjawaban pidana oleh korporasi yakni;
1. Doktrin Identifikasi
Negara Anglo Saxon mengenal konsep direct corporate criminal liability atau
doktrin pertanggungjawaban pidana langsung. Hal ini ada dalam rangka
pertanggungjawaban korporasi secara pidana. Menurut doktrin ini, perusahaan dapat
melakukan delik secara langsung melalui orang yang sangat berhubungan erat dengan
perusahaan dan dipandang sebagai perusahaan itu sendiri. Mereka tidak sebagai
pengganti dan oleh sebab itu pertanggungjawaban perusahaan tidak bersifat
pertanggungjawaban pribadi. Doktrin ini dikenal dengan istilah “The Identification
doctrine” atau doktrin identifikasi.
Suatu tindak pidana menurut “common law” atau “penal statute” yang tidak
dapat diterapkan terhadap sebuah perusahaan. Contohnya tindak pidana yang
memerlukan “mens rea”. Maka dikembangkan suatu sarana bagaimana mengaitkan
pikiran ini sehingga perusahaan secara pidana bertanggungjawab dalam masalah
tersebut. Perusahaan merupakan kesatuan buatan maka hanya dapat bertindak melalui

Universitas Sumatera Utara

40

agennya. Agen ini menurut Doktrin Identifikasi dianggap sebagai “directing mind”
atau “alter ego”. Bila individu diberi wewenang untuk bertindak atas nama dan
selama menjalankan bisnis perusahaan atau korporasi tersebut, maka “mens rea” para
individu merupakan “mens rea” perusahaan tersebut 49.
Perbuatan dan sikap batin orang tertentu dalam sebuah korporasi
berhubungan dengan korporasi dan pengelolaan urusan korporasi. Orang-orang
tertentu itu disebut sebagai “senior officers” dari perusahaan. Sehubungan dengan
hal itu, secara spesifik Peter Gillies menyatakan;
“More specifically, the criminal act and state of mind of the senior officer
may be treated as being the company’s own act or state of mind, so as to
create criminal liability in the company. The elements of an offence may be
collected from the conduct and mental states of several of its senior officers,
in appropriate circumstamces” 50
Adanya timbul kesalahan dari perbuatan/sikap batin pejabat senior merupakan
perbuatan/sikap batin perusahaan juga. Terkait dengan hal itu, Michael Allen
menyatakan bahwa korporasi hanya bertanggungjawab jika orang diidentifikasi
dengan korporasi, bertindak dalam ruang lingkup jabatannya ; korporasi tidak akan
bertanggungjawab atas perbuatan atas perbuatan yang dilakukan oleh orang itu dalam
kapasitas pribadinya.
Doktrin pertanggungjawaban langsung ini (direct liability doctrin) dapat
menuntut korporasi dalam kebanyakan delik. Pada sisi lain, doktrin ini membatasi

49
50

Dwidja Priyatno, Op.Cit. Hal 89
Ibid Hal 90

Universitas Sumatera Utara

41

pertanggungjawaban korporasi apabila kesalahan tersebut dilakukan oleh orang yang
tidak mempunyai status sebagai pejabat senior. Hal ini terkecuali jika UndangUndang menetapkan dasar pertanggungjawaban yang lain. Korporasi dapat
dipertanggungjawabkan dalam situasi yang ditetapkan oleh Undang-Undang secara
tegas dan implisit. Pejabat senior dipandang mewakili perusahaan untuk tujuan dari
doktrin “the direct liability”, hanya saat perbuatan dilakukan dalam ruang lingkup
kewenangan yakni kapasitas ebagai manajer atau pengendali perusahaan. Keadaan
jiwa dari pejabat senior dapat dilibatkan pada perusahaan, bukan hanya untuk
memperberat tapi juga untuk melepaskan perusahaan dari pertanggungjawaban
pidana.
2. Doktrin Pertanggungjawaban Pengganti (Vicarious Liability)
Pertanggungjawaban pidana korporasi mengenal sistem pertanggungjawaban
pidana pengganti, yakni pertanggungjawaban seseorang tanpa kesalahan pribadi
namun bertanggungjawab atas perbuatan orang lain. Peter Gillies mengemukakan
pendapat yang berhubungan dengan doktrin “vicarious liability” yang dimuat dalam
bukunya yang berjudul “Criminal Law” yakni:
“According to the doctrine of vicarious liability in the criminal law, a
person may incur liability by virtue of the attribution to her or him of
responsibility for the act, or state of mind, or both the act and state of mind of
another person; an offence, or element in an offence, commited by another
person: such liability is almost wholly confined to statutory offences, and the
basis for its imposition is the (presumed) intention of the legislature, as
gleaned from a reading of the enacting provision in question, that this offence
should be able to be commited vicariously as well as directly. In other words,

Universitas Sumatera Utara

42

not all offences may be commited vicariously. The courts have evolved a
number of principles of specialist application in this context. One of them is
the scope of employment principle”
Vicarious

Liability

menurut

Barda

Nawawi

Arief,

diartikan

“pertanggungjawaban hukum seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh
orang lain” (the legal responsibility of one person for the wrongful acts of another)51.
Maka dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa menurut doktrin vicarious
liability, seseorang dapat mempertanggungjawabkan perbuatan yang dilakukan oleh
orang lain dan dasarnya adalah delik dapat dilakukan baik secara vicarious maupun
langsung. Namun, yang menjadi pertanyaan ialah bagaimana seseorang dapat
mempertanggungjawabkan perbuatan yang dilakukan oleh orang lain?
Common Law mempunyai ketentuan umum bahwa seseorang tidak dapat
mempertanggungjawabkan secara vicarious tindak pidana yang dilakukan oleh orang
lain. Hal ini juga dianut dalam sistem hukum Indonesia. Jadi jika seseorang
melakukan kesalahan, tidak dapat digantikan oleh orang lain dalam hal
pertanggungjawabannya. Berbeda dengan Statute Law, sistem ini menganut vicarious
liability dalam beberapa hal diantaranya seorang mempertanggungjawabkan
perbuatan orang lain apabila telah mendelegasikannya. Kemudian, seorang majikan
yang mempertanggungjawabkan pekerjaan pelayannya apabila dipandang perbuatan
itu adalah perbuatan majikan.

51

Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana
Korporasi Di Indonesia,(Bandung:CV.Utomo,2004), Hal. 100

Universitas Sumatera Utara

43

Ajaran Vicarious Liability menyiratkan bahwa seseorang dimungkinkan
untuk bertanggungjawab tehadap perbuatan orang lain. Jika ajaran ini diterapkan pada
sebuah korporasi, maka korporasi tersebut dimungkinkan harus bertanggungjawab
atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh para pegawainya, mandatarisnya atau
siapapun yang bertanggungjawab terhadap korporasi tersebut. Apapun yang
dilakukan seorang manager atau majikan melalui agennya, maka hal ini sama saja
dengan dia melakukan sendiri perbuatan itu. Dengan kata lain, hukum memandang
bahwa tindakan agen atapun karyawan merupakan tindakan yang dilakukan oleh
kepala atau majikan dan pengetahuan agen atau karyawan merupakan pengetahuan
dari kepala atau majikan 52
Sebagai Ius Constituendum, doktrin pertanggungjawaban vicarious liability
sudah ditampung dalam Rancangan KUHP 1999-2000 pada Pasal 32 Ayat 2 yang
berbunyi: “Dalam hal tertentu, seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas tindak
pidana yang dilakukan oleh orang lain, jika ditentukan dalam suatu undangundang” 53. Doktrin ini telah dipraktikkan dalam hukum lingkungan hidup. Hal ini
diatur dalam Pasal 116 ayat (2) UUPPLH yang mengandung prinsip vicarious
liability. Berdasarkan prinsip ini juga, pimpinan korporasi atau siapapun yang
memberi tugas bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan oleh bawahannya.
Meskipun demikian, doktrin ini memiliki kelemahan yakni doktrin ini gagal

52
53

Asep Supriadi, Op.cit Hal. 92
Ibid Hal. 105

Universitas Sumatera Utara

44

memberikan penyelesaian yang komprehensif terhadap isu pembebanan tanggung
jawab pidana terhadap badan hukum.
3. Doktrin Pertanggungjawaban Yang Ketat Menurut Undang-Undang (Strict
Liability)
Teori ini disebut juga teori pertanggungjawaban mutlak (absolute liability).
Strict Liability merupakan bentuk pertanggungjawaban kepada korporasi atas tindak
pidana yang dilakukan oleh seseorang yang bekerja pada korporasi tersebut. Suatu
pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada pelaku tindak pidana tertentu,
tanpa perlu dibuktikan ada tidaknya unsure kesalahan.
Sutan Remi Sjahdeni berpendapat bahwa:
“Dalam hukum pidana yang terjadi belakangan, diperkenalkan pula tindaktindak pidana yang pertanggungjawaban pidananya dapat dibebankan kepada
pelakunya sekalipun pelakunya tidak memiliki mens rea yang
disyaratkan.Cukuplah apabila dapat dibuktikan bahwa pelaku tindak pidana
telah melakukan actus reus, yaitu melakukan perbuatan yang dilarang oleh
ketentuan pidana atau tidak melakukan perbuatan yang diwajibkan oleh
ketentuan pidana. tindak-tindak pidana yang demikian itu juga disebut
offences of strict liability atau yang sering disebut juga sebagai offences of
absolute prohibition”
Prinsip tanggungjawab berdasarkan kepada adanya unsur kesalahan (liability
on fault or negligence atau fault liability) adalah reaksi terhadap prinsip atau teori
tanggung jawab mutlak yang berlaku di masyarakat primitif. Dalam sistem hukum
primitif, tujuan hukum yang utama adalah adanya kerukunan dan keamanan dan
menetapkan bahwa orang yang menderita kerugian karena orang lain harus medapat

Universitas Sumatera Utara

45

kompensasi tanpa melihat motivasi orang yang melakukan perbuatan itu. Jadi teori
pertanggungjawaban mutlak lebih menitikberatkan pada unsur “penyebabnya”
daripada “kesalahannya”.
Namun, hukum mulai menaruh perhatian yang besar pada hal-hal yang
bersifat pemberian maaf. Maka prinsip tanggung jawab mutlak sebagai hukuman
yang diperlukan untuk menghindarkan perbuatan balas dendam berubah menjadi
tanggung jawab yang didasarkan atas adanya unsur “kesalahan”E.Sefullah
Wiradipradja berpendapat tentang masalah prinsip pertanggungjawaban mutlak ialah:
“Prinsip tanggungjawab mutlak (no-fault liability or liability without fault) di
dalam kepustakaan biasanya dikenal dengan ungkapan ‘absolute liability’ atau
‘strict liability’. Dengan ‘prinsip pertanggungjawab mutlak’ dimaksudkan
tanggungjawab tanpa keharusan untuk membuktikan adanya kesalahan. Atau
dengan perkataan lain, suatu prinsip tanggungjawab yang memandang
‘kesalahan’ sebagai suatu yang tidak relevan untuk dipermasalahkan apakah
pada kenyataannya ada atau tidak” 54
Pada dasarnya antara strict liability dengan vicarious liabilitymemiliki
persamaan yakni keduanya tidak mensyaratkan adanya “mens rea” atau adanya unsur
kesalahan pada orang yang dituntut pidana. Perbedaan keduanya ada pada bentuk
pertanggungjawaban pidananya , dimana pertanggungjawaban strict liability
langsung pada orangnya tapi vicarious liability bersifat tidak langsung.

54

Ibid Hal. 107

Universitas Sumatera Utara

46

C. Pertanggungjawaban Pidana Oleh Korporasi
Pertanggungjawaban pidana memiliki dua pandangan yang berbeda yakni
pandangan yang monistis dan pandangan yang dualistis. Pandangan yang monistis
dikemukakan oleh Simons yang merumuskan “strafbaar feit” sebagai “eene
strafbaar gestelde, onrechtmatige, met schuld in verband staande handeling van een
torekeningvatbaar person” (suatu perbuatan yang oleh hukum diancam hukuman,
bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh seorang yang bersalah dan orang itu
dianggap bertanggungjawab atas perbuatannya) 55. Tidak semua manusia dapat
dimintai pertanggungjawaban terhadap sebuah perbuatan hukum. Orang yang dapat
dimintai pertanggungjawaban ialah orang yang mana telah dianggap cakap menurut
hukum. Cakap bertindak dalam hukum dikenal dengan istilah rechtsbekwaamheid.
Istilah kecakapan ini ada dimuat dalam Pasal 1320 KUH Perdata angka 2. Namun
tidak diuraikan secara jelas maksud dari kecakapan ini. Pada dasarnya setiap orang
cakap dalam melakukan perbuatan hukum kecuali jika undang-undang yang
menyatakan tidak cakap 56.
Pihak-pihak yang dinyatakan tidak cakap oleh hukum untuk melakukan suatu
perbuatan hukum adalah :
1. Orang yang masih di bawah umur (belum berumur 21 tahun)
2. Orang yang berada di bawah pengampuan (curatele), tidak sehat pikirannya.

55
56

Muladi dan Dwidja Priyatno Op.cit Hal 50
Tan Kamello, Op.cit, Hal 22.

Universitas Sumatera Utara

47

3. Perempuan yang dalam pernikahan (wanita kawin) 57.
Tampak ada pembedaan untuk orang-orang tertentu yang tidak dapat dimintai
pertanggungjawaban dikarenakan subjek hukum tersebut masuk dalam kategori
dalam orang yang dipandang tidak cakap hukum. Telah diuraikan sebelumnya bahwa
selain manusia, ada juga badan hukum yang dipandang juga sebagai salah satu subjek
hukum. Hukum memberi status persoon kepada badan hukum untuk mempunyai hak
dan kewajiban seperti manusia. Namun, walaupun manusia dan badan hukum samasama subjek hukum tapi keduanya tetap memiliki perbedaan. Perbedaannya
diantaranya ialah manusia dapat melakukan perkawinan yang merupakan salah satu
perbuatan hukum sedangkan badan usaha tidak dapat melakukan perkawinan. Badan
hukum bertindak dengan perantaraan yakni pengurusa dari badan hukum itu sendiri.
Hal ini dikarenakan sifat badan hukum merupakan benda mati yang dijalankan oleh
manusia sebagai penggerak badan hukum itu, sedangkan manusia dapat melakukan
sendiri suatu perbuatan hukum tanpa melalui perantaraan 58.
Pengurus sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggungjawab, maka
kepada pengurus korporasilah dibebankan kewajiban dari korporasi. Kewajiban yang
dibebankan ini sebenarnya kewajiban korporasi. Dalam hal korporasi sebagai
pembuat dan pengurus bertanggungjawab, maka ditegaskan bahwa korporasi
mungkin sebagai pembuat. Pengurus ditunjuk sebagai yang bertanggungjawab atas
57

C.S.T Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia,
(Jakarta:Penerbit Rineka Cipta, 2011), Hal 100.
58
Ibid Hal. 100

Universitas Sumatera Utara

48

perbuatan yang dilakukan oleh korporasi. Apa yang dilakukan oleh alat perlengkapan
korporasi menurut wewenang pengurus dan berdasarkan anggaran dasarnya. Tindak
pidana yang dilakukan oleh korporasi adalah tindak pidana yang dilakukan seseorang
tertentu sebagai pengurus dari badan hukum itu.
Korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggungjawab adalah dengan
memperhatikan perkembangan korporasi itu sendiri, yaitu bahwa ternyata untuk
beberapa delik-delik tertentu, dipidananya pengurus saja tidak memberi jaminan yang
cukup bahwa korporasi tidak sama sekali melakukan perbuatan yang telah dilarang
oleh Undang-Undang tersebut. Tapi setidaknya ketika korporasi dikenakan
pertanggungjawaban, dapat berefek sekaligus pada orang-orang yang menjalankan
kegiatan korporasi tersebut.
Terkait dengan tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi di bidang
lingkungan hidup, korporasi telah dimuat menjadi salah satu subjek hukum. Terkait
dengan status itu, korporasi dapat dikenai pertanggungjawaban pidana. Hal ini telah
termuat dalam ketentuan pidana Undang-Undang Lingkungan Hidup (UU No 32
Tahun 2009). Dalam konsep corporate culture ini terdapat unsur yang harus
dibuktikan yakni:”suatu kebiasaan atau tingkah laku perusahaan yang memerintah,
mendorong,mentoleransi ataupun membiarkan suatu tindakan yang tidak sesuai
dengan peraturan:”. Perusahaan tersebut gagal mempertahankan suatu kegiatan yang

Universitas Sumatera Utara

49

sesuai dengan peraturan, perlu juga mengetahui bahwa dewan direktur itu”secara
sengaja, mengetahui atau membiarkan terjadinya suatu tindakan” 59.
Barda Nawawi Arief menyatakan untuk adanya pertanggungjawaban pidana
harus jelas dulu siapa yang dapat dipertanggungjawabkan. Biasanya menyangkut
masalah subyek hukum pidana pada umumnya sudah dirumuskan oleh pembuat
undang-undang tindak pidana yang bersangkutan. Namun, faktanya memastikan siapa
pembuat adalah tidak mudah. Setelah ditentukan, maka selanjutnya ialah bagaimana
pertanggungjawabannya 60.
Pertanggungjawaban pidana badan hukum dalam kasus lingkungan hidup
diatur dalam pasal 46 UUPLH. Pasal ini menetapkan bahwa “Jika tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalanm Bab ini dilakukan oleh atau atas nama badan hukum,
perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain tuntutan pidana dilakukan dan
sanksi pidana serta tindakan tata tertib sebagaimana dimaksud Pasal 47 UUPLH
dijatuhkan baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau
organisasi lain tersebut maupun terhadap mereka yang memberi perintah untuk
melakukan tindak pidana tersebut atau terhadap kedua-duanya”.
Pertanggungjawaban pidana korporasi, dapat didasarkan kepada:

59

Alvi Syahrin, Beberapa Isi Hukum Lingkungan Kepidanaan, (Jakarta:PT.Sofmedia,2009), Hal.26
60
Muladi dan Dwidja Prayitno,Op.cit,Hal 66-67

Universitas Sumatera Utara

50

1. Atas dasar falsafah intergralistik, yakni segala sesuatu hendaknya diukur
atas dasar keseimbangan, keselarasan, dan keserasian antar kepentingan
pribadi dan social
2. Atas dasar asas kekeluargaan dalam Pasal 33 UUD 1945
3. Untuk memberantas anomie of success
4. Untuk perlindungan konsumen
5. Untuk kemajuan teknologi 61

D. Pertanggungjawaban Pidana Oleh Korporasi Menurut Sistem Hukum
Indonesia
1. Menurut KUHP
Menurut sistem KUHP, Korporasi sebagai subyek hukum dalam hukum
pidana belum ditemui. Padahal negeri Belanda sendiri sudah memuatnya sejak Tahun
1976, hal ini termuat dalam Buku I KUHP tentang ketentuan umum. Sedangkan di
Indonesia sendiri masih menganut bahwa perbuatan pidana hanya dapat dilakukan
oleh orang atau manusia pribadi (Pasal 59 KUHP).
KUHP juga memuat pasal lain yang tampaknya juga menyangkut tentang
korporasi sebagai subyek hukum, namun disini yang diancam pidana adalah orang,
bukan korporasinya 62. Hal ini kita lihat dalam Pasal 169 KUHP tentang turut serta
61

Alvi Syahrin, Op.cit Hal 39
Sudarto,Hukum Pidana I,(Semarang:Badan Penyediaan Bahan-Bahan Kuliah,FH
UNDIPurus,1987),Hal.61
62

Universitas Sumatera Utara

51

dalam perkumpulan terlarang, Pasal 398 dan Pasal 399 KUHP tentang pengurus atau
komisaris perseroan terbatas.Menurut Himpunan Peraturan Perundang-undangan RI
yang disusun oleh Sistem Engelbrecht, ada 19 Peraturan Perundang-undangan yang
menempatkan korporasi sebagai subyek hukum pidana. Dari 19 peraturan perundangundangan itu, ada dua kategori peraturan yang menyangkut tanggungjawab korporasi
dalam pidana yakni 63:
1. Peraturan perundang-undangan yang mengakui korporasi dapat
melakukan tindak pidana, akan tetapi pertanggungjawaban pidananya
dibebankan terhadap anggota atau pengurus. Berdasarkan isi rumusan
peratura perundang-undangan menurut kategori ini adalah korporasi
diakui sebagai subyek hukum pidana hanya saja yang dapat
dipertanggungjawabkan

secara

pidana

adalah

pengurus,

atau

pemimpin dari korporasi, atau yang bertindak berdasarkan kuasa dari
korporasi, sehingga tampak bahwa pelimpahan tanggungjawab yang
dibebankan pada pengurus dari korporasi dengan mengabaika apakah
yang bersangkutan mengetahui ada atau tidaknya tindak pidana yang
dilakukan oleh korporasi.
2. Kategori kedua ini menganut bahwa dalam peraturan perundangundangan

mengakui

secara

tegas

korporasi

dapat

dipertanggungjawabkan secara langsung. Bila dihubungkan dengan

63

Muladi dan Dwidja Priyatno, Op.cit, Hal. 43

Universitas Sumatera Utara

52

tahap-tahap perkembangan korporasi sebagai subjek tindak pidana,
maka kategori ini masuk dalam tahap ketiga yakni korporasi sebagai
pembuat dan dapat dipertanggungjawabkan secara pidana 64.
Penetapan dan tempat korporasi sebagai subjek hukum tindak pidana, dalam
peraturanb perundang-undangan di Indonesia, ditempatkan di luar KUH Pidana.
Apabila melihat faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum yakni
hukumnya sendiri, ternyata kebijakan legislasi ditempuh sebagai kebijakan factual
dalam sistem pertanggungjawaban pidana korporasi di Indonesia melalui peraturan
diluar KUHP yakni 65:
01. Undang-Undaang No. 9 Drt Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi
02. Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
03. Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika
04. Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Indonesia
(sekarang Undang-Undang No. 32 Tahun 2009)
05. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
06. Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang

64
65

Ibid Hal 43 - 49
Dwidja Prayitno, Op.cit Hal.22

Universitas Sumatera Utara

53

07. Undang-Undang No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan.
Pasal 103 KUHP menganut adagium “lex specialis derogate lex generali”
artinya undang-undang khusus dapat mengesampingkan ketentuan umum 66. Apabila
dikaitkan dengan kedudukan korporasi sebagai subyek hukum maka hal ini tidak ada
diatur dalam KUHP. KUHP itu sendiri merupakan hukum pidana umum. Berdasarkan
ketentuan pasal 103 KUHP tersebut, jika KUHP tidak mengatur kedudukan korporasi
sebagai subyek hukum, maka yang berlaku adalah ketentuan perundang-undangan
khusus di luar KUHP. Pasal 44 Rancangan KUHP 1999-2000 menyatakan:
“Korporasi dapat dipertanggungjawabkan dalam melakukan tindak pidana” 67.
Berdasarkan ketentuan itu, korporasi telah diterima sebagai subjek hukum
pidana, yang artinya adalah dapat dipertanggungjawabkan secara pidana atas
perbuatan

yang

telah

pertanggungjawaban

dilakukan.

pidana

dari

Kedudukan
korporasi

sebagai

yang

pembuat

dikenal

dan

sebagai

sifat
Model

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, memiliki beberapa kemungkinan yakni:
1. Pengurus korporasi sebagai pembuat dank arena itu penguruslah yang
bertanggungjawab
2. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggungjawab
3. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab

66
67

Moeljatno,Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,(Jakarta:Bumi Aksara, 1999),Hal 40
Rancangan KUHP 1999-2000

Universitas Sumatera Utara

54

Oleh karena itu jika suatu tindak pidana dilakukan oleh dan untuk suatu
korporasi maka penuntutannya dapat dilakukan dan pidananya dapat dijatuhkan
terhadap korporasi sendiri, atau korporasi dan pengurusnya atau pengurusnya
saja 68.Dalam hal penguruskorporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang
bertanggungjawab, kepada korporasi diberikan kewajiban-kewajiban tertentu.
Sebenarnya kewajiban yang dibebankan itu adalah kewajiban korporasi. Dasar
pemikirannya

adalah

sebagai

berikut:

korporasi

itu

sendiri

tidak

dapat

dipertanggungjawabkan terhadap suatu pelanggaran melainkan pengurus lah yang
melakukan delik itu. Karenanya penguruslah yang diancam pidana serta dipidana.
Ketentuannya ada pada Pasal 169 KUHP , Pasal 398 dan 399 KUHP. Tindak pidana
dalam pasal 169 KUHP adalah tindak pidana kejahatan terhadap ketertiban umum
(Bab V Buku II KUHP) yakni turut serta dalam perkumpulan terlarang. Apabila
dilakukan oleh pengurus korporasi maka aka nada pemberatan. Sedangkan Pasal 398
KUHP tidak membebankan tanggungjawab pidan pada korporasi tapi pada
pengurusnya.
Ketentuan-ketentuan dalam KUHP jelas menganut subyek dalam hukum
pidana adalah orang. Hal tersebut sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 59
KUHP. Bila dihubungkan dengan tahap perkembangan korporasi maka ini
merupakan tahap pertama. Hal ini karena pertanggungjawaban pidana korporasi
belum dikenal luas. Ditambah lagi kuatnya asas “societas non potest” yakni badan

68

Penjelasan Pasal 46 Rancangan KUHP 1999-2000

Universitas Sumatera Utara

55

hukum tidak dapat melakukan tindak pidana atau asas “universitas delinquere non
potest” yakni badan hukum (korporasi) tidak dapat dipidana.
2. Menurut Undang-Undang Lingkungan Hidup
Kesadaran lingkungan hidup global ditandai dengan adanya Konfrensi PBB
Tentang Lingkungan Hidup di Stockholm 1972. Indonesia sebagai salah satu dari 113
negara peserta Konfrensi Stockholm 1972. Sebagai Negara peserta konfrensi,
Indonesia harus menyiapkan “Laporan Nasional” tentang keadaan lingkungan hidup
di Indonesia. Kemudian, pada masa itu Menteri Negara Pengawasan Pembangunan
dan Lingkungan Hidup melakukan Pembentukan Kelompok Kerja dalam Bidang
Pembinaan Hukum dan Aparatur dalam Pengelolaan Sumber Alam dan Lingkungan
Hidup. Kelompok ini kemudian menghasilkan suatu rancangan Undang-Undang
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Tanggal 11 Maret 1982 Dewan Perwakilan Rakyat sepakat untuk menyetujui
Rancangan Undang-Undang menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Maka, Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1982 ini merupakan sumber formal pertama bagi lahirnya hukum
lingkungan nasional modern di Indonesia.Akan tetapi, setelah UULH 1982 berlaku
selama sebelas tahun ternyata oleh para pemerhati lingkungan hidup dipandang
sebagai instrument kebijakan pengelolaan lingkungan hidup yang tidak efektif. Para
pengambil kebijakan pemerintah, khususnya di lingkungan Kantor Menteri Negara

Universitas Sumatera Utara

56

Lingkungan Hidup dan BAPEDAL, berpandangan bahwa gagalnya kebijakan
pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia dikarenakan kelemahan penegakan
hukum UULH 1982. Oleh sebab itu UULH 1982 perlu “disempurnakan” 69.
Tanggal 19 September 1997, pemerintah mengundangkan UU No. 23 Tahun
1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-undang ini memuat konsep
atau hal yang sebelumnya tidak diatur dalam UULH 1982. Misalnya di bidang hak
masyarakat, bidang instrument pengelolaan lingkungan, bidang audit lingkungan,
bidang penyelesaian sengketa. Bidang sanksi pidana, UULH 1997 memberlakukan
delik formal di samping materiil dan delik korporasi. Perkembangan selanjutnya
adalah Pemerintah mengundangkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (LN Tahun 2009 No. 140)
Terkait dengan tindak pidana yang marak dilakukan oleh korporasi dalam
bidang lingkungan hidup, maka akan kita bahas juga bagaimana UUPPLH ini
mengatur

pertanggungjawaban

pidana

sebuah

korporasi.

Dalam

UUPPLH

pertanggungjawaban badan usaha dirumuskan dalam Pasal 116 hingga Pasal 119.
Pasal 116 UUPPLH memuat krireria bagi lahirnya pertanggungjawaban badan usaha
dan siapa saja yang bertanggungjawab. Jika ditilik rumusan pasal 116 UUPPLH,
pertanggungjawaban badan usaha timbul dalam suatu kondisi yakni:

69

Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia,(Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada,
2015),Hal 41

Universitas Sumatera Utara

57

(1) Tindak pidana lingkungan hidup dilakukian oleh badan usaha, atau atas nama
badan usaha atau
(2) Oleh orang yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain
yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha. Karena badan usaha tidak
dapat bekierja tanpa digerakkan oleh manusia, maka pelaku fisik tetaplah
manusia, yaitu orang atas nama badan usaha atau orang yang berdasarkan
perjanjian kerja, misalkan seorang karyawan atau hubungan lain, misalkan
perjanjian pemborongan kerja.
Konsep pertanggungjawaban juga harus dipedomani ketentuan Pasal 118
UUPPLH. Dengan demikian, dari rumusan Pasal 116 dan Pasal 118 UUPPLH dapat
diketahui bahwa ada tiga pihak yang dapat dikenai tuntutan dan hukuman ada tiga
pihak yaitu:
1. Badan Usaha itu sendiri
2. Orang yang memberi perintah atau byang bertindak sebagai pemimpin
dalam tindak pidana
3. Pengurus atau pimpinan badan usaha.
Jika badan usaha terbukti melakukan tindak pidana lingkungan, jenis
hukuman terhadap badan usaha itu ada dalam Pasal 119 UUPPLH yaitu:
a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana
b. Penutupanb seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan

Universitas Sumatera Utara

58

c. Perbaikan akibat tindak pidana
d. Kewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak, dan/atau
e. Penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama tiga tahun. 70

70

Ibid Hal 253-257

Universitas Sumatera Utara