Pertanggungjawaban Pidana Mengenai Tindak Pidana Pembakaran Lahan (Studi Putusan No : 118 PID.SUS 2014 PN.Plw)

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bruce Mitchell dalam buku Supriadi menyatakan pembangunan
merupakan upaya sadar yang dilakukan oleh manusia untuk mencapai kehidupan
yang lebih baik. Hakikat pembangunan adalah bagaimana agar kehidupan hari
depan lebih baik dari hari ini. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa
pembangunan akan selalu bersentuhan dengan lingkungan. 1 Bruce Mitchell
mengatakan pengelolaan sumber daya lingkungan akan mengalami empat situasi
pokok, yaitu perubahan (change), kompleksitas (complexity), ketidakpastian
(uncertainly), konflik (conflict).2
Daud Silalahi mengatakan bahwa kerusakan lingkungan di negara maju
disebabkan oleh pencemaran sebagai akibat sampingan dari penggunaaan sumber
daya alam dan proses produksi yang menggunakan banyak energi, teknologi maju
yang boros energi pada industri, kegiatan transportasi dan komunikasi, serta
kegiatan-kegiatan ekonomi lainnya. 3
Menurut Emil Salim masalah lingkungan hidup yang di hadapi oleh
negara berkembang banyak di timbulkan oleh kemiskinan yang memaksa rakyat
merusak lingkungan alam.4 Maka jelas bahwa rendahnya pendapatan penduduk,

1


Supriadi, Hukum Lingkungan Indonesia : Sebuah Pengantar (Palu: Sinar Grafika,
2005), h. 38.
2
Ibid.
3
Daud Silalahi, Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan
Indonesia, Edisi Revisi (Bandung: Alumni, 1996), h. 15.
4
Emil Salim, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Cetakan 10 (Jakarta: Mutiara
Sumber Widya, 1995), h. 11.

1

Universitas Sumatera Utara

kurangnya kesempatan kerja yang lebih baik, tingkat pendidikan yang masih

2


Universitas Sumatera Utara

2

rendah, semua ini telah turut mendorong penduduk negara berkembang menguras
sumber daya alam bagi keperluan hidupnya. Masalah lingkungan di negara
berkembang contohnya Indonesia, terutama berakar pada keterbelakangan
pembangunan.
Gunardi Endro menjelaskan dalam buku Alvi Syahrin, dalam interaksi di
masyarakat, eksistensi dan kualitas hidup manusia ditentukan berdasarkan pada
referensi nilai dan moral. Orang yang jahat akan dicela dan seringkali
disingkirkan dari masyarakat, sedangkan orang baik akan dipuji, dihormati,
dicintai dan kemana-mana akan didukung kehidupannya. Orang bisa menjadi
jahat karena di dalam kodratnya memiliki kehendak bebas, akan tetapi kehendak
bebas akan terbentuk dan berkembang dan menjadi kuat kalau orang semakin
bersedia untuk bertanggung jawab. 5
Pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan terus meningkat sejalan
dengan meningkatnya kegiatan industri atau sejenisnya dalam menjalankan suatu
usaha ekonomi serta sikap penguasa maupun pengusaha yang tidak menjalankan
atau melalaikan kewajiban-kewajibannya dalam pengelolaan lingkungan hidup.6

Pencemaran dan kerusakan lingkungan yang ada di wilayah indonesia
yang paling mencuri perhatian dunia adalah dibidang pembakaran lahan, baik
lahan kehutanan, lahan perkebunan, dan lainnya. Lahan adalah suatu wilayah
bumi daratan yang ciri-cirinya merangkum semua tanda pengenal biosfer,
atmosfer, tanah, geologi, topografi, hidrologi, flora, fauna, dan hasil kegiatan
5

Alvi Syahrin, Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan (Jakarta: PT.Soft Media,
2009), h. 3.
6
Alvi Syahrin, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Pencemaran dan atau
Kerusakan Lingkungan, Pidato pengukuhan jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum
Pidana/Lingkungan pada Fakultas Hukum USU, Medan, 2003, h. 5-6. Dalam Alvi Syahrin, Ibid.

Universitas Sumatera Utara

3

manusia masa lalu dan masa kini.7
Menurut Herry Purnomo, seorang peneliti dari Center for International

Forestry Research (CIFOR), kerugian Indonesia pada tahun 1997-1998 akibat
pembakaran lahan berkisar US$ 9 Miliar. Kerugian tersebut belum tersebut belum
termasuk kerugian yang di derita oleh negara tetangga akibat pembakaran lahan
yang ada di wilayah indonesia, contohnya negara Malaysia dan Singapura yang
masing-masing mengalami kerugian sekitar US$ 2 Miliar setiap negaranya. 8
Sedangkan pada tahun 2015 menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(BNPB) total kerugian negara akibat pembakaran lahan di Sumatera dan
Kalimantan saja mencapai lebih dari Rp 200 Trilliun.9
Data tersebut menunjukan bahwa pembakaran lahan bukan merupakan
tindak pidana biasa. Akibat dari pembakaran lahan tersebut negara mengalami
banyak kerugian dibeberapa sektor strategis. Selain itu bukan hanya negara yang
mengalami kerugian. Masyarakat juga mengalami kerugian baik di sektor agraris,
kesehatan, dan lainnya. Purwo Hadi Subroto, petani di Riau, mengaku produksi
tanaman pangan dan sayuran di ladangnya menurun sampai 40 % karena proses
produksi tanaman yang mengandalkan sinar matahari terhalang oleh kabut asap. 10
Berdasarkan data dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)
pada periode Januari-September 2015 ada 16.334 titik api, dan pada 2014 ada
36.781 titik api di Indonesia. Titik api tersebut menyebabkan timbulnya asap yang
7


Tim Penyusun Pusat Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi ke-3), (Jakarta:
Balai Pustaka, 2007), h. 723
8
Sri Lestari, Berita, “Dampak Kabut Asap Diperkirakan Capai Rp 200 Trilliun”,
www.bbc.com/Indonesia/berita_indonesia/2015/10/151026_indonesia-kabutasap, 2015. Diakses
pada tanggal 31 Maret 2016 pukul 11:20 WIB.
9
Ibid
10
Ibid

Universitas Sumatera Utara

4

merusak lingkungan mengakibatkan 20.471 orang di Jambi, 15.138 orang di
Kalimantan Tengah, 28.000 orang di Sumatera Selatan, dan 10.010 orang di
Kalimantan Barat terkena Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA).11 Hal tersebut
membuktikan bahwa memang benar bukan hanya negara yang mengalami
kerugian, namun perbakaran lahan tersebut berdampak langsung terhadap

masyarakat.
Lahan Kehutanan, Perkebunan, dan lainnya yang seharusnya dijaga dan
dimanfaatkan secara optimal dengan memperhatikan aspek kelestarian kini telah
mengalami degradasi dan deforestasi yang cukup mencenangkan bagi dunia
internasional. Lahan pada umumnya menjadi sumber kehidupan ekosistem di
dunia. Sehingga dalam hal pemeliharaan lahan menjadi tanggung jawab seluruh
komponen yang ada, baik pemerintah, korporasi, maupun individu masyarakat.
Pada praktek hukum pidana yang terjadi pada saat ini, korporasi dan masyarakat
melakukan pengerusakan lahan. Salah satu caranya adalah dengan pembakaran
lahan.
Tidak adanya kesadaran bagi masyarakat dan korporasi akan pentingnya
memelihara lahan yang ada, menjadi salah satu faktor penyebab dari pembakaran
lahan. Selain itu untuk mengejar keuntungan yang besar bagi individu masyarakat
maupun korporasi, mereka tidak segan untuk melakukan pembakaran lahan secara
terang-terangan.
Hal tersebut menjadi perhatian serius bagi pemerintah khususnya, untuk

Indra Nugraha, Berita, “Walhi: Berikut Korporasi-korporasi di Balik Kebakaran Hutan
dan Lahan itu”, http://www.mongabay.co.id/2015/10/06/berikut-korporasi-korporasi-di-balikkebakaran-hutan-dan-lahan-itu/, Jakarta, 2015. Diakses pada tanggal 31 Maret 2016 pukul 12:10
WIB.

11

Universitas Sumatera Utara

5

mencegah perbuatan pembakaran lahan yang dilakukan oleh korporasi dan
masyarakat

yang

tidak

bertanggungjawab.

Pemerintah

menerbitkan

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan dan Perlindungan

Lingkungan Hidup, Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan,
Undang-undang Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan perubahan atas
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan, dan Undang-undang
lainnya berkaitan dengan perlindungan lingkungan hidup.
Peraturan perundang-undangan tersebut menjadi salah satu bentuk
keseriusan pemerintah untuk menanggulangi dan mencegah pembakaran lahan
yang

dilakukan

tanpa

izin

dan

tidak

bertanggungjawab.


Peraturan

perundang-undangan tersebut mengatur sedemikian rupa bentuk-bentuk tindak
pidana pembakaran lahan, dan bentuk sanksi yang dijatuhkan kepada korporasi
dan masyarakat yang melakukan tindak pidana pembakaran lahan tanpa izin.
Pemerintah membentuk Peraturan Perundang-undangan mengenai pembakaran
lahan, bertujuan untuk menuntut pelaku tindak pidana pembakaran lahan
mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Terdapat 218 kasus pembakaran lahan yang ditangani oleh Kepolisian
Republik Indonesia sampai dengan bulan September 2015, dari 218 kasus ini
sudah di tetapkan 204 tersangka dengan rincian 195 perorangan dan 9 korporasi.12
Hal tersebut membuktikan bahwa tidak hanya korporasi yang mengejar
keuntungan dalam melakukan tindak pidana pembakran lahan. Fakta di lapangan

Fabian Januarius Kuwado, Berita, “Total Ada 218 Kasus Kebakaran Hutan dengan
204 Orang Tersangka”, http://nasional.kompas.com/read/2015/09/29/09543371/Total.Ada.218.
Kasus.Kebakaran.Hutan.dengan.204.Orang.Tersangka, 2015. Diakses pada tanggal 31 Maret 2016
pukul 13:20 WIB.
12


Universitas Sumatera Utara

6

adalah jumlah pelaku perseorangan tindak pidana pembakaran lahan menunjukan
angka yang lebih besar dibanding pelaku yang merupakan korporasi.
Namun, walaupun pemerintah telah membentuk aturan dan sanksi yang
tegas dalam masalah tindak pidana pembakaran lahan, masih banyak tindak
pidana pembakaran lahan di wilayah Indonesia khususnya di wilayah Provinsi
Riau. Hal tersebut dikarenakan sanksi yang diberikan oleh penegak hukum
terhadap pelaku tindak pidana pembakaran lahan dirasa terlalu ringan dan tidak
sesuai dengan akibat dari perbuatan tersebut.
Dalam permasalahan Tindak Pidana Pembakaran Lahan, maka penulis
akan menuangkannya secara lengkap dan cermat dalam sebuah skripsi yang
berjudul : PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA MENGENAI TINDAK
PIDANA PEMBAKARAN LAHAN ( Studi Putusan No. 118/ Pid.Sus/ 2014/
PN.Plw).
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan diatas, maka
permasalahan yang akan penulis bahas dalam skripsi ini adalah :

1.

Bagaimana pengaturan Tindak Pidana Pembakaran Lahan ?

2.

Bagaimana pertanggungjawaban pidana mengenai Tindak Pidana Pembakaran
Lahan ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1.

Tujuan penulisan skripsi ini adalah :
a. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan tindak pidana pembakaran
lahan di Indonesia.

Universitas Sumatera Utara

7

b. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana mengenai tindak pidana
pembakaran lahan.
2.

Manfaat penulisan skripsi ini adalah :
1) Manfaat Teoritis
Secara teoritis skripsi ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan kajian

lebih lanjut untuk berbagai konsep ilmiah yang pada waktunya nanti dapat
memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum
pidana dan hukum acara pidana. Khususnya dalam tindak pidana pembakaran
lahan.
2) Manfaat Praktis
Menjadi masukkan dan pengetahuan bagi masyarakat dan para penegak
hukum serta praktisi hukum, mengenai problematika yang terdapat dalam sistem
hukum dan sistem peradilan yang ada di Indonesia. Serta dapat menjadi bahan
perbandingan bagi penulis lain yang meneliti lebih lanjut dan lebih mendalam.
D. Keaslian Penulisan
Setelah dilakukan penelitian di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, belum ada terdapat tulisan yang mengangkat tentang
“Pertanggungjawaban Pidana Mengenai Tindak Pidana Pembakaran Lahan (Studi
Putusan No.118/Pid. Sus/ 2014/ PN Plw)”. Oleh karena itu penulisan skripsi ini
dapat

dikatakan

masih

original,

sehingga

keabsahannya

dapat

dipertanggungjawabkan secara moral dan akademis.

Universitas Sumatera Utara

8

E. Tinjauan Pustaka
1.

Kerusakan Lingkungan Hidup
Pengurasan sumber daya alam (natural resource depletion) diartikan

sebagai pemanfaatan sumber daya alam secara tidak bijaksana sehingga sumber
daya alam itu baik kualitasnya maupun kuantitasnya menjadi berkurang atau
menurun dan pada akhirnya akan habis sama sekali. Ancaman akan habisnya
sumber daya alam, terutama dapat terjadi pada sumber daya alam yang tidak
terbaharui, misalnya minyak bumi, gas alam, batubara atau mineral pada
umumnya. Jenis sumber daya alam yang tak terbaharui akan cepat habis sebelum
waktunya jika pemanfaatannya tidak disertai dengan kebijakan konservasi.
Meskipun beberapa jenis sumber daya alam yang dapat diperbaharui atau tersedia
secara tetap, kegiatan-kegiatan manusia dapat diperbaharui atau tersedia secara
tetap, kegiatan-kegiatan manusia dapat menyebabkan sumber daya alam itu
menjadi kurang kualitasnya. Misalnya lahan adalah termasuk sumber daya alam
yang terbaharui, jika lapisan permukaan tanah terkikis habis, maka lahan menjadi
tidak atau berkurang nilainya untuk budidaya pertanian.
Kerusakan lingkungan hidup adalah deteriorasi lingkungan dengan
hilangnya sumber daya air, udara, dan tanah,

kerusakan ekosistem dan punahnya

fauna liar. 13 Penggundulan hutan, lahan kritis, menipisnya lapisan ozon,
pemanasan global, tumpahan minyak di laut, ikan mati di anak sungai karena
zat-zat kimia, dan punahnya species tertentu adalah beberapa contoh dari

13

Wikipedia, Artikel, Kerusakan Lingkungan, id.m.wikipedia.org/wiki/Kerusakan_
lingkungan. Diakses pada tanggal 10 April 2016 Pukul 13:13 WIB.

Universitas Sumatera Utara

9

masalah-masalah lingkungan hidup.14
Richard Stewart dan James E. Krier, dalam buku Takdir Rahmadi
menjelaskan dalam literatur masalah-masalah lingkungan dapat dikelompokan
kedalam tiga bentuk, yaitu pencemaran lingkungan (pollution), pemanfaatan lahan
secara salah (land misuse), dan pengurasan atau habisnya sumber daya alam (land
resourrce depeletion).15
Akan tetapi, jika dilihat dari perspektif hukum yang berlaku di Indonesia,
masalah-masalah lingkungan hanya dikelompokkan ke dalam dua bentuk, yakni
pencemaran lingkungan (environmental pollution) dan perusakan lingkungan
hidup.16
Pengertian pencemaran lingkungan hidup adalah sebagaimana dirumuskan
dalam Pasal 1 butir 14 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009, yaitu: “masuk atau
dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam
lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu
lingkungan hidup yang telah ditetapkan”.
Pengertian perusakan lingkungan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1
butir 16, yaitu: “tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak
langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga
melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup”.
Pencemaran dan perusakan lingkungan hidup merupakan suatu perbuatan
melanggar hukum yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan

14

Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada,

2012), h. 1.
15
16

Ibid.
Ibid

Universitas Sumatera Utara

10

hidup, yang berarti pelestarian fungsi lingkungan hidup tidak dapat terwujud
sehingga upaya untuk memelihara kelangsungan dan daya dukung dan daya
tampung lingkungan hidup akan terganggu.
Terdapat unsur-unsur yang mempersamakan materi yang terkandung dari
kedua pasal tersebut di atas, yaitu :
1. Baik pencemaran lingkungan maupun perusakan lingkungan hidup adalah
tindakan-tindakan yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau
lingkungan hidup.
2. Baik pencemaran lingkungan maupun perusakan lingkungan hidup
tindakan-tindakan yang menyebabkan tidak terwujudnya pelestarian fungsi
lingkungan hidup
3. Tindakan-tindakan

itu

atau

perbuatan

yang

dilakukan

terjadinya

pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup dapat dikategorikan
sebagai perbuatan melanggar hukum, perbuatan melawan hukum, atau
perbuatan (onrechmatigedaad) yang menimbulkan kerugian bagi orang
lain atau lingkungan hidup.
4. Perbuatan

pencemaran

dan/atau

perusakan

lingkungan

hidup

mengakibatkan timbulnya akibat hukum baik berupa pertanggungjawaban
(liability) perdata maupun pidana.17
Perbedaan pokok antara pencemaran lingkungan dengan terkurasnya
sumber daya alam adalah bahwa pencemaran dapat terjadi karena masuknya atau
hadirnya sesuatu zat, energi atau komponen ke dalam lingkungan hidup atau
17

Syamsul Arifin, Hukum Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di
Indonesia (Jakarta: PT. Sofmedia, 2012), h. 176-177.

Universitas Sumatera Utara

11

ekosistem tertentu. Dengan demikian, zat, energi, atau komponen itu merupakan
sesuatu yang asing atau yang pada mulanya tidak ada di dalam suatu kawasan
lingkungan hidup kemudia hadir dalam kuantitas atau kualitas tertentu karena
dimasukkan oleh kegiatan manusia. Sebaliknya, pengurasan sumber daya alam
mengandung arti sumber daya alam yang terletak atau hidup di dalam konteks
asalnya atau kawasan asalnya, kemudian oleh manusia diambil secara
terus-menerus dan tidak terkendali dengan cara dan jumlah tertentu sehingga
menimbulkan perubahan dan penurunan kualitasnya lingkungan hidup.18
Dampak negatif dari menurunnya kualitasnya lingkungan hidup baik
karena terjadinya pencemaran atau terkurasnnya sumber daya alam adalah
timbulnya ancaman atau dampak negatif terhadap kesehatan, menurunnya nilai
estetika, kerugian ekonomi (economic cost), dan terganggunya sistem alami
(natural system).19
Kerusakan lingkungan yang terjadi di suatu negara atau kawasan tertentu
akan berpengaruh pula pada negara atau kawasan lain. Hal ini disebabkan
pencemaran lingkungan, misalnya (kebakaran lahan) dampaknya tidak hanya
dirasakan oleh negara yang tertimpa pencemaran tersebut, tetapi juga pada negara
tetangganya. Hal ini dapat dilihat di Indonesia yang setiap tahunnya terjadi
kebakaran lahan di Sumatera dan Kalimantan, dampak dari kebakaran lahan
tersebut dirasakan pula oleh masyarakat negara tetangga, yaitu Singapura dan
Malaysia.20

18
19
20

Takdir Rahmadi, Op.cit. h. 3.
ibid. h. 6-7.
Supriadi, Op.cit. h. 42.

Universitas Sumatera Utara

12

2.

Tindak Pidana Pembakaran Lahan
Kerusakan lingkungan hidup disebabkan oleh berbagai macam faktor,

seperti pembalakan liar, pembakaran lahan, dan lainnya. Perbuatan tersebut
merupakan ulah manusia, baik perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja,
ataupun terjadi karena kelalaian.
Dewasa ini, faktor yang paling berperan dalam pengerusakan lingkungan
adalah faktor pembakaran lahan. pembakaran lahan mengakibatkan timbulnya
gas-gas berbahaya dan juga menimbulkan kerugian lain bagi masyarakat, serta
dapat merusak lingkungan hidup. Upaya pembangunan yang dilakukan
pemerintah, seharusnya menjadi kesadaran kolektif masyarakat. Dengan
kesadaran masyarakat, pembangunan di bidang lingkungan hidup akan semakin
mudah dilaksanakan.
Pemerintah, membentuk suatu peraturan perundang-undangan untuk
mencegah

dan

pembakaran

memberantas

lahan,

pengerusakan

penebangan

liar,

dan

lingkungan
lainnya.

tersebut,

Berbagai

seperti

peraturan

perundang-undangan mengklasifikasikan perbuatan pembakaran lahan sebagai
tindak pidana.
Tindak pidana, merupakan suatu perbuatan pidana yang dilakukan oleh
subjek hukum, dan terhadap perbuatan tersebut akan dijatuhkan sanksi. Pengertian
tentang tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
dikenal dengan istilah straftbaar feit dan dalam kepustakaan tentang hukum
pidana serimg mempergunakan istilah delik, sedangkan pembuat undang-undang
merumuskan suatu undang-undang mempergunakan istilah peristiwa pidana atau

Universitas Sumatera Utara

13

perbuatan pidana atau tidak pidana.
Tindak pidana merupakan salah satu unsur dari hukum pidana. Dalam
hukum pidana, terdapat unsur perbuatan pidana atau tindak pidana, dan adanya
sanksi yang merupakan bentuk pertanggungjawaban pidana. Tindak pidana hanya
menunjukan bahwa perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang dilarang dan di
ancam dengan suatu pidana.
Unsur-unsur tindak pidana dirumuskan sebagai berikut :21
a. Handeling (perbuatan manusia)
Perbuatan manusia sebagai bagian dari perbuatan pidana. Jika kita
berusaha untuk menjabarkan sesuatu rumusan delik ke dalam unsur-unsurnya,
maka yang mula-mula dapat kita jumpai adalah disebutkannya suatu tindakan
manusia.
Handeling yang dimaksudkan tidak saja een doen (melakukan sesuatu)
namun juga een nalaten atau niet doen (melalaikan atau tidak berbuat). Juga
dianggap sebagai perbuatan manusia adalah perbuatan badan hukum. Penjelasan
terkait melakukan sesuatu dan tidak berbuat atau tidak melakukan sesuatu dapat
dijelaskan dengan menggambarkan perbedaan antara kelakuan seorang pencuri
dan kewajiban seorang ibu. Seorang pencuri dapat dipidana dikarenakan ia
berbuat sesuatu.
Subjek hukum yang membakar lahan, tidak hanya merupakan subjek
hukum yang merupakan perseorangan (van person), melainkan juga merupakan
korporasi (recht person). Anton P Wijaya, Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan
barat mengatakan, perusahaan atau korporasi dengan sengaja melakukan
Artikel, “Pengertian, Unsur-unsur Dan Jenis-jenis Tindak Pidana” http://
materimahasiswahukumindonesia.blogspot.co.id/2015/01/pengertianunsurdan-jenis-jenis-tindak.ht
ml, 26 Januari 2015. Diakses pada tanggal 13 April 2016 pukul 17:50 WIB.
21

Universitas Sumatera Utara

14

pembakaran lahan, dan membakar lahan tersebut memiliki kaitan dengan
kepentingan asuransi perusahaan yang melakukan pembakaran lahan tersebut.
Pada saat kebun dibuka dan beroperasi dengan jangka waktu tertentu, namun
lahan perkebunan tersebut tidak memberikan keuntungan bagi perusahaan tersebut
atau dalam hitungan ekonomi perkebunan tersebut tidak produktif, maka lahan
tersebut dibakar untuk mengklaim asuransi. Uang hasil pengklaiman asuransi
tersebut digunakan untuk membuka kebun baru di wilayah lain, dengan harapan
lahan yang baru akan lebih produktif. Modus ini menurut Anton P. Wijaya
merupakan modus baru dalam tindak pidana pembakaran lahan.
b. Wederrechtjek (melanggar hukum)
Terkait dengan sifat melanggar hukum, ada empat makna yang
berbeda-beda yang masing-masing dinamakan sama, yaitu :
1) Sifat melawan hukum formal
Artinya bahwa semua bagian atau rumusan (tertulis) dalam undang-undang
telah terpenuhi.
2)

Sifat melawan hukum umum

Sifat ini sama dengan sifat melawan hukum secara formal. Namun, ia lebih
menuju kepada aturan tak tertulis. Dalam artian ia bertentangan dengan hukum
yang berlaku umum pada masyarakat yaitu keadilan.
3)

Sifat melawan hukum khusus

Dalam undang-undang dapat ditemukan pernyataan-pernyataan tertulis
terkait melawan hukum.
Tindak pidana adalah suatu perbutan yang dilakukan oleh seseorang
dimana perbuatan tersebut melanggar ketentuan perundang-undangan yang
diancam dengan sanksi terhadap pelanggaran tersebut, dimana perbuatan yang
melanggar ketentuan perundangan tersebut melahirkan sanksi yang bersifat pidana,
sanksi bersifat perdata, ataupun sanksi yang bersifat administrasi. Secara umum

Universitas Sumatera Utara

15

tindak pidana dapat dikategorikan kedalam 2 bagian, yaitu :
a. Tindak pidana umum
Dimana perundang-undangannya diatur dalam KUHP yang terdiri dari 3
buku, 49 bab, serta 569 pasal-pasal yang tercantum dalam KUHP. Dalam isi pasal
103 KUHP, peraturan penghabisan Buku 1 KUHP disebutkan bahwa ketentuan
dari delapan bab yang pertama dari buku ini berlaku juga terhadap perbuatan yang
dihukum menurut peraturan perundangan lain, kecuali kalau ada undang-undang
(wef) tindakan umum pemerintah Algemene maatregelen van bastur atau
ordonansi menurut peraturan lain.
b. Tindak Pidana diluar Hukum Pidana umum atau diluar KUHP
Sedangkan bentuk tindak pidana yang kedua adalah bentuk Tindak Pidana
diluar Hukum Pidana umum atau diluar KUHP, yaitu yang disebut juga dengan
Tindak Pidana Khusus, dimana undang-undangnya diluar KUHP. Tindak pidana
pembakaran lahan tergolong dalam salah satu tindak pidana khusus, dimana
pengaturannya diatur secara terpisah dalam sebuah undang-undang umum.
Selain unsur-unsur tindak pidana, juga terdapat jenis-jenis tindak pidana
diantaranya :
a. Kesengajaan dan Kelalaian
b. Kejahatan dan Pelanggaran
c. Perbuatan yang melanggar undang-undang (Delik commisionis)
d. Tindak pidana yang menitik beratkan pada perbuatannya (Delik
formil)
e. Tindak pidana yang menitik beratkan pada akibatnya (Delik materil)

Universitas Sumatera Utara

16

Pembakaran lahan dikatakan sebagai tindak pidana karena pembakaran
lahan memiliki semua unsur-unsur tindak pidana sebagaimana yang disebutkan di
atas. Pembakaran lahan merupakan hasil kegiatan manusia, dan juga memiliki
sifat melawan hukum.
Pembakaran lahan, merupakan tindak pidana yang diketegorikan sebagai
kejahatan. Dalam KUHP, pembakaran lahan dikategorikan sebagai kejahatan
terhadap ketertiban umum. Selain itu, berdasarkan jenisnya, tindak pidana
pembakaran lahan dikategorikan sebagai tindak pidana materil atau delik materil,
yaitu tindak pidana yang menitik beratkan kepada akibat dari pembakaran lahan
tersebut. Tindak pidana pembakaran lahan diatur dalam berbagai bentuk peraturan
perundang-undangan.
Pada prinsipnya, pembakaran lahan dilarang, ada 4 (empat) bentuk
terjadinya pembakaran lahan yang diidentifikasi sebagai berikut :
1)

Tindakan membakar lahan dengan sengaja dilakukan orang tertentu,
tanpa ada kewenangan atau izin untuk berada di dalam kawasan lahan
tersebut.

2)

Tindakan membakar lahan dengan tidak sengaja dilakukan orang
akibat memasuki kawasan hutan atau perkebunan tanpa izin yang
berwenang.

3)

Tindakan membakar lahan dengan sengaja dilakukan orang atau
badan hukum yang diizinkan pihak berwenang untuk bekerja atau
berada dalam kawasan hutan atau perkebunan.

4)

Tindakan membakar lahan dengan tidak sengaja dilakukan orang atau

Universitas Sumatera Utara

17

badan hukum yang diizinkan melakukan kegiatan usaha di dalam
kawasan hutan oleh pihak yang berwenang. Sesuai prinsip dan aturan
hukum, bahwa setiap orang atau badan hukum tidak diperkenankan
melakukan tindakan membakar hutan kecuali dilakukan berdasarkan
kewenangan yang sah untuk tujuan-tujuan yang ditentukan,
misalnya :
a) Pembakaran lahan untuk kepentingan pembuatan padang
rumput makanan ternak.
b) Pembakaran lahan dilakukan untuk kepentingan persiapan
lokasi penanaman pohon dikawasan hutan. Pembakaran
lahan yang dilakukan dengan sengaja untuk kepentingan
yang dikehendaki dan telah memperoleh persetujuan
pemerintah yang dinyatakan sesuai peraturan
c) Perundang-undangan yang berlaku.
3. Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana adalah suatu perbuatan yang tercela oleh
masyarakat yang harus dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya atas
perbuatan yang dilakukan. Dengan mempertanggungjawabkan perbuatan yang
tercela itu pada si pembuatnya, apakah si pembuatnya juga dicela ataukah si
pembuatnya tidak dicela. Pada hal yang pertama maka si pembuatnya tentu
dipidana, sedangkan dalam hal yang kedua si pembuatnya tentu tidak dipidana. 22
Pertanggungjawaban pidana adalah sebuah bentuk tanggungjawab yang

22

Ibid, h. 75.

Universitas Sumatera Utara

18

harus dilaksanakan oleh seseorang ataupun subyek hukum yang telah melakukan
tindak pidana. Dalam bahasa asing pertanggungjawaban pidana disebut sebagai
toerekenbaarheid,

criminal

responbility,

criminal

liability.

Bahwa

pertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang
tersangka/terdakwa dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana (crime) yang
terjadi atau tidak. Seorang melakukan kesalahan, menurut Prodjohamidjojo, jika
pada waktu melakukan delict, dilihat dari segi masyarakat patut di cela. 23
Menurutnya seseorang mendapatkan pidana tergantung pada dua hal, yaitu :
a. Harus ada perbuatan yang bertentangan dengan hukum, atau dengan
kata lain harus ada unsur melawan hukum (harus ada unsur objektif)
b. Terhadap pelakunya, terdapat

unsur kesalahan dalam

bentuk

kesengajaan atau kealpaan. Sehingga perbuatan tersebut dapat
dipertanggungjawabakan (harus ada unsur subjektif).
Dengan perkataan lain apakah terdakwa akan dipidana atau dibebaskan.
Jika ia dipidana, tindakan yang dilakukan itu bersifat melawan hukum dan
terdakwa mampu bertanggungjawab. Kemampuan tersebut memperlihatkan
kesalahan dari petindak yang berbentuk kesengajaan atau kealpaan. Artinya
tindakan tersebut tercela tertuduh menyadari tindakan yang dilakukan tersebut.
Roeslan

Saleh

menyatakan

bahwa

dalam

membicarakan

tentang

pertanggungjawaban pidana, tidaklah dapat dilepaskan dari satu dua aspek yang
harus dilihat dengan pandangan-pandangan falsafah. Satu diantaranya adalah
keadilan, sehingga pembicaraan tentang pertanggungjawaban pidana akan
23

Prodjohamidjojo, Martiman, Memahami Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia
(Jakarta: PT. Pradnya Paramota, 1997), h. 31.

Universitas Sumatera Utara

19

memberikan kontur yang lebih jelas. Pertanggungjawaban pidana sebagai soal
hukum pidana terjalin dengan keadilan sebagai soal filsafat.24
Kesalahan dalam arti seluas-luasnya, dapat disamakan dengan pengertian
pertangungjawaban dalam hukum pidana. Didalamnya terkandung makna dapat
dicelanya si pembuat atas perbuatannya. Jadi, apabila dikatakan bahwa orang itu
bersalah melakukan sesuatu tindak pidana, maka itu berarti bahwa ia dapat dicela
atas perbuatanya.
Dalam Hukum Pidana konsep “pertanggungjawaban” itu merupakan
konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam bahasa latin ajaran
kesalahan dikenal dengan sebutan mens rea. Doktrin mens rea dilandaskan pada
suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran
orang itu jahat. Dalam bahasa Inggris doktrin tersebut dirumuskan dengan an act
does not make a person guilty, unless the mind is legally blameworthy.
Berdasarkan asas tersebut, ada dua syarat yang harus dipenuhi untuk dapat
memidana seseorang, yaitu ada perbuatan lahiriah yang terlarang/perbuatan
pidana (actus reus), dan ada sikap batin jahat/tersela (mens rea)25
Pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan yang
obyektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara subjektif yang ada memenuhi
syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu, Dasar adanya perbuatan
pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah
asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat perbuatan pidana hanya akan dipidana

24

Roeslan Saleh, Pikiran-pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana (Jakarta: Ghia
Indonesia, 1982), h. 10.
25
Hanafi, Jurnal Hukum, “Reformasi Sistem Pertanggungjawaban Pidana”, Tahun 1999.
h. 27.

Universitas Sumatera Utara

20

jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan perbuatan pidana tersebut. Kapan
seseorang

dikatakan

mempunyai

kesalahan

menyangkut

masalah

pertanggungjawaban pidana. Oleh karena itu, pertanggungjawaban pidana adalah
pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya,
yang dipertanggungjawabkan orang itu adalah tindak pidana yang dilakukannya.
Terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang
dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya
merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi
terhadap pelanggaran atas “kesepakatan menolak” suatu perbuatan tertentu.26
Sudarto mengatakan bahwa dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila
orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau
bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan
delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan, namun hal tersebut belum
memenuhi syarat penjatuhan pidana, yaitu orang yang melakukan perbuatan itu
mempunyai

kesalahan

dipertanggungjawabkan

atau
atas

bersalah.

perbuatannya

atau

Orang
jika

tersebut
dilihat

dari

harus
sudut

perbuatannya, perbuatannya baru dapat dipertanggungjawabkan kepada orang
tersebut.27
Dalam pertanggungjawaban pidana, tidak semua orang yang melakukan
tindak pidana dapat dihukum. Untuk memintakan pertanggungjawaban pidana
seseorang, harus memperhatikan berbagai aspek, dan berbagai unsur. Apakah
perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang didasari kehendak sendiri, atau
26
27

Mahrus Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h.156.
Sudarto. Hukum Pidana I (Semarang: FH UNDIP, 1988), h. 85.

Universitas Sumatera Utara

21

perbuatan tersebut merupakan sebuah kelalaian.
Bentuk kesalahan yang diakibatkan karena kesengajaan dan kelalaian,
tentulah beda pertanggungjawaban pidananya. Hal tersebutlah yang harus
diperhatikan dalam penjatuhan pidana. Penjatuhan pidana sebenarnya merupakan
salah satu bentuk pertanggungjawaban pidana.
F. Metode Penelitian
Dalam sistematika penulisan yang baik dan benar, haruslah menggunakan
metode penelitian yang benar. Adapun penelitian yang digunakan oleh penulis
dapat diuraikan sebagai berikut:
1.

Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini disesuaikan

dengan permasalahan yang diangkat di dalamnya. Untuk mendapatkan data yang
diperlukan sesuai dengan masalah yang diteliti, maka dalam hal ini penulis
menggunakan metode penelitian yang bila dilihat dari jenisnya dapat digolongkan
kedalam penelitian hukum normatif (yuridis normative). Yaitu merupakan
penelitian

yang

dilakukan

dengan

cara

menelaah

berbagai

peraturan

perundang-undangan tertulis dan berbagai literatur yang berkaitan dengan
permasalahan yang diangkat dalam skripsi. Penelitian yuridis normative ini juga
disebut dengan penelitian hukum doctrinal. Wigjosoebroto membagi penelitian
hukum sebagai berikut :28
1) Penelitian yang berupa usaha penemuan asas-asas dan dasar-dasaar
falsafah hukum positif
28

Johnny Ibrahim., Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Surabaya: Bayu
Media, 2007), h. 300.

Universitas Sumatera Utara

22

2) Penelitian yang berupa usaha inventarisasi hukum positif
3) Penelitian yang berupa usaha penemuan hukum in concreto yang layak
diterapkan untuk menyelesaikan suatu perkara tertentu.
2.

Sifat Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, penelitian yang digunakan adalah penelitian

yang bersifat deskriptif. Penilitan deskriptif adalah penelitian yang bertujuan
untuk melukiskan tentang sesuatu hal didaerah tertentu dan pada saat tertentu. 29
Skripsi ini mengupayakan untuk menggambarkan pertanggungjawaban pidana
terhadap pelaku perorangan yang melakukan pembakaran lahan di daerah
Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau.
3.

Sumber Bahan Hukum
Data dan sumber data yang digunakan dalam menyusun skripsi ini adalah

data sekunder. Adapun data sekunder tersebut diperoleh dari :
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang terdiri dari semua
dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak
berwenang, yaitu peraturan perundang-undangan. Baik di bidang
hukum pidana dan hukum acara pidana, antara lain Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana, (KUHAP), Undang-undang Nomor 32 Tahun
2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004 jo. 39 Tahun 2014 Tentang
Perkebunan, Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang

29

Suratman dan Philips Dillah, Metode Penelitian Hukum (Bandung: Alfabeta, 2013), h. 47.

Universitas Sumatera Utara

23

Kehutanan, Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004 jo 18 Tahun 2013
Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan Dan
Peraturan Perundang-Undangan Lain Yang Berkaitan Dengan Tindak
Pidana Pembakaran Lahan.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan
penjelasan terhadap bahan hukum pimer, yakni hasil karya para ahli
hukum berupa buku-buku dan pendapat-pendapat para sarjana. Dan
juga termasuk dokumen yang merupakan informasi atau bahan kajian
kejahatan yang berkaitan dengan kebakaran lahan, seperti modul,
majalah hukum, dan karya tulis ilmiah.
c. Bahan hukum tersier atau bahan penunjang yaitu bahan hukum yang
memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan
hukum primer dan/atau bahan hukum sekunder, yaitu kamus hukum,
ensiklopedia dan lain sebagainya.
4.

Teknik Pengumpulan Data
Dalam skripsi ini digunakan metode studi pustaka (Library research).

Yaitu metode pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh data
sekunder dengan cara menggali sumber-sumber tertulis, baik dari instansi yang
terkait, maupun buku literatur yang ada relevansinya dengan masalah penelitian
yang digunakan sebagai kelengkapan penelitian.
5.

Analisis Data
Analisis data dilakukan secara kualitatif yang digambarkan secara

deskriptif, rangkaian kegiatan analisis data dimulai setelah terkumpulnya data

Universitas Sumatera Utara

24

sekunder, kemudian disusun menjadi sebuah pola dan dikelompokan secara
sistematis. Analisis data lalu dilanjutkan dengan membandingkan data sekunder
terhadap data primer untuk mendapat penyelesaian permasalahan yang diangkat.
G. Sistematika Penulisan
Dalam menghasilkan karya ilmiah yang baik, maka pembahasannya
harus diuraikan secara sistematis. Sistematika penulisan ini dibagi dalam beberapa
tahapan yang disebut dengan bab. Dimana masing-masing bab dibagi dalam
beberapa sub bab yang masing-masing bab diuraikan masalahnya secara tersendiri,
namun masih dalam konteks yang saling berkaitan antara satu dengan yang
lainnya. Secara sistematis penulis menempatkan materi pembahasan keseluruhan
kedalam 4 (empat) bab terperinci. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah
sebagai berikut:
BAB I

:

Merupakan bab pendahuluan yang menguraikan tentang
segala hal yang bersifat umum dalam latar belakang,
kemudian dilanjutkan dengan perumusan masalah, tujuan dan
manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan,
metode

penelitian,

dan

ditutup

dengan

memberikan

sistematika dari penulisan.
BAB II

:

Membahas mengenai Pengaturan Tindak Pidana dan Sanksi
Pidana Terhadap Tindak Pidana Pembakaran Lahan, pada
Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Undang-undang
Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, Undang-undang
Nomor

32

Tahun

2009

Tentang

Pengelolaan

dan

Universitas Sumatera Utara

25

Perlindungan Lingkungan Hidup, Undang-undang Nomor 18
Tahun 2004 Tentang Perkebunan.
BAB III

:

Membahas mengenai Pertanggungjawaban Tindak Pidana
Pembakaran Lahan, Unsur Pertanggungjawaban Pidana,
Analisis Putusan Pengadilan Negeri Pelalawan Dengan
Nomor Perkara 118/ Pid. Sus/ 2014/ PN Plw atas nama
Terdakwa Suhadi.

BAB IV

:

Merupakan

bab

terakhir

yang

membahas

mengenai

kesimpulan dan saran. Dalam bab ini akan diuraikan tentang
kesimpulan dari seluruh penulisan yang telah diuraikan dalam
bab-bab yang sebelumnya sekaligus memberikan saran-saran
terhadap data yang ada.

Universitas Sumatera Utara