Pertanggungjawaban Pidana Mengenai Tindak Pidana Pembakaran Lahan (Studi Putusan No : 118/PID.SUS/2014/PN.Plw)

(1)

Daftar pustaka A. Buku

Ali, Ahmad, Menguak Tabir Hukum. Jakarta: PT.Chandra Pratama, 2001. Ali, Mahrus, Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2012.

Arifin, Syamsul, Hukum Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia, Jakarta: PT. Sofmedia, 2012.

Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana (Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan & Batas Ber;akunua Hukum Pidana, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.

Ediwarman, Penegakan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kriminologi, Yogyakarta: Ghenta Publishin, 2014.

Ekaputra, Abul Khair, Sistem Pidana Di Dalam KUHP dan Pengaturannya Menurut Konsep KUHP Baru, Medan: USU Press, 2010.

Endro, Gunardi, Redefenisi Bisnis Suatu Panggilan Etika Keutama Aristoteles, Jakarta: PT. Pustaka Binaman Pressindo, 1999.

Hanafi Amrani dan Mahrus Ali, Sistem Pertanggungjawaban Pidana : Perkembangan dan Penerapa, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada : Jakarta, 2015.

Hamdan, M., Tindak Pidana Pencemaran Lingkungan Hidup, Bandung: CV. Mandar Maju, 2000.

Hamzah, Andi, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986


(2)

, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di Indonesia, Jakarta: Akademika Presindo, 1983.

Hebert L. Packer, The Limits of Criminal Sanction, California: Starford University Press, 1968.

Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Surabaya: Bayu Media, 2007.

Lamintang, P.A.F., Hukum Pidana I : Hukum Pidana Material Bagian Umum, Bandung: Bina Cipta, 1987.

, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung : Sinar Baru, 1984.

Marlina, Hukum Penitensir, Bandung: PT. Refika Aditama, 2011. Mertokusumo, Sudkno, Mengenal Hukum, Yogyakarta: Liberty, 1999.

Mitchell, Bruce, Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2000.

Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002.

Mustafa Abdulah dan Ruben Achmad, Intisari Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983.

Prodjohamidjojo, Martiman, Memahami Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: PT. Pradnya Paramota, 1997.

Rahmadi, Takdir, Hukum Lingkungan di Indonesia, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2012.


(3)

Sahetapy, J. E., Victimologi (Sebuah Bunga Rampai), Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987.

Salim, Emil, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Jakarta: Mutiara Sumber Widya, Cetakan 10, 1995.

Saleh, Roeslan, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta: PT Aksara Baru, 1983.

, Pikiran-pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982.

Silalahi, Daud, Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Edisi Revisi, Bandung: Alumni, 1996.

Sudarto. Hukum Pidana I, Semarang: FH UNDIP, 1988.

Supriadi, Hukum Lingkungan Indonesia : Sebuah Pengantar, Palu: Sinar Grafika, 2005.

Sutrisna, I Gusti Bagus, Peranan Keterangan Ahili Dalam Perkara Pidana (TinjauanTerhadap Pasal 44 KUHP), 1986.

Syahrin, Alvi, Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan, Jakarta: PT.Soft Medi, 2009.

Utrecht, E., Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Jakarta: PT. Ichtiar Baru, 1983.

B. Majalah Hukum

Hanafi, Jurnal Hukum,

“Reformasi Sistem Pertanggungjawaban

Pidana”,

Tahun 1999


(4)

Syahrin, Alvi, “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Pencemaran dan atau Kerusakan Lingkungan”, Pidato pengukuhan jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Pidana/Lingkungan pada Fakultas Hukum USU, Medan, 2003.

Rajagukguk, Erman, “Peranan Hukum Dalam Pembangunan Pada Era

Globalisasi : Implikasi Bagi Pendidikan Hukum di Indonesia”, Pidato Pengukuhan Guru Besar Dalam Bidang Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 4 Januari 1997.

Tim Penyusun Pusat Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi ke-3), Jakarta: Balai Pustaka, 2007.

C. Internet

Artikel, “Pengertian, Unsur-unsur Dan Jenis-jenis Tindak Pidana” http:// materimahasiswahukumindonesia.blogspot.co.id/2015/01/pengertianuns urdan-jenis-jenis-tindak.html,

Fabian Januarius Kuwado, Berita, “Total Ada 218 Kasus Kebakaran Hutan

dengan 204 Orang Tersangka”, http://nasional.kompas.com/read/2015/ 09/29/09543371/Total.Ada.218.Kasus.Kebakaran.Hutan.dengan.204.Or ang.Tersangka, 2015.

Indra Nugraha, Berita, “Walhi: Berikut Korporasi-korporasi di Balik Kebakaran Hutan dan Lahan itu”, http://www.mongabay.co.id/2015/10/06/berikut- korporasi-korporasi-di-balik-kebakaran-hutan-dan-lahan-itu/, Jakarta, 2015.


(5)

Sri Lestari, Berita, “Dampak Kabut Asap Diperkirakan Capai Rp 200 Trilliun”, www.bbc.com/Indonesia/berita_indonesia/2015/10/151026_indonesia-k abutasap, 2015.

WALHI Jambi, Berita, "Pelaku Pembakaran Hutan dan Lahan, 22 Januari 2016 www.walhi-jambi.com/2016/01/pelaku-pembakaran-hutan-dan-lahan-st op.html?m=1/.

Wikipedia, Artikel, Modus Operandi, id.m.wikipedia.org/wiki/Modus_operandi. Diakses pada tanggal 12 April 2016 Pukul 02:23 WIB.

Wikipedia, Artikel, Kerusakan Lingkungan, id.m.wikipedia.org/wiki/Kerusakan _lingkungan. Diakses pada tanggal 10 April 2016 Pukul 13:13 WIB.

D. Putusan


(6)

BAB III

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA MENGENAI TINDAK PIDANA PEMBAKARAN LAHAN

A. Pertanggungjawaban Pidana Mengenai Tindak Pidana Pembakaran Lahan

Manusia merupakan makhluk yang tidak akan dapat hidup sendiri, dan tidak akan terlepas dari orang lain. setiap manusia, pasti akan berinteraksi atau berhubungan dengan manusia lainnya. Manusia yang merupakan subjek hukum pidana, juga tidak akan terlepas dari peristiwa hukum, yang merupakan hasil interaksi antar subjek hukum. Akibat berbagai faktor, manusia yang merupakan subjek hukum, tidak sedikit yang melakukan perbuatan pidana. Perbuatan pidana tersebut dilakukan. Salah satu perbuatan pidana yang dilakukan adalah pembakaran hutan, yang mengakibatkan kerugian bagi masyarakat luas.

Moeljatno berpendapat, bahwa perbuatan pidana merupakan perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, dimana larangan tersebut disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.42

R. Tresna dalam buku Adami Chazawi mendefinisikan perbuatan pidana adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tidakan penghukuman.43 Selain itu, syarat-syarat yang

42 Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002), h. 54.

43 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana (Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori


(7)

disebutkan oleh R. Tresna terkait peristiwa pidana adalah sebagai berikut :44 1. Harus ada perbuatan manusia.

2. Perbuatan tersebut harus sesuai dengan apa yang dilukiskan di dalam ketentuan hukum.

3. Harus terbukti adanya “dosa” pada orang yang berbuat, yaitu orangnya harus dapat dipertanggungjawabkan.

4. Perbuatan tersebut harus berlawanan dengan hukum.

5. Terhadap perbuatan itu, harus tersedua ancaman hukumannya dalam undang-undang.

Sudikno Mertokusumo mendefenisikan tindak pidana sebagai suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.45 Pelaku yang dimaksud oleh Sudikno adalah subjek hukum pidana, baik orang perseorangan, maupun korporasi.

Dalam doktrin hukum pidana, konsep tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana terbagi menjadi dua bentuk doktrin, yaitu ajaran yang memasukan pengertian pertanggungjawaban pidana ke dalam pengertian tindak pidana atau yang dikenal dengan doktrin ajaran monoisme, dan ajaran yang mengeluarkan secara tegas pengertian pertanggungjawaban pidana dari pengertian tindak pidana atau yang dikenal dengan doktrin dualisme.46

Dalam ajaran monoisme, frasa kesengajaan, kealpaan, kemampuan bertanggungjawab, pembuat bersalah, dapat dipersalahkan, dan dapat

44 Ibid

45 Sudkno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Yogyakarta: Liberty, 1999), h. 91. 46

Hanafi Amrani dan Mahrus Ali, Sistem Pertanggungjawaban Pidana : Perkembangan


(8)

dipertanggungjawabkan dimasukan sebagai bagian dari pengertian tindak pidana.47

Manusia sebagai subjek hukum harus mempertanggungjawabkan apa yang telah diperbuatnya secara hukum. Apabila subjek hukum melakukan sebuah perbuatan pidana, maka subjek hukum tersebut harus mempertanggungjawabkan apa yang telah diperbuatnya secara hukum. Moeljatno mengatakan bahwa hubungan antara perbuatan pidana dan kesalahan dinyatakan dengan hubungan antara sifat melawan hukumnya.

Orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana), apabila dia tidak melakukan perbuatan pidana. Orang yang tidak dapat dipersalahkan melanggar sesuatu perbuatan pidana tidak mungkin dikenakan pidana, sekalipun banyak orang mengerti.48

Orang dapat dikatakan mempunyai kesalahan, jika dia pada waktu melakukan perbuatan pidana, dilihat dari segi masyarakat dapat dicela. Perbuatan tersebut juga tentunya akan dapat diketahui apakah perbuatan tersebut merupakan sebuah kesengajaan, ataupun kealpaan.

Tindak pidana pembakaran lahan merupakan tindak pidana yang berdampak langsung kepada kehidupan masyarakat. Problem utama tiap masyarakat modern adalah bukan menginginkan perusahaan yang besar, melainkan apa yang dapat diharapkan terhadap perusahaan besar tersebut.49 Menurut Erman Rajagukguk, pembangunan yang komprehensif harus memperhatikan hak-hak asasi manusia. Keduanya tidak dalam posisi yang

47 Ibid. h. 13 48


(9)

berlawanan, dan dengan demikian pembangunan akan mampu menarik partisipasi masyarakat.50

Beranjak pada argumen dari Erman Rajagukguk, tindak pidana merupakan salah satu perbuatan yang tidak memperhatikan hak-hak asasi manusia. Bahkan perbuatan tersebut dapat merugikan masyarakat sekitar. Sehingga, perbuatan tersebut seharusnya diminta pertanggungjawabannya kepada pelaku pembakaran lahan, baik pembakaran lahan karena kesengajaan, maupun karena kealpaan seseorang.

Dalam hal pertanggungjawaban pidana, tidak hanya orang perorangan yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana akibat perbuatan pidana yang dilakukan. Korporasi merupakan salah satu subjek hukum, yang juga sama halnya dengan orang perorangan. Korporasi yang memiliki sturktur organisasi yang jelas, serta melakukan perbuatan hukum, apabila dalam tindakan yang dilakukan oleh orang yang berada dalam struktur organisasi tersebut dan mengatas namakan korporasi tersebut melakukan sebuah perbuatan pidana, maka korporasi tersebut dapat dimintakan pertanggungjawaban atas perbuatannya.

Korporasi dalam ruang geraknya dimaksudkan untuk memberikan kesejahteraan kepada masyarakat luas. Korporasi dapat melakukan suatu tindak pidana melalui pejabat seniornya yang memiliki kedudukan dan kekuasaan untuk berperan sebagai otak dari korporasi. Pejabat senior tersebut adalah mereka yang mengendalikan korporasi, baik sendirian maupun bersama-sama dengan pejabat

50 Erman Rajagukguk, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Pada Era Globalisasi :

Implikasi Bagi Pendidikan Hukum di Indonesia, Pidato Pengukuhan Guru Besar Dalam Bidang

Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 4 Januari 1997. h. 7. Dalam Alvi Syahrin, Ibid.


(10)

senior yang lain, yang mencerminkan dan mewakili pikiran atau kehendak dari korporasi.51

Berbeda dengan orang perseorangan dalam hal pertanggungjawaban pidana. Korporasi tidak hanya menerima sanksi yang bersifat administratif terhadap korporasi tersebut. akan tetapi, direksi dari sebuah korporasi yang melakukan tindak pidana juga harus diminta pertanggungjawabannya. Pasal 98 ayat (1) Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, menjadi sebuah dasar hukum yang jelas bahwa direksi dari suatu perusahaan akan dapat bertindak atas nama perusahaan atau korporasi, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Hal tersebut membuktikan, bahwa direksi yang harus bertanggungjawab atas perbuatan pidana yang dilakukan oleh korporasi tersebut.

Sama halnya dengan tindak pidana pembakaran lahan, baik lahan perkebunan, lahan kehutanan, dan bentuk tindak pidana pengerusakan lingkungan hidup lainnya, yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana adalah orang perorangan dan korporasi atau badan usaha yang melakukan tindak pidana pembakaran lahan tersebut. Pasal 116 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyebutkan :

(1) Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada :

a. Badan usaha; dan/atau

b. Orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut

(2) Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan


(11)

usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama

Dalam Pasal 119 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009, perbedaan pertanggungjawaban pidana terhadap orang yang melakukan tindak pidana lingkungan hidup, maupun korporasi yang melakukan tindak pidana lingkungan hidup seperti pembakaran lahan, adalah bahwa korporasi dapat menerima sanksi pidana tambahan. Berbeda dengan orang perseorangan yang melakukan tindak pidana pembakaran lahan, yang hanya menerima sanksi berupa pidana penjara, kurungan dan/atau denda. Pidana tambahan menurut Pasal 119 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud di atas berupa :

1. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana 2. Penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan 3. Perbaikan akibat tindak pidana

4. Perwajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak dan/atau

5. Penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, Undang-undang Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, mengatur tentang larangan perbuatan membakar lahan, serta mengatur bentuk-bentuk sanksi yang diberikan kepada pelaku tindak pidana pembakaran lahan, yang merupakan manifestasi dari bentuk pertanggungjawaban pidana pelaku pembakaran hutan.


(12)

Dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999, pada Pasal 50 ayat (3) huruf d berbunyi “setiap orang dilarang membakar hutan”. Kata setiap orang dalam Pasal 50 ayat (3) tersebut, diartikan sebagai subjek hukum, baik perseorangan maupun korporasi yang melakukan pembakaran hutan. Apabila perbuatan tersebut dikarenakan adanya unsur kesengajaan dari pelaku, maka berdasarkan Pasal 78 ayat (3) mengancam perbuatan tersebut dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak 5 Milyar Rupiah. Sedangkan apabila kebakaran lahan tersebut terjadi akibat kelalaian dari subjek hukum, maka perbuatan tersebut berdasarkan Pasal 78 ayat (4) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 mengancam pelaku tersebut dengan pidana penjara paling lama 5 tahun, dan denda paling besar 1 Milyar 5 Ratus Juta Rupiah.

Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 69 ayat (1) huruf h berbunyi : ”setiap orang dilarang melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar”. pelaku pembukaan lahan dengan cara membakar lahan tersebut berdasarkan pasal 108 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun. Dan pidana denda paling sedikit 3 Milyar Rupiah, paling banyak 10 Milyar Rupiah.

Dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang perkebunan pada Pasal 56 ayat (1) memuat larangan bagi setiap pelaku usaha perkebunan dilarang membuka dan/atau mengelola lahan dengan cara membakar. Pada pasal 108 Undang-undang Nomor 39 Tahun 2014, mengancam perbuatan sebagaimana yang dimaksud pada pasal 56 ayat (1) dengan pidana 10 tahun dan denda paling banyak


(13)

10 Milyar Rupiah.

KUHP mengklasifikasikan tindakan yang menimbulkan kebakaran kedalam bab kejahatan. Pasal 187 berbunyi :

“Barang siapa dengan sengaja menimbulkan kebakaran, ledakan atau banjur, diancam :

1. Dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika karena perbuatan tersebut di atas timbul bahaya umum bagi barang

2. Dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun, jika karena perbuatan tersebut di atas timbul bahaya bagi nyawa orang lain

3. Dengan pidana penjara seumur hidup atau dengan waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika karena perbuatan tersebut di atas timbul bahaya bagi nyawa orang lain dan mengakibatkan orang mati”

Berbagai bentuk aturan, larangan dan sanksi pidana terhadap tindak pidana pembakaran lahan dalam Peraturan Perundang-undangan Nasional merupakan bentuk pertanggungjawaban pidana mengenai tindak pidana pembakaran lahan. Peraturan Perundang-undangan tersebut dibentuk oleh pemerintah, sebagai upaya untuk menanggulangi kejahatan khususnya di bidang pembakaran lahan, dengan memberikan sanksi-sanksi dan larangan yang tegas.

B.Unsur-unsur Pertanggungjawaban Pidana

Semua perbuatan yang bertentangan dengan azas-azas hukum menjadi pelanggaan hukum. Dalam hukum pidana, suatu pelanggaran hukum disebut perbuatan melawan hukum. Dengan kata lain, pelanggaran hukum itu terkhusus dalam hukum pidana memuat anasir melawan hukum.52 Terkadang, perbuatan yang dilakukan secara konkrit tidak dipandang sebagai suatu perbuatan melawan hukum. Walaupun peraturan perundang-undangan di bidang hukum pidana telah mengatur dan penyebutkan perbuatan tersebut merupakan suatu delik pidana.

52

E.Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia (Jakarta: PT. Ichtiar Baru, 1983), h. 390.


(14)

Aparat penegak hukum juga harus memperhatikan bagaimana bentuk kejadian dalam peristiwa hukum tersebut, dan harus memperhatikan siapa yang melakukan perbuatan tersebut. Tidak semua subjek hukum yang melakukan tindak pidana dapat dijatuhi pidana, atau dimintakan pertanggungjawabannya. Sehingga, untuk mengetahui siapa yang dapat dijatuhi pidana ataupun tidak dijatuhi pidana, untuk mengetahui bagaimana sebenarnya kondisi psikis dari pelaku, apakah pelaku tersebut merupakan orang yang mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya atau tidak, dan sebagainya, aparat penegak hukum harus memperhatikan unsur-unsur pertanggungjawaban pidana sebagai berikut :

1. Unsur Kesalahan

Pertanggungjawaban pidana tindak pidana tidak akan tercipta jika pada diri orang yang melakukan tindak pidana tidak terdapat kesalahan. Kesalahan merupakan titik sentral dari konsep pertanggungjawaban pidana. Dengan kata lain, menurut Cynthia H. Finn dalam buku “The Responsible Corporate Officer, Criminal Liability, and Mens Rea, menyatakan bahwa kesalahan merupakan salah satu karakter hukum pidana yang tidak mungkin dapat dihapus.53

Begitu sentralnya unsur kesalahan ini, sehingga meresap dan menggema dalam hamoour semua ajaran dalam hukum pidana, sebagaimana yang dimaksud oleh Remmelink dalam buku Hukum “Pidana Komentar atau Pasal-pasal terpenting dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia” yang dikutip oleh Hanafi


(15)

Amrani dan Mahrus Ali sebagai berikut :54

“Bagaimanapun juga, kita tidak rela membebankan derita kepada orang lain, sekedar karena orang itu melakukan tindak pidana, kecuali jika kita yakin bahwa ia memang dapat dipersalahkan karena tindakannya itu. Karena itu, dapat juga diandaikan bahwa manusia dalam kondisi tidak terlalu abnormal, sepanjang ia memang menginginkannya, muncul sebagai makhluk yang memiliki akal budi serta sanggup dan mampu mentaati norma-nprma masuk akal yang ditetapkan oleh masyarakat sebagai jaminan kehidupannya. Karena itu, kesalahan adalah pencelaan yang ditunjukan oleh masyarakat yang menerapkan standar etis yang berlaku pada waktu tertentu, terhadapt manusia yang melakukan perilaku menyimpang yang sebenarnya dapat dihindari.”

Hukum pidana, selalu berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana. Teori hukum pidana memandang, apakah pelaku atau subjek hukum tersebut dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana akibat perbuatan pidana yang dilakukan subjek hukum tersebut, baik orang perorangan ataupun korporasi. Dalam sistem hukum pidana Inggris, dikenal doktrin mens rea yang secara lengkap berbunyi actus non facit reum nisi men sit rea”. Dotktrin tersebut berari bahwa suatu perbuatan tidak dapat membuat orang menjadi bersalah kecuali dilakukan dengan niat jahat.55

Berdasarkan doktrin tersebut, dapat ditarik keseimpulan bahwa suatu perbuatan akan dinilai menjadi perbuatan yang salah, apabila perbuatan tersebut mengandung unsur-unsur :

a. Perbuatan tersebut merupakan perumusan dari kehendak

b. Adanya kondisi jiwa, dan itikad jahat yang melandasi perbuatan tersebut.

Secara singkat, dapat dijelaskan bahwa dalam doktrin mens rea tersebut

54 Ibid. 55

Mustafa Abdulah dan Ruben Achmad, Intisari Pidana (Jakarta: Ghia Indonesia, 1983), h. 40.


(16)

terdapat unsur subjektif atau unsur yang mengacu kepada pelaku kejahatan. Doktrin mens rea tersebut ternyata diadopsi dalam hukum pidana Indonesia. Dalam hukum pidana, dikenal dengan asas legalitas. Asas ini mengintisarikan bahwa seseorang atau subjek hukum tidak dapat dihukum apabila tidak ada hukum yang mengatur perbuatan tersebut sebelumnya. Artinya, apabila tidak ada suatu hukum atau aturan yang mengatur mengenai kesalahan sebelumnya, maka subjek hukum yang melakukan tindak pidana tersebut tidak dapat diminta pertanggungjawaban pidana.

Kesalahan, secara umum tidak dapat diperhatikan, mengapa si pelaku kejahatan melakukan kejahatan. S.R Sianturi mendefiniskan kesalah sebagai :

a. Mengatakan tidak benar b. Menyatakan ketercelaan

c. Melakukan suatu perbuatan, tetapi tidak dengan suatu kehendak mengenai elanjutan perbuatannya atau akibatnya.

d. Melakukan suatu tindakan atau perbuatan terlarang sesuai dengan kehendaknya da akibatnya itu diikutinya.

Kesalahan dalam arti luas dapat dikatakan pula sebagai pertanggungjawaban pidana. Kesalahan dalam arti luas terdiri dari 3 unsur, yaitu :56

a. Karena kurang sempurna berfikirnya atau sakit sehingga menyebabkan berubah daya fikirnya (Toerekeningsvatbaaheid) b. Kesalahan dalam arti sempit yang terdiri dari kekhilafan atau


(17)

kelalaian, dan kesengajaan.

c. Perbuatan dapat dipertanggungjawabkan kepada pembuat Terdapat tiga teori kesalahan dalam arti luas, yaitu :57

a. Teori Determinisme

Teori ini berpendapat bahwa manusia sama sekali tidak menentukan kehendaknya secara bebas. Kehendak manusia untuk membuat sesuatu itu terlebih dahulu ditentukan oleh beberapa faktor, yang terpenting adalah faktor lingkungan dan faktor diri sendiri. Dalam menentukan kehendaknya, maka manusia tunduk pada hukum kausalitas.

b. Teori Indeterminisme

Teori ini beranggapan bahwa manusia menentukan kehendaknya secara bebas. Teori ini juga berpandangan, bahwa kehendak manusia tersebut ditentukan oleh faktor terpenting yaitu faktor lingkungan dan faktor kehendak sendiri.

c. Teori Moderrn

Teori ini beranggapan bahwa untuk mengetahui berbagai hal kehendak manusia, ditentukan oleh beberapa faktor seperti faktor lingkungan dan faktor kepribadian, dan juga beranggapan bahwa kesalahan merupakan dasar dari hukum pidana.

Dalam hukum pidana, unsur-unsur kesalahan terbagi menjadi 2, yaitu : a. Kesengajaan (Dolus)

KUHP tidak mendefinisikan pengertian kesengajaan. Akan tetapi, dalam Memorie van Toelichting (MvT) mengartikan kesengajaan merupakan sifat yang

57


(18)

menghendaki dan menginsyafi terjadinya suatu tindakan dan beserta akibatnya58. Orang dapat mengatakan bahwa pelanggar hukum melakukan peristiwa pidana yang bersangkutan dengan sengaja. Apabila akibat perbuatannya dikehendakinya.

Kesengajaan yang merupakan sebagai salah satu bentuk kesalahan pidana memiliki 3 unsur yaitu :

1) Berupa tindakan yang dilarang

2) Adanya akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya larangan tersebut

3) Bahwa tindakan tersebut telah melanggar ketentuan yang ada. Dalam hukum pidana, terdapat 3 tingkatan kesengajaan atau 3 degradasi kesengajaan, yaitu :

1) Kesengajaan dengan maksud,

Pelaku memang menginginkan akibat dari perbuatan tersebut. dengan kata lain, pelaku telah mengetahui akan perbuatan yang dilakukannya, dan dengan perbuatannya tersebut bermaksud untuk mencapai apa yang menjadi tujuannya. Apabila dikaitkan dengan tindak pidana pembakaran lahan, pelaku telah mengetahui apa yang menjadi akibat dari perbuatan pembakaran lahan tersebut, dan dengan akibat tersebut pelaku dengan mudah melancarkan tujuan ataupun maksud dari perbuatan tersebut. Misalkan dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang perkebunan pada Pasal 56 ayat (1) memuat larangan bagi setiap pelaku usaha perkebunan dilarang membuka dan/atau mengelola lahan dengan cara membakar lahan. Berdasarkan pasal tersebut dapat disimpulkan


(19)

bahwa pelaku pembakaran lahan membakar lahan dengan maksud untuk membuka lahan baru, agar pelaku mendapatkan keuntungan dari lahan baru tersebut.

2) Kesengajaan dengan kepastian

Pelaku mengetahui selain dari akibat yang diinginkan dengan melakukan perbuatan tersebut, kemungkinan akan muncul akibat-akibat lainnya dengan perbuatan yang sama. Apabila dikaitkan dengan tindak pidana pembakaran lahan, pelaku pembakaran lahan sengaja membakar lahan dan telah mengetahui akan muncul akibat lain dari perbuatan tersebut. Sebagai contoh, pelaku pembakaran lahan membakar lahan untuk membuka lahan baru, dengan maksud agar dapat memanfaatkan lahan baru tersebut demi kepentingannya. Dengan perbuatan tersebut, pelaku mengetahui bahwa pembakaran lahan tersebut akan menimbulkan kabut asap yang tebal, dan merugikan masyarakat sekitar.

3) Kesengajaan dengan kemungkinan terjadi

Pelaku telah mengetahui, dengan perbuatan yang dilakukannya, kemungkinan akan terjadi akibat lain yang belum tentu terjadi. Sebagai contoh, pelaku pembakaran lahan telah mengetahui bahwa perbuatan mmembakar lahan akan menimbulkan kabut asap yang tebal, dan kemungkinan akan merugikan perusahaaan lain yang bergerak di bidang transportasi udara.

Lamintang menyebetukan kesengajaan dalam bentuk kemungkinan ini dengan istilah dolus eventualis, yang berarti bahwa pelaku untuk menimbulkan suatu akibat yang dilarang oleh undang-undang telah menyadari kemungkinan akan timbulnya suatu akibat lain dari akibat yang memang ia kehendaki. Jika


(20)

kemungkinan yang ia sadari itu kemudian menjadi kenyataan, terhadap kenyataan tersebut ia katakan mempunyai suatu kesengajaan.59

b. Kelalaian (Culpa)

Kelalaian merupakan salah satu unsur kesalahan dalam arti sempit. Tidak semua akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh subjek hukum merupakan sebuah kehendak dari pelaku tersebut. Akan tetapi, delik pidana secara objektif, melihat apa yang menjadi akibat dari perbuatan tersebut. Apabila akibat dari suatu perbuatan tersebut walaupun bukan kehendaknya tetap dimintakan pertanggungjawabannya, maka dapat dikatakan bahwa pelaku tersebut telah lalai atau khilaf.60

Peraturan perundang-undangan di bidang pembakaran lahan, juga memberikan hukuman terhadap kelalaian yang dilakukan oleh subjek hukum, yang mengakibatkan suatu keadaan yang merugikan dan harus dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum. Salah satu contoh adalah Pasal 78 ayat (4) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, yang memberikan hukuman kepada akibat dari kelalaiannya menyebabkan hutan terbakar, akan dipidana penjara 5 (lima) tahun dan denda 1 Milyar 5 Ratus Juta Rupiah.

2. Kemampuan Bertanggungjawab

Simons berpendapat bahwa mampu bertanggungjawab adalah mampu menginsafi sifat melawan hukumnya perbuatan dan sesuai dengan keinsafan itu menentukan kehendak. Sutrisna berpendapat bahwa untuk kemampuan

59 P.A.F Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung : Sinar Baru, 1984) h 301


(21)

bertanggungjawab maka harus ada dua unsur, yaitu : 61

a) Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan buruk yang sesua dengan hukum dan yang melawan hukum. b) Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsafan

tentang baik dan buruknya perbuatan tersebut.

Dengan kata lain, bahwa kemampuan bertanggungjawab berkaitan dengan dua faktor terpenting, yaitu :

a) Faktor akal untuk membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang dilarang atau melanggar hukum

b) Faktor perasaan atau kehendak uang menentukan kehendaknya dengan menyesuaikan tingkah lakunya dengan penuh kesadaran. Telah dimaklumi, bahwa perbuatan pidana memiliki konsekuensi pertanggungjawaban serta penjatuhan pidana. Maka setidaknya, ada dua alasan untuk mengenal kejahatan, yaitu :62

a) Pendekatan yang melihat sebagai dosa atau perbuatan yang tidak senonoh yang dilakukan oleh manusia.

b) Pendekatan yang melihat kejahatan sebagai perwujudan dari sikap dan pribadi pelaku yang tidak normal sehingga ia berbuat jahat. Dalam hal kemampuan bertanggungjawab, apabila dilihat dari keadaan batin orang yang akan melakukan perbuatan pidana merupakan maslah kemampuan bertanggungjawab dan menjadi dasar yang penting untuk

61

Sutrisna, I Gusti Bagus, Peranan Keterangan Ahili Dalam Perkara Pidana

(TinjauanTerhadap Pasal 44 KUHP). Dalam Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana (Jakarta: Ghia Indonesia, 1986), h.83.

62

J. E. Sahetapy, Victimologi (Sebuah Bunga Rampai) (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987), h. 41-42.


(22)

menentukan adanya kesalahan. Keadaan jiwa orang yang melakukan perbuatan pidana haruslah sedemikian rupa sehingga dikatakan normal. Orang yang normal dan sehat ini dapat mengatur tingkah lakunya.63

Sebaliknya, orang yang tidak normal atau memiliki sakit fikiran, tidak akan mampu mengatur tingkah lakunya. Ketika orang yang tidak mampu untuk mengatur tingkah lakunya sebagai manusia, tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya, walaupun secara hukum perbuatan tersebut merupakan tindak pidana atau perbuatan pidana.

Pasal 44 KUHP, menegaskan bahwa orang yang tidak sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal, tidak dapat diminta pertanggungjawaban dan tidak dapat dijatuhi pidana kepadanya. Akan tetapi, Jonkers memiliki pendapat yang lebih luas. Menurut Jonkers, orang yang tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana, bukan hanya orang dengan memiliki pertumbuhan akal yang tidak sehat atau orang cacat, akan tetapi manusia yang belum dewasa juga tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Karena orang yang belum dewasa belum memiliki kematangan dalam berfikir. Perkembangan ide, ego dan super ego dari orang yang belum dewasa belum berkembang dengan baik.

3. Tidak Ada Alasan Pemaaf

Alasan pemaaf adalah salah satu bagian dari alasan penghapus pidana. Pada dasarnya alasan penghapus pidana tersebut terbagi atas alasan pembenar dan alasan pemaaf. Yang merupakan bagian dari pembahasan tentang pertanggungjawaban pidana adalah terkait dengan tidak adanya alasan pemaaf.

63


(23)

Alasan penghapus pidana adalah peraturan yang terutama ditujukan kepada hakim. Peraturan ini menteapkan dalam keadaan apa seorang pelaku yang telah memenuhi perumusan delik yang seharusnya dipidana, tidak dipidana. Hakim menempatkan wewenang dari pembuat undang-undang untuk menentukan apakan telah terdapat keadaan khisis seperti dirumuskan dalam alasan penghapus pidana. Alasan-alasan penghapus pidana ini adalah alasan-alasan yang memungkinkan orang yang melakukan perbuatan yang sebenarnya telah memenuhi rumusan delik, tetapi tidak dipidana.

Pembicaraan mengenai alasan penghapus pidana di dalam KUHP dimuat dalam Buku I Bab III tentang hal-hal yang menghapuskan dan memberatkan pengenaan pidana. Alasan penghapus pidana dapat dikatakan alasan untuk membebaskan seseorang dari pindana walaupun orang tersebut telah melakukan tindak pidana, atau melanggar ketentuan-ketentuan hukum yang ada.

Untuk dimintakan suatu pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku pidana, selain harus memiliki kemampuan bertanggung jawab, terhadap perbuatan yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana tidak terdapat alasan penghapus pidana. Alasan penghapus pidana pada umumnya merupakan suatu bentuk atau keadaan yang mengakibatkan pelaku tindak pidana tidak dapat dipidana. Alasan Penghapus pidana terbagi menjadi 2 jenis, yaitu:

a. Alasan Pemaaf

Apabila tidak dipidananya seseorang yang telah melakukan perbuatan yang telah melakukan perbuatan yang mencocoki rumusan delik disebabkan karena tidak sepantasnya orang itu dicela, tidak sepatutnya dia disalahkan. Maka


(24)

hal-hal yang menyebabkan dia tidak sepantasnya dicela itu disebut sebagai hal-hal yang dapat memaafkannya. Jenis-jenis alasan pemaaf adalah sebagai berikut :

1) Tidak mampu bertanggungjawab

Orang yang memiliki kemampuan untuk bertanggungjawab adalah orang yang normal dan memiliki akal sehat. Pasal 44 KUHP menjadi dasar bagi alasan pemaaf tersebut. Dalam pasal 44 KUHP, orang yang tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana terhadap perbuatannya adalah orang yang memiliki cacat dalam pertumbuhan, gangguan dalam kejiwaan dan berubah akal.

Dalam pasal 44 KUHP ini, tampaknya pembentuk undang-undang membuat peraturan khusus bagi pelaku yang tidak dapat mempertanggungjawab kan perbuatannya, karena sakit jiwa atau kurang sempurna akalnya pada saat perbuatan itu dilakukan.

Berdasarkan Pasal 44 ayat (3) KUHP, kewenangan untuk tidak menghukum pelaku berdasarkan sakit jiwa hanya diberikan kepada hakim. Akan tetapi, dalam menentukan apakah pelaku memang benar memiliki penyakit jiwa atau sakit berubah akal, hakim harus merujuk terhadap keterangan saksi ahli dalam bidang ilmu kejiwaan. Meskipun hakim harus merujuk terhadap keterangan saksi ahli dalam bidang ilmu kejiwaan (psikiatri), hakim dalam memberikan putusannya tidak terkait dengan keterangan yang diberikan oleh saksi ahli tersebut. penerumaan maupun penolakan hakim ini tentunya harus diuji berdasarkan kepatutan atau kepantasan.

2) Daya Paksa


(25)

tidak dapat dilawan. Titik tolak dari daya paksa ini adalah adanya keadaan- keadaan yang eksposional yang secara mendadak menyerang pembuat atau pelaku, buka ketegangan psikis, melainkan keharusan melakukan perbuatan pidana untuk mencapai tujuan yang adil. Alasan pemaaf karena daya paksa diatur dalam pasal 48 KUHP.

Setiap paksaan dapat dijadikan alasan penghapus pidana. Akan tetapi, hanya paksaan yang benar-benar tidak dapat dilawan atau di elakkan lagi oleh pelaku, sehingga oleh sebab adanya paksaan itulah ia melakukan tindak pidana. Paksaan yang dimaksud adalah paksaan absolut.

3) Pembelaan Terpaksa

Dalam pembelaan terpaksa, ada dua hal yang harus diperhatikan, yaitu : a) Harus ada situasi pembelaan terpaksa yang berarti suatu situasi

dimana pembelaan raga, kehormatan, kesusilaan, atau harta benda terhadap serangan seketika bersifat melawan hukum menjadi keharusan.

b) Pelampauan batas dari keharusan pembelaan, harus merupakan akibat langsung dari kegoncangan jiwa hebat dapat mencakup berbagai jenis emosi, Yaitu takut, marah, dan panik. Kebencian yang sudah ada terlebih dahulu yang tidak disebabkan oleh serangan, tidak dapat dipakai untuk memaafkan. Selain itu, guncangan jiwa yang hebat itu tidak disebabkan oleh serangan, tetapi karena pengaruh alcohol atau narkotika.


(26)

Maksud perbuatan yang melampaui batas adalah perbuatan dengan sekonyong-konyong dilakukan karena perasaan tergoncang dengan segera pada saat itu juga. Perbuatan tersebut tidak dapat dijatuhi pidana.

Dalam hal ini, hakim berperan dalam menentukan apakah benar terdapat hubungan sebab akibat antara suatu peristiwa yang mengakibatkan kegoncangan jiwa pelaku sehingga ia melakukan suatu pembelaan yang melampaui batas, sedangkan itu sesungguhnya merupakan tindak pidana. Dengan alasan tersebut, pelaku tetap melakukan perbuatan melawan hukum. Akan tetapi kesalahan dalam perbuatan tersebut dihapuskan, sehingga tidak dapat dijatuhi pidana.

4) Melakukan perintah jabatan yang tidak sah dianggap sah

Pelaku yang melakukan perintah yang tidak sah namun di anggap sah dapat dihapuskan pidanannya apabila memenuhi syarat sebagai berikut :

a) Perintah itu dipandangnya sebagai perintah yang sah b)Dilakukan dengan itikad baik

c) Pelaksanaannya dalam ruang lingkup tugas-tugasnya.

Jika perintah itu tidak meliputi ruang lingkup tugas-tugasnya yang biasa ia lakukan, maka itikad baiknya dalam melakukan perintah itu diragukan. Jadi, dalam hal ini (pembuat) undang-undang menjaga “kepatutan buta” dari orang yang mendapatkan tugas atau yang menerima perintah yang dapat membawa akibat pemidanaan terhadap dirinya sendiri.

b. Alasan Pembenar

Apabila tidak dipidananya seseorang yang telah melakukan perbuatan yang mencocoki rumusan delik disebabkan karena hal-hal yang mengakibatkan


(27)

tidak adanya sifat melawan hukumnya perbuatan, maka dikatakanlah hal tersebut sebagai alasan pembenar. Perbuatan yang pada umumnya dipandang sebagai perbuatan yang keliru, dalam kejadian yang tertentu itu dipadnang sebagai perbuatan yang dibenarkan, bukanlah perbuatan yang keliru. Salah satu contoh alasan pembenar adalah :

1) Keadaan Darurat

Seseorang dikatakan berada dalam keadaan darurat apabila seseorang dihadapkan pada suatu dilema untuk memilih antara melakukan delik atau merusak kepentingan yang lebih besar. Dalam keadaan darurat pelaku suatu tindak pidana terdorong oleh suatu paksaan dari luar, paksaan tersebut yang menyebabkan pelaku dihadapkan pada tiga keadaan darurat, yaitu perbenturan antara dua kepentingan hukum. Dalam hal ini pelaku harus melakukan suatu perbuatan untuk melindungi kepentingan hukum tertentu, namun pada saat yang sama melanggar kepentingan hukum yang lain, begitu pula sebaliknya perbenturan antara kepentingan hukum dan kewajiban. Dalam hal ini pelaku dihadapkan pada keadaan apakan harus melindungi kepentingan hukum dan kewajiban hukum. Dalam hal ini pelaku harus melakukan kewajiban hukum tertentu, namun pada saat yang sama dia tidak melakukan kewajiban hukum yang lain, begitu pula sebaliknya. Dalam keadaan tersebut di atas, tindak pidana yang dilakukan hanya dibenarkan jika :

a) Tidak ada jalan lain

b) Kepentingan yang dilindungi secara objektif bernilai lebih tinggi dari pada kepentingan yang dikorbankan


(28)

2) Pembelaan Terpaksa

Pembelaan terpaksa, dimuat dalam pasal 49 ayat (1) KUHP. Dalam pasal 49 ayat (1) KUHP, yang diisyaratkan sebagai pembelaan terpaksa adalah :

a) Adanya serangan mendadak atau seketika itu terhadap raga, kehormatan, kesusilaan atau harta benda

b) Serangan itu bersifat melawan hukum c) Pembelaan merupakan keharusan d) Cara pembelaan adalah patut 3) Melaksanakan Ketentuan Undang-Undang

Apabila seseorang yang melakukan perbuatan pidana, akan tetapi perbuatan tersebut merupakan salah satu bentuk perintah atau ketentuan undang-undang, maka pelaku tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban terhadap perbuatan tersebut. karena, kesalahan terhadap perbuatan tersebut telah dihapuskan. Dalam hal ini, terdapat perbenturan antara kewajiban hukum dengan kewajiban hukum lainnya. Artinya, bahwa untuk melakukan kewajiban hukumnya, seseorang harus melanggar kewajan hukum lainnya. Dalam melaksanakan ketentuan undang-undang tersebut, kewajiban yang terbesar harus diutamakan. Alasan pembenar tentang melaksanakan ketentuan undang-undang ini diatur dalam pasal 50 KUHP.

Dalam penjelasan ini menentukan pada prinsipnya orang yang melakukan suatu perbuatan meskipun itu merupakan tindak pidana. Akan tetapi karena dilakukan berdasarkan perintah undang-undang, maka pelaku tidak boleh


(29)

dihukum, walaupun perbuatan tersebut merupakan tindak pidana. Selain itu, perbuatan tersebut harus mementingkan kepentingan umum, dan bukan kepentingan pribadi.

4) Menjalankan Perintah Jabatan Yang Sah

Seorang bawahan melakukan suatu perbuatan, apabila perbuatan tersebut merupakan perintah dari jabatan yang diberikan oleh atasannya, maka walaupun perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum, pelaku yang melakukan perbuatan tersebut tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Hal tersebut diatur dalam pasal 51ayat (1) KUHP.

Dengan kata lain, yang memberikan perintah adalah orang yang berwenang, dan yang diperintahkan harus sesuai dengan atau berhubungan dengan pekerjaannya. Suatu hal yang tidak boleh di lupakan bahwa dalam hal melaksanakan ooeruntah jabatan, harus diperhatikan asas keseimbangan, kepatutan, kelayakan dan tidak boleh melampaui dari batas keputusan dari orang yang memerintah.

C. Analisis Putusan Pengadilan Negeri Kabupaten Pelalawan Nomor 118/ Pid. Sus/ 2014/ PN Plw

1. Kasus Posisi64

Terdakwa Suhadi Als Adi Bin Hamzah terbukti bersalah melakukan tindak pidana sengaja membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara pembakaran yang berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup. Terdakwa melakukan pembakaran lahan bertujuan untuk membuka lahan baru yang akan

64


(30)

ditanami tumbuhan karet. Dengan melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar, dapat meningkatkan pH tanah, sehingga mudah untuk ditanamkan tanaman baru dengan baik, tanpa menggunakan kapur. Lahan yang dibakar oleh terdakwa seluas 1,6 Ha pada tanggal 26 Februari 2014, yang merupakan tanah perizinan PT. Arara Abadi Distrik Sorek, Kabupaten Pelalawan.

Sebelum melakukan pembakaran lahan, terdakwa telah melakukan penebasan tumbuhan bawah, menebang pohon di areal yang dibakar. Pada saat proses pembakaran lahan, terdakwa tidak memberikan sekat api, yang bertujuan untuk mencegah pembakaran lahan yang lebih luas. Terdakwa bermaksud untuk melakukan pembakaran lahan, dan ditanami tumbuhan karet seluas 1,3 Ha. Sebelum melakukan pembakaran lahan, terdakwa diketahui melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar lahan tersebut pada bulan Agustus 2013. Perbuatan pembakaran lahan pada tanggal 26 Februari 2014 yang dilakukan oleh terdakwa, diketahui oleh 3 orang petugas PT. Arara Abadi, yang menjadi saksi pada persidangan, yaitu Jhon Hendri, Beni Siagian dan Jonori. Ketiga saksi sedang melakukan patroli pada tanggal 26 Februari 2014 pukul 15:00 WIB, dan menemukan gumpalan asap, serta menemui terdakwa di tempat kejadian perkara. Saksi yang melihat terdakwa bersama kayu akasia bekas dibakar, menanyakan siapa yang melakukan pembakaran tersebut kepada terdakwa. Terdakwa mengaku kepada saksi bahwa benar terdakwalah yang melakukan pembakaran lahan tersebut dengan menggunakan alat Ministriker HONDA. Terdakwa setelah beberapa saat melarikan diri karena mengetahui saksi mendapatkan perintah dari atasannya untuk menangkap terdakwa.


(31)

Menurut Saksi Ahli, selama pembakaran, telah dilepaskan 0,7 ton Karbon, 0,63 ton CO2, 0,002 ton CH4, 0,0013 ton NOX, 0,0006 ton NH3, 0,003 ton O3 dan 0,05 ton CO serta 0,03 ton partikel. Untuk memulihkan lahan gambut yang rusak akibat kebakaran lahan seluas 1,3 Ha, dibutuhkan biaya sebesar Rp. 1.961.820.520 (Satu Milyar Sembilan Ratus Enam Puluh Satu Juta Delapan Ratus Dua Puluh Ribu Lima Ratus Dua Puluh Rupiah).

2. Dakwaan65

Penuntut Umum membentuk surat dakwaan yang bersifat alternatif. Adapun yang menjadi dakwaan penuntut umum terhadap terdakwa pada putusan nomor 118/Pid.sus/2014/Pn Plw adalah sebagai berikut :

Kesatu :

Perbuatan terdakwa diancam pidana dengan Pasal 108 jo Pasal 69 ayat (1) huruf h Undang-undang RI Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Atau Kedua

Perbuatan terdakwa diancam pidana dengan Pasal 108 jo Pasal 48 ayat (1) jo Pasal 26 Undang-undang RI Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan.

3. Tuntutan Pidana66

Dalam surat dakwaan, penuntut umum mendakwakan terdakwa dengan surat dakwaan alternatif. Jaksa penuntut umum, menuntut terdakwa sesuai dengan dakwaan alternatif pertama. Setelah mendengar dan melihat fakta-fakta hukum

65 Ibid 66


(32)

dalam persidangan, melalui surat tuntutan jaksa penuntut umum, terdakwa dituntut dengan pidana sebagai berikut :

a. Menyatakan terdakwa Suhadi Als Adi Bin Hamzah bersalah melakukan Tindak Pidana “sengaja membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara pembakaran yang berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup.

b. Menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa selama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan membayar denda sebesar RP. 1.961.820.520 (satu milyar Sembilan ratus enam puluh satu juta delapan ratus dua puluh ribu kima ratus dua puluh rupiah) subsidair 6 (enam) bulan kurungan dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan dengan perintah terdakwa tetap ditahan.

c. Menetapkan barang bukti berupa 2 (dua) buah kayu bekas dibakar dirampas untuk dimusnahkan.

d. Menetapkan terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 2000 (dua ribu rupiah)

4. Putusan67

Dalam Amar Putusan, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kabupaten Pelalawan dengan putusan Nomor 118/PID.SUS/2014/PN. Plw, memutuskan :

a. Menyatakan terdakwa Suhaidi Als Adi Bin Hamzah telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “dengan sengaja membuka lahan dengan cara pembakaran yang berakibat terjadi


(33)

pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup

b. Menjatuhkan Pidana terhadap terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan pidana denda sebesar Rp. 1.962. 820. 520 (satu milyar Sembilan ratus enam puluh dua juta delapan ratus dua puluh ribu lima ratus dua puluh rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan. c. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan

seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.

d. Memerintahkan terdakwa tetap berada di dalam tahanan.

e. Membebani terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 5000 (lima ribu rupiah).

5. Analisis68

a. Fakta Hukum

Dalam putusan nomor 118/Pid.sus/2014/Pn Plw, Fakta-fakta hukum yang muncul dalam persidangan adalah sebagai berikut:

1) Terjadi kebakaran di areal IUPHHK-HTI PT. Arara Abadi Petak 9207 (03) Resort Malako Distrik Sorek, Desa Lubuk Raja, tersebut pada hari Rabu Tanggal 26 Februari 2014 pada pukul 16.00 WIB 2) Bahwa benar yang melakukan pembakaran lahan di atas lahan

perizinan PT. Arara Abadi adalah seorang yan mengaku bernama Adi.

3) Saksi yang bernama Jondri pada saat melakukan patroli

68 Ibid


(34)

menemukan terdakwa yang berada di dalam areal yang sedang terbakar, dan orang tersebut mengumpulkan batang akasia yang tertebang dan selanjutnya ikut dibakar.

4) Telah terbukti bahwa terdakwa memang membakar lahan pada tanggal 26 Februari 2014, dan telah terbukti bahwa terdakwa telah membuka lahan dengan cara membakar pada bulan Agustus 2014. 5) Terdakwa melakukan penebangan pohon akasia dengan

menggunakan parang, dan membakar pohon yang ditebang tersebut bersama dedaunan kering dengan menggunakan mancis.

6) Terdakwa melakukan penebangan pohon dan membakar lahan tersebut dengan tujuan untuk membuka lahan agar digunakan untuk membuat kebun karet.

7) Lahan yang ditebang dan dibakar terdakwa seluruhnya seluas lebih kurang 1 ha.

8) Kondisi lahan tersebut ada terdaoat tanaman kayu akasia dan terdakwa hanya menebang sisa pohon akasia yang masuh berdiri karena lahan tersebut sebelumnya sudah terdakwa bersihkan juga dengan ditebang dan dibakar sekitar bulan Agustus tahun 2013.

b. Pertimbangan Hakim

Surat dakwaan yang dibuat merupakan surat dakwaan alternatif, sehingga hakim hanya mempertimbangkan salah satu dari dakwaan yang paling dianggap relevan. Hakim mempertimbangkan dakwaan alternatif kedua, dengan melihat unsur-unsur yang ada dalam Pasal 48 ayat (1) jo Pasal 26 Undang-undang Nomor


(35)

18 Tahun 2004 Tentang Perkebenunan.

Unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 48 ayat (1) jo Pasal 26 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan, menurut majelis hakim telah terpenuhi oleh perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa. Adapun unsur-unsur yang dimaksud sebagai berikut :

1) Setiap Orang

2) Dengan sengaja membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara pembakaran

3) Berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup

Dalam putusan nomor 118/Pid.sus/2014/PN.Plw, Majelis Hakim menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa dengan menggunakan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan. Sebagaimana yang diketahui, Pemerintah telah mengeluarkan Undang-undang Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan, yang juga mencabut Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004. Hal tersebut dijelaskan pada pasal 115 yang berbunyi “Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 25 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4411) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku”.

Dalam pasal 117 Undang-undang Nomor 39 Tahun 2009 menyatakan bahwa undang-undang tersebut mulai berlaku pada saat setelah 2 tahun undang-undang tersebut mulai diundangkan. Dengan kata lain, Undang-undang


(36)

Nomor 39 Tahun 2014 berlaku pada tahun 2016. Melihat tempus delicti dari perbuatan yang dilakukan terdakwa, perbuatan terdakwa dilakukan pada tanggal 26 februari 2014. Pada saat itu, Undang-undang yang mengatur mengenai Perkebunan diatur oleh Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004. Maka pantaslah Majelis Hakim menggunakan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004.

Dalam putusan nomor 118/Pid.sus/2014/PN.Plw, tertuang dakwaan dari penuntut umum. Berdasarkan dakwaan dari penuntut umum, unsur “setiap orang“ yang terdapat dalam Pasal 48 ayat (1) jo Pasal 26 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004 telah terpenuhi. Bahwa terdakwa merupakan orang perseorangan yang normal, tidak memiliki cacat kejiwaan, serta cakap hukum, sehingga terdakwa dapat mempertanggungjawabkan semua perbuatannya. Terdakwa diketahui tidak memiliki suatu hubungan tertentu dengan korporasi manapun. Tidak ada satu alasan pun yang dapat menghapuskan pidana dari terdakwa.

Pada tanggal 26 Februari 2014, terdakwa melakukan pembakaran lahan, dengan sengaja, dan perbuatan tersebut diakui terdakwa untuk membuka suatu lahan perkebunan karet. Sehingga, unsur kedua dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2014 telah terpenuhi.

Sebagaimana yang diketahui, pembakaran lahan termasuk kedalam delik materil, yaitu delik yang melihat akibat dari perbuatan tersebut. Akibat dari pembakaran lahan sebagaimana keterangan saksi ahli, menimbulkan gumpalan asap yang berisikan gas-gas berbahaya seperti NH3, CO, dan sebagainya. Tentu saja gas-gas berbahaya tersebut akan merusak lingkungan hidup. Berdasarkan hal tersebut, unsur ketiga dalam pasal 48 ayat (1) jo 26 Undang-undang Nomor 18


(37)

Tahun 2004 Tentang Perkebunan telah terpenuhi.

Hakim dalam memberikan putusan, seharusnya memperhatikan dan mempertimbangkan apa yang menjadi hal yang dapat memberatkan serta yang dapat meringankan hukuman terdakwa. Yang menjadi hal-hal yang memberatkan serta meringankan bagi terdakwa dalam putusan nomor 118/Pid.sus/2014/Pn. Plw adalah :

a. Hal-hal yang memberatkan :

1) Perbuatan terdakwa bertentangan dengan program pemerintah yang ingin memberantas kegiatan illegal loging.

2) Perbuatan terdakwa mengakibatkan berkurangnya kawasan hutan yang pemanfaatannya tidak sesuai dengan ketentuan.

b. Hal-Hal yang meringankan :

1) Terdakwa telah menyesali perbuatannya dan berjanji tidak mengulangi lagi.

2) Terdakwa sebagai kepala keluarga memiliki tanggungan anak dan istri.

Atas dasar pertimbangan hakim yang meringankan dan memberatkan, hakim menjatuhkan pidana kepada terdakwa selama satu tahun. Dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004, tidak menyatakan adanya hukuman minimum dari perbuatan pembakaran lahan tersebut. Undang-undang hanya memberikan batasan hukuman maksimum dari perbuatan tersebut. Akan tetapi, memorie van toelichting (MvT) menegaskan bahwa hukuman pidana terhadap pelaku minimal satu hari. Maka daripada itu, hukuman yang dijatuhkan oleh


(38)

hakim yang melihat unsur sosiologis, menggunakan logika hukum deduktif, sudah sangat tepat.

Sebagaimana yang diketahui, perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa berakibat terjadinya pembakaran lahan dengan luas 1,3 Ha, diareal IUPHHK-HTI (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman Industri) milik PT. Arara Abadi. Penuntut umum dan majelis hakim menuntut dan menjatuhi pidana kepada terdakwa berdasarkan Undang-undang Perkebunan Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan. Apabila dilihat dari perbuatan tersebut, terdakwa melakukan pembakaran lahan kehutan, yang seharusnya dituntut dan didakwakan dengan Undang-undang Kehutanan akan tetapi hakim menuntut terdakwa dengan Undang-undang Perkebunan.

Alasan hakim dan penuntut umum menuntut dan menjatuhkan pidana berdasarkan Undang-undang perkebunan adalah dengan melihat apa tujuan dari perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa. Berdasarkan fakta di persidangan, terdakwa melakukan pembakaran lahan tersebut bertujuan untuk membuka lahan dan menjadikan lahan tersebut menjadi lahan perkebunan karet.

Berdasarkan Pasal 48 ayat (1), perbuatan yang dipidana adalah perbuatan tersebut “membakar lahan”. Hutan Tanaman Industri merupakan salah satu jenis atau salah satu bentuk lahan. Dan melihat akibat dari perbuatan terdakwa yaitu untuk membuka lahan perkebunan karet, unsur-unsur dalam pasal 48 ayat (1) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004 terpenuhi.

Dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004, ancaman pidana terhadap perbuatan tersebut adalah 10 (sepuluh) tahun penjara. Hakim menjatuhkan pidana


(39)

hanya selama 1 tahun penjara. Putusan hakim tersebut sudah tepat. Karena, luas areal yang dibakar sebesar 1,3 Ha. Luas lahan yang dibakar dan kerugian yang diderita sebanding dengan pidana yang dijatuhkan terhadap terdakwa. Selain itu, pada saat pemeriksaan di pengadilan, terdakwa mengakui bahwa memang benar ia yang melakukan pembakaran lahan, untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dari terdakwa tersebut.


(40)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN A.Kesimpulan

1. Kerusakan lingkungan hidup disebabkan oleh berbagai faktor. Diantaranya adalah karena pembakaran lahan, pembalakan liar, dan perbuatan- perbuatan manusia lainnya. Terkait tindak pidaa pembakaran lahan, diatur di dalam beberapa ketentuan yaitu pada KUHP yang termuat pada Pasal 187 KUHP, yang memberikan hukuman tehadap perbuatan yang disengaja mengakibatkan kebakaran, ledakan atau banjir. Selanjutnya, ketentuan tersebut diatur juga dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 termuat dalam Pasal 78 ayat (3) yang memberikan hukuman maksimal 15 Tahun dan denda 5 Milyar Rupiah bagi siapa saja yang sengaja melakukan suatu perbuatan yang membakar lahan. ketentuan lain yang mengatur adalah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan lingkungan hidup, yang tercantum pada Pasal 108, yang memberikan hukuman minimal penjara selama 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun bagi pelaku yang melakukan pembakaran lahan. Peraturan Perundang-undangan terbaru yang mengatur mengenai tindak pidana pembakaran lahan, juga termuat dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan, yang termuat dalam Pasal 48, yang memberikan hukuman paling singkat 10 (sepuluh) tahun pidana penjara dan paling lama 15 (lima belas) tahun pidana penjara.


(41)

2. Setiap orang yang melakukan suatu tindak pidana, harus mempertanggungjawabkan perbuatannya tersebut. Untuk dimintakan pertanggungjawaban kepada pelaku tindak pidana, perlu melihat apa yang mendasari dari perbuatan tersebut. apakah perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang didasari dengan adanya kesengajaan, ataupun karena suatu kealpaan. Dalam tindak pidana pembakaran lahan, juga harus diperhatikan unsur-unsur tindakan dan pertanggungjawaban dari pelaku pembakaran lahan. Untuk dimintakan suatu pertanggungjawaban pidana dari pembakaran lahan, harus diperhatikan unsur-unsur pertanggungjawaban pidana dari perbuatan tersebut. pelaku pembakaran lahan akan dimintakan pertanggungjawaban apabila pelaku tersebut melakukan perbuatan tersebut apabila memiliki unsur-unsur kemampuan bertanggungjawab, unsur-unsur kesalahan, serta tidak adanya alasan pemaaf bagi pelaku pembakaran lahan.

B.Saran

1. Perlu diadakannya suatu upaya pre-entif dan preventif dengan memberikan pengetahuan kepada masyarakat luas tentang bahayanya membakar lahan, karena mengingat faktor utama pembakaran lahan adalah faktor manusia yang kurang sadar terhadap pelestarian lingkungan.

2. Memberikan aturan-aturan yang lebih tegas kepada pelaku pembakaran lahan, dan memberikan sanksi yang berat kepada pelaku pembakaran lahan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara memberikan batasan minimum yang tinggi terhadap pelaku pembakaran lahan di berbagai peraturan


(42)

perundang-undangan yang terkait. Mengingat, sanksi pidana merupakan salah satu bentuk pertanggungjawaban pidana bagi pelaku pembakaran lahan.


(43)

BAB II

PENGATURAN TINDAK PIDANA PELAKU PEMBAKARAN LAHAN

Hukum merupakan sebuah instrumen yang dibentuk oleh pemerintah yang berwenang, yang berisikan aturan, larangan, dan sanksi yang bertujuan untuk mengatur kehidupan manusia. Peraturan perundang-undangan, juga menjamin keadilan bagi masyarakat, serta memberikan kemanfaatan guna melindungi kepentingan semua orang.

Pemerintah juga membentuk suatu peraturan perundang-undangan di bidang hukum pidana. Sebagaimana yang diketahui, bahwa hukum pidana merupakan hukum yang mengatur mengenai perbuatan pidana dan pemberian sanksi terhadap perbuatan pidana tersebut. Dalam hukum pidana, terdapat beberapa unsur seperti adanya tindak pidana, adanya pertanggungjawaban pidana, serta ada sanksi yang merupakan aplikasi dari bentuk pertanggungjawaban pidana atas perbuatan pidana seseorang.

Tindak pidana atau perbuatan pidana adalah sebuah perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma berlaku. Tindak pidana juga merupakan perbuatan yang akan merugikan orang lain. Sehingga, pemerintah membentuk peraturan perundang-undangan untuk menentukan sebuah perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang melanggar hukum atau melanggar norma-norma, dan juga untuk menentukan apakah perbuatan tersebut merupakan tindakan yang dilakukan karena kesengajaan ataupun kelalaian.

Dalam sistem peradilan pidana, terdapat beberapa proses untuk menetapkan seorang tersangka tersebut dapat dimintakan pertanggungjawaban


(44)

pidana atau tidak. Penetapan pertanggungjawaban pidana tersebut juga harus berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Karena, hukum Indonesia menganut sistem civil law. Dalam sistem hukum civil law, hakim menetapkan sebuah pertanggungjawaban atas perbuatan pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hukum Indonesia lebih mengutamakan peraturan perundang-undangan sebagai sumber hukum, dibandingkan dengan sumber hukum lainnya. Berbeda dengan sistem hukum yang dianut oleh negara-negara yang menggunakan sistem hukum common law yang lebih mengedepankan atau mengutakan case law dari pada peraturan perundang-undangan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pengaturan mengenai tindak pidana sangat diperlukan dalam sistem hukum nasional.

Berbicara mengenai hukum pidana, tidak akan terlepas dari perbuatan pidana atau tindak pidana, dan juga pertanggungjawaban pidana. Setiap orang atau korporasi yang melakukan tindak pidana, harus mempertanggungjawabkan atas perbuatannya tersebut. Bentuk pertanggungiawaban pidana adalah dengan menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana. Secara sederhana, sanksi dapat diartikan sebagai suatu ganjaran yang bersifat negatif.

Sanksi adalah perbuatan sebuah akibat ataupun konsekuensi yang harus diterima dan dilaksanakan oleh pelaku tindak pidana sebagai bentuk pertanggungjawabannya dalam koridor hukum. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan di pidana apabila dia mempunyai kesalahan yang memenuhi persyaratan sebagai berikut :30


(45)

1. Mampu bertanggungjawab 2. Dengan sengaja atau alpa 3. Tidak ada alasan pemaaf.

Sanksi haruslah dipandang sebagai salah satu unsur yang esensial, bila kita melihat hukum sebagai kaidah. Hampir semua yuris yang berpandangan dogmatik, memandang bahwa hukum sebagai kaidah bersanksi yang didukung oleh otoritas tertinggi di dalam masyarakatnya.31

Sedangkan pidana dapat pula diartikan sebagai hukuman. Van Hammel mengatakan pidana merupakan suatu penderitaan yang bersifat khusus yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggungjawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakkan.32

Simons berpendapat bahwa pidana merupakan suatu penderitaan yang oleh Undang-undang pidana telah dikaitkan dengan pelanggar terhadap suatu norma yang dengan suatu putusan hakim telah dijatuhkan bagi seorang yang bersalah.33

Dapat dikatakan bahwa, sanksi pidana merupakan bentuk ganjaran yang diberikan oleh penguasa melalui peraturan perundang-undangan kepada pelaku tindak pidana. Pemberian sanksi pidana tersebut pada umumnya bertujuan untuk memberikan efek jerah kepada pelaku tindak pidana. Roger Hood berpendapat bahwa sasaran pidana di samping untuk mencegah si terpidana atau pembuat

Aksara Baru, 1983), h. 10.

31 Ahmad Ali. Menguak Tabir Hukum (Jakarta: PT.Chandra Pratama ), h. 62.

32 P.A.F. Lamintang, Hukum Pidana I : Hukum Pidana Material Bagian Umum (Bandung: Bina Cipta, 1987), h. 17. Dalam Marlina, Op.cit. h. 16.

33 Ibid.


(46)

potensial melakukan tindak pidana juga untuk :34 1. Memperkuat kembali nilai-nilai sosial

2. menentramkan rasa takut masyarakat terhadap kejahatan

Roeslan Saleh berpendapat bahwa pada hakikatnya ada dua poros yang menentukan garis hukum pidana, yaitu :35

1. Dari segi prevensi, yaitu bahwa hukum pidana adalah hukum sanksi, suatu upaya untuk dapat mempertahankan kelestarian hidup bersama dengan melakukan pencegahan kejahatan.

2. Dari segi pembalasan, yaitu baha hukum pidana sekaligus merupakan pula menentuan hukum, merupakan koreksi dan reaksi atas sesuatu ang bersifat melawan hukum. Sehingga dapat dikatakan bahwa pidana adalah merupakan perlindungan terhadapt masyarakat dan pembalasan atas perbuatan melawan hukum.

Sanksi pidana merupakan salah satu cara untuk menanggulangi tindak pidana. Herbert L. Packer menyatakan :36

1. The criminal law sanction is indispensable, we could not now or in the foreseeable feauture, without is. (Sanksi pidana sangatlah diperlukan. Kita tidak dapat hidup sekarang maupun di masa yang akan datang tanpa pidana).

2. The criminal law sanction is the best available device we have for dealing with gross and immediate harms and threats of harm. (Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia yang kita miliki

34 Ibid. h. 24. 35


(47)

untuk menghadapi bahaya-bahaya besar dan segera serta untuk menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya).

3. The criminal sanction is at once prime guarantor and prime threatened of human freedom. Used providentially and humanely, it is guarantor ; used indiscriminately and coercively, it is threatener. (sanksi pidana suatu ketika merupakan penjamin yang utama atau terbaik dan suatu ketika merupakan pengancam yang utama dari kebebasan manusia. Ia merupakan penjamin apabila digunakan secara hemat, cermat dan secara manusiawi, ia merupakan pengancam apabila digunakan secara sembarangan dan secara paksa).

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa sanksi pidana merupakan unsur terpenting dalam hukum pidana, karena berisikan ancaman pidana atau ancaman hukuman terhadap pelaku yang melakukan tindak pidana, baik orang perorangan, maupun korporasi.

Berdasarkan Pasal 10 KUHP, bentuk-bentuk pidana terdiri atas : 1. Pidana Pokok

a. Pidana Mati b. Pidana Penjara c. Pidana Kurungan d. Pidana denda 2. Pidana Tambahan

a. Pencabutan hak-hak tertentu


(48)

c. Pengumuman Putusan Pengadilan

Berdasarkan kepada pasal tersebut diatas, dapat diketahui bahwa pidana pokok itu terdiri dari pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, dan pidana denda. Berdasarkan ketentuan pasal 69 KUHP, maka urutan pidana pokok sebagaimana disebutkan di dalam pasal 10 menunjukan perbandingan berat atau ringannya pidana pokok yang tidak sejenis. Dengan demikian pidana pokok yang terberat adalah pidana mati.37

Pidana penjara merupakan pidana pencabutan kemerdekaan atau pidana kehilangan kemerdekaan. Pidana penjara dikenal pula dengan pidana pemasyarakatan. Dalam KUHP, jenis pidana ini digolongkan sebagai pidana pokok. Pada umumnya, hukuman penjara dijalani dalam suatu ruangan tertentu.38 Sama halnya dengan pidana kurungan yang juga bersifat membatasi kemerdekaan orang lain. bedanya, pidana kurungan hanya dapat dijatuhkan oleh hakim bagi orang-orang dewasa dan merupakan satu-satunya jenis pidana pokok berupa pembatasan kebebasan bergerak yang dapat dijatuhkan oleh hakim bagi orang-orang yang telah melakukan pelanggaran-pelanggaran sebagaimana di atur dalam KUHP.39 Pidana kurungan biasanya dijatuhkan oleh hakim sebagai pokok pidana ataupun sebagai pengganti dari pidana denda.40

Selain itu, dalam pidana pokok ketiga yaitu pidana denda. Menurut Andi Hamzah dalam buku Marlina, pidana denda merupakan bentuk pidana tertua lebih tua dari pidana penjara, dan mungkin setua pidana mati. Pidana denda terdapat

37

Ekaputra, Abul Khair, Sistem Pidana Di Dalam KUHP dan Pengaturannya Menurut

Konsep KUHP Baru (Medan: USU Press, 2010), h. 21.

38 Marlina, Op.cit. h. 87. 39


(49)

pada setiap masyarakat, termasuk masyarakat primitive.41

Selain tindak pidana pokok, KUHP memberikan tindak pidana yang bersifat tambahan seperti pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang, dan lainnya. Biasanya, pidana tambahan sering digunakan kepada korporasi yang melakukan tindak pidana.

Dalam tindak pidana pembakaran lahan, bentuk sanksi atau pidana yang paling sering digunakan adalah pidana penjara, pidana kurungan, dan juga pidana denda. Akan tetapi, apabila yang melakukan pembakaran lahan merupakan suatu korporasi, maka selain dikenakan pidana pokok, dapat dikenakan pidana tambahan. Pidana tambahan yang paling sering digunakan dalam ancaman pidana pembakaran lahan adalah pencabutan hak-hak tertentu.

Pemerintah membentuk peraturan perundang-undangan sebagai landasan normatif dan menjadi legalitas mengenai tindakan pembakaran lahan serta sanksi yang diberikan terhadap tindak pidana pembakaran lahan tersebut. Berbagai peraturan perundang-undangan tersebut memberikan rumusan yang berbeda, melihat perkembangan kasus (case law) serta kondisi kekinian yang terjadi dimasyarakat. Berikut peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tindak pidana pembakaran lahan dan sanksi pembakaran lahan :

A. Tindak Pidana dan Sanksi Atas Pembakaran Lahan Menurut KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)

a. Pengaturan Tindak Pidana

Dalam KUHP nasional terdapat asas legalitas, yang tertuang pada pasal 1 ayat (1) KUHP, menyatakan suatu perbuatan tidak dapat dihukum apabila tidak

41


(50)

ada hukum yang mengatur. Asas legalitas tersebut menjadi bukti bahwa pengaturan mengenai tindak pidana sangat dibutuhkan dalam sistem hukum pidana Indonesia. Apabila tidak ada pengaturan mengenai suatu perbuatan pidana tersebut, tidak akan dapat memberikan keadilan bagi masyarakat.

Pembentukan pengaturan mengenai tindak pidana tersebut, akan bermanfaat bagi aparat penegak hukum untuk mengklasifikasikan perbuatan tindak pidana tersebut, dan mempermudah aparat penegak hukum untuk menjatukan sanksi terhadap pelaku tindak pidana tersebut. Salah satu cotohnya adalah pada tahap penyidikan yang dilakukan oleh Kepolisian dan Kejaksaan. Dalam penyidikan, polisi harus menentukan dan menemukan suatu rumusan delik perbuatan pidana tersebut. Sedangkan pada proses penuntutan, kejaksaan harus melihat apakah perbuatan tersebut telah memenuhi unsur-unsur sebagaimana yang telah ditentukan oleh undang-undang. Hal tersebut membuktikan bahwa pengaturan mengenai tindak pidana sangat diperlukan untuk menegakan keadilan.

Dalam upaya penyelidikan, penyidikan, penuntutan serta penetapan hukuman terhadap pelaku tindak pidana tersebut, aparat penegak hukum akan melihat apakah perbuatan tersebut melanggar undang-undang atau tidak. Selain itu, aparat penegak hukum akan melihat unsur-unsur yang terdapat dalam pengaturan tindak pidana tersebut. Apabila unsur-unsur dari pengaturan tindak pidana tersebut telah terpenuhi, maka barulah pelaku dapat dikenakan sanksi sesuai dengan undang-undang yang terbukti dilanggar.

Sama halnya dengan tindak pidana pembakaran lahan. Untuk meminta suatu pertanggungjawaba pidana kepada pelaku pembakar lahan, terlebih dahulu


(51)

ada pengaturan perundang-undangan yang mengatur bahwa perbuatan pembakaran lahan tersebut adalah perbuatan yang melanggar hukum, dan akan dikenakan sanksi. Perbuatan pembakaran lahan akan dikenakan sanksi apabila perbuatan tersebut telah memenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan terkait pembakaran lahan tersebut.

Pengaturan mengenai tindak pidana pembakaran lahan memiliki banyak perubahan. Perubahan-perubahan pengaturan mengenai tindak pidana pembakaran lahan mengikuti perkembangan zaman, mengingat apa yang diatur tidak relevan lagi dengan modus operandi pembakaran lahan. Hal tersebut, sesuai dengan teori living law yang dikemukakan oleh E.H. Sutherland yang menyatakan hukum tersebut berasal dari jiwa bangsa dan akan selalu berkembang sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat.

KUHP menjadi salah satu peraturan perundang-undangan yang pertama kali mengatur mengenai tindak pidana pembakaran lahan. Tindak pidana pembakaran lahan dalam KUHP termuat dalam Pasal 187 KUHP, yang berbunyi :

“Barang siapa dengan sengaja menimbulkan kebakaran, ledakan atau

banjir, diancam :

1. Dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika karena perbuatan tersebut di atas timbul bahaya umum bagi barang

2. Dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun, jika karena perbuatan tersebut di atas timbul bahaya bagi nyawa orang lain 3. Dengan pidana penjara seumur hidup atau dengan waktu tertentu

paling lama dua puluh tahun, jika karena perbuatan tersebut di atas timbul bahaya bagi nyawa orang lain dan mengakibatkan orang

mati”.

Berdasarkan pasal 187 KUHP, unsur-unsur yang terdapat dalam pasal tersebut adalah :


(52)

1. Barang Siapa

Klausul “barang siapa” dalam pasal 187 KUHP menunjukan adanya unsur

subjektif dari perbuatan tersebut. Artinya, siapa saja yang melakukan perbuatan yang akan menimbulkan kebakaran, ledakan ataupun banjur, akan dikenakan sanksi sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 187 KUHP tersebut. Klausul

“barang siapa” dalam Pasal tersebut ditujukan kepada subjek hukum pidana, yaitu

orang perseorangan ataupun korporasi. 2. Dengan Sengaja

Klausul “dengan sengaja” dalam Pasal 187 KUHP tersebut, menunjukan

adanya unsur-unsur kesalahan dalam perbuatan tersebut. KUHP hanya menghukum seseorang atau korporasi yang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja yang mengakibatkan kebakaran, ledakan, maupun banjir. KUHP tidak dapat menjerat suatu perbuatan yang mengakibatkan kebakaran, ledakan atau banjir karena kelalaian dari pelaku tersebut.

3. Menimbulkan kebakaran, ledakan atau banjir

Klausul “menimbulkan kebakaran, ledakan atau banjir” merupakan

akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh subjek hukum tersebut. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa subjek hukum tersebut baru akan dikenakan sanksi apabila perbuatan tersebut menimbilkan akibat kebakaran ledakan atau banjir. Akan tetapi, dalam KUHP juga mengenal istilah percobaan pidana. Artinya, apabila perbuatan subjek hukum tersebut akan menerima sanksi walaupun dari perbuatan yang dilakukannya tidak menimbulkan akibat kebakaran, ledakan ataupun banjir,


(53)

dengan syarat perbuatan tersebut tidak terlaksana atau tidak terjadi bukan karena kehendak batin pelaku untuk menghentikan perbuatan tersebut. Hanya saja, pelaku yang dijerat dengan pasal percobaan, dikenakan sanksi yang lebih ringan dibandingkan dengan perbuatan yang telah menimbulkan akibat dari perbuatan tersebut.

b. Sanksi

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Pasal 187 berbunyi :

“Barang siapa dengan sengaja menimbulkan kebakaran, ledakan atau

banjir, diancam :

1. Dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika karena perbuatan tersebut di atas timbul bahaya umum bagi barang

2. Dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun, jika karena perbuatan tersebut di atas timbul bahaya bagi nyawa orang lain 3. Dengan pidana penjara seumur hidup atau dengan waktu tertentu

paling lama dua puluh tahun, jika karena perbuatan tersebut di atas timbul bahaya bagi nyawa orang lain dan mengakibatkan orang

mati”

KUHP mengatur dan mengklasifikasikan tindak pidana pembakaran lahan sebagai bentuk kejahatan. KUHP juga memberikan beberapa bentuk klasifikasi sanksi terhadap pelaku tindak pidana pembakaran lahan, dengan melihat apa akibat yang ditimbulkan. Berikut klasifikasi atau kategori sanksi yang diberikan kepada pelaku pembakaran lahan yang diatur dalam KUHP :

1. Penjara paling lama dua belas tahun, jika karena perbuatan tersebut di atas timbul bahaya umum bagi barang

2. Pidana penjara paling lama lima belas tahun, jika karena perbuatan tersebut di atas timbul bahaya bagi nyawa orang lain


(54)

dua puluh tahun, jika karena perbuatan tersebut di atas timbul bahaya bagi nyawa orang lain dan mengakibatkan orang mati.

B. Tindak Pidana dan Sanksi Atas Pembakaran Lahan Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan

a. Pengaturan Tindak Pidana

Selain KUHP, Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan mengatur mengenai larangan untuk melakukan pembakaran hutan, yang notabenenya hutan adalah bentuk dari lahan. Pasal 50 ayat (3) huruf d menyatakan

bahwa “setiap orang dilarang membakar hutan”. Pasal 78 ayat (3) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 mengatur mengenai pertanggungjawaban pidana pelaku pembakaran hutan. Pasal 78 ayat (3) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 berbunyi :

“Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentutan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.

5.000.000.000 (Lima Milyar Rupiah)”

Unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 78 ayat (3) 1. Barang siapa

Klausul “barang siapa” dalam Pasal 78 ayat (3) menunjukan subjek hukum yang melakukan pembakaran hutan. Klausul “barang siapa” diinterprestasikan

terhadap siapapun yang melakukan pembakaran hutan, baik orang perorangan maupun korporasi badan hukum dan non badan hukum.

2. Dengan sengaja

Klausul “dengan sengaja” dalam Pasal 78 ayat (3) tersebut, menunjukan


(1)

ABSTRAK

Morando A.H. Simbolon* Alvi Syahri** M. Ekaputra***

Kesadaran masyarakat terhadap perlunya perlindungan lingkungan hidup pada saat ini sangat berkurang. Setiap orang melakukan pengerusakan lingkungan hidup, dikarenakan untuk mengejar keuntungan pribadi. Akibat perbuatan tersebut, tidak hanya negara yang dirugikan, akibat pembakaran lahan tersebut masyarakat dirugikan baik dari segi materill maupun imateril. pada tahun 2015 menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) total kerugian negara akibat pembakaran lahan di Sumatera dan Kalimantan saja mencapai lebih dari Rp 200 Trilliun, timbulnya asap yang merusak lingkungan mengakibatkan 20.471 orang di Jambi, 15.138 orang di Kalimantan Tengah, 28.000 orang di Sumatera Selatan, dan 10.010 orang di Kalimantan Barat terkena Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA). Pemerintah membentuk berbagai peraturan perundang-undangan, diantaranya Undang-undang Kehutanan, Undang-undang Perkebunan, Undang-undang Pengelolaan dan Perlindungan Hidup, dan dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan tersebut dapat diketahui bentuk-bentuk pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku pembakaran lahan.

Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah menggunakan penelitian hukum normatif (yuridis normative) yang dilakukan dengan penelitian kepustakaan (library research), serta bersifat deskriptif. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data-data sekunder yang diperoleh dari bahan hukum primer seperti menganalisis peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan judul skripsi ini. Dan bahan hukum sekunder seperti buku-buku , putusan-putusan pengadilan, serta berbagai majalah, literatur, artikel, dan internet yang berkaitan dengan permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini.

Hasil penelitian ini menujukan bahwa pemerintah dalam rangka mewujudkan pembangunan nasional dan khususnya dalam upaya pencegahan serta penanggulangan tindak pidana pembakaran lahan, membentuk peraturan perundang-undangan yang mengancam pelaku pembakaran lahan, dan dalam peraturan tersebut dimuat berbagai bentuk pertanggungjawaban bagi pelaku pembakaran lahan, apabila memiliki unsur-unsur kemampuan bertanggungjawab, unsur-unsur kesalahan, serta tidak adanya alasan pemaaf bagi pelaku pembakaran hutan.

* Mahasiswa Fakultas Hukum Sumatera Utara.

** Guru Besar Hukum Pidana, Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

*** Staf Pengajar Hukum Pidana, Dosen Pembimbing II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(2)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga penulis mampu menyusun skripsi ini dengan baik. Penulisan skripsi ini merupakan tugas wajib mahasiswa dalam rangka melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini diberi judul “Pertanggungjawaban Pidana Mengenai Tindak Pidana Pembakaran Lahan (Studi Putusan Nomor: 188/ Pid.Sus/ 2014/ PN.Plw).”

Dalam penulisan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, baik berupa dorongan semangat maupun sumbangan pemikiran. Oleh sebab itu, penulis dalam kesempatan ini ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang memberikan bantuan, yaitu kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dan Sebagai Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Dr. OK. Saidin, SH., M.Hum, selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

3. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum, selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.S, selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(3)

5. Bapak Dr. M. Hamdan, SH., M.Hum selaku ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang selalu memberikan inspirasi beserta dorongan kepada saya dalam penyusunan skripsi ini.

6. Ibu Liza Erwina, SH., M.Hum selaku sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang selalu memberikan inspirasi beserta dorongan kepada saya dalam penyusunan skripsi ini.

7. Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH., MS selaku Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan sebagai Dosen Pembimbing I penulis, yang telah sabar dan ikhlas memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis untuk menyusun skripsi ini

8. Bapak Dr. M. Ekaputra, SH., M.Hum selaku Staf Pengajar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan sebagai Dosen Pembimbing II penulis, yang telah sabar dan ikhlas memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis untuk menyusun skripsi ini.

9. Ibu Dra. Zakiah, M. Pd sebagai Penasehat Akademik yang telah banyak membantu Penulis selama ini dalam menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

10.Seluruh Staf Dosen dan Staf Administrasi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan pembelajaran dan membimbing Penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

11.Kepada Ayahanda Marolop Simbolon, SH. dan Ibunda Roslina Haloho S.Pd, yang selalu memberikan motivasi, bimbingan moril, serta inspirasi kepada


(4)

12.penulis, dan yang telah sabar dan ikhlas membesarkan penulis, sehingga penulis dapat menjadi seperti sekarang ini, dan orang yang selalu menjadi penyemangat bagi penulis.

13.Kepada Abangku tercinta Michael A H Simbolon yang menjadi penyemangat penulis.

14.Kepada Sahabat-sahabat terbaik saya Anggie, William, Dimas, Ricky Adryan, Redianta , Reza, Satria, Jonathan, Michael, Didi, Arif, Iqbal, Ricky Purba, Rizky Ramadhan, Andre Jamot, Een, Yusrin, Susilo, Sandra, Dora, Ira dan teman-teman lain yang selalu memberikan dorongan kepada penulis.

15.Kepada sahabat terbaik penulis di Grup G Stambuk 2012, yang sebagai teman seperjuangan dan grup terhebat sepanjang masa.

16.Kepada Keluarga Besar Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia Komisariat Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (GMKI Komisariat FH USU). 17.Kepada Keluarga Besar Ikatan Mahasiswa Hukum Pidana (IMADANA). 18.Kepada seluruh teman-teman stambuk 2012 dan teman-teman Jurusan Hukum

Pidana 2012.

Akhir kata Penulis mengharapkan skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak terutama bagi kemajuan ilmu pengetahuan ilmu hukum.

Medan, Juni 2016 Hormat Penulis

Morando Simbolon NIM : 120200308


(5)

DAFTAR ISI

ABSTRAK...i

KATA PENGANTAR...ii

DAFTAR ISI...v

BAB I : PENDAHULUAN………..………...1

A. Latar Belakang……...……….………...1

B. Perumusan Masalah………..………...6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan………...6

D. Keaslian Penulisan………...………...……..7

E. Tinjauan Pustaka………..…………...8

1. Kerusakan Lingkungan Hidup ………..…………...8

2. Tindak Pidana Pembakaran Lahan……..………...12

3.Pertanggungjawaban Pidana …...….………...17

F. Metode Penelitian………... 21

G. Sistematika Penulisan………..…...….24

BAB II : PENGATURAN TINDAK PIDANA PEMBAKARAN LAHAN..26

A. Tindak Pidana dan Sanksi Atas Pembakaran Lahan Menurut KUHP...32

B. Tindak Pidana dan Sanksi Atas Pembakaran Lahan Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan...37

C.Tindak Pidana dan Sanksi Atas Pembakaran Lahan Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup...38

D. Tindak Pidana dan Sanksi Atas Pembakaran Lahan Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan...40


(6)

BAB III : PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA MENGENAI TINDAK

PIDANA PEMBAKARAN LAHAN...47

A.Pertanggungjawaban Pidana Mengenai Tindak Pidana Pembakaran Lahan...47

B.Unsur-Unsur Pertanggungjawaban Pidana...54

1. Kesalahan...55

2. Kemampuan Bertanggungjawab...61

3. Tidak Ada Alasan Pemaaf...63

C.Analisis Putusan Pengadilan Negeri Pelalawan Nomor : 118/ Pid.sus/2014/Pn.Plw...70

1. Kasus Posisi...70

2. Dakwaan...72

3. Tuntutan Pidana...72

4. Putusan...73

5. Analisis Putusan...74

a. Fakta Hukum...74

b. Pertimbangan Hakim...75

BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN...81

A. Kesimpulan…...………...81

B. Saran………...82