Kebijakan Kriminal Terhadap Tindak Pidana Korporasi Media Penyiaran

42

BAB II
KEBIJAKAN KRIMINAL TERHADAP TINDAK PIDANA KORPORASI
MEDIA PENYIARAN

Sejarah perkembangan korporasi dari abad pertengahan hingga abad ini, akan
memberi gambaran kepada kita hubungan yang erat antara pertumbuhan korporasi
dengan timbulnya kejahatan korporasi. Pada abad pertengahan, keberadaan korporasi
hanya sebagai sarana pengaturan pekerjaan dan pembentukan badan hukum (legal
entity) kelompok para individu, seperti serikat sekerja, perkumpulan gereja,
universitas, atau wilayah. Pada waktu itu, peranan korporasi lebih ditekankan pada
kerjasama (cooperation) daripada tujuan pemanfaatan penyediaan modal seperti
korporasi pada umumnya.88
Seiring dengan keinginan untuk dilakukannya perluasan usaha, perusahaanperusahaan besar mulai mencari berbagai format baru untuk pengembangan
penggabungan perusahaan, sehingga pada tahun 1920-an, sebagian besar korporasi
telah menjangkau seluruh negeri. Dari abad ke-20 hingga abad ke-21 ini, telah terjadi
pertumbuhan korporasi multinasional yang begitu cepat, di samping mampu
mempekerjakan berjuta-juta tenaga kerja, korporasi multinasional juga mampu
mempengaruhi pilihan dan ketergantungan konsumen, serta mendominasi segmensegmen ekonomi dunia melalui operasi global mereka. Tidak hanya itu, korporasi


88

Marshall B. Clinard dan Peter C. Yeager, Corporate Crime, (New York: The Free Press,
1980), hlm. 22.

Universitas Sumatera Utara

43

juga mampu memainkan hukum suatu negara dengan tujuan, untuk mengurangi
kontrol yang dilakukan oleh negara.89
Pertumbuhan
ditimbulkannya.

korporasi

yang

Korporasi-korporasi


pesat,

sejalan

dengan

akibat

yang

raksasa,

disertai

dengan

meningkatnya

diversifikasi di berbagai bidang usaha oleh perusahaan-perusahaan raksasa melalui
usaha bersama dengan perusahaan-perusahaan domestik maupun perusahaanperusahaan luar negeri, telah mendorong meningkatnya tindak kejahatan korporasi

multinasional dan transnasional.90
Kejahatan korporasi ini tidak hanya berpotensi dilakukan oleh perusahaan
yang memiliki kegiatan usaha perdagangan (trading) saja, tetapi juga berpotensi
dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang industri penyiaran
informasi (pers industry). Korporasi media yang memiliki jaringan media lokal dan
nasional, bahkan jaringan global dengan berbagai jenis bidang usahanya, tentu juga
berpotensi melakukan tindak kejahatan korporasi.
Perkembangan korporasi media penyiaran yang meliputi perusahaan media
cetak, media elektronik, serta media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan
dan menyalurkan informasi, sebenarnya merupakan bagian dari dinamika
perkembangan pembangunan Indonesia. Seiring perkembangan tersebut, berkembang

89

Ibid, hlm. 24.
Sunarjati Hartono, Beberapa Masalah Transnasional dalam Penanaman Modal Asing di
Indonesia, (Bandung: Bina Cipta, 1972), hlm. 12.
90

Universitas Sumatera Utara


44

pula bentuk-bentuk kejahatan ditengah masyarakat yang berkaitan dengan perusahaan
pers.91
Pengaruh ganda dari korporasi media penyiaran ini, tentunya harus disikapi
atau ditanggulangi dengan cara yang rasional. Salah satu usaha yang rasional tersebut
adalah dengan melakukan pendekatan kebijakan kriminal. Kebijakan kriminal sebagai
upaya menanggulangi kejahatan, meliputi kebijakan terpadu antara upaya penal dan
non penal yang dapat diintegrasikan satu dengan yang lainnya.
Istilah kebijakan berasal dari bahasa Inggris: “policy” atau dalam bahasa
Belanda: “politiek” yang secara umum dapat diartikan sebagai prinsip-prinsip umum
yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah (dalam arti luas termasuk pula aparat
penegak hukum) dalam mengelola, mengatur, atau menyelesaikan urusan-urusan
publik, masalah-masalah masyarakat atau bidang-bidang penyusunan peraturan
perundang-undangan dan pengaplikasian hukum/peraturan, dengan suatu tujuan
(umum) yang mengarah pada upaya mewujudkan kesejahteraan atau kemakmuran
masyarakat (warga negara).92

Kongres PBB ke IV tahun 1970 di Tokyo “The Prevention of Crime And the Treatment of

Offenders” tidak dapat menetapkan dengan pasti hubungan antara kejahatan dan perkembangan
(development), akan tetapi kongres mengakui bahwa beberapa aspek penting dari perkembangan
masyarakat dianggap potensial sebagai faktor kriminogen artinya mempunyai kemungkinan untuk
menimbulkan kejahatan, aspek-aspek ini adalah urbanisasi, industrialisasi, mobilitas sosial dan
sebagainya. Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 2007), hlm. 94.
92
Perhatikan Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, (St. Paulminn: West Publicing
C.O, 1979), hlm. 1041, antara lain disebutkan bahwa Policy merupakan : “The general principles by
which a government is guided in its management of pullic affairs, or the legislature in its
measures…this term, as applied to a law, ordinance, or rule of law, denotes, its general purpose or
tendency considered as directed to the welfare or prosperity of the state community”.
91

Universitas Sumatera Utara

45

Sutan Zanti Arbi dan Wayan Ardana, menterjemahkan “policy” juga dengan
kebijakan, yaitu suatu keputusan yang menggariskan cara yang paling efektif dan
paling efisien untuk mencapai tujuan yang ditetapkan secara kolektif 93. Sedangkan

menurut Sudarto, definisi politik kriminal secara singkat sebagai usaha yang rasional
dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan.

94

Sudarto juga memberikan

beberapa pengertian yaitu dalam arti sempit, dalam arti yang lebih luas, dan dalam
arti yang paling luas.
Politik kriminal dalam arti sempit adalah keseluruhan asas dan metoda yang
menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana.
Pengertian yang lebih luas, politik kriminal merupakan keseluruhan fungsi dari
aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi,
sedangkan pengertian yang paling luas politik kriminal merupakan keseluruhan
kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang
bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dalam masyarakat.95
Kebijakan kriminal pada hakikatnya adalah upaya penegakan hukum yang
dilakukan secara terpadu antara kebijakan yang menggunakan pidana sebagai sarana
(penal) dan kebijakan tanpa menggunakan pidana (non penal). Oleh karenanya,
kebijakan kriminal adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pemidanaan (the

sentencing system) dan sistem peradilan pidana (criminal justice system). Sistem
93

Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dalam Penganggulangan Kejahatan dengan
Pidana Penjara, (Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 1994), hlm. 59.
94
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 2007), hlm. 150. Pengertian
tersebut diambil dari definisi yang dikemukakan oleh Marc Ancel.
95
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986), hlm. 113-114.

Universitas Sumatera Utara

46

pemidanaan (the sentencing system) adalah aturan perundang-undangan yang
berhubungan dengan sanksi pidana dan pemidanaan (the statutory rules relating to
penal sanctions and punishment).96
Apabila pengertian pemidanaan diartikan secara luas sebagai suatu proses
pemberian / penjatuhan pidana oleh hakim, maka dapatlah dikatakan bahwa sistem

pemidanaan mencakup pengertian:
1. Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk pemidanaan;
2. Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk pemberian /
penjatuhan dan pelaksanaan pidana;
3. Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk fungsionalisasi /
operasionalisasi / konkretisasi pidana;
4. Keseluruhan sistem (perundang-undangan) yang mengatur bagaimana
hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret
sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum pidana).97

Sistem pemidanaan dengan demikian terdiri dari subsistem hukum pidana
substantif, subsistem hukum pidana formal, dan subsistem hukum pelaksanaan /
eksekusi pidana. Apabila dibatasi pada hukum pidana substantif, maka keseluruhan
sistem peraturan perundang-undangan (statutory rules) yang ada di dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang khusus yang ada di
luar KUHP, pada hakikatnya merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan
substantif.98

96


Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2003), hlm. 135 sebagaimana dikutip oleh Barda Nawawi dari L.H.C.Hulsman, The Dutch Criminal
Justice System From a Comparative Legal Perspective, di dalam D.C. Fokkema, Introduction to Ducth
Law for Foreign Lawyers, (Holland: Kluwer Deventer, 1978), hlm. 320.
97
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2003), hlm. 136.
98
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

47

Berlandaskan uraian di atas, maka ketentuan pidana atau sistem pemidanaan
penyiaran merupakan bagian khusus (subsistem) dari keseluruhan sistem pemidanaan.
Ini berarti sistem pemidanaan penyiaran harus terintegrasi dalam; atau konsisten
dengan aturan umum (general rules), meskipun dapat membuat aturan khusus
(special rules) yang menyimpang atau berbeda dari aturan umum. Oleh karenanya
sangat penting bagi kita untuk melihat kembali apa yang dimaksud dengan tindak

pidana dalam aturan umum.
A. Landasan Pemahaman Tindak Pidana dan Tindak Pidana Penyiaran
1. Tindak Pidana atau Strafbaar Feit
Pengertian kata feit dalam bahasa Belanda berarti sebagian dari suatu
kenyataan atau een gedeelte van de werkelijkheid, sedangkan strafbaar berarti
dapat dihukum, sehingga secara harafiah perkataan strafbaar feit dapat
diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat
dihukum”.99
Van Hamel merumuskan strafbaar feit sebagai kelakuan orang
(menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan
hukum, yang patut dipidana (strafwaarding) dan dilakukan dengan
kesalahan.

100

Dengan demikian, maka feit dalam strafbaar feit adalah

handeling yang berarti kelakuan atau tingkah laku yang dihubungkan dengan
kesalahan orang yang melakukan tindakan tersebut.
99


P.A.F.Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 1997), hlm. 181.
100
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hlm. 61.

Universitas Sumatera Utara

48

Moeljatno memiliki pandangan berbeda tentang penggunaan kata
tindak pidana, dirinya lebih memilih menggunakan kata perbuatan pidana.
Perbuatan pidana menurut Moeljatno adalah perbuatan yang dilarang oleh
suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa
pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. 101 Perlu
diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan, yaitu suatu keadaan atau
kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedangkan ancaman
pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian tersebut.
Menurut Pompe perkataan strafbaar feit itu secara teoritis dapat
dirumuskan sebagai : “suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib
hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan
oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut
adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan
umum atau sebagai de normovertreding (verstoring der rechtsorde), waaraan
de overtreder schuld heeft en waarvan de bestraffing dienstig is voor de
handhaving der rechts orde en de behartiging van algemeen welzijn”.102
Dikatakan selanjutnya oleh Pompe, bahwa suatu strafbaar feit itu
sebenarnya tidak lain adalah suatu tindakan yang menurut sesuatu rumusan
undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.
Simons merumuskan strafbaar feit itu sebagai suatu tindakan melanggar

101
102

Ibid., hlm. 59.
P.A.F.Lamintang, loc.cit., hlm. 182.

Universitas Sumatera Utara

49

hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja
oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang
oleh Undang-Undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat
dihukum. 103 Agar tindakan tersebut dapat dihukum, maka harus memenuhi
semua unsur dari delik seperti rumusan dalam Undang-Undang yang secara
tegas menyatakan bahwa tindakan dari pelakunya haruslah bersifat melanggar
hukum (wederrechtelijkheid).
Keragaman pendapat para sarjana hukum mengenai definisi strafbaar
feit ini lebih disebabkan karena dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
tidak terdapat penjelasan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan
strafbaar feit tersebut. Hal ini telah melahirkan berbagai rumusan atau
terjemahan mengenai strafbaar feit itu sendiri, yaitu:
a. Peristiwa Pidana
Istilah strafbaar feit sebagai peristiwa pidana pertama kali
dikemukakan oleh Wirjono Prodjodikoro. Dalam perundang-undangan
formal Indonesia, istilah peristiwa pidana pernah digunakan secara
resmi dalam UUD Sementara 1950, yaitu dalam Pasal 14 ayat (1).
Secara substantif, pengertian dari istilah peristiwa pidana lebih
menunjuk kepada suatu kejadian yang dapat ditimbulkan baik oleh
perbuatan manusia maupun oleh gejala alam. Oleh karena itu, dalam

103

Ibid., hlm. 185.

Universitas Sumatera Utara

50

percakapan sehari-hari sering didengar suatu ungkapan bahwa
kejadian itu merupakan peristiwa alam.104
Pengertian peristiwa pidana menurut Moelyatno kurang tepat
jika untuk pengertian yang abstrak, karena peristiwa pidana menunjuk
pada pengertian yang konkrit, yang hanya menunjuk kepada suatu
kejadian tertentu saja, misalnya: matinya orang. Terhadap peristiwa
tersebut tidak mungkin dilarang. Hukum pidana tidak melarang adanya
orang mati, tetapi yang dilarang adalah matinya orang karena
perbuatan orang lain, tapi apabila matinya orang tersebut karena
keadaan alam, sakit, maka peristiwa tersebut tidak penting sama sekali
bagi hukum pidana. 105
b. Perbuatan Pidana
Perbuatan pidana menurut Moeljatno adalah perbuatan yang
oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana. Perlu diingat
bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau
kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman
pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian
tersebut. Untuk menyatakan hubungan yang erat itu, maka dipakailah
perkataan “perbuatan”, yaitu suatu pengertian abstrak yang menunjuk

104
105

Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 48-49.
Perhatikan Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hlm. 60.

Universitas Sumatera Utara

51

kepada dua keadaan konkrit, yaitu: pertama, adanya kejadian tertentu
dan kedua, adanya orang yang berbuat yang menimbulkan kejadian.106
c. Tindak Pidana
Istilah tindak pidana sebagai terjemahan strafbaar feit
diperkenalkan pemerintah cq Departemen Kehakiman. Istilah ini
banyak dipergunakan dalam Undang-Undang tindak pidana khusus,
misalnya: Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan UndangUndang mengenai Pornografi yang mengatur secara khusus Tindak
Pidana Pornografi.107
Istilah tindak pidana menunjukkan pengertian gerak-gerik
tingkah laku dan gerak-gerik jasmani seseorang. Hal-hal tersebut
termasuk juga gerak-gerik seseorang untuk tidak berbuat, akibat tidak
berbuatnya dia, dia telah melakukan tindak pidana.108
Sudarto berpendapat bahwa pembentuk Undang-Undang sudah
tepat dalam pemakaian istilah tindak pidana, dan beliau lebih condong
memakai istilah tindak pidana seperti yang telah dilakukan oleh
pembentuk Undang-Undang.109

106

Ibid., hlm. 59-60.
Perhatikan Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 49.
108
Mengenai kewajiban untuk berbuat tetapi dia tidak berbuat yang diatur dalam UndangUndang dapat dilihat pada Pasal 164 KUHP, ketentuan dalam pasal ini mengharuskan seseorang untuk
melaporkan kepada pihak yang berwajib apabila mengetahui akan terjadinya suatu kejahatan. Apabila
dia tidak melaporkan, maka dapat dikenai sanksi pidana penjara atau denda.
109
Op.cit., hlm. 49.
107

Universitas Sumatera Utara

52

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Menurut ilmu pengetahuan hukum pidana, sesuatu tindakan itu dapat
merupakan hal melakukan sesuatu (een doen) atau hal tidak melakukan
sesuatu (een niet doen) atau dalam doktrin sering juga disebut sebagai hal
mengalpakan sesuatu yang diwajibkan (een nalaten). Tindak pidana yang
terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van
Strafrecht) secara umum dapat dijabarkan menjadi dua macam unsur, yaitu
unsur subjektif dan unsur objektif.
Unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku
atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, termasuk juga segala sesuatu
yang ada di dalam hati sanubarinya. Sifat melawan hukumnya tergantung
kepada bagaimana niat atau sikap batin pelaku. Unsur-unsur subjektif dari
sesuatu tindak pidana itu adalah :
a. kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa);
b. maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti
yang dimaksud di dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP;
c. macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat
misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan,
pemerasan, pemalsuan dan lain-lain;
d. merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang
misalnya yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut
Pasal 340 KUHP;
e. perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam
rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP. 110

110

P.A.F.Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 1997), hlm. 193-194.

Universitas Sumatera Utara

53

Unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan
keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan
dari si pelaku itu harus dilakukan. Unsur-unsur objektif dari sesuatu tindak
pidana itu adalah :
a. sifat melanggar hukum (wederrechtelijkheid);
b. kualitas dari si pelaku, misalnya “keadaan sebagai seorang
pegawai negeri” di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415
KUHP atau “keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu
perseroan terbatas” di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP;
c. kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai
penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.111
3. Jenis-Jenis Tindak Pidana dan Hukuman
Jenis-jenis tindak pidana pada awalnya dibagi oleh para ahli hukum
sebagai crimina atrocissima, atrocia, dan levia, yang didasarkan pada berat
ringannya ancaman hukuman terhadap masing-masing tindakan. Pandangan
tersebut mempengaruhi para pembentuk Code Penal di Prancis yang
kemudian membagi tindakan melanggar hukum sebagai crime, delit, dan
contravention; dalam bahasa Jerman disebut verbrechen, vergehen, dan
ubertretungen; sedangkan dalam bahasa Belanda disebut sebagai misdaden,
wanbedrijven, dan overtredingen (kejahatan-kejahatan, perbuatan-perbuatan
tercela, dan pelanggaran-pelanggaran).112
Perkembangan selanjutnya dalam usaha untuk menemukan pembagian
tindak pidana yang lebih sesuai dengan kebutuhan sistem kitab undang111

Ibid.
Perhatikan P.A.F.Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 1997), hlm. 208-209.
112

Universitas Sumatera Utara

54

undang pidana, maka para ahli hukum membagi tindakan melanggar hukum
menjadi dua jenis onrecht, yaitu crimineel onrecht dan policie onrecht.
Crimineel onrecht adalah setiap tindakan melawan hukum yang menurut
sifatnya bertentangan dengan tertib hukum dalam arti lebih luas daripada
sekedar kepentingan-kepentingan, sedangkan policie onrecht adalah setiap
tindakan melawan hukum yang menurut sifatnya bertentangan dengan
kepentingan-kepentingan yang terdapat di dalam masyarakat.113
Jenis-jenis perbuatan atau tindak pidana menurut sistem Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht) terbagi atas
kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen). Pembagian ini
dilakukan karena perbedaan pengertian yang mendasar antara kejahatan dan
pelanggaran.
Kejahatan (misdrijven) adalah rechtsdelicten, yaitu perbuatanperbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam undang-undang sebagai
perbuatan

pidana,

namun

telah

dirasakan

sebagai

perbuatan

yang

bertentangan dengan tata hukum, sedangkan pelanggaran (overtredingen)

113

Perhatikan P.A.F.Lamintang, hlm. 209. Perhatikan juga C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu
Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), hlm. 242. “Adapun yang termasuk
dalam pengertian kepentingan masyarakat atau kepentingan umum adalah Badan Peraturan
Perundangan Negara (seperti Negara, Lembaga-lembaga Negara, Pejabat Negara, Pegawai Negeri,
Undang-Undang, Peraturan Pemerintah) dan Kepentingan Hukum Tiap Manusia (jiwa, raga/tubuh,
kemerdekaan, kehormatan, dan hak milik/harta benda).

Universitas Sumatera Utara

55

adalah wetsdelicten, yaitu perbuatan-perbuatan yang sifat melawan hukumnya
baru dapat diketahui setelah ada wet yang menentukan demikian.114
Pembagian dari tindak pidana menjadi kejahatan dan pelanggaran itu
bukan hanya merupakan dasar bagi pembagian Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana kita menjadi buku ke-2 dan buku ke-3, melainkan juga merupakan
dasar bagi seluruh sistem hukum pidana di dalam perundang-undangan pidana
sebagai keseluruhan. 115 Perbedaan pandangan tersebut dalam kepustakaan
dikenal sebagai perbedaan kualitatif yang pada masa sekarang sudah banyak
ditinggalkan dan diganti dengan perbedaan kuantitatif (soal berat atau
ringannya ancaman pidana) antara kejahatan dan pelanggaran.116
Pelanggaran ialah mengenai hal-hal kecil atau ringan, yang diancam
dengan hukuman denda. Kejahatan ialah mengenai soal-soal yang besar
seperti

pembunuhan,

penganiayaan,

penghinaan,

pencurian,

dan

sebagainya. 117 Selain daripada sifat umum bahwa ancaman pidana bagi
kejahatan adalah lebih berat daripada pelanggaran, maka dapat dikatakan
bahwa :
1. Pidana penjara hanya diancamkan pada kejahatan saja.
2. Jika menghadapi kejahatan maka bentuk kesalahan (kesengajaan atau
kealpaan) yang diperlukan di situ, harus dibuktikan oleh Jaksa, sedangkan
114

Perhatikan Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hlm. 78-

79.
115

P.A.F.Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 1997), hlm. 211 sebagaimana dikutip oleh Lamintang dari G.A.Van Hamel, Inleiding tot de
Studie van het Nederlandse Strafrecht, (Haarlem: Gebr.Belifante’s Gravenhage, 1927), hlm. 181.
116
Moeljatno, op.cit., hlm. 79.
117
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1986), hlm. 243.

Universitas Sumatera Utara

56

jika menghadapi pelanggaran hal itu tidak usah. Berhubung dengan itu
kejahatan dibedakan pula dalam kejahatan yang dolus dan culpa.
3. Percobaan untuk melakukan pelanggaran tidak tidak dapat dipidana (Pasal
54). Juga pembantuan pada pelanggaran tidak dipidana (Pasal 60)...118

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht) selain
membagi dua jenis tindak pidana, juga membagi hukuman atas dua jenis
hukuman yaitu hukuman pokok dan hukuman tambahan. Untuk tiap-tiap
kejahatan atau pelanggaran hanya boleh dijatuhkan satu hukuman pokok.
Cumulatie lebih dari satu hukuman pokok tidak diperkenankan, namun
dalam tindak pidana ekonomi, cumulatie lebih dari satu hukuman pokok dapat
dijatuhkan yaitu hukuman badan dan hukuman denda. Selain penjatuhan
hukuman pokok, maka dapat dijatuhkan pula (ditambah) dengan salah satu
dari hukuman tambahan. Hukuman tambahan gunanya untuk menambah
hukuman pokok, jadi tidak mungkin dijatuhkan sendirian.119 Pasal 10 KUHP,
Hukuman-hukuman ialah:
a. hukuman-hukuman pokok :
1e. hukuman mati,
2e. hukuman penjara,
3e. hukuman kurungan,
4e. hukuman denda;
b. hukuman-hukuman tambahan :
1e. pencabutan beberapa hak yang tertentu,
2e. perampasan barang yang tertentu,
3e. pengumuman keputusan hakim.120
118

Perhatikan Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hlm. 81.
Perhatikan bagian penjelasan dari R.Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta
Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politeia, 1994), hlm. 36.
120
R.Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap
Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politeia, 1994), hlm. 34.
119

Universitas Sumatera Utara

57

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht)
menyatakan hukuman penjara itu lamanya seumur hidup atau sementara.
Untuk hukuman penjara sementara, sekurang-kurangnya satu hari dan tidak
boleh lebih dari 20 (dua puluh) tahun.121
4. Tindak Pidana Penyiaran
Menurut asas legalitas untuk menjatuhkan pidana/sanksi kepada
seseorang disyaratkan bahwa perbuatan atau peristiwa yang diwujudkan
tersebut harus lebih dahulu dilarang atau diperintahkan oleh peraturan hukum
pidana tertulis dan terhadapnya telah ditetapkan peraturan pidana tertulis atau
sanksi hukum. Dengan kata lain harus ada peraturan hukum pidana
(strafrechnorm) dan peraturan pidana (strafnorm) lebih dahulu daripada
perbuatan/peristiwa. Sekalipun suatu perbuatan sangat tercela tetapi apabila
tidak ada aturan pidana melarang/mewujudkannya, maka tidak boleh dijatuhi
pidana. Sifat melawan hukum yang material harus dilengkapi dengan sifat
melawan hukum yang formal.
Perkembangan masyarakat telah membawa dampak hadirnya berbagai
perbuatan atau tindakan yang sebelumnya tidak pernah diatur dalam KUHP
sebagai tindak pidana, namun dirasakan telah merugikan dan meresahkan
masyarakat. Menghadapi dinamika ini, pemerintah memandang perlu untuk
mengeluarkan berbagai peraturan atau Undang-Undang baru yang responsif,

121

Perhatikan Pasal 12 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana.

Universitas Sumatera Utara

58

menyatakan bahwa perbuatan tersebut dikategorikan sebagai tindak pidana.
Tindak pidana ini kemudian dikenal atau disebut sebagai tindak pidana di luar
KUHP.
Sejak disahkannya Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran pada tanggal 28 Desember 2002 melalui Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2002 No.139, maka tindak pidana penyiaran
menjadi tindak pidana khusus yang diatur di luar KUHP. Sistematika UndangUndang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran mengatur sanksi administratif
dan sanksi pidana secara terpisah. Perbuatan atau aktifitas penyiaran yang
dapat diancam sanksi administratif setidaknya ada 33 (tiga puluh tiga)
perbuatan, secara khusus diatur dalam Bab VIII: Sanksi Administratif. Sanksi
administratif tersebut dapat berupa teguran tertulis, penghentian sementara
mata acara yang bermasalah, pembatasan durasi dan waktu siaran, denda
administratif, pembekuan kegiatan siaran untuk waktu tertentu, tidak diberi
perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran, hingga pencabutan izin
penyelenggaraan penyiaran.122
Perbuatan yang dapat diancam sanksi pidana diatur dalam bagian
terpisah yaitu pada Bab X: Ketentuan Pidana. Perbuatan yang diancam
hukuman pidana penjara dan/atau denda ada 15 (lima belas) perbuatan; dan 1
(satu) perbuatan yang diancam hukuman pidana denda. Maksimal hukuman
pidana penjara 5 (lima) tahun dan minimal 2 (dua) tahun untuk lembaga
122

Perhatikan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

Universitas Sumatera Utara

59

penyiaran

radio

maupun

televisi.

Pidana

denda

maksimal

Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan minimal Rp.200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah) untuk penyiaran radio, sedangkan penyiaran televisi
maksimal

Rp.10.000.000.000,00

(sepuluh

miliar

rupiah),

minimal

Rp.2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).123
Bab VIII terdapat 1 (satu) pasal yang mengatur sekaligus rumusan
tindak pidana dan sanksi yang dijatuhkan yaitu Pasal 34, selebihnya pasalpasal yang terdapat dalam Bab VIII tidak merumuskannya sekaligus (rumusan
tindak pidana dan ancaman sanksi diatur dalam pasal yang berbeda). Bab X
secara

keseluruhan

pasal-pasal

yang

terdapat

di

dalamnya

tidak

merumuskannya sekaligus (rumusan tindak pidana dan ancaman sanksi diatur
dalam pasal yang berbeda).
5. Subyek Hukum Tindak Pidana Penyiaran
Rumusan tindak pidana di dalam Buku Kedua dan Ketiga KUHP
biasanya dimulai dengan kata “barangsiapa”. Ini mengandung arti bahwa
yang dapat melakukan tindak pidana atau subyek hukum tindak pidana pada
umumnya adalah manusia. Juga dari ancaman pidana yang dapat dijatuhkan
sesuai dengan Pasal 10 KUHP seperti pidana mati, pidana penjara, pidana
kurungan, denda, dan pidana tambahan mengenai pencabutan hak, dan

123

Perhatikan Pasal 57, Pasal 58 dan Pasal 59 Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang

Penyiaran.

Universitas Sumatera Utara

60

sebagainya menunjukkan bahwa yang dapat dikenai ancaman pidana pada
umumnya adalah manusia atau persoon.124
Pandangan klasik berpendapat bahwa subyek hukum tindak pidana
adalah orang pribadi, meskipun ia berkedudukan sebagai pengurus atau
komisaris suatu badan hukum. Namun menurut perkembangan zaman, subyek
hukum tindak pidana dirasakan perlu diperluas termasuk badan hukum.
Subyek hukum 125 dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran secara umum adalah badan hukum (rechtspersoon), namun dalam
pertanggungjawaban

pidana

dapat

juga

dikenakan

kepada

manusia

(natuurlijke persoon) yang bekerja di dalam badan hukum tersebut. Badan
hukum yang menjadi subyek hukum dimaksud adalah:
a. Lembaga Penyiaran Publik
Lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum yang
didirikan oleh negara, bersifat independen, netral, tidak komersial, dan
berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat.
Lembaga penyiaran publik terdiri atas Radio Republik Indonesia dan
Televisi Republik Indonesia. Sumber pembiayaan lembaga penyiaran
publik berasal dari iuran penyiaran, Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD),
124

Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 54.
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1986), hlm. 117. “Dalam dunia hukum perkataan orang (persoon) berarti pembawa hak, yaitu sesuatu
yang mempunyai hak dan kewajiban dan disebut subyek hukum. Dewasa ini subyek hukum itu terdiri
dari manusia (natuurlijke persoon) dan badan hukum (rechtspersoon)”.
125

Universitas Sumatera Utara

61

sumbangan masyarakat, siaran iklan dan usaha lain yang sah yang
terkait dengan penyelenggaraan penyiaran.126
b. Lembaga Penyiaran Swasta
Lembaga penyiaran bersifat komersial, berbentuk badan
hukum Indonesia, yang bidang usahanya hanya menyelenggarakan
jasa penyiaran radio atau televisi. Sumber pembiayaan lembaga
penyiaran swasta diperoleh dari siaran iklan dan usaha lainnya yang
sah yang terkait dengan penyelenggaran penyiaran.127
c. Lembaga Penyiaran Komunitas
Lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum Indonesia,
didirikan oleh komunitas tertentu, bersifat independen, tidak komersial,
berdaya pancar rendah dengan jangkauan wilayah terbatas, serta
diselenggarakan untuk melayani kepentingan komunitas. Sumber
pembiayaan lembaga penyiaran komunitas berasal dari sumbangan,
hibah, sponsor, dan sumber lainnya yang sah dan tidak mengikat.128
d. Lembaga Penyiaran Berlanggganan
Lembaga penyiaran berbentuk badan hukum Indonesia, yang
bidang

usahanya

hanya

menyelenggarakan

jasa

penyiaran

berlangganan dengan memancarluaskan atau menyalurkan materi
126

Perhatikan Pasal 14 ayat (1), ayat (2) dan Pasal 15 ayat (1)Undang-Undang No.32 Tahun
2002 tentang Penyiaran.
127
Perhatikan Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 19 Undang-Undang No.32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran.
128
Perhatikan Pasal 21 ayat (1), ayat (2) dan Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang No.32 Tahun
2002 tentang Penyiaran.

Universitas Sumatera Utara

62

siarannya secara khusus kepada pelanggan melalui radio, televisi,
multimedia, atau media informasi lainnya. Lembaga penyiaran
berlangganan menyalurkan materi siarannya melalui tiga saluran
yaitu : satelit, kabel, dan terestrial. Pembiayaan diperoleh melalui iuran
berlangganan dan usaha lain yang sah dan terkait dengan
penyelenggaraan penyiaran.129

Sebagaimana lazimnya suatu perusahan, lembaga penyiaran dalam hal
ini stasiun televisi juga memiliki struktur organisasi yang sama seperti
perusahan lain pada umumnya. Namun, bagian pemberitaan sebagai salah satu
unit dalam perusahaan televisi memiliki struktur dan sifat yang tidak sama
dengan unit lainnya. Perbedaan tersebut terletak pada pola kerja bagian
pemberitaan yang tidak sama dengan bagian lainnya.
Struktur organisasi bagian pemberitaan stasiun televisi biasanya terdiri
dari sejumlah jabatan mulai dari reporter, juru kamera, koordinator liputan,
produser, eksekutif produser, dan direktur pemberitaan. Selain badan hukum
(rechtspersoon) yang menjadi subyek hukum, manusia (natuurlijke persoon)
yang juga menjadi subyek hukum khususnya dalam kegiatan pemberitaan
media penyiaran adalah:

129

Perhatikan Pasal 25 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 26 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang
No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

Universitas Sumatera Utara

63

a. Direktur Pemberitaan
Direktur

pemberitaan

terbaik

adalah

seseorang

yang

independen, bahkan harus independen dari pemilik stasiun televisi
karena untuk melaporkan berita secara akurat dan adil, staf
pemberitaan dan direktur pemberitaan harus bebas dari tekanan politik
dan ekonomi. Jurnalis harus dapat melaporkan apa yang mereka
dapatkan tanpa kuatir terhadap akibat yang ditimbulkan oleh laporan
mereka, sebab kebebasan aliran informasi adalah hal yang menentukan
kredibilitas suatu stasiun televisi. Direktur pemberitaan membutuhkan
akses langsung dengan pimpinan stasiun televisi, karena suatu berita
besar dapat terjadi setiap saat dan butuh keputusan cepat untuk
menayangkannya.
b. Produser Eksekutif
Produser eksekutif bertanggungjawab terhadap penampilan
jangka panjang program berita secara keseluruhan.

Bertugas

memikirkan setting, dekor, latar belakang atau tampilan suatu program
berita yang akan menjadi ciri khas program berita tersebut.
Produser eksekutif melakukan pengawasan terhadap kerja
reporter dan memastikan staf redaksi mematuhi aturan yang telah
ditetapkan dan konsisten dengan ketetapan itu. Apabila seorang
produser acara bertanggungjawab atas suatu program berita, maka
produser eksekutif bertanggungjawab terhadap beberapa program

Universitas Sumatera Utara

64

acara termasuk program berita. Produser eksekutif juga memegang
putusan akhir mengenai berita apa yang harus ditayangkan atau tidak.
Produser eksekutif juga harus memikirkan cara untuk memperbaiki
mutu program dan menjaga peringkat acara / rating agar tetap baik.
c. Produser
Produser bertanggungjawab terhadap suatu program berita.
Stasiun televisi biasanya menyiarkan lebih dari satu program berita
dalam sehari semalam. Stasiun televisi berskala nasional biasanya
memiliki tiga hingga empat program berita. Masing-masing program
berita itu dipimpin oleh satu atau beberapa orang produser.
Produser akan memutuskan berita-berita apa saja yang akan
disiarkan dalam program beritanya, berapa lama durasi berita, dan
format berita apa yang akan digunakan. Produser harus menyusun
bagaimana urutan beritanya, apa yang akan ditampilkan pertama dan
terakhir, singkatnya produser bertugas membentuk program beritanya.
Jika dirinci lagi maka terdapat beberapa jenis produser yaitu : produser
acara, produser rekanan dan produser lapangan.
d. Presenter
Pembawa berita atau presenter yang sering juga disebut dengan
anchor menjadi citra dari suatu stasiun televisi. Banyak orang yang
lebih suka memilih program berita pada stasiun televisi tertentu karena
alasan penyiarnya. Kredibilitas presenter dapat menjadi asset penting

Universitas Sumatera Utara

65

suatu stasiun televisi. Dinegara maju, memilih penyiar berita adalah
sama pentingnya dengan memilih acara yang akan diproduksi.
e. Pengarah Program
Pengarah program adalah orang yang bertanggungjawab secara
teknis atas kelancaran satu acara televisi. Kedudukan pengarah
program terkait langsung dengan penampilan suatu program berita
pada saat tayang. Jika produser bekerja untuk mempersiapkan
rundown, maka pengarah acara bekerja di control room studio menjadi
orang-orang yang akan melaksanakan rundown itu.

Suatu program televisi dapat mengudara karena didukung oleh banyak
orang yang bekerja di balik layar. Penonton televisi mungkin hanya melihat
seorang presenter tampil di layar kaca selama suatu program berita mengudara,
namun tidak banyak yang mengetahui bahwa begitu banyak orang yang
berada dibelakang si presenter mendukungnya untuk bisa tampil dengan
sempurna. Keberhasilan acara televisi sangat tergantung pada banyak pihak,
tidak ada istilah one man show pada televisi, orang-orang yang terlibat secara
langsung pada suatu program on air itu antara lain adalah:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

pengatur suara/audio
pengatur cahaya
juru kamera
switcherman
operator video tape recorder / VTR
operator virtual set
produser

Universitas Sumatera Utara

66

h.
i.
j.
k.
l.
m.

presenter
master control
field produser
terminal operator
propertyman
penata rias dan penata busana

Sejumlah posisi yang disebutkan di atas memberi gambaran bahwa
banyak orang yang terlibat dalam suatu program televisi yang tengah
mengudara. Semua orang tersebut harus siaga dan segera bertindak jika
diminta. Diperlukan seorang koordinator agar semua orang itu dapat bekerja
dengan baik dan harmonis. Pengarah acara bertugas mengkoordinasikan,
mengarahkan, dan sekaligus memimpin semua orang itu.
Berdasarkan pemaparan yang telah ada, maka dapat diketahui subjek
hukum dalam tindak pidana korporasi media penyiaran adalah badan hukum
(rechtspersoon) maupun manusia (natuurlijke persoon). Subjek hukum
tersebut sesuai ajaran hukum pidana dan Undang-Undang No.32 Tahun 2002
tentang Penyiaran, apabila melakukan tindak pidana dapat dikenakan sanksi
yang didasarkan atas sanksi administratif dan sanksi pidana.

B. Sistem Pemidanaan Dalam Undang-Undang Penyiaran
Perkembangan hukum pidana di Indonesia saat ini apabila dicermati terutama
Undang-Undang Pidana Khusus 130 atau perundang-undangan pidana diluar KUHP,

130

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986), hlm. 63
mengemukakan tiga kelompok yang bisa dikualifikasikan sebagai undang-undang pidana khusus,

Universitas Sumatera Utara

67

terdapat suatu kecenderungan penggunaan sistem dua jalur dalam stelsel sanksinya
yang berarti sanksi pidana dan sanksi tindakan diatur sekaligus. Menurut Muladi,
hukum pidana modern yang bercirikan orientasi pada perbuatan dan pelaku (daad
dader straafrecht), stelsel sanksinya tidak hanya meliputi pidana (straf, punisment)
yang bersifat penderitaan, tetapi juga tindakan tata tertib (maatregel, treatment) yang
secara relatif lebih bermuatan pendidikan.131
Kebijakan legislasi khususnya menyangkut penetapan sanksi dalam hukum
pidana, merupakan bagian penting dalam sistem pemidanaan karena keberadaannya
dapat memberikan arah dan pertimbangan mengenai apa yang seharusnya dijadikan
sanksi dalam suatu tindak pidana, terlebih lagi bila dihubungkan dengan
kecenderungan produk perundang-undangan pidana di luar KUHP yang dalam stelsel
sanksinya telah mempergunakan double track system, baik yang ditetapkan secara
eksplisit maupun implisit. Namun demikian, penggunaan double track system dalam
perundang-undangan pidana masih banyak memunculkan kerancuan, terutama
bentuk-bentuk dari jenis sanksi tindakan dan jenis sanksi pidana tambahan.132
Sistem pemidanaan dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran mengacu kepada aliran klasik yang pada prinsipnya hanya menganut single
track system, yakni sistem sanksi tunggal berupa jenis sanksi pidana tanpa adanya

yaitu: undang-undang yang tidak dikodifikasikan, peraturan-peraturan hukum administratif yang
memuat sanksi pidana dan undang-undang yang memuat hukum pidana khusus (ius speciale) yang
memuat delik-delik untuk kelompok orang tertentu atau berhubungan dengan perbuatan tertentu.
131
Muladi, Hak Azazi Manusia, Politik, dan Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan
Penerbit Universitas Diponegoro, 1997), hlm. 151.
132
M.Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System &
Implementasinya, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 12-13.

Universitas Sumatera Utara

68

sanksi tindakan yang dijatuhkan bersamaan. Sistem pidana dan pemidanaan aliran
klasik ini sangat menekankan pemidanaan terhadap perbuatan, bukan pada pelakunya.
Sistem pemidanaan ditetapkan secara pasti (the definite sentence), artinya penetapan
sanksi dalam Undang-Undang ini tidak dipakai sistem peringanan atau pemberatan
yang berhubungan dengan faktor usia, kejahatan-kejahatan yang dilakukannya
terdahulu, maupun keadaan khusus dari perbuatan/kejahatan yang dilakukan, dengan
demikian tidak digunakan sistem individualisasi pidana.
Mengenai sanksi pidana diatur dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2002
tentang Penyiaran, yakni pada pasal sebagai berikut:
1. Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Penyiaran :
Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang No.32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran

menentukan

bahwa:

“Lembaga

Penyiaran

Swasta

wajib

memberikan kesempatan kepada karyawan untuk memiliki saham perusahaan
dan memberikan bagian laba perusahaan”. Pelanggaran terhadap Pasal 17 ayat
(3) di atas dikenakan sanksi pidana berdasarkan Pasal 57 huruf a UndangUndang Penyiaran yaitu pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) untuk
penyiaran radio dan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah) untuk penyiaran televisi. Sistem pemidanaan yang diterapkan adalah
single track system.

Universitas Sumatera Utara

69

2. Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Penyiaran :
Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No.32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran menentukan bahwa: “Pemusatan kepemilikan dan penguasaan
Lembaga Penyiaran Swasta oleh satu orang atau satu badan hukum, baik di
satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran, dibatasi”.
Pelanggaran terhadap Pasal 18 ayat (1) di atas dikenakan sanksi pidana
berdasarkan Pasal 58 huruf a Undang-Undang Penyiaran yaitu pidana penjara
paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah) untuk penyiaran radio dan dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) untuk penyiaran televisi. Sistem
pemidanaan yang diterapkan adalah single track system.
Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang No.32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran menentukan bahwa: “Kepemilikan silang antara Lembaga
Penyiaran Swasta yang menyelenggarakan jasa penyiaran radio dan Lembaga
Penyiaran Swasta yang menyelenggarakan jasa penyiaran televisi, antara
Lembaga Penyiaran Swasta dan perusahaan media cetak, serta antara
Lembaga Penyiaran Swasta dan lembaga penyiaran swasta jasa penyiaran
lainnya, baik langsung maupun tidak langsung, dibatasi”. Pelanggaran
terhadap Pasal 18 ayat (2) di atas dikenakan sanksi pidana berdasarkan Pasal
57 huruf b Undang-Undang Penyiaran yaitu pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar

Universitas Sumatera Utara

70

rupiah) untuk penyiaran radio dan dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah) untuk penyiaran televisi. Sistem pemidanaan yang
diterapkan adalah single track system.
3. Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Penyiaran :
Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang No.32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran menentukan bahwa: “Lembaga penyiaran asing dilarang didirikan
di Indonesia”. Pelanggaran terhadap Pasal 30 ayat (1) di atas dikenakan sanksi
pidana berdasarkan Pasal 57 huruf c Undang-Undang Penyiaran yaitu pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) untuk penyiaran radio dan dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) untuk penyiaran televisi.
Sistem pemidanaan yang diterapkan adalah single track system.
4. Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Penyiaran :
Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang No.32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran menentukan bahwa: “Sebelum menyelenggarakan kegiatannya
lembaga penyiaran wajib memperoleh izin penyelenggaraan penyiaran”.
Pelanggaran terhadap Pasal 33 ayat (1) di atas dikenakan sanksi pidana
berdasarkan Pasal 58 huruf b Undang-Undang Penyiaran yaitu pidana penjara
paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah) untuk penyiaran radio dan dipidana dengan pidana

Universitas Sumatera Utara

71

penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) untuk penyiaran televisi. Sistem
pemidanaan yang diterapkan adalah single track system.
5. Pasal 34 ayat (4) Undang-Undang Penyiaran :
Pasal 34 ayat (4) Undang-Undang No.32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran menentukan bahwa: “Izin penyelenggaraan penyiaran dilarang
dipindahtangankan kepada pihak lain”. Pelanggaran terhadap Pasal 34 ayat (4)
di atas dikenakan sanksi pidana berdasarkan Pasal 58 huruf c Undang-Undang
Penyiaran yaitu pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) untuk penyiaran
radio dan dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) untuk
penyiaran televisi. Sistem pemidanaan yang diterapkan adalah single track
system.
6. Pasal 36 ayat (5) Undang-Undang Penyiaran :
Pasal 36 ayat (5) Undang-Undang No.32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran menentukan bahwa: “Isi siaran dilarang : a. bersifat fitnah,
menghasut, menyesatkan dan/atau bohong; b. menonjolkan unsur kekerasan,
cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang; atau c.
mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan”. Pelanggaran
terhadap Pasal 36 ayat (5) di atas dikenakan sanksi pidana berdasarkan Pasal
57 huruf d Undang-Undang Penyiaran yaitu pidana penjara paling lama 5

Universitas Sumatera Utara

72

(lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah) untuk penyiaran radio dan dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah) untuk penyiaran televisi. Sistem pemidanaan yang
diterapkan adalah single track system.
7. Pasal 36 ayat (6) Undang-Undang Penyiaran :
Pasal 36 ayat (6) Undang-Undang No.32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran menentukan bahwa: “Isi siaran dilarang memperolokkan,
merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat
manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional”. Pelanggaran
terhadap Pasal 36 ayat (6) di atas dikenakan sanksi pidana berdasarkan Pasal
57 huruf e Undang-Undang Penyiaran yaitu pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah) untuk penyiaran radio dan dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah) untuk penyiaran televisi. Sistem pemidanaan yang
diterapkan adalah single track system.
8. Pasal 46 ayat (3) Undang-Undang Penyiaran :
Pasal 46 ayat (3) Undang-Undang No.32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran menentukan bahwa: “Siaran iklan niaga dilarang melakukan: a.
promosi yang dihubungkan dengan ajaran suatu agama, ideologi, pribadi
dan/atau kelompok, yang menyinggung perasaan dan/atau merendahkan

Universitas Sumatera Utara

73

martabat agama lain, ideologi lain, pribadi lain, atau kelompok lain; b.
promosi minuman keras atau sejenisnya dan bahan atau zat adiktif; c. promosi
rokok yang memperagakan wujud rokok; d. hal-hal yang bertentangan dengan
kesusilaan masyarakat dan nilai-nilai agama; dan/atau e. eksploitasi anak di
bawah umur 18 (delapan belas) tahun”. Pelanggaran terhadap Pasal 46 ayat
(3) di atas dikenakan sanksi pidana berdasarkan Pasal 58 huruf d UndangUndang Penyiaran yaitu pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) untuk
penyiaran radio dan dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) untuk
penyiaran televisi. Sistem pemidanaan yang diterapkan adalah single track
system.
9. Pasal 46 ayat (10) Undang-Undang Penyiaran :
Pasal 46 ayat (10) Undang-Undang No.32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran menentukan bahwa: “Waktu siaran lembaga penyiaran dilarang
dibeli oleh siapa pun untuk kepentingan apa pun, kecuali untuk siaran iklan”.
Pelanggaran terhadap Pasal 46 ayat (10) di atas dikenakan sanksi pidana
berdasarkan Pasal 59 Undang-Undang Penyiaran yaitu pidana denda paling
banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) untuk penyiaran radio dan
paling banyak Rp.2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) untuk penyiaran
televisi. Sistem pemidanaan yang diterapkan adalah single track system.

Universitas Sumatera Utara

74

Mengamati pasal-pasal di atas dan berdasarkan ketentuan Bab X Ketentuan
Pidana (Pasal 57, Pasal 58, Pasal 59) Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran, maka dapat diidentifikasikan beberapa hal sebagai berikut :
1. Politik hukum atau kebijakan kriminal dalam Undang-Undang Penyiaran meliputi
beberapa perbuatan yaitu :
a. Lembaga penyiaran swasta wajib memberi kesempatan kepada karyawan untuk
memiliki saham perusahaan.
b. Lembaga penyiaran swasta wajib memberi bagian laba perusahaan kepada
karyawan.
c. Pemusatan kepemilikan Lembaga Penyiaran Swasta oleh satu orang atau satu
badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran,
dibatasi.
d. Pemusatan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta oleh satu orang atau satu
badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran,
dibatasi.
e. Kepemilikan silang antara Lembaga Penyiaran Swasta yang menyelenggarakan
jasa penyiaran radio dan Lembaga Penyiaran Swasta yang menyelenggarakan
jasa penyiaran televisi, antara Lembaga Penyiaran Swasta dan perusahaan media
cetak, serta antara Lembaga Penyiaran Swasta dan lembaga penyiaran swasta
jasa penyiaran lainnya, baik langsung maupun tidak langsung, dibatasi.
f. Lembaga penyiaran asing dilarang didirikan di Indonesia.

Universitas Sumatera Utara

75

g. L