Kebijakan Kriminal Terhadap Tindak Pidana Korporasi Media Penyiaran
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah-masalah hukum pers di Indonesia belum mendapat perhatian yang
serius dari para ilmuwan hukum, oleh karena itu almarhum Oemar Seno Adji1 yang
banyak memberi perhatian pada hukum pers merasa perlu menghimbau agar para
sarjana hukum meluangkan waktunya memperhatikan hukum pers, baik yang
menyangkut masalah perusahaan pers (code of enterprise) maupun yang menyangkut
soal-soal tanggung jawab atas isi media massa tersebut (code of publication). 2
Himbauan tersebut semakin relevan (relevant) keberadaannya mencermati dinamika
dan perkembangan perusahaan-perusahaan pers, seiring kemajuan industri penyiaran
saat ini.
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah melahirkan
masyarakat informasi yang semakin besar tuntutannya akan hak untuk mengetahui
dan hak untuk mendapatkan informasi. Informasi kini telah menjadi kebutuhan pokok
1
Oemar Seno Adji, kelahiran Surakarta, Jawa Tengah, 5 Desember 1915, mengabdi di bidang
hukum hingga akhir hayatnya. Memulai karir sebagai pegawai Departemen Kehakiman (1942-1950)
kemudian menjadi Jaksa Agung Muda (1950-1959). Setelah itu mengabdi sebagai dosen dan Guru
Besar Fakultas Hukum UI sejak 1959, dan menjabat Dekan Fakultas Hukum UI (1966-1968). Dari
dunia akademis, dia dipercaya menjabat sebagai Menteri Kehakiman RI (1966-1974) dan Ketua
Mahkamah Agung RI (1974-1982). Berbagai karya, keputusan dan pandangannya tentang hukum
dijadikan referensi, yurisprudensi, dan panutan oleh para insan hukum, baik para penegak hukum
maupun cendekiawan dan mahasiswa.
2
Bambang Sadono, Penyelesaian Delik Pers Secara Politis , (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
1993), hlm. 14.
Universitas Sumatera Utara
2
(primer ) masyarakat dan telah menjadi komoditas penting dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Lembaga penyiaran sebagai salah satu media penyalur informasi dan
pembentuk pendapat umum mempunyai peran penting dalam kehidupan sosial,
budaya, politik, dan ekonomi, memiliki kebebasan dan tanggung jawab dalam
menjalankan fungsinya sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, serta kontrol
dan perekat sosial.3 Mengingat peran yang sangat strategis tersebut penyiaran sebagai
salah satu aspek penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, harus mampu
memberikan kontribusi besar menumbuhkan dan memberdayakan masyarakat,
mencerdaskan kehidupan bangsa, sekaligus menjadi kontrol sosial positif dalam
kerangka negara demokrasi.
Kehadiran banyaknya perusahaan-perusahaan pers yang meliputi media cetak
maupun media elektronik 4 tidak hanya memberikan dampak positif sebagaimana
fungsi dan peran pers yang mulia, yaitu sebagai lembaga kontrol sosial, menegakkan
nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi
manusia, yang kemudian menempatkan pers sebagai pilar keempat demokrasi (the
3
Perhatikan bagian menimbang huruf (d), Undang-Undang No.32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran.
4
Perhatikan Pasal 1 butir 2 Undang-Undang No.40 Tahun 1999 Tentang Pers. “Perusahaan
pers ada1ah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media
cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus
menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi”.
Universitas Sumatera Utara
3
fourth estate of democracy)5, tetapi juga memberikan dampak negatif yang berkaitan
dengan persoalan-persoalan hukum.
Pemberitaan media akan lemahnya kebijakan yang dilakukan pemerintah
dalam menjalankan tugas dan fungsinya mengelola negara dalam aspek politik, sosial,
ekonomi, budaya, pertahanan dan keamanan, di satu sisi adalah bentuk evaluasi dan
kontrol sosial perusahaan pers untuk mengawal kinerja pemerintah agar tetap
bertujuan pada kepentingan masyarakat dalam bingkai demokrasi. Namun di sisi lain,
pemberitaan tersebut yang berulang kali dan dilakukan oleh berbagai media massa
dalam suatu rentang periode akan berdampak pada instabilitas keamanan negara.
Clifford Geertz mengatakan bahwa di negara-negara kebangsaan (nation
states) biasanya dihadapkan pada dilema antara integrasi dan demokrasi. Dikatakan
dilema karena negara kebangsaan membutuhkan keduanya (demokrasi dan integrasi)
sekaligus, padahal watak keduanya bertentangan. Demokrasi berwatak membuka
keran kebebasan agar semua aspirasi tersalur, sedangkan integrasi berwatak ingin
membelenggu kebebasan agar persatuan dan kesatuan kokoh. 6 Kebebasan yang
dimaksud disini termasuk juga di dalamnya adalah kebebasan menyalurkan aspirasi
melalui media.
5
Berdasarkan fungsi dan peranan pers seperti yang diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 6 UndangUndang No.40 Tahun 1999 Tentang Pers, lembaga pers kemudian sering disebut sebagai pilar keempat
demokrasi setelah lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
6
Moh. Mahfud MD, Pancasila dan UUD 1945 Sebagai Pengikat Integrasi Bangsa , makalah
disampaikan pada diskusi panel yang diselenggarakan oleh Depkominfo dalam rangka Peringatan Hari
Kebangkitan Nasional 2007, di Pangkalpinang, Bangka Belitung, 24 Mei 2007 sebagaimana dikutip
oleh Moh. Mahfud MD dari Clifford Geertz, The Integrative Revolution, Primordial Sentiments And
Civil Politics In The New State .
Universitas Sumatera Utara
4
Sejarah mencatat beberapa peristiwa menjadi penyebab instabilitas keamanan
negara dan disintegrasi suatu bangsa karena faktor pemberitaan. Hal ini dapat dilihat
dari pemberitaan media akan gerakan revolusi damai Mohandas Karamchand Gandhi
(Mahatma Gandhi) di India, gerakan anti apartheid yang dipelopori Nelson Rolihlahla
Mandela (Nelson Mandela) di Afrika Selatan, dan aksi menentang junta militer untuk
membangun demokrasi yang dilakukan Aung San Suu Kyi di Myanmar.7 Pada contoh
pemberitaan-pemberitaan tersebut, media awalnya melakukan pemberitaan hanya
sebagai bentuk kontrol sosial positif mengawasi dan mengawal kinerja pemerintah,
namun kemudian pemberitaan tersebut justru menimbulkan ekses (excess) negatif
yaitu instabilitas keamanan dan disintegrasi bangsa yang mengakibatkan kehancuran
pemerintahan negara bersangkutan.
Peristiwa-peristiwa di Indonesia meski tidak berdampak sebesar peristiwa
dunia, namun setidaknya ada tiga peristiwa yang menjadi perhatian serius media dan
berpotensi menimbulkan instabilitas keamanan negara seperti pemberitaan peristiwa
mengenai buruknya kinerja aparat penegak hukum (kepolisian, jaksa, hakim, lembaga
pemasyarakatan). 8 Pemberitaan tentang 18 kebohongan pemerintah (9 kebohongan
7
Media dalam gerakan perjuangan tiga tokoh tersebut sejatinya menempatkan diri sebagai
pengawas dan pengawal kinerja pemerintah sebagai bentuk kontrol sosial demokratis, namun media
juga menjadi “tools” (alat) perubahan. Pemberitaan yang dilakukan media mendorong dunia
internasional untuk memberikan dukungan politik terhadap tokoh pergerakan, memberikan tekanan
politik terhadap negara yang bersangkutan, dan pengawasan politik terhadap proses perubahan yang
dilakukan.
8
Pemberitaan rekening gendut perwira POLRI, pertikaian antara sesama penegak hukum
KPK versus Polisi atau cicak versus buaya, kasus suap dan korupsi Jaksa yang disinyalir melibatkan
mafia hukum, jual beli fasilitas kamar terpidana Ayin, serta bebasnya terpidana Gayus untuk keluar
masuk Lembaga Pemasyarakatan. (Pemberitaan Metro TV dan MNC Group Periode 2010 - 2011).
Universitas Sumatera Utara
5
lama dan 9 kebohongan baru) yang diungkapkan oleh sejumlah tokoh lintas agama.9
Pemberitaan seperti contoh di atas dapat menjadi faktor kriminogen, berpotensi
menimbulkan permasalahan hukum baru atau bahkan mendorong gerakan masif
massa menuntut turunnya rezim penguasa. Pemberitaan yang tidak dikelola dengan
baik berpotensi menjadi ancaman serius terhadap keamanan nasional negara. Padahal
keamanan nasional (national security) suatu negara adalah syarat mutlak agar
pemerintah dapat menjalankan tugas dan fungsinya secara optimal.
Landasan berpikir tersebut dapat dipahami menjadi landasan pemerintah
mengeluarkan produk politik hukum yang secara khusus mengatur kegiatan
pemberitaan atau penyampaian informasi kepada masyarakat melalui perusahaan
pers. 10 Perlu diingat dalam pengaturan penyampaian informasi tersebut, harus
diseimbangkan antara kepentingan pemerintah dengan kepentingan hak masyarakat
untuk memperoleh informasi.
Suatu masyarakat yang merdeka lahir atas dasar kebebasan untuk memilih
serta kebebasan untuk menyatakan pendapat. Kita dapat mengenali suatu
9
Pemberitaan Metro TV dan MNC Group Periode Januari - Maret 2011. Pada rentang masa
pemberitaan ini, kerusuhan terjadi di hampir seluruh daerah di Indonesia. Masyarakat mengalami krisis
kepercayaan terhadap pemerintah dan issue yang berkembang adalah ingin menjatuhkan presiden dan
wakilnya dari kekuasaan karena dinilai tidak mampu mengelola pemerintahan dan negara dengan baik.
Issue ini berkembang seiring kerusuhan yang timbul akibat pemberitaan menjadi komoditi pemberitaan
baru dan diperbandingkan dengan kondisi tahun 1998 ketika Presiden Soeharto juga dinilai tidak
mampu mengelola pemerintahan dan negara.
10
Pemberitaan atau penyampaian informasi kepada masyarakat melalui perusahaan pers yang
ada di Indonesia, diatur dalam Undang-Undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers dan Undang-Undang
No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
Universitas Sumatera Utara
6
pemerintahan tirani, bukan hanya dari dilarangnya kebebasan memilih, tetapi juga
dari dilarangnya pers yang bebas.11
Pemberitaan sebenarnya adalah hak dasar dan hak konstitusi dari setiap warga
negara, terlebih lagi informasi kini telah menjadi kebutuhan pokok (primer )
masyarakat yang telah menjadi komoditas penting dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Dikatakan sebagai hak dasar dan hak konstitusi, karena hak
atas informasi dijamin dalam Konstitusi yaitu pada Pasal 28F Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 28F menyatakan : “Setiap orang
berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan
pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala
jenis saluran yang tersedia”.
Hak untuk mengetahui informasi (right to know) juga merupakan hak dasar,
karena merupakan hak fundamental yang menjadi perhatian utama para perumus
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Majelis umum Perserikatan
Bangsa Bangsa (PBB) pada tahun 1946 menilai bahwa hak ini penting untuk
perjuangan hak-hak lainnya. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka hak atas
informasi sebagai bagian dari kebebasan berpendapat kemudian dimasukkan ke
dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia sebagai salah satu dari 30 (tiga puluh)
11
F. Rachmadi, Perbandingan Sistem Pers. Analisis Deskriptif Sistem Pers di Berbagai
Negara , (Jakarta: PT. Gramedia, 1990), hlm. 49.
Universitas Sumatera Utara
7
hak yang diakui eksistensinya secara universal12. Pasal 19 DUHAM, menyatakan :
“Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat, dalam
hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa mendapat gangguan, dan untuk
mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat dengan
cara apapun dan dengan tidak memandang batas-batas”.
Nilai yang terkandung di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
mengikat Negara Kesatuan Republik Indonesia dan berlaku sebagai hukum nasional
(supreme law of the land ). Pemerintah Indonesia selanjutnya berkewajiban
menjalankan ketentuan-ketentuan tersebut. Kewajiban yang diembannya terdiri dari
tiga bentuk, yaitu menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi
(to fulfil). Kewajiban menghormati (obligation to respect) adalah kewajiban negara
untuk menahan diri untuk tidak melakukan intervensi, kecuali atas dasar hukum yang
sah (legitimate).
Hak atas informasi yang telah diatur dalam Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia, kembali dipertegas dalam Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia. Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) menyatakan : “Ayat (1) Setiap orang
berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. Ayat (2) Setiap orang berhak
untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan
informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia”.
12
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, diterima dan diumumkan oleh Majelis Umum
Perserikatan Bangsa Bangsa pada tanggal 10 Desember 1948 melalui resolusi 217 A (III).
Universitas Sumatera Utara
8
Hak atas informasi memang tidak termasuk dalam kategori hak yang tidak
dapat dikurangi dalam keadaan apapun (nonderogable rights) sehingga dalam
pelaksanaannya, hak atas informasi dapat dibatasi sebagaimana dinyatakan dalam
Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 194513,
Pasal 29 ayat (2) dan ayat (3) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM)14,
dan Pasal 70 Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.15
Penting untuk dicatat bahwa pembatasan hak atas informasi tidak bisa
diberlakukan secara semena-mena. Instrumen-instrumen hukum tersebut menyatakan
pembatasan hanya diperbolehkan apabila diatur menurut hukum dan dibutuhkan
untuk melindungi hak serta kebebasan orang lain atas pertimbangan moral, nilai-nilai
agama, kesusilaan, keamanan, kesejahteraan dan ketertiban umum.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan UndangUndang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa
Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. “Dalam
menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan
dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan
atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis”.
14
Pasal 29 ayat (2) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, “Dalam menjalankan hak-hak
dan kebebasan-kebebasannya, setiap orang harus tunduk hanya pada pembatasan-pembatasan yang
ditetapkan oleh undang-undang yang tujuannya semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan yang tepat terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi
syarat-syarat yang adil dalam hal kesusilaan, ketertiban dan kesejahteraan umum dalam suatu
masyarakat yang demokratis”. Ayat (3), “Hak-hak dan kebebasan-kebebasan ini dengan jalan
bagaimana pun sekali-kali tidak boleh dilaksanakan bertentangan dengan tujuan dan prinsip-prinsip
Perserikatan Bangsa-Bangsa”.
15
Pasal 70 Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, “Dalam
menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan
Undang-Undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral,
keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.
13
Universitas Sumatera Utara
9
pembatasan hanya dapat dilakukan semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang
adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban
umum dalam suatu masyarakat demokratis16. Pasal 74 Undang-Undang No.39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan : “Tidak satu ketentuanpun dalam
Undang-Undang ini boleh diartikan bahwa pemerintah, partai, golongan atau pihak
manapun dibenarkan mengurangi, merusak, atau menghapuskan hak asasi manusia
atau kebebasan dasar yang diatur dalam Undang-Undang ini”.
Prinsip-prinsip Siracusa (Siracusa
Principles)
17
menyebutkan bahwa
pembatasan hak tidak boleh membahayakan esensi hak. Semua klausul pembatasan
harus ditafsirkan secara tegas dan ditujukan untuk mendukung hak-hak. Prinsip ini
menegaskan bahwa pembatasan hak tidak boleh diberlakukan secara sewenangwenang, pembatasan Hak Asasi Manusia termasuk hak atas informasi yang dilakukan
oleh negara harus tetap menjamin bahkan memperkuat perlindungan HAM.
Subekti dalam buku berjudul “Dasar-Dasar Hukum dan Pengadilan”
mengatakan bahwa hukum itu mengabdi pada tujuan Negara yang dalam pokoknya
ialah: mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan pada rakyatnya. Hukum menurut
Subekti, melayani tujuan Negara tersebut dengan menyelenggarakan “keadilan” dan
16
Perhatikan Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Perhatikan juga Pasal 70 Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
17
Siracusa Principles adalah prinsip-prinsip mengenai ketentuan pembatasan dan
pengurangan hak yang diatur dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik. Lihat The
Siracusa Principles on The Limitation and Derogation Provisions In The International Covenant on
Civil and Political Rights. Lihat pula General Comment No. 10 International Covenant on Civil and
Political Rights.
Universitas Sumatera Utara
10
“ketertiban”, syarat-syarat yang pokok untuk mendatangkan kemakmuran dan
kebahagiaan.18
Keadilan itu kiranya dapat digambarkan sebagai suatu keadaan keseimbangan
yang membawa ketentraman di dalam hati orang, dan jika diusik atau dilanggar akan
menimbulkan kegelisahan dan kegoncangan. Dengan demikian maka dapat kita lihat
bahwa hukum tidak saja harus mencarikan keseimbangan antara pelbagai kepentingan
yang bertentangan satu sama lain untuk mendapatkan “keadilan”, tetapi hukum juga
harus mendapatkan keseimbangan lagi antara tuntutan keadilan tersebut dengan
tuntutan “ketertiban” atau “kepastian hukum”.19
Mengingat begitu pentingnya informasi bagi kehidupan masyarakat dan
melihat pembatasan resmi yang secara sah diperbolehkan dalam berbagai instrumen
hukum diatas, maka sudah seharusnya media penyiaran dapat bekerja secara
independen. Media penyiaran harus menyampaikan informasi tanpa adanya tekanan
dari pihak manapun, termasuk tekanan dari pemerintah atau negara (state
intervention) yang melampaui batasan aturan-aturan hukum.
Semangat jiwa masyarakat (volkgeist) untuk mendapatkan kebebasan
informasi ternyata terbentur dengan peraturan yang dibuat oleh pemerintah Indonesia
yaitu Undang-Undang. No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Produk politik hukum
tersebut terlihat lebih mengutamakan kepentingan pemerintah dan kelompok pemilik
18
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia , (Jakarta: Balai Pustaka,
1986), hlm. 39.
19
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
11
modal untuk membatasi penyebaran informasi, dan oleh karenanya mengancam
kepentingan publik (public interest) akan kebebasan memperoleh informasi.
Pembatasan penyebaran informasi terjadi karena pasal-pasal di dalam
Undang-Undang Penyiaran secara terstruktur dan sistematis berusaha menghilangkan
hak mencari dan mendapatkan informasi, khususnya informasi yang berasal dari
lembaga penyiaran asing. Pembatasan informasi asing tersebut dilakukan pemerintah
sebagai upaya menjaga integrasi nasional, menjaga nilai moral, tata susila, budaya
dan kepribadian masyarakat Indonesia20.
Pemerintah dalam mencapai tujuan tersebut melakukan pembatasan informasi
asing secara menyeluruh tanpa menelaah dengan cermat mata acara ataupun konten
siaran asing yang dibatasi, padahal tidak semua informasi yang berasal dari lembaga
penyiaran asing itu buruk, sebagai contoh siaran dari National Geography, Discovery
Channel, dan ESPN. Informasi yang disampaikan oleh ketiga lembaga penyiaran
asing tersebut jauh dari kategori informasi yang dapat mengancam integrasi nasional,
moral, tata susila, budaya dan kepribadian masyarakat Indonesia, sehingga patut
untuk dikaji kembali kebijakan yang diberlakukan pemerintah dalam membatasi
informasi asing.
Pengumpulan data dan fakta berita untuk menyampaikan informasi secara
lengkap dan berimbang akan suatu peristiwa mancanegara seringkali diperoleh
lembaga penyiaran Indonesia dari lembaga penyiaran asing. Hal ini dapat dibuktikan
20
Perhatikan bagian menimbang huruf (c) dan huruf (e), Undang-Undang No. 32 Tahun 2002
tentang Penyiaran.
Universitas Sumatera Utara
12
dari pemberitaan media Indonesia yang mengambil potongan audio video dengan
membubuhkan keterangan pengambilan dari media lain (courtesy).
Pengambilan potongan audio video dari media asing sebagai fakta
pemberitaan memang tidak dilarang dalam Undang-Undang Penyiaran, justru
sebaliknya jika hal ini dibatasi akan dapat mengancam keberadaan media penyiaran
yang bersangkutan karena dianggap telah menyiarkan pemberitaan bersifat fitnah,
menghasut, menyesatkan dan/atau bohong. Lembaga penyiaran tersebut dapat
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) untuk penyiaran radio dan dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) untuk penyiaran televisi.21
Pembatasan penyebaran informasi dari lembaga penyiaran asing dapat dilihat
dari upaya sistematis pasal-pasal yang ada di dalam UU. No.32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran. Pasal 36 ayat (2) menyatakan : “Isi siaran dari jasa penyiaran televisi,
yang diselenggarakan oleh Lembaga Penyiaran Swasta dan Lembaga Penyiaran
Publik, wajib memuat sekurang-kurangnya 60% (enam puluh per seratus) mata acara
yang berasal dari dalam negeri”.
Hal tersebut memberi kesan bahwa pemerintah masih memberi kebebasan
informasi asing sebesar 40% (empat puluh per seratus) untuk disiarkan lembaga
penyiaran Indonesia. Angka tersebut sebenarnya akan semakin diperkecil dengan
21
Perhatikan Pasal 36 ayat (5) dan Pasal 57 Undang-Undang No.32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran.
Universitas Sumatera Utara
13
adanya ketentuan Pasal 46 ayat (7), ayat (8), dan ayat (9) yang menyatakan lembaga
penyiaran wajib menyediakan waktu untuk siaran iklan layanan masyarakat paling
sedikit 10% (sepuluh per seratus) dari besaran siaran iklan niaga yang paling banyak
20% (dua puluh per seratus) untuk Lembaga Penyiaran Swasta, dan wajib
menyediakan paling sedikit 30% (tiga puluh per seratus) iklan layanan masyarakat
dari besaran siaran iklan niaga yang paling banyak 15% (lima belas per seratus) untuk
Lembaga Penyiaran Publik.22
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, maka konten siaran asing yang
boleh disiarkan oleh lembaga penyiaran Indonesia secara total sebenarnya hanya
sebesar 20% - 25% saja, kemudian hanya 30% (tiga puluh per seratus) dari total
keseluruhan siaran asing tersebut yang boleh disulih suarakan ke bahasa Indonesia.23
Padahal sulih suara sangat penting untuk memudahkan penyampaian informasi
kepada masyarakat yang tidak semuanya paham akan bahasa asing.
Pembatasan
ini
membuat
Indonesia
berada
dalam
era
kegelapan,
keterbelakangan dan kemunduran informasi, terlebih lagi dalam lingkup globalisasi24
saat ini. Masyarakat Indonesia sebagai bagian dari komunitas masyarakat dunia, tidak
bisa hanya mengetahui perkembangan dari dalam negeri, namun juga harus
22
Perhatikan Pasal 46 ayat (7), ayat (8), ayat (9) Undang-Undang No.32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran.
Perhatikan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. “Sulih
suara bahasa asing ke dalam Bahasa Indonesia dibatasi paling banyak 30% (tiga puluh per seratus) dari
jumlah mata acara berbahasa asing yang disiarkan”.
24
Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Kencana
Prenada Media, 2010), hlm. 61. “Globalisasi di segala bidang berjalan ekstra cepat sehingga tidak
mungkin satu negara mengisolasi diri secara politik, sosial budaya, ekonomi, dan hukum dalam
keterikatan antar negara”.
23
Universitas Sumatera Utara
14
mengetahui perkembangan dari mancanegara. Pers dan lembaga penyiaran Indonesia
seharusnya juga dapat berperan lebih besar dan aktif menyampaikan informasi
perkembangan di Indonesia secara lengkap kepada masyarakat dunia.
Lembaga penyiaran
25
sebagai salah satu perusahaan pers
26
dalam
melaksanakan tugas jurnalistik tentunya tidak hanya berpedoman pada ketentuan
yang ada di dalam Undang-Undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers, namun juga
harus berpedoman pada Undang-Undang No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
Undang-Undang yang seharusnya menjadi pedoman kerja bagi setiap lembaga
penyiaran dan insan pers tersebut, ternyata justru membatasi ruang gerak dan
independensi media penyiaran dalam menyampaikan informasi berita apa adanya
tanpa ada penambahan ataupun pengurangan fakta berita.
Terbatasnya ruang gerak dan independensi media penyiaran mengakibatkan
perusahaan pers, khususnya media penyiaran Indonesia “terpaksa” melakukan tindak
pidana, karena tidak dapat memberikan informasi yang aktual, faktual, dan akurat
terkait peristiwa dunia. Padahal tanpa ketiga hal tersebut, niscaya media penyiaran
hanya menjadi perusahaan pers atau korporasi27 pembentuk pendapat umum (public
25
Perhatikan Pasal 1 ayat (9) Undang-Undang No.32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran. ”Lembaga penyiaran adalah penyelenggara penyiaran, baik lembaga penyiaran publik,
lembaga penyiaran swasta, lembaga penyiaran komunitas maupun lembaga penyiaran berlangganan
yang dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan tanggung jawabnya berpedoman pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku”.
26
Perhatikan Pasal 1 butir 2 Undang-Undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers. “Perusahaan
pers ada1ah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media
cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus
menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi”.
27
H. Setiyono, Kejahatan Korporasi: Analisis Viktimologis Dan Pertanggungjawaban
Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia , (Malang: Bayumedia Publishing, 2004), hlm. 2.
“Korporasi merupakan istilah yang biasa digunakan oleh para ahli hukum pidana dan kriminologi
Universitas Sumatera Utara
15
opinion) yang menyesatkan masyarakat. Bahkan bukan tidak mungkin, media
penyiaran hanya menjadi corong pemerintah sekaligus alat propaganda politik
sejumlah elit tertentu.28
Menurut teori pers liberal, pers harus memiliki kebebasan yang seluas-luasnya
untuk membantu manusia mencari kebenaran. Untuk mencari kebenaran, manusia
memerlukan kebebasan mencari informasi. Dalam kehidupan masyarakat liberal
seperti di Eropa dan Amerika Utara, kebebasan pers merupakan pilar utama
sebagaimana teori demokrasi liberal klasik menyatakan bahwa media massa
merupakan ruang publik (public sphere) disamping juga berfungsi sebagai anjing
penjaga (watchdog) bagi pemerintah sebagaimana dipaparkan Sukosd dalam Media
and Public Policy.29
Undang-Undang No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang dibuat dengan
harapan dapat menjadi landasan dan tolak ukur pembentukan sistem penyiaran
nasional yang menjamin terciptanya tatanan informasi nasional yang adil, merata, dan
seimbang guna mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia30, justru
terkesan menjadi produk politik hukum yang tidak berkeadilan. Produk politik hukum
untuk menyebut apa yang dalam bidang hukum lain, khususnya bidang hukum perdata sebagai badan
hukum, atau dalam bahasa Belanda disebut rechtspersoon atau dalam bahasa Inggris dengan istilah
legal person atau legal body”.
28
Media penyiaran menjadi alat propaganda politik terlihat sangat jelas pada saat menjelang
masa Pemilu dan Pemilukada. Bakal calon dan partai politik yang berkepentingan akan menggunakan
media sebagai alat propaganda menggiring opini publik, melakukan pencitraan positif maupun
pencitraan negatif ke satu calon atau ke satu partai politik tertentu.
29
Muzakki, Pers Sebagai Pilar Demokrasi, makalah disampaikan pada Pertemuan VI
Sekolah Demokrasi, di Kota Batu, 23 Mei 2009 atas kerjasama PlaCIDs Averroes dengan Komunitas
Indonesia untuk Demokrasi (KID) Jakarta.
30
Perhatikan bagian menimbang huruf (c) Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran.
Universitas Sumatera Utara
16
ini terkesan sengaja diciptakan sebagai alat legitimasi atau pembenar tindakantindakan pemerintah untuk membatasi ruang gerak pers dan kebebasan informasi
masyarakat. Hukum telah menjadi alat pemenuhan kepentingan penguasa, hal ini
terlihat pada arah peraturan yang cenderung melindungi dan menguntungkan
pemerintah dihampir semua aktifitas penyiaran.
Undang-Undang No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran apabila diperhatikan
secara mendalam, sebenarnya berada dalam bidang hukum administrasi yang cakupan
ruang lingkupnya sangat luas. Bidang hukum administrasi dikatakan sangat luas
karena hukum administrasi (administrative law) merupakan: “Seperangkat hukum
yang diciptakan oleh lembaga administrasi dalam bentuk undang-undang, peraturanperaturan, perintah, dan keputusan-keputusan untuk melaksanakan kekuasaan dan
tugas-tugas pengaturan/mengatur dari lembaga yang bersangkutan.” (Body of law
created by administrative agencies in the form of rules, regulations, orders, and
decisions to carry out regulatory powers and duties of such agencies ).31
Bertolak dari pengertian di atas, maka hukum pidana administrasi dapat
dikatakan sebagai hukum pidana di bidang pelanggaran-pelanggaran hukum
administrasi. Oleh karena itu, kejahatan/tindak pidana administrasi (administrative
31
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana , (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2003), hlm. 13 sebagaimana dikutip oleh Barda Nawawi dari Henry Campbell Black, Black’s Law
Dictionary, 1990, hlm. 46.
Universitas Sumatera Utara
17
crime) dinyatakan sebagai “An offence consisting of a violation of an administrative
rule or regulation and carrying with it a criminal sanction ”.32
Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas, maka masalah kebijakan
kriminal menarik untuk diteliti dan dituangkan dalam bentuk tesis yang berjudul :
“Kebijakan Kriminal Terhadap Tindak Pidana Korporasi Media Penyiaran”.
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas maka dapat dirumuskan
beberapa pokok permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah kebijakan kriminal terhadap tindak pidana korporasi media
penyiaran?
2. Bagaimanakah kebijakan kriminal masa mendatang terkait dengan tindak pidana
korporasi media penyiaran?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan judul dan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini
mempunyai tujuan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui kebijakan kriminal yang ada saat ini terhadap tindak pidana
korporasi media penyiaran serta menganalisa kelayakan kebijakan tersebut untuk
tetap diberlakukan.
32
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana , (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2003), hlm. 14.
Universitas Sumatera Utara
18
2. Untuk mencari suatu kemungkinan kebijakan kriminal yang baru dan ideal untuk
diterapkan dalam perundang-undangan penyiaran di masa mendatang.
D. Manfaat Penelitian
1. Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi sebagai bahan
dokumentasi studi Kebijakan Kriminal (Criminal Policy), serta dapat dijadikan bahan
referensi ilmiah / sumbangan pemikiran yang berguna dalam perkembangan ilmu
hukum, khususnya hukum yang mengatur tentang korporasi media penyiaran.
Penelitian ini diharapkan mampu memperkaya khazanah keilmuan bidang hukum dan
membuka wawasan pengetahuan masyarakat tentang hukum positif yang berlaku (ius
constitutum) dengan hukum yang seharusnya berlaku (ius constituendum).
2. Secara Praktis
Penelitian ini akan sangat berguna bagi penulis secara pribadi, para
mahasiswa dan masyarakat pemerhati dunia penyiaran Indonesia, khususnya untuk
memperluas wawasan tentang Kebijakan Kriminal Terhadap Tindak Pidana
Korporasi Media Penyiaran. Penelitian ini akan sangat berguna bagi para pihak di
dunia penyiaran Indonesia, terutama lembaga penyiaran yang telah dibatasi ruang
gerak dan independensinya dalam melaksanakan tugas jurnalisme, dan masyarakat
yang telah dikekang hak untuk mengetahui informasi (right to know).
Universitas Sumatera Utara
19
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi yang ada dan dari penelusuran yang dilakukan di
Kepustakaan Universitas Sumatera Utara dan Kepustakaan Pasca Sarjana, maka
penelitian dengan judul ”Kebijakan Kriminal Terhadap Tindak Pidana Korporasi
Media Penyiaran”, belum pernah ada yang melakukannya.
Meskipun ada beberapa penelitian tentang penyiaran, namun dalam tesis ini
yang dibicarakan adalah mengenai desain kebijakan kriminal sebagai bentuk
penindakan dan pencegahan terhadap tindak pidana korporasi media penyiaran,
sehingga permasalahan yang diteliti tidaklah sama. Dengan demikian penelitian ini
dapat dijamin keasliannya dari substansi maupun dari permasalahan, sehingga dapat
dipertanggung jawabkan kebenarannya secara ilmiah.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Negara dalam mencapai tujuannya yaitu negara yang makmur serta adil dan
sejahtera memerlukan suasana yang kondusif dalam segala aspek termasuk aspek
hukum. Mengakomodasi kebutuhan tersebut, negara Indonesia telah menentukan
kebijakan sosial (social policy) yang berupa kebijakan untuk mewujudkan
kesejahteraan sosial (social welfare policy) dan kebijakan memberikan perlindungan
sosial (social defence policy).33
33
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan
Kejahatan , (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 73.
Universitas Sumatera Utara
20
Kebijakan untuk memberikan perlindungan sosial (social defence policy)
salah satunya adalah dengan melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan
tindak pidana yang aktual maupun potensial terjadi. Segala upaya untuk mencegah
dan menanggulangi tindak pidana ini termasuk dalam wilayah kebijakan kriminal
(criminal policy).34 Teori utama yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah :
a. Teori Kebijakan Kriminal (Criminal Policy)
Istilah ”kebijakan” berasal dari bahasa Inggris ”policy” atau bahasa
Belanda ”politiek”. Istilah ini dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan
dengan kata ”politik”, oleh karena itu kebijakan hukum pidana biasa disebut
juga politik hukum pidana.35
Menurut
G.Peter.Hoefnagels, criminal
policy
is
the
rational
organization of the social reactions to crime. 36 Hal ini berarti bahwa
kebijakan kriminal adalah usaha yang rasional dari masyarakat untuk
menanggulangi kejahatan.
Politik kriminal sebagai usaha untuk penanggulangan kejahatan, dapat
diejawantahkan dalam pelbagai bentuk. Bentuk yang pertama adalah bersifat
represif menggunakan sarana penal, yang sering disebut sebagai sistem
peradilan pidana (criminal justice system), secara luas sebenarnya mencakup
pula proses kriminalisasi. Bentuk kedua berupa usaha-usaha tanpa
34
Ibid.
Mahmud Mulyadi, Criminal Policy: Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal
Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan , (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008), hlm. 65.
36
G.Peter.Hoefnagels, The Other Side of Criminology, (Holland: Kluwer Deventer, 1972),
hlm. 57.
35
Universitas Sumatera Utara
21
menggunakan sarana penal (prevention without punishment) dan yang ketiga
adalah mendayagunakan usaha-usaha pembentukan opini masyarakat tentang
kejahatan dan sosialisasi hukum melalui mass media secara luas.37
Melalui pendekatan kebijakan yang integral (mengharmonisasikan
kebijakan penal dan non penal), diharapkan “social defence planning” benarbenar dapat berhasil kearah penekanan atau pengurangan faktor-faktor
potensial untuk tumbuh suburnya kejahatan. Upaya ini hakekatnya adalah
untuk memberikan perlindungan masyarakat (social defence planning atau
protection of society) untuk mencapai kesejahteraan antara kepentingan
pribadi dan kepentingan masyarakat, sehingga keduanya harus berjalan
beriringan.38
Sarana penal tidak lain adalah menggunakan hukum pidana sebagai
sarana utamanya; baik hukum pidana materil, hukum pidana formal maupun
pelaksanaan pidana yang dilaksanakan melalui Sistem Peradilan Pidana untuk
mencapai tujuan tertentu. Tujuan tersebut dalam jangka pendek adalah
resosialisasi (memasyarakatkan kembali) pelaku tindak pidana, jangka
menengah adalah untuk mencegah kejahatan, dan dalam jangka panjang yang
merupakan tujuan akhir adalah untuk mencapai kesejahteraan sosial.39
37
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana , (Bandung: PT. Alumni,
2007), hlm. 9.
38
M. Hamdan, Politik Hukum Pidana , (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 24.
39
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
22
Marc Ancel berpendapat, kebijakan hukum pidana (penal policy)
merupakan suatu ilmu sekaligus seni yang mempunyai tujuan praktis untuk
memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan
untuk memberikan pedoman pada pembuat undang-undang, pengadilan yang
menerapkan undang-undang, dan kepada para pelaksana putusan pengadilan.
Kebijakan hukum pidana (penal policy) tersebut merupakan salah satu
komponen dari modern criminal science di samping kriminologi dan criminal
law.40
Hukum pidana di sini berfungsi ganda yaitu primer sebagai sarana
penanggulangan kejahatan yang rasional (sebagai bagian politik kriminal) dan
yang sekunder ialah sebagai sarana pengaturan kontrol sosial secara spontan
dibuat oleh negara dan alat kelengkapannya. 41 Dua masalah sentral dalam
kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) ialah
masalah penentuan42:
1. perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan
2. sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.
Masalah menentukan perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak
pidana merupakan suatu kebijakan dalam menetapkan suatu perbuatan yang
semula bukan tindak pidana (tidak dipidana) menjadi suatu tindak pidana
40
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana: Kajian Kebijakan
Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, (Jakarta: Penerbit Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 18.
41
M. Hamdan, Politik Hukum Pidana , op.cit., hlm. 49.
42
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana , (Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2008), hlm. 32.
Universitas Sumatera Utara
23
(perbuatan
yang dapat
dipidana). Jadi,
pada
hakikatnya
kebijakan
kriminalisasi merupakan bagian dari kebijakan kriminal (criminal policy)
dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal) dan oleh karena itu
termasuk bagian dari kebijakan hukum pidana (penal policy).43
Salah satu masalah sentral dalam politik kriminal, sanksi hukum
pidana seharusnya dilakukan melalui pendekatan yang rasional, karena jika
tidak akan menimbulkan “the crisis of overcriminalization” (krisis kelebihan
kriminalisasi) dan “the crisis of overreach of the criminal law” (krisis
pelampauan batas dari hukum pidana). Pentingnya pendekatan rasional telah
banyak dikemukakan oleh para ahli hukum pidana dan kriminologi, antara
lain: G.P.Hoefnagels, Karl O.Christiansen, J.Andenaes, Mc.Grath W.T dan
W.Clifford.44
Menurut
Barda
Nawawi
Arief,
sekiranya
dalam
kebijakan
penanggulangan kejahatan atau politik kriminal digunakan upaya/sarana
hukum pidana (penal), maka kebijakan hukum pidana harus diarahkan pada
tujuan dari kebijakan sosial (social policy) yang terdiri dari kebijakan/upayaupaya untuk kesejahteraan sosial (social welfare policy) dan kebijakan/upayaupaya untuk perlindungan masyarakat (social defence policy).45 Tujuan akhir
43
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana , (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2003), hlm. 240.
44
M.Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana. Ide Dasar Double Track System &
Implementasinya , (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 6.
45
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan
Kejahatan , (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 73-74.
Universitas Sumatera Utara
24
atau tujuan utama dari politik kriminal ialah perlindungan masyarakat untuk
mencapai kesejahteraan.
Pendekatan non-penal menurut Hoefnagels adalah pendekatan
pencegahan kejahatan tanpa menggunakan sarana pemidanaan, yaitu antara
lain perencanaan kesehatan mental masyarakat, kesehatan mental masyarakat
secara nasional, social worker and child welfare (kesejahteraan anak dan
pekerja sosial), serta penggunaan hukum civil dan hukum administrasi.46
Kebijakan penanggulangan kejahatan melalui jalur “non penal” lebih
bersifat tindakan pencegahan sebelum terjadinya kejahatan. Sasaran utamanya
adalah menangani faktor-faktor potensial penyebab terjadinya kejahatan yang
berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara
langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan kejahatan. Dilihat dari
kebijakan penanggulangan kejahatan, maka usaha-usaha non penal ini
mempunyai kedudukan yang strategis dan memegang peranan kunci yang
harus diintensifkan dan diefektifkan.47
Pada dasarnya kebijakan penal policy lebih menekankan pada tindakan
represif setelah terjadinya tindak pidana, sedangkan non penal policy
menekankan kepada tindakan preventif sebelum terjadinya tindak pidana.
46
Mahmud Mulyadi, Criminal Policy: Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal
Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan , (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008), hlm. 58.
47
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana , (Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2008), hlm. 33.
Universitas Sumatera Utara
25
b. Teori Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Tindak pidana (crime) dapat diidentifikasi dengan timbulnya kerugian
(harm), yang kemudian mengakibatkan lahirnya pertanggungjawaban pidana
atau criminal liability. 48 Pertanggungjawaban pidana, dalam istilah asing
disebut juga Teorekenbaardheid atau criminal responsibility, yang menjurus
kepada pemidanaan pelaku dengan maksud untuk menentukan apakah
seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindak
pidana yang terjadi atau tidak.49
Pertanggungjawaban pidana itu sendiri adalah diteruskannya celaan
yang objektif yang ada pada tindak pidana. Untuk dapat dipidananya si pelaku,
disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu haruslah memenuhi
unsur-unsur yang telah ditentukan undang-undang.50
Korporasi sebagai pelaku tindak pidana dalam hukum positif sudah
diakui, bahwa korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana dan
dapat dijatuhkan pidana. Di negara Belanda untuk menentukan korporasi
sebagai pelaku tindak pidana berdasarkan pada Arrest “Kleuterschool
Babbel”, yang menyatakan bahwa perbuatan dari perorangan/orang pribadi
48
Hyman Gross, A Theory of Criminal Justice , (New York: Oxford University Press, 1979),
hlm. 114.
49
Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan
Korporasi, (Jakarta: PT. Sofmedia, 2010), hlm. 34.
50
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
26
dapat dibebankan pada badan hukum/korporasi apabila perbuatan tersebut
tercermin dalam lalu lintas sosial sebagai perbuatan dari badan hukum.51
Belanda sebagai tempat asal KUHP Indonesia, pada tanggal 23 Juni
1976 telah meresmikan korporasi sebagai subjek hukum pidana dan ketentuan
ini dimasukkan ke dalam pasal 51 KUHP Belanda, yang isinya menyatakan
antara lain: Tindak pidana dapat dilakukan baik oleh perorangan maupun
korporasi. Jika dilakukan oleh korporasi, penuntutan pidana dapat dijalankan
dan sanksi pidana maupun tindakan yang disediakan dalam perundangundangan sepanjang berkenaan dengan korporasi dapat dijatuhkan. Pengenaan
sanksi dapat dilakukan terhadap korporasi sendiri, atau mereka yang secara
faktual memberikan perintah untuk melakukan tindak pidana yang dimaksud,
termasuk mereka yang secara faktual memimpin pelaksanaan tindak pidana
dimaksud, atau korporasi atau mereka yang dimaksud di atas bersama-sama
secara tanggung renteng.52
Keraguan pada masa lalu untuk menempatkan korporasi sebagai
subjek hukum pidana yang dapat melakukan tindak pidana dan sekaligus
dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana sudah bergeser. Doktrin
yang mewarnai W.V.S. Belanda 1886, yakni “universitas delinquere non
51
Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi , (Jakarta: Kencana
Prenada Media, 2010), hlm. 120 sebagaimana dikutip oleh Muladi dan Dwidja Priyatno dari
D.Schaffmeister, Het Daderschap van de Rechtspersoon , Bahan Penataran Nasional Hukum Pidana
Angkatan I, tanggal 6-28 Agustus 1987, (Semarang: FH-UNDIP, 1987), hlm. 51.
52
Perhatikan Jan Remmelink, Hukum Pidana, Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dari
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda Dan Padanannya Dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Indonesia , (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 102.
Universitas Sumatera Utara
27
potest” atau “societas delinquere non potest” (badan hukum tidak dapat
melakukan tindak pidana), sudah mengalami perubahan sehubungan dengan
diterimanya konsep pelaku fungsional (functioneel daderschap).53
Menurut Rolling, badan hukum dapat diperlakukan sebagai pelaku
tindak pidana, bilamana perbuatan terlarang yang pertanggungjawabannya
dibebankan kepada badan hukum atau korporasi, dilakukan dalam rangka
tugas dan pencapaian tujuan-tujuan badan hukum tersebut. Menurutnya,
kriteria ini didasarkan pada delik fungsional. Sehubungan dengan hal tersebut,
yang dimaksud dengan delik fungsional adalah delik-delik yang berasal dari
ruang lingkup atau suasana sosial ekonomi dimana dicantumkan syarat-syarat
bagaimana aktivitas sosial atau ekonomi tertentu harus dilaksanakan dan
terarah atau ditujukan pada kelompok-kelompok fungsionaris tertentu. 54
Contoh delik-delik fungsional adalah :
a. Delik-delik pelanggaran atas syarat-syarat yang terkait dengan pemberian
izin/lisensi yang merupakan perbuatan yang dilarang.
b. Ketentuan-ketentuan tidak dipenuhinya kewajiban lapor atau registrasi
dinyatakan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.
c. Ketentuan-ketentuan yang berlaku terhadap fungsionaris/pejabat tertentu
dibebankan kewajiban ”memaafkan” suatu hal atau untuk bekerja sama.
Sanksi yang dijatuhkan dalam delik fungsional bersifat reparatoir , dengan
tujuan utama adalah mengembalikan ke dalam keadaan semula atau
perbaikan dari keadaan yang “onrechtmatig” (melawan hukum).55
53
Muladi, Fungsionalisasi Hukum Pidana Di Dalam Kejahatan Yang Dilakukan Oleh
Korporasi, makalah pada Seminar Nasional Kejahatan Korporasi, (Semarang: FH-UNDIP, 23-24
November 1989), hlm. 5.
54
Andi Hamzah, Delik-Delik Tertentu, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 260.
55
Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi , op.cit., hlm. 221.
Universitas Sumatera Utara
28
Membicarakan korporasi sebagai pelaku tindak pidana, Mardjono
Reksodiputro menyatakan bahwa cara berpikir dalam Hukum Perdata dapat
diambil alih ke dalam Hukum Pidana. Menurutnya, pada mulanya dalam
Hukum Perdata juga terjadi perbedaan pendapat apakah suatu badan hukum
dapat melakukan perbuatan yang melawan hukum (onrechtmatigedaad).
Namun melalui asas kepatutan dan keadilan sebagai dasar utama, maka Ilmu
Hukum Perdata menerima suatu badan hukum dapat dianggap bersalah yang
merupakan perbuatan yang melawan hukum, lebih-lebih dalam lalu lintas
perekonomian.
Ajaran ini mendasarkan pada pemikiran bahwa apa yang dilakukan
oleh pengurus harus dapat dipertanggungjawabkan kepada badan hukum,
karena pengurus dalam bertindak tidak melakukannya atas hak atau
kewenangannya sendiri, tetapi melainkan atas hak atau kewenangan badan
hukum yang bersangkutan. Dengan demikian, badan hukum tidak dapat
melepaskan diri dari kesalahan (kesengajaan atau kealpaan) yang dilakukan
oleh pengurusnya. Cara berfikir dalam Hukum Perdata ini dapat diambil alih
ke dalam Hukum Pidana.56
56
Mardjono Reksodiputro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan, Kumpulan
Karangan Buku Kesatu , (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengadilan Hukum UI, 1994), hlm.
108.
Universitas Sumatera Utara
29
Menurut Sutan Remi Sjahdeni, tidak menutup kemungkinan
terdapatnya 4 (empat) sistem pembebanan pertanggungjawaban pidana
korporasi yang dapat diberlakukan, antara lain:57
1. Pengurus korporasi sebagai pelaku tindak pidana dan karenanya
penguruslah yang bertanggungjawab,
2. Korporasi sebagai pelaku tindak pidana dan pengurus yang
bertanggungjawab,
3. Korporasi sebagai pelaku tindak pidana dan korporasi yang
bertanggungjawab,
4. Pengurus dan korporasi sebagai pelaku tindak pidana dan keduanya
pula yang harus bertanggungjawab.
Pada kesempatan ini, penulis akan membahas tiga dari lima doktrin
ataupun
ajaran
yang
dikenal
sebagai
falsafah
pembenaran
dalam
pertanggungjawaban korporasi, yaitu sebagai berikut :
(1). Doctrine Strict Liability
Menurut doktrin atau ajaran strict liability, pertanggungjawaban
pidana dapat dibebankan kepada pelaku tindak pidana yang bersangkutan
dengan tidak perlu dibuktikan adanya kesalahan (kesengajaan atau kelalaian)
pada pelakunya.58
57
Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan
Korporasi, (Jakarta: PT. Sofmedia, 2010), hlm. 55, sebagaimana dikutip dari Sutan Remi Sjahdeni,
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi , (Jakarta: Grafiti Pers, 2007), hlm. 59.
58
Ibid., hlm. 58.
Universitas Sumatera Utara
30
Strict liability, sering diartikan secara singkat liability without fault
yakni pertanggungjawaban tanpa kesalahan atau dikatakan sebagai “the
nature of strict liability offences is that they are crimes which do not require
any mens rea with regard to at least one element of their actus reus ”.59 Pada
dasarnya pertanggungjawaban mutlak merupakan suatu bentuk kejahatan
yang di dalamnya tidak mensyaratkan adanya unsur kesalahan, tetapi hanya
disyaratkan adanya suatu perbuatan.60
Asas strict liability, dalam konteks pertanggungjawaban pidana
korporasi merupakan solusi atas penempatan korporasi sebagai subjek hukum
pidana. Menurut ajaran strict liability, pertanggungjawaban pidana dapat
dibebankan kepada pelaku tindak pidana dengan tidak perlu dibuktikan
adanya kesalahan (schuld ) dari pelaku.61
(2). Doctrine Vicarious Liability
Doktrin vicarious liability ini, diartikan sebagai pertanggungjawaban
hukum seseorang atas perbuatan dan kesalahan yang dilakukan oleh orang lain
(The legal responsibility of one person for wrongful acts of another ). Secara
singkat vicarious liability sering diartikan sebagai pert
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah-masalah hukum pers di Indonesia belum mendapat perhatian yang
serius dari para ilmuwan hukum, oleh karena itu almarhum Oemar Seno Adji1 yang
banyak memberi perhatian pada hukum pers merasa perlu menghimbau agar para
sarjana hukum meluangkan waktunya memperhatikan hukum pers, baik yang
menyangkut masalah perusahaan pers (code of enterprise) maupun yang menyangkut
soal-soal tanggung jawab atas isi media massa tersebut (code of publication). 2
Himbauan tersebut semakin relevan (relevant) keberadaannya mencermati dinamika
dan perkembangan perusahaan-perusahaan pers, seiring kemajuan industri penyiaran
saat ini.
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah melahirkan
masyarakat informasi yang semakin besar tuntutannya akan hak untuk mengetahui
dan hak untuk mendapatkan informasi. Informasi kini telah menjadi kebutuhan pokok
1
Oemar Seno Adji, kelahiran Surakarta, Jawa Tengah, 5 Desember 1915, mengabdi di bidang
hukum hingga akhir hayatnya. Memulai karir sebagai pegawai Departemen Kehakiman (1942-1950)
kemudian menjadi Jaksa Agung Muda (1950-1959). Setelah itu mengabdi sebagai dosen dan Guru
Besar Fakultas Hukum UI sejak 1959, dan menjabat Dekan Fakultas Hukum UI (1966-1968). Dari
dunia akademis, dia dipercaya menjabat sebagai Menteri Kehakiman RI (1966-1974) dan Ketua
Mahkamah Agung RI (1974-1982). Berbagai karya, keputusan dan pandangannya tentang hukum
dijadikan referensi, yurisprudensi, dan panutan oleh para insan hukum, baik para penegak hukum
maupun cendekiawan dan mahasiswa.
2
Bambang Sadono, Penyelesaian Delik Pers Secara Politis , (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
1993), hlm. 14.
Universitas Sumatera Utara
2
(primer ) masyarakat dan telah menjadi komoditas penting dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Lembaga penyiaran sebagai salah satu media penyalur informasi dan
pembentuk pendapat umum mempunyai peran penting dalam kehidupan sosial,
budaya, politik, dan ekonomi, memiliki kebebasan dan tanggung jawab dalam
menjalankan fungsinya sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, serta kontrol
dan perekat sosial.3 Mengingat peran yang sangat strategis tersebut penyiaran sebagai
salah satu aspek penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, harus mampu
memberikan kontribusi besar menumbuhkan dan memberdayakan masyarakat,
mencerdaskan kehidupan bangsa, sekaligus menjadi kontrol sosial positif dalam
kerangka negara demokrasi.
Kehadiran banyaknya perusahaan-perusahaan pers yang meliputi media cetak
maupun media elektronik 4 tidak hanya memberikan dampak positif sebagaimana
fungsi dan peran pers yang mulia, yaitu sebagai lembaga kontrol sosial, menegakkan
nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi
manusia, yang kemudian menempatkan pers sebagai pilar keempat demokrasi (the
3
Perhatikan bagian menimbang huruf (d), Undang-Undang No.32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran.
4
Perhatikan Pasal 1 butir 2 Undang-Undang No.40 Tahun 1999 Tentang Pers. “Perusahaan
pers ada1ah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media
cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus
menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi”.
Universitas Sumatera Utara
3
fourth estate of democracy)5, tetapi juga memberikan dampak negatif yang berkaitan
dengan persoalan-persoalan hukum.
Pemberitaan media akan lemahnya kebijakan yang dilakukan pemerintah
dalam menjalankan tugas dan fungsinya mengelola negara dalam aspek politik, sosial,
ekonomi, budaya, pertahanan dan keamanan, di satu sisi adalah bentuk evaluasi dan
kontrol sosial perusahaan pers untuk mengawal kinerja pemerintah agar tetap
bertujuan pada kepentingan masyarakat dalam bingkai demokrasi. Namun di sisi lain,
pemberitaan tersebut yang berulang kali dan dilakukan oleh berbagai media massa
dalam suatu rentang periode akan berdampak pada instabilitas keamanan negara.
Clifford Geertz mengatakan bahwa di negara-negara kebangsaan (nation
states) biasanya dihadapkan pada dilema antara integrasi dan demokrasi. Dikatakan
dilema karena negara kebangsaan membutuhkan keduanya (demokrasi dan integrasi)
sekaligus, padahal watak keduanya bertentangan. Demokrasi berwatak membuka
keran kebebasan agar semua aspirasi tersalur, sedangkan integrasi berwatak ingin
membelenggu kebebasan agar persatuan dan kesatuan kokoh. 6 Kebebasan yang
dimaksud disini termasuk juga di dalamnya adalah kebebasan menyalurkan aspirasi
melalui media.
5
Berdasarkan fungsi dan peranan pers seperti yang diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 6 UndangUndang No.40 Tahun 1999 Tentang Pers, lembaga pers kemudian sering disebut sebagai pilar keempat
demokrasi setelah lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
6
Moh. Mahfud MD, Pancasila dan UUD 1945 Sebagai Pengikat Integrasi Bangsa , makalah
disampaikan pada diskusi panel yang diselenggarakan oleh Depkominfo dalam rangka Peringatan Hari
Kebangkitan Nasional 2007, di Pangkalpinang, Bangka Belitung, 24 Mei 2007 sebagaimana dikutip
oleh Moh. Mahfud MD dari Clifford Geertz, The Integrative Revolution, Primordial Sentiments And
Civil Politics In The New State .
Universitas Sumatera Utara
4
Sejarah mencatat beberapa peristiwa menjadi penyebab instabilitas keamanan
negara dan disintegrasi suatu bangsa karena faktor pemberitaan. Hal ini dapat dilihat
dari pemberitaan media akan gerakan revolusi damai Mohandas Karamchand Gandhi
(Mahatma Gandhi) di India, gerakan anti apartheid yang dipelopori Nelson Rolihlahla
Mandela (Nelson Mandela) di Afrika Selatan, dan aksi menentang junta militer untuk
membangun demokrasi yang dilakukan Aung San Suu Kyi di Myanmar.7 Pada contoh
pemberitaan-pemberitaan tersebut, media awalnya melakukan pemberitaan hanya
sebagai bentuk kontrol sosial positif mengawasi dan mengawal kinerja pemerintah,
namun kemudian pemberitaan tersebut justru menimbulkan ekses (excess) negatif
yaitu instabilitas keamanan dan disintegrasi bangsa yang mengakibatkan kehancuran
pemerintahan negara bersangkutan.
Peristiwa-peristiwa di Indonesia meski tidak berdampak sebesar peristiwa
dunia, namun setidaknya ada tiga peristiwa yang menjadi perhatian serius media dan
berpotensi menimbulkan instabilitas keamanan negara seperti pemberitaan peristiwa
mengenai buruknya kinerja aparat penegak hukum (kepolisian, jaksa, hakim, lembaga
pemasyarakatan). 8 Pemberitaan tentang 18 kebohongan pemerintah (9 kebohongan
7
Media dalam gerakan perjuangan tiga tokoh tersebut sejatinya menempatkan diri sebagai
pengawas dan pengawal kinerja pemerintah sebagai bentuk kontrol sosial demokratis, namun media
juga menjadi “tools” (alat) perubahan. Pemberitaan yang dilakukan media mendorong dunia
internasional untuk memberikan dukungan politik terhadap tokoh pergerakan, memberikan tekanan
politik terhadap negara yang bersangkutan, dan pengawasan politik terhadap proses perubahan yang
dilakukan.
8
Pemberitaan rekening gendut perwira POLRI, pertikaian antara sesama penegak hukum
KPK versus Polisi atau cicak versus buaya, kasus suap dan korupsi Jaksa yang disinyalir melibatkan
mafia hukum, jual beli fasilitas kamar terpidana Ayin, serta bebasnya terpidana Gayus untuk keluar
masuk Lembaga Pemasyarakatan. (Pemberitaan Metro TV dan MNC Group Periode 2010 - 2011).
Universitas Sumatera Utara
5
lama dan 9 kebohongan baru) yang diungkapkan oleh sejumlah tokoh lintas agama.9
Pemberitaan seperti contoh di atas dapat menjadi faktor kriminogen, berpotensi
menimbulkan permasalahan hukum baru atau bahkan mendorong gerakan masif
massa menuntut turunnya rezim penguasa. Pemberitaan yang tidak dikelola dengan
baik berpotensi menjadi ancaman serius terhadap keamanan nasional negara. Padahal
keamanan nasional (national security) suatu negara adalah syarat mutlak agar
pemerintah dapat menjalankan tugas dan fungsinya secara optimal.
Landasan berpikir tersebut dapat dipahami menjadi landasan pemerintah
mengeluarkan produk politik hukum yang secara khusus mengatur kegiatan
pemberitaan atau penyampaian informasi kepada masyarakat melalui perusahaan
pers. 10 Perlu diingat dalam pengaturan penyampaian informasi tersebut, harus
diseimbangkan antara kepentingan pemerintah dengan kepentingan hak masyarakat
untuk memperoleh informasi.
Suatu masyarakat yang merdeka lahir atas dasar kebebasan untuk memilih
serta kebebasan untuk menyatakan pendapat. Kita dapat mengenali suatu
9
Pemberitaan Metro TV dan MNC Group Periode Januari - Maret 2011. Pada rentang masa
pemberitaan ini, kerusuhan terjadi di hampir seluruh daerah di Indonesia. Masyarakat mengalami krisis
kepercayaan terhadap pemerintah dan issue yang berkembang adalah ingin menjatuhkan presiden dan
wakilnya dari kekuasaan karena dinilai tidak mampu mengelola pemerintahan dan negara dengan baik.
Issue ini berkembang seiring kerusuhan yang timbul akibat pemberitaan menjadi komoditi pemberitaan
baru dan diperbandingkan dengan kondisi tahun 1998 ketika Presiden Soeharto juga dinilai tidak
mampu mengelola pemerintahan dan negara.
10
Pemberitaan atau penyampaian informasi kepada masyarakat melalui perusahaan pers yang
ada di Indonesia, diatur dalam Undang-Undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers dan Undang-Undang
No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
Universitas Sumatera Utara
6
pemerintahan tirani, bukan hanya dari dilarangnya kebebasan memilih, tetapi juga
dari dilarangnya pers yang bebas.11
Pemberitaan sebenarnya adalah hak dasar dan hak konstitusi dari setiap warga
negara, terlebih lagi informasi kini telah menjadi kebutuhan pokok (primer )
masyarakat yang telah menjadi komoditas penting dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Dikatakan sebagai hak dasar dan hak konstitusi, karena hak
atas informasi dijamin dalam Konstitusi yaitu pada Pasal 28F Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 28F menyatakan : “Setiap orang
berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan
pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala
jenis saluran yang tersedia”.
Hak untuk mengetahui informasi (right to know) juga merupakan hak dasar,
karena merupakan hak fundamental yang menjadi perhatian utama para perumus
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Majelis umum Perserikatan
Bangsa Bangsa (PBB) pada tahun 1946 menilai bahwa hak ini penting untuk
perjuangan hak-hak lainnya. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka hak atas
informasi sebagai bagian dari kebebasan berpendapat kemudian dimasukkan ke
dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia sebagai salah satu dari 30 (tiga puluh)
11
F. Rachmadi, Perbandingan Sistem Pers. Analisis Deskriptif Sistem Pers di Berbagai
Negara , (Jakarta: PT. Gramedia, 1990), hlm. 49.
Universitas Sumatera Utara
7
hak yang diakui eksistensinya secara universal12. Pasal 19 DUHAM, menyatakan :
“Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat, dalam
hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa mendapat gangguan, dan untuk
mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat dengan
cara apapun dan dengan tidak memandang batas-batas”.
Nilai yang terkandung di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
mengikat Negara Kesatuan Republik Indonesia dan berlaku sebagai hukum nasional
(supreme law of the land ). Pemerintah Indonesia selanjutnya berkewajiban
menjalankan ketentuan-ketentuan tersebut. Kewajiban yang diembannya terdiri dari
tiga bentuk, yaitu menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi
(to fulfil). Kewajiban menghormati (obligation to respect) adalah kewajiban negara
untuk menahan diri untuk tidak melakukan intervensi, kecuali atas dasar hukum yang
sah (legitimate).
Hak atas informasi yang telah diatur dalam Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia, kembali dipertegas dalam Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia. Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) menyatakan : “Ayat (1) Setiap orang
berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. Ayat (2) Setiap orang berhak
untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan
informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia”.
12
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, diterima dan diumumkan oleh Majelis Umum
Perserikatan Bangsa Bangsa pada tanggal 10 Desember 1948 melalui resolusi 217 A (III).
Universitas Sumatera Utara
8
Hak atas informasi memang tidak termasuk dalam kategori hak yang tidak
dapat dikurangi dalam keadaan apapun (nonderogable rights) sehingga dalam
pelaksanaannya, hak atas informasi dapat dibatasi sebagaimana dinyatakan dalam
Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 194513,
Pasal 29 ayat (2) dan ayat (3) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM)14,
dan Pasal 70 Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.15
Penting untuk dicatat bahwa pembatasan hak atas informasi tidak bisa
diberlakukan secara semena-mena. Instrumen-instrumen hukum tersebut menyatakan
pembatasan hanya diperbolehkan apabila diatur menurut hukum dan dibutuhkan
untuk melindungi hak serta kebebasan orang lain atas pertimbangan moral, nilai-nilai
agama, kesusilaan, keamanan, kesejahteraan dan ketertiban umum.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan UndangUndang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa
Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. “Dalam
menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan
dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan
atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis”.
14
Pasal 29 ayat (2) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, “Dalam menjalankan hak-hak
dan kebebasan-kebebasannya, setiap orang harus tunduk hanya pada pembatasan-pembatasan yang
ditetapkan oleh undang-undang yang tujuannya semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan yang tepat terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi
syarat-syarat yang adil dalam hal kesusilaan, ketertiban dan kesejahteraan umum dalam suatu
masyarakat yang demokratis”. Ayat (3), “Hak-hak dan kebebasan-kebebasan ini dengan jalan
bagaimana pun sekali-kali tidak boleh dilaksanakan bertentangan dengan tujuan dan prinsip-prinsip
Perserikatan Bangsa-Bangsa”.
15
Pasal 70 Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, “Dalam
menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan
Undang-Undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral,
keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.
13
Universitas Sumatera Utara
9
pembatasan hanya dapat dilakukan semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang
adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban
umum dalam suatu masyarakat demokratis16. Pasal 74 Undang-Undang No.39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan : “Tidak satu ketentuanpun dalam
Undang-Undang ini boleh diartikan bahwa pemerintah, partai, golongan atau pihak
manapun dibenarkan mengurangi, merusak, atau menghapuskan hak asasi manusia
atau kebebasan dasar yang diatur dalam Undang-Undang ini”.
Prinsip-prinsip Siracusa (Siracusa
Principles)
17
menyebutkan bahwa
pembatasan hak tidak boleh membahayakan esensi hak. Semua klausul pembatasan
harus ditafsirkan secara tegas dan ditujukan untuk mendukung hak-hak. Prinsip ini
menegaskan bahwa pembatasan hak tidak boleh diberlakukan secara sewenangwenang, pembatasan Hak Asasi Manusia termasuk hak atas informasi yang dilakukan
oleh negara harus tetap menjamin bahkan memperkuat perlindungan HAM.
Subekti dalam buku berjudul “Dasar-Dasar Hukum dan Pengadilan”
mengatakan bahwa hukum itu mengabdi pada tujuan Negara yang dalam pokoknya
ialah: mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan pada rakyatnya. Hukum menurut
Subekti, melayani tujuan Negara tersebut dengan menyelenggarakan “keadilan” dan
16
Perhatikan Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Perhatikan juga Pasal 70 Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
17
Siracusa Principles adalah prinsip-prinsip mengenai ketentuan pembatasan dan
pengurangan hak yang diatur dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik. Lihat The
Siracusa Principles on The Limitation and Derogation Provisions In The International Covenant on
Civil and Political Rights. Lihat pula General Comment No. 10 International Covenant on Civil and
Political Rights.
Universitas Sumatera Utara
10
“ketertiban”, syarat-syarat yang pokok untuk mendatangkan kemakmuran dan
kebahagiaan.18
Keadilan itu kiranya dapat digambarkan sebagai suatu keadaan keseimbangan
yang membawa ketentraman di dalam hati orang, dan jika diusik atau dilanggar akan
menimbulkan kegelisahan dan kegoncangan. Dengan demikian maka dapat kita lihat
bahwa hukum tidak saja harus mencarikan keseimbangan antara pelbagai kepentingan
yang bertentangan satu sama lain untuk mendapatkan “keadilan”, tetapi hukum juga
harus mendapatkan keseimbangan lagi antara tuntutan keadilan tersebut dengan
tuntutan “ketertiban” atau “kepastian hukum”.19
Mengingat begitu pentingnya informasi bagi kehidupan masyarakat dan
melihat pembatasan resmi yang secara sah diperbolehkan dalam berbagai instrumen
hukum diatas, maka sudah seharusnya media penyiaran dapat bekerja secara
independen. Media penyiaran harus menyampaikan informasi tanpa adanya tekanan
dari pihak manapun, termasuk tekanan dari pemerintah atau negara (state
intervention) yang melampaui batasan aturan-aturan hukum.
Semangat jiwa masyarakat (volkgeist) untuk mendapatkan kebebasan
informasi ternyata terbentur dengan peraturan yang dibuat oleh pemerintah Indonesia
yaitu Undang-Undang. No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Produk politik hukum
tersebut terlihat lebih mengutamakan kepentingan pemerintah dan kelompok pemilik
18
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia , (Jakarta: Balai Pustaka,
1986), hlm. 39.
19
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
11
modal untuk membatasi penyebaran informasi, dan oleh karenanya mengancam
kepentingan publik (public interest) akan kebebasan memperoleh informasi.
Pembatasan penyebaran informasi terjadi karena pasal-pasal di dalam
Undang-Undang Penyiaran secara terstruktur dan sistematis berusaha menghilangkan
hak mencari dan mendapatkan informasi, khususnya informasi yang berasal dari
lembaga penyiaran asing. Pembatasan informasi asing tersebut dilakukan pemerintah
sebagai upaya menjaga integrasi nasional, menjaga nilai moral, tata susila, budaya
dan kepribadian masyarakat Indonesia20.
Pemerintah dalam mencapai tujuan tersebut melakukan pembatasan informasi
asing secara menyeluruh tanpa menelaah dengan cermat mata acara ataupun konten
siaran asing yang dibatasi, padahal tidak semua informasi yang berasal dari lembaga
penyiaran asing itu buruk, sebagai contoh siaran dari National Geography, Discovery
Channel, dan ESPN. Informasi yang disampaikan oleh ketiga lembaga penyiaran
asing tersebut jauh dari kategori informasi yang dapat mengancam integrasi nasional,
moral, tata susila, budaya dan kepribadian masyarakat Indonesia, sehingga patut
untuk dikaji kembali kebijakan yang diberlakukan pemerintah dalam membatasi
informasi asing.
Pengumpulan data dan fakta berita untuk menyampaikan informasi secara
lengkap dan berimbang akan suatu peristiwa mancanegara seringkali diperoleh
lembaga penyiaran Indonesia dari lembaga penyiaran asing. Hal ini dapat dibuktikan
20
Perhatikan bagian menimbang huruf (c) dan huruf (e), Undang-Undang No. 32 Tahun 2002
tentang Penyiaran.
Universitas Sumatera Utara
12
dari pemberitaan media Indonesia yang mengambil potongan audio video dengan
membubuhkan keterangan pengambilan dari media lain (courtesy).
Pengambilan potongan audio video dari media asing sebagai fakta
pemberitaan memang tidak dilarang dalam Undang-Undang Penyiaran, justru
sebaliknya jika hal ini dibatasi akan dapat mengancam keberadaan media penyiaran
yang bersangkutan karena dianggap telah menyiarkan pemberitaan bersifat fitnah,
menghasut, menyesatkan dan/atau bohong. Lembaga penyiaran tersebut dapat
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) untuk penyiaran radio dan dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) untuk penyiaran televisi.21
Pembatasan penyebaran informasi dari lembaga penyiaran asing dapat dilihat
dari upaya sistematis pasal-pasal yang ada di dalam UU. No.32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran. Pasal 36 ayat (2) menyatakan : “Isi siaran dari jasa penyiaran televisi,
yang diselenggarakan oleh Lembaga Penyiaran Swasta dan Lembaga Penyiaran
Publik, wajib memuat sekurang-kurangnya 60% (enam puluh per seratus) mata acara
yang berasal dari dalam negeri”.
Hal tersebut memberi kesan bahwa pemerintah masih memberi kebebasan
informasi asing sebesar 40% (empat puluh per seratus) untuk disiarkan lembaga
penyiaran Indonesia. Angka tersebut sebenarnya akan semakin diperkecil dengan
21
Perhatikan Pasal 36 ayat (5) dan Pasal 57 Undang-Undang No.32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran.
Universitas Sumatera Utara
13
adanya ketentuan Pasal 46 ayat (7), ayat (8), dan ayat (9) yang menyatakan lembaga
penyiaran wajib menyediakan waktu untuk siaran iklan layanan masyarakat paling
sedikit 10% (sepuluh per seratus) dari besaran siaran iklan niaga yang paling banyak
20% (dua puluh per seratus) untuk Lembaga Penyiaran Swasta, dan wajib
menyediakan paling sedikit 30% (tiga puluh per seratus) iklan layanan masyarakat
dari besaran siaran iklan niaga yang paling banyak 15% (lima belas per seratus) untuk
Lembaga Penyiaran Publik.22
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, maka konten siaran asing yang
boleh disiarkan oleh lembaga penyiaran Indonesia secara total sebenarnya hanya
sebesar 20% - 25% saja, kemudian hanya 30% (tiga puluh per seratus) dari total
keseluruhan siaran asing tersebut yang boleh disulih suarakan ke bahasa Indonesia.23
Padahal sulih suara sangat penting untuk memudahkan penyampaian informasi
kepada masyarakat yang tidak semuanya paham akan bahasa asing.
Pembatasan
ini
membuat
Indonesia
berada
dalam
era
kegelapan,
keterbelakangan dan kemunduran informasi, terlebih lagi dalam lingkup globalisasi24
saat ini. Masyarakat Indonesia sebagai bagian dari komunitas masyarakat dunia, tidak
bisa hanya mengetahui perkembangan dari dalam negeri, namun juga harus
22
Perhatikan Pasal 46 ayat (7), ayat (8), ayat (9) Undang-Undang No.32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran.
Perhatikan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. “Sulih
suara bahasa asing ke dalam Bahasa Indonesia dibatasi paling banyak 30% (tiga puluh per seratus) dari
jumlah mata acara berbahasa asing yang disiarkan”.
24
Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Kencana
Prenada Media, 2010), hlm. 61. “Globalisasi di segala bidang berjalan ekstra cepat sehingga tidak
mungkin satu negara mengisolasi diri secara politik, sosial budaya, ekonomi, dan hukum dalam
keterikatan antar negara”.
23
Universitas Sumatera Utara
14
mengetahui perkembangan dari mancanegara. Pers dan lembaga penyiaran Indonesia
seharusnya juga dapat berperan lebih besar dan aktif menyampaikan informasi
perkembangan di Indonesia secara lengkap kepada masyarakat dunia.
Lembaga penyiaran
25
sebagai salah satu perusahaan pers
26
dalam
melaksanakan tugas jurnalistik tentunya tidak hanya berpedoman pada ketentuan
yang ada di dalam Undang-Undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers, namun juga
harus berpedoman pada Undang-Undang No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
Undang-Undang yang seharusnya menjadi pedoman kerja bagi setiap lembaga
penyiaran dan insan pers tersebut, ternyata justru membatasi ruang gerak dan
independensi media penyiaran dalam menyampaikan informasi berita apa adanya
tanpa ada penambahan ataupun pengurangan fakta berita.
Terbatasnya ruang gerak dan independensi media penyiaran mengakibatkan
perusahaan pers, khususnya media penyiaran Indonesia “terpaksa” melakukan tindak
pidana, karena tidak dapat memberikan informasi yang aktual, faktual, dan akurat
terkait peristiwa dunia. Padahal tanpa ketiga hal tersebut, niscaya media penyiaran
hanya menjadi perusahaan pers atau korporasi27 pembentuk pendapat umum (public
25
Perhatikan Pasal 1 ayat (9) Undang-Undang No.32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran. ”Lembaga penyiaran adalah penyelenggara penyiaran, baik lembaga penyiaran publik,
lembaga penyiaran swasta, lembaga penyiaran komunitas maupun lembaga penyiaran berlangganan
yang dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan tanggung jawabnya berpedoman pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku”.
26
Perhatikan Pasal 1 butir 2 Undang-Undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers. “Perusahaan
pers ada1ah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media
cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus
menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi”.
27
H. Setiyono, Kejahatan Korporasi: Analisis Viktimologis Dan Pertanggungjawaban
Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia , (Malang: Bayumedia Publishing, 2004), hlm. 2.
“Korporasi merupakan istilah yang biasa digunakan oleh para ahli hukum pidana dan kriminologi
Universitas Sumatera Utara
15
opinion) yang menyesatkan masyarakat. Bahkan bukan tidak mungkin, media
penyiaran hanya menjadi corong pemerintah sekaligus alat propaganda politik
sejumlah elit tertentu.28
Menurut teori pers liberal, pers harus memiliki kebebasan yang seluas-luasnya
untuk membantu manusia mencari kebenaran. Untuk mencari kebenaran, manusia
memerlukan kebebasan mencari informasi. Dalam kehidupan masyarakat liberal
seperti di Eropa dan Amerika Utara, kebebasan pers merupakan pilar utama
sebagaimana teori demokrasi liberal klasik menyatakan bahwa media massa
merupakan ruang publik (public sphere) disamping juga berfungsi sebagai anjing
penjaga (watchdog) bagi pemerintah sebagaimana dipaparkan Sukosd dalam Media
and Public Policy.29
Undang-Undang No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang dibuat dengan
harapan dapat menjadi landasan dan tolak ukur pembentukan sistem penyiaran
nasional yang menjamin terciptanya tatanan informasi nasional yang adil, merata, dan
seimbang guna mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia30, justru
terkesan menjadi produk politik hukum yang tidak berkeadilan. Produk politik hukum
untuk menyebut apa yang dalam bidang hukum lain, khususnya bidang hukum perdata sebagai badan
hukum, atau dalam bahasa Belanda disebut rechtspersoon atau dalam bahasa Inggris dengan istilah
legal person atau legal body”.
28
Media penyiaran menjadi alat propaganda politik terlihat sangat jelas pada saat menjelang
masa Pemilu dan Pemilukada. Bakal calon dan partai politik yang berkepentingan akan menggunakan
media sebagai alat propaganda menggiring opini publik, melakukan pencitraan positif maupun
pencitraan negatif ke satu calon atau ke satu partai politik tertentu.
29
Muzakki, Pers Sebagai Pilar Demokrasi, makalah disampaikan pada Pertemuan VI
Sekolah Demokrasi, di Kota Batu, 23 Mei 2009 atas kerjasama PlaCIDs Averroes dengan Komunitas
Indonesia untuk Demokrasi (KID) Jakarta.
30
Perhatikan bagian menimbang huruf (c) Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran.
Universitas Sumatera Utara
16
ini terkesan sengaja diciptakan sebagai alat legitimasi atau pembenar tindakantindakan pemerintah untuk membatasi ruang gerak pers dan kebebasan informasi
masyarakat. Hukum telah menjadi alat pemenuhan kepentingan penguasa, hal ini
terlihat pada arah peraturan yang cenderung melindungi dan menguntungkan
pemerintah dihampir semua aktifitas penyiaran.
Undang-Undang No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran apabila diperhatikan
secara mendalam, sebenarnya berada dalam bidang hukum administrasi yang cakupan
ruang lingkupnya sangat luas. Bidang hukum administrasi dikatakan sangat luas
karena hukum administrasi (administrative law) merupakan: “Seperangkat hukum
yang diciptakan oleh lembaga administrasi dalam bentuk undang-undang, peraturanperaturan, perintah, dan keputusan-keputusan untuk melaksanakan kekuasaan dan
tugas-tugas pengaturan/mengatur dari lembaga yang bersangkutan.” (Body of law
created by administrative agencies in the form of rules, regulations, orders, and
decisions to carry out regulatory powers and duties of such agencies ).31
Bertolak dari pengertian di atas, maka hukum pidana administrasi dapat
dikatakan sebagai hukum pidana di bidang pelanggaran-pelanggaran hukum
administrasi. Oleh karena itu, kejahatan/tindak pidana administrasi (administrative
31
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana , (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2003), hlm. 13 sebagaimana dikutip oleh Barda Nawawi dari Henry Campbell Black, Black’s Law
Dictionary, 1990, hlm. 46.
Universitas Sumatera Utara
17
crime) dinyatakan sebagai “An offence consisting of a violation of an administrative
rule or regulation and carrying with it a criminal sanction ”.32
Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas, maka masalah kebijakan
kriminal menarik untuk diteliti dan dituangkan dalam bentuk tesis yang berjudul :
“Kebijakan Kriminal Terhadap Tindak Pidana Korporasi Media Penyiaran”.
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas maka dapat dirumuskan
beberapa pokok permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah kebijakan kriminal terhadap tindak pidana korporasi media
penyiaran?
2. Bagaimanakah kebijakan kriminal masa mendatang terkait dengan tindak pidana
korporasi media penyiaran?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan judul dan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini
mempunyai tujuan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui kebijakan kriminal yang ada saat ini terhadap tindak pidana
korporasi media penyiaran serta menganalisa kelayakan kebijakan tersebut untuk
tetap diberlakukan.
32
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana , (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2003), hlm. 14.
Universitas Sumatera Utara
18
2. Untuk mencari suatu kemungkinan kebijakan kriminal yang baru dan ideal untuk
diterapkan dalam perundang-undangan penyiaran di masa mendatang.
D. Manfaat Penelitian
1. Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi sebagai bahan
dokumentasi studi Kebijakan Kriminal (Criminal Policy), serta dapat dijadikan bahan
referensi ilmiah / sumbangan pemikiran yang berguna dalam perkembangan ilmu
hukum, khususnya hukum yang mengatur tentang korporasi media penyiaran.
Penelitian ini diharapkan mampu memperkaya khazanah keilmuan bidang hukum dan
membuka wawasan pengetahuan masyarakat tentang hukum positif yang berlaku (ius
constitutum) dengan hukum yang seharusnya berlaku (ius constituendum).
2. Secara Praktis
Penelitian ini akan sangat berguna bagi penulis secara pribadi, para
mahasiswa dan masyarakat pemerhati dunia penyiaran Indonesia, khususnya untuk
memperluas wawasan tentang Kebijakan Kriminal Terhadap Tindak Pidana
Korporasi Media Penyiaran. Penelitian ini akan sangat berguna bagi para pihak di
dunia penyiaran Indonesia, terutama lembaga penyiaran yang telah dibatasi ruang
gerak dan independensinya dalam melaksanakan tugas jurnalisme, dan masyarakat
yang telah dikekang hak untuk mengetahui informasi (right to know).
Universitas Sumatera Utara
19
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi yang ada dan dari penelusuran yang dilakukan di
Kepustakaan Universitas Sumatera Utara dan Kepustakaan Pasca Sarjana, maka
penelitian dengan judul ”Kebijakan Kriminal Terhadap Tindak Pidana Korporasi
Media Penyiaran”, belum pernah ada yang melakukannya.
Meskipun ada beberapa penelitian tentang penyiaran, namun dalam tesis ini
yang dibicarakan adalah mengenai desain kebijakan kriminal sebagai bentuk
penindakan dan pencegahan terhadap tindak pidana korporasi media penyiaran,
sehingga permasalahan yang diteliti tidaklah sama. Dengan demikian penelitian ini
dapat dijamin keasliannya dari substansi maupun dari permasalahan, sehingga dapat
dipertanggung jawabkan kebenarannya secara ilmiah.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Negara dalam mencapai tujuannya yaitu negara yang makmur serta adil dan
sejahtera memerlukan suasana yang kondusif dalam segala aspek termasuk aspek
hukum. Mengakomodasi kebutuhan tersebut, negara Indonesia telah menentukan
kebijakan sosial (social policy) yang berupa kebijakan untuk mewujudkan
kesejahteraan sosial (social welfare policy) dan kebijakan memberikan perlindungan
sosial (social defence policy).33
33
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan
Kejahatan , (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 73.
Universitas Sumatera Utara
20
Kebijakan untuk memberikan perlindungan sosial (social defence policy)
salah satunya adalah dengan melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan
tindak pidana yang aktual maupun potensial terjadi. Segala upaya untuk mencegah
dan menanggulangi tindak pidana ini termasuk dalam wilayah kebijakan kriminal
(criminal policy).34 Teori utama yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah :
a. Teori Kebijakan Kriminal (Criminal Policy)
Istilah ”kebijakan” berasal dari bahasa Inggris ”policy” atau bahasa
Belanda ”politiek”. Istilah ini dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan
dengan kata ”politik”, oleh karena itu kebijakan hukum pidana biasa disebut
juga politik hukum pidana.35
Menurut
G.Peter.Hoefnagels, criminal
policy
is
the
rational
organization of the social reactions to crime. 36 Hal ini berarti bahwa
kebijakan kriminal adalah usaha yang rasional dari masyarakat untuk
menanggulangi kejahatan.
Politik kriminal sebagai usaha untuk penanggulangan kejahatan, dapat
diejawantahkan dalam pelbagai bentuk. Bentuk yang pertama adalah bersifat
represif menggunakan sarana penal, yang sering disebut sebagai sistem
peradilan pidana (criminal justice system), secara luas sebenarnya mencakup
pula proses kriminalisasi. Bentuk kedua berupa usaha-usaha tanpa
34
Ibid.
Mahmud Mulyadi, Criminal Policy: Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal
Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan , (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008), hlm. 65.
36
G.Peter.Hoefnagels, The Other Side of Criminology, (Holland: Kluwer Deventer, 1972),
hlm. 57.
35
Universitas Sumatera Utara
21
menggunakan sarana penal (prevention without punishment) dan yang ketiga
adalah mendayagunakan usaha-usaha pembentukan opini masyarakat tentang
kejahatan dan sosialisasi hukum melalui mass media secara luas.37
Melalui pendekatan kebijakan yang integral (mengharmonisasikan
kebijakan penal dan non penal), diharapkan “social defence planning” benarbenar dapat berhasil kearah penekanan atau pengurangan faktor-faktor
potensial untuk tumbuh suburnya kejahatan. Upaya ini hakekatnya adalah
untuk memberikan perlindungan masyarakat (social defence planning atau
protection of society) untuk mencapai kesejahteraan antara kepentingan
pribadi dan kepentingan masyarakat, sehingga keduanya harus berjalan
beriringan.38
Sarana penal tidak lain adalah menggunakan hukum pidana sebagai
sarana utamanya; baik hukum pidana materil, hukum pidana formal maupun
pelaksanaan pidana yang dilaksanakan melalui Sistem Peradilan Pidana untuk
mencapai tujuan tertentu. Tujuan tersebut dalam jangka pendek adalah
resosialisasi (memasyarakatkan kembali) pelaku tindak pidana, jangka
menengah adalah untuk mencegah kejahatan, dan dalam jangka panjang yang
merupakan tujuan akhir adalah untuk mencapai kesejahteraan sosial.39
37
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana , (Bandung: PT. Alumni,
2007), hlm. 9.
38
M. Hamdan, Politik Hukum Pidana , (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 24.
39
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
22
Marc Ancel berpendapat, kebijakan hukum pidana (penal policy)
merupakan suatu ilmu sekaligus seni yang mempunyai tujuan praktis untuk
memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan
untuk memberikan pedoman pada pembuat undang-undang, pengadilan yang
menerapkan undang-undang, dan kepada para pelaksana putusan pengadilan.
Kebijakan hukum pidana (penal policy) tersebut merupakan salah satu
komponen dari modern criminal science di samping kriminologi dan criminal
law.40
Hukum pidana di sini berfungsi ganda yaitu primer sebagai sarana
penanggulangan kejahatan yang rasional (sebagai bagian politik kriminal) dan
yang sekunder ialah sebagai sarana pengaturan kontrol sosial secara spontan
dibuat oleh negara dan alat kelengkapannya. 41 Dua masalah sentral dalam
kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) ialah
masalah penentuan42:
1. perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan
2. sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.
Masalah menentukan perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak
pidana merupakan suatu kebijakan dalam menetapkan suatu perbuatan yang
semula bukan tindak pidana (tidak dipidana) menjadi suatu tindak pidana
40
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana: Kajian Kebijakan
Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, (Jakarta: Penerbit Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 18.
41
M. Hamdan, Politik Hukum Pidana , op.cit., hlm. 49.
42
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana , (Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2008), hlm. 32.
Universitas Sumatera Utara
23
(perbuatan
yang dapat
dipidana). Jadi,
pada
hakikatnya
kebijakan
kriminalisasi merupakan bagian dari kebijakan kriminal (criminal policy)
dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal) dan oleh karena itu
termasuk bagian dari kebijakan hukum pidana (penal policy).43
Salah satu masalah sentral dalam politik kriminal, sanksi hukum
pidana seharusnya dilakukan melalui pendekatan yang rasional, karena jika
tidak akan menimbulkan “the crisis of overcriminalization” (krisis kelebihan
kriminalisasi) dan “the crisis of overreach of the criminal law” (krisis
pelampauan batas dari hukum pidana). Pentingnya pendekatan rasional telah
banyak dikemukakan oleh para ahli hukum pidana dan kriminologi, antara
lain: G.P.Hoefnagels, Karl O.Christiansen, J.Andenaes, Mc.Grath W.T dan
W.Clifford.44
Menurut
Barda
Nawawi
Arief,
sekiranya
dalam
kebijakan
penanggulangan kejahatan atau politik kriminal digunakan upaya/sarana
hukum pidana (penal), maka kebijakan hukum pidana harus diarahkan pada
tujuan dari kebijakan sosial (social policy) yang terdiri dari kebijakan/upayaupaya untuk kesejahteraan sosial (social welfare policy) dan kebijakan/upayaupaya untuk perlindungan masyarakat (social defence policy).45 Tujuan akhir
43
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana , (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2003), hlm. 240.
44
M.Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana. Ide Dasar Double Track System &
Implementasinya , (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 6.
45
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan
Kejahatan , (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 73-74.
Universitas Sumatera Utara
24
atau tujuan utama dari politik kriminal ialah perlindungan masyarakat untuk
mencapai kesejahteraan.
Pendekatan non-penal menurut Hoefnagels adalah pendekatan
pencegahan kejahatan tanpa menggunakan sarana pemidanaan, yaitu antara
lain perencanaan kesehatan mental masyarakat, kesehatan mental masyarakat
secara nasional, social worker and child welfare (kesejahteraan anak dan
pekerja sosial), serta penggunaan hukum civil dan hukum administrasi.46
Kebijakan penanggulangan kejahatan melalui jalur “non penal” lebih
bersifat tindakan pencegahan sebelum terjadinya kejahatan. Sasaran utamanya
adalah menangani faktor-faktor potensial penyebab terjadinya kejahatan yang
berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara
langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan kejahatan. Dilihat dari
kebijakan penanggulangan kejahatan, maka usaha-usaha non penal ini
mempunyai kedudukan yang strategis dan memegang peranan kunci yang
harus diintensifkan dan diefektifkan.47
Pada dasarnya kebijakan penal policy lebih menekankan pada tindakan
represif setelah terjadinya tindak pidana, sedangkan non penal policy
menekankan kepada tindakan preventif sebelum terjadinya tindak pidana.
46
Mahmud Mulyadi, Criminal Policy: Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal
Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan , (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008), hlm. 58.
47
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana , (Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2008), hlm. 33.
Universitas Sumatera Utara
25
b. Teori Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Tindak pidana (crime) dapat diidentifikasi dengan timbulnya kerugian
(harm), yang kemudian mengakibatkan lahirnya pertanggungjawaban pidana
atau criminal liability. 48 Pertanggungjawaban pidana, dalam istilah asing
disebut juga Teorekenbaardheid atau criminal responsibility, yang menjurus
kepada pemidanaan pelaku dengan maksud untuk menentukan apakah
seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindak
pidana yang terjadi atau tidak.49
Pertanggungjawaban pidana itu sendiri adalah diteruskannya celaan
yang objektif yang ada pada tindak pidana. Untuk dapat dipidananya si pelaku,
disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu haruslah memenuhi
unsur-unsur yang telah ditentukan undang-undang.50
Korporasi sebagai pelaku tindak pidana dalam hukum positif sudah
diakui, bahwa korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana dan
dapat dijatuhkan pidana. Di negara Belanda untuk menentukan korporasi
sebagai pelaku tindak pidana berdasarkan pada Arrest “Kleuterschool
Babbel”, yang menyatakan bahwa perbuatan dari perorangan/orang pribadi
48
Hyman Gross, A Theory of Criminal Justice , (New York: Oxford University Press, 1979),
hlm. 114.
49
Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan
Korporasi, (Jakarta: PT. Sofmedia, 2010), hlm. 34.
50
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
26
dapat dibebankan pada badan hukum/korporasi apabila perbuatan tersebut
tercermin dalam lalu lintas sosial sebagai perbuatan dari badan hukum.51
Belanda sebagai tempat asal KUHP Indonesia, pada tanggal 23 Juni
1976 telah meresmikan korporasi sebagai subjek hukum pidana dan ketentuan
ini dimasukkan ke dalam pasal 51 KUHP Belanda, yang isinya menyatakan
antara lain: Tindak pidana dapat dilakukan baik oleh perorangan maupun
korporasi. Jika dilakukan oleh korporasi, penuntutan pidana dapat dijalankan
dan sanksi pidana maupun tindakan yang disediakan dalam perundangundangan sepanjang berkenaan dengan korporasi dapat dijatuhkan. Pengenaan
sanksi dapat dilakukan terhadap korporasi sendiri, atau mereka yang secara
faktual memberikan perintah untuk melakukan tindak pidana yang dimaksud,
termasuk mereka yang secara faktual memimpin pelaksanaan tindak pidana
dimaksud, atau korporasi atau mereka yang dimaksud di atas bersama-sama
secara tanggung renteng.52
Keraguan pada masa lalu untuk menempatkan korporasi sebagai
subjek hukum pidana yang dapat melakukan tindak pidana dan sekaligus
dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana sudah bergeser. Doktrin
yang mewarnai W.V.S. Belanda 1886, yakni “universitas delinquere non
51
Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi , (Jakarta: Kencana
Prenada Media, 2010), hlm. 120 sebagaimana dikutip oleh Muladi dan Dwidja Priyatno dari
D.Schaffmeister, Het Daderschap van de Rechtspersoon , Bahan Penataran Nasional Hukum Pidana
Angkatan I, tanggal 6-28 Agustus 1987, (Semarang: FH-UNDIP, 1987), hlm. 51.
52
Perhatikan Jan Remmelink, Hukum Pidana, Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dari
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda Dan Padanannya Dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Indonesia , (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 102.
Universitas Sumatera Utara
27
potest” atau “societas delinquere non potest” (badan hukum tidak dapat
melakukan tindak pidana), sudah mengalami perubahan sehubungan dengan
diterimanya konsep pelaku fungsional (functioneel daderschap).53
Menurut Rolling, badan hukum dapat diperlakukan sebagai pelaku
tindak pidana, bilamana perbuatan terlarang yang pertanggungjawabannya
dibebankan kepada badan hukum atau korporasi, dilakukan dalam rangka
tugas dan pencapaian tujuan-tujuan badan hukum tersebut. Menurutnya,
kriteria ini didasarkan pada delik fungsional. Sehubungan dengan hal tersebut,
yang dimaksud dengan delik fungsional adalah delik-delik yang berasal dari
ruang lingkup atau suasana sosial ekonomi dimana dicantumkan syarat-syarat
bagaimana aktivitas sosial atau ekonomi tertentu harus dilaksanakan dan
terarah atau ditujukan pada kelompok-kelompok fungsionaris tertentu. 54
Contoh delik-delik fungsional adalah :
a. Delik-delik pelanggaran atas syarat-syarat yang terkait dengan pemberian
izin/lisensi yang merupakan perbuatan yang dilarang.
b. Ketentuan-ketentuan tidak dipenuhinya kewajiban lapor atau registrasi
dinyatakan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.
c. Ketentuan-ketentuan yang berlaku terhadap fungsionaris/pejabat tertentu
dibebankan kewajiban ”memaafkan” suatu hal atau untuk bekerja sama.
Sanksi yang dijatuhkan dalam delik fungsional bersifat reparatoir , dengan
tujuan utama adalah mengembalikan ke dalam keadaan semula atau
perbaikan dari keadaan yang “onrechtmatig” (melawan hukum).55
53
Muladi, Fungsionalisasi Hukum Pidana Di Dalam Kejahatan Yang Dilakukan Oleh
Korporasi, makalah pada Seminar Nasional Kejahatan Korporasi, (Semarang: FH-UNDIP, 23-24
November 1989), hlm. 5.
54
Andi Hamzah, Delik-Delik Tertentu, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 260.
55
Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi , op.cit., hlm. 221.
Universitas Sumatera Utara
28
Membicarakan korporasi sebagai pelaku tindak pidana, Mardjono
Reksodiputro menyatakan bahwa cara berpikir dalam Hukum Perdata dapat
diambil alih ke dalam Hukum Pidana. Menurutnya, pada mulanya dalam
Hukum Perdata juga terjadi perbedaan pendapat apakah suatu badan hukum
dapat melakukan perbuatan yang melawan hukum (onrechtmatigedaad).
Namun melalui asas kepatutan dan keadilan sebagai dasar utama, maka Ilmu
Hukum Perdata menerima suatu badan hukum dapat dianggap bersalah yang
merupakan perbuatan yang melawan hukum, lebih-lebih dalam lalu lintas
perekonomian.
Ajaran ini mendasarkan pada pemikiran bahwa apa yang dilakukan
oleh pengurus harus dapat dipertanggungjawabkan kepada badan hukum,
karena pengurus dalam bertindak tidak melakukannya atas hak atau
kewenangannya sendiri, tetapi melainkan atas hak atau kewenangan badan
hukum yang bersangkutan. Dengan demikian, badan hukum tidak dapat
melepaskan diri dari kesalahan (kesengajaan atau kealpaan) yang dilakukan
oleh pengurusnya. Cara berfikir dalam Hukum Perdata ini dapat diambil alih
ke dalam Hukum Pidana.56
56
Mardjono Reksodiputro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan, Kumpulan
Karangan Buku Kesatu , (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengadilan Hukum UI, 1994), hlm.
108.
Universitas Sumatera Utara
29
Menurut Sutan Remi Sjahdeni, tidak menutup kemungkinan
terdapatnya 4 (empat) sistem pembebanan pertanggungjawaban pidana
korporasi yang dapat diberlakukan, antara lain:57
1. Pengurus korporasi sebagai pelaku tindak pidana dan karenanya
penguruslah yang bertanggungjawab,
2. Korporasi sebagai pelaku tindak pidana dan pengurus yang
bertanggungjawab,
3. Korporasi sebagai pelaku tindak pidana dan korporasi yang
bertanggungjawab,
4. Pengurus dan korporasi sebagai pelaku tindak pidana dan keduanya
pula yang harus bertanggungjawab.
Pada kesempatan ini, penulis akan membahas tiga dari lima doktrin
ataupun
ajaran
yang
dikenal
sebagai
falsafah
pembenaran
dalam
pertanggungjawaban korporasi, yaitu sebagai berikut :
(1). Doctrine Strict Liability
Menurut doktrin atau ajaran strict liability, pertanggungjawaban
pidana dapat dibebankan kepada pelaku tindak pidana yang bersangkutan
dengan tidak perlu dibuktikan adanya kesalahan (kesengajaan atau kelalaian)
pada pelakunya.58
57
Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan
Korporasi, (Jakarta: PT. Sofmedia, 2010), hlm. 55, sebagaimana dikutip dari Sutan Remi Sjahdeni,
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi , (Jakarta: Grafiti Pers, 2007), hlm. 59.
58
Ibid., hlm. 58.
Universitas Sumatera Utara
30
Strict liability, sering diartikan secara singkat liability without fault
yakni pertanggungjawaban tanpa kesalahan atau dikatakan sebagai “the
nature of strict liability offences is that they are crimes which do not require
any mens rea with regard to at least one element of their actus reus ”.59 Pada
dasarnya pertanggungjawaban mutlak merupakan suatu bentuk kejahatan
yang di dalamnya tidak mensyaratkan adanya unsur kesalahan, tetapi hanya
disyaratkan adanya suatu perbuatan.60
Asas strict liability, dalam konteks pertanggungjawaban pidana
korporasi merupakan solusi atas penempatan korporasi sebagai subjek hukum
pidana. Menurut ajaran strict liability, pertanggungjawaban pidana dapat
dibebankan kepada pelaku tindak pidana dengan tidak perlu dibuktikan
adanya kesalahan (schuld ) dari pelaku.61
(2). Doctrine Vicarious Liability
Doktrin vicarious liability ini, diartikan sebagai pertanggungjawaban
hukum seseorang atas perbuatan dan kesalahan yang dilakukan oleh orang lain
(The legal responsibility of one person for wrongful acts of another ). Secara
singkat vicarious liability sering diartikan sebagai pert