Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Tindakan Pencegahan Blepharoptosis Akibat Pemakaian Lensa Kontak pada Mahasiswa FK USU

5

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perilaku
Perilaku merupakan suatu respon seseorang yang dikarenakan adanya
suatu stimulus/ rangsangan dari luar. Berdasarkan teori Bloom, perilaku dibagi
menjadi

tiga

yaitu

pengetahuan

(knowledge),

sikap

(attitude),


dan

praktik/tindakan (Notoatmodjo, 2012).
2.1.1 Pengetahuan (knowledge)


Definisi Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu yang terjadi setelah seseorang

melakukan pengindraan terhadap objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui
pancaindra yang meliputi indra penglihatan, indra pendengaran, indra
penciuman, indra perasa, dan indra peraba. Pengetahuan merupakan domain
yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (Notoatmodjo,
2007).


Tingkat pengetahuan
Kognitif atau pengetahuan merupakan domain yang sangat penting

dalam membentuk tindakan seseorang. Menurut Notoatmodjo (2007) secara

garis besarnya tingkat pengetahuan dapat dibagi menjadi enam tingkatan,
yakni:
1.

Tahu (Know), diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah
dipelajari sebelumnya. Termasuk didalamnya adalah mengingat
kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang
dipelajari atau rangsangan yang diterima.

2.

Memahami (Comprehension), dapat diartikan sebagai suatu bentuk
kemampuan dalam menjelaskan secara benar tentang objek yang
diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara tepat
dan benar. Individu yang telah paham terhadap objek atau materi
tersebut harus mampu menjelaskan, memberikan contoh, dan
menyimpulkan objek yang dipelajarinya.

Universitas Sumatera Utara


6

3.

Aplikasi

(Application),

diartikan

sebagai

kemampuan

untuk

menggunakan materi yang telah dipelajari pada suatu kondisi riil
(sebenarnya). Aplikasi di sini dapat diartikan dengan penggunaan
hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks
atau situasi lain.

4.

Analisis (Analysis), adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi
atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam
satu struktur organisasi tersebut, dan masih terkait satu sama lain.
Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata-kata kerja,
dimana

dapat

menggambarkan

(membuat

bagan

atau

tabel),


membedakan, memisahkan, mengklasifikasikan, dan berbagai hal
lainya.
5.

Sintesis (Synthesis), menunjukkan suatu bentuk kemampuan dalam
meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk
keseluruhan yang baru. Dengan kata lain, sintesis dapat diartikan
sebagai suatu bentuk kemampuan untuk menyusun formula baru dari
formula-formula yang telah ada sebelumya.

6.

Evaluasi (Evaluation), berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan
penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian tersebut
berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan
kriteria-kriteria yang telah ada sebelumnya.



Cara Pengukuran Pengetahuan

Menurut

Notoatmodjo

(2007),

pengukuran

pengetahuan

dapat

dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi
yang diukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan
yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkattingkat tersebut diatas.

Universitas Sumatera Utara

7


a.

Alat ukur : Kuesioner dengan kriteria jawaban sebagai berikut :
Tiap-tiap pernyataan responden yang menyatakan pernyataan positif, maka
diberi nilai untuk jawaban :
1. Nilai 1 untuk jawaban yang benar
2. Nilai 0 untuk jawaban yang salah

b.

Cara ukur : Wawancara tertulis dengan menggunakan sepuluh pertanyaan
dengan kriteria jawaban.

c.

Hasil ukur :
Kalau mengajukan sepuluh pertanyaan terhadap responden maka nilai
yang akan didapat adalah :
1. Pengetahuan baik, jika jumlah nilai 6-10 pertanyaan
2. Dikatakan tidak baik, jika jumlah nilai 0-5 pertanyaan




Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan menurut Notoatmodjo

(2007), yaitu :
1) Tingkat pendidikan
Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka seseorang tersebut
akan lebih mudah dalam menerima hal-hal baru sehingga akan lebih
mudah pula menyelesaikan hal-hal baru tersebut.
2) Informasi
Seseorang yang mempunyai sumber informasi yang lebih baik banyak
akan memberikan pengetahuan yang jelas.
3) Budaya
Budaya sangat berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan seseorang.
Hal ini dikarenakan informasi-informasi baru akan disaring, kira-kira
sesuai tidaknya dengan kebudayaan yang ada dan agama yang dianut.
4) Pengalaman
Pengalaman disini berkaitan dengan umur dan pendidikan individu

yang artinya pendidikan yang tinggi, pengalaman yang luas sedang umur
bertambah tua.

Universitas Sumatera Utara

8

5) Status Ekonomi
Tingkatan seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidup disesuaikan
dengan penghasilan yang ada sehingga menuntut pengetahuan yang
dimiliki harus dipergunakan semaksimal mungkin, begitupun dalam
mencari bantuan ke sarana kesehatan yang ada, mereka sesuaikan dengan
pendapatan keluarga.
2.1.2

Sikap (attitude)
Reaksi yang masih tertutup dari seseorang terhadap stimulus disebut

sikap. Sikap belum merupakan suatu tindakan nyata, tetapi masih berupa
persepsi dan kesiapan seseorang untuk bereaksi terhadap stimulus yang ada di

sekitarnya. Sikap dapat diukur secara langsung dan tidak langsung. Pengukuran
sikap merupakan pendapat yang diungkapkan oleh responden terhadap objek
(Notoatmodjo, 2007).
Secara garis besar sikap terdiri dari komponen kognitif (ide yang
dipelajari), komponen perilaku (berpengaruh terhadap respon sesuai atau tidak
sesuai), dan komponen emosi (menimbulkan respon-respon yang konsisten)
(Wawan & Dewi, 2011). Berikut akan disajikan skema terbentuknya sikap dan
reaksi.

Skema 2.1 Proses terbentuknya sikap dan reaksi

Universitas Sumatera Utara

9

Tingkatan sikap menurut Notoatmodjo (2003) adalah sebagai berikut:
a. Menerima (receiving)
Menerima dapat diartikan bahwa orang (subjek) mau mempertahankan
stimulus yang diberikan (objek).
b. Merespon (responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan
tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu
usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan,
terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah, adalah berarti orang menerima
ide tersebut.
c. Menghargai (valueing)
Indikasi sikap ketiga adalah mengajak orang lain untuk mengerjakan atau
mendiskusikan suatu masalah.
d. Bertanggung jawab (responsible)
Sikap yang paling tinggi adalah bertanggungjawab atas segala sesuatu yang
telah dipilihnya dengan segala resiko.
Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung atau tidak
langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau
pernyataan responden terhadap suatu objek. Sedangkan secara tidak langsung
dapat dilakukan dengan pertanyaan-pertanyaan hipotesis, kemudian ditanyakan
pendapat responden. Dan biasanya jawaban berada dalam rentang antara sangat
setuju sampai sangat tidak setuju.
2.1.3

Praktik atau Tindakan
Notoatmodjo (2003) menyatakan bahwa suatu sikap belum otomatis

terwujud dalam suatu tindakan (over behaviour). Untuk mewujudkan sikap
menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi
yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas. Di samping faktor fasilitas,
juga diperlukan faktor pendukung (support) dari pihak lain. Tindakan ini
mempunyai beberapa tingkatan, yaitu :

Universitas Sumatera Utara

10

a) Persepsi (perception), yaitu mengenal dan memilih berbagai objek
sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktek
tingkat pertama.
b) Respon terpimpin (guided response), yaitu indikator praktek tingkat dua
adalah dapat melakukan sesuatu sesuai dengan contoh.
c) Mekanisme (mechanism), yaitu apabila seseorang telah dapat melakukan
sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan
kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktek tingkat tiga.
d) Adopsi (adoption), adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah
berkembang dengan baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasinya tanpa
mengurangi kebenaran tindakan tersebut.
2.1.4 Proses Adaptasi Perilaku
Dari pengalaman dan penelitian, terbukti bahwa perilaku yang didasari
oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari
oleh pengetahuan. Penelitian Rogers (1974) yang dikutip oleh Notoatmodjo
(2007:121) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru
(berperilaku baru), di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan,
yakni:
1) Awareness (kesadaran)
Subjek tersebut menyadari dalam arti mengetahui stimulus (objek) terlebih
dahulu.
2) Interest (tertarik)
Dimana subjek mulai tertarik terhadap stimulus yang sudah diketahui dan
dipahami terlebih dahulu.
3) Evaluation (evaluasi)
Menimbang-nimbang baik atau tidaknya stimulus yang sudah dilakukan
serta pengaruh terhadap dirinya.
4) Trial (percobaan)
Dimana subjek mulai mencoba untuk melakukan perilaku baru yang sudah
diketahui dan dipahami terlebih dahulu.

Universitas Sumatera Utara

11

5) Adoption
Dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran
dan sikapnya terhadap stimulus.
2.2

Anatomi Kelopak Mata
Kelopak mata terdiri dari tiga otot utama yang dipersarafi oleh tiga

saraf yang berbeda. Otot levator palpebrae superioris merupakan otot utama
yang berperan dalam membukanya kelopak mata dan dalam mempertahankan
postur normal kelopak mata. Dua otot tambahan lainnya adalah otot muller
yang dipersarafi oleh sistem saraf simpatetik dan otot frontalis.Sementara itu,
penutupan kelopak mata dilakukan oleh kontraksi otot orbikularis okuli yang
diinervasi oleh saraf fasialis.
Fisura palpebrae, pembukaan antara kelopak mata atas dan kelopak
mata bawah, merupakan jalan masuk menuju kantong konjungtiva yang
dibatasi oleh batas-batas kelopak mata (gambar 2.1). Ketika kelopak mata
membuka, fisura palpebrae berbentuk elips asimetris dengan panjang 22-30
mm dan tinggi 12-15 mm. Sulkus palpebrae superior atau yang biasa disebut
lipatan kelopak mata atas berada 3-4 mm diatas batas atas kelopak mata dan
merupakan lipatan mata yang paling jelas terlihat. Lipatan ini merupakan
tempat melekatnya otot orbikularis okuli terhadap tarsus serta merupakan
tempat levator aponeurosis berlekatan dengan kulit pretarsal.
Kelopak mata mempunyai struktur lempeng tarsal seperti kartilago.
Struktur tersebut memberi bentuk pada kelopak mata dan berfungsi dalam
memproteksi mata. Lempeng tarsus terbagi atas dua, yaitu lempeng tarsus
superior dan lempeng tarsus inferior. Lempeng tarsus superior berukuran 29
mm dari medial ke lateral dan dengan tinggi 10 mm. Sementara itu, lempeng
tarsus inferior mempunyai tinggi 3,5-5 mm dan ukuran medial ke lateral yang
sama seperti ukuran lempeng tarsus superior. Lempeng tarsus mengandung
kelenjar sebaseus yang disebut kelenjar meibomian.
Septum orbita merupakan lapisan mesodermal yang membentang dari
batas tulang orbita sampai lempeng tarsus superior. Septum tersebut berlekatan

Universitas Sumatera Utara

12

dengan levator aponeurosis sekitar 3-4 mm diatas batas atas tarsus. Septum
orbita berfungsi sebagai tempat perlekatan aponeurosis ke kulit (Skarf, 2008).

Gambar 2.1 Anatomi superfisial mata dan kelopak mata

Gambar 2.2 Anatomi kelopak mata dilihat dari sisi
l t l

Selain itu, kelopak mata juga mempunyai sebaris bulu mata yang
sensitif terhadap sentuhan dan partikel yang dekat dengan mata dengan
menstimulasi refleks berkedip. Kelopak mata juga mengandung kelenjarkelenjar yang berfungsi untuk mempertahankan tear layer.
Secara embriologi, otot levator palpebrae superioris berasal dari
annulus of Zinn. Otot levator palpebrae superioris merupakan otot lurik yang

Universitas Sumatera Utara

13

dipersarafi oleh divisi superior dari saraf okulomotor (saraf cranialis III). Otot
ini mempunyai panjang 40 mm. Otot tersebut membentang dari bagian atas
orbital dan berjalan turun dimulai dari lesser wing tulang sphenoid menuju sisi
anterior. Namun, pada batas ligamen Whitnall (juga disebut ligamentum
transversum superioris), otot tersebut turun ke sisi posterior dari ligamen
Whitnall terlebih dahulu sebagai tendon. Berikutnya barulah tendon tersebut
berjalan menurun ke sisi anterior ligament Whitnall

sebagai tendineus

aponeurosis. Aponeurosis yang memiliki panjang 14-20 mm ini

bersatu

dengan septum orbita dan melekat ke tarsus superior. Aponeurosis ini juga
melekat ke kulit dan membentuk lipatan pada kelopak mata atas. Ligamentum
Whitnall mengubah arah tarikan dari otot levator palpebrae dari horizontal ke
arah vertikal. Perlekatan levator pada ligamentum Whitnall merupakan
komponen penting tenaga penutupan kelopak mata secara pasif (Skarf, 2008).
Sementara itu, otot muller yang memiliki panjang 12 mm berjalan dari
bagian bawah levator superioris hingga memasuki bagian superior dari tarsal
border. Otot muller mengangkat kelopak mata sekitar 2 mm (Skarf, 2008).

Gambar 2.3 Anatomi otot levator palpebre superioris dan aponeurosisnya. A, Sisi
anterior berhubungan dengan aponeurosis levator (D) terhadap tarsus superior (*)
dan terhadap Ligamen Whitnall (B). A, kelenjar lakrimal; C, pembungkus tendon
obliqus superioris; E, sisi lateral dari aponeurosis levator; F, sisi medial dari
aponeurosis levator; G, tendon kantus lateralis; H, tendon kantus medial; I, sakus
lakrimalis; J, retraktor kelopak mata bawah; K, otot obliqus inferioris.

Universitas Sumatera Utara

14

2.3 Lensa Kontak
2.3.1 Definisi Lensa Kontak
Lensa kontak merupakan lensa plastik tipis yang dipakai menempel
pada kornea mata. Lensa kontak memiliki fungsi yang sama dengan kacamata,
yaitu mengoreksi kelainan refraksi, kelainan akomodasi, terapi dan kosmetik.
(nusantara, 2008)
2.3.2

Indikasi Penggunaan Lensa Kontak



Indikasi Optik
Penggunaan

Lensa

Kontak

atas

indikasi

optik

antara

lain:

anisometropia, afakia unilateral, myopia berat, keratokonus, dan astigmatisma
ireguler.
Keuntungan penggunaan lensa kontak dibandingkan dengan kacamata
adalah dapat mengoreksi astigmatisma ireguler yang tidak dapat dikoreksi oleh
kacamata baca, lensa kontak tetap mempertahankan lapangan pandang,
menghindari terjadinya abrasi perifer pada penggunaan kacamata, hujan dan
kabut tidak mengganggu penglihatan seperti pada penggunaan kacamata biasa;
secara kosmetik penggunaan lensa kontak lebih dapat diterima oleh pasien,
terutama pasien wanita, daripada menggunakan kacamata baca yang tebal pada
gangguan refraksi tinggi.
• Indikasi Terapeutik
Indikasi Terapeutik pada penggunaan lensa kontak antara lain;
a. Penyakit kornea; seperti ulkus kornea tanpa penyembuhan, keratopati
bulosa, keratitis, sindrom erosi kornea rekuren.
b. Penyakit pada iris; seperti aniridia, koloboma, dan albinisme.
c. Pada glaukoma, sebagai perantara masuknya obat glaukoma.
d. Pada ambliopia, lensa kontak digunakan mencegah oklusi.
e. Lensa kontak lunak dapat digunakan pada keratoplasti dan perforasi
mikrokornea.

Universitas Sumatera Utara

15

• Indikasi Preventif
Indikasi preventif penggunaan lensa kontak antara lain: mencegah
simbleparon dan restorasi forniks pada luka bakar kimiawi, keratitis, dan
trikiasis
• Indikasi Diagnostik
Indikasi diagnostik penggunaan lensa kontak antara lain; gonioskopi,
elektroretinografi, pemeriksaan fundus pada astigmatisma regular, fundus
photoghrapy, Goldmann’s 3 mirror examination
• Indikasi Operatif
Lensa kontak dapat digunakan pada operasi goniotomi pada glaucoma
kongenital, vitektomi, dan fotokoagulasi endokuler.
• Indikasi Kosmetik
Indikasi kosmetik penggunaan lensa kontak antara lain; pada skar
kornea yang mengganggu penglihatan, ptosis, dan kosmetik lensa sclera pada
ptosis bulbi.
• Indikasi Okupasi
Indikasi okupasi penggunaan lensa kontak antara lain; pada atlet, pilot
dan aktor.
2.3.3 Kontraindikasi Pemakaian Lensa Kontak
Kontraindikasi penggunaan lensa kontak antara lain
a. Kontraindikasi Absolut
Kurangnya motivasi, keadaan peradangan seperti : blepharitis,
konjungtivitis akut, dan keratitis.
b. Kontraindikasi Relatif
Penderita dengan gangguan kekebalan tubuh, penyakit mata yang
mempengaruhi kornea, konjungtiva (seperti pinguecula, pterygium),
dan yang mempengaruhi kelopak mata (seperti : kelemahan epitel,
kegagalan endotel, dry eye, alergi), hypesthesia kornea, glaukoma tak
terkontrol, vitreocorneal touch pada aphakia, intoleransi psikologis
terhadap adanya foreign body di mata.

Universitas Sumatera Utara

16

2.3.4 Jenis-jenis Lensa Kontak


Lensa Kontak Rigid (Rigid Contact Lens)
Lensa Kontak Rigid merupakan lensa kontak yang pertama dibuat.

Lensa ini terbuat dari polymethyl metharylate (PMMA atau Perspex/Plexiglas).
Karena tidak permeabel terhadap oksigen, lensa ini sulit dipakai untuk jangka
panjang serta menyebabkan edema kornea dan rasa tidak enak pada mata.
Namun demikian, lensa kontak rigid merupakan lensa kontak pertama yang
benar-benar berhasil dan diterima secara luas sebagai pengganti kacamata.
Pengembangan selanjutnya antara lain adalah lensa kaku yang permeable
udara, yang terbuat dari asetat butirat selulosa, silicon atau berbagai polimer
plastic hidrogel, semuanya memberikan kenyamanan yang lebih baik, tetapi
risikonya terjadi komplikasi yang lebih besar.
Lensa kontak keras secara spesifik diindikasikan untuk koreksi
astigmatisme regular, iregularitas kornea seperti pada keratokonus. Lensa
kontak rigid lebih bertahan dibanding lensa kontak lunak dikarenakan sifatnya
yang lebih inert secara kimiawi. Namun, karena strukturnya yang keras, lensa
kontak rigid memerlukan waktu beradaptasi pasca pemakaian yang lebih lama
dibandingkan pada lensa kontak lunak (Riordan & Whitcher, 2007).


Lensa Kontak Lunak (Soft Contact Lens)
Lensa kontak lunak tersedia untuk pemakaian jangka panjang dan

pemakaian harian. Jenis lensa kontak lunak hanya membutuhkan waktu
beberapa hari untuk penyesuaian. (nusantara, 2008)
Lensa kontak lunak terbagi beberapa jenis berdasarkan masa pakainya,
yakni: harian, mingguan, 2 mingguan, bulanan dan setahun. Lensa kontak
lunak ini dapat dilalui oleh oksigen dengan kadar yang berbeda tergantung dari
bahan, kadar air, desain serta ketebalannya. Kelebihan dan kekurangan Lensa
kontak lunak :


Masa adaptasi yang singkat biasanya hanya beberapa hari



Lebih kecil kemungkinan akan terlepas pada saat melakukan aktivitas yang
berlebihan



Tersedia berbagai jenis warna serta jangka waktu masa pemakaian

Universitas Sumatera Utara

17



Mudah untuk memperolehnya serta lebih murah dibandingkan dengan RGP



Karena kadar air yang tinggi sehingga lensa kontak lunak lebih mudah kotor



Mudah robek
Lensa

kontak

lunak

diklasifikasikan

lagi

menurut

jadwal

penggunaannya, yaitu sebagai berikut :
1. Daily wear contact lens merupakan lensa kontak yang dipakai hanya satu
hari dan dilepaskan ketika tidur.
2. Extended wear contact lens (atau disebut continuous wear) merupakan lensa
kontak yang didesain untuk penggunaan sepanjang malam, biasanya untuk
penggunaan lebih dari enam malam. Lensa kontak ini dapat digunakan
dalam jangka waktu yang lama tanpa dilepaskan karena permeabilitasnya
yang tinggi terhadap oksigen. Saat mata terbuka, mata mendapat oksigen
dari udara luar, sedangkan ketika tidur, oksigen disuplai dari pembuluh
darah belakang kelopak mata. Extended wear contact lens memungkinkan
transfer oksigen lima hingga enam kali lebih permeabel dibandingkan lensa
kontak lunak konvensional. Hal ini memungkinkan mata tetap sehat
meskipun lensa kontak dipakai semalaman.
• Lensa Kaku Permeabel Gas (Rigid Gas Permeable Lens)
Lensa kontak RGP merupakan hasil pengembangan dari lensa kontak
keras. Lensa kontak RGP bersifat mudah dilalui oksigen sehingga kornea dapat
berfungsi dengan baik. Pada lensa kontak RGP,oksigen bukan hanya didapat
pada saat mata berkedip, tapi juga dari udara bebas yang dapat melalui lensa
untuk mencapai kornea. Hal ini menyebabkan lensa kontak RGP lebih nyaman
dipakai dalam waktu yang lama. Namun, lensa kontak RGP memerlukan masa
penyesuaian 2-4 minggu. Lensa kontak RGP memberikan penglihatan lebih
tajam, mudah dirawat dan dibersihkan, masa pakai lebih lama, mampu
mengoreksi astigmatisme yaitu kelainan refraksi yang disebabkan oleh
ketidakteraturan kelengkungan permukaan kornea. Namun, lensa kontak RGP
tidak senyaman lensa kontak lunak dan memerlukan adaptasi lebih lama.
(nusantara, 2008)

Universitas Sumatera Utara

18

Kelebihan dan kekurangan Rigid Gas Permeable Lens :
1. Tidak mudah robek
2. Diameter lebih kecil antara 8.5 – 10 mm
3. Transmisi oksigen yang lebih tinggi
4. Mudah dirawat dan dibersihkan karena RGP tidak mengandung air
5. Mampu mengoreksi astigmatisme
6. Memberikan penglihatan yang lebih tajam
7. Masa pakai lebih lama, lebih dari 2 tahun
8. Masa adaptasi yang lebih lama, biasanya memerlukan 2 minggu hingga
1 bulan
9. Apabila lebih dari seminggu tidak dipakai maka pada saat pemakaian
kembali memerlukan penyesuaian/adaptasi
10. Harga lebih mahal dibandingkan dengan lensa kontak lunak
• Lensa Lunak Torik (Toric Soft Contact Lens)
Lensa kontak torik adalah lensa kontak yang mempunyai kekuatan
cylinder sehingga bisa digunakan untuk mengoreksi kelainan astigmatisma.
Prinsip dasar untuk semua jenis desain lensa kontak torik adalah untuk
memberikan koreksi yang maksimal bagi semua penderita astigmatisma.
Perbedaan kekuatan antara meredian yang satu dengan meredian yang lainnya
menyebabkan terjadinya perbedaan ketebalan yang harus diperhatikan dalam
menentukan desain torik yang nantinya disesuaikan dengan kondisi
astigmatisma yang dimiliki oleh pasien.
2.3.5

Komplikasi Lensa Kontak
Pemakaian lensa kontak akan aman bila digunakan secara benar.

Komplikasi yang dikarenakan penggunaan lensa kontak yang salah terjadi pada
sekitar 5% dari pengguna lensa kontak tiap tahunnya. Penggunaan lensa kontak
yang tidak benar akan mengiritasi kelopak mata, konjungtiva, dan kornea.
Perawatan lensa kontak yang tidak benar juga akan memicu terjadiya infeksi
dari berbagai mikroorganisme, seperti bakteri, jamur, dll.
Salah satu faktor utama penyebab komplikasi pada lensa kontak adalah
bahwa lensa kontak merupakan barrier terhadap oksigen. Kornea mata yang

Universitas Sumatera Utara

19

tidak memiliki sistem vaskularisasi mendapat suplai oksigen dari paparan
udara ekternal ketika mata terbuka, sedangkan ketika tidur, kornea mendapat
suplai oksigen dari pembuluh darah di belakang kelopak mata. Komplikasi
yang dapat terjadi dikarenakan suplai oksigen yang sedikit dalam jangka waktu
lama pada kornea adalah terjadinya neovaskularisasi kornea, peningkatan
permeabiilitas epitel, perlekatan bakteri, mikrokista, edema kornea, endothelial
polymegathism, dan peningkatan resiko miopia (Groos, 2006).
Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh pemakai lensa kontak :
(nusantara, 2008)
1. Selalu mencuci tangan sebelum menyentuh lensa kontak.
2. Cuci dan disinfeksi lensa kontak setiap kali setelah pemakaian.
3. Tempat lensa kontak dicuci dan dibiarkan kering setiap hari. Seminggu
sekali, tempat lensa kontak didesinfeksi dengan air mendidih.
4. Gantilah tempat lensa kontak secara teratur.
5. Ikutilah petunjuk perawatan lensa kontak yang diberikan oleh dokter
mata Anda.
6. Buanglah cairan yang telah dipakai segera, janganlah digunakan untuk
kedua kalinya.
7. Janganlah menggunakan cairan saline yang dibuat sendiri.
8. Jangan menyimpan lensa kontak dalam cairan yang tidak steril seperti
air keran atau air distilasi.
9. Jangan memakai lensa kontak yang rusak atau sudah lama.
10. Periksakan mata Anda secara teratur (minimal setahun sekali).
11. Periksa dengan dokter mata Anda sebelum menggunakan obat (larutan)
tetes mata, karena ada larutan tetes mata (termasuk yang dijual bebas)
yang dapat berinteraksi dengan lensa kontak.
12. Hentikan pemakaian lensa kontak segera jika mata merah atau tidak
nyaman saat memakai lensa kontak.
Tata cara diatas hendaklah diketahui dan diterapkan oleh pengguna
lensa kontak agar tidak menimbulkan komplikasi. Berikut adalah beberapa
komplikasi yang dapat disebabkan oleh pemakaian dan pemeliharaan lensa

Universitas Sumatera Utara

20

kontak yang salah, yaitu : kelainan pada kornea, mata merah, CLARE
(Contact-Lens Induced Acute Red Eye) ,transmisi HIV pada perawatan lensa
kontak. Bila pada penggunaan lensa kontak terjadi komplikasi seperti yang
telah disebutkan diatas,maka segera untuk melepaskan lensa kontak dari mata
dan melakukan pemeriksaan pada dokter spesialis mata.
2.3.6 Mekanisme Lensa Kontak menyebabkan Blepharoptosis (ptosis)
Terdapat banyak mekanisme yang dapat menyebabkan Contact Lensinduced Ptosis (CLIP). Hal ini dikategorikan menjadi penyebab aponeurogenik
(mempengaruhi beberapa bentuk disfungsi aponeurosis) dan penyebab nonaponeurogenik.
• Penyebab Aponeurogenik pada CLIP
1.

Penekanan pada Kelopak Mata
“Forced Blinking” yang tidak alami ketika pelepasan lensa kontak

rigid memaksa otot levator dan otot orbikularis. Karena pengguna lensa
kontak keras diinstruksikan untuk membuka mata dengan lebar ketika
melakukan kedipan yang kuat, maka baik otot levator dan otot orbikularis
berkontraksi secara bersamaan. Dua aksi otot yang seharusnya bekerja
berlawanan ini (antagosnistic contraction) menyebabkan peningkatan
traksi (penarikan) pada levator aponeurosis. Hal ini memicu terjadinya
disinsersi & penurunan pada levator.
2.

Lateral Eyelid Stretching
Ketika pelepasan lensa kontak keras, pasien sering diinstruksikan

untuk menarik di outer canthus. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan
tegangan pada kelopak mata sehingga tekanan yang lebih besar terbentuk
dan memungkinkan lensa kontak dikedipkan keluar dari mata. Walaupun
kejadian ini dapat menyebabkan disinsersi / dehiscence ligamen kantus
lateralis atau tendon kantus medial, namun tidak akan sampai menyebabkan
terjadinya disinsersi levator aponeurosis, kecuali jika terjadi bersamaan
dengan kontraksi antagonis seperti yang telah dijelaskan diatas.

Universitas Sumatera Utara

21

3.

Berkedip memicu Lens Rubbing
Ketika lensa kontak rigid masih berada di dalam konjungtiva mata,

setiap kedipan mata akan menyebabkan lensa menggores struktur kelopak
mata, walaupun dampak yang diakibatkan tidak seburuk ketika pelepasan
dan pemasangan lensa kontak. Goresan kronik ini ditambah dengan
tindakan pelepasan lensa kontak yang akan menyebabkan penipisan dan
peregangan dari levator aponeurosis maka cara pelepasan lensa kontak,
ukuran, ketebalan, dan posisi lensa kontak mempengaruhi terjadinya CLIP.
4.

Tenaga yang Berlebihan pada Pemasangan dan Pelepasan Lensa
Kontak Lunak
Studi Reddy et all menyatakan bahwa metode pemasangan dan

pelepasan lensa kontak lunak yang berlebihan akan menyebabkan ptosis.
Blepharoptosis terjadi pada pasien yang memberikan tenaga yang
berlebihan pada kelopak mata mereka ketika memasukkan

atau

melepaskan lensa kontak lunak.
• Penyebab Non-Aponeurogenik pada CLIP
1.

Oedema
Iritasi konstan pada kelopak mata akan menyebabkan inflamasi dan

oedema. Oedema akan menyebabkan blepharoptosis karena terjadinya
pembesaran fisik pada kelopak mata. Massa yang bertambah pada kelopak
mata oedema ditambah dengan efek gravitasi akan menurunkan kelopak
mata atas (blepharoptosis).

Universitas Sumatera Utara

22

2.

Papilary Conjungtivitis
Contact Lens-Induced Papilary Conjunctivitis grade 4 (severe) akan

menyebabkan inflamasi berat dan oedema pada kelopak mata yang
menyebabkan pembengkakan pada kelopak mata dan blepharoptosis. Ptosis
jenis ini biasanya terjadi pada pengguna lensa kontak lunak dan biasanya
terjadi secara bilateral.
Manipulasi yang
berlebihan ketika
pemasangan dan
terutama pelepasan
lensa kontak keras

Penggunaan
Lensa
Kontak

Iritasi kronis kelopak
mata karena tepi
lensa kontak dan/atau
permukaan lensa
kontak

Traksi yang rekuren pada aponeurosis
ketika pelepasan lensa kontak keras

Inflamasi
kelopak
mata kronis

Edema kelopak
mata

Tidak ditangani
dan diobati
dengan benar
Penggunaan Lensa Kontak
Lunak yang tidak benar,
serta hygeine yang tidak

Inflamasi akut,
seperti Keratitis

Cara pemasangan dan
pelepasan lensa kontak
lunak yang tidak tepat

Disinsersi aponeurosis
dari otot levator
palpebrae superioris

Blepharoptosis

Skema 2.2 Mekanisme lensa kontak menyebabkan blepharoptosis

Universitas Sumatera Utara

23

2.4 Blepharoptosis
2.4.1 Definisi Blepharoptosis
Blepharoptosis terdiri dari dua kata yaitu blepharal dan ptosis. Ptosis
adalah istilah medis untuk suatu keadaan yang berarti prolaps, depresi
abnormal dari suatu organ atau bagian organ tertentu. Sementara itu, blepharal
menurut Kamus Dorland berarti palpebrae, yang artinya kelopak mata. Jadi,
blepharoptosis juga dapat diartikan sebagai keadaan dimana kelopak mata atas
(palpebra superior) turun di bawah posisi normal saat membuka mata yang
dapat terjadi unilateral atau bilateral. Posisi normal kelopak mata
atas adalah 1,5-2 mm dari tepi limbus atas. (Bosch dan Lemij, 2012)

Gambar 2.4 Pasien dengan blepharoptosis kiri. Garis lipatan kelopak
mata (Lid crease) tidak terlihat pada mata kiri pasien. Defek pada sulkus
superior terlihat pada kedua mata pasien, dan pasien berusaha
mengangkat alis matanya. (Cohen, 2013)
2.4.2

Etiologi Blepharoptosis
Blepharoptosis dibedakan menjadi blepharoptosis kongenital dan

blepharoptosis didapat. Blepharoptosis kongenital kebanyakan disebabkan
oleh disgenesis miogenik otot levator superioris lokal. Blepharoptosis
kongenital juga bisa diakibatkan dari defek kromosom, genetik, atau disfungsi
neurologis, namun jumlah kejadiannya tidak begitu banyak.
Pada blepharoptosis didapat, ptosis diklasifikasikan lagi menurut
pathogenesisnya, yakni : neurogenik, miogenik, mekanikal, dan aponeurogenik
(Watanabe,2006). Penyebab blepharoptosis pada pasien blepharoptosis jenis

Universitas Sumatera Utara

24

miogenik adalah abnormalitas perkembangan eyelid, blepharophimosis,
sindrom orbital fibrosis, double elevator palsy. Sementara pada blepharoptosis
jenis neurogenik, etiologinya adalah third nerve palsy, marcus Gunn jaw
winking, sindrom horner, myasthenia. Etiologi pada blepharoptosis mekanikal
adalah adanya massa orbital atau massa eyelid, pasca operasi segmen anterior,
pasca operasi katarak. Berikutnya, penyebab blepharoptosis aponeurotik
adalah kongenital, pasca-trauma, penggunaan lensa kontak (Cohen, 2013).
Blepharoptosis didapat kebanyakan disebabkan oleh jenis aponeurotik. Hal ini
umumnya terjadi melalui disinsersi dan penurunan levator aponeurosis. Pasien
yang berumur kurang dari 35 tahun dengan riwayat penggunaan lensa kontak
lima kali lebih berisiko menderita blepharoptosis didapat (Bosch dan Lemij,
2012).
Berdasarkan

tingkat

keparahan,

blepharoptosis

ringan

adalah

blepharoptosis dengan batas kelopak mata atas menutupi kornea < 2 mm,
blepharoptosis sedang jika batas kelopak mata atas menutupi kornea 2-4 mm,
dan blepharoptosis berat jika batas kelopak mata atas menutupi kornea > 4
mm.
2.4.3 Diagnosis Blepharoptosis
Pasien dengan blepharoptosis dapat mengeluhkan kesulitan membaca
karena blepharoptosis yang bertambah buruk pada saat melihat ke bawah. Hal
ini disebabkan karena adanya relaksasi otat frontalis. Bila pasien belum pernah
diperiksa oleh oftamologis maka diperlukan pemeriksaan okular lengkap.
Kuantifikasi

dan

kualifikasi

blepharoptosis

diperlukan

untuk

kepentingan diagnosis dan penatalaksanaannya. Semua pengukuran kuantitatif
kelopak mata dan alis mata harus dilakukan sebelum diberikan dilating drops.
Pengukuran-pengukuran yang akan dilakukan adalah : (Cohen, 2013)
• Fisura palpebrae
Fisura palpebrae memiliki panjang 22-30 mm dan tinggi 12-15 mm
• MRD-1
Marginal reflex distance-1 adalah jarak vertikal antara pusat pupil
dengan margin kelopak mata atas saat pemberian refleks cahaya.

Universitas Sumatera Utara

25

Seseorang didiagnosa mengalami blepharoptosis bila didapatkan hasil
MRD-1 kurang dari 4.5 mm (Hashemi, 2010)
• MRD-2
Marginal reflex distance-2 adalah jarak vertikal antara pusat pupil
dengan margin kelopak mata bawah saat pemberian refleks cahaya.
Hasil pengukuran yang normal adalah 5 mm.
• Margin crease distance
Merupakan jarak antara margin kelopak mata atas dengan lipatan
kelopak mata. Pada wanita barat, nilai normal dari pengukuran ini
adalah 10-11 mm, sedangkan pada laki-laki barat, nilai normalnya
adalah 8-10 mm.
• Fungsi levator
Merupakan jarak kelopak mata ketika bola mata melihat dari bawah ke
atas dengan keadaan dimana otot frontalis tidak bergerak. Nilai normal
pengukuran ini adalah 10 mm, sedangkan nilai 0-5 mm dianggap
kurang.
Apabila hasil pengukuran diatas berada di bawah nilai normal dan
didukung dengan adanya keluhan pasien terhadap gangguan penglihatan karena
turunnya kelopak mata, maka pasien ditegakkan diagnosa menderita ptosis.
Selain itu, kelopak mata yang turun akan menutupi sebagian pupil sehingga
penderita mengkompensasi keadaan tersebut dengan cara menaikkan alis
matanya atau menghiperekstensikan kepalanya.
2.4.4 Komplikasi Blepharoptosis
Blepharoptosis

merupakan

penyebab

penting

dari

kehilangan

penglihatan. Meskipun gangguan lapang pandang terjadi pada daerah superior,
namun

penglihatan

sentral

dapat

juga

terganggu.

blepharoptosis adalah ambliopia, strabismus,

Komplikasi

pada

dan astigmatisma. Pasien

blepharoptosis memiliki resiko tiga kali lebih besar menderita ambliopia
dibandingkan orang normal. Selain itu, beratnya kelopak mata yang menekan
kornea pada pasien blepharoptosis akan mengubah kurvatura kornea dan
menyebabkan astigmatisma. (Hashemi, 2010)

Universitas Sumatera Utara

26

2.4.5 Penatalaksanaan Blepharoptosis
Penatalaksanaan blepharoptosis tergantung dari etiologi dan derajat
blepharoptosis (derajat fungsi levator), hasil pemeriksaan oftalmologis, dan
tingkat keahlian serta pengalaman dari ahli bedah.
Menurut etiologinya, pada blepharoptosis kongenital (myogenic
etiology) dilakukan pembedahan (memperpendek) otot levator yang lemah
serta aponeurosisnya atau menggantungkan kelopak mata pada otot frontal.
Tindakan pembedahan dilakukan apabila blepharoptosis telah terjadi sangat
parah hingga telah mengganggu penglihatan.
Sedangkan menurut derajat patologisnya, prosedur operasi untuk
koreksi blepharoptosis dibagi menjadi 3 kategori yaitu: (Virgana, 2008)
1. pada blepharoptosis berat (> 4 mm) dengan fungsi levator yang buruk
(< 4 mm), dilakukan frontalis muscle suspension. Selain itu, pada
blepharoptosis berat, juga dapat dilakukan koreksi menggunakan
metode fox (teknik penyambungan menggunakan tendon palmaris
longus). Metode ini terbukti efektif dan memberikan hasil jangka
panjang yang bagus.(Shin, 2008)
2. pada blepharoptosis sedang atau ptosis dengan fungsi levator minimal 5
mm, dilakukan internal (transkonjungtiva) reseksi otot levator/tarsus/
Muller's. Banyaknya reseksi tergantung dari fungsi levator dan tingkat
beratnya blepharoptosis.
3. pada blepharoptosis ringan atau blepharoptosis aponeurotik dengan
fungsi levator baik , dilakukan eksternal (transcutaneus) levator
advancement atau bisa juga dilakukan prosedur Fasenella-Servat.
4. Pada blepharoptosis ringan yang tidak didapati kelainan kosmetik dan
tidak terdapat kelainan visual seperti ambliopia, strabismus, dan defek
lapangan pandang, lebih baik dibiarkan saja namun tetap diobservasi.

Universitas Sumatera Utara