BOOK Yenrizal Komunikasi Lingkungan

Komunikasi Lingkungan Dalam Antisipasi Bencana
di Desa Tanah Pilih, Kabupaten Banyuasin,
Sumatera Selatan
Oleh : Yenrizal
(Dosen Ilmu Komunikasi FISIP UIN Raden Fatah Palembang,
email : yenrizal_uin@radenfatah.ac.id, yenrizal@gmail.com)

Pendahuluan
Bencana alam adalah fenomena yang selama ini kerap melanda
berbagai wilayah, khususnya di Indonesia. Bentuknya bisa bermacammacam, seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, kekeringan,
gunung meletus, dan sebagainya. Data dari BNPB menyebutkan bahwa
untuk Juni 2017 saja tercatat setidaknya sudah ada 1.368 peristiwa,
dan banjir serta tanah longsor berada di peringkat pertama, menyusul
gelombang pasang/rob, gempa bumi serta puting beliung. Ini
merupakan fakta yang tak terbantahkan dan selalu berpotensi untuk
terjadi di masa-masa selanjutnya.
Tidak hanya satu wilayah atau provinsi saja, bencana bisa
ada dimana saja. Ini terkait dengan variasi gejala alam yang terus
bertambah. Sebagai contoh, fenomena kebakaran hutan dan lahan
(karhutla) bisa dikatakan fenomena yang baru muncul sejak 20 tahun
terakhir, sebelumnya karhutla tidak terlalu besar. Begitu juga dengan

gelombang pasang dan tanah longsor, adalah fenomena yang selalu
menguat dari tahun ke tahun.
Sumatera Selatan adalah salah satu daerah yang cukup akrab
dengan fenomena alam ini. Tahun 2014-2015, bencana paling parah
melanda wilayah ini adalah karhutla, yang umumnya melanda daerah
kawasan gambut. Kabut asap melanda hampir semua wilayah dan
kemudian menjadi ancaman serius di masa-masa mendatang. Selain
Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

293

itu, gelombang pasang, banjir, rob, juga aspek yang harus dicermati.
Khusus gelombang pasang/rob dan banjir umumnya berada di wilayah
perairan, yang merupakan kawasan dominan di provinsi ini.
Karakteristik Sumatera Selatan memang memiliki keragaman
kawasan daratan dan perairan. Komposisinya hampir berimbang,
dimana sebelah timur berbatasan dengan pantai timur Sumatera,
sehingga menjadikan daerah ini sebagai kawasan dataran rendah.
Sebagian lagi berada di daerah dataran tinggi, tepatnya perlintasan
Bukit Barisan. Data dari BPS Sumatera Selatan menunjukkan bahwa

ketinggian daerah ini berkisar 0-289 m dpl. Terbanyak adalah daerah
dataran rendah.
Atas dasar itu, maka penduduk yang mendiami daerah ini juga
memiliki variasi pada tradisi dan kebiasaan. Begitu pula dengan
keragaman etnik, karena memang daerah ini kerap menjadi daerah
yang didatangi oleh warga lain. Posisi pada jalur Selat Bangka dan
banyaknya sungai-sungai besar menyebabkan daerah ini menjadi
jalur yang strategis. Keragaman etnis ini banyak ditemukan di daerah
perairan, terutama Kabupaten Banyuasin, Palembang, Ogan Komering
Ilir dan Ogan Ilir. Etnis disinyalir sebagian besar sudah ada sejak lama,
mendiami wilayah-wilayah yang sekarang berada daerah pinggiran.
Keterkaitan antara penduduk dengan lingkungan merupakan
sebuah keniscayaan. Sebuah model dari AT Rambo (1984) telah
menunjukkan hal tersebut yang disebutnya sebagai social systemecosystem interaction models. Pada model ini, Rambo percaya bahwa
antara manusia dengan lingkungan memiliki interaksi yang rapat, yang
dibagi menjadi interaksi energi, materi, dan informasi. Lingkungan
bukanlah sesuatu yang statis, tetapi dinamis mengikuti perlakuan yang
diberikan oleh manusia.
Hal inilah yang kemudian disebutkan oleh Jurin (2010)
dalam perspektif komunikasi lingkungan, bahwa manusia selalu

berkomunikasi tentang dan mengenai lingkungannya. Interaksi
tersebut selalu terjadi yang merupakan inti dari proses komunikasi.
Manusia bukanlah makhluk yang berdiri sendiri, tetapi ada diantara
sekian banyak makhluk lain di bumi ini. Disebutkan juga oleh Florr
(2004) bahwa komunikasi lingkungan melihat pada posisi ini. Aspek
budaya, tradisi, semuanya punya hubungan erat sebagai bagian dari
294

Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

interaksi dengan lingkungan ini.
Gagasan di atas juga yang menjadi landasan berpikir dalam
penelitian ini, dimana pernah disampaikan bahwa salah satu kajian
penting dalam komunikasi lingkungan adalah Etnoekologi Komunikasi
(Yenrizal, 2015), yaitu sebuah perspektif dalam melihat sudut pandang
hubungan manusia dengan lingkungan dalam perspektif manusia
itu sendiri. Tekanannya adalah pada keterkaitan dan keterhubungan
yang terjadi, sehingga fokus yang dicapai adalah keseimbangan dan
keserasian hubungan. Komunikasi lingkungan bukan sekedar berbicara
bagaimana menjaga lingkungan, namun juga pada aspek kemampuan

belajar dan beradaptasi manusia dengan lingkungan tersebut (Yenrizal,
2017).
Pada konteks inilah, penelitian ini memfokuskan diri, terutama
melihat lokasi Desa Tanah Pilih, Kabupaten Banyuasin Sumatera
Selatan. Desa ini merupakan desa terluar di Sumsel, berada di
perbatasan dengan Jambi, tepatnya di pesisir timur Selat Bangka. Saat
ini masuk dalam kawasan Taman Nasional Berbak Sembilang (TNBS).
Sebagai desa dataran rendah, daerah ini sangat akrab dengan
pasang surut air laut. Saban hari selalu saja luapan air laut masuk hingga
ke kolong-kolong rumah penduduk. Tak heran, ancaman gelombang
pasang, abrasi pantai menjadi hal yang terbiasa dihadapi masyarakat.
Air pasang ini tidak hanya ke wilayah pemukiman, tetapi juga sampai
ke kebun-kebun yang dikelola warga. Disinilah diperlukannya
kemampuan tersendiri dalam memaknai fenomena alam, sehingga
bencana air pasang, rusaknya lahan pertanian, bisa diantisipasi.
Perspektif komunikasi lingkungan bisa digunakan untuk
melihat bagaimana masyarakat kemudian memaknai lingkungan
mereka, menyesuaikan diri, dan mempersiapkan segalanya. Ini
sejalan dengan gagasan Interaksionisme Simbolik dari Blumer yang
menyebutkan bahwa manusia pada hakekatnya memproduksi simbolsimbol, memaknainya, dan kemudian meneruskannya pada generasi

berikutnya. Inilah tekanan penting dalam komunikasi lingkungan,
yang dirangkai dengan perspektif etnoekologi komunikasi, sehingga
bisa dipakai dalam mengelaborasi makna-makna apa saja yang
diberikan masyarakat dan perlakuan apa yang dibuat. Penelitian ini
memperdalam pada aspek bagaimana pemaknaan masyarakat desa

Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

295

Tanah Pilih tentang lingkungan sekitar mereka sebagai antisipasi
terhadap potensi bencana yang bakal terjadi. Terkait dengan hal itu juga
ditekankan pada aspek bentuk-bentuk konkrit apa saja pemaknaan
tersebut diwujudkan oleh masyarakat setempat.

Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan secara kualitatif dengan menggunakan
metode etnograi komunikasi. Perspektif untuk melihat ini
menggunakan kerangka etnoekologi komunikasi (Yenrizal, 2015), yaitu
melihat permasalahan dalam sudut pandang masyarakat setempat,

yang kemudian dijadikan sebagai makna bersama untuk kepentingan
kehidupan mereka.
Secara praktis, peneliti berada dalam kehidupan masyarakat Desa
Tanah Pilih pada periode waktu tertentu, berinteraksi dengan warga
setempat, mengalami dan mengamati bagaimana masyarakat hidup
dalam lingkungan setempat. Berbagai terminologi-terminologi lokal,
kebiasaan-kebiasaan, pola-pola lokal, dan hubungan yang terbentuk
menjadi bahan amatan penting dalam penelitian ini.
Pada tahap akhir, seluruh data dianalisis menggunakan tradisi
dalam penelitian kualitatif, sebagaimana Creswell (1998) menjelaskan
tentang analisis data pada penelitian etnograi. Analisis berlangsung
selama periode penelitian tersebut dilakukan, mulai dari tahapan
penelitian lapangan hingga penulisan laporan. Diskusi teman sejawat
juga menjadi aspek penting dalam analisis, karena akan membantu
dalam penguatan analisis.

Pembahasan
Desa Tanah Pilih merupakan sebuah kawasan dataran rendah yang
secara administratif masuk dalam Kecamatan Banyuasin II, Kabupaten
Banyuasin, Sumatera Selatan. Daerah ini bisa dikatakan ditempati oleh

satu kelompok etnis yang homogen, tetapi bukan dari etnis Sumsel.
Penduduk yang mendiaminya adalah etnis Bugis, Sulawesi Selatan.
Wilayah ini memang merupakan daerah yang awal mula dibuka
oleh 8 orang pendatang dari Bugis, yang sengaja datang untuk
membuka lahan pertanian. Mereka datang sekitar tahun 1969, dengan
terlebih dahulu melapor ke Pesirah Marga Sungsang (pemerintahan

296

Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

lokal di Sumsel dulunya). Pesirah selaku kepala Marga memberikan
lahan kepada kelompok di daerah Sungai Terusan Dalam. Disinilah
awal kehidupan bermula. Delapan orang pendatang yang dikoordinir
oleh H Bawang, mulai membuka hutan. Kondisi saat itu masih hutan
belantara dengan alur-alur sungai yang dalam dan banyak binatang
buas. Harimau, Beruang, Ular, serta Buaya adalah satwa liar yang
kerap mengintai. Sejak 1969 hingga 2000, warga menetap di wilayah
ini. Sampai kemudian di tahun 2000, mereka pindah ke pinggiran
Sungai Benuh, sekitar 5 km dari Sungai Terusan Dalam, dikarenakan

terjadinya abrasi pantai dan pendangkalan Sungai Terusan Dalam.
Lokasi pindah yang baru disebut dengan Tanah Pilih, sebuah daerah
yang memang dianggap pilihan terbaik bagi warga.
Secara administratif desa ini cukup luas, walaupun sampai
sekarang tidak ada data pasti. Penduduk meyakini bahwa awalnya
desa seluas 74,2 Km2, namun sekarang tersisa sekitar 30.000 Ha. Hal
ini disebabkan adanya penetapan kawasan Taman Nasional Berbak
Sembilang yang masuk dalam wilayah desa. Tahun 2014, Desa Tanah
Pilih di inclave (dikeluarkan) dari kawasan TNBS. Batas administratif
desa ini adalah Sebelah Barat berbatasan dengan TNBS dan Desa
Muara Merang, Timur dengan Selat Bangka/Laut Cina Selatan, Utara
dengan Desa Sungai Benuh, Jambi, dan Selatan dengan Sungai Tiram,
TNBS. Jumlah penduduk saat ini mencapai 1.445 jiwa yang saat
ini sudah memiliki tambahan dari beberapa warga lain yang datang
dan bermukim untuk mencari ikan. Pendatang ini umumnya berada
terpisah dari pemukiman penduduk asli, bermukim di sepanjang
Sungai Benuh.
Secara ekonomi, kehidupan masyarakat di Desa Tanah Pilih
cukup baik, bahkan bisa dikatakan sangat memadai untuk ukuran
kebutuhan masyarakat sehari-hari. Mata pencaharian utama masyarakat

ada dua macam, yaitu bertani dan nelayan. Sektor pertanian menjadi
andalan utama terutama untuk pertanian multikultur. Masyarakat
mengolah lahan untuk kepentingan pertanian kelapa, sawah, pinang,
dan pisang. Ini adalah jenis komoditi yang rutin diproduksi dari
perkebunan masyarakat. Rata-rata semua penduduk memiliki lahan
dengan luasan rerata 1-2 Ha/KK. Selain itu, termasuk juga sebagai
katagori mata pencaharian pokok adalah nelayan. Ini dimungkinkan
untuk dilakukan karena posisi desa yang berhubungan langsung
Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

297

dengan Selat Bangka. Profesi nelayan dilakukan oleh hampir seluruh
warga Desa Tanah Pilih. Dimasing-masing rumah warga juga terdapat
gedung sarang burung walet, yang merupakan sumber penghasilan
sampingan yang juga sangat menjanjikan. Oleh karena itu, kondisi
ekonomi masyarakat bisa dikatakan sangat baik, kendati dari sisi
aksesibilitas dan telekomunikasi sangat terbatas sekali.
Desa ini tidak bisa dilalui lewat jalur darat, terutama dari
Palembang. Satu-satunya transportasi hanyalah dari jalur sungai dan

laut. Dibutuhkan waktu sekitar 6 jam untuk sampai ke lokasi ini dari
Palembang. Sementara jaringan telekomunikasi tidak ada sama sekali.
Warga harus pergi ke desa sebelah untuk bisa melakukan hubungan
telepon. Kondisi ini tidaklah menjadi hambatan dalam pengembangan
ekonomi warga sekitar. Hasil bumi yang sangat baik, begitu juga dengan
hasil perikanan yang sangat menjanjikan, bisa membuat perekonomian
berjalan baik.
Posisi desa yang berada di pinggiran Selat Bangka menyebabkan
desa ini merupakan desa dengan karakteristik pasang surut. Di sore hari,
sekitar pukul 18.00 WIB hingga ke subuh sekitar pukul 6.00, aliran air
Sungai Benuh dan aliran air laut akan masuk sampai ke kolong-kolong
rumah warga. Selain waktu tersebut, air akan surut dan hamparan
tanah di bawah rumah akan mudah terlihat. Disinilah konteks bencana
alam menjadi sangat mudah menerpa masyarakat. Tipe bencana yang
dialami adalah pasang surut air, kekeringan dan abrasi pantai. Inilah
yang dulu pernah menyebabkan masyarakat pindah pemukiman
ke Sungai Benuh. Bencana ini memang tidak menimbulkan korban
jiwa secara langsung, tetapi berpengaruh besar terhadap kondisi
perekonomian. Oleh karena itu, bagaimana masyarakat memaknai
lingkungannya menjadi sangat penting sekali.

Proses pemaknaan ini dimulai dengan melakukan identiikasi
kawasan yang ditempati. Masyarakat mengelompokkan kawasan
ini menjadi beberapa katagori yaitu; (1) Kawasan laut sebagai lokasi
pencarian ikan, (2) Kawasan sungai sebagai jalur transportasi, aktiitas
rutin dan air pemenuhan kebutuhan rumah tangga. (3) Kawasan
pinggiran sungai sebagai lokasi pemukiman. (4) Kawasan pertanian
yang terbagi atas kawasan perkebunan kelapa dan persawahan. (5)
Jalur parit air.

298

Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

Masing-masing kawasan yang dikelola masyarakat tersebut
memiliki peruntukan dan mendapat perlakuan tersendiri. Kawasan
parit air merupakan kawasan yang pertama sekali dikelola masyarakat.
Hasil wawancara serta pengamatan lapangan menunjukkan bahwa
parit-parit air ini merupakan unsur pertama yang dibuka warga,
bahkan sejak mendiami kawasan di Sungai Terusan Dalam. Paritparit ini dibuat memanjang dengan muara ke arah Sungai Terusan
Dalam dan Sungai Benuh. Panjang masing-masing parit berkisar 5
km dari bibir sungai dengan lebar berkisar 1 - 1,5 meter. Tentu saja ini
memerlukan pekerjaan berat dan luar biasa di awal pembukaan wilayah
sekitar tahun 1969-1970. Di saat segalanya sangat terbatas, belum ada
teknologi, masih berupa hutan rimba, banyaknya ancaman binatang
buas, masyarakat sudah melakukan pembuatan parit.
Pembuatan parit dilakukan dengan menggali tanah dengan
terlebih dahulu membersihkan bagian-bagian tertentu, termasuk
menebang pohon. Ini harus dilakukan karena aliran air pasang surut
akan masuk dengan mudah ke semua wilayah, sehingga setiap pasang,
air akan menggenang. Kedalaman parit awalnya berkisar 1 – 1,5 meter.
Pada saat ini sudah dilakukan pendalaman parit hingga mencapai 2
meter.
Bagi masyarakat pembuatan parit ini adalah pengetahuan yang
diperoleh dengan melihat kondisi wilayah. Penjelasan dari Paduapai (76
th), tokoh pendiri awal kawasan yang masih hidup saat ini menyebutkan
bahwa saat awal datang ke lokasi ini, yang pertama dicermati adalah
keadaan tanah dan air. Saat itu tanah terlihat basah dan di sore hari
terendam air, terutama kawasan pinggiran sungai. Luapan air yang
sebagian terasa asin ini juga masuk sampai ke daerah daratan, lokasi
yang diprediksi masyarakat bisa menjadi lahan pertanian. Atas dasar
itulah masyarakat kemudian membangun parit-parit, yang ditujukan
sebagai saluran penampungan air, sehingga air laut dan air sungai yang
asam tidak masuk ke daratan.
Saat ini jumlah parit yang sudah dibangun warga mencapai 21
buah, dengan jarak antar parit berkisar 1 – 1,5 Ha. Lahan di antara
parit-parit inilah yang kemudian dijadikan warga sebagai lahan
pertanian. Mereka kemudian menanam kelapa, pisang, pinang, nanas
dan jenis-jenis palawija. Pada daerah yang lebih rendah dan berjauhan

Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

299

dengan laut, mereka membuat persawahan.
Pengetahuan tentang pembuatan parit diyakini warga bermula
dari pengamatan terhadap kondisi lingkungan yang ada. Dalam bahasa
lain, ini adalah wujud dari pemaknaan terhadap fenomena lingkungan.
Pemaknaan ini ternyata tidak berlangsung begitu saja, tetapi adalah
proses yang kemudian dirembugkan dan dimusyawarahkan. Paduapai
menyebutkan bahwa mereka (pendatang awal) kerap berkumpul
dan bersama-sama mengerjakan pembuatan parit. Kumpul-kumpul
ini dilakukan saban hari mengingat bahwa realitas lingkungan tidak
bisa dipastikan, realitas alam kerap berubah-rubah. Mereka biasanya
berkumpul di pondok-pondok yang sudah dibuat, memperbincangkan
kondisi yang ada, dan kemudian melaksanakannya. Pemimpin saat itu
adalah H Bawang, tokoh yang dianggap pemimpin kelompok.
Pemaknaan masyarakat terhadap kondisi alam menjadi penting,
dan inilah esensi komunikasi lingkungan yang dilakukan warga.
Bentuk pemaknaan yang dilakukan, paling utama adalah dengan
membagi zonasi wilayah, yaitu zona pemukiman dan aktiitas sosial
masyarakat (pinggiran Sungai Benuh), zona perkebunan kelapa dan
pisang (dibelakang pemukiman) dan zona persawahan di bagian
belakang perkebunan kelapa. Zona ini disesuaikan dengan kondisi
alam, terutama pasang surut air laut dan ketinggian daratan. Selain itu,
zona penangkapan ikan berada di laut atau Selat Bangka.
Gambar 1. Pola Pemukiman Warga Desa Tanah Pilih

300

Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

Wujud pemaknaan seperti di atas tidak berlangsung begitu saja,
tetapi terus diwariskan kepada generasi-generasi berikutnya. Generasi
awal sudah memulai dengan membuat parit dan membagi zona-zona
yang ada. Selanjutnya ini diteruskan pada generasi berikut. Meneruskan
ini merupakan peristiwa komunikasi tersendiri, yang berlangsung dari
beberapa tahapan dan klasiikasi masyarakat. Proses “mewariskan”
pemaknaan ini yang kemudian menjadi fenomena komunikasi
lingkungan dalam antisipasi bencana.
Klasiikasi pertama adalah pada sesama generasi tua/dewasa.
Umumnya ini adalah warga dengan kelompok usia 40 tahun ke atas.
Komunitas ini cukup banyak, mereka membentuk kelompok tersendiri
secara informal, tidak terbentuk dalam suatu organisasi khusus.
Kelompok ini biasanya bertemu pada sore dan malam hari di pinggiran
sungai, sembari menunggu beberapa kapal nelayan yang pulang
melaut. Pertemuan ini memang tidak rutin, karena tidak semua warga
ikut, tetapi dengan luas wilayah yang relatif kecil dan pemukiman
yang mengelompok, informasi bisa menyebar secara cepat. Selain itu
kelompok ini rutin bertemu pada saat sholat magrib dan sholat Jum’at di
masjid desa. Ini adalah masa pertemuan yang paling mendasar. Selain
itu pertemuan juga berlangsung pada saat adanya acara keramaian di
desa, seperti pernikahan, ataupun acara kematian warga. Mereka selalu
hadir dan berkumpul.
Topik-topik yang dibicarakan adalah seputar kehidupan
sehari-hari, terutama tentang kondisi laut dan kondisi lahan pertanian.
Disinilah masalah bencana berupa abrasi pantai dan ketinggian
air laut menjadi topik menarik bagi warga. Warga terbiasa untuk
memperbincangkan masalah ketinggian gelombang laut, kekuatan
angin, yang kemudian ini akan berefek pada kondisi lahan pertanian
yang dikelola warga. Obrolan biasanya berlangsung santai dan dalam
kondisi yang setara. Sikap egaliter dimunculkan disini, kendati
ada perangkat desa sebagai pemimpin formal, tetapi semua warga
diperbolehkan untuk mengemukakan pendapatnya.
Generasi ini kemudian akan meneruskan pada anak-anak muda
yang pada dasarnya adalah anak-anak mereka juga. Kelompok inilah
yang kemudian dibina dan dididik untuk memahami lingkungan
sebagaimana generasi sebelumnya memahami alam. Pola pewarisan

Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

301

dan penurunan nilai-nilai lingkungan pada generasi muda dilakukan
secara langsung, terutama dengan mengajak mereka untuk ikut dalam
mengolah lahan. Hal ini tampak secara nyata bagaimana keterlibatan
kelompok anak muda dalam berkebun dan bersawah, begitu juga
dengan aktiitas ke laut. Bahkan untuk aktiitas melaut, generasi muda
inilah yang menjadi andalan pada saat ini.
Kelompok remaja biasanya berkumpul pada kegiatan olahraga,
yang lazim dilakukan adalah sepakbola dan bola voli. Mereka
memiliki lapangan sendiri dan melaksanakan aktiitasnya di sore hari.
Disinilah obrolan tentang lingkungan dan kondisi keseharian biasanya
berlangsung.
Pola komunikasi yang berlangsung menunjukkan fenomena
multitahap dan berjenjang sesuai kelompoknya. Secara sederhana bisa
dilihat dari bagan berikut.
Bagan 1. Pola Komunikasi Lingkungan dalam Antisipasi Bencana pada
Masyarakat Desa Tanah Pilih

Sumber : hasil analisa penelitian lapangan, 2017

Melihat pada bagan di atas tampak dua mekanisme proses
komunikasi lingkungan yang dominan di Desa Tanah Pilih, terutama
dalam mensikapi kemungkinan terjadinya bencana alam. Kelompok
generasi tua/dewasa tetap menjadi panutan yang kemudian akan
tersebar dan terinformasikan kepada generasi muda. Hal ini yang terus
berlanjut dan selalu mempengaruhi kehidupan keseharian masyarakat.
Potensi bencana utama yaitu abrasi pantai dan luapan air sungai bisa
diantisipasi secara maksimal melalui perlakuan-perlakuan khusus yang
302

Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

diberikan masyarakat. Sejak 2015, sudah muncul pula potensi bencana
lain yaitu kebakaran hutan saat musim kemarau.
Guna mengantisipasi luapan air laut dan sungai yang akan
menganggu dan mengancam pemukiman warga, dilakukan dengan
cara beradaptasi dengan kondisi lokal. Mereka tidak melawan atau
melakukan rekayasa-rekayasa teknologi, tetapi menyesuaikan dengan
fenomena alam yang ada. Cara terbaik adalah membangun pemukiman
dan perkampungan dengan posisi tidak memijak tanah. Semua rumah
dan bangunan yang ada di desa ini berada di atas tanah, bahkan
juga dengan lorong dan jalan di dalam desa. Pengecualian hanya
jalan menuju kebun, karena posisinya sudah sedikit lebih tinggi dari
permukaan air. Ketinggian pemukiman dari permukaan tanah berkisar
1-2,5 meter. Perhitungan ini dibuat dari perkiraan ketinggian air saat
pasang.
Sudah sangat lazim jika lorong dan jalan desa terbuat dari kayukayu yang disusun, dan dibawahnya air sungai akan leluasa untuk
masuk ketika pasang terjadi. Bahkan di bawah jalan-jalan kayu
tersebut juga menjadi tempat penyimpanan kayu warga, yang sengaja
merendam kayu agar tidak lapuk dan tahan lama.
Pengetahuan tentang penataan permukiman, termasuk mengatur
bentuk rumah yang semuanya berbentuk panggung adalah bentuk dari
pemaknaan masyarakat terhadap kondisi alam. Mereka menyadari
sekali bahwa tidak akan mungkin melawan kondisi alam yang ada,
apakah dengan jalan menimbun rawa atau membendung sungai untuk
menciptakan daratan. Melakukan itu akan sia-sia sama sekali dan
tentu saja semakin memperkuat abrasi dan pendangkalan pantai yang
akan terjadi. Model seperti ini bisa dibandingkan dengan penelitian
Lahajir (2001) tentang masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah,
yang menunjukkan model pemukiman panggung didasarkan pada
keamanan dan kenyaman warga.
Proses komunikasi lingkungan dalam antisipasi bencana ini,
tampak bersifat egaliter, walaupun tetap dominasi pada kelompok tua/
dewasa. Oleh karena itu, sifatnya adalah egaliter pada kelompoknya.
Disini tidak tampak pembedaan antara kelompok tua dengan generasi
dewasa. Dua kelompok ini menyatu, walaupun sedikit pembedaan pada
kalangan tua yang dianggap sebagai pendahulu di desa ini. Selebihnya

Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

303

sama dan sederajat.
Wujud dalam memaknai lingkungan, terutama dengan
pembuatan parit diwariskan terus ke generasi selanjutnya dan harus
terus dipelihara. Untuk ini, warga membuat organisasi khusus yang
disebutnya Kelompok Parit. Masing-masing kelompok dikoordinir
oleh seorang Ketua Parit, sementara anggotanya adalah semua warga
yang memiliki kebun di sepanjang parit. Keanggotaan ini diperluas
dengan melibatkan semua anak-anak muda yang orangtuanya
berkebun disekitar parit tersebut. Pada konteks ini, pewarisan sistem
parit dan sistem permukiman di atas tanah terus diwariskan dan ini
menjadi peristiwa komunikasi yang berkelanjutan. Antisipasi bencana
bisa terus dilakukan, karena parit yang dibuat dan pola permukiman
mengikuti bentuk topograi alam serta adaptif dengan alur air masuk
dan keluar.
Apa yang dilakukan warga Tanah Pilih, adalah fakta-fakta
komunikasi lingkungan yang bersifat egaliter dan ramah terhadap
kondisi alam. Apabila dikonirmasikan dengan gagasan dari Jurin
(2010), ini merupakan bentuk proses komunikasi yang berlansung
setiap saat. Fenomena lingkungan selalu terjadi dan tidak bisa diputus
pada satu waktu saja. Memaknai lingkungan adalah peristiwa yang
berkelanjutan, serta punya nilai strategis untuk selalu diwariskan. Jurin
kemudian menyebut ini dengan istilah environmental educations, yang
mengarah pada aspek pendidikan secara khusus kepada kelompok
tertentu agar melek lingkungan. Tetapi pada konteks ini, pendidikan
lingkungan bisa saja terjadi sebagaimana Jurin, namun prosesnya
tidaklah formal dan punya momentum khusus. Pemaknaan lingkungan
di masyarakat terjadi pada setiap saat dan setiap waktu. Kiranya inilah
yang kemudian cocok dengan gagasan bahwa komunikasi tersebut
bersifat simbolik dan manusia selalu memproduksi simbol-simbol
tentang lingkungannya (Blumer, 1969). Paham interaksionisme
simbolik secara tegas muncul disini, dimana bagi masyarakat Tanah
Pilih, air pasang dan gelombang laut bukanlah simbol yang harus
ditakuti, tetapi sesuatu yang harus dijadikan sahabat dan diberikan
ruang gerak. Adanya parit adalah bentuk pemaknaan simbolik bahwa
air punya kepentingan tertentu.
Fakta bahwa luapan air adalah sesuatu yang biasa dan justru punya

304

Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

manfaat penting bagi warga, adalah makna yang diberikan masyarakat
tersebut terhadap air. Mereka memaknai air sebagai sumber kehidupan,
karena itu ruang gerak air harus diberikan keleluasaan. Poding (46 th),
warga Tanah Pilih mengaku bahwa air masuk ke bawah rumah atau
bahkan sampai ke kebun adalah hal yang biasa dan memang begitulah
seharusnya. Justru Poding dan warga lain akan merasa kesulitan jika
air tidak pasang. Kesulitan utama adalah soal transportasi dan aktiitas
ke sungai yang terganggu. Selain itu, lahan perkebunan bisa jadi
akan kering, dan itu berpotensi besar terjadinya kebakaran di musim
kemarau.
Gagasan seperti ini, kemudian berkorelasi pula dengan gagasan
yang dimunculkan oleh Florr (2004) bahwa masyarakat akan
memaknai lingkungan sesuai konteks budaya dan tradisinya. Ini tidak
bisa dilepaskan, karena itulah wujud jati diri masyarakat. Komunitas
Bugis dengan tradisi melaut serta bertani kelapa (tradisi di tepi
pantai), melekat secara kuat. Tradisi ini banyak berhubungan dengan
kesesuaian terhadap lingkungan. Kelapa bisa tumbuh baik jika punya
asupan air yang pas dan memiliki jarak tanam yang sesuai, termasuk
curah hujan dan Ph tanah (Aristya, 2016). Ini berhubungan langsung
dengan garis pantai dan kebiasaan melaut. Kelapa hanya membutuhkan
perawatan dalam rentang umur 0 – 3 tahun, setelah itu relatif kuat dan
tidak perlu perawatan khusus. Perawatan inipun tidak butuh waktu
yang banyak, oleh karena itu waktu luang dimanfaatkan untuk terus
pergi ke laut. Intensitas yang cukup tinggi dengan laut menyebabkan
warga juga merasa bahwa laut adalah bagian integral dalam kehidupan
mereka, dengan kata lain laut adalah sahabat dan sumber kehidupan.
Oleh karena itu, masuknya air laut ke kebun kelapa dianggap sebagai
sesuatu yang memang sudah seharusnya terjadi. Ini pemahaman emic
dari masyarakat. Sementara secara ethic bisa dilihat bahwa tanaman
kelapa yang dekat dengan pantai, cenderung tumbuh subur karena
tanah berpasir dan Ph tanah berkisar 5-8 (ILO UNDP, 2013). Disinilah
tampak bahwa tradisi nelayan yang akrab dengan laut, diteruskan
dengan tradisi bertanam kelapa yang juga akrab dengan ekosistem laut.
Oleh karena itu, penggunaan parit adalah bentuk adaptasi
terhadap luapan air laut. Tidak perlu melakukan pembendungan
ataupun membatasi gerak air, tapi cukup dengan menyalurkannya.
Tradisi seperti ini, dalam khazanah pertanian sebenarnya sudah
Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

305

dikenal juga dengan istilah pembuatan saluran irigasi, sebagaimana
bisa dilihat pada hasil riset Prabowo (2014), Nurul Huda (2012), dan
Purwanto (2006). Kajian-kajian lain juga banyak yang menunjukkan
bagaimana menyalurkan air pada daerah persawahan dan perkebunan.
Tetapi dalam konteks menyesuaikan masuk dan keluarnya air, guna
bisa mengatur ritme pertanian dan kemudian menjadi penyubur pula
bagi tanaman, kiranya hanya lazim di daerah pesisir pantai. Tanah Pilih
adalah salah satunya, terutama yang memadukan karakteristik pasang
surut dan pembangunan parit.
Melalui metode pembangunan parit, sampai saat ini kehidupan
masyarakat di Tanah Pilih bisa berjalan dengan baik. Perekonomian
terjaga dan cukup makmur. Setidaknya ini tampak dari tingkat
pendapatan masyarakat yang berkisar Rp.200.000 s.d. Rp. 500.000 per
hari. Ini sangat mencukupi bagi warga yang hidup di daerah pedesaan
seperti ini.

Penutup
Persoalan bencana yang dihadapi warga adalah luapan air laut
saat terjadi pasang surut. Ini merupakan masalah tahunan yang selalu
datang. Bentuk pemaknaan masyarakat terhadap fenomena ini adalah
menyesuaikan diri dengan fenomena alam. Mereka tidak melakukan
perlawanan, tetapi memaknainya sebagai sesuatu yang lumrah dan
memang gejala alam. Air dimaknai sebagai unsur yang akan bermanfaat
asalkan dikelola dengan baik. Makna ini muncul dari pengamatan
secara terus menerus mengikuti ritme kehidupan. Pemaknaan ini
diteruskan dari generasi tua ke generasi muda secara langsung dan
dalam proses yang informal. Perubahan-perubahan pemaknaan bisa
saja terjadi dan itu berlangsung dalam dialog-dialog informal sesama
masyarakat dalam ajang-ajang informal juga. Wujud nyata dari proses
pemaknaan adalah dengan dibangunnya parit-parit, pembuatan
permukiman di atas tanah (panggung), dan pengaturan klasiikasi
permukiman. Masyarakat mengidentiikasi perubahan fenomena alam
adalah sesuatu yang memang harusnya terjadi dan mereka kemudian
menyesuaikan diri.
Melihat dari fenomena yang terjadi Desa Tanah Pilih, bisa
disarankan bahwa pola-pola komunikasi lingkungan masyarakat

306

Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

setempat yang berkelindan dengan nilai kearifan lokal, semestinya
dilestarikan dan terus diwariskan ke generasi berikutnya. Pola
pelestarian ini bisa dilakukan dengan meminimalisir kehadiran
perkebunan-perkebunan berskala besar, karena akan berefek negatif
terhadap keselamatan lingkungan setempat. Secara akademis bisa
pula disarankan bahwa kajian-kajian komunikasi lingkungan sudah
semestinya diperbanyak dan diperkuat dengan melihat variasi-variasi
pada masyarakat lokal.

Datar Pustaka
Ahimsa-Putra, Heddi Shri, 2012. Etno Bencana, Etno Sains untuk
Kajian Bencana, dalam Respon Masyarakat Loka atas Bencana,
Agus Indiyanto dan Arqom Kuswanjono (ed.), Penerbit Mizan
dan CRCS UGM, Bandung.
Aristya, Vina Eka, Djoko Prajitno, Supriyatna, dan Taryono, Kajian
Aspek Budaya dan Identiikasi Keragaman Morfologi Tanaman
Kelapa di Kebumen, https://jurnal.ugm.ac.id/jbp/article/
viewFile/1606/pdf_30, diakses tanggal 12 Juli 2017
Blumer, Herbert. 1969. Simbolic Interactionism: Perspective and Method.
New Jersey: Prentice Hall
Brosius J Peter, George W Lovelace dan Gerald Marten, 1986,
Ethnoecology : An Approach to Understanding Traditional
Agricultural Knowledge, dalam Gerarld Marten, Traditional
Agriculture in Southeast Asia, A Human Ecological Perspective,
Westview Press, Colorado
Conklin, Harold, 1963, he Study of Shiting Cultivation, Washington
DC.
Cox, Robert, 2010, Environment Communication and Public Sphere,
Second Edition, Sage Publications, USA
Flor, Alexander G, 2004, Environmental Communication : Principles,
Approaches and Strategies of Communication, Applied to
Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

307

Environmental Management, University of the Philippines.
Huda, Nurul, Donny Harisuseno, dan Dwi Priyantono, 2012, Kajian
Sistem Pemberian Air Irigasi sebagai Dasar Penyusunan Jadwal
Rotasi pada Daerah Irigasi Tumpang Kabupaten Malang, Jurnal
Teknik Pengairan, Volume 3, Nomor 2, Desember 2012.
Jurin, Richard, Donny Roush, and Jef Danter., 2010, Environmental
Communications, Skill and Principles for Natural Resources
Managers, Scientist, and Engineer, Springer Doerdrecht
Heidelberg, Newyork London.
Lahajir, 2001, Etnoekologi Perladangan Orang Dayak Tunjung Linggang,
Galang Press, Yogyakarta
Littlejohn, Stephen W. 1996. heories of Human Communication. USA:
Wadsworth Publising Company
Prabowo, Agung, Sigid Supadmo Arif, Lilik Sutiarso, Bambang
Purwantara. 2014. Model Simulasi Pengembangan Sistem Irigasi
untuk Tanaman Jagung di Lahan Sawah dan Lahan Kering,
Studi Kasus pada Usaha Tani Jagung di Kabupaten Kediri, Jurnal
Agritech, Volume 34, Nomor 2, Mei 2014.
Purwanto dan Jazaul Ikhsan. 2016. Analisis Kebutuhan Air Irigasi pada
Daerah Bendung Mrican, Jurnal Ilmiah Semesta Teknika, Volume
9, No 1, 2016
Rambo, A Terry dan Percy Sajise (ed.), 1984, An Introduction to Human
Ecology Research on Agricultural Systems in Southeast Asia,
University of the Philippines, University Publication Program,
College, Laguna, Philippines
Yenrizal. 2015. Komunikasi Lingkungan Masyarakat Petani Pedesaan,
Studi Etnoekologi Komunikasi Masyarakat Semende Darat
Tengah, Muara Enim Sumatera Selatan, Disertasi, Pascasarjana
FIKOM Universitas Padjadjaran, Bandung.

308

Bunga Rampai Komunikasi Indonesia