BOOK sri Astuty Komunikasi Bencana

KOMUNIKASI BENCANA, KEARIFAN LOKAL,
DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM
MEMANFAATKAN POTENSI LAHAN BASAH DI
KALIMANTAN SELATAN
Sri Astuty
Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNLAM Banjarmasin
astutysri30@yahoo.co.id

Pendahuluan
Kalimantan Selatan merupakan kawasan dengan luasan lahan
basah atau lahan gambut yang cukup luas. Kawasan ini sejak dulu
dijadikan sebagai kawasan kepentingan pertanian, perkebunan rakyat
dan perikanan rawa. Ini dibuktikan dengan proporsi penduduk
dikawasan ini dengan luasan garapan yang mereka lakukan baik
bertani tadah hujan, berkebun kelapa dan tanaman lainnya yang
memanfaatkan tungkunan maupun membuat sumur-sumur untuk
menampung terkumpulnya ikan ketika musim kemarau.
Kawasan lahan basah juga merupakan sumber pendapatan
penduduk desa karena ditumbuhi tanaman ekonomis seperti purun,
telepok dan pohon galam. Tanaman purun misalnya merupakan
komoditas yang mampu menghidupi penduduk yang hidup dikawasan

tumbuhnya purun yang lebat dan dapat dimanfaatkan menjadi
anyaman tikar, karung, tas serta kerajinan lainnya. Komoditas ini
hanya bisa tumbuh dn berkembang dikawasan lahan basah dan
masyarakat Kalimantan Selatan atau lebih disukai disebut sebagai
masyarakat Banjar lebih cenderung menyenangi tinggal dikawasan ini
berdampingan dengan lahan pertanian tadah hujan dan potensi ikan
sebagai lauk sehari-harin yang tidak perlu dibeli.
Kawasan lahan basah/lahan gambut juga ditumbuhi pepohonan
galam yang khas di Kalimantan Selatan dimana digunakan sebagai
keperluan pembangunan infrastruktur seperti rumah dan jembatan

Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

197

masyarakat pedesaan. Lebih urgen lagi pada saat ini fungsi kayu
galam itu sebagai pondasi utama untuk membangun rumah-rumah
modern dan gedung-gedung khususnya diperkotaan dan kawasan
yang merupakan lahan gambut dan rawa-rawa, sebab pohon gala mini
semakin ditanam dalam tanah berair semakin kuat sehingga kearifan

lokal sangat cocok bagi kepentingan pembuatan pondasi rumah dan
gedung maupun infrastruktur lainnya dikawasan rawa dan lahan
gambut.
Lebih dari itu kawasan lahan basah/gambut sudah diakui sebagai
kawasan yang menampung air dari pegunungan apabila musim
penghujan atau di kawasan lahan basah itu sendiri. Semakin luas
kawasan lahan basah/gambut tersebut semakin terhindari masyarakat
sekitarnya mengalami kebanjiran pada kampung-kampung dan
pemukiman mereka. Inilah salah satu factor keberadaan penduduk
masih permanen untuk tetap tinggal di kawasan ini dengan
memanfaatkan segala potensi yang dimiliki dari sumberdaya lahan
basah/gambut tersebut.
Masyarakat Kalimantan Selatan khususnya selama ini ketika
mendapati kawasan lahan basah/gambut yang cenderung airnya
setinggi badan, telah melahirkan kreasi dan pengalaman hidup
dengan menciptakan teknik mengatur air lahan basah/gambut dengan
cara membuat parit-parit agar kawasan lahan basah/gambut dapat
dioptimalkan untuk potensi pertanian, perikanan dan perkebunan
dengan system garfu (Levang, 2000). Cara ini merupakan kearifan
lokal (local wisdom) yang membantu suku Banjar khususnya dalam

memanfaatkan potensi ini sampai mereka melakukan migrasi ke
berbagai kawasan yang memiliki karakter lahan basah/gambut yang
sama dengan Kalimantan Selatan seperti ke Tembilahan Sumatera,
Semananjung Malaya dan kawasan Kalimantan lainnya. Disinilah
fungsi komunikasi bencana sebenarnya berlaku dimana ketika ada
proses pesan tentang kondisi alam yang menglingkupi kehidupan
masyarakat, masyarakat yang hidup dikawasan lahan basah ini lebih
mampu bertahan dan menyesuaikan meski pernah terjadi kekeringan
lahan, kebakaran lahan dan potensi kabut asap setiap tahun serta
penyempitan lahan akibat pembukaan areal perkebunan kelapa sawit
serta perkembangan pesat pembangunan perumahan.

198

Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

Fakta sejarah pemanfaatan lahan basah/gambut tersebut tidak
berdiri sendiri, tetapi berdasarkan pengalaman entitas komunal
masyarakat bagaimana mereka memanfaatkan dan mendorong
kelembagaan masyarakat seperti Kepala Padang, Pembekal, Pengirak

dalam mendukung potensi lahan basah/gambut sebagai kepentingan
ekonomis mereka guna bertahan hidup. Dalam konteks ini mereka
menciptakan sikap dan perilaku serta kearifan dalam memahami
karakteristik fungsi lahan basah/gambut di Kalimantan Selatan.
Berdasarkan hal diatas, maka penelitian ini dirumuskan bagaimana
komunikasi bencana, kearifan lokal, dan pemberdayaan masyarakat
dalam memanfaatkan potensi lahan basah yang ada di kawasan
Kalimantan Selatan?

Kajian Teori
Pemberdayaan dalam istilah asing sering disebut dengan kata
“empowerment” dan “empower” diterjemahkan dalam bahasa indonesia
menjadi pemberdayaan dan memberdayakan, menurut merriam
webster dan oxfort english dictionery (dalam prijono dan pranarka,
1996 : 3) mengandung dua pengertian yaitu : pengertian pertama
adalah give power or to authority to, dan pengertian kedua berarti to
give ability to or enable. Dalam pengertian pertama diartikan sebagai
memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan atau mendelegasikan
otoritas ke pihak lain, sedangkan dalam pengertian kedua, diartikan
sebagai upaya untuk memberikan kemampuan atau keberdayaan.

Konsep empowerment pada dasarnya adalah upaya menjadikan
suasana kemanusiaan yang adil dan beradab menjadi semakin efektif
secara struktural, baik dalam kehidupan keluarga, masyarakat, negara,
regional, internasional, maupun dalam bidang politik, ekonomi
dan lain-lain. memberdayakan masyarakat menurut kartasasmita
(1996 : 144) adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat
lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk
melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan.
Pemberdayaan masyarakat merupakan sebuah konsep pembangunan
ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan
paradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat “people-centered,
participatory, empowering, and sustainable.

Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

199

Gagasan pembangunan yang mengutamakan pemberdayaan
masyarakat perlu untuk dipahami sebagai suatu proses transformasi dalam
hubungan sosial, ekonomi, budaya, dan politik masyarakat. perubahan

struktur yang sangat diharapkan adalah proses yang berlangsung secara
alamiah, yaitu yang menghasilkan dan harus dapat dinikmati bersama.
begitu pula sebaliknya, yang menikmati haruslah yang menghasilkan.
proses ini diarahkan agar setiap upaya pemberdayaan masyarakat dapat
meningkatkan kapasitas masyarakat (penguatan capacity building)
melalui penciptaan akumulasi modal yang bersumber dari surplus yang
dihasilkan, yang mana pada gilirannya nanti dapat pula menciptakan
pendapatan yang akhirnya dinikmati oleh seluruh rakyat. dan proses
transpormasi ini harus dapat digerakan sendiri oleh masyarakat.
Menurut Sumodiningrat (1999 : 134), mengatakan bahwa
kebijaksanaan pemberdayaan masyarakat secara umum dapat dipilah
dalam tiga kelompok yaitu : pertama, kebijaksanaan yang secara tidak
langsung mengarah pada sasaran tetapi memberikan dasar tercapainya
suasana yang mendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat. kedua,
kebijaksanaan yang secara langsung mengarah pada peningkatan
kegiatan ekonomi kelompok sasaran. ketiga, kebijaksanaan khusus
yang menjangkau masyarakat miskin melalui upaya khusus.
Pelaksanaan pemberdayaan masyarakat, menurut Kartasasmita
(1996:159-160), harus dilakukan melalui beberapa kegiatan :
pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan

potensi masyarakat berkembang (enabling). kedua, memperkuat
potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering).
ketiga, memberdayakan mengandung pula arti melindungi, di sinilah
letak titik tolaknya yaitu bahwa pengenalan setiap manusia, setiap
anggota masyarkat, memiliki suatu potensi yang selalu dapat terus
dikembangkan. artinya, tidak ada masyarakat yang sama sekali tidak
berdaya, karena kalau demikian akan mudah punah.
Pemberdayaan merupakan suatu upaya yang harus diikuti
dengan tetap memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh setiap
masyarakat. dalam rangka itu pula diperlukan langkah-langkah yang
lebih positif selain dari menciptakan iklim dan suasana. perkuatan ini
meliputi langkah-langkah nyata dan menyangkut penyediaan berbagai
masukan (input) serta membuka akses kepada berbagai peluang
(upportunities) yang nantinya dapat membuat masyarakat menjadi
200

Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

semakin berdaya. Pemberdayaan harus berperan untuk mewujudkan
konsep masyarakat belajar atau concept of societal learning dan caranya

adalah dengan mempertemukan top down approach dengan bottomup approach yang pada dasarnya adalah “kontradiktif “. Harus disadari
pemberdayaan masyarakat merupakan proses perubahan struktur
yang harus muncul dari masyarakat, dilakukan oleh masyarakat, dan
hasilnya ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat. proses perubahan
tersebut berlangsung secara alamiah dengan asumsi bahwa setiap
anggota masyarakat sebagai pelaku-pelaku sosial yang ikut dalam
proses perubahan tersebut.
Pengertian pemberdayaan dalam arti luas dapat diterjemahkan
sebagai perolehan kekuatan dan akses terhadap sumberdaya untuk
mencari nakah. pemberdayaan dalam konsep (wacana) politik
menurut Dahl (1963:50) merupakan sebuah kekuatan yang menyangkut
suatu kemampuan seseorang (pihak pertama) untuk mempengaruhi
orang lain (pihak kedua) yang sebenarnya tidak diinginkan oleh pihak
kedua pemberdayaan memerlukan keterlibatan masyarakat secara
aktif. Dalam konteks pemberdayaan, masyarakat harus diberdayakan
untuk merumuskannya sendiri melalui sebuah proses pembangunan
konsensus diantara berbagai individu dan kelompok social yang
memiliki kepentingan dan menanggung resiko langsung (stakeholders)
akibat adanya proses atau intervensi pembangunan, baik pembangunan
ekonomi, sosial maupun lingkungan isik. yang umumnya berisikan

arah, tujuan, cara dan prioritas pembangunan yang akan dilakukan.
Sasaran program yang mengarah pada penduduk miskin dan
perempuan yang kebanyakan menganggur menyebabkan mereka
sadar, yakin dan percaya diri untuk dapat berusaha. dengan begitu,
maka mereka akan berusaha menampilkan apa yang dapat diperbuat
dan diusahakan dan nantinya dapat dikerjakan bersama. berawal
dari hal sederhana seperti itu, maka semangat masyarakat dalam
membangun (walaupun dengan cara dan pemahaman mereka sendiri
sendiri) akan terus berlanjut dan berdayanya masyarakat dalam
artian mandiri dalam membangun tanpa menggantungkan terhadap
pemerintah akan tercapai. kondisi yang seperti itu dalam masyarakat
akan membuat masyarakat merasa nyaman, tenteram sehingga
iklim berusaha (peningkatan pendapatan keluarga) akan terjaga dan
semangat membangun terus terpelihara dalam masyarakat. tersebut
Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

201

tidak terlepas dari peran serta kelompok-kelompok masyarakat yang
harus dan terus didampingi oleh tenaga pendamping program yang

dijalankan.
Pemberdayaan yang akan dilakukan memerlukan langkahlangkah yang riil dalam penanganannya. langkah-langkah yang
diambil dalam mewujudkan tujuan adalah melalui: membentuk iklim
yang memungkinkan masyarakat berkembang. dua hal yang mendasar
dalam membentuk iklim bagi masyarakat adalah dengan cara:
1. Menyadarkan masyarakat dan memberikan dorongan/motivasi
untuk berkembang. Proses menyadarkan masyarakat dilakukan
dengan mengajak masyarakat untuk mengenal wilayahnya melalui
survey dan analisis. proses ini disebut dengan participatory survey
dan participatory analysis. Memotivasi masyarakat dilakukan
dengan mengajak masyarakat untuk menggambarkan dan
merencanakan wilayah, yang disebut dengan participatorydesign
and planning. pendekatan yang dilakukan terhadap masyarakat
secara psikologis akan memberikan rasa ke-berpihak-an kepada
masyarakat.
2. Memperkuat potensi yang ada memperkuat (empowerment)
dilakukan dengan mengorganisasi masyarakat dalam kelompokkelompok/komunitas pembangun, yang selanjutnya dikembangkan
dengan memberikan masukan-masukan/input serta membuka
berbagai peluang-peluang berkembang sehingga masyarakat
semakin berdaya. secara aplikatif empowerment terhadap kelompok

masyarakat bawah dan menengah dilakukan melalui 2 (dua) hal
yaitu:
a. Penguatan akses/accesibilty empowerment. Pada pemberdayaan
kelompok masyarakat empowerment dilakukan melalui
menciptakan aksesa dari kelompok informal kepada kelompok
formal, kelompok yang diberdayakan dengan kelompok
pemberdaya. kebutuhan akan akses ini sangat menentukan share
dan partisipasi antar stakeholders dalam proses pemberdayaan.
b. Penguatan
teknis/technical
empowerment.
Technical
empowerment dilakukan sebagai bagian dari kegiatan advocacy
sehingga dapat diwujudkan peningkatan kapasitas dari
kelompok yang diberdayakan. keterlibatan secara aktif dari
202

Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

masing-masing stakeholders diwujudkan dalam bentuk share
nyata seperti program, pendanaan, dan kebijaksanaan (policy).
Ada beberapa cara pandang yang dapat digunakan dalam
memahami pemberdayaan masyarakat (Sutoro, 2004) yaitu :
1. Pemberdayaan dimaknai dalam konteks menempatkan posisi
berdiri masyarakat. posisi masyarakat bukanlah obyek penerima
manfaat (beneiciaries) yang tergantung pada pemberian dari
pihak luar seperti pemerintah, melainkan dalam posisi sebagai
subyek (agen atau partisipan yang bertindak) yang berbuat secara
mandiri. berbuat secara mandiri bukan berarti lepas dari tanggung
jawab negara. pemberian layanan publik (kesehatan, pendidikan,
perumahan, transportasi dan seterusnya) kepada masyarakat tentu
merupakan tugas (kewajiban) negara secara given. masyarakat yang
mandiri sebagai partisipan berarti terbukanya ruang dan kapasitas
mengembangkan potensi-kreasi, mengontrol lingkungan dan
sumber dayanya sendiri, menyelesaikan masalah secara mandiri,
dan ikut menentukan proses politik di ranah negara. masyarakat
ikut berpartisipasi dalam proses pembangunan dan pemerintahan.
2. Pemberdayaan secara prinsipil berurusan dengan upaya memenuhi
kebutuhan (needs) masyarakat. banyak orang berargumen bahwa
masyarakat akar rumput sebenarnya tidak membutuhkan hal-hal
yang utopis (ngayawara) seperti demokrasi, desentralisasi, good
governance, otonomi daerah, masyarakat sipil dan seterusnya.
“apa betul masyarakat desa butuh demokrasi dan otonomi desa?
masyarakat itu hanya butuh pemenuhan sandang, pangan dan
papan (spp). Ini yang paling dasar tidak ada gunanya bicara
demokrasi kalau rakyat masih miskin. Pendapat ini masuk akal,
tetapi sangat dangkal. Mungkin kebutuhan spp itu akan selesai
kalau terdapat uang yang banyak. tetapi persoalannya sumber daya
untuk pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat itu sangat langka
(scarcity) dan terbatas (cobstrain). Masyarakat tidak mudah bisa
akses pada sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan spp. Karena
itu, pemberdayaan adalah sebuah upaya memenuhi kebutuhan
scarcity dan constrain sumberdaya. Bagaimanapun juga berbagai
sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat bukan
hanya terbatas dan langka, melainkan ada problem struktural
Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

203

(ketimpangan, eksploitasi, dominasi, hegemoni, dan lain-lain) yang
menimbulkan pembagian sumberdaya secara tidak merata. dari sisi
negara, dibutuhkan kebijakan dan program yang memadai, canggih,
pro-poor untuk mengelola sumberdaya yang terbatas itu. Dari sisi
masyarakat, seperti penulis elaborasi kemudian, membutuhkan
partisipasi (voice, akses, ownership dan kontrol) dalam proses
kebijakan dan pengelolaan sumberdaya.
3. Pemberdayaan terbentang dari proses sampai visi ideal. dari
sisi proses, masyarakat sebagai subyek melakukan tindakan
atau gerakan secara kolektif mengembangkan potensi-kreasi,
memperkuat posisi tawar, dan meraih kedaulatan. dari sisi visi ideal,
proses tersebut hendak mencapai suatu kondisi dimana masyarakat
mempunyai kemampuan dan kemandirian melakukan voice, akses
dan kontrol terhadap lingkungan, komunitas, sumberdaya dan
relasi sosial-politik dengan negara. proses untuk mencapai visi
ideal tersebut harus tumbuh dari bawah dan dari dalam masyarakat
sendiri. namun, masalahnya, dalam kondisi struktural yang
timpang masyarakat sulit sekali membangun kekuatan dari dalam
dan dari bawah, sehingga membutuhkan “intervensi” dari luar.
hadirnya pihak luar (pemerintah, LSM, organisasi masyarakat sipil,
organisasi agama, perguruan tinggi, dan lain-lain) ke komunitas
bukanlah mendikte, menggurui, atau menentukan, melainkan
bertindak sebagai fasilitator (katalisator) yang memudahkan,
menggerakkan, mengorganisir, menghubungkan, memberi uang,
mendorong, membangkitkan dan seterusnya. hubungan antara
komunitas dengan pihak luar itu bersifat setara, saling percaya,
saling menghormati, terbuka, serta saling belajar untuk tumbuh
berkembang secara bersama-sama.
4. Pemberdayaan terbentang dari level psikologis-personal (anggota
masyarakat) sampai ke level struktural masyarakat secara kolektif.
pemberdayaan psikologis-personal berarti mengembangkan
pengetahuan, wawasan, harga diri, kemampuan, kompetensi,
motivasi, kreasi, dan kontrol diri individu. Pemberdayaan strukturpersonal berarti membangkitkan kesadaran kritis individu terhadap
struktur sosial-politik yang timpang serta kapasitas individu untuk
menganalisis lingkungan kehidupan yang mempengaruhi dirinya.
pemberdayaan psikologis-masyarakat berarti menumbuhkan rasa
204

Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

memiliki, gotong royong, mutual trust, kemitraan, kebersamaan,
solidaritas sosial dan visi kolektif masyarakat. sedangkan
pemberdayaan struktural-masyarakat berarti mengorganisir
masyarakat untuk tindakan kolektif serta penguatan partisipasi
masyarakat dalam pembangunan dan pemerintahan. pemberdayaan
tidak bisa hanya diletakkan pada kemampuan dan mental diri
individu, tetapi harus diletakkan pada konteks relasi kekuasaan yang
lebih besar, dimana setiap individu berada di dalamnya. mengikuti
pendapat Margot Breton (1994), realitas obyektif pemberdayaan
merujuk pada kondisi struktural yang mempengaruhi alokasi
kekuasaan dan pembagian akses sumberdaya di dalam masyarakat.
dia juga mengatakan bahwa realitas subyektif perubahan pada level
individu (persepsi, kesadaran dan pencerahan), memang penting,
tetapi sangat berbeda dengan hasil-hasil obyektif pemberdayaan:
perubahan kondisi sosial.
5. Pemerintahan dan negara pada intinya hendak membawa negara
lebih dekat ke masyarakat desa, dengan bingkai desentralisasi
(otonomi) desa, demokratisasi desa, good governance desa
dan penguatan capacity building pemerintahan desa. negara
dan pembangunan berbicara tentang peran negara dalam
pembangunan dan pelayanan publik. fokusnya adalah perubahan
haluan pembangunan yang top down menuju bottom up, membuat
pelayanan publik lebih berkualitas dan semakin dekat dengan
masyarakat, serta penanggulangan kemiskinan.
Wilson (1996) memaparkan, bahwa ada empat tahapan dalam
proses pemberdayaan, yaitu :
1. Awakening atau penyadaran, pada tahap ini, masyarakat disadarkan
akan kemampuan, sikap dan keterampilan yang dimilikinya serta
rencana dan harapan mereka akan kondisi yang lebih baik .
2. Understanding, pemahaman, yaitu pemberian pemahaman dan
persepsi baru mengenai diri mereka sendiri, aspirasi mereka dan
keadaan umum lainnya. Proses pemahaman ini meliputi proses
belajar untuk secara utuh menghargai pemberdayaan dan tentang
apa yang dituntut dari mereka oleh komunitas.
3. Harnessing atau memanfaatkan, setelah masyarakat sadar dan

Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

205

mengerti mengenai pemberdayaan, saatnya mereka memutuskan
untuk menggunakannya bagi kepentingan komunitasnya.
4. Using atau menggunakan ketrampilan dan kemampuan
pemberdayaan sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari.
Kearifan lokal adalah suatu pandangan hidup tentang gagasangagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai
baik yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakat serta mampu
menyerap, mengolah kebudayaan asing sesuai watak, kemampuan, dan
mampu bertahan samapai sekarang. Kearifan lokal terbentuk sebagai
keuanggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geograis
dalam arti luas.Keberadaan kearifan lokal memiliki fungsi yaitu untuk
konservasi dan pelestarian sumber daya alam, pengembangan sumber
daya manusia, pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan,
Sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan, bermakna sosial,
bermakna etika dan moral, dan bermakna politik.

Metode Penelitian
Penelitian ini lebih melihat pada masyarakat sebagai objek dan
subjek dalam penelitian ini khususnya yang tinggal di kawasan lahan
basah/gambut baik bersentuhan langsung dengan perkebunan sawit
skala besar, menengah dan kecil maupun kawasan lahan basah yang
murni tidak tergarap dan tergarap pertanian padi sawah, perikanan
dan peternakan. Mengingat masyarakat merupakan objek dan
subjek dalam penelitian ini diaman bersentuhan dengan lingkungan,
perilaku manusia, sosial budaya dan sosial ekonomi masyarakat, maka
pendekatan jenis PRA (participatory research appraisal) sangat tepat
dalam memecahkan persoalan penelitian. Sebab jenis pendekatan
PRA ini mampu mengungkapkan aspek isik maupun non isik serta
menyertakan masyarakat kelompok sasaran dalam proses kegiatan
pemberdayaan dan capacity building pemerintahan desa. Dalam hal
ini informan masyarakat terlibat langsung dalam penelitian baik dalam
pengolahan data, proses hingga tahapan interpretasi termasuk dalam
trangulasi pengumpulan data dan triangulasi peneliti itu sendiri .
Setidaknya pendekatan jenis PRA yang kami gunakan sebagai
bentuk “perlawanan”, dimana selama ini proyek-proyek penelitian
berkaitan dengan komunitas, masyarakat desa khususnya tidak
206

Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

memanusiakan manusia, karena ada pandangan bahwa masalah
masyarakat hanya bisa ditangani oleh kaum professional atau akademisi
peneliti semata. Harapan besar dengan pendekatan PRA ini masyarakat
desa sekitar kawasan lahan basah/gambut memiliki kemampuan
menganalisa keadaan mereka terhadap kondisi yang mereka alami,
dimana hal demikian akan membangun kepekaan dan kesadaran
tentang diri mereka tanpa ada apriori dengan masalah yang dipetakan
oleh kaum professional atau peneliti. Sebab masyarakat sendirilah
yang terlibat mempetakan masalah yang dihadapinya, prosesnya serta
langkah strategis apa yang akan dilakukan dan harapan apa yang akan
dicapai ( Chambers : 1992).
Pendekatan kualitatif PRA berkesuaian dengan maksud penelitian
dalam kerangka meningkatkan potensi fungsi lahan basah/gambut
karena adanya prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Prinsip pemberdayaan; penegasan melibatkan mereka dalam
menganalisa masalah dan mempetakannya masalah mereka sendiri.
2. Prinsip Masyarakat sebagai pelaku; dimana masyarakat objek dan
subjek penelitianlah sebagai pelaku dari penelitian itu, dimana
orang luar hanya sebagai pendamping dan fasilitator.
3. Prinsip terbuka, santai, informal dan praktis; masyarakat tidak
terbebani dalam menganalisa masalah dihadapinya, terlebih
kondisi kemiskinan di kawasan lahan basah/gambut.
4. Prinsip belajar dari kesalahan dan berkelanjutan; masyarakat
terpanggil mengungkapkan kekeliruan yang mereka buat sendiri
untuk terus belajar dan memperbaiki serta melakukan proses
perubahan dengan kesadaran sendiri menjadi lebih baik.

Hasil Penelitian dan Pembahasan
Saat ini tercatat luasan kawasan lahan basah/gambut di Kalimantan
Selatan mencapai 382.272 ha. Lahan basah di Kalimantan Selatan
merupakan daerah cekungan pada dataran rendah yang pada musim
penghujan tergenang tinggi oleh air luapan dari sungai atau kumpulan
air hujan, pada musim kemarau airnya menjadi kering. Pengertian
Lahan basah/gambut sendiri adalah lahan yang secara alami atau
buatan selalu tergenang, baik secara terus-menerus ataupun musiman,
dengan air yang diam ataupun mengalir. Air yang menggenangi lahan
Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

207

basah dapat berupa air tawar, payau dan asin. Tinggi muka air laut yang
menggenangi lahan basah yang terdapat di pinggir laut tidak lebih dari
6 meter pada kondisi surut. Kalimantan selatan merupakan provinsi
yang dijuluki dangan kota seribu sungai, karena banyak sungai yang
mengaliri daerah-daerah di Kalimantan Selatan, sehingga kawasan
lahan basah di daerah ini cukup luas.
Lebih jauh beragamnya agroekologi lahan rawa menyebabkan
beragamnya keanekaragaman hayati termasuk lora dan memungkinkan
tumbuhnya berbagai jenis tanaman, baik tanaman pangan, tanaman
buah-buahan maupun tanaman obat-obatan. Hutan yang digenangi
air bersifat musiman ataupun permanen ini memiliki keanekaragaman
hayati yang sangat kaya. Jenis lora yang sering terlihat memenuhi hutan
perairan ini seperti ramin (Gonystylus sp), terentang (Camnosperma
sp.), durian burung (Durio carinatus), kayu putih (Melaleuca sp), sagu
(Metroxylon sp), pandan, palem-paleman, rotan dan berbagai jenis
lainnya. Sedangkan faunanya yang tidak jauh berbeda dengan yang ada
pada hutan di darat, seperti harimau (Panthera tigris), rusa (Cervus
unicolor), buaya (Crocodylus porosus), Orang utan (Pongo pygmaeus),
babi hutan (Sus scrofa), badak, musang air, gajah dan berbagai jenis
ikan. Jenis hutan rawa gambut pun menjadi hutan pilihan bagi
beragam fauna karena daerah hutan perairan ini terbentuk dari sisasisa hewan dan tumbuhan yang proses penguraiannya sangat lambat
sehingga tanah gambut memiliki kandungan bahan organik yang
sangat tinggi. Berdasarkan sejarah, sudah sejak dulu hutan rawa pun
menjadi penyedia berbagai keperluan hidup bagi berbagai masyarakat
lokal.
Selain itu, sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
hutan rawa menyediakan berbagai jenis sumber daya sebagai bahan
baku industri dan berbagai komoditas perdagangan yang bernilai
ekonomis tinggi yang dapat menambah devisa negara. Dapat dikatakan
secara garis besar, manfaat ekonomis hutan rawa seperti hasil berupa
kayu (kayu konstruksi, tiang/pancang, kayu bakar, arang, serpihan kayu
(chips) untuk bubur kayu), sedangkan hasil bukan kayunya berupa hasil
hutan ikutan (tannin, madu, alkohol, makanan, obat-obatan) maupun
jasa lingkungan (ekowisata). Di sisi lain manfaat ekologis yang dapat
digunakan oleh masyarakat sekitarnya sebagai pelindung lingkungan,
baik bagi lingkungan ekosistem daratan, lautan maupun sebagai habitat
208

Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

berbagai jenis fauna, ini karena hutan rawa mampu memproteksi dari
abrasi, gelombang atau angin kencang, mengendalikan intrusi air laut,
sebagai habitat berbagai jenis fauna, sebagai tempat mencari makan,
memijah dan berkembang biak berbagai jenis ikan, udang dan biota
laut lainnya, sebagai pembangunan lahan melalui proses sedimentasi,
mampu memelihara kualitas air (mereduksi polutan, pencemar air)
hingga sebagai penyerap CO2 dan penghasil O2 yang relatif tinggi
dibandingkan tipe hutan lain.
Selain sebagai sumber cadangan air, hutan rawa dapat menyerap
dan menyimpan kelebihan air dari daerah sekitarnya dan akan
mengeluarkan cadangan air tersebut pada saat daerah sekitarnya kering
atau dengan kata lain banjir dapat dicegah, intrusi air laut ke dalam
air tanah dan sungai pun dapat dihindari. Karena hutan rawa dapat
dijadikan sebagai sumber bahan makanan nabati dan hewani maka
tak jarang keberadaan hutan perairan yang kaya akan lora dan fauna
tersebut dimanfaatkan sebagai sumber mata pencaharian penduduk
sekitarnya. Topograi hutan rawa umumnya datar yang dicirikan
oleh sifat hidrologi yang dipengaruhi oleh diurnal pasang surut, yang
dikenal sebagai lahan rawa pasang surut, atau tergenang melebihi 3
bulan yang dikenal sebagai lahan rawa lebak.
Jelas fungsi hutan rawa maupun lahan basah/gambut dari sudut
ekologis menjadi suatu ekosistem yang unik. Alasannya, di kawasan
hutan rawa dan lahan basah/gambut terpadu empat unsur biologis
yang penting, antara lain daratan, pepohonan, fauna serta ekosistem
itu sendiri. Sehingga, pengelolaan potensi hutan seperti ini harus
tepat dan rasional agar fungsi ekologis dan ekonomisnya dapat
dimanfaatkan secara maksimal. Beberapa justiikasi untuk mengelola
ekosistem hutan rawa secara berkelanjutan adalah hutan perpaduan
antara daratan dan lautan ini merupakan SDA yang dapat dipulihkan
–renewable resources atau low resources yang mempunyai manfaat
ganda (manfaat ekonomis dan ekologis). Hutan rawa mempunyai
nilai produksi primer bersih yang tinggi. Bagaimana tidak, hutan rawa
ternyata mampu menghasilkan energi alternatif biomassa (62,9-398,8
ton per ha), guguran serasah (5,8-25,8 ton/ha/th) dan tiap volume (20
ton/ha/th, 9 m3/ha/th pada hutan tanaman bakau umur 20 tahun).
Besarnya nilai produksi primer ini cukup berarti bagi penggerak rantai
pangan kehidupan berbagai jenis organisme akuatik di pesisir dan
Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

209

kehidupan masyarakat pesisir itu sendiri.
Hutan rawa luasnya relatif kecil bila dibandingkan luas hutan
daratan maupun luasan tipe hutan lainnya, tapi manfaat (ekonomis dan
ekologis) sangatlah penting bagi kelangsungan kehidupan masyarakat
(khususnya masyarakat pesisir). Sedangkan, dipihak lain, ekosistem
hutan rawa bersifat rentan (fragile) terhadap gangguan dan cukup
sulit untuk merehabilitasi kerusakannya. Ekosistem hutan rawa, baik
secara sendiri maupun bersama dengan ekosistem padang lamun dan
terumbu karang di dalamnya berperan penting dalam stabilisasi suatu
ekosistem pesisir, baik secara isik maupun biologis. Dan yang pasti
ekosistem di hutan rawa merupakan sumber yang kaya akan plasma
nutfah yang saat ini sebagaian besar manfaatnya belum tereksplorasi.
Selain ancaman langsung pembangunan, ternyata sumber daya
hutan rawa rentan terhadap aktivitas pembangunan yang terdapat
jauh dari habitatnya. Ancaman dari luar tersebut yang sangat serius
berasal dari pengelolaan daerah aliran sungai yang serampangan
dan meningkatnya pencemaran hasil industri dan domestik (rumah
tangga) yang masuk ke dalam daur hidrologi. Dampak buruk yang
terjadi dari erosi tanah yang parah dan meningkatnya kuantitas serta
kecepatan sedimen endapan di lingkungan hutan rawa adalah kematian
masal (dieback) bakau yang tidak terhindarkan lagi karena lentiselnya
tersumbat oleh sedimen tersebut.
Namun demikian sayangnya, luasan lahan basah/gambut
terus menyempit baik dikarenakan oleh pembangunan perumahan
penduduk maupun ekspansif booming perkebunan kelapa sawit. Ini
bisa dilihat semakin tahun pertumbuhan komiditi sektor pertanian
dan perkebunan yang dikembangkan masyarakat terus menurun.
Lahan yang digunakan dalam rangka memproduksi tanaman pangan
pada umumnya menggunakan lahan sawah yang terdiri dari lahan
basah dan perairan pasang surut. Dengan luas areal produksi (panen)
397.998 ha hasil produksi padi tahun 2004 mencapai 1.403.250
ton. Sedangkan pada tanaman jagung, dengan luas areal produksi
mencapai 15.491 ha, dapat memproduksi jagung sebanyak45.686 ton.
Kacang kedelai dengan luas areal produksi mencapai 4.382 ha dapat
memproduksi 5,423 ton, tanaman singkong dan umbi-umbian merah
dengan luas areal produksi mencapai 7.345 ha dapat memproduksi

210

Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

sebanyak 88.779 ton (BPS Kalsel, 2011). Angka diperkirakan menurun
sekitar rata-rata tiap tahun mencapai 5 hingga 10 %. Justru sebaliknya
meningkat perkebunan kelapa sawit di kawasan lahan basah/gambut
yang semakin ekspansif dan berdampak mematikan lahan basah/
gambut pertanian masyarakat karana faktor ekologis dan dampak
limbah perkebunan sawit dalam skala besar yang berdampingan
dengan pertanian masyarakat.
Pemanfaatan gambut dan lahan gambut ratusan ribu hektar
belakangan ini pun banyak menuai protes dari para pemerhati dan
penggiat lingkungan baik dari dalam negeri maupuan dari luar negeri.
Hal ini tentu didasari oleh kekhawatiran rusaknya lahan gambut sebagai
fungsi ekosistem yang kompleks. Berbagai macam bentuk alih fungsi
menyebabkan terjadinya penurunan (degradasi) fungsi strategis lahan
gambut, sehingga meningkatkan luas kawasan lahan kritis. Seperti
fungsi hidrologis, yang berperan penting pada sistim biosir, yaitu
sebagai sumber karbon, pengendali sirkulasi CO2 dan berpengrauh
besar pada kondisi keseimbangan karbon di atmosir.
Selama ini sistem pengelolaan hutan rawa gambut umumnya tidak
memperhatikan sifat inheren gambut dan melupakan prinsip-prinsip
kelestariannya sehingga berpotensi lahan rawa gambut akan mengalami
kerusakan dan sulit untuk diperbaharui. Terjadinya degradasi fungsi
lahan gambut, salah satunya disebabkan kurangnya pemahaman
terhadap karakteristik gambut dalam kondisi alami. Pengetahuan
tentang keaneka-ragaman karakteristik gambut dalam kondisi masih
alami menjadi sangat diperlukan, agar dapat mengelola dengan bijak
(benar dan tepat) yaitu bermanfaat secara ekonomi dengan tidak
mengesampingkan fungsi lingkungan.
Melihat fakta ini, masyarakat sekitar perkebunan dan tinggal di
kawasan lahan basah/gambut tidak berdaya apa-apa. Kelembagaan
desa seakan menjadi corong memuluskan ekspansi perkebunan
kelapa sawit dengan membuat akte-akte tanah semula tak bertuan
menjadi bertuan untuk melakukan legalisasi kepada pihak perusahaan.
Kebijakan tak terkontrol ini sebenarnya bisa diselesaikan dengan baik
dalam konteks pemanfaatan lahan basah/gambut apabila melibatkan
peran masyarakat dan kelembagaan masyarakat, sehingga masyarakat
memahami bagaimana memperlakukan lahan basah/gambut sesuai

Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

211

peruntukkan dengan cara menolak kebijakan pemerintah yang selama
ini justru mendorong gerakan ekspansif perusahaan.
Pembiaran yang dilakukan pemerintah sebenarnya termasuk
dalam ranah kebijakan dimana berkaitan dengan apa yang dilakukan
dan tidak dilakukan oleh pemerintah (Parson, 2005). Termasuk kasus
pembiaran yang dilakukan warga masyarakat bersama lembaga desa
dan kecamatan dalam mendorong penjualan besar-besaran lahan
produktif dan tidak produktif (tidak digarap karena modal bukan
karena tidak subur) kepada pihak perusahaan. Ketidakberdayaan
masyarakat dalam memanfaatkan potensi lahan basah/gambut
sehingga mereka mampu memperlakukan karakteristik lahan basah/
gambut sesuai peruntukkannya dan tidak merusak ekologis disebabkan
pengetahuan dan kurangnya informasi tentang bahaya dan ancaman
perkebunan kelapa sawit, terlebih mereka menjual lahan pertanian
mereka yang berdampingan dengan lahan kelapa sawit. Kelembagaan
desa tidak mampu menjadi penjembatan informasi kepada warga desa
bahaya dan ancaman ekologis lahan basah/gambut bagi kemaslahatan
pertanian dan perkebunan mereka dimasa akan datang.
Adanya iming-iming dana untuk menjual lahan padahal dengan
harga yang murah menjadikan mereka rela untuk sekalian menjadi
buruh di perkebunan kelapa sawit swasta tanpa ada kebijakan berupa
plasma yang sangat menguntungkan mereka sebagai jaminan kehidupan
selain bekerja di lahan sawah sendiri. Akses informasi dan komunikasi
bagi masyarakat pedesaan menjadi faktor determinan kerawanan
penurunan dan hilangnya potensi kawasan blahan basah/gambut,
selain kebijakan pembiaran oleh pemerintah setempat. Desentralisasi
yang dihajatkan untuk kemandirian daerah dalam rangka meluaskan
kewenangan dalam pengambilan keputusan dan kreatif bagi daerah
dalam mengelola daerahnya nampaknya menjadi malapetaka dalam
memperlakukan lingkungan khususnya keberadaan lahan basah/
gambut di Kalimantan Selatan. Hal ini berhubungan dengan obralnya
perizinan dilakukan oleh Pemerintah Otonom kabupaten/Kota seKalimantan Selatan dan lemahnya daya tawar masyarakat pedesaan
dan lembaga Pemerintah Desa kepada pemegang otoritas di atasnya
selain karena pemahaman terhadap ekosistem lingkungan yang lemah,
tidak memadainya pengetahuan bencana jangka panjang yang akan
dihadapi oleh masyarakat..
212

Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

Lemahnya daya tawar oleh masyarakat pedesaan baik kepada pihak
perusahaan maupun pemegang otoritas pemerintah di atasnya, karena
lemahnya kapasitas kelembagaan yang dimiliki oleh Pemerintahan
Desa. Faktor sumberdaya manusia, dan akses informasi tentang
manajemen dan pengelolaan lahan basah/gambut yang proporsional
diantara masalah yang menjadi persoalan serius. Di samping itu juga
berkaitan dengan partisipasi publik dalam memberikan dorongan
pada kelembagaan menyebabkan kelembagaan yang seharusnya
milik bersama dalam menyelesaikan setiap masalah seakan menjadi
miliki sekelompok orang oligarkhi kekuasaan desa) sehingga hanya
menguntungkan bagi pengambil keputusan dan kelompoknya. Fakta
ini menjadi “ danau madu” bagi perusahaan karena bisa mengendalikan
para pengambil keputusan di lembaga pemerintahan desa untuk
membuat surat-surat dan izin-izin kapling lahan basah/gambut
kepada pihak perusahaan tanpa memperdulikan kelangsungan lahan
basah/gambut yang produktif bagi kepentingan masyarakat pedesaan
dan kepentingan ekologis lahan basah/gambut itu sendiri. Bahkan
dengan ketidakmampuan secara pengetahuan masyarakat tidak
mengetahui jika bencana akan datang setiap saat dan penyempitan
lahan untuk aktivitas kehidupan pertanian dan lain-lain tidak menjadi
pertimbangan yang lebih baik untuk jangka waktu panjang.
Penguatan kapasitas kelembagaan desa baik di Kabupaten Barito
Kuala maupun Kabupaten Banjar adalah sebagai ujung tombak
pemerintahan untuk kepentingan kemandirian desa dalam mengelola
sumberdaya yang dimiliki khususnya desa yang berada di kawasan lahan
basah/gambut tidak mendapatkan perhatian yang khusus. Desa dan
kelembagaannya dibiarkan begitu saja bergerak sendiri tidak terarah
dan menentukan nasib yang tidak jelas, kecuali diperhatikan ketika
menjelang pemilu dan pemilukada. Ini fakta lemahnya pemberdayaan
dan kapasitas kelembagaan desa di Kalimantan Selatan khususnya di
kawasan lahan basah/gambut sehingga memberikan kontribusi bagi
menyempitnya dan berkurangnya potensi fungsi lahan basah/gambut
dan keberlangsungan ekologisnya, sehingga sangat dimungkinkan
bencana seperti banjir, kerusakan lahan, bahkan kabut asap kembali
terulang.

Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

213

Penutup
Kondisi wilayah Kabupaten Barito Kuala dan Kabupaten Banjar
memiliki potensi yang luar biasa karena berpotensi produktif jika
dikelola dengan baik. Domain pemanfaatan lahan adalah untuk
pertanian. Eksistensi kelembagaan desa menjadi sangat dominan dalam
menunjang pelestarian dan peningkatan fungsi kawasan lahan gambut.
Disinilah urgensi komunikasi bencana pada masyarakat, dimana
masyarakat dapat memahami lebih jauh lagi bahwa pemberdayaan
mereka dalam mengelola lahan basah adalah untuk keberlanjutan hidup
dan ekosistem lingkungan, sehingga penguatan kapasitas masyarakat
untuk berdiri ditengah-tengah persoalan dalam mengelola lahan basah
menjadi pertaruhan yang kuat, pesan inilah yang perlu menjadi catatan
penting dalam memanfaatkan dan meningkatkan potensi lahan basah.
Sehingga dari hal tersebut penguatan komunikasi bencana menjadi
jawaban yang perlu dipositioningkan dalam benak masyarakat dibarengi
dengan kebijakan pemetaan kawasan lahan basah yang potensial oleh
pemerintah terutama berkaitan dengan kebijakan dan regulasi makro
maupun mikro dengan melakukan pembatasan pemanfaatan lahan
basah/lahan gambut untuk kepentingan perkebunan kelapa sawait
skala besar yang tidak berbasis masyarakat pertanian dan perkebunan
rakyat agar tidak merusak dan mengganggu ekosistem makro kawasan
lahan basah secara komprehensif.

Datar Pustaka
Arbain, Tauik. (2013). Filsafat Penelitian dan Aplikasi Mixed
Methodologi untuk Kajian Administrasi Publik. Banjarmasin:
Pustaka Banua
BPS, 2012. Kalsel Dalam Angka 2011. BPS Kalsel. Banjarmasin
Chambers, R. (1992). Rural Appraissal, Rapid, Relaxed and Partisipatory.
Inst.Dev.Studies,Univ.of Sussex,England
Hikmat, Harry.(2004). Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Penerbit
Humaniora Utama. Bandung
Huges, E. Owen. (1994). Publik Management and Administration, An
Introduction, he Mac Millan Press Ltd, Great Britain, 1994.
214

Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

Osborn, D and Ted Gabler, 1995, Reinventing Government : How
the Entrepreneurial Spirit is transforming the Publik Sector.
Kartasasmita, Ginanjar. (1996). Pemberdayaan Masyarakat; Konsep
Pembangunan yang berakar dari Masyarakat. Jakarta. Bappenas.
Laksono, dkk. (2002). Pemberdayaan Masyarakat dalam Meningkatkan
Kesejahteraan yang Berperspektif Lingkungan : Studi Ekologi
Budaya Kawasan HutanMangrove/ Lahan Basah Di Jawa
Tengah Dan Kalimantan Timur. Hasil Penelitian.Lemlit UGM.
Yogyakarta
Levang, Patrice. (2000). Ayo ke Seberang. Transmigrasi di Indonesia.
Yogyakarta; Pustaka Pelajar
Parsons, Wayne. (2005). Public Policy. Pengantar Teori dan Praktek
Analisis Kebijakan. Jakarta: Kencana.
Pranaji, Tri (2005) Pemberdayaan Kelembagaan dan Pembedayaan
Sumberdaya lahan dan air. Kertas kerja. Jakarta
Rogers, Steve. (1990). Performance Management in Local Government.
Jessica
Srinajiyati, dkk. (2005). Pemberdayaan Masyarakat di Lahan Gambut.
Jakarta: Wetlands International - Indonesia Programme.
Sumodiningrat, Gunawan. (1996). Pemberdayaan Masyarakat dan
Jaring Pengaman Sosial. Jakarta. Gramedia.
Sunyoto, Usman .(2004). Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat,
Pustaka Pelajar.

Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

215