BAB II Thio Aditya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Penelitian tentang “Pengaruh Investment Opportunity Set, Komisaris Independen, Kepemilikan Manajerial, Ukuran Perusahaan Dan Leverage Terhadap Kualitas Laba Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia Periode 2008-2012” membutuhkan kajian teori sebagai berikut:

2.1 Investment Opportunity Set

  IOS didefinisikan sebagai kombinasi antara aktiva yang dimiliki (assets in place) dan pilihan investasi dimasa yang akan datang dengan

  

netpreset value positif (Chasanah, 2009). Kallapur dan Trombley (dalam

  Rachmawati dan Triatmoko, 2007) menyatakan bahwa kesempatan investasi perusahaan merupakan komponen penting dari nilai pasar. Hal ini disebabkan

  Investment Opportunity Set (IOS) atau set kesempatan investasi dari suatu

  perusahaan mempengaruhi cara pandang manajer, pemilik, investor dan kreditor terhadap perusahaan.

  Secara umum IOS dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok berdasarkan faktor-faktor yang digunakan dalam mengukur nilai-nilai IOS tersebut. Klasifikasi IOS tersebut adalah sebagai berikut (Kumar, 2007):

  1. Proksi berdasarkan harga, proksi ini percaya pada gagasan bahwa prospek yang tumbuh dari suatu perusahaan sebagian dinyatakan dalam harga pasar. Perusahaan yang tumbuh akan mempunyai nilai pasar yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan aktiva riilnya (assets in place).

  8

  2. Proksi berdasarkan investasi, proksi ini percaya pada gagasan bahwa satu level kegiatan investasi yang tinggi berkaitan secara posistif pada nilai IOS suatu perusahaan. Kegiatan investasi ini diharapakan dapat memberikan peluang investasi di masa berikutnya yang semakin besar pada perusahaan yang bersangkutan.

  3. Proksi berdasarkan varian, proksi ini percaya pada gagasan bahwa suatu opsi akan menjadi lebih bernilai jika menggunakan variabilitas ukuran untuk memperkirakan besarnya opsi yang tumbuh, seperti variabilitas return yang mendasari peningkatan aktiva.

2.2 Komisaris Independen

  Komposisi dewan komisaris merupakan salah satu karakteristik dewan yang berhubungan dengan kandungan informasi laba. Melalui perannya dalam menjalankan fungsi pengawasan, komposisi dewan dapat mempengaruhi pihak manajemen dalam menyusun laporan keuangan sehingga dapat diperoleh suatu laporan laba yang berkualitas (Boediono, 2005).

  Adanya komisaris independen diharapkan mampu meningkatkan peran dewan komisaris sehingga tercipta good corporate governance di dalam perusahaan. Manfaat corporate governance akan dilihat dari premium yang bersedia dibayar oleh investor atas ekuitas perusahaan (harga pasar). Jika ternyata investor bersedia membayar lebih mahal, maka nilai pasar perusahaan yang menerapkan good corporate governance juga akan lebih tinggi dibanding perusahaan yang tidak menerapkan atau mengungkapkan praktek good corporate governance mereka (Kusumawati dan Riyanto, 2005).

  Siallagan dan Machfoedz (2006) menggunakan proporsi komisaris independen untuk mengetahui pengaruhnya terhadap kualitas laba yang diukur dengan discretionary accruals dan nilai perusahaan yang diukur dengan Tobin’s Q, menemukan bahwa proporsi komisaris independen berpengaruh secara negatif terhadap kualitas laba, sedangkan berpengaruh secara positif terhadap nilai perusahaan.

  Agar dewan komisaris dapat menjalankan tanggung jawab tersebut secara efektif, maka dewan perlu dapat melakukan penilaian yang obyektif dan independen. Selain itu, tanggung jawab lain yang tidak kalah penting yaitu memastikan bahwa perusahaan selalu mematuhi ketentuan peraturan hukum yang berlaku, terutama di bidang perpajakan, persaingan usaha, perburuhan, dan lingkungan hidup. Dewan perlu memiliki akuntabilitas terhadap perusahaan dan pemegang saham serta bertindak yang terbaik untuk kepentingan mereka. Dewan juga diharapkan bertindak secara adil kepada pemangku kepentingan (stakeholder) lainnya, seperti kepada karyawan, kreditur, pelanggan, pemasok dan masyarakat sekitar perusahaan (BAPEPAM, 2006).

2.3 Kepemilikan Manajerial

  Kepemilikan manajerial merupakan kepemilikan saham oleh manajemen perusahaan yang diukur dengan persentase jumlah saham yang dimiliki oleh manajemen. Semakin besar kepemilikan manajemen dalam perusahaan maka manajemen akan cenderung untuk berusaha meningkatkan kinerjanya untuk kepentingan pemegang saham dan untuk kepentingan dirinya sendiri (Siallagan dan Machfoedz, 2006).

  Pemahaman terhadap kepemilikan perusahaan sangat penting karena berkaitan dengan pengendalian operasional perusahaan. Dari sudut pandang teori akuntansi, manajemen laba sangat ditentukan oleh motivasi manajer perusahaan. Motivasi yang berbeda akan menghasilkan besaran manajemen laba yang berbeda, seperti antara manajer yang juga sekaligus sebagai pemegang saham dan manajer yang tidak sebagai pemegang saham. Hal ini sesuai dengan sistem pengelolaan perusahaan dalam dua kriteria: (a) perusahaan dipimpin oleh manajer dan pemilik (owner-manager); dan (b) perusahaan yang dipimpin oleh manajer dan non pemilik (non owners-manager). Dua kriteria ini akan mempengaruhi manajemen laba, sebab kepemilikan seorang manajer akan ikut menentukan kebijakan dan pengambilan keputusan terhadap metode akuntansi yang diterapkan pada perusahaan yang mereka kelola. Secara umum dapat dikatakan bahwa persentase tertentu kepemilikan saham oleh pihak manajemen cenderung mempengaruhi tindakan manajemen laba (Boediono, 2005).

2.4 Ukuran Perusahaan

  Ukuran perusahaan dapat didefinisikan sebagai upaya penilaian besar atau kecilnya sebuah perusahaan. Pada umumnya penelitian di Indonesia menggunakan total aktiva atau total penjualan sebagai proksi dari ukuran perusahaan. Ukuran perusahaan akan sangat penting bagi investor dan kreditor karena akan berhubungan dengan resiko investasi yang dilakukan. Rachmawati dan Triatmoko (2007) menyebutkan bahwa perusahaan yang memiliki total aktiva besar menunjukkan bahwa perusahaan tersebut telah mencapai tahap kedewasaan dimana dalam tahap ini arus kas perusahaan sudah positif dan dianggap memiliki prospek yang baik dalam jangka waktu yang relatif lebih lama.

  Choutrou et al. (dalam Pujiningsih, 2011) menemukan bahwa ukuran perusahaan di Amerika Serikat berpengaruh negatif terhadap manajemen laba.

  Perusahaan yang lebih besar kurang memiliki dorongan untuk melakukan manajemen laba dibandingkan perusahaan kecil. Sedangkan penelitian di Indonesia oleh Siregar dan Utama (2005) menemukan bahwa ukuran perusahaan yang diukur dengan menggunakan natural logaritma nilai pasar ekuitas perusahaan pada akhir tahun berpengaruh signifikan negatif terhadap besaran pengelolaan laba, artinya semakin besar ukuran perusahaan semakin kecil besaran pengelolaan labanya.

  Ukuran perusahaan merupakan nilai yang menunjukkan besar kecilnya perusahaan. Terdapat berbagai proksi yang biasanya digunakan untuk mewakili ukuran perusahaan, yaitu jumlah karyawan, total aset, jumlah penjualan, dan kapitalisasi pasar. Semakin besar aset maka semakin banyak modal yang ditanam, semakin banyak penjualan maka semakin banyak perputaran uang dan semakin besar kapitalisasi pasar maka semakin besar pula ia dikenal dalam masyarakat (Sudarmadji dan Sularto, 2007).

  Perusahaan yang berukuran besar biasanya memiliki peran sebagai pemegang kepentingan yang lebih luas. Hal ini membuat berbagai kebijakan perusahaan besar akan memberikan dampak yang besar terhadap kepentingan publik dibandingkan perusahaan kecil. Perusahaan yang besar lebih diperhatikan oleh masyarakat sehingga mereka lebih berhati-hati dalam melakukan pelaporan keuangan, sehingga berdampak perusahaan tersebut harus melaporkan kondisinya lebih akurat (Ningsaptiti, 2010).

2.5 Leverage

  Leverage adalah rasio total hutang dibandingkan total aset. Rasio leverage menunjukkan risiko yg dihadapi perusahaan. Semakin besar risiko

  yang dihadapi oleh perusahaan maka ketidakpastian untuk menghasilkan laba dimasa depan juga akan meningkat. Leverage biasanya dijadikan proksi dari hutang perusahaan. Hutang merupakan perjanjian antara perusahaan sebagai debitur dengan kreditur. Dalam perjanjian hutang ini, ada kepentingan perusahaan untuk dinilai positif oleh kreditur dalam hal kemampuan membayar hutangnya. Terdapat kemungkinan bahwa adanya perjanjian kontrak hutang memicu manajemen untuk meningkatkan laba dengan tujuan memperlihatkan kinerja positif pada kreditur sehingga memperoleh suntikan dana atau untuk memperoleh penjadwalan kembali pembayaran hutang (Verawati, 2012).

   Leverage merupakan rasio antara total kewajiban dengan total asset.

  Semakin besar rasio leverage, berarti semakin tinggi nilai utang perusahaan. Sejalan dengan yang dikemukakan oleh Watts dan Zimmerman (dalam Indriyani, 2010), dalam hipotesis debt covenant bahwa motivasi debt covenant disebabkan oleh munculnya perjanjian kontrak antara manajer dengan perusahaan yang berbasis kompensasi manajerial. Dengan demikian, perusahaan yang mempunyai rasio leverage yang tinggi, berarti proporsi hutangnya lebih tinggi dibandingkan dengan proporsi aktivanya akan cenderung melakukan manipulasi dalam bentuk manajemen laba.

2.6 Kualitas Laba

  Laba merupakan salah satu indikator utama untuk mengukur kinerja dan pertanggungjawaban manajemen. Informasi laba juga dapat dijadikan panduan dalam melakukan investasi yang membantu investor ataupun pihak lain dalam menilai kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba dimasa yang akan datang. Selain itu, laba pada umumnya dipandang sebagai dasar untuk perpajakan, pembayaran dividen dan pengambilan keputusan. Adanya kecenderungan untuk memperhatikan laba ini disadari oleh manajemen, khususnya manajer yang kinerjanya diukur berdasarkan informasi laba tersebut (Verawati, 2012).

  Laba yang tidak menunjukkan informasi yang sebenarnya tentang kinerja manajemen dapat menyesatkan pihak pengguna laporan. Jika laba seperti ini digunakan oleh investor untuk membentuk nilai pasar perusahaan, maka laba tidak dapat menjelaskan nilai pasar perusahaan yang sebenarnya.

  Bagi investor, laporan laba dianggap mempunyai informasi untuk menganalisis saham yang diterbitkan oleh emiten (Boediono, 2005).

  Laporan laba memiliki dua peranan. Pertama, sebagai atribut dasar (fundamental attributes), dan kedua sebagai atribut pelaporan keuangan (financial reporting attributes). Laba fundamental (fundamental earnings) adalah ukuran profitabilitas akuntansi yang mengukur kemampuan perusahaan untuk membayar dividen di masa depan. Pada sisi lain, laba yang dilaporkan (reported earnings) merupakan pertanda kurang baik yang harus diumumkan oleh perusahaan. Kualitas laba menunjuk pada seberapa cepat dan tepat laba yang dilaporkan mengungkapkan laba fundamental. Semakin tinggi kualitas laba, maka semakin cepat dan tepat laba yang dilaporkan menyampaikan nilai sekarang dari dividen yang diharapkan. Kualitas laba menjadi perhatian para pengguna laporan keuangan Karena laba berperan penting dalam pembuatan perjanjian dan keputusan investasi (Yee, dalam Susanti dkk, 2010).

  Schipper dan Vincent (dalam Andriyani, 2011) mengelompokkan konstruk kualitas laba dan pengukurannya berdasarkan cara menentukan kualitas laba, yaitu berdasarkan: sifat runtun-waktu dari laba, karakteristik kualitatif dalam kerangka konseptual, hubunganlaba-kas-akrual, dan keputusan implementasi. Empat kelompok penentuan kualitas laba ini dapat diikhtisarkan sebagai berikut:

  1. Pertama, berdasarkan sifat runtun-waktu laba, kualitas laba meliputi: persistensi, prediktabilitas (kemampuan prediksi), dan variabilitas. Atas dasar persistensi, laba yang berkualitas adalah laba yang persisten yaitu laba yang berkelanjutan, lebih bersifat permanen dan tidak bersifat transitori. Persistensi sebagai kualitas laba ini ditentukan berdasarkan perspektif kemanfaatannya dalam pengambilan keputusan khususnya dalam penilaian ekuitas. Kemampuan prediksi menunjukkan kapasitas laba dalam memprediksi butir informasi tertentu, misalnya laba di masa datang. Dalam hal ini, laba yang berkualitas tinggi adalah laba yang mempunyai kemampuan tinggi dalam memprediksi laba di masa datang.

  Berdasarkan konstruk variabilitas, laba berkualitas tinggi adalah laba yang mempunyai variabilitas relatif rendah atau laba yang smooth.

  2. kualitas laba didasarkan pada hubungan laba-kas-akrual yang dapat diukur dengan berbagai ukuran, yaitu: rasio kas operasi dengan laba, perubahan akrual total, estimasi abnormal/ discretionary accruals (akrual abnormal/ kebijakan), dan estimasi hubungan akrual-kas. Dengan menggunakan ukuran rasio kas operasi dengan laba, kualitas laba ditunjukkan oleh kedekatan laba dengan aliran kas operasi. Laba yang semakin dekat dengan aliran kas operasi mengindikasi laba yang semakin berkualitas.

  Dengan menggunakan ukuran perubahan akrual total, laba berkualitas adalah laba yang mempunyai perubahan akrual total kecil. Pengukuran ini mengasumsikan bahwa perubahan total akrual disebabkan oleh perubahan

  discretionary accruals . Estimasi discretionary accruals dapat diukur

  secara langsung untuk menentukan kualitas laba. Semakin kecil discretionary accruals semakin tinggi kualitas laba dan sebaliknya.

  Selanjutnya, keeratan hubungan antara akrual dan aliran kas juga dapat digunakan untuk mengukur kualitas laba. Semakin erat hubungan antara akrual dan aliran kas, semakin tinggi kualitas laba.

  3. kualitas laba dapat didasarkan pada Konsep Kualitatif Rerangka

  Konseptual. Laba yang berkualitas adalah laba yang bermanfaat dalam pengambilan keputusan yaitu yang memiliki karakteristik relevansi, reliabilitas, dan komparabilitas/konsistensi. Pengukuran masing-masing kriteria kualitas tersebut secara terpisah sulit atau tidak dapat dilakukan.

  Oleh sebab itu, dalam penelitian empiris koefisien regresi harga dan return saham pada laba (dan ukuran-ukuran terkait yang lain misalnya aliran kas) diinterpretasi sebagai ukuran kualitas laba berdasarkan karakteristik relevansi dan reliabilitas.

  4. kualitas laba berdasarkan keputusan implementasi meliputi dua pendekatan. Dalam pendekatan pertama, kualitas laba berhubungan negatif dengan banyaknya pertimbangan, estimasi, dan prediksi yang diperlukan oleh penyusun laporan keuangan. Semakin banyak estimasi yang diperlukan oleh penyusun laporan keuangan dalam mengimplementasi standar pelaporan, semakin rendah kualitas laba, dan sebaliknya. Dalam pendekatan kedua, kualitas laba berhubungan negatif dengan besarnya keuntungan yang diambil oleh manajemen dalam menggunakan pertimbangan agar menyimpang dari tujuan standar (manajemen laba).

  Manajemen laba yang semakin besar mengindikasi kualitas laba yang semakin rendah, dan sebaliknya.

2.7 Kerangka Pemikiran

  Kualitas laba perusahaan tidak terlepas dari konflik keagenan. Ketika pemilik (prinsipal) mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada manajemen (agen) maka manajemen memiliki informasi yang lebih luas dibandingkan dengan pemilik (asimetri informasi). Untuk meningkatkan kualitas laba, dengan membatasi tindakan manajemen laba, diperlukan suatu mekanisme pengawasan atas tindakan manajemen tersebut. Mekanisme pengawasan tersebut dikenal dengan istilah corporate governance (Susanto dan Siregar, 2011).

  Istilah Corporate Governance dapat didefinisikan dari berbagai disiplin ilmu (Turnbull, dalam BAPEPAM, 2006); misalnya hukum, phiskologi, ekonomi, manajemen, keuangan, akuntansi, filsafat bahkan dalam disiplin ilmu agama. Oleh karena itu seringkali kita melihat beberapa pakar mendenifisikan Corporate Governance secara eksplisit berbeda.

  Selain hal tersebut kesempatan investasi perusahaan juga merupakan komponen penting dari nilai pasar. Hal ini disebabkan Investment Opportunity

  

Set (IOS) atau set kesempatan investasi dari suatu perusahaan mempengaruhi cara pandang manajer, pemilik, investor dan kreditor terhadap perusahaan Kallapur dan Trombley (dalam Rachmawati dan Triatmoko, 2007).

  Perusahaan yang memiliki total aktiva besar menunjukkan bahwa perusahaan tersebut telah mencapai tahap kedewasaan dimana dalam tahap ini arus kas perusahaan sudah positif dan dianggap memiliki prospek yang baik dalam jangka waktu yang relatif lebih lama Rachmawati dan Triatmoko (2007). Leverage adalah rasio total hutang dibandingkan total aset. Rasio

  

leverage menunjukkan risiko yg dihadapi perusahaan. Semakin besar risiko

  yang dihadapi oleh perusahaan maka ketidakpastian untuk menghasilkan laba dimasa depan juga akan meningkat (Verawati, 2012).

  Penelitian yang dilakukan oleh Rachmawati dan Triatmoko (2007) menemukan bukti bahwa IOS berpengaruh positif terhadap discretionary

  

accrual (kualitas laba) sehingga bisa dikatakan IOS yang meningkat dapat

  membuat kualitas laba menurun. IOS berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan. Keberadaan komite audit dan komposisi komisaris independen tidak berpengaruh terhadap discretionary accrual (kualitas laba). Keberadaan komite audit dan komposisi komisaris independen tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Kepemilikan institusional dan kepemilikan manajerial tidak berpengaruh terhadap kualitas laba (discretionary accrual) tetapi berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Variabel kontrol : Ukuran KAP berpengaruh negatif (positif) terhadap discretionary accruals (kualitas laba) tetapi tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Leverage dan ukuran perusahaan tidak berpengaruh terhadap kualitas laba tetapi keduanya berpengaruh terhadap nilai perusahaan.

  Berdasarkan uraian diatas maka kerangka penelitian ini dapat disusun sebagai berikut:

  IOS H

  2 Komisaris

  H

  3 Independen

  H

  1 Kepemilikan Kualitas Laba

  H

  

4

Manajerial

  H

  

5

Ukuran

  Perusahaan H

  

6

Leverage

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran

2.8 Hipotesis

  H

  1 : investment opportunity set, komisaris independen, kepemilikan

  manajerial, ukuran perusahaan dan leverage berpengaruh signifikan terhadap kualitas laba.

  H : investment opportunity set berpengaruh signifikan terhadap kualitas

  2 laba.

  H 3 : komisaris independen berpengaruh signifikan terhadap kualitas laba. H 4 : kepemilikan manajerial berpengaruh signifikan terhadap kualitas laba.

  H 5 : ukuran perusahaan berpengaruh signifikan terhadap kualitas laba. H 6 : leverage berpengaruh signifikan terhadap kualitas laba.