Aditya Budi Susana BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori 1. Patient Safety

  a. Pengertian Patient Safety Keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman. Sistem tersebut meliputi: assessment resiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan resiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya resiko. Sistem tersebut diharapkan dapat mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan (Depkes, 2006).

  Patient safety (keselamatan pasien) adalah suatu sistem dimana

  rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman. Patient safety merupakan assessment resiko, identifikasi yang berhubungan dengan resiko pasien, pelaporan dan analisa insiden. Kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjut serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya resiko. Sistem ini mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu

  13 tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya dilakukan (Permenkes RI No 1691, 2011).

  Sasaran keselamatan pasien diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1691/MENKES/PER/VIII/2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit, BAB IV pasal 8. Dalam pelaksanaannya, Keselamatan Pasien di Rumah Sakit mengacu pada enam sasaran (Six Goals Patient Safety) yaitu : 1) Ketepatan identifikasi pasien 2) Meningkatkan komunikasi efektif 3) Peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai 4) Kepastian tepat lokasi, tepat prosedur, tepat pasien operasi 5) Pengurangan resiko infeksi terkait pelayanan kesehatan 6) Pengurangan pasien resiko jatuh

  b. Tujuan Patient Safety Adapun tujuan dari keselamatan pasien di rumah sakit diantaranya adalah :

  1) Terciptanya budaya keselamatan pasien di rumah sakit 2) Meningkatnya akuntabilitas rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat 3) Menurunnya kejadian tidak diharapkan (KTD) di rumah sakit 4) Terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan kejadian tidak diharapkan.

  WHO Collaborating Center For Patien Safety (2007),

  menetapkan 9 (sembilan) solusi life saving keselamatan pasien rumah sakit yang disusun oleh lebih dari 100 negara dengan mengidentifikasi dan mempelajari berbagai masalah keselamatan pasien. Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) mendorong seluruh Rumah Sakit se-Indonesia untuk menerapkan sembilan solusi keselamatan rumah sakit baik secara langsung maupun bertahap. Adapun sembilan solusi keselamatan pasien tersebut adalah: 1) Perhatikan Nama Obat, Rupa dan Ucapan Mirip (Look-Alike, Sound-Alike Medication Names) .

  Nama Obat Rupa dan Ucapan Mirip (NORUM), yang membingungkan staf pelaksana adalah salah satu penyebab yang paling sering dalam kesalahan obat (medication error) dan ini merupakan suatu keprihatinan di seluruh dunia. Dengan puluhan ribu obat yang ada saat ini di pasaran, maka sangat signifikan potensi terjadinya kesalahan akibat bingung terhadap nama merek atau generik serta kemasan. Solusi NORUM ditekankan pada penggunaan protokol untuk pengurangan resiko dan memastikan terbacanya resep, label, atau penggunaan perintah yang dicetak lebih dulu, maupun pembuatan resep secara elektronik.

  2) Pastikan Identifikasi Pasien.

  Kegagalan yang meluas dan terus menerus untuk mengidentifikasi pasien secara benar sering mengarah kepada kesalahan pengobatan, tranfusi maupun pemeriksaan, pelaksanaan prosedur yang keliru orang dan sebagainya. Rekomendasi ditekankan pada metode untuk verifikasi terhadap identitas pasien, termasuk keterlibatan pasien dalam proses ini; standarisasi dalam metode identifikasi di semua rumah sakit dalam suatu sistem layanan kesehatan; dan partisipasi pasien dalam konfirmasi ini; serta penggunaan protokol untuk membedakan identifikasi pasien dengan nama yang sama. Identifikasi untuk pasien rawat inap yaitu: a) Perawat memeriksa kesesuaian identitas dan kondisi pasien dengan data identitas di Rekam Medis.

  b) Pemasangan gelang identitas pada pasien. Isi data pada gelang adalah nama pasien, nomer Rekam Medis, dan tanggal lahir pasien.

  c) Pemberian gelang tambahan untuk pasien riwayat alergi.

  d) Pemberian gelang tambahan untuk pasien resiko jatuh.

  e) Papan identitas bertuliskan nama ruangan, tanggal masuk, dan nama dokter penanggung jawab pasien.

  f) Papan identitas ditulis dan diletakkan di bed/ruang bilik pasien.

  g) Perawat memisahkan obat antar pasien dengan memberikan nama label kotak obat dan alamat rumah pasien.

  h) Seluruh petugas medis dan paramedis harus menanyakan identitas pasien dengan melihat gelang identitas pasien sebelum melakukan tindakan medis pemberian tranfusi darah/produk darah, pengambilan sampel darah, ataupun pemberian obat. i) Sebelum pasien pulang dilakukan pengecekan gelang identitas pasien dan dilakukan pelepasan gelang.

  3) Komunikasi secara benar saat serah terima/pengoperan pasien.

  Kesenjangan dalam komunikasi saat serah terima/pengoperan pasien antara unit-unit pelayanan, dan didalam serta antar tim pelayanan, bisa mengakibatkan terputusnya kesinambungan layanan, pengobatan yang tidak tepat, dan potensial dapat mengakibatkan cedera terhadap pasien. Rekomendasi ditujukan untuk memperbaiki pola serah terima pasien termasuk penggunaan protokol untuk mengkomunikasikan informasi yang bersifat kritis; memberikan kesempatan bagi para praktisi untuk bertanya dan menyampaikan pertanyaan-pertanyaan pada saat serah terima; melibatkan para pasien serta keluarga dalam proses serah terima. 4) Pastikan tindakan yang benar pada sisi tubuh yang benar.

  Penyimpangan pada hal ini seharusnya sepenuhnya dapat dicegah. Kasus-kasus dengan pelaksanaan prosedur yang keliru atau pembedahan sisi tubuh yang salah sebagian besar adalah akibat dan miskomunikasi dan tidak adanya informasi atau informasinya tidak benar. Faktor yang paling banyak kontribusinya terhadap kesalahan- kesalahan macam ini adalah tidak ada atau kurangnya proses pra- bedah yang distandardisasi. Rekomendasinya adalah untuk mencegah jenis-jenis kekeliruan yang tergantung pada pelaksanaan proses verifikasi prapembedahan; pemberian tanda pada sisi yang akan dibedah oleh petugas yang akan melaksanakan prosedur; dan adanya tim yang terlibat dalam prosedur, sesaat sebelum memulai prosedur untuk mengkonfirmasikan identitas pasien, prosedur dan sisi yang akan dibedah.

  5) Kendalikan cairan elektrolit pekat (concentrated) Sementara semua obat-obatan, biologics, vaksin dan media kontras memiliki profil resiko, cairan elektrolit pekat yang digunakan untuk injeksi khususnya adalah berbahaya. Rekomendasinya adalah membuat standardisasi dari dosis, unit ukuran dan istilah; dan pencegahan atas campur aduk/bingung tentang cairan elektrolit pekat yang spesifik. 6) Pastikan akurasi pemberian obat pada pengalihan pelayanan.

  Kesalahan medikasi terjadi paling sering pada saat transisi/pengalihan. Rekonsiliasi (penuntasan perbedaan) medikasi adalah suatu proses yang didesain untuk mencegah salah obat (medications error) pada titik-titik transisi pasien. Rekomendasinya adalah menciptakaan suatu daftar yanng paling lengkap dan akurat dan seluruh medikasi yang sedang diterima pasien juga disebut sebagai

  “home medication list”, sebagai perbandingan dengan

  daftar saat administrasi, penyerahan dan/ atau perintah pemulangan bilamana menuliskan perintah medikasi; dan komunikasikan daftar tersebut kepada petugas layanan yang berikut dimana pasien akan ditransfer atau dilepaskan.

  7) Hindari salah kateter dan salah sambung selang (tube).

  Selang, kateter, dan spuit (syringe) yang digunakan harus didesain sedemikian rupa agar mencegah kemungkinan terjadinya KTD (Kejadian Tidak Diharapkan) yang bisa menyebabkan cedera atas pasien melalui penyambungan selang dan spuit yang salah, serta memberikan medikasi atau cairan melalui jalur yang keliru. Rekomendasinya adalah menganjurkan perlunya perhatian atas medikasi secara detail/rinci bila sedang mengerjakan pemberian medikasi serta pemberian makan (misalnya selang yang benar, dan bilamana menyambung alat-alat kepada pasien (misalnya menggunakan sambungan dan selang yang benar). 8) Gunakan alat injeksi sekali pakai

  Salah satu keprihatinan global terbesar adalah penyebaran HIV, HBV, dan HCV yang diakibatkan oleh pakai ulang (reuse) dari jarum suntik. Rekomendasinya adalah perlunya melarang pakai ulang jarum di fasilitas layanan kesehatan; pelatihan periodik para petugas di lembaga-lembaga layanan kesehatan khususnya tentang prinsip-prinsip pengendalian infeksi, edukasi terhadap pasien dan keluarga mereka mengenai penularan infeksi melalui darah; dan praktek jarum suntik sekali pakai yang aman. 9) Tingkatkan kebersihan tangan (hand hygiene) untuk pencegahan infeksi nosokomial

  

Diperkirakan bahwa pada setiap saat lebih dari 1,4 juta

  orang di seluruh dunia menderita infeksi yang diperoleh di rumah sakit. Kebersihan tangan yang efektif adalah ukuran preventif yang primer untuk menghindarkan masalah ini. Rekomendasinya adalah mendorong implementasi penggunaan cairan, seperti alkohol, hand-

  rubs , yang disediakan pada titik-titik pelayanan, tersedianya sumber

  air pada semua kran, pendidikan staf mengenai teknik kebersihan tangan yang benar, mengingatkan penggunaan tangan bersih di tempat kerja; dan pengukuran kepatuhan penerapan kebersihan tangan melalui pemantauan/observasi dan teknik yang lain.

2. Budaya Kerja

  a. Pengertian Budaya Kerja Definisi budaya kerja erat kaitanya dengan budaya itu sendiri.,

  Menurut Burnett (dalam Ndraha 2006), budaya mempunyai pengertian teknografis yang luas meliputi ilmu pengetahuan, keyakinan, seni, moral, hukum, adat istiadat dan berbagai kemampuan dan kebiasaan lainnya yang didapat sebagai anggota masyarakat. Sedangkan menurut Sathe (dalam Ndraha 2006), budaya adalah seperangkat asumsi penting yang dimiliki bersama anggota masyarakat.

  Budaya kerja adalah suatu falsafah yang didasari oleh pandangan hidup sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan dan kekuatan pendorong, membudaya dalam kehidupan suatu kelompok masyarakat atau organisasi, kemudian tercermin dari sikap menjadi perilaku, kepercayaan, cita-cita, pendapat dan tindakan yang terwujud sebagai kerja atau bekerja. Melaksanakan budaya kerja mempunyai arti yang sangat dalam, karena akan merubah sikap dan perilaku sumber daya manusia untuk mencapai produktivitas kerja yang lebih tinggi dalam menghadapi tantangan masa depan (Triguna, 2005).

  Wolseley dan Camplbell dalam Triguna (2005) menyatakan bahwa orang yang terlatih dalam kelompok budaya kerja akan mempunyai sikap: 1) Menyukai kebebasan, pertukaran pendapat, dan terbuka bagi gagasan-gagasan baru dan fakta baru dalam usahanya untuk mencari kebenaran;

  2) Memecahkan permasalahan secara mandiri dengan bantuan keahliannya berdasarkan metode ilmu pengetahuan, pemikiran yang kreatif, dan tidak menyukai penyimpangan dan pertentangan;

  3) Berusaha menyesuaikan diri antara kehidupan pribadinya dengan kebiasaan sosialnya; 4) Mempersiapkan dirinya dengan pengetahuan umum dan keahlian- keahlian khusus dalam mengelola tugas atau kewajiban dalam bidangnya;

  5) Memahami dan menghargai lingkungannya; 6) Berpartisipasi dengan loyal kepada kehidupan rumah tangga, masyarakat dan organisasinya serta penuh rasa tanggung jawab.

  b. Terbentuknya Budaya Kerja Budaya kerja berbeda antara organisasi satu dengan yang lainnya, hal itu dikarenakan landasan dan sikap perilaku yang dicerminkan oleh setiap orang dalam organisasi berbeda. Budaya kerja yang terbentuk secara positif akan bermanfaat karena setiap anggota dalam suatu organisasi membutuhkan sumbang saran, pendapat bahkan kritik yang bersifat membangun dari ruang lingkup pekerjaaannya demi kemajuan di lembaga pendidikan tersebut, namun budaya kerja akan berakibat buruk jika pegawai dalam suatu organisasi mengeluarkan pendapat yang berbeda hal itu dikarenakan adanya perbedaan setiap individu dalam mengeluarkan pendapat, tenaga dan pikirannya, karena setiap individu mempunyai kemampuan dan keahliannya sesuai bidangnya masing-masing (Kreitner dan Kinicki, 2003).

  Budaya kerja terbentuk dalam satuan kerja atau organisasi itu berdiri, artinya pembentukan budaya kerja terjadi ketika lingkungan kerja atau organisasi belajar dalam menghadapi permasalahan, baik yang menyangkut masalah organisasi. Cakupan makna setiap nilai budaya kerja tersebut, antara lain Kreitner dan Kinicki, 2003): 1) Disiplin, yaitu perilaku yang senantiasa berpijak pada peraturan dan norma yang berlaku di dalam maupun di luar perusahaan. Disiplin meliputi ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan, prosedur, berlalu lintas, waktu kerja, berinteraksi dengan mitra, dan sebagainya. 2) Keterbukaan, yaitu kesiapan untuk memberi dan menerima informasi yang benar dari dan kepada sesama mitra kerja untuk kepentingan perusahaan. 3) Saling menghargai, yaitu perilaku yang menunjukkan penghargaan terhadap individu, tugas dan tanggung jawab orang lain sesama mitra kerja. c. Manfaat Budaya Kerja Menurut Pascale dan Athos dalam Tika (2006) fungsi utama budaya organisasi adalah sebagai berikut:

  1) Sebagai batas pembeda terhadap lingkungan, organisasi maupun kelompok lain.

  Batas pembeda ini karena adanya identitas tertentu yang dimiliki oleh suatu organisasi atau kelompok yang tidak dimiliki organisasi atau kelompok lain. 2) Sebagai perekat bagi karyawan dalam suatu organisasi.

  Hal ini merupakan bagian dari komitmen kolektif dari karyawan. Mereka bangga sebagai seorang karyawan suatu organisasi atau perusahaan. Para karyawan mempunyai rasa memiliki, partisipasi, dan rasa tanggung jawab atas kemajuan perusahaannya. 3) Mempromosikan stabilitas sistem sosial.

  Hal ini tergambarkan dimana lingkungan kerja dirasakan positif, mendukung dan konflik serta perubahan diatur secara efektif.

  4) Sebagai mekanisme kontrol dalam memadu dan membentuk sikap serta perilaku karyawan.

  Dengan dilebarkannya mekanisme kontrol, didatarkannya struktur, diperkenalkannya tim dan diberi kuasanya karyawan oleh organisasi, makna bersama yang diberikan oleh suatu budaya yang kuat memastikan bahwa semua orang diarahkan kearah yang sama.

  5) Sebagai integrator.

  Budaya organisasi dapat dijadikan sebagai integrator karena adanya sub-sub budaya baru. Kondisi seperti ini dialami oleh adanya perusahaan-perusahaan besar dimana setiap unit terdapat sub budaya baru.

  6) Membentuk perilaku bagi para karyawan Fungsi seperti ini dimaksudkan agar para karyawan dapat memahami bagaimana mencapai tujuan organisasi.

  7) Sebagai sarana untuk menyelesaikan masalah-masalah organisasi pokok organisasi.

  Masalah utamanya yang sering dihadapi organisasi adalah masalah adaptasi terhadap lingkungan eksternal dan masalah integrasi internal. 8) Sebagai acuan dalam menyusun perencanaan perusahaan.

  Fungsi organisasi atau perusahaan adalah sebagai acuan untuk menyusun perencanaan pemasaran, segmentasi pasar, menentukan

  positioning yang akan dikuasai perusahaan tersebut.

  9) Sebagai alat komunikasi.

  Budaya organisasi dapat berfungsi sebagai alat komunikasi antara atasan dan bawahan atau sebaliknya serta antara anggota organisasi. 10) Sebagai penghambat berinovasi.

  Budaya organisasi dapat juga sebagai penghambat dalam berinovasi. Hal ini terjadi apabila budaya organisasi tidak mampu mengatasi masalah-masalah yang menyangkut lingkungan eksternal dan integrasi internal d. Unsur-unsur Budaya Kerja

  Menurut Paramita dalam Ndraha (2006), budaya kerja dapat dibagi menjadi : 1) Sikap terhadap pekerjaan

  Kesukaan akan kerja dibandingkan dengan kegiatan lain seperti bersantai atau semata-mata memperoleh kepuasan dari kesibukan pekerjaannya sendiri, atau merasa terpaksa melakukan sesuatu hanya untuk kelangsungan hidupnya. Sikap terhadap pekerjaan dipengaruhi oleh: a) Pengetahuan dan informasi kerja.

  b) Kesadaran akan kepentingan. 2) Perilaku waktu bekerja

  Seperti rajin, berdedikasi, bertanggung jawab, berhati-hati, teliti, cermat, kemauan yang kuat untuk mempelajari tugas dan kewajibannya dan bersahabat seperti suka membantu sesama karyawan atau sebaliknya.

3. Hubungan Budaya Kerja dengan Ketepatan Identifikasi Pasien

  Faktor budaya sangat bepengaruh besar terhadap pemahaman kesalahan dan keselamatan pasien. keselamatan pasien tergantung kepada filosofi dan nilai yang dibuat oleh para pimpinanan pelayanan kesehatan. jalur komunikasi perlu dibuat sehingga ketika terjadi kesalahan dapat segera terlaporkan kepada pimpinan (siapa yang berhak melapor dan siapa yang menerima laporan) (Depkes RI, 2006).

  Terkadang untuk melaporkan suatu kesalahan mendapat hambatan karena terbentuknya budaya blaming. Budaya menyalahkan (blaming) merupakan fenomena yang universal. Budaya tersebut harus dikikis dengan membuat protap jalur komunikasi yang jelas (Depkes RI, 2006).

B. Kerangka Teori

  Kerangka teori hubungan budaya kerja perawat dengan ketepatan identifikasi pasien disajikan pada gambar berikut ini.

  Budaya Kerja

  Patient Safety

  1. Ketepatan identifikasi pasien

  1. Sikap terhadap

  2. Meningkatkan pekerjaan komunikasi efektif

  2. Perilaku waktu bekerja

  3. Peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai

  4. Kepastian tepat lokasi, tepat prosedur, tepat pasien operasi

  5. Pengurangan resiko infeksi terkait pelayanan kesehatan

  6. Pengurangan pasien resiko jatuh

Gambar 2.1 Kerangka Teori

  Sumber: Diadopsi dari Paramita dalam Ndraha (2006) dan Depkes, (2006) C.

   Kerangka Konsep

  Variabel Bebas Variabel Terikat Ketepatan Identifikasi

  Budaya Kerja Pasien

Gambar 2.2. Kerangka Konsep

D. Hipotesis

  Hipotesis yang dirumuskan dalam penelitian ini yaitu: Ho : Tidak ada hubungan budaya kerja perawat dengan ketepatan identifikasi pasien di Rumah Sakit Islam Purwokerto.

  Ha : Ada hubungan budaya kerja perawat dengan ketepatan identifikasi pasien di Rumah Sakit Islam Purwokerto