Gambaran Explanatory Style pada Penyintas Erupsi Gunung Sinabung yang Bersuku Karo di Tempat Pengungsian

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Explanatory Style
2.1.1. Definisi
Seligman (dalam Hall, 1985) mengajukan suatu variable kepribadian yang
disebut dengan explanatory style, yaitu suatu aturan karakter yang digunakan
individu untuk menjelaskan peristiwa yang terjadi di dalam hidupnya, dan
menurutnya, explanatory style menentukan individu yang berisiko depresi.
Peterson (Parker, 2005) mengatakan bahwa explanatory style adalah
kecenderungan individu untuk membuat pengertian yang serupa dalam kejadian
yang berbeda. Kemudian pengertian ini dikembangkan lagi oleh Parker dan Steen
(Parker, 2005) yang menyebutkan bahwa explanatory style adalah cara individu
yang sudah menjadi kebiasaan untuk mengartikan peristiwa yang terjadi, sehingga
dapat membuatnya stabil pada suatu keadaan tertentu.
Seligman (Taylor, 2003) menggambarkan explanatory style sebagai cara
individu berfikir mengenai penyebab dari suatu kejadian.
Menurut Ormrod (dalam Bol, Hacker, & Allen, 2005) menyebutkan bahwa
explanatory style adalah cara individu menginterpretasikan kejadian yang
dialaminya sehari-hari dan konsekuensinya.

11


Universitas Sumatera Utara

Menurut Schullman, Castellon, dan Seligman (dalam Boyer, 2006)
mengembangkan pengertian explanatory style, yaitu individu memiliki pola dalam
menjelaskan apa yang menjadi penyebab dari kejadian penting dalam hidupnya.
Explanatory style merupakan salah satu atribut psikologis yang
mengindikasikan bagaimana seseorang akan menjelaskan kepada dirinya
mengenai kejadian yang dialami, baik itu positif ataupun negatif (dalam Peterson
& Steen, 2002). Explanatory style merupakan suatu cara yang biasa digunakan
orang untuk menjelaskan sebab kejadian buruk yang menimpa mereka (Peterson
& Seligman dalam Peterson, 1988).
Jadi explanatory style yang peneliti gunakan saat ini adalah persepsi atau
pola pikir individu dalam menjelaskan dan memaknai penyebab sebuah kejadian,
apakah itu positif ataupun negatif.
2.1.2. Dimensi explanatory style
Terdapat tiga dimensi explanatory style yang dikemukakan oleh Abramson
(Taylor, 2003), yaitu:

a. Pervasiveness


Dimensi ini berkaitan dengan cara individu dalam menjelaskan
pengaruh sebuah kejadian yang dialami terhadap kehidupannya. Saat
individu menganggap sebuah kejadian berpengaruh dalam semua
aspek kehidupannya maka disebut sebagai global, dan saat individu

12

Universitas Sumatera Utara

menganggap sebuah kejadian berpengaruh hanya dalam aspek tertentu
dalam kehidupannya disebut sebagai limited/spesific.

b. Permanence

Dimensi ini berkaitan dengan cara yang dilakukan individu untuk
menjelaskan kekonsistenan waktu suatu kejadian dalam hidupnya. Saat
individu menganggap sebuah kejadian terjadi konsisten dalam
kehidupannya dan tidak dapat diubah maka akan diartikan sebagai
stable, dan ketika individu menganggap sebuah kejadian hanya terjadi

pada satu waktu saja dalam kehidupannya dan dapat diubah maka akan
diartikan sebagai unstable.

c. Personalisation

Dimensi ini berkaitan dengan cara yang dilakukan untuk menjelaskan
kejadian yang terjadi apakah berasal dari dalam diri atau tidak. Saat
individu menganggap sebuah kejadian berasal dari dalam dirinya maka
dia akan mengartikannya sebagai internal. Saat individu menganggap
sebuah

kejadian

berasal

dari

luar

dirinya


maka

dia

akan

mengartikannya sebagai external.

Peterson dan Seligman (Taylor, 2003) memberikan prediksi bahwa apabila
explanatory style hadir secara global, stable, dan internal dikaitkan kepada
kejadian buruk yang tidak dapat dikendalikan, maka cenderung akan membuat
depresi.

13

Universitas Sumatera Utara

2.1.3. Tipe Explanatory Style
Menurut Seligman (dalam Hall, 1985), individu dengan pessimistic

explanatory style akan mengatribusi kesalahannya pada factor internal – stable –
global.

Sedangkan

individu

dengan

optimistic

explanatory

style

akan

mengatribusi kesalahannya pada faktor external –unstable – limited.
Individu yang cenderung ke arah pessimistic explanatory biasanya
mengalami tingkat prestasi yang rendah, lebih banyak mengidap penyakit fisik,

mengalami gejala depresi, dan cenderung rendah dalam pengharapan (Gillham et
al., 2001; Schulman, Castellon, & Seligman, 1989 dalam Hirsch & Conner, 2006).
Individu yang cenderung ke arah optimistic explanatory akan lebih
menggunakan coping yang aktif dan adaptif misalnya berusaha keras untuk
merubah situasi yang tidak terkontrol, berusaha mengatasi masalah dan
kesengsaraan, dan mempertahankan tujuan (Carver et al., 1993; Puskar, Sereika,
Lamb, Tusaic-Mumford & Mc Guinness, 1999 dalam Hirsch & Conner, 2006).
Explanatory style biasanya diukur menggunakan Attributional Style
Questionare (ASQ). Namun peneliti menggunakan skala yang dikonstruk sendiri
yang mengacu pada teori yang digunakan Seligman.
2.1.4. Faktor yang mempengaruhi Explanatory Style
Explanatory style merupakan persepsi atau pola pikir seperti defenisi yang
peneliti simpulkan diatas, sehingga faktor yang mempengaruhi persepsi maka

14

Universitas Sumatera Utara

akan juga akan mempengaruhi explanatory style. Menurut Miftah Toha (2003)
ada 2 faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang:


1. Faktor internal

Perasaan, sikap dan kepribadian individu, prasangka, keinginan, perhatian, proses
belajar, keadaan fisik, gangguan kejiwaan, nilai, kebutuhan, minat, dan motivasi.

2. Faktor external

Latar belakang keluarga, informasi yang diperoleh, pengetahuan, intensitas,
ukuran, keberlawanan, pengulangan gerak, hal-hal baru dan familiar suatu objek.

2.2. Suku Karo
Suku Karo sangat banyak dipengaruhi oleh lingkungan alam dan termasuk
suku pedalaman dan melintas agraris. Suku Karo identik dengan “Taneh Karo”,
hal ini dikarenakan suku Karo masih menjalani kebudayaan Karo secara ketat
(Koentjaraningrat, 1984).
Suku Karo memiliki sistem kekerabatan yang bernama dalikan sitelu. Ada
tiga unsur pada dalikan sitelu yaitu kalimbubu, anak beru, dan sembuyak.
(Brahmana,pertampilan 2001). Suku Karo menganut paham patrelialis dimana
marga di turunkan dari laki-laki ke pada anaknya. Ada lima merga dalam suku

Karo yaitu Ginting, Karo-Karo, perangin-angin, Sembiring dan tarigan. Orang
Karo di dalam kehidupannya memiliki falsafah kekerabatan yang dikenal dengan

15

Universitas Sumatera Utara

istilah merga silima, tutur siwaluh, rakut sitelu perkaden-kaden sepuluh dua
tambah sada.
Menurut Tridah Bangun (2009) karakter dan tabiat Suku Karo secara umum
sebagai orang yang jujur, tegas, berani, percaya diri, pemalu, tidak serakah,
mudah tersinggung dan pendendam, berpendirian teguh, sopan, senantiasa
menjaga nama baik keluarga, rasional dan kritis, mudah menyesuaikan diri, gigih
mencari pengetahuan, juga ada pula sifat iri dan dengki yang dikenal dengan cian
dan mementingkan prosedur. (Sanjani Tarigan, 2009).

2.2.1. Falsafah suku Karo

Tertulis dalam buku Kata Sada Ginting (2014), berikut adalah falsafah Suku
Karo:


A. Mehamat man kalimbubu

Kalimbubu merupakan kelompok yang memberikan istri kepada suku
Karo. Suku Karo percaya kalimbubu merupakan sumber berkat, maka sering
di sebut sebagai simupus takal piher pate geluh. Kalimbubu berasal dari kata
mbubu yang artinya kepala. Di dalam nuria, yaitu zaman sebelum masuknya
agama di Karo, Kalimbubu di sebut sebagai dibata ni idah atau Tuhan yang
tidak kelihatan.

Mehamat man kalimbubu diartikan sebagai menghormati kalimbubu.
Orang Karo akan merasa senang dan berkecukupan jika menghargai

16

Universitas Sumatera Utara

kalimbubunya Pepatah di orang Karo mengatakan jangan sampai berita tidak
mengenai Kalimbubunya kepada orang lain.


B. Metenget man senina

Senina merupakan orang yang memiliki merga yang sama dengan
dirinya dan dengan penuturan adat yang menjadikan ersenina. Metenget man
senina dimana orang Karo peduli dengan senina. Orang Karo dimana senina
merupakan tempat berbagi susah mau pun senang di dalam kehidupan.

C. Metami man anak beru

Anak beru merupakan adalah di mulai dari kakek buyutnya yang
tertuan kepada kalimbubu. Anak beru adalah pihak yang mengambil menjadi
istri,mau pun yang menitiskan dari pihak yang dari pihak perempuan.

Metami man anak beru merupakan sikap sayang,cinta mau pun murah
hati. Dimana tanggung jawab anak beru memiliki tanggung jawab yang berrat
untuk menjaga nama baik kalimbubunya.

D. Menyekolahkan anak

Pada masyarakat Karo bukan anak yang ingin sekolah tapi orang tua

yang sangat berminat untuk menyekolahkan anak.

17

Universitas Sumatera Utara

E. Tabah dan rajin

Berkat budaya tabah dan rajin masyarakat Karo dapat merambah hutan
belantara membuat irigasi sederhana di bukit-bukit. Karena kerajinan mereka
sebelum tahun delapan puluhan ladang mereka lebih bersih dari halaman
rumah.

F. Mehangke

Budaya mehangke adalah budaya mendatangkan malu jika minta bantuan
kepada orang lain atau pun keluarga.

2.2.2. Karakter Masyarakat Karo

Sifat dan perwatakan masyarakat Karo tampak pada perilaku atau
perbuatan dan pola pikirnya. Masyarakat Karo pada umumnya memmiliki
karakter sebagai berikut: jujur, tegas dan berani, percaya diri, malu, tidak serakah
dan tahu akan hak, mudah tersinggung dan dendam, berpendirian tetap dan
pragmatis, sopan, jaga nama keluarga dan harga diri, rasional dan kritis, mudah
menyesuaikan diri, gigih mencari ilmu, tabah, beradat, suka membantu dan
menolong, pengasih dan hemat, percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa (Bangun,
Teridah 1986).
Pembahasan mengenai sifat-sifat orang Karo yang relatif baru adalah
dalam buku Manusia Karo oleh Drs. Tridah Bangun (1986) yang mengemukakan
15 macam sifat dan watak orang Karo , yaitu :

18

Universitas Sumatera Utara

1. Jujur
Orang

Karo

umumnya

hidup

dengan

kekeluargaan

dan

kebersamaan yang tinggi di lingkungan tradisional. Biasanya jika
diketahui ada yang berbuat curang maka akan mendapat hukuman yang
berat dari masyarakat.
2. Tegas
Masyarakat Karo tidak begitu lembut menghadapi suatu masalah,
apalagi masalah yang dianggap prinsipil, meski sebenarnya dapat memberi
risiko bagi diri sendiri ataupun keluarganya.
3. Berani
Sejak kecil masyarakat Karo diajari oleh orang tuanya atau
neneknya bahwa setiap manusia sederajat. Yang berbeda hanyalah suratan
tangan dan takdirnya. Mungkin hal ini lah yang menyebabkan masyarakat
Karo tidak pernah ragu untuk berbuat atau pergi ke mana pun.
Keberanian ini juga ditunjukkan ketika berkecamuk perang antara kerajaan
Deli dan kerajaan Aceh pada abad XVII dan juga perjuangan melawan
penjajahan Belanda.
4. Percaya Diri
Orang Karo jarang menggantungkan nasib pada orang lain.
Umumnya mereka percaya pada kekuatannya sendiri.

19

Universitas Sumatera Utara

5. Malu
Sifat malu dimiliki orang Karo kalau menggantungkan diri pada
orang lain dan juga kalau berhubungan dengan harga diri dan nama baik
keluarga yang tercoreng.
6. Tidak Serakah
Secara umum orang Karo memang mendambakan hidup sejahtera
namun bukan melalui cara serakah. Mereka gigih mempertahankan
sesuatu kalau memang itu adalah haknya.
7. Mudah Tersinggung dan Pendendam
Kebanyakan orang Karo cepat tersinggung jika dirinya atau
keluarganya dikata-katai secara negatif oleh orang lain. Kalau sudah
tersinggung orang tersebut segera menjumpai orang yang menghinanya
dan menyelesaikan dengan segera.
8. Berpendirian Teguh
Orang Karo umumnya bila memiliki suatu pendirian, sukar
baginya untuk merubah pendiriannya tersebut, kecuali kalau dalam situasi
terpaksa.

20

Universitas Sumatera Utara

9. Sopan
Sikap

ini

mungkin

dilandasi

pemikiran

bahwa

dalam

bermasyarakat harus saling menghargai yakni berbuat sopan dan
menghormati pihak lain, bukan dengan pura-pura. Gaya orang Karo
berbicara menunjukkan sikap sopan dengan tutur kata yang halus dan tidak
keras.
10. Selalu Menjaga Nama Baik Keluarga dan Harga Diri
Pencemaran nama baik keluarga dianggap merupakan tamparan
bagi seluruh anggota keluarga turun temurun dan pasti menimbulkan
dendam kesumat, yang kadang-kadang nyawa sering jadi taruhannya.
Menyangkut harga diri dan keluarga, sejak belasan tahun terakhir ini pada
sebagian masyarakat Karo, telah berkembang upaya untuk tidak mau kalah
dari orang lain dan menunjukkan bahwa dia juga berkemampuan seperti
apa yang telah ditunjukkan.
11. Rasional dan Kritis
Dalam menghadapi persoalan, orang Karo tidak begitu cepat
emosional, tapi selalu dipikirkan dulu secara rasional dan kritis. Oleh
karena itu mereka tidak begitu mudah terbuai oleh suatu rayuan. Sikap
kritis ini sering membuat pihak lain kecewa karena dianggap bandel
sehingga tidak mudah membawanya ke satu tujuan yang dimaksudkan.

21

Universitas Sumatera Utara

12. Mudah Menyesuaikan Diri
Karena sopan bergaul, selalu menghormati sesama anggota
masyarakat, orang Karo secara mudah mampu menyesuaikan diri di
tengah masyarakat baru, tempat mereka berdomisili.
13. Gigih Mencari Pengetahuan
Orang Karo mencari ilmu pengetahuan dengan segala kegigihan
ditiap

kesempatan

yang

memungkinkan.

Untuk

mendapat

ilmu

pengetahuan, mereka rela menempuh dengan segala penderitaan.
Rintangan diatasi dengan segala ketabahan.
14. Mudah Iri dan Dengki
Sifat-sifat dengki/cemburu masih bersemayam pada masyarakat
Karo. Penyakit lain yang mirip yang masih ada dalam masyarakat Karo
adalah kesukaan sebagian besar kaum ibu-ibu mengata-ngatai orang lain
secara negatif.
15. Mementingkan Prosedur
Orang Karo sejak zaman dulu ternyata mematuhi apa-apa yang
telah menjadi kesepakatan bersama mengenai berbagai persoalan. Karena
itu jika ada anggota masyarakat yang berbuat melangkahi aturan umum,
biasanya terjadi keributan.

22

Universitas Sumatera Utara

2.3. Gambaran Explanatory Style pada Penyintas erupsi Gunung Sinabung
yang bersuku Karo di tempat pengungsian
Bencana alam adalah kejadian yang tidak bisa dielakkan oleh siapapun.
Bencana alam merupakan sesuatu yang tidak bisa diprediksi dan tidak bisa
dikontrol, merupakan peristiwa yang sering terjadi dan tidak diragukan lagi akan
terjadi (Nickerson 2008). Orang-orang yang selamat dari bencana alam sering
disebut sebagai penyintas, dan mereka yang tinggal di tempat pengungsian disebut
sebagai pengungsi.
Bencana alam erupsi Gunung Sinabung terjadi di Kabupaten Karo, dan
sudah mulai nampak aktif dan meletus pertama kali pada tahun 2010 (Surono,
2013). Dan keadaan yang tidak aman ini berlangsung terus-menerus hingga tahun
2016. Keadaan yang bertahun-tahun tinggal di tempat pengungsian bisa
membentuk pola pikir baru atau persepsi baru terhadap keadaannya selama di
pengungsian.
Pola pikir atau persepsi yang dilakukan pengungsi disimpulkan peneliti
sebagai explanatory style. karena menurut Seligman Seligman (dalam Taylor,
2003) explanatory style digambarkan sebagai cara individu berfikir mengenai
penyebab dari suatu kejadian. Menurut Ormrod (dalam Bol, Hacker, & Allen,
2005)

menyebutkan

bahwa

explanatory

style

adalah

cara

individu

menginterpretasikan kejadian yang dialaminya sehari-hari dan konsekuensinya.
Sejalan dengan hal tersebut menurut Feldman (1999) persepsi adalah proses
konstruktif stimulus yang diterima individu dan berusaha memahami situasi.

23

Universitas Sumatera Utara

Menurut Miftah Toha (2003) ada 2 fator yang mempengaruhi persepsi, yaitu (1)
internal yang merupakan perasaan, sikap dan kepribadian individu, prasangka,
keinginan, perhatian, proses belajar, keadaan fisik, gangguan kejiwaan, nilai,
kebutuhan, minat, dan motivasi, serta (2) external yaitu latar belakang keluarga,
informasi yang diperoleh, pengetahuan, intensitas, ukuran, keberlawanan,
pengulangan gerak, hal-hal baru dan familiar suatu objek.
Masyarakat Karo yang tinggal di Kabupaten Karo, banyak ditemukan
bekerja sebagai petani. Mereka yang sudah lama tinggal di bawah kaki gunung
sudah memiliki identitas dan rasa persaudaraan kepada orang sekampungnya. Dan
tinggal ditempat pengungsian memaksa masyarakat Karo untuk merubah pola
pikir dan merubah kebiasaan mereka.
Masyarakat Karo memiliki sistem kekerabatan dalikan sitelu (Brahmana,
2001). Sistem kekerabatan ini dikenal dengan istilah merga silima, tutur siwaluh,
rakut sitelu perkaden-kaden sepuluh dua tambah sada. Dari sistem kekerabatan
itu orang Karo mengenal falsafah hidup mehamat man kalimbubu,metenget man
senina dan metami man anak beru (Ginting, 2014). Falsafah ini mengatur
masyarakat Karo bagaimana berhubungan dengan orang lain yang tidak bermarga
sama ataupun yang semarga. Sistem kekerabatan ini bisa membuat mereka saling
tolong-menolong. Bagi masyarakat Karo yang memiliki marga yang sama, akan
cenderung ingin menolong, karena dia merasa orang tersebut adalah keluarganya.
Dan apabila tidak semarga akan dilihat dari marga yang sama dengan anggota
keluarga lain. Keadaan seperti terlihat bahwa masyarakat Karo banyak yang

24

Universitas Sumatera Utara

external dalam berhubungan dengan orang lain. Hal ini juga didukung dari sifat
masyarakat Karo yang suka membantu dan menolong.
Suku Karo memiliki falsafah hidup lain yang dianut dan bisa
mempengaruhi pola pikir atau persepsinya, yaitu tabah dan rajin (Ginting, 2014).
Falsafah ini membuat mereka bisa membuka lahan untuk bertani dan
mendapatkan hasil untuk dijual. Dan juga bisa bertahan dalam keadaan-keadaan
yang sulit. Falsafah ini bisa menunjukkan bahwa masyarakat Karo stabale dalam
mempersepsikan kesusahan yang dia alami. Serta falsafah mehangke (Ginting,
2014), yang menyebutkan bahwa masyarakat karo akan menjadi malu jika minta
bantuan kepada orang lain atau pun keluarga. falsafah ini bisa menunjukkan
bahwa masyarakat Karo global dalam mempersepsikan dampak buruk dari
perbuatan yang dianggap tidak baik.
Dari uraian tersebut penelitian ini ingin melihat gambaran explanatory style
penyintas erupsi Gunung Sinabung yang berada di pengungsian.

25

Universitas Sumatera Utara