Gambaran Explanatory Style pada Penyintas Erupsi Gunung Sinabung yang Bersuku Karo di Tempat Pengungsian

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Bencana alam merupakan sesuatu yang tidak bisa diprediksi dan tidak bisa
dikontrol, merupakan peristiwa yang sering terjadi dan tidak diragukan lagi akan
terjadi (Nickerson 2008), dan hal ini dapat mengancam kelangsungan hidup
individu melalui kehancuran lingkungan fisik dan psikologis (Rice, 1992).
Bencana alam yang terjadi salah satunya bencana alam erupsi Gunung Sinabung
di Kabupaten Karo. Gunung Sinabung pertama sekali meletus pada tahun 2010
setelah hampir 200 tahun tidak pernah menunjukkan aktivitas vulkanologi
(Surono,2013). Pada tahun 2013, gunung Sinabung kembali meletus dan terus
meletus hingga saat ini ( Ginting, 2016 ).
Bencana alam erupsi Gunung Sinabung yang terjadi pada tahun 2013
mengakibatkan

masyarakat

di


daerah

sekitar

gunung

tersebut

harus

mengantisipasi kondisi terburuk yang akan terjadi. Letusan Gunung Sinabung
naik hingga level 4 (awas) pada tanggal 3 Januari 2014, status ini menyebabkan
para masyarakat di daerah berbahaya, dalam radius yang ditentukan para ahli
bencana alam, harus diungsikan (Wikipedia, 2015). Mereka harus merelakan
sementara rumah mereka untuk tidak ditempati dan meninggalkan semua barangbarang yang ada dirumah mereka. Mereka membawa barang-barang yang
mungkin mereka bawa ke pengungsian. Hasil observasi peneliti tahun 2015
melihat bahwa setelah 2 tahun dari erupsi pada tahun 2015 mereka terlihat

1


Universitas Sumatera Utara

membawa pakaian-pakaian mereka, beberapa peralatan makan (seperti botol susu
bayi, piring kecil bayi, panci kecil ), serta alat elektronik (seperti telepon
genggam).
Sejak awal Gunung Sinabung aktif dan meletus, menyebabkan masyarakat
di sekitara gunung perlu mengungsi. Pengungsi menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) memiliki kata dasar “ungsi” dan membentuk kata kerja
mengungsi yang artinya pergi menghindarkan (menyingkirkan) diri dari bahaya
atau menyelamatkan diri (ke tempat yang dirasa aman), pengungsi adalah orang
yang mengungsi, dan pengungsian adalah tempat mengungsi. Pada tahun 2015
masyarakat yang masih mengungsi adalah yang berasal dari tujuh desa yang
kemudian direkomendasikan untuk direlokasi, yaitu warga Desa Sukameriah,
Desa Berkerah, Desa Simacem, Desa Gurukinayan, Desa Kuta Tonggal, Desa
Berastepu, dan Desa Gamber (Akuntono, 2015).
Bencana alam dapat berdampak kepada fisik dan psikis. Dampak fisik
terlihat dari pakaian mereka yang kotor, terkena gangguan kesehatan seperti diare
dan demam. Kondisi ini masih ditemukan pada pengungsi erupsi Gunung
Sinabung seperti dipaparkan oleh hasil wawancara dengan ibu AS di GBKP
simpang VI Kabanjahe, sebagai berikut.

“kayak gini kami kan gak ada obat-obatan, gizi buat anak-anak, lansia.
Kalau kami yang masih muda, gak pun gak apa-apalah. Kadang-kadang
kami berobat, ada obat disana tapi kurang. Tapi kek anakku la kemarin
sakit, harus bawa keluar. Disini ada antalgin, kan gak mungkin dikasih
antalgin buat anak-anak, setidaknya ada paracetamol buat anak-anak, yang
kami perlukan gak ada disitu.

2

Universitas Sumatera Utara

Sudah dibilangkan ke penanggungjawab posko, tapi sampai sekarang gak
ada tindakan.”
(Wawancara Personal, 12 Desember 2015, 16:54 WIB)
Wawancara personal kedua dilakukan dengan ibu NG di GBKP simpang 6
Kabanjahe yang menggambarkan bahwa pengungsi memiliki masalah di dalam
pengungsian. Pengungsi tinggal didalam aula di lantai dua, mereka terpaksa
tinggal bersama-sama di keramaian dan berdesak-desakkan. Mereka sudah
mencoba untuk tinggal kerumah kerabat yang mereka kenal, namun tidak
mendapat hasil yang mereka harapkan, karena para karabat masih memiliki

keluarga sendiri untuk dinafkahi dan mereka juga tidak tahu harus tinggal berapa
lama. Pemimpin posko juga memarahi mereka karena ketidakbersihan mereka
dalam menjaga tempat pengungsian. Dari hasil wawancara menyebutkan bahwa
mereka tidak tahu harus bagaimana menjaga kebersihan tempat pengungsian
tersebut, sedangkan pasokan air kurang dan sering telat datang. Meskipunn begitu
NG menerima keadaan dalam pengungsian sebagai cobaan dari Allah.
“sebenarnya disini enak, tapi kekmanala namanya anak-anak, kami pun
kamar mandi kurang, kamar mandi cuman dua. Kami jumlahnya 425
orang, antri. Jadi kadang-kadang namanya anak-anak kan, disini kotoran
disana kotoran. Kek hari itu gak ada air, 2 hari baru ada air, jadi disitu
kami nyuci piring 3 biji. Kurang ajar kelen semua, udah gag terpimpin
kelen semua, kata pemimpin posko ini. Karena air gag ada jadi kami nyuci
piring disitu, dimanapun kelen jorokin katanya. Kami pun hidup seperti
ini, apaboleh buat, Allah nya yang ngatur itu semua, terima aja apa
adanya.”
(Wawancara personal, 12 Desember 2015, 16:41 WIB)
Bencana alam membuat hampir semua korban terpaksa untuk tinggal di
tempat pengungsian hingga situasi kembali aman. Mereka harus hidup dalam

3


Universitas Sumatera Utara

keterbatasan, seperti terbatas akan makanan sehat, obat – obatan, serta air bersih.
Keadaan seperti ini bisa membuat mereka tak mampu untuk melakukan apa – apa,
selain menunggu bantuan datang. Keadaan yang tidak mampu berbuat apa – apa
ini bisa membuat para penyintas stress atau bahkan depresi. Keadaan yang seperti
ini disebut Seligman sebagai learned helplessness, yaitu kondisi yang
menghasilkan persepsi bahwa individu tidak memiliki kontrol atas lingkungannya
(Schultz, 1994).
Keadaan didalam tempat pengungsian bisa dipersepsikan sebagai keadaan
yang tidak menguntungkan atau keadaan yang diberikan Tuhan sebagai cobaan
atau bahkan menjadi keadaan yang traumatis bergantung pada individu dalam
mempersepsikan kejadian tersebut. Cara individu menjelaskan sebab sebuah
kejadian yang terjadi dalam dirinya, hal itu disebut Seligman dengan explanatory
style (Hall, 1985). Explanatory style diperlukan untuk melihat kecenderungan
gaya atribusi individu, sehingga dapat disebutkan optimis atau pesimis terhadap
sebuah kejadian. Explanatory style juga dapat didefinisikan sebagai kebiasaan
seseorang dalam menjelaskan kejadian buruk yang menimpa dirinya (Peterson &
Seligman, 1984). Selanjutnya Ormrod (dalam Bol, Hacker, & Allen, 2005)

menyebutkan bahwa explanatory style adalah cara individu menginterpretasikan
kejadian yang dialaminya sehari-hari dan konsekuensinya. Dengan kata lain
explanatory style bisa disebut sebagai sebuah pola pikir atau persepsi individu
terhadap kejadian yang dialaminya. Explanatory style muncul dari perumusan
ulang model learned helplessness, yang ditujukan untuk melihat pengaruh sifat
dan helplessness yang luas yang diikuti oleh kejadian buruk yang tidak dapat

4

Universitas Sumatera Utara

dikendalikan (Abramson, Seligman, & Tresdale, 1978). Formulasi ulang learned
helplessness ini mengusulkan bahwa pessimistic explanatory style adalah faktor
resiko untuk depresi (Abramson, Seligman & Tresdale, 1978).
Kejadian yang individu persepsikan sebagai kesalahannya sendiri, terjadi
terus-menerus, dan berdampak kepada seluruh aspek kehidupannya disebut
sebagai pesimistic explanatory style yang bisa membuat individu menjadi depresi
dan learned helplessness. Pernyataan ini didukung oleh studi pada anak-anak dan
orang dewasa di Jerman yang menunjukkan bahwa pessimistic explanatory style
berasosiasi dengan depresi, penyakit, pencapaian akademik yang rendah, dan

kegagalan di bidang atletik ( Peterson, 1990; Peterson & Bussio, 1991; Peterson &
Seligman, 1984). Akan tetapi jika individu mempersepsikan kejadian tersebut
bukan berasal dari dirinya (menyalahkan orang lain), kejadian itu dapat berhenti
suatu saat, dan tidak berdampak pada semua aspek kehidupannya disebut
Seligman (Schultz, 1994) sebagai optimistic explanatory style.
Faktor yang mempengaruhi explanatory style bisa dilihat dari faktor yang
mempengaruhi persepsi, karena explanatory style bisa dikatakan sebagai sebuah
persepsi atau pola pikir seperti penjelasan Seligman (dalam Taylor, 2003) yang
menggambarkan explanatory style sebagai cara individu berfikir mengenai
penyebab dari suatu kejadian. Sejalan dengan penjelesan tersebut, menurut Miftah
Toha (2003) ada 2 faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang yaitu: (1) faktor
internal seperti: perasaan, sikap dan kepribadian individu, prasangka, keinginan,
perhatian, proses belajar, keadaan fisik, gangguan kejiwaan, nilai, kebutuhan,
minat, dan motivasi. (2) Faktor external yaitu latar belakang keluarga, informasi
5

Universitas Sumatera Utara

yang diperoleh, pengetahuan, intensitas, ukuran, keberlawanan, pengulangan
gerak, hal-hal baru dan familiar suatu objek.

Kondisi pengungsi yang sudah bertahun-tahun tinggal di tempat
pengungsian, kehilangan pekerjaan, dan kehilangan rumah bisa mempengaruhi
atribusi untuk menjelaskan penyebab suatu situasi kepada dirinya sendiri.
Penjelasan itu bisa menjadi positif dan bisa menjadi negatif tergantung cara
pengungsi melihat situasi. Orang-orang dalam memberikan atribusi positif atau
negatif ditentukan oleh situasi dan karakteristik individu ( Kelley, 1967; Mc
Arthur, 1972). Masing-masing individu mengembangkan cara sendiri dalam
menjelaskan kejadian positif dan negatif ( Peterson & Seligman, 1984).
Manusia dalam menjelaskan kejadian positif dan negatif kepada dirinya
bisa dipengaruhi oleh budaya, karena budaya adalah buatan manusia yang
menjadi bagian dari lingkungan manusia (Herskovits, 1948). Bentuk fisik dari
budaya dapat dilihat dari jalan, bangunan, peralatan dan perkakas. Bentuk
subjektif dari budaya misalnya mitos, peran, nilai-nilai, sikap, dan filosofi
(Triandis, 1980). Salah satu suku yang berada dalam posko pengungsian Gunung
Sinabung adalah suku karo. Suku Karo adalah suku asli yang mendiami Dataran
Tinggi Karo, Kabupaten Deli Serdang, Kota Binjai, Kabupaten Langkat,
Kabupaten Dairi, Kota Medan, dan Kabupaten Aceh Tenggara.
Masyarakat Karo memiliki filosofi yang disebut “Cikepen Silima” (Lima
Pegangan Hidup). Terdapat berbagai variasi dari kampung ke kampung mengenai
“Cikepen Silima” di Tanah Karo, tapi memiliki tujuan yang sama yaitu memberi

pegangan hidup kepada sang anak atau anggota masyarakat. Isinya yaitu Tek man

6

Universitas Sumatera Utara

Dibata (percaya pada Tuhan), Keteken (percaya pada diri sendiri), Kehamaten
(sopan santun), Mengenggeng (sabar), dan Metenget (cermat/hati – hati). Terdapat
variasi lainnya yaitu Bujur (jujur), Nggit Nampati (mau menolong), Merawa Ibas
Sibujur (berani dalam benar), Megenggeng Ibas Nggeluh (sabar/tabah), dan Ola
Relem – relem (jangan mendendam) (Bangun, 1994; hal 139).
Filosofi masyarakat Karo seperti tek man Dibata (percaya pada Tuhan)
dan

megenggeng (tabah) bisa mempengaruhi masyrakat Karo memberikan

atribusi kepada sebuah situasi menjadi lebih optimis. Karena dengan filosofi
tersebut bisa membuat masyarakat karo melihat situasi buruk sebagai akibat dari
situasi atau orang lain dan suatu saat pasti akan berakhir. Sedangkan filosofi lain
seperti


kehamaten

(sopan

santun)

dan

metenget

(cermat/hati



hati)

mencerminkan bagaimana mereka berelasi kepada orang lain yang bisa membantu
masyarakat Karo dalam mendapatkan support dan memandang kejadian buruk
lebih optimis.

Menurut Bangun (2006) sifat-sifat masyarakat Karo pada umumnya adalah
mudah menyesuaikan diri, tangguh, tenggang rasa. Masyarakat Karo memiliki
sifat tenggang rasa dalam pergaulan yang membuat mereka disenangi. Masyarakat
Karo memiliki sifat yang tangguh yang juga membuat mereka dapat bertahan
dalam keadaan yang sulit. Sifat tangguh dan mudah menyesuaikan diri bisa
membuat masyarakat Karo memandang kejadian buruk lebih optimis, karena sifat
masyarakat Karo seperti tangguh bisa membantu mereka membentuk pola pikir
yang lebih optimis dalam menghadapai stiuasi yang sulit dan sifat mudah

7

Universitas Sumatera Utara

menyesuaikan diri membantu mereka dalam mendapatkan support moral dari
orang lain.
Masyarakat Karo yang memiliki sistem kekerabatan marga (Merga Silima)
bisa membuat mereka bertahan dalam keadaan sulit di tempat pengungsian.
Karena peneliti menemukan bahwa mereka yang merasa kesulitan di tempat
pengungsian akan mendapat bantuan dari orang lain yang memiliki kaitan marga
yang sama dengan dirinya. Bantuan yang diberikan sperti mengajak pergi ke
ladangnya (bila masih bisa digunakan) dan memberikan upah dari hasil bekerja,
atau mengajak mengerjakan kerajinan tangan yang nantinya akan dijual.
Sifat masyrakat karo yang tangguh bisa membuat mereka membentuk pola
pikir yang positif terhadap kejadian buruk. Filosofi masyarakat Karo seperti tek
man Dibata (percaya pada Tuhan) dan megenggeng (tabah) juga bisa membantu
membentuk pola pikir yang optimis atau optimistic terhadap kejadian buruk yang
mereka alami. Namun, keadaan yang bertahun-tahun tinggal di pengungsian serta
keadaan di pengungsian yang mereka persepsikan kurang menyenangkan bisa
membentuk pola pikir yang negatif atau pessimistic. Bentuk atribusi yang
pessimistic ini bisa menjadi indikasi terhadap depresi atau learned helplessness.
Peneliti menemukan perbedaan atribusi yang diberikan para penyintas erupsi
Gunung Sinabung di tempat pengungsian. Dan ditemukan juga bahwa para
penyintas masih mau untuk menolong orang lain meski dirinya sendiri masih
dalam keadaan kesusahan. Itulah yang mendorong peneliti melakukan penelitian
“Gambaran explanatory style pada penyintas erupsi Gunung Sinabung yang
bersuku Karo yang berada di pengungsian”.
8

Universitas Sumatera Utara

1.2. PERTANYAAN PENELITIAN

1. Bagaimanakah gambaran tipe explanatory style pada penyintas erupsi
Gunung Sinabung yang bersuku Karo yang berada di pengungsian?
2. Bagaimanakah gambaran tiap dimensi explanatory style pada penyintas
erupsi Gunung Sinabung yang bersuku Karo yang berada di pengungsian?

1.3. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk melihat gambaran dari
explanatory style pada penyintas gunung sinabung yang bersuku karo.

1.4. MANFAAT PENELITAN

Manfaat penelitian ini untuk melihat apakah para pengungsi memberikan
atribusi yang positif atau negatif, karena apabila mereka memberikan atribusi
negatif maka meka cenderung bisa learned helplessness dan kondisi ini bisa
mengarahkan mereka pada depresi.

1.4.1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan ilmu pengetahuan
mengenai psikologi sosial terutama untuk melakukan intervensi yang lebih
bermanfaat bagi penyintas erupsi Gunung Sinabung yang bersuku Karo.

9

Universitas Sumatera Utara

1.4.2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan sudut
pandang yang baru terutama bagi mahasiswa ataupun relawan yang ingin
membantu meringankan beban psikologis pengungsi sinabung.

10

Universitas Sumatera Utara