Deskripsi Struktur Gerak Dan Musik Iringan Tari Ula-Ula Lembing Oleh Sanggar Meuligee Lindung Bulan Di Aceh Tamiang

BAB II
SUKU TAMIANG DI KABUPATEN ACEH TAMIANG

2.1

Letak Geografis dan Alam Kabupaten Aceh Tamiang
Tamiang merupakan perbatasan antara Provinsi Aceh dengan Provinsi

Sumatera Utara yang memiliki luas 1.957,02 km2 dan jumlah penduduk pada
tahun 2010 berjumlah 251.914 jiwa. Secara gografisnya Kabupaten Aceh
Tamiang terletak di bagian timur Provinsi Aceh pada posisi 97o43’41o,51” –
98o14’45o41” Bujur Timur 03o53’18o81” – 04o32’56o76” Lintang Utara dengan
batas batas wilayah sebagai berikut :
a.

Di sebalah barat berbatasan dengan kecamatan Langsa Timur.

b.

Di sebalah timur berbatasan dengan kecamatan besitang kabupaten
Langkat Provinsi Sumatera Utara.


c. Di sebalah utara berbatasan dengan selat malaka / selat Sumatera.
d. Di sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Serba Jadi.

2.1.1

Iklim
Wilayah Tamiang berada pada ketinggian 0-25 meter dari permukaan laut,

pada kondisi normal musim kemarau berlangsung dari bulan Maret sampai
Agustus dengan suhu sekitar 28C, dan musim hujan berlangsung pada bulan
September sampai Februari dengan suhu 25C sampai 29 C, kelembaban udara ratarata 55% - 70%.

24
Universitas Sumatera Utara

2.1.2

Wilayah
Wilayah Tamiang terbagi atas tujuh Kecamatan yaitu sebagai berikut:


1. Kecamatan Tamiang Hulu dengan pusat pemerintahan di Pulau Tiga.
2. Kecamatan Kejuruan Muda dengan pusat pemerintahan di Sungai Liput.
3. Kecamatan Kota Kualasimpang dengan pusat pemerintahan di Kota
Kualasimpang.
4. Kecamatan Seruway dengan pusat pemerintahan di Seruway.
5. Kecamatan Bendahara dengan pusat pemerintahan di Sungai Iyu.
6. Kecamatam Karang Baru dengan pusat pemerintahan di Karang Baru.
7. Kecamatan Rantau dengan pusat pemerintahan di Rantau (Kecamatan ini
merupakan Kecamatan Termuda hasil Pemekaran dari Kecamatan Kejuruan
Muda, diresmikan pada tanggal 9 September 2000).
Setelah Tamiang disahkan menjadi Kabupaten pada tahun 2002. Kecamatan
Manyak Payed yang pusat pemerintahan di Tualang Cut bergabung kedalam
wilayah Tamiang, dan berbatasan dengan Kecamatan Langsa Timur dengan
demikian Kabupaten Aceh Tamiang menjadi 8 Kecamatan.

2.2

Bahasa dan Tulisan


2.2.1

Bahasa
Bahasa Tamiang seperti bahasa-bahasa lainnya di Indonesia termasuk

dalam rumpun bahasa Austronesia namun yang menjadi keunikan bagi suku
perkauman Tamiang

6

adalah selain bahasanya bahasa Tamiang suku dan

6
Masyarakat Tamiang menyebut kelompoknya dengan istilah suku perkauman Tamiang.
Secara umum mereka juga dimasukkan ke dalam kelompok etnik Melayu, yaitu Melayu Tamiang.
Istilah ini di dalam ilmu antropologi dapat dipadankan dengan kelompok etnik (ethnic group ), atau
istilah lainnya adalah suku bangsa. Yang dimaksud suku adalah sekelompok manusia yang

25
Universitas Sumatera Utara


daerahnya juga bernama Tamiang. Masih sulit untuk diselusuri dan ditentukan
mana diantara ketiga komponen tersebut (suku, wilayah, atau bahasa) yang lebih
dahulu yang menyandang nama Tamiang.
Dalam menggunakan bahasa didaerah Tamiang ini dikenal dengan nama
bahasa Kampong (bahasa Tamiang) yang mempunyai tiga dialek tetapi bagi suku
perkauman Tamiang dapat dipahami walaupun dalam beberapa isitilah terdapat
perbedaan pengertian. Meskipun dialek bahasa Tamiang terdiri dari tiga dialek
yaitu: dialek ilek (dialek hilir), dialek tengah, dan dialek hulu. Nampun warganya
saling memahami dan berpadu kuat sesuai dengan pesan raja Muda Sedia ‘’ller
boleh pecah. Ulu boleh pecah Tamiang tetap bersatu’’. Seperti yang diterangkan
diatas bahwa dialek bahasapun dipengaruhi oleh perbauran antara suku Gayo,
Aceh, dan Melayu Deli.

2.2.2

Tulisan
Tulisan sistem huruf yang khas kepunyaan suku perkauman Tamiang asli

zaman dahulu tidak ada. Tulisan-tulisan Tamiang menggunakan huruf Arab

Melayu. Huruf ini dikenal setalah datangnya agama Islam di Aceh merupakan
huruf-huruf yang banyak dijumpai pada batu nisan raja-raja. Sampai saat ini
tulisan inilah yang digunakan dikalangan sebagai orang-orang tua. Bagi kalangan
muda yang sebagian besar mengikuti pendidikan modern maka huruf ini hampir
dipandang memiliki hubungan genelaogis secara umum sama pada awalnya. Kemudian mereka
memiliki bahasa dan kebudayan yang sama, yang dipandang sebagai sebuah kelompok etnik
sendiri yang mandiri, baik oleh etnik di luar mereka atau mereka sendiri. Untuk dapat memahami
siapakah orang Tamiang, maka sebelumnya dijelaskan pengertian kelompok etnik (ethnic group).
Naroll memberikan pengertian kelompok etnik sebagai suatu populasi yang: (1) secara biologis
mampu berkembang biak dan bertahan; (2) mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar
akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya; (3) membentuk jaringan komunikasi dan
interaksi sendiri; dan (4) menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain
dan dapat di bedakan dari kelompok populasi lain (Naroll, 1965:32).

26
Universitas Sumatera Utara

tidak dikenal lagi mereka mengenal huruf-huruf yang digunakan di sekolah yaitu
Latin.


2.3

Mata Pencaharian Hidup
Suku Perkauman Tamiang umumnya hidup dari hasil sawah mereka

(dalam bahasa Tamiang sawah disebut belang atau hume). Sawah ini dibentuk
berpetak-petak yang dipisahi dengan “batas” (pematang). Pengairan disawah
sangat tergantung pada turunnya hujan. Sehingga tanaman padi hanya dapat
dilakukan satu kali dalam setahun. Sawah dibajak dengan memakai sapi atau
karbau memakan waktu sampai satu bulan (sekarang telah banyak menggunakan
peralatan modern dengan tractor atau jacktor dan telah ada pengairan (irigasi),
serta dengan berbagai komoditas padi yang dibudidayakan sehingga penanaman
dapat dilakukan lebih dari satu kali setahun).
Di samping berbelang (sawah). Suku perkauman Tamiang juga
mengerjakan ladang (dalam bahsa Tamiang ladang disebut padang) biasanya
padang mereka agak jauh dengan desa tempat tinggal mereka. Ladang dibuka
(dikerjakan) dengan sistem menebang dan membakar hutan yang letaknya ada
sebagian dilerang bukit. Pekerjaan berladang ini merupakan pekerjaan sambilan
yang dikerjakan dengan mencangkul tanah. kemudian baru ditanam dengan
berbagai macam tanaman seperti padi darat, cabai, jagung, dan tanaman palawija

serta sayur-sayuran lainnya (holtikultura).
Nelayan merupakan mata pencaharian bagi suku perkauman Tamiang
yang bertempat tinggal dipinggiran sungai dan di muara-muara yang menjorok
kelaut. Tradisi nelayan yang sering dilakukan sangat tradisional dengan memakai

27
Universitas Sumatera Utara

perahu dayung (sampan) cara menangkap ikan udang dan kepiting dilakukan
dengan beberapa cara diantaranya ngejang yaitu bubu yang dibuat dari rotan
dengan bentuk melingkar yang panjangnya sekitar1 meter dan dengan diameter
0,5 meter, salah satu ujungnya ditutup dan ujungnya yang lain dibuka sebagai
pintu masuk dengan cerocok atau jeruji yang berbentuk kerucut dipasangkan
menjorok kebagian dalam berfungsi agar ikan dan binatang lain yang sudah
masuk tidak akan berani keluar lagi. Bubu tersebut dikelilingi (dipagar) dengan
jang yang terbuat dari rotan juga bentuknya seperti krei.
Disamping itu juga alat yang biasa dipakai adalah pancing atau kail, jaring,
jala, tombak, ambe (jaring berbentuk hampir seperti kerucut yang dipsang dekat
muara sungai atau sering tanggok yang berdiameter 3-4 meter dan panjang 5-6
meter). Khusus untuk kepeting digunakan alat yang diberi nama “angkol” yaitu

jaring yang dipasang pada tangkai yang terbuat dari bambu dengan bentuk
melengkung dan bersilang empat, panjang sisi sekitar 30 cm di persilangkan
tangakai inilah digantung umpan (biasanya ikan-ikan busuk atau sejenisnya).

2.4

Sistem Kekerabatan
Bagi suku perkauman Tamiang perkawinan

suatu keharusan yang

ditetapkan oleh agama dimana perkawinan itu seorang merupakan suatu bentuk
hidup bersama antara laki-laki dengan seorang perempuan yang memenuhi syarat
dalam hukum, oleh sebab itu setiap laki-laki dan wanita yang telah aqil baligh
diwajibkan mencari dan mendapatkan jodohnya. Bagi suku perkauman Tamiang
untuk mencari dan mendapatkan jodoh itu membutuhkan syarat-syarat tertentu
yaitu, pertama yang mencari jodoh itu adalah orang tua kedua jodoh yang dipilih

28
Universitas Sumatera Utara


untuk anak mereka berdasarkan keturunan fungsi dan status sosial dari keluarga si
gadis sebaiknya orang tua si gadis menerima lamaran tersebut sesuai pula dengan
ketentuan diatas, hal ini berlaku timbale balik antara keluarga laki-laki maupun
perempuan.
Perwakilan juga sebagai upaya untuk melanjutkan keturunan, oleh sebab
itu pasangan dari anak mereka harus benar-benar diketahui dahulu asal usulnya
sehingga keterunan yang dihasilkan juga memiliki status yang jelas dalam suatu
keturunan misalnya anak keturunan raja dengan anak yang mempunyai keturunan
yang sama yang jelas setiap anak tidak akan dikawinkan dengan anak yang tidak
diketahui asal-usul keluarganya baik anak laki laki maupun anak perempuan.

2.5

Sistem Kemasyarakatan
Kesatuan teritorial dari bentuk yang terkecil sampai yang terbesar dalam

suku perkauman (kumpulan beberapa kemukiman) dan kewedanaan yang terdiri
dari beberapa kecamatan. Status kewedanaan kemudian berubah status menjadi
Pembantu Bupati Wilayah III.

Perangkat-perangkat adat di desa yang sudah ada dalam suku perkauman
Tamiang berdasakan kedudukan dan fungsinya adalah:
a. Urang tuhe kampong, sebagai penasehat gecik (kepala kampong).
b. Imam, yang mengurus masalah didesa.
c. Ketue belang (tetuhe belang), yang mengurus masalah sistem persawahan.
d. Pawang laot, yang mengatur masalah nelayan dan peraturan-peraturan
dilaut yang berkenaan dengan penangkapan ikan dan areal atau tempat
penangkapan ikan serta sengketa bagi hasil.

29
Universitas Sumatera Utara

e. Pawang rimbe, yang mengatur masalah ketentuan-ketentuan yang berlaku
dalam memasuki hutan, dan peraturan membuka areal hutan.
f. Kepale pecan, yang mengatur ketertiban, keamanan, kebersihan dan
mengutip retribusi pasar (pecan).
g. Syahbandar , yang mengurus dan mengatur lalulintas laut dan sungai serta
tambatan perahu dan sampan.
Pemerintahan kampong (desa) terdiri dari beberapa pejabat yaitu:
a. Gechik atau kepala desa, dalam suku perkauman Tamiang gechik ada juga

yang menyebut datok berkewajiban menjaga ketertiban, keamanan dan
adat dalam kampong (desanya) dan memberikan keadilan dalam setiap
menyelesaikan perselisihan dengan berpegang teguh kepada langkahlangkah yang telah menjadi suatu keyakinan yang disebut dengan 16
falsafah (pusaka) Tamiang. Ke-16 falsafah tersebut adalah: kaseh, sayang,
tilek, pandang, alang, tolong, berat, bantu, salah, tegah, benar, papah,
sidek, siasat, usul, dan periksa .

Dalam menyelesaikan masalah langkah pertama ialah menghadapi
orang yang bermasalah harus dengan penuh kaseh, tanpa ada rasa
kebencian terhadap pihak manapun yang kemudian ditumbuhkan rasa
sayang terhadap kedua pihak. Tilek, adalah cara melihat yang sangat
mendalam, baik terhadap persoalan yang akan diselesaikan maupun
terhadap individunya, kemudian pandang yaitu melihat latar belakang baik
persoalan individunya, keturunannya, prilakunya dan lain lain. Alang,
(menghalangi/menyulitkan), janganlah membuat suatu persoalan tersebut
menjadi sulit atau menghalangi penyelesaianya, akan tetapi bila ada

30
Universitas Sumatera Utara

sesuatu yang memungkinkan dapat menghalangi penyelesaiannya maka
harus tolong. Berat, janganlah memberatkan persoalan atau salah satu
individunya, bila persoalan tersebut dirasa berat maka harus dibantu.
Salah, bila ada pihak yang memang nyata-nyata berbuat salah berilah

petunjuk dan nasehat atau tegah. Benar, bila ada pihak yang benar maka
tuntun atau papah agar tidak terseret dalam emosi yang membuat semakin
ruwetnya persoalan. Jangan terlalu cepat mempercayai keterangan atau
pengakuan suatu pihak untuk membuktikannya haruslah diselidiki atau
sidek. Terhadap orang yang melakukan sidek juga harus ada orang lain
yang menyelidiki yaitu siasat, guna melihat kejujuran orang yang
melakukan sidek. Setelah segala tahap selesai barulah ada usul yang
kemudian dilanjukan pada suatu periksa untuk mengambil keputusan.
Dengan ke 16 falsafah tersebut sebesar apapun permasalahan
dikampong tetap diselesaikan dengan tidak ada satu pihakpun yang merasa
dirugikan. Keterikatan adat jualah yang membuat masyarakat suku
perkauman Tamiang tidak pernah merasa ketidakadilan dalam suatu
penyelesaian permasalahan. Jabatan gecik biasanya dipilih yang pada
waktu dulu tidak terbatas berapa lama periodesasinya.
b.

Imam, pejabat ini bertindak sebagai agama dalam kampong (desa).

Jabatan ini dipilih dan dapat dijabat oleh setiap orang yang faham tentang
agama Islam sehingga Imam sebagai centrum religious didalan kampong
(desa). Segala sesuatu yang bersifat ritual (keagamaan) diurus

oleh

imam. Peran imam memang sangat terasa kental dalam kehidupan
masyarakat suku perkaumam Tamiang sepertinya segala urusan baik yang

31
Universitas Sumatera Utara

menyangkut keagamaan maupun sosial misalnya kenduri. Pesta
perkawinan dan lain sebagainya tidak afdhal dan tidak sempurna bila
tidak ikut serta imam, oleh sebab itu imam benar-benar sebagai panutan
dalam masyarakat dan orang yang mampu menyelesaikan seluruh
persolan agama islam, sehingga keluarga imampun menjadi cerminan
terhadap sikap dan prilaku dari pada imam tersebut. Dahulu imam ini
dibawahi oleh Raje Imam yaitu orang yang memberi nasehat kepada
setiap imam, dan Raje Imam ini juga yang berperan untuk melakukan
pernikahan kepada setiap orang yang akan melakukan perkawinan. Setiap
kecamatan hanya ada satu Raje Imam, namun sekarang jabatan ini sudah
tidak ada lagi karena sudah ada lembaga pemerintah di Kecamatan yaitu
Kantor Urusan Agama Kecamatan (KUA Kec) yang mengkoordinasi
seluruh imam yang ada dalam Kecamatan tersebut,
c.

Urang tuhe, di kampong (desa) biasanya ada majlis yang terdiri dari

beberapa orang yang biasanya sudah tua-tua dan banyak pengalaman
serta faham tentang soal adat istiadat. Mereka adalah wakil wakil rakyat
yang dipilih dan ikut serta membicarakan kepentingan kampong (desa),
sehingga kampong (desa) menunjukan cirri masyarakat yang demokratis
dan tanpak dua unsur yang bergandeng sama dan sejalan yaitu agama
dan adat. Urang tuhe ini merupakan komponen dari masyarakat desa
yang tidak boleh ditinggalkan dalam setiap persoalan didesa dengan kata
lain setiap permasalahan, persoalan, dan kegiatan yang ada di desa
mereka harus dilibatkan.

32
Universitas Sumatera Utara

Kemudian adalah gabungan dari beberapa kampong (desa) merupakan
kesatuan hukum yang bercorak agama. Jabatan Kepala Mukim dalam suku
perkaumam Tamiang biasanya dijabat secara turun temurun, maka setiap yang
menjadi kepala mukim adalah orang-orang tertentu yang memiliki status
sosial, keturunan dan kemampuan yang diakui kepala mukim ini membawahi
dari beberapa kepala desa dan merupakan tempat bermusyawarah kepada desa
yang ada dalam kemukimannya. Untuk hal-hal tertentu terutama yang
menyangkut adat dan pembangunan didesa meskipun telah mendapat suatu
keputusan dalam musyawarah didesa namun tetap dibicarakan kembali dengan
kepala mukim.

Wilayah Tamiang merupakan bagian dari Daerah Provinsi Aceh, maka
segala struktur dan Birokrasi Perintahan tetap mengikuti ketentuan yang berlaku
di Aceh khususnya dan Indonesia pada umumnya. Aceh oleh Pemerintah Pusat
diberi hak penuh untuk mengurus daerahnya sebagai daerah istimewah yang
kemudian Aceh dinamakan Provinsi Daerah Istimewah Aceh (Dista) sesuai
dengan keputusan Perdana Menteri R.I. No. 1/Missi/1959 yang berarti istimewa
dalam hal: (a) keagamaan, (b) peradatan, dan (c) pendidikan.
Kemudian di era Reformasi dengan berlakunya sistem Otonomi Daerah
sesuai dengan Undang-Undang R.I. No. 18 tahun 2001 Aceh diberi Otonomi
Khusus dengan nama menjadi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Hal
ini dapat terjadi karena setiap suku perkauman di Aceh menjujung tinggi nilainilai adat istiadat, demikian pulalah keberadaan suku perkauman Tamiang yang
prilaku kehidupannya berketerikatan dengan adat istiadat yang sejalan dengan
nilai-nilai agama sesuai dengan falsafah yang telah diyakini yaitu: Sebadi adat

33
Universitas Sumatera Utara

dangan syara’, adat dipangku, syara’ dijunjong, resam dijalin, qanun diator,
duduk setikar. Dalam kaitan falsafah ini membuktikan bahwa adat dan nilai-nilai

agama tak dapat dipisahkan seperti satu adanya, dalam melaksanakan adat tetap
berpegang pada ajaran agama, sehingga setiap menetapkan aturan adat tetap
mengacu pada ketentuan agama yaitu agama Islam karena masyarakat suku
perkauman Tamiang seluruhnya beragama Islam, kebiasaan adat dijalin dan
hukum diatur dalam suatu musyawarah.
Agama Islam lebih menonjol dalam segala bentuk dan manifestasinya
didalam masyarakat yang seirama dengan perlakuan adat. Sehingga kelihatanlah
agama Islam telah mempengaruhi sifat kekeluargaan, seperti perkawinan, harta
waris dan kematian, apalagi sejak berlakunya syariat Islam di Aceh segala sesuatu
penyelesaian tetap mengacu pada ajaran Islam.
Keterikatan

agama

ini

juga

mempengaruhui

dalam

menentukan

pendidikan, banyak masyarakat suku perkauman Tamiang memasukan anaknya
pada sekolah-sekolah agama, kalaupun mereka sekolah disekolah umum namun
pada siang atau sore hari bahkan malam hari mereka harus dididik dalam
pelajaran agama. Hal ini juga yang membuat banyaknya Pasantren dan Taman
Pendidikan Al-Qur’an (TPA) didirikan didaerah ini.
Menyangkut pembangunan dalam era modrenisasi, wilayah Tamiang sama
nasipnya dengan Provinsi Aceh secara keseluruhan yang diperlakukan oleh
Pemerintah Pusat yang telah menimbulkan konflik akibat kecemburuan sosial dari
perlakuan Pemerintah Pusat yang tidak adil. Demikian juga wilayah Tamiang
yang telah mendapat perlakuan sama dari Pemerintah Daerah Aceh Timur, dimana
pembangunan lebih terkonsentrasi ke wilayah barat (dimulai dari Langsa Ibu kota

34
Universitas Sumatera Utara

Kabupaten kearah menuju Banda Aceh sebagai Ibu kota Provinsi). Disadari atau
tidak keterikatan primordialisme telah mempengaruhi laju pembangunan di Aceh
Timur, salah satu penyababnya karena birokrasi ditingkat Kabupaten lebih
didominasi oleh orang-orang wilayah barat, sehingga Bupati Aceh Timur sejak
zaman Orde Baru tidak pernah diduduki oleh orang wilayah timur (Tamiang).
Perubahan yang dirasakan sangat lambat ini belum mampu untuk mangankat
tingkat ekonomi dari masyarakat sehingga masyarakat seperti apatis meresponsif
terhadap setiap pembangunan apalagi yang bersifat Swakarya, karena kebanyakan
masyarakat lebih dibebani untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari, dan
banyaknya janji-janji yang diucapkan oleh pemimpin tidak pernah dijalankan
secara konsekwen, perubahan kebudayaan dalam arti meteri hampir tidak
kelihatan. Komunikasi dan keamanan telah terakumulasi dalam bentuk ketakutan.

2.6

Sistem Kepercayaan Animisme
Pujaan disini dapat diartikan kepada segala sesuatu upaya untuk

menakhlukkan atau membuat orang atau sesuatu yang mampu menerima menjadi
takluk atau tertarik mendengarnya sehingga dapat menurut.
Pada awal mulanya dizaman sebelum Islam masuk ke Aceh, Orang
Tamiang memiliki kepercayaan animisme, yaitu kepercayaan kepada serba sukma
(segala roh yang mendiami tempat-tempat tertentu). Ada 4 pokok pandangan
(anggapan) terhadap kepercayaan animisme ini yaitu:
1. Segala yang ada dala dunia ini baik manusia, hewan, tumbuhan dan
benda-benda memiliki dan terjadi dari sejenis daya (jiwa) dan serupa.
2. Manusia selain mempunyai roh juga mempunyai semangat.

35
Universitas Sumatera Utara

3. Roh-roh manusia yang mati mempengaruhi keadaan hidup bagi manusia
yang masih hidup oleh sebab itu boleh dipuja.
4. Dewa-dewa, jin-jin dan keadaan alam gaib yang juga mempengaruhi
keadaan manusia yang masih hidup wajib dipuja.
Untuk memupuk dan mempertebal rasa keberanian dan keyakinan pada
diri sendiri dalam suku perkauman Tamiang digunakan juga beberapa
rangkaian kata yang merupakan mantra-mantra, baik merupakan hasil
pujaan terhadap dewa-dewa dan jin-jin maupun yang merupakan
kepercayaan belaka. Untaian kata-kata itu secara ilmu bahasa sukar untuk
dapat dikatakan apakah itu berbentuk pantun, syair atau jenis lain, karena
kadang kala dari suatu rangkaian itu dapat berbaur antara beberapa jenis
hasil sastra lama.
Hampir disetiap kegiatan masyarakat tidak terlepas dari berbagai pujaanpujaan, seperti: turun kesawah, menanam padi, mengetam padi, mengerik padi,
mendirikan rumah, perkawinan, kematian, melahirkan anak dan pemujaanpemujaan lainnya. Arwah nenek moyang yang mereka puja, berguna untuk
melindungi anak cucuk mereka dari segala bencana, dibuatlah berbagai syarat
untuk menghindari kemurkaan dan amarah dari arwah-arwah nenek moyang yang
dapat memberi bencana yang tidak baik tersebut. Pemujaan ini dapat dilakukan
secara langsung maupun dengan perantara pawing/guru yang telah dapat
berhubungan langsung dengan benda (roh-roh) yang dipuja.
Nenek moyang yang mereka puja tersebut dapat sewaktu waktu menjelma
dalam berbagao rupa seperti: buaya, ular, harimau, babi, belut, ayam putih, dan
lain-lain. Terhadap binatang-bianatang tertentu yang dipuja seperti Harimau atau

36
Universitas Sumatera Utara

Buaya, sebagai penghormatan maka dipanggil dengan sebutan “nenek” atau
“datok.” Bila pemujaan tersebut telah menyatu sebagai satu kehidupan dalam diri
si pemuja, maka binatang-binatang ini dapat menjadi penjaga terhadap sesuatu
yang tidak senonoh didalam kampung atau dimana sipemuja berada. Bila hal ini
terjadi tanpa perlu dipanggil binatang-binatang ini akan datang sendiri untuk
memporak porandakan sipelaku maksiat/kejahatan tersebut.

2.7

Sistem Kesenian
Seni budaya yang merupakan bagian dari kebudayaan suatu suku bangsa

selalu mempunyai pola dan corak yang khusus, pola dan corak yang khusus ini
pula yang dapat membedakan antara seni budaya suatu suku bangsa dangan suku
bangsa lainya. Suatu kelompok masyarakat dari suatu kebudayaan yang telah
hidup dari hari kehari dalam lingkungan kebudayaannya, mereka tidak akan
pernah lagi meliht corak khas kebudayaannya, sebaliknya terhadap kebudayaan
suku bangsa lain mereka akan merasakan corak khas tersebut apalagi corak khas
itu sangat berbeda dengan corak kebudayaan yang mereka miliki.
Koentjaranungrat dalam buku Antropologi menyatakan bahwa “corak khas
dari suatu kebudayaan bisa tampil karena kebudayaan itu menghasilkan suatu
unsur yang kecil berupa suatu unsur kebudayaan fisik dengan bentuk yang khusus,
atau diantara pranata-pranatanya ada suatu pola sosial yang khusus, atau dapat
juga menganut suatu tema budaya yang khusus. Sebaliknya corak khas tadi juga
dapat disebabkan karena adanya kompleks unsure-unsur yang lebih besar.
Berdasarkan atas corak khususnya tadi, suatu kebudayaan dpat dibedakan dengan
kebudayaan yang lain”.

37
Universitas Sumatera Utara

Seni budaya yang dimiliki oleh suku perkauman Tamiang adalah salah
satu dari sekian banyak seni budaya dari suku bangsa lainya memiliki pola dan
corak yang spesifik. Seni budaya ini lahir dari suatu kebiasaan yang beradaptasi
dari kolompok masyarakat yang kemudian menimbulkan suatu kesadaran identitas
dan diikat pula dengan kesatuan bahasa sehingga menimbulkan rasa memilki yang
mengikat.
2.7.1

Seni Tari dan Nyanyian

Dalam seni budaya suku Tamiang yang tradisional sukar untuk
menentukan apakah tari mengikuti nyanyi atau nyanyi pengiring tari. Karena
setiap tari di daerah Tamiang selalu disertai dengan nyanyian berbentuk syair
ataupun berbalas pantun. Pola dasar dari gerak tari pada seni budaya suku
perkauman Tamiang adalah gerak melingkar atau saling memotong silih berganti,
dengan hentakan kaki sebagai irama dasar dan ditingkahi oleh suara gelang kaki.
Setelah berkembang barulah diikuti diiringi dengan instrument yang sederhana
seperti gendang, seruling, dan biola. Namun dibeberapa tempat yang terpencil
tarian ini hanya diiringi oleh irama lesung ataupun ketukan pada kayu yang
disusun pada unjuran kaki (terdiri dari tiga atau lima potong kayu).
Tarian tradisional yang telah digali dari masyarakat suku perkauman
Tamiang yang dianggap seni budaya tua disebut piasan. Seni budaya ini dapat
dipegelarkan tanpa musik, baik dalam bentuk penyajian atau penampilan tarian
maupun nyanyian. Oleh sebab itulah dalam penyajian ini sekaligus diuraikan seni
budaya tari dan nyanyian, salah satu tarian dan nyanyian adalah tari Ula-ula
Lembing.

38
Universitas Sumatera Utara