Deskripsi Struktur Gerak Dan Musik Iringan Tari Ula-Ula Lembing Oleh Sanggar Meuligee Lindung Bulan Di Aceh Tamiang

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Aini, Syarifah. 2013. “ Tari Inai Dalam Konteks Upacara Perkawinan Adat Melayu di Batang Kuis: Deskripsi Gerak, Musik Iringan, Dan Fungsi”.

Sripsi Sarjana Etnomusikologi USU.

Blacking, John. 1974. How Musical is Man? Seattle: University of Washington Press.

Diman, Wan. 2003. “ Tamiang Dalam Lintasan Sejarah: Mengenal Adat dan Budaya Melayu Tamiang”. Banda Aceh: Yayasan Sri Ratu Syafiatuddin.

Djelantik, 1990. Estetika, Sebuah Pengantar. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.

Effendy, Tenas. 2004. “ Tunjuk Ajar Melayu: Butir- Butir Budaya Melayu Riau”.

Yogyakarta: Penerbit Adicita.

Goldsworthy, David J. 1979. Melayu Music of North Sumatra: Continuities and Changes. Sydney: Monash University. Disertasi Doktoral.

Gea, Debby. 2014. “ Tari Mas Merah Ciptaan Freidy Idris Dalam Kebudayaan Melayu di Kota Bijai”. Skripsi Sarjana Etnomusikologi USU.

Kamus Umum Bahasa Indonesia, 2000. Jakarta: balai Pustaka.

Koentjaraningrat, 1973. Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia. Koentjaraningrat, 1990.Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.

Husni, Tengku Lah. 1986. “ Butir- Butir Adat Melayu Pesisir Sumatera Timur”.

Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.

Malm,William P., 1977. Music Cultures of the Pacific, Near East, and Asia. New Jersey: Prentice Hall, Englewood Cliffs; serta terJemahannya dalam bahasa Indonesia, William P. Malm, 1993, Kebudayaan Musik Pasiflk, Timur Tengah, dan Asia, dialihbahasakan oleh Muhammad Takari, Medan: Universitas Sumatera Utara Press.

Nettl, Bruno, 1964. Folk and Traditional of Western Continents, Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall.

Noor, Mohd Anis Md, 1990. The Zafin Melayu Dance of Johor: From Village to A National Performance Tradition. disertasi doctoral. Michigan: The University of Michigan.

Sachs, Curt. 1993. World History of The Dance. New York: The Norton Library.

Sachs, Curt, 1940. The History of Musical Instruments. New York: W.W. Norton and Company.


(2)

Sinar, Tengku Luckman, 1986. “Perkembangan Sejarah Musik dan Tari Melayu dan Usaha Pelestariannya.” Makalah dalam Seminar Budaya Melayu Indonesia, di Stabat, Langkat, 1986.

Sinar, Tengku Luckman 1990. Pengantar Etnomusikologi dan Tarian Melayu. Medan: Perwira..

Sinar, Tengku Luckman, 2012. Jatidiri Melayu. Medan: Majelis Adat Budaya Melayu Indonesia.

Sumantri, Yuyun S., 1993. Ilmu dalam Perspektif. Jakarta: Yayasan Obor dan Leknas LIPI.

Wimbrayardi. 1989. Analisis Ritem Musik Adok Pengiring Tari Bentan. Medan, Skripsi Sarjana Sastra USU.


(3)

Daftar Informan

 Nama : Elisa Suhery, S.Pd., M.Pd. Usia : 30 Tahun

Pekerjaan : Bidang Kasi Seni Budaya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Aceh Tamiang, penari tari-tarian Tamiang, termasuk Ula-ula Lembing, lulusan Sendratasik Universitas negeri medan, dan sekaligus sebagai informan kunci penulis dalam penelitian ini.

 Nama : Safina Arham S.Ag Usia :53 Tahun

Pekerjaan : Bidang Kasi Bahasa dan Adat Istiadat Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Aceh Tamiang. Beliau banyak memahami tentang kebudayaan Aceh Tamiang, baik dari sisi sejarah, seni, dan lain-lainnya, sekaligus sebagai informan pangkal penulis dalam


(4)

 Nama : Juanda Syaputra

Usia : 19 Tahun

Pekerjaan : Penari (termasuk Ula-ula Lembing) dan mahasiswa Universitas Negeri Samudera. Beliau menjadi informan kunci dalam hal pendalaman materi struktur tari dalam penelitian yang penulis lakukan ini.

 Nama : Haris Nasution Usia : 32 Tahun

Pekerjaan : Pengurus Sanggar Meuligo Lindung Bulan sekaligus Pemusik. Beliau menjadi informan kunci dalam hal pendalaman musik iringan dalam penelitian yang penulis lakukan ini.


(5)

Daftar Website

http://ms.wikipedia.org/wiki/acehtamiang

http:google.com Sejarah Aceh Tamiang

http://google.com Ula-ula Lembing


(6)

BAB III

STRUKTUR TARI ULA-ULA LEMBING

3.1 Tari Ula-ula Lembing

Tari Ula-ula Lembing adalah tari yang mengekspresikan kegembiraan yang biasanya digunakan dalam acara perkawinan. Namun demikian, menurut penjelasan para informan tarian ini bukanlah termasuk ritual adat perkawinan Aceh Tamiang. Tarian ini menggambarkan seorang tekat pemuda dalam mengatasi semua halangan untuk mencapai cita-citanya menemui dan mendapatkan kekasih idaman hati. Di samping itu digambarkan pula bahwa bila seseorang akan membangun kehidupan baru harus mampu menempuh halangan dan rintangan serta mendapatkan restu dari orang tua dan masyarakat.

Tari Ula-ula Lembing ditarikan bebas dalam acara apa saja, tarian ini adalah tari hiburan rakyat yang mendidik dalam segi agama, syair lagunya dalam bahasa Tamiang Hilir dan terdiri dari pantun pantun rakyat. Kesemuanya ini tergambar juga di dalam gerak tari Ula-ula Lembing, satu tarian tradisional suku perkauman Tamiang yang telah memperkaya khasanah kebudayaan Nasional.

3.2 Sejarah Tari Ula-ula Lembing

Tarian ini adalah tarian pesisir pantai laut Tamiang, di mana dahulu diceritakan menurut Hikayat Tamiang pada zaman kerajaan Tamiang ada dua kerajaan yang berseteru (bertengkar). Pertengkaran ini terjadi karena raja dari kedua kerajaan tersebut tidak setuju menjalin perkawinan antara kedua anak mereka. Raja Tamiang Hulu mempunyai seorang putri dan Raja Tamiang Hilir


(7)

mempunyai seorang putra. Kedua putra dan putri raja tersebut sudah saling suka untuk menempuh hidup berumah tangga. Tetapi kedua orang tua mereka tidak setuju. Karena itu mereka mencari jalan bagaimana mereka bisa bertemu walaupun dengan cara apa saja sekalipun dengan cara yang dapat membahayakan mereka. Mereka tetep berusaha keras agar bisa terjalin hubungan berumah tangga.

Kedua putra putri raja ini masing masing mencari dayang dan hulubalang yang rela membela mereka sehingga setiap mereka bertemu harus secara diam-diam tanpa diketahui oleh kedua orang tua mereka dan hulubalangnya. Apabila ingin bertemu, sang putri dan sang pangeran, keluar istana secara diam-diam dan jalan yang dilalui dan dilewati adalah jalan yang tidak diketahui oleh orang-orang secara umum. Mereka harus naik sampan, malewati hutan dan menentang orang-orang yang menghalangi mereka.

Pangeran sendiri berani menyamar dan berubah menjadi seekor ular, pangeran pun langsung menelusuri pantai yang diterjang ombak untuk mencari gadis pujaannya tersebut di tepi sungai, Tekad mereka satu ingin terwujud apa yang diinginkan.

Untuk menggambarkan kegigihan tekad putra putri Tamiang diciptakan suatu tarian yang diberi nama Ula-ula Lembing yang mempunyai arti ular itu panjang tetapi harus tegar (keras) seperti lembing sehingga sanggup berjalan menyusup sampai tempat tujuan. Konon di sebut ular disini karena sang pangeran berani menyamar menjadi seekor ular untuk memasuki kerajaan dan menjemput sang putri idaman hatinya.


(8)

3.3 Sanggar Meuligee Lindung Bulan

Sanggar Meuligee Lindung Bulan merupakan sanggar induk Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang yang anggotanya merupakan anak-anak pilihan dari berbagai Kecamatan di Kabupaten Aceh Tamiang. Sanggar terbentuk pada akhir tahun 2013 di bawah asuhan nyonya Iris Atiqah Hamdan Sati yang tidak lain adalah istri dari Bupati Aceh Tamiang Saat ini Bapak Hamdan Sati. Lokasi Sanggar berada di dekat alun-alun lapangan kantor bupati, biasa nya kegiatan latihan dilakukan pada hari sabtu dan minggu saja karena banyak sekolah di Aceh Tamiang yang memulangkan siswa nya pada siang atau sore hari pada hari-hari penting seperti Senin sampai Kamis.

Adapun gambaran dari sanggar Meuligee Lindung Bulan dapat dilihat pada Gambar 3.1 berikut.

Gambar 3.1

Gambaran Sanggar Meuligee Lindung Bulan (Dokumentasi Adji Suci, 2015)


(9)

Adapun prestasi-prestasi kesenian yang pernah dicapai oleh sanggar Meuligee Lindung Bulan adalah sebagai berikut:

(a) Juara 1 di Festival Tari Garapan Seprovinsi Aceh, (b) Juara harapan 2 di Festival Sabang Fair,

(c) Juara 3 di Festival Langlong, Banda Aceh,

(d) Menjadi peserta temu penyair se-Asia Tenggara di Banten tahun 2014.

3.4 Ragam Gerak Tari dan Busana 3.4.1 Gerak Tari

Tarian Ula-ula Lembing memiliki arti atau makna dalam setiap gerakan-gerakanya. Tarian ini merupakan peniruan (mimesis) dari gerak-gerik ular, yang distilisasi ke dalam gerak tarian. 7 Gaya ular menjalar dalam tarian ini melambangkan kelunakan, kelincahan, kewaspadaan, sedangkan lembing adalah pelambang gaya ketangkasan, kegesitan dalam membela dan menjaga sesuatu kemungkinan. Tarian Ula-ula Lembing dibuka dengan suatu upacara pembuka sebagai acara penghormatan dengan iringan lagu patam-patam (patam-patam adalah suatu irama pengantar: gerak tarian dan ketangkasan silat), dilanjutkan dengan tarian niti batang gerak gaya enjut-enjut kedidi. Berikutnya tarian

tunda-tunda beting. Diteruskan dengan gerakan pungku-pungku pangka diiringi irama

lagu dadoi. Selanjutnya disambung dengan tarian endap-endap binca dan sebagai

7Di dalam berbagai tari di dunia ini, dijumpai berbagai tarian yang merupakanm mimesis dari hewan atau tumbuhan. Di antara tarian memimesis flora dan fauna itu adalah: Tari Kijang, Tari Pelanduk, Tari Burung Enggang, Tari Burung Phoeniks, Tari Singa, Tari Harimau, Tari Elang, Tari Kuda, Tari Bambu, Tari Cemara, dan masih banyak yang lainnya. Dalam tari-tarian yang seperti ini tampak denganjelas manusia dalam menciptakan kesenian selalu berhubungan dengan alam di mana ia hidup. Ia banyak belajar dari alam. Dalam filsafat Melayu dikenal guru terbaik adalah pengalaman di dunia ini, sementara dalam filsafat Minangkabau disebut alam


(10)

penutup gerakan salam penutup diiringan lagu Ula-ula Lembing beralun-alun lambat.

Pola dasar dari gerak tari ini adalah lingkar terbelit, dan di uraikan dalam beberapa tahapan gerak:

1. Gerak silat, yang diiringi oleh irama patam-patam yang diakhiri dengan

salam sembah sebagai rasa hormat dan mohon maaf untuk penampilan mereka. Gerakan ini menggambarkan bahwa putra putri Tamiang sanggup melawan musuh yang merintanginya.

Gambar 3.2

Gerakan Silat Patam-Patam (Dokumentasi: Adji Suci, 2015)


(11)

2. Niti batang (enjut-enjut kedidi), merupakan penggambaran gerak yang

memerlukan konsentrasi dan kelincahan, yang melambangkan tekad yang bulat, tetapi harus disertai dengan gerak dinamis didalam menghadapi setiap masalah kehidupan.

Gambar 3.3

Gerakan Niti Batang Pola 1 (Dokumentasi: Adji Suci, 2015)


(12)

Gambar 3.4

Gerakan Niti Batang Pola 2 (Dokumentasi Adji Suci, 2015)


(13)

3. Tunda-tunda beting, melambangkan bagaimana seharusnya tekad didalam

menghadapi suatu halangan dan rintangan. Walaupun sampan telah kandas di karang yang keras dan tajam, harus dilalui dengan memanggul sampan. Tetapi bila telah mampu mengatasi halang rintang itu bukan berarti saat istirahat atau menunda usaha, mereka harus kembali berkayu untuk mencapai tujuan.

Gambar 3.4


(14)

4. Pungku-pungku pangka, dalam perjuangan yang cukup melelahkan fisik

maupun mental, berpapah atau memapah, bukan berarti tertegun dan mundur. Keberhasilan bukan menyebabkan mereka boleh berpengku tangan. Hal ini digambarkan dengan istilah pungku (berpangku tangan) dan pangka (mendekap seseorang untuk menatih) yang ditunjukan bagi orang yang telah lemah.

Gambar 3.5

Gerakan Pungku-pungku Pangka (Dokumentasi: Adji Suci, 2015)


(15)

5. Endap-endap bincah, penggambaran dari gerak ajuk mengajuk dalam

mengikat idaman hati. Tergambar pula bahwa si idaman hati tidaklah menyerah begitu saja, tetapi berlagak jinak-jinak merpati walaupun hati sedang berbunga cinta.

Gambar 3.6

Gerakan Endap-Endap Bincah (Dokumentasi: Adji Suci, 2015)


(16)

6. Gerak silat rebas tebang, sebagai pelambang perjuangan untuk hidup

mandiri, melalui menebas, menebang, merambas, menabur benih dan membangun.

Gambar 3.7

Gerakan Silat Rebas Terbang (Dokumentasi: Adji Suci, 2015)


(17)

7. Salam penutup, menjora daulat sebagai tanda syukur yang di iringi dengan

penaburan beras padi dan penepung tawaran yang menggambarkan bahwa segala sesuatu perjuangan mereka telah berhasil dan restui juga mudah-mudahan direstui Allah.

Gambar 3.8 Gerakan Salam Penutup (Dokuemntasi: Adji Suci, 2015)


(18)

Proses gerak dalam tari Ula-ula Lembing ini dapat dilihat pada Tabel 3.1 berikut ini.

Tabel 4.1:

Ragam dan Pola Gerak Tari Ula-ula Lembing

Ragam Gambar Pola gerak Hitungan

Gerak Silat Niti Batang Atau (Enjut Enjut Kedidi)

1. Posisi badan:

membungkuk. Seperti gerakan silat patam-patam Posisi kaki: Terbuka lebar seperti mengangkang Posisi tangan: kedua bergantian kedepan kebelakang seperti gerakan tebas Pandangan: menghadap sesuai tangan di depan.

1 x 1

2.

Posisi badan : tegak lalu menunduk mengadapa bawah Posisi kaki: berjalan kecil Posisi tangan: tangan di dekatkan seolah berdekatan lalu gerakan atas bawah mulai dari kiri bawah sampai kanan atas Pandangan: menghadap ke depan lalu ke bawah


(19)

Tunda-tunda beting

3. Posisi badan:

tengak menyamping Posisi kaki: kaki lebar seperti mengangkang Posisi tangan: seperti mengayuhkan sampan tangan kanan di atas lalu berubah kembali tangan kanan dibawah Pandangan: menghadap ke atas dengan pandangan mengarah telapak tangan kiri.

1 x 4

4. Posisi tegak lurus

Posisi tangan: satu tangan di lipatkan disikut tangn yang satu nya dan saling bergantian

Posisi kaki: satuy kakii berdiri jinjit lalu kaki yang satu


(20)

lalu bergantian Pandangan: menghadap ke depan

Endap-endap bincah

5.

Posisi badan: membungkuk Posisi tangan: kedua tangan dikepakakn dan tangan saling bertemu sejajat dengan kepala posisi kaki: Jinjit sebelah

Pandangan: mengarah ke bawah


(21)

6.

Posisi badan: seperti gambar gerak ke-1

Posisi kaki: kaki kiri lurus maju ke depan, kaki kanan tetap di tempat dan tetap ditekuk. Posisi tangan: direntangkan, tangan kanan di belakang, tangan kiri di depan, dengan posisi kedua telapak tangan dibuka. Pandangan: menghadap ketelapak tangan kiri.

1 x 1

Salam Penutup

7.

Posisi badan: tegak namu sedikit agak bungkuk

Posisi kaki : jongkok seperti kaki kanan diatas lalu kaki kira di tekuk Posisi tangan: rapatkan kedua telapak tangan seperti memberi salam. Pandangan: menunduk sopan.


(22)

3.4.2 Pola Lantai

Setiap daerah memiliki tari tradisional yang dilakukan perseorangan, berpasangan, maupun secara berkelompok. Penyajian tari perseorangan atau tari tunggal, berpasangan dan kelompok memiliki karakteristik sendiri. Kemampuan individu menjadi kekuatan pada penyajian tari tunggal. Tari berpasangan perlu ada koordinasi dalam melakukan gerak antara dua orang penari. Tari kelompok memerlukan kerjasama dan kemapuan sama dalam menari. Penggunaan pola lantai pada setiap jenis penyajian tari juga berbeda-beda. Pola lantai adalah pola denah yang dilakukan oleh seorang penari dengan perpindahan, pergerakan, dan pergeseran posisi dalam sebuah ruang (space) untuk menari. Pola lantai ini merupakan teknik blocking (penguasaan panggung) seorang penari. Pola lantai berfungsi untuk membuat posisi dalam sebuah ruangan gerak. Dalam sebuah tarian (terutama tari kelompok), pola lantai perlu diperhatikan.

Penyajian semacam ini juga dilakukan pada tari ula lembing. Tari Ula-ula Lembing menggunakan pola lantai vertikal lurus : pada pola lantai ini, penari membentuk garis vertikal, yaitu garis lurus dari depan kebelakang atau sebaliknya. Pola lantai ini banyak digunakan pada tari klasik. Pola lantai ini menampilkan kesan sederhana tapi kuat. Penyajian semacam ini juga dilakukan pada tari Ula-ula lembing.

Pola lantai vertikal (lurus) : pada pola lantai ini, penari membentuk garis vertikal, yaitu garis lurus dari depan ke belakang atau sebaliknya. Dalam ragam gerak tari Ula-ula Lembing pola lantai ini menjadi pola lantai pertama yang di bentuk penari, Pola lantai ini banyak digunakan pada tari klasik. Pola lantai ini menampilkan kesan sederhana tapi kuat.


(23)

Contoh :

. .

. .

. .

. .

. .

. .

Pola lantai Horizontal: pada pola lantai ini, penari berbaris membentuk garis menyudut ke kanan atau ke kiri. Dalam ragam ke tiga tari Ula Ula Lembing menggunakan pola lantai ini.

Contoh :

. . .

. . . .


(24)

Pola lantai garis melengkung : pola garis ini termasuk ke dalam pola tari

Ula-ula Lembing, pola lantai ini banyak di gunakan pada tari rakyat dan tari

tradisi, memberi kesan lemah dan lembut. Beberapa pola lantai melengkung antara lain melingkar : pada pola lantai ini, penari membentuk garis lingkaran. Pola lantai lengkung ular dan pola lantai angka delapan.

Contoh :

3.4.3 Motif Tarian

Gaya ular menjalar : meliputi keuletan, kelincahan, kewaspadaan gerak (ada kepala dan ekor dengan langkah sudut tiga melingkar bundar).

3.4.4 Jumlah Penari

Adapun jumlah penari dalam tarian Ula-ula Lembeng terbagi dua. 1. Dua orang penyampai pantun yang dinyanyikan

2. Sebaiknya terdiri dari 10 orang penari (boleh pria maupun wanita)

Tarian ini diperankan oleh wanita karena tarian ini merupakan tarian penghibur, jadi tidak termasuk dalam ritual-ritual yang mengkhususkan antara laki-laki atau wanita yang melakukan tarian Ula-ula Lembing ini. Namun untuk saat ini wanita lah yang sering kita jumpai menarikan tarian ini.


(25)

3.4.5 Pakaian Penari

Penari berpakaian adat suku perkauman Tamiang untuk wanita secara lengkap yang terdiri dari dua kelompok warna yang berbeda misalnya 5 penari berwarna merah dan 5 penari berwarna hijau. Dalam kebudayaan melayu khususnya Tamiang warna ini sangat penting artinya misalnya saja warna kuning diartikan sebagai warna raja, warna hitam diartikan sebagai kesatria, sedangkan warna hijau dan merah adalah warna yang melambangkan daerah Tamiang sehingga penari ula ula lembing diharuskan mengunakan kedua warna tersebut sehingga menjadi identitas suku perkauman Tamiang.

Adapun pakaian dasar yang digunakan penari Ula-ula Lembing yaitu pakaian adat melayu yang terdiri dari, baju adat melayu, kain songket, dan tali ikat pinggang. Dimana khusus Aceh Tamiang digunakan pakaian berwarna merah dan hijau. Adapun gambar pakaian adat tarian Ula-ula Lembing untuk Aceh Tamiang dapat dilihat pada gambar berikut.


(26)

Gambar 3.9

Pakaian Adat untuk Penari Ula-ula Lembing Aceh Tamiang (Dokumentasi: Adji Suci, 2015)


(27)

Gambar 3.10

Kain Songket Pada Pakaian Tari Ula-ula Lembing (Dokumentasi: Adji Suci, 2015)


(28)

Gambar 3.11

Ikat Pinggang Pada Pakaian Tari Ula-ula Lembing (Dokumentasi: Adji Suci, 2015)


(29)

Gambar 3.12

Pakaian Keseluruhan Tarian Ula-ula Lembing Aceh Tamiang (Dokumentasi: Adjie Suci, 2015)


(30)

BAB IV

ANALISIS STRUKTUR MELODI

TARI ULA-ULA LEMBING

Untuk menganalisa sebuah musik, diperlukan transkripsi untuk menggambarkan atau memvisualisasikan bunyi yang diteliti ke dalam tulisan yang menggunakan simbol-simbol yang dapat dilihat untuk dipahami.dalam menganalis struktur melodi tari Ula-ula Lembing penulis menggunakan teori Wiliam P.Malm (1977:15) yang di kenal dengan teori weighted scale untuk menganalisis melodi pengiring tari Ula-ula Lembing yang membahas scale (tangga nada), nada dasar,

range (wilayah nada), frequency of notes (jumlah nada-nada), prevalent interval

(interval yang di pakai) cadence patterns (pola –pola kadensa), melodic formula (formula melodi), dan contour (kontur).

Penulis juga melakukan pendekatan seperti yang ditawarkan Nettl (1963:89), yaitu: (1) menganalisa dan mendeskripsikan apa yang kita dengar, dan (2) menuliskan apa yang kita dengar itu di atas kertas, dan kemudian mendeskripsikan apa yang kita lihat itu. Dalam hal ini penulis hanya akan menganalisa melodi music iringan tari Ula-ula Lembing, bagaimana nada-nadanya, interval yang dipakai, bagaimana irama nyanyian itu.

Setelah mendapatkan nada apa saja yang ada dalam melodi tari Ula-ula Lembing, penulis menuliskannya ke dalam garis para nada yang menggunakan notasi barat atau notasi balok. Penulis memakai notasi barat karena notasi tersebut paling umum digunakan dan dikenal dalam informasi sebuah musik.


(31)

Berikut ini adalah melodi pengiring tari Ula-ula Lembing yang sudah penulis tuangkan kedalam notasi barat atau notasi balok barat:


(32)

4.1 Tangga Nada

Dalam pengertian yang sederhana, tangga nada dalam music bisa diartikan sebagai satu set atau satu kumpulan not music yang diatur sedemikian rupa dengan aturan yang baku sehingga memberikan nuansa atau karakter tertentu. Aturan buku tersebut berupa interval atau jarak antara satu not dengan not yang lain, aturan tentang nada awal dan nada final, dan lain lain. Ada berbagai macam tangga nada di dalam music, masing-masing memiliki aturan baku sebagai cirri yang membedakan antara tangga nada yang satu dengan tangga nada yang lain. Penulis menyusun semua nada-nada yang terdapat dalam nyanyian tersebut. penulis mengurutkan tangga nada dari nada terendah hingga ke nada yang tertinggi termasuk nada oktaf jika ada ke dalam garis paranada. Lagu ini hanya memakai 9 buah nada sebagai berikut:

4.2 Wilayah Nada (Range)

Wilayah nada dalam suatu komposisi music adalah jarak antara nada terendah dengan nada tertinggi. Oleh karena itu, setelah penulis membuat lagu tersebut ke dalam garis paranada, maka didapatlah range tersebut. wilayah nada nya adalah sebagai berikut.


(33)

4.3 Nada Dasar (pitch center)

Dalam menetukan nada dasar, penulis berpedoman kepada rekaman yang ada, penulis mendengarkan rekaman dari lagu tersebut dan mencocokan dengan bantuan alat musik keyboard. Nada dasarnya adalah D. Penulis juga telah membuat tanda kunci G pada garis paranada.

4.4 Formula Melodik (melodic formula)

Bentuk juga dapat dibagi menjadi 5 menurut pendapat Malm (Malm dalam Takari 1993 : 14-15), yaitu:

1. Repetitive, yaitu bentuk nyanyian yang mengalami pengulangan

2. Ireratif, yaitu suatu bentuk nyanyian yang menggunakan formula melodi

yang kecil dengan kecendrungan pengulangan-pengulangan di dalam keseluruhan nyanyian.

3. Reverting, yaitu suatu bentuk nyanyian apabila di dalam nyanyian terjadi

pengulangan pada frase pertama setelah terjadi menyimpangan melodis. 4. Srofic, yaitu apabila bentuk nyanyian diulang dengan formalitas yang

sama namun menggunakan teks yang baru.

5. Progressive, yaitu apabila bentuk nyanyian selalu berubah dengan

menggunakan materi melodi yang selalu baru.

Pada lagu Ula-ulan Lembing ini, penulis menyimpulkan bahwa bentuk lagu tersebut adalah Srofik. Hal tersebut dapat dilihat dari notasi lagu yang telah penulis transkripsikan di atas.


(34)

4.5 Interval (prevalent interval)

Interval adalah jarak antara satu nada dengan nada yang lainnya (Manoff 1991 : 50). Penulis memisah interval pada lagu tersebut dengan interval naik dan interval turun.

Interval Posisi Jumlah

1 P _ 88

2 S 12

3 M 1

7 M 1

4.6 Pemakaian Nada/Jumlah Nada (Frequency of Notes)

Jumlah nada dapat dilihat dari banyaknya pemakaian nada yang dipakai dalam sebuah komposisi. Penulisan menyusun jumlah nada yang dipakai dalam lagu sesuai dengan tangga nada yang telah dibuat sebelumnya. Dapat dilihat dari gambar garis paranada berikut:


(35)

4.7 Pola Kadensa (Cadence Pattern)

Kadensa adalah nada akhir dari satu bagian musik atau lagu. Pola kadensa yang dijabarkan penulis dalam tulisan ini adalah 1 nada terakhir dari transkripsi lagu yang ada.

Frasa 1 Frasa 2

Frasa 3 Frasa 4

Frasa 5 Frasa 6

Frasa 7 Frasa 8

Frasa 9 Frasa 10

Frasa 11


(36)

4.8 Syair

Musik pengiring terdiri dari gendang, biola, dan akordion Syair Ula-Ula Lembing:

Assalamualaikum

kami ucapken

kepade hadirin

yang kami mulie ken

kami angkek 10 jari

mohon sembah syukur dan puji

kepada Tuhan ilahi Rabbi

shalawat salam kepade nabi

Ula ula lembing

Tetedong awan awan

Tang mane ku patok ke


(37)

Cepak dalam batel

Tepak dalam dulang

Perak berbilang tael

Tuju ncan tuning

Ula ula lembing

Tetedong awan awan

Tang mane ku patok ke

Tang puteh panonye 3X

Kayoh mak idah kayoh

Kayoh rame-rame

Singgah usah singgah

Tepian belom sampe

Kayoh mak idah kayoh

Kayo laju-laju

Singgah mak idah singgah


(38)

La..la..la..la..la..la.

La..la..la..la.la..la., 2X

Ula ula lembing

Tetedong awan awan

Tang mane ku patok ke

Tang puteh panonye 3X

Malam bekalang mimpi

Siang bekalang mate

Gunong tinggi kudaki

Lembah dalam diarong rate

Ula ula lembing

Tetedong awan awan

Tang mane ku patok ke


(39)

Biar keram bade ngamok

Putus termenang patah kemudi

Tujuh harap nak ku jengok

Lare dendam rindu hati

Ula ula lembing

Tetedong awan awan

Tang mane ku patok ke

Tang puteh panonye 3X

Puku-puku pangke alang betanye-tanye jalan

Jalan kemane jalan kemana tuan tanye ke

Jalan kami jalan kami kegudang bading

Bak diambil bak diambil kegudang gading

Laju bulu laju reriang kembang di jalan

Nak lalu baek lalu dedayang ngepang

Di tengah jalan


(40)

Kelua jangan becere-bare Padu kate kaseh bature

Sepanjang mase jangan becare

Back Intro;

Ula ula lembing

Tetedong awan awan

Tang mane ku patok ke

Tang puteh panonye 3X

Kayoh mak idah kayoh

Kayoh rame-rame

Singgah usah singgah

Tepian belom sampe

Kayoh mak idah kayoh

Kayo laju-laju

Singgah mak idah singgah

Dihini tempat bertemu

La..la..la..la..la..la.


(41)

Ula ula lembing

Tetedong awan awan

Tang mane ku patok ke

Tang puteh panonye 3X

Alhamdulillah geme berkumandang

Dilindungi Allah

Kaandai dan tolan

Lillahi Rabbi kami akhiri

Tari gembire dari tamiang

Silap dan salah maafken kami


(42)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Penelitian yang penulis lakukan terhadap deskriptif struktur gerak dan musik iringan tari Ula-ula Lembing ini menghasilkan beberapa kesimpulan mengenai struktur gerak tari Ula-ula Lembing dan melodi pengiring tari Ula-ula Lembing.

Setelah menganalisis struktur gerak tari Ula-ula Lembing, secara keseluruhan penulis menyimpulkan bahwa setiap gerak memiliki arti dan makna peragam nya, misalnya saja gerak tunda-tunda beting yang gerakannya seperti orang sedang mengayuh kapal, gerakan ini

mengartikan bahwa pemuda tamiang harus berusaha sekuat mungkin agar cita-cita dan harapannya tercapai meski ombak dan badai semakin kencang kita harus senantiasa berusaha dan berusaha sekeras mungkin. Itulah salah satu makna gerak yang terkandung dalam tarian Ula-ula Lembing. Gerak tari Ula-ula Lembing ini sendiri pun ada yang di ambil dari permainan rakyat tamtambuku yang di mana dahulu di aceh tamiang permainan ini menjadi permainan yang sering dimainkan oleh pemuda-pemudi Aceh Tamiang. Dari segi kostum penulis mendapat ilmu baru di mana penulis baru mengatahui ada arti di balik warna baju tari khususnya melayu, dimana warna merah dan hijau dilambangkan sebagai warna melayu khususnya tamiang sedangkan warna kuning


(43)

diartikan sebagai warna Raja atau petinggi kerajaan sedangkan warna hitam diartikan sebagai warna prjurit.

Dari segi penyajian penulis baru menyadari bahwasanya tarian ini dapat di tarikan di acara hiburan awalnya tarian ini bersifat mistik karena menurut informasi yang penulis dapat dahulu memang bagi seorang penari yang ingin menarikan tari Ula-ula Lembing wajib membaca doa sebelum menarikan nya karena konon apabila melanggar puteri tamiang hilir akan merasuki penari yang melanggar peraturan namun kini semenjak doa itu tidak dipermasalahkan lagi banyak penari yang tidak merasa takut lagi dan bahkan menjadi biasa. Tarian ini sering ditampilkan di acara-acara besar Aceh Tamiang sebagai pembuka, dan menjadi tarian penghibur yang sangat sukses sebagai pembuka karena tarian ini adalah tarian gembira yang ditarikan oleh 12 penari yang lincah.

Setelah penulis menganalisis unsur-unsur melodi yang terdapat pada tari Ula-ula Lembing penulis menyimpulkan bahwa melodi tari Ula-ula Lembing memiliki formula melodik Strofik atau yang artinya bentuk nyanyian yang diulang-ulang dengan fomalitas yang sama namun mengunakan teks yang baru. Dan dari tangga nada penulis mendapatkan hasil bahwa melodi pengiring tari Ula-ula Lembing hanya mengunakan 9 nada dimana nada terendah adalah A dan nada tertinggi adalah Ais. Penulis juga menyimpulkan bahwa tarian ini adalah salah satu tarian bernuansa melayu yang menajadi ciri khas di Provinsi Aceh khususnya Kabupaten Aceh Tamiang.


(44)

5.2 Saran

Dari hasil penelitian yang penulis kerjakan, maka penulis memberi saran kepada pembaca dan masyarakat umum, penulis mengharapkan kepada masyarakat umum agar lebih peka, dan memelihara, menjaga dan menghargai setiap tradisi kebudayaan yang ada di provinsi Aceh khusunya di kabupaten Aceh Tamiang, baik itu dari segi musik, tarian, nyanyian vocal, dan lain sebagainya. Sebab memelihara tradisi ini merupakan hal terpenting bagi kita masyarakat Aceh pada khususnya dan masyarakat indonesia pada umumnya sebagai salah satu aset budaya bangsa yang penting dan harus dipelihara.

Penulis juga mengharapkan kepada pemerintah khususnya departemen kebudayaan untuk membantu dalam proses pelestarian budaya dengan lebih sering mengadakan acara-acara yang bernuansa budaya seperti seminar-seminar budaya dan pertunjukan-pertunjukan kesenian. Dalam hal ini juga diharapkan agar pemerintah mengadakan program regenerasi pemusik, penari Ula-ula Lembing khususnya di kota Karangbaru dan kepada seluruh masyarakat Aceh Tamiang pada umumnya, sehingga Tarian Tradisional dapat dilestarika.

Saran terakhir dari penulis adalah dalam rangka mengembangkan aktivitas kesenian dan tumbuh suburnya iklim saintifik di kalangan kita, tak lain tak bukan adalah perlunya kerjasama antara semua unsur masyarakat seperti seniman, pengelola seni, komponis, penari, koreografer, penulis skenario, sutradara, pemerintah (departemen pendidikan nasional, departemen pariwisata, seni dan budaya), dan semuanya dengan demikian persatuan dan kesatuan yang dibina ini akan dapat memperdayakan masyarakat indonesia di semua bidang tanpa harus mengadaikan harga diri dan marwah kebangsaan. Semoga tulisan ini dapat


(45)

bermanfaat bagi generasi peneliti selanjutnya, dan dapat menggali lebih lagi tentang budaya-budaya Aceh Tamiang yang masih belum dikaji dan di teliti.


(46)

BAB II

SUKU TAMIANG DI KABUPATEN ACEH TAMIANG

2.1 Letak Geografis dan Alam Kabupaten Aceh Tamiang

Tamiang merupakan perbatasan antara Provinsi Aceh dengan Provinsi Sumatera Utara yang memiliki luas 1.957,02 km2 dan jumlah penduduk pada tahun 2010 berjumlah 251.914 jiwa. Secara gografisnya Kabupaten Aceh Tamiang terletak di bagian timur Provinsi Aceh pada posisi 97o43’41o,51” –

98o14’45o41” Bujur Timur 03o53’18o81” – 04o32’56o76” Lintang Utara dengan batas batas wilayah sebagai berikut :

a. Di sebalah barat berbatasan dengan kecamatan Langsa Timur.

b. Di sebalah timur berbatasan dengan kecamatan besitang kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara.

c. Di sebalah utara berbatasan dengan selat malaka / selat Sumatera. d. Di sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Serba Jadi.

2.1.1 Iklim

Wilayah Tamiang berada pada ketinggian 0-25 meter dari permukaan laut, pada kondisi normal musim kemarau berlangsung dari bulan Maret sampai Agustus dengan suhu sekitar 28C, dan musim hujan berlangsung pada bulan September sampai Februari dengan suhu 25C sampai 29 C, kelembaban udara rata-rata 55% - 70%.


(47)

2.1.2 Wilayah

Wilayah Tamiang terbagi atas tujuh Kecamatan yaitu sebagai berikut: 1. Kecamatan Tamiang Hulu dengan pusat pemerintahan di Pulau Tiga. 2. Kecamatan Kejuruan Muda dengan pusat pemerintahan di Sungai Liput.

3. Kecamatan Kota Kualasimpang dengan pusat pemerintahan di Kota Kualasimpang.

4. Kecamatan Seruway dengan pusat pemerintahan di Seruway. 5. Kecamatan Bendahara dengan pusat pemerintahan di Sungai Iyu. 6. Kecamatam Karang Baru dengan pusat pemerintahan di Karang Baru.

7. Kecamatan Rantau dengan pusat pemerintahan di Rantau (Kecamatan ini merupakan Kecamatan Termuda hasil Pemekaran dari Kecamatan Kejuruan Muda, diresmikan pada tanggal 9 September 2000).

Setelah Tamiang disahkan menjadi Kabupaten pada tahun 2002. Kecamatan Manyak Payed yang pusat pemerintahan di Tualang Cut bergabung kedalam wilayah Tamiang, dan berbatasan dengan Kecamatan Langsa Timur dengan demikian Kabupaten Aceh Tamiang menjadi 8 Kecamatan.

2.2 Bahasa dan Tulisan 2.2.1 Bahasa

Bahasa Tamiang seperti bahasa-bahasa lainnya di Indonesia termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia namun yang menjadi keunikan bagi suku perkauman Tamiang 6 adalah selain bahasanya bahasa Tamiang suku dan

6Masyarakat Tamiang menyebut kelompoknya dengan istilah suku perkauman Tamiang. Secara umum mereka juga dimasukkan ke dalam kelompok etnik Melayu, yaitu Melayu Tamiang. Istilah ini di dalam ilmu antropologi dapat dipadankan dengan kelompok etnik (ethnic group), atau


(48)

daerahnya juga bernama Tamiang. Masih sulit untuk diselusuri dan ditentukan mana diantara ketiga komponen tersebut (suku, wilayah, atau bahasa) yang lebih dahulu yang menyandang nama Tamiang.

Dalam menggunakan bahasa didaerah Tamiang ini dikenal dengan nama bahasa Kampong (bahasa Tamiang) yang mempunyai tiga dialek tetapi bagi suku perkauman Tamiang dapat dipahami walaupun dalam beberapa isitilah terdapat perbedaan pengertian. Meskipun dialek bahasa Tamiang terdiri dari tiga dialek yaitu: dialek ilek (dialek hilir), dialek tengah, dan dialek hulu. Nampun warganya saling memahami dan berpadu kuat sesuai dengan pesan raja Muda Sedia ‘’ller

boleh pecah. Ulu boleh pecah Tamiang tetap bersatu’’. Seperti yang diterangkan diatas bahwa dialek bahasapun dipengaruhi oleh perbauran antara suku Gayo, Aceh, dan Melayu Deli.

2.2.2 Tulisan

Tulisan sistem huruf yang khas kepunyaan suku perkauman Tamiang asli zaman dahulu tidak ada. Tulisan-tulisan Tamiang menggunakan huruf Arab Melayu. Huruf ini dikenal setalah datangnya agama Islam di Aceh merupakan huruf-huruf yang banyak dijumpai pada batu nisan raja-raja. Sampai saat ini tulisan inilah yang digunakan dikalangan sebagai orang-orang tua. Bagi kalangan muda yang sebagian besar mengikuti pendidikan modern maka huruf ini hampir dipandang memiliki hubungan genelaogis secara umum sama pada awalnya. Kemudian mereka memiliki bahasa dan kebudayan yang sama, yang dipandang sebagai sebuah kelompok etnik sendiri yang mandiri, baik oleh etnik di luar mereka atau mereka sendiri. Untuk dapat memahami siapakah orang Tamiang, maka sebelumnya dijelaskan pengertian kelompok etnik (ethnic group). Naroll memberikan pengertian kelompok etnik sebagai suatu populasi yang: (1) secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan; (2) mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya; (3) membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri; dan (4) menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat di bedakan dari kelompok populasi lain (Naroll, 1965:32).


(49)

tidak dikenal lagi mereka mengenal huruf-huruf yang digunakan di sekolah yaitu Latin.

2.3 Mata Pencaharian Hidup

Suku Perkauman Tamiang umumnya hidup dari hasil sawah mereka (dalam bahasa Tamiang sawah disebut belang atau hume). Sawah ini dibentuk berpetak-petak yang dipisahi dengan “batas” (pematang). Pengairan disawah sangat tergantung pada turunnya hujan. Sehingga tanaman padi hanya dapat dilakukan satu kali dalam setahun. Sawah dibajak dengan memakai sapi atau karbau memakan waktu sampai satu bulan (sekarang telah banyak menggunakan peralatan modern dengan tractor atau jacktor dan telah ada pengairan (irigasi), serta dengan berbagai komoditas padi yang dibudidayakan sehingga penanaman dapat dilakukan lebih dari satu kali setahun).

Di samping berbelang (sawah). Suku perkauman Tamiang juga mengerjakan ladang (dalam bahsa Tamiang ladang disebut padang) biasanya padang mereka agak jauh dengan desa tempat tinggal mereka. Ladang dibuka (dikerjakan) dengan sistem menebang dan membakar hutan yang letaknya ada sebagian dilerang bukit. Pekerjaan berladang ini merupakan pekerjaan sambilan yang dikerjakan dengan mencangkul tanah. kemudian baru ditanam dengan berbagai macam tanaman seperti padi darat, cabai, jagung, dan tanaman palawija serta sayur-sayuran lainnya (holtikultura).

Nelayan merupakan mata pencaharian bagi suku perkauman Tamiang yang bertempat tinggal dipinggiran sungai dan di muara-muara yang menjorok kelaut. Tradisi nelayan yang sering dilakukan sangat tradisional dengan memakai


(50)

perahu dayung (sampan) cara menangkap ikan udang dan kepiting dilakukan dengan beberapa cara diantaranya ngejang yaitu bubu yang dibuat dari rotan dengan bentuk melingkar yang panjangnya sekitar1 meter dan dengan diameter 0,5 meter, salah satu ujungnya ditutup dan ujungnya yang lain dibuka sebagai pintu masuk dengan cerocok atau jeruji yang berbentuk kerucut dipasangkan menjorok kebagian dalam berfungsi agar ikan dan binatang lain yang sudah masuk tidak akan berani keluar lagi. Bubu tersebut dikelilingi (dipagar) dengan jang yang terbuat dari rotan juga bentuknya seperti krei.

Disamping itu juga alat yang biasa dipakai adalah pancing atau kail, jaring, jala, tombak, ambe (jaring berbentuk hampir seperti kerucut yang dipsang dekat muara sungai atau sering tanggok yang berdiameter 3-4 meter dan panjang 5-6 meter). Khusus untuk kepeting digunakan alat yang diberi nama “angkol” yaitu jaring yang dipasang pada tangkai yang terbuat dari bambu dengan bentuk melengkung dan bersilang empat, panjang sisi sekitar 30 cm di persilangkan tangakai inilah digantung umpan (biasanya ikan-ikan busuk atau sejenisnya).

2.4 Sistem Kekerabatan

Bagi suku perkauman Tamiang perkawinan suatu keharusan yang ditetapkan oleh agama dimana perkawinan itu seorang merupakan suatu bentuk hidup bersama antara laki-laki dengan seorang perempuan yang memenuhi syarat dalam hukum, oleh sebab itu setiap laki-laki dan wanita yang telah aqil baligh diwajibkan mencari dan mendapatkan jodohnya. Bagi suku perkauman Tamiang untuk mencari dan mendapatkan jodoh itu membutuhkan syarat-syarat tertentu yaitu, pertama yang mencari jodoh itu adalah orang tua kedua jodoh yang dipilih


(51)

untuk anak mereka berdasarkan keturunan fungsi dan status sosial dari keluarga si gadis sebaiknya orang tua si gadis menerima lamaran tersebut sesuai pula dengan ketentuan diatas, hal ini berlaku timbale balik antara keluarga laki-laki maupun perempuan.

Perwakilan juga sebagai upaya untuk melanjutkan keturunan, oleh sebab itu pasangan dari anak mereka harus benar-benar diketahui dahulu asal usulnya sehingga keterunan yang dihasilkan juga memiliki status yang jelas dalam suatu keturunan misalnya anak keturunan raja dengan anak yang mempunyai keturunan yang sama yang jelas setiap anak tidak akan dikawinkan dengan anak yang tidak diketahui asal-usul keluarganya baik anak laki laki maupun anak perempuan.

2.5 Sistem Kemasyarakatan

Kesatuan teritorial dari bentuk yang terkecil sampai yang terbesar dalam suku perkauman (kumpulan beberapa kemukiman) dan kewedanaan yang terdiri dari beberapa kecamatan. Status kewedanaan kemudian berubah status menjadi Pembantu Bupati Wilayah III.

Perangkat-perangkat adat di desa yang sudah ada dalam suku perkauman Tamiang berdasakan kedudukan dan fungsinya adalah:

a. Urang tuhe kampong, sebagai penasehat gecik (kepala kampong).

b. Imam, yang mengurus masalah didesa.

c. Ketue belang (tetuhe belang), yang mengurus masalah sistem persawahan.

d. Pawang laot, yang mengatur masalah nelayan dan peraturan-peraturan

dilaut yang berkenaan dengan penangkapan ikan dan areal atau tempat penangkapan ikan serta sengketa bagi hasil.


(52)

e. Pawang rimbe, yang mengatur masalah ketentuan-ketentuan yang berlaku

dalam memasuki hutan, dan peraturan membuka areal hutan.

f. Kepale pecan, yang mengatur ketertiban, keamanan, kebersihan dan

mengutip retribusi pasar (pecan).

g. Syahbandar, yang mengurus dan mengatur lalulintas laut dan sungai serta

tambatan perahu dan sampan.

Pemerintahan kampong (desa) terdiri dari beberapa pejabat yaitu:

a. Gechik atau kepala desa, dalam suku perkauman Tamiang gechik ada juga

yang menyebut datok berkewajiban menjaga ketertiban, keamanan dan adat dalam kampong (desanya) dan memberikan keadilan dalam setiap menyelesaikan perselisihan dengan berpegang teguh kepada langkah-langkah yang telah menjadi suatu keyakinan yang disebut dengan 16 falsafah (pusaka) Tamiang. Ke-16 falsafah tersebut adalah: kaseh, sayang,

tilek, pandang, alang, tolong, berat, bantu, salah, tegah, benar, papah, sidek, siasat, usul, dan periksa.

Dalam menyelesaikan masalah langkah pertama ialah menghadapi orang yang bermasalah harus dengan penuh kaseh, tanpa ada rasa kebencian terhadap pihak manapun yang kemudian ditumbuhkan rasa sayang terhadap kedua pihak. Tilek, adalah cara melihat yang sangat mendalam, baik terhadap persoalan yang akan diselesaikan maupun terhadap individunya, kemudian pandang yaitu melihat latar belakang baik persoalan individunya, keturunannya, prilakunya dan lain lain. Alang, (menghalangi/menyulitkan), janganlah membuat suatu persoalan tersebut menjadi sulit atau menghalangi penyelesaianya, akan tetapi bila ada


(53)

sesuatu yang memungkinkan dapat menghalangi penyelesaiannya maka harus tolong. Berat, janganlah memberatkan persoalan atau salah satu individunya, bila persoalan tersebut dirasa berat maka harus dibantu.

Salah, bila ada pihak yang memang nyata-nyata berbuat salah berilah

petunjuk dan nasehat atau tegah. Benar, bila ada pihak yang benar maka tuntun atau papah agar tidak terseret dalam emosi yang membuat semakin ruwetnya persoalan. Jangan terlalu cepat mempercayai keterangan atau pengakuan suatu pihak untuk membuktikannya haruslah diselidiki atau sidek. Terhadap orang yang melakukan sidek juga harus ada orang lain yang menyelidiki yaitu siasat, guna melihat kejujuran orang yang melakukan sidek. Setelah segala tahap selesai barulah ada usul yang kemudian dilanjukan pada suatu periksa untuk mengambil keputusan.

Dengan ke 16 falsafah tersebut sebesar apapun permasalahan dikampong tetap diselesaikan dengan tidak ada satu pihakpun yang merasa dirugikan. Keterikatan adat jualah yang membuat masyarakat suku perkauman Tamiang tidak pernah merasa ketidakadilan dalam suatu penyelesaian permasalahan. Jabatan gecik biasanya dipilih yang pada waktu dulu tidak terbatas berapa lama periodesasinya.

b. Imam, pejabat ini bertindak sebagai agama dalam kampong (desa).

Jabatan ini dipilih dan dapat dijabat oleh setiap orang yang faham tentang agama Islam sehingga Imam sebagai centrum religious didalan kampong (desa). Segala sesuatu yang bersifat ritual (keagamaan) diurus oleh imam. Peran imam memang sangat terasa kental dalam kehidupan masyarakat suku perkaumam Tamiang sepertinya segala urusan baik yang


(54)

menyangkut keagamaan maupun sosial misalnya kenduri. Pesta perkawinan dan lain sebagainya tidak afdhal dan tidak sempurna bila tidak ikut serta imam, oleh sebab itu imam benar-benar sebagai panutan dalam masyarakat dan orang yang mampu menyelesaikan seluruh persolan agama islam, sehingga keluarga imampun menjadi cerminan terhadap sikap dan prilaku dari pada imam tersebut. Dahulu imam ini dibawahi oleh Raje Imam yaitu orang yang memberi nasehat kepada setiap imam, dan Raje Imam ini juga yang berperan untuk melakukan pernikahan kepada setiap orang yang akan melakukan perkawinan. Setiap kecamatan hanya ada satu Raje Imam, namun sekarang jabatan ini sudah tidak ada lagi karena sudah ada lembaga pemerintah di Kecamatan yaitu Kantor Urusan Agama Kecamatan (KUA Kec) yang mengkoordinasi seluruh imam yang ada dalam Kecamatan tersebut,

c. Urang tuhe, di kampong (desa) biasanya ada majlis yang terdiri dari

beberapa orang yang biasanya sudah tua-tua dan banyak pengalaman serta faham tentang soal adat istiadat. Mereka adalah wakil wakil rakyat yang dipilih dan ikut serta membicarakan kepentingan kampong (desa), sehingga kampong (desa) menunjukan cirri masyarakat yang demokratis dan tanpak dua unsur yang bergandeng sama dan sejalan yaitu agama dan adat. Urang tuhe ini merupakan komponen dari masyarakat desa yang tidak boleh ditinggalkan dalam setiap persoalan didesa dengan kata lain setiap permasalahan, persoalan, dan kegiatan yang ada di desa mereka harus dilibatkan.


(55)

Kemudian adalah gabungan dari beberapa kampong (desa) merupakan kesatuan hukum yang bercorak agama. Jabatan Kepala Mukim dalam suku perkaumam Tamiang biasanya dijabat secara turun temurun, maka setiap yang menjadi kepala mukim adalah orang-orang tertentu yang memiliki status sosial, keturunan dan kemampuan yang diakui kepala mukim ini membawahi dari beberapa kepala desa dan merupakan tempat bermusyawarah kepada desa yang ada dalam kemukimannya. Untuk hal-hal tertentu terutama yang menyangkut adat dan pembangunan didesa meskipun telah mendapat suatu keputusan dalam musyawarah didesa namun tetap dibicarakan kembali dengan

kepala mukim.

Wilayah Tamiang merupakan bagian dari Daerah Provinsi Aceh, maka segala struktur dan Birokrasi Perintahan tetap mengikuti ketentuan yang berlaku di Aceh khususnya dan Indonesia pada umumnya. Aceh oleh Pemerintah Pusat diberi hak penuh untuk mengurus daerahnya sebagai daerah istimewah yang kemudian Aceh dinamakan Provinsi Daerah Istimewah Aceh (Dista) sesuai dengan keputusan Perdana Menteri R.I. No. 1/Missi/1959 yang berarti istimewa dalam hal: (a) keagamaan, (b) peradatan, dan (c) pendidikan.

Kemudian di era Reformasi dengan berlakunya sistem Otonomi Daerah sesuai dengan Undang-Undang R.I. No. 18 tahun 2001 Aceh diberi Otonomi Khusus dengan nama menjadi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Hal ini dapat terjadi karena setiap suku perkauman di Aceh menjujung tinggi nilai-nilai adat istiadat, demikian pulalah keberadaan suku perkauman Tamiang yang prilaku kehidupannya berketerikatan dengan adat istiadat yang sejalan dengan nilai-nilai agama sesuai dengan falsafah yang telah diyakini yaitu: Sebadi adat


(56)

dangan syara’, adat dipangku, syara’ dijunjong, resam dijalin, qanun diator,

duduk setikar. Dalam kaitan falsafah ini membuktikan bahwa adat dan nilai-nilai

agama tak dapat dipisahkan seperti satu adanya, dalam melaksanakan adat tetap berpegang pada ajaran agama, sehingga setiap menetapkan aturan adat tetap mengacu pada ketentuan agama yaitu agama Islam karena masyarakat suku perkauman Tamiang seluruhnya beragama Islam, kebiasaan adat dijalin dan hukum diatur dalam suatu musyawarah.

Agama Islam lebih menonjol dalam segala bentuk dan manifestasinya didalam masyarakat yang seirama dengan perlakuan adat. Sehingga kelihatanlah agama Islam telah mempengaruhi sifat kekeluargaan, seperti perkawinan, harta waris dan kematian, apalagi sejak berlakunya syariat Islam di Aceh segala sesuatu penyelesaian tetap mengacu pada ajaran Islam.

Keterikatan agama ini juga mempengaruhui dalam menentukan pendidikan, banyak masyarakat suku perkauman Tamiang memasukan anaknya pada sekolah-sekolah agama, kalaupun mereka sekolah disekolah umum namun pada siang atau sore hari bahkan malam hari mereka harus dididik dalam pelajaran agama. Hal ini juga yang membuat banyaknya Pasantren dan Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) didirikan didaerah ini.

Menyangkut pembangunan dalam era modrenisasi, wilayah Tamiang sama nasipnya dengan Provinsi Aceh secara keseluruhan yang diperlakukan oleh Pemerintah Pusat yang telah menimbulkan konflik akibat kecemburuan sosial dari perlakuan Pemerintah Pusat yang tidak adil. Demikian juga wilayah Tamiang yang telah mendapat perlakuan sama dari Pemerintah Daerah Aceh Timur, dimana pembangunan lebih terkonsentrasi ke wilayah barat (dimulai dari Langsa Ibu kota


(57)

Kabupaten kearah menuju Banda Aceh sebagai Ibu kota Provinsi). Disadari atau tidak keterikatan primordialisme telah mempengaruhi laju pembangunan di Aceh Timur, salah satu penyababnya karena birokrasi ditingkat Kabupaten lebih didominasi oleh orang-orang wilayah barat, sehingga Bupati Aceh Timur sejak zaman Orde Baru tidak pernah diduduki oleh orang wilayah timur (Tamiang). Perubahan yang dirasakan sangat lambat ini belum mampu untuk mangankat tingkat ekonomi dari masyarakat sehingga masyarakat seperti apatis meresponsif terhadap setiap pembangunan apalagi yang bersifat Swakarya, karena kebanyakan masyarakat lebih dibebani untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari, dan banyaknya janji-janji yang diucapkan oleh pemimpin tidak pernah dijalankan secara konsekwen, perubahan kebudayaan dalam arti meteri hampir tidak kelihatan. Komunikasi dan keamanan telah terakumulasi dalam bentuk ketakutan.

2.6 Sistem Kepercayaan Animisme

Pujaan disini dapat diartikan kepada segala sesuatu upaya untuk menakhlukkan atau membuat orang atau sesuatu yang mampu menerima menjadi takluk atau tertarik mendengarnya sehingga dapat menurut.

Pada awal mulanya dizaman sebelum Islam masuk ke Aceh, Orang Tamiang memiliki kepercayaan animisme, yaitu kepercayaan kepada serba sukma (segala roh yang mendiami tempat-tempat tertentu). Ada 4 pokok pandangan (anggapan) terhadap kepercayaan animisme ini yaitu:

1. Segala yang ada dala dunia ini baik manusia, hewan, tumbuhan dan benda-benda memiliki dan terjadi dari sejenis daya (jiwa) dan serupa. 2. Manusia selain mempunyai roh juga mempunyai semangat.


(58)

3. Roh-roh manusia yang mati mempengaruhi keadaan hidup bagi manusia yang masih hidup oleh sebab itu boleh dipuja.

4. Dewa-dewa, jin-jin dan keadaan alam gaib yang juga mempengaruhi keadaan manusia yang masih hidup wajib dipuja.

Untuk memupuk dan mempertebal rasa keberanian dan keyakinan pada diri sendiri dalam suku perkauman Tamiang digunakan juga beberapa rangkaian kata yang merupakan mantra-mantra, baik merupakan hasil pujaan terhadap dewa-dewa dan jin-jin maupun yang merupakan kepercayaan belaka. Untaian kata-kata itu secara ilmu bahasa sukar untuk dapat dikatakan apakah itu berbentuk pantun, syair atau jenis lain, karena kadang kala dari suatu rangkaian itu dapat berbaur antara beberapa jenis hasil sastra lama.

Hampir disetiap kegiatan masyarakat tidak terlepas dari berbagai pujaan-pujaan, seperti: turun kesawah, menanam padi, mengetam padi, mengerik padi, mendirikan rumah, perkawinan, kematian, melahirkan anak dan pemujaan-pemujaan lainnya. Arwah nenek moyang yang mereka puja, berguna untuk melindungi anak cucuk mereka dari segala bencana, dibuatlah berbagai syarat untuk menghindari kemurkaan dan amarah dari arwah-arwah nenek moyang yang dapat memberi bencana yang tidak baik tersebut. Pemujaan ini dapat dilakukan secara langsung maupun dengan perantara pawing/guru yang telah dapat berhubungan langsung dengan benda (roh-roh) yang dipuja.

Nenek moyang yang mereka puja tersebut dapat sewaktu waktu menjelma dalam berbagao rupa seperti: buaya, ular, harimau, babi, belut, ayam putih, dan lain-lain. Terhadap binatang-bianatang tertentu yang dipuja seperti Harimau atau


(59)

Buaya, sebagai penghormatan maka dipanggil dengan sebutan “nenek” atau

“datok.” Bila pemujaan tersebut telah menyatu sebagai satu kehidupan dalam diri si pemuja, maka binatang-binatang ini dapat menjadi penjaga terhadap sesuatu yang tidak senonoh didalam kampung atau dimana sipemuja berada. Bila hal ini terjadi tanpa perlu dipanggil binatang-binatang ini akan datang sendiri untuk memporak porandakan sipelaku maksiat/kejahatan tersebut.

2.7 Sistem Kesenian

Seni budaya yang merupakan bagian dari kebudayaan suatu suku bangsa selalu mempunyai pola dan corak yang khusus, pola dan corak yang khusus ini pula yang dapat membedakan antara seni budaya suatu suku bangsa dangan suku bangsa lainya. Suatu kelompok masyarakat dari suatu kebudayaan yang telah hidup dari hari kehari dalam lingkungan kebudayaannya, mereka tidak akan pernah lagi meliht corak khas kebudayaannya, sebaliknya terhadap kebudayaan suku bangsa lain mereka akan merasakan corak khas tersebut apalagi corak khas itu sangat berbeda dengan corak kebudayaan yang mereka miliki.

Koentjaranungrat dalam buku Antropologi menyatakan bahwa “corak khas

dari suatu kebudayaan bisa tampil karena kebudayaan itu menghasilkan suatu unsur yang kecil berupa suatu unsur kebudayaan fisik dengan bentuk yang khusus, atau diantara pranata-pranatanya ada suatu pola sosial yang khusus, atau dapat juga menganut suatu tema budaya yang khusus. Sebaliknya corak khas tadi juga dapat disebabkan karena adanya kompleks unsure-unsur yang lebih besar. Berdasarkan atas corak khususnya tadi, suatu kebudayaan dpat dibedakan dengan


(60)

Seni budaya yang dimiliki oleh suku perkauman Tamiang adalah salah satu dari sekian banyak seni budaya dari suku bangsa lainya memiliki pola dan corak yang spesifik. Seni budaya ini lahir dari suatu kebiasaan yang beradaptasi dari kolompok masyarakat yang kemudian menimbulkan suatu kesadaran identitas dan diikat pula dengan kesatuan bahasa sehingga menimbulkan rasa memilki yang mengikat.

2.7.1 Seni Tari dan Nyanyian

Dalam seni budaya suku Tamiang yang tradisional sukar untuk menentukan apakah tari mengikuti nyanyi atau nyanyi pengiring tari. Karena setiap tari di daerah Tamiang selalu disertai dengan nyanyian berbentuk syair ataupun berbalas pantun. Pola dasar dari gerak tari pada seni budaya suku perkauman Tamiang adalah gerak melingkar atau saling memotong silih berganti, dengan hentakan kaki sebagai irama dasar dan ditingkahi oleh suara gelang kaki. Setelah berkembang barulah diikuti diiringi dengan instrument yang sederhana seperti gendang, seruling, dan biola. Namun dibeberapa tempat yang terpencil tarian ini hanya diiringi oleh irama lesung ataupun ketukan pada kayu yang disusun pada unjuran kaki (terdiri dari tiga atau lima potong kayu).

Tarian tradisional yang telah digali dari masyarakat suku perkauman Tamiang yang dianggap seni budaya tua disebut piasan. Seni budaya ini dapat dipegelarkan tanpa musik, baik dalam bentuk penyajian atau penampilan tarian maupun nyanyian. Oleh sebab itulah dalam penyajian ini sekaligus diuraikan seni budaya tari dan nyanyian, salah satu tarian dan nyanyian adalah tari Ula-ula


(61)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Aceh Tamiang merupakan salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Aceh. Kabupaten ini termasuk kabupaten termuda di Provinsi Aceh, karena kabupaten ini adalah hasil pemekaran dari kabupaten Aceh Timur yang diresmikan pada tahun 2002 yang lalu. Kabupaten ini terletak di perbatasan Aceh dengan Sumatera Utara. Berada di jalur timur Sumatera yang strategis dan hanya berjarak lebih kurang 250 kilometer dari kota Medan.

Masyarakat Aceh Tamiang terdiri dari beberapa suku (etnik) yang mendominasi kabupaten ini. Keseluruhan warga di Tamiang berjumlah 251.914 jiwa. Di antaranya: suku Melayu (60%), suku Jawa (20%), suku Aceh Rayeuk (15%), dan suku lainnya (5%).1 Selain bahasa persatuan Indonesia, bahasa yang paling sering digunakan adalah bahasa Tamiang.

Sama seperti daerah lain, Aceh Tamiang memiliki ragam kesenian yang berbeda-beda. Ada beberapa kesenian yang berasal dari kabupaten Aceh Tamiang antara lain: seni tari, seni berpantun, seni bela diri, musik, dan lain-lainnya. Seni tari yang berasal dari Aceh Tamiang antara lain adalah Tari Ula-ula Lembing,

Tari Sekapur Sirih, Tari Lindung Bulan, dan tarian-tarian lainnya. Namun dari

beberapa tarian tersebut hanya tari Ula-ula Lembing yang merupakan tarian asli yang berasal dari Kabupaten Aceh Tamiang, dan dipandang sebagai ikon dari kebudayaan Aceh Tamiang.


(62)

Kata Tamiang berasal dari kata Da Miang yang berarti Melayu (Diman, 2003:3). Kata Melayu merupakan istilah yang meluas dan agak kabur. Istilah ini merangkai suku bangsa di Nusantara yang pada zaman dahulu di kenal oleh orang orang Eropa sebagai bahasa dan suku bangsa dalam perdagangan dan perniagaan. Masyarakat Melayu adalah orang orang terkenal dan mahir dalam ilmu pelayaran dan ikut dalam aktifitas perdagangan dan pertukuran barang dan kesenian dari berbagai wilayah didunia (Husein dalam Gea, 2014:2).

Dalam buku yang berjudul Kebudayaan Suku Bangsa di Daerah Aceh terbitan tahun 1994 yang ditulis oleh Adnan Abdullah, dikisahkan bahwa nama

Tamiang berasal dari julukan orang-orang Pasai terhadap daerah taklukannya,

yaitu yang terletak di persimpangan Sungai Simpang Kanan dan Sungai Simpang Kiri. Jadi istilah ini berkait erat dengan eksistensi orang Tamiang dan hubungannya dengan kerajaan Pasai.

Masyarakat Melayu di Indonesia menjangkau wilayah sepanjang pesisir timur Sumatera dari Tamiang (Aceh Timur), pesisir Sumatera Utara, Provinsi Riau dan pesisir Jambi serta di Kalimantan Barat. Jumlah Melayu pesisir di Sumatera Utara di tahun 1970 kira kira 1,5 Juta orang menurut (Tengku Lukman Sinar, 2012).

Seeorang disebut Melayu apabila dia beragama Islam, dan berbahasa Melayu, dan beradat istiadat Melayu. Adapun adat istiadat Melayu itu adalah adat yang bersendikan syarak dan syarak bersendikan kitabullah. Orang Melayu. Secara kultural dan bukan keturunan (geologis). Secara antropologi masyarakat Mongoloid Melayu Asia Tenggara memiliki sebuah wilayah budaya yang lazim disebut sebagai wilayah budaya Melayu (Malay Culture Area). Wilayah budaya


(63)

ini pada masa sekarang terdiri dari pecahan pecahan Negara Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei Darusallam, Thailand, Vietnam, dan Filipina (Tengku Lukman Sinar, 2012).

Kelompok ras Melayu dapat digolongkan kepada kumpulan Melayu Polinesia atau ras berkulit coklat yang mendiami gugusan kepulauan Melayu, Polinesia, dan Madagaskar. Gathercole (1983) seorang pakar antropologi Inggris telah melihat bukti bukti arkeologi, linguistik, dan etnologi2 yang menunjukan bahwa bangsa Melayu-Polinesia ialah golongan pelaut yang pernah menguasai kawasan perairan Pasifik dan Hindia, ia menggambarkan bahwa ras Melayu-Polinesia sebagai kelompok penjajah yang dominan pada suatu masa dahulu yang meliputi kawasan yang luas di sebelah barat hingga Madagaskar, di sebelah timur hingga kepulauan Easter, di sebelah utara hingga ke Hawaii dan di sebalah selatan ke Selandia Baru. Demikianlah luasnya bentang budaya wilayah rumpun Melayu (www.melayupolinesia.com)

Sejarah menunjukan tentang eksistensi wilayah Tamiang seperti prasasti Sriwijaya, kemudian ada riwayat dari negeri Tiongkok karya Wee Pei Shih yang mencatat keberadaan negeri Kan Pei Chiang (Tamiang), atau Tumihang dalam

Kitab Nagarakretagama.3 Daerah ini juga di kenal dengan nama Bumi Muda Sedia, sesuai dengan nama Raja Muda Sedia yang memerintah wilayah ini selama

2

Etnologi merupakan salah satu dari cabang ilmu antropologi, yang mempelajari tentang berbagai suku bangsa dan aspek kebudayaannya, serta hubungan antara suku bangsa dengan bangsa lainnya. Kata etnologi berasal dari kata etnis yang berarti suku.

3

Kitab Nagarakretagama berjudul asli Desawarnana ditulis oleh Mpu Prapanca adalah merupakan sumber sejarah terpercaya yang terpercaya, karena ditulis pada saat kerajaan Majapahit masih berdiri dibawah pemerintahan Sri Rajasanagara (Hayam Wuruk)


(64)

6 tahun (1330-1336). Aspek kultural dan sejarah ini berkait erat dengan Tari

Ula-ula Lembing.

Tarian ini menceritakan tentang seorang pangeran dari Kerajaan Tamiang Hilir yang memiliki kisah cinta yang ditentang orang tua mereka dan pada akhirnya sang pangeran memberanikan diri menyamar jadi seekor ular hanya untuk bertemu dengan sang putri kerajaan Tamiang Hulu. Tarian ini pun menjadi tarian yang paling sering di tampilkan di berbagai acara khusunya Kabupaten Aceh Tamiang.

Dari kisah rakyat tentang tari Ula-ula Lembing seperti terurai di atas, penulis tertarik untuk mengambil judul penelitian secara etnomusikologis, tentang tarian

Ula-ula Lembing ini. Tarian ini meggambarkan tekad seorang pemuda dalam

mengatasi semua halangan untuk menggapai cita-citanya menemui dan mendapatkan kekasih idaman hati dalam membentuk rumah tangga. Di samping itu, digambarkan pula seseorang akan membangun kehidupan baru, harus mampu menempuh halangan dan rintangan, serta mendapatkan restu dari orang tua dan masyarakat. Kesemuanya ini akan tergambar dalam gerak tari Ula- Ula Lembing.

Struktur gerak Tari Ula-ula Lembing berdasarkan pengamatan awal penulis di lapangan adalah berurutan menggunakan tujuh ragam gerak sebagai berikut.

1. Gerak silat

2. Niti batang (enjut-enjut kedidi)

3. Tunda-tunda beting 4. Pungku-pungku pangka 5. Endap-endap bincah 6. Gerak silat rebas terbang


(65)

7. Salam penutup.

Selain itu penari dan penyair (penyanyi) tarian ini dapat diuraikan sebagai berikut.

(1) Dua orang penyair yang menyanyikan pantun, dan

(2) Sebaiknya terdiri dari 10 orang penari (boleh perempuan, laki-laki atau campuran perempuan dan laki-laki).

Penari berpakaian adat suku perkauman Tamiang untuk wanita secara lengkap yang terdiri dari dua kelompok warna yang berbeda misalnya 5 penari berwarna merah dan 5 penari berwarna hijau. Musik tarian ini adalah: (a) musik pengiring terdiri dari gendang, biola, gong dan suling, (b) pantun yang dinyanyikan secara berbalasan.

Berdasarkan fenomena kebudayaan tari seperti terurai di atas, maka penulis tertarik mengangkat judul tulisan skripsi dalam rangkaian kuliah di Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, yaitu

Deskripsi Struktur Gerak dan Musik Pengiring Tari Ula-ula Lembing oleh Sanggar Meuligee Lindung Bulan di Aceh Tamiang. Topik ini sangat relevan

dengan disiplin ilmu etnomusikologi dan dibantu dengan disiplin etnokoreologi. Seperti yang penulis ketahui dari pakar etnomusikologi yaitu Merriam yang dimaksud etnomusikologi adalah sebagai berikut.

Ethnomusicology carries within itself the seeds of its own division, for it has always been compounded of two distinct parts, the musicological and the ethnological, and perhaps its major problem is the blending of the two in a unique fashion which emphasizes neither but takes into account both. This dual nature of the field is marked by its literature, for where one scholar writes technically upon the structure of music sound as a system in itself, another chooses to treat music as a functioning part of human culture and as


(66)

an integral part of a wider whole. At approximately the same time, other scholars, influenced in considerable part by American anthropology, which tended to assume an aura of intense reaction against the evolutionary and diffusionist schools, began to study music in its ethnologic context. Here the emphasis was placed not so much upon the structural components of music sound as upon the part music plays in culture and its functions in the wider social and cultural organization of man. It has been tentatively suggested by Nettl (1956:26-39) that it is possible to characterize German and American "schools" of ethnomusicology, but the designations do not seem quite apt. The distinction to be made is not so much one of geography as it is one of theory, method, approach, and emphasis, for many provocative studies were made by early German scholars in problems not at all concerned with music structure, while many American studies heve been devoted to technical analysis of music sound (Merriam 1964:3-4).4

Menurut pendapat Merriam seperti kutipan di atas, para ahli etnomusikologi membawa dirinya sendiri kepada benih-benih pembagian ilmu, untuk itu selalu dilakukan percampuran dua bagian keilmuan yang terpisah, yaitu musikologi dan etnologi [antropologi]. Selanjutnya menimbulkan kemungkinan-kemungkinan masalah besar dalam rangka mencampur kedua disiplin itu dengan cara yang unik, dengan penekanan pada salah satu bidangnya, tetapi tetap mengandung kedua disiplin tersebut.

Sifat dualisme lapangan studi etnomusikologi ini, dapat ditandai dari bahan-bahan bacaan yang dihasilkannya. Katakanlah seorang sarjana etnomusikologi menulis secara teknis tentang struktur suara musik sebagai suatu sistem tersendiri. Di lain sisi, sedangkan sarjana lain memilih untuk memperlakukan musik sebagai suatu bagian dari fungsi kebudayaan manusia, dan sebagai bagian yang integral dari keseluruhan kebudayaan. Di dalam masa yang sama,

4Dalam konteks pendidikan tinggi disiplin etnomusikologi di Indonesia, sebuah buku yang terus populer di kalangan etnomusikologi dunia sampai sekarang ini, dalam realitasnya menjadi “bacaan wajib ” bagi para pelajar dan mahasiswa etnomusikologi seluruh dunia, dengan pendekatan kebudayan, fungsionalisme, strukturalisme, sosiologis, dan lain-lainnya. Buku yang diterbitkan tahun 1964 oleh North Western University di Chicago Amerika Serikat ini, menjadi


(67)

beberapa sarjana dipengaruhi secara luas oleh para pakar antropologi Amerika, yang cenderung untuk mengasumsikan kembali suatu reaksi terhadap aliran-aliran yang mengajarkan teori-teori evolusioner difusi, dimulai dengan melakukan studi musik dalam konteks etnologisnya. Di dalam kerja yang seperti ini, penekanan etnologis yang dilakukan para sarjana ini lebih luas dibanding dengan kajian struktur komponen suara musik sebagai suatu bagian dari permainan musik dalam kebudayaan, dan fungsi-fungsinya dalam organisasi sosial dan kebudayaan manusia yang lebih luas.

Hal tersebut telah disarankan secara tentatif oleh Bruno Nettl yaitu terdapat kemungkinan karakteristik "aliran-aliran" etnomusikologi di Jerman dan Amerika, yang sebenarnya tidak persis sama. Mereka melakukan studi etnomusikologi ini, tidak begitu berbeda, baik dalam geografi, teori, metode, pendekatan, atau penekanannya. Beberapa studi provokatif awalnya dilakukan oleh para sarjana Jerman. Mereka memecahkan masalah-masalah yang bukan hanya pada semua hal yang berkaitan dengan struktur musik saja. Para sarjana Amerika telah mempersembahkan teknik analisis suara musik.

Dari kutipan di atas tergambar dengan jelas bahwa etnomusikologi dibentuk dari dua disiplin ilmu dasar yaitu antropologi dan musikologi. Walaupun terdapat variasi penekanan bidang yang berbeda dari masing-masing ahlinya. Namun terdapat persamaan bahwa mereka sama-sama berangkat dari musik dalam konteks kebudayaannya.

Khusus mengenai beberapa definisi tentang etnomusikologi telah dikemukakan dan dianalisis oleh para pakar etnomusikologi. Pada tulisan edisi berbahasa Indonesia, Rizaldi Siagian dari Universitas Sumatera Utara (USU)


(68)

Medan, dan Santosa dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta, telah mengalihbahasakan berbagai definisi etnomusikologi, yang terangkum dalam buku yang bertajuk Etnomusikologi, tahun 1995, yang diedit oleh Rahayu Supanggah, terbitan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, yang berkantor pusat di Surakarta. Dalam buku ini, Alan P. Merriam mengemukakan 42 definisi etnomusikologi dari beberapa pakar, menurut kronologi sejarah dimulai oleh Guido Adler 1885 sampai Elizabeth Hesler tahun 1976.5

Seterusnya untuk mengkaji struktur Tari Ula-ula Lembing yang terdapat dalam kebudayaan masyarakat melayu Aceh Tamiang, yang merupakan media seni gerak yang distilisasi, penulis menggunakan disiplin ilmu yang disebut etnokoreologi. Lebih rinci, yang dimaksud dengan etnokoreologi adalah sebagai berikut.

Ethnochoreology (also dance ethnology, dance anthropology) is the study of dance through the application of a number of disciplines such as anthropology, musicology (ethnomusicology), ethnography, etc. The word, itself, is relatively recent and means, literally, “the study of

folk dance”, as opposed to, say, the formalized entertainment of

classical ballet. Thus, ethnochoreology reflects the relatively recent

5

Secara rinci buku ini diedit oleh R. Supanggah, diterbitkan tahun 1995, dengan tajuk Etnomusikologi. Diterbitkan di Surakarta oleh Yayasan bentang Budaya, Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Buku ini merupakan kumpulan enam tulisan oleh empat pakar etnomusikologi (Barat) seperti: Barbara Krader, George List, Alan P. Merriam, dan K.A. Gourlay; yang dialihbahasakan oleh Santosa dan Rizaldi Siagian. Dalam buku ini Alan P. Merriam menulis

tiga artikel, yaitu: (a) “Beberapa Definisi tentang ‘Musikologi Komparatif’ dan ‘Etnomusikologi’:

Sebuah Pandangan Historis-Teoretis,” (b) “Meninjau Kembali Disiplin Etnomusikologi,” (c)

“Metode dan Teknik Penelitian dalam Etnomusikologi.” Sementara Barbara Krader menulis artikel yang bertajuk “Etnomusikologi.” Selanjutnya George List menulis artikel “Etnomusikologi: Definisi dalam Disiplinnya.” Pada akhir tulisan ini K.A. Gourlay menulis artikel yang berjudul “Perumusan Kembali Peran Etnomusikolog di dalam Penelitian.” Buku ini barulah sebagai

alihbahasa terhadap tulisan-tulisan etnomusikolog (Barat). Ke depan, dalam konteks Indonesia diperlukan buku-buku panduan tentang etnomusikologi terutama yang ditulis oleh anak negeri, untuk kepentingan perkembangan disiplin ini. Dalam ilmu antropologi telah dilakukan penulisan buku seperti Pengantar Ilmu Antropologi yang ditulis antropolog Koentjaraningrat, diikuti oleh berbagai buku antropologi lainnya oleh para pakar generasi berikut seperti James Dananjaya, Topi Omas Ihromi, Parsudi Suparlan, Budi Santoso, dan lain-lainnya.


(69)

attempt to apply academic thought to why people dance and what it means. It is not just the study or cataloging of the thousands of external forms of dances—the dance moves, music, costumes, etc.— in various parts of the world, but the attempt to come to grips with dance as existing within the social events of a given community as well as within the cultural history of a community. Dance is not just a static representation of history, not just a repository of meaning, but a producer of meaning each time it is produced—not just a living mirror of a culture, but a shaping part of culture, a power within the culture. The power of dance rests in acts of performance by dancers and

spectators alike, in the process of making sense of dance… and in

linking dance experience to other sets of ideas and social experiences. Ethnologic dance is native to a particular ethnic group. They are performed by dancers associated with national and cultural groups. Religious rituals (ethnic dances) are designed as hymns of praise to a god, or to bring in good fortune in peace or war (Blacking, 1984).

Dari kutipan di atas, dapat diartikan bahwa yang dimaksud etnokoreologi (juga disebut dengan etnologi tari dan antropologi tari) adalah studi tari melalui penerapan sejumlah disiplin ilmu seperti antropologi, musikologi (etnomusikologi), etnografi, dan lain-lain. Istilah itu sendiri, adalah relatif baru, yang secara harfiah berarti studi tentang tarian rakyat (sebagai lawan dari tari hiburan yang diformalkan dalam bentuk balet klasik). Dengan demikian, etnokoreologi mencerminkan upaya yang relatif baru dalam dunia akademis untuk mengkaji mengapa orang menari dan apa artinya. Dalam konteks tersebut para ilmuwan etnokoreologi tidak hanya belajar ribuan tarian yang mencakup gerak, musik iringan, kostum, dan hal-hal sejenis, di berbagai belahan dunia ini, tetapi juga meneliti tarian dalam kegiatan sosial dari suatu masyarakat, serta sejarah budaya tari dari suatu komunitas. Tari bukan hanya representasi statis sejarah, bukan hanya repositori makna, namun menghasilkan makna setiap kali tari itu dihasilkan. Tari bukan hanya cermin hidup suatu budaya, tetapi merupakan bagian yang membentuk budaya, sebagai kekuatan dalam budaya. Kekuatan tari


(70)

terletak pada tindakan penampilan penari dan penonton, dalam proses pembentukan rasa dalam tari, dan menghubungkan pengalaman gagasan tari dan wujud sosialnya. Tari juga berkait dengan kelompok etnik tertentu. Tarian ini dilakukan oleh penari yang berhubungan dengan kelompok bangsa dan budayanya. Tarian etnik dirancang sebagai himne pujian untuk Tuhan, atau untuk membawa keberuntungan dalam damai atau perang. Hal-hal ini terjadi pula di dalam Tari Ula-ula Lembing dalam kebudayaan masyaraklat Melayu Aceh Tamiang, yang menjadi fokus kajian penulis di dalam skripsi ini.

1.2 Pokok Permasalahan

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas maka penulis memutuskan dua pokok permasalahan yaitu sebagai berikut:

1. Bagaimana struktur gerak Tari Ula-ula Lembing oleh Sanggar Meuligee Lindung Bulan di Aceh Tamiang?

2. Bagaimana struktur melodi dan teks musik pengiring Tari Ula-ula Lembing oleh Sanggar Meuligee Lindung Bulan di Aceh Tamiang?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Penelitian sendiri berarti Jelas, Jadi secara umum penelitian bertujuan untuk mengetahui atau menggalih informasi dari objek yang di teliti. Menemukan suatu kesimpulan yang menjadi pemecahan dari suatu masalah yang diteliti anatara lain:

1. Untuk mengetahui bagaimana struktur gerak pada tari Ula-ula


(71)

lantai, motif gerak, busana tari, properti tari, dan hal hal sejenisnya yang berkaitan.

2. Untuk mengetahui struktur melodi dan teks musik yang mengiringi tari

Ula-ula Lembing. Dalam hal ini akan dikaji melodi utama yang bakan

disajikan. Juga syair yang terdapat musik tari Ula-ula Lembing. Untuk melodi akan dikaji mengenai aspek: tangga nada wilayah nada, nada dasar, interval, formula, dan jumlah nada.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Manfaat yang akan di wujudkan dari pembahasan tentang skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Menambah informasi tentang salah satu kesenian yang ada di aceh yang bernuansa Melayu yang sangat kental.

2. Sebagai bahan informasi bagi pembaca dan masyarakat mengenai kesenian tari Ula-ula Lembing yang berasal dari Provinsi Aceh Kabupaten Aceh Tamiang.

3. Dapat memberikan pemikiran kepada masyarakat bagaimana cara mendeskripsikan tentang seni tari secara jelas.

1.4 Konsep dan Teori 1.4.1 Konsep

Konsep atau pengertian, merupakan unsur pokok dari suatu penelitian. R. Merton mendefinisikan sebagai berikut: “konsep merupakan definisi dari apa yang perlu diamati. Seterusnya, konsep menetukan anatara variabel-variabel yang mana


(72)

kita ingin menetukan hubungan empiris” (Merton dalam Gea, 1963:83). Kata deskrptif berarti pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat (Whitney, 1960:160)

Dalam bahasa Indonesia kata tari ini memiliki pengertian sebagai berikut. Tari adalah gerakan badan (tangan dan sebagainya) yang berirama, biasanya diiringi bunyi bunyian (musik, gamelan, dan sebagai nya). Berbagai jenis gendre tari di antara nya adalah tari bedaya, yaitu tari yang di tunjukan oleh wanita pada zaman dahulu, biasanya di istana raja. Kemudian ada pula tari bondan yaitu tari yang ditunjukan oleh seorang penari wanita dengan menginjak kendi. Seterusnya ada tari ekperimental, yaitu tari yang di garap tidak lagi mengunakan pola dan ramuan. Seterusnya ada tari cokek, gambus, inai, kejang, keris, kipas, payung, pencak silat, pendet, piring, rangkas, topeng dan lain lainnya (Kamus Umum

Bahasa Indonesia, 2000). Contoh-contoh tari dalam kamus tersebut adalah tari

dalam budaya jawa, Melayu, modern, dan kontenporer.

Dalam tulisan ini yang penulis maksud dengan tari Ula-ula Lembing adalah salah satu tari kebudayaan Melayu yang berada di Provinsi Aceh yang dipertunjukan bebas untuk acara apa saja. Tarian ini adalah tarian hiburan rakyat yang mengandung unsur mendidik dan agama. Tarian ini mengambarkan tekad putera puteri Tamiang untuk menjalani hidup di Bumi Muda Sedia. Tarian ini di ciptakan dan di beri nama Tarian Ula-ula Lembing yang mempunyai arti Ular itu panjang tapi harus tegar (keras) seperti lembing sehingga sanggup berjalan menyusup sampai tempat tujuan. Syair lagunya dalam bahasa Tamiang Hilir dan terdiri dari pantun pantun rakyat. Penari Ula-ula Lembing memakai pakaian adat Tamiang yang beraneka jenis. Harus dibawakan dengan penjiwaan yang lincah


(73)

dan ceria. Tarian ini ditarikan antara 10 sampai dengan 12 orang penari, boleh pria maupun wanita.

Menurut Goldsworthy tarian Melayu di dasarkan kepada adat istiadat, dan dibatasi oleh pandangan adat. Para penari wanita di sarankan untuk menjaga kehormatan dan harga dirinya, mereka tidak diperkenankan mengangkat tangan melibihi bahunya, dan tidak diperkenankan menampakan giginya pada saat menari. Mereka tidak boleh mengoyang goyangkan pinggulnya, para penari wanita sebagian besar mengutamakan sopan santun, tidak menantang pandangan penari mitra prianya. Penari wanita mengekspresikan jinak-jinak merpati atau malu malu kucing. Penari wanita gerak gerak nya menghindari penari pria (Goldsworthy, 1979:343)

Sejalan dengan pendapat Goldsworthy, Mohd Anis Md Noor mengemukakan bahwa salah satu aspek penting dalam mengekspresikan gerak dalam tari tradisional Melayu, adalah berdasarkan kepada kehalusan budi orang orang Melayu. Sebagaimana etnik lain di dunia, tari Melayu juga berdasar kepada estetika masyarakat pendukungnya. Dinamika gerak tari Melayu pada umumnya mengikuti gemulai langkah kaki dan tangan. Pada budaya tari Melayu terdapat pisahan peran ekspresi berdasarkan jenis kelamin. Seorang penari pria mempunyai tata gerak yang berbeda dengan seorang penari wanita. Keaanggunan wanita yang diekspresikan melalui gerak gemulainya dalam tari Melayu, akan lebih alamiah apabila didamping oleh ekspresi sikap gagah penari pria. Dalam tarian berpasangan, gerak gerak yang diekspresikan penari pria adalah melindungi penari wanita. Pada waktu menari berpasangan, penari pria mengitari penari wanita, sebagai ekspresi menjaga penari wanita dari gangguan orang lain. Penari


(1)

disusun secara sistematis dengan mengikuti kerangka penulisan. Permasalahannya di sini jika data yang dirasa masih kurang lengkap, maka penulis melengkapinya dengan bertemu dengan informan kunci atau informan lain dan hal ini harus di lakukan secara berulang ulang.

1.6 Lokasi Penelitian

Sebagai lokasi penelitian, penulis memilih Kabupaten Aceh Tamiang sebagai lokasi Penelitian. Hal ini dikarenakan tari Ula-ula Lembing hanya satu-satunya terdapat di kabupaten tersebut. Jarak dari Kota Medan ke Kota Kualasimpang dapat ditempuh sekitar 3 jam dengan menggunakan transportasi darat karena wilayah Aceh Tamiang adalah lintas Sumatera.


(2)

DESKRIPSI STRUKTUR GERAK DAN MUSIK IRINGAN TARI

ULA-ULA LEMBING OLEH SANGGAR MEULIGEE LINDUNG BULAN DI ACEH TAMIANG

SKRIPSI SARJANA OLEH

ADJI SUCI 110707002

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

DESKRIPSI STRUKTUR GERAK DAN MUSIK IRINGAN TARI

ULA-ULA LEMBING OLEH SANGGAR MEULIGEE LINDUNG BULAN DI ACEH TAMIANG

Skripsi Sarjana Dikerjakan Oleh ADJI SUCI NIM: 110707002 Disetujui Oleh

Pembimbing I, Pembimbing II,

Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D. Dra. Heristina Dewi, M.Pd. NIP 196512211991031001 NIP 196605271994032010

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN


(4)

PENGESAHAN

DITERIMA OLEH:

Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat Ujian

Sarjana Seni dalam bidang disiplin Etnomusikologi pada Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, Medan

Pada Tanggal: 31 Juli 2015 Hari: Jumat

Fakultas Ilmu Budaya USU, Dekan,

Dr. Syahron Lubis, M.A. NIP

Panitia Ujian: Tanda Tangan 1. Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D (. )

2. Dra. Heristina Dewi, M.Pd. ( )

3. Drs. Arifninetrirosa, SST,M.A ( )

4. Drs. Bebas Sembiring. M.Si. ( )

5. Drs. Setia Dermawan Purba, M.Si. ( ) DISETUJUI OLEH


(5)

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI KETUA,

Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D


(6)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam skripsi ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, 31 Juli 2015

Adji Suci Nim 110707002