Gangguan Siklus Haid Pada Depresi

Gangguan Siklus Haid Pada Depresi
Wika Lubis, Habibah Hanum, Jarmila Elmaco
Divisi Psikosomatis Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK-USU
RSUP Haji Adam Malik

Pendahuluan
Sebelum membahas mengenai gangguan siklus haid pada depresi, perlu diketahui
tentang haid normal terlebih dahulu. Haid adalah darah yang keluar dari rahim perempuan
sehat, lamanya 3-6 hari dengan lama siklus haid berkisar 25-31 hari sekali, berwarna
kecoklatan, ganti pembalut 2-5 pembalut per hari dan terjadi akibat penurunan kadar
progesteron yaitu pada suatu siklus haid yang berovulasi.1
Pada pengertian klinik, haid dinilai berdasarkan tiga hal. Pertama siklus haid yaitu jarak
antara hari pertama haid dengan hari pertama haid berikutnya. Kedua lamanya haid yaitu
jarak dari hari pertama haid sampai perdarahan haid berhenti. Ketiga jumlah darah yang
keluar selama satu kali haid.2
Haid pertama kali yang dialami seorang perempuan disebut menarke, yang pada
umumnya terjadi pada usia sekitar 14 tahun. Menarke merupakan pertanda berakhirnya masa
pubertas, masa peralihan dari masa anak menuju masa dewasa. Selama kehidupan seorang
perempun, haid dialaminya mulai dari menarke sampai menupause. Haid normal merupakan
hasil akhir suatu siklus ovulasi. Siklus ovulasi diawali dari pertumbuhan beberapa folikel
antral pada awal siklus, diikuti ovulasi dari satu folikel dominan yang terjadi pada

pertengahan siklus. Kurang lebih 14 hari pascaovulasi, bila tidak terjadi pembuahan akan
diikuti dengan haid. Ovulasi yang terjadi teratur setiap bulan akan mengahsilkan siklus haid
yang teratur pula, siklus ovulasi (ovulatory cycle), sedangkan siklus anovulasi adalah siklus
haid tanpa ovulasi sebelumnya. Prevalensi siklus anovulasi paling sering didapatkan pada
perempuan usia dibawah 20 tahun dan diatas usia 40 tahun. Sekitar 5-7 tahun pascamenarke,
siklus haid relatif memanjang kemudian perlahan panjang siklus berkurang menuju siklus
yang teratur normal, memasuki masa reproduksi, masa sekitar usia 20-40 tahun. Selama
masa reproduksi secara umum, siklus haid teratur dan tidak banyak mengalami perubahan.
Variasi panjang siklus semakin bertambah usia semakin menyempit, semakin mengecil
variasi panjang siklusnya dan rerata panjang siklus pada usia 40-42 tahun mempunyai rentang
1
Universitas Sumatera Utara

variasi yang paling sedikit. Kemudian pada kurun waktu 8-10 tahun sebelum menopause
didapatkan hal kebalikannya, didapatkan variasi panjang siklus haid yang semakin melebar,
semakin banyak variasinya. Pada kurun waktu tersebut, variasi rerata panjang siklus haid
melebar/meningkat akibat ovulasi yang semakin jarang. Pada perempuan dengan indeks
massa tubu yang terlalu tinggi (gemuk) atau terlalu rendah (kurus), rerata panjang siklus
semakin meningkat.
Variasi panang siklus haid merupakan manifestasi klinik variasi panjang fase folikuler

di ovarium, sedangkan fase luteal mempunyai panjang yang tetap berkisar antara 13-15 hari.
Mulai dari menarke sampai mendekati menopause, panjang fase luteal selalu tetap, dengan
variasi yang sangat sempit/sedikit. Pada usia 25 tahun lebih dari 40% perempuan mempunyai
panjang siklus haid berkisar antara 25-28 hari, usia 25-35 tahun lebih dari 60% mempunyai
panjang siklus haid 28 hari dengan variasi di antara siklus haid sekitar 15%. Kurang dari 1%
perempuan mempunyai siklus haid teratur dengan panjang siklus kurang dari 21 atau lebih
dari 35 hari. Hanya sekitar 20% perempuan mempunyai siklus haid yang tidak teratur.3,4

Aspek Endokrin Dalam Siklus Haid
Dinding uterus mulai dari sisi luar terdiri dari perimetrium, miometrium di tengah dan
lapisan paling dalam, dan endometrium. Endometrium merupakan organ target dari sistem
reproduksi. Haid merupakan hasil kerja sama yang sangat rapi dan baku dari sumbu
Hipotalamus-Hipofisis-Ovarium (sumbu H-H-O). Pada awal siklus sekresi gonadotropin
yang meningkat ini memicu beberapa perubahan di ovarium. Pada awal siklus didapatkan
beberapa folikel kecil, folikel pada tahap antral yang sedang tumbuh. Pada folikel didapatkan
dua macam sel yaitu sel teka dan sel granulosa yang melingkari sel telur, oosit.2
Pada awal siklus (awal fase folikuler) reseptor LH hanya dijumpai pada sel teka,
sedangkan resptor FSH hanya ada di sel granulosa. LH memicu sel teka untuk menghasilkan
hormon androgen, selanjutnya hormon androgen memasuki sel granulosa. FSH dengan
bantuan enzim aromatase mengubah androgen menjadi estrogen (estradiol) di sel granulosa

(teori dua sel). Pada awal siklus/awal fase folikuler, peran FSH cukup menonjol di antaranya:
a. Memicu sekresi inhibin B dan aktivin di sel

granulosa. Inhibin B memacu LH

menigkatkan sekresi androgen di sel teka dan inhibin B memberikan umpan balik negatif

2
Universitas Sumatera Utara

terhadap sekresi FSH oleh hipofisis. Sementara itu, aktivin membantu FSH memicu
sekresi estrogen di sel granulosa.
b. Androgen diubah menjadi estrogen di sel granulosa dengan bantuan enzim aromatase
c. Memicu proliferasi sel granulosa. Folikel membesar.
d. Bersama estrogen memperbanyak reseptor FSH di sel granulosa.
Stimulus FSH tersebut menyebabkan pertumbuhan beberapa folikel antral menjadi
lebih besar, dan sekresi estrogen terus meningkat. Pada hari ke 5-7 siklus kadar estrogen dan
inhibin B sudah cukup tinggi, secara bersama keduanya menekan sekresi FSH tetapi tidak
sekresi LH. Sekresi FSH yang menurun tersebut mengakibatkan hanya satu folikel yang
paling siap dengan penampang paling besar dan mempunyai sel granulosapaling banyak,

tetap terus tumbuh (folikel dominan). Folikel lainnya, folikel yang lebih kecil yang kurang
siap akan mengalami atresia. Folikel dominan terus membesar menyebabkan kadar estrogen
terus meningkat. Pada kadar estrogen 200 pg/ml yang terjadi sekitar hari ke-12 dan bertahan
lebih dari 50 jam akan memacu sekresi LH, sehingga terjadi lonjakan sekresi LH. Pada akhir
masa folikuler siklus tersebut sekresi LH lebih dominan dari FSH. Pada pertengahan siklus
reseptor LH mulai didapatkan juga di sel granulosa. Peran lonjakan LH pada peretngahan
siklus tersebut sangat penting :
a. Mengahmbat sekresi Oocyte Maturation Inhibitor (OMI) yang dihasilkan oleh sel
granulosa, sehingga miosis II oosit dimulai dengan dilepaskannya badan kutub (polar
body) I. Pada awal siklus miosis I berhenti pada tahap profase diplotene karena ditahan

oleh OMI dan miosis II baru mulai lagi pada saat lonjakan LH (maturasi oosit).
b. Memicu sel granulosa untuk menghasilkan prostaglandin (PG). PG intrafolikuler akan
menyebabkan kontraksi dinding folikel membantu dinding folikel untuk pecah agar
oosit keluar saat ovulasi.
c. Memicu luteinisasi tidak sempurna dari sel granulosa. Luteinisasi sel granulosa tidak
sempurna, karena masih ada hambatan dari oosit. Luteinisasi sel granulosa tidak
sempurna akan menyebabkan sekresi progesteron sedikit meningkat.
Kadar progesteron yang sedikit meningkat mempunyai peran :
a. Lebih memacu sekresi LH, dan sekresi FSH sehingga kadar FSH meningkat kembali

dan terjadilah lonjakan gonadotropin, LH dan sekresi FSH, sehingga kadar FSH
meningkat kembali dan terjadilah lonjakan gonadotropin, LH dan FSH dengan tetap
sekresi LH lebh dominan.
3
Universitas Sumatera Utara

b. Mengaktifkan enzim proteolitik, plasminogen menjadi bentuk aktif, plasmin yang
membantu menghancurkan dinding folikel agar oosit dapat keluar dari folikel saat
ovulasi.
Kadar FSH yang meningkat pada pertengahan siklus berperan :
a. Membantu mengaktifkan enzim proteolitik, membantu dinding folikel pecah.
b. Bersama estrogen membentuk reseptor LH di sel granulosa, sehingga reseptor LH
yang tadinya hanya berada di sel teka, pada pertengahan siklus juga didapatkan di sel
granulosa. Pada saat reseptor LH mulai terbentuk di sel granulosa, inhibin A mulai
berperan menggantikan inhibin B yang lebih berperan selama fase folikuler. Inhibin A
berperan selama fase luteal.
Sekitar 36-48 jam dari awal lonjakan LH, oosit keluar dari folikel yang dikenal sebagai
ovulasi. Pascaovulasi oosit mempunyai usia yang tidak terlalu lama. Oleh karena itu
pemeriksaan kapan ovulasi akan terjadi, menjadi penting pada pelaksanaan teknik reproduksi
berbantu (TRB), seperti inseminasi atau fertilisasi in vitro-transfer embrio (FIV-TE). Saat

ovulasi penting untuk menentukan kapan insenminasi atau saat petik oosit.
Pascaovulasi, luteinisasi sel granulosa menjadi sempurna. Sekresi progesteron
meningkat tajam, memasuki fase luteal. Kadar progesteron meningkat tajan pascaovulasi
menghambat sekresi gonadotropin sehingga kadar LH dan FSH turun , dengan tetap LH lebih
dominan dibanding FSH. Sekresi LH diperlukan untuk mempertahankan vaskularisasi dan
sintesa steroid seks (steroidogenesis) di korpus luteum selama fase luteal. Segera
pascaovulasi sekresi estrogen menurun tetapi meningkat kembali dengan mekanisme yang
belum jelas. Pada fase luteal, kadar progesteron dan estrogen (progesteron lebih dominan)
meningkat, mencapai puncaknya pada 7 hari pascaovulasi, pada pertengahan fase luteal.
Kemudian kadar keduanya menurun perlahan karena korpus luteum mulai mengalami atresia.
Kurang lebih 14 hari pascaovulasi kadar progesteron dan estrogen cukup rendah,
mengakibatkan sekresi gonadotropin meningkat kembali dengan FSH lebih dominan
dibandingkan LH, memasuki siklus baru berikutnya.
Apabila didapatkan pembuahan/kehamilan, implantasi terjadi pada sekitar 6-7 hari
pascaovulasi dan pada saat itu mulai dihasilkan beta human chorionic gonadotropin (β-hCG)
oleh sel trofoblas. β-hCG memacu steroidogenesis di korpus luteum, sehingga kadar
progesteron tetap dipertahankan, tidak turun dan tidak terjadi haid.
4
Universitas Sumatera Utara


Stimulus gonadotropin (FSH, LH) pada ovarium menimbulkan peristiwa di dalam
ovarium/folikel (intrafolikuler) yang sangat kompleks mengakibatkan pertumbuhan folikel
(folikulogenesis), sintesa steroid seks (steroidogenesis) da pertumbuhan oosit (oogenesis)
seperti telah dijelaskan di atas. Stimulus gonadotropin memicu proses parakrin, pengaruh
dari hormon yang dihasilkan oleh sel tetangga dekat ataupun otokrin pengaruh hormon yang
dihasilkan oleh sel itu sendiri. Proses intrafolikuler melibatkan inhibin, aktivin, Insulin Like
Growth Factor (IGF) I dan II serta terdapat komunikasi yang erat antara oosit dan sel

granulosa.

Ganguan Haid
Gangguan haid atau disebut juga dengan perdarahan uterus abnormal merupakan
keluhan yang sering menyebabkan seorang perempuan datang berobat ke dokter atau tempat
pertolongan pertama. Keluhan gangguan haid bervariasi dari ringan sampai berat dan tidak
jarang menyebabkan rasa frustasi baik bagi penderita maupun dokter yang merawatnya. Data
di beberapa negara industri menyebutkan bahwa seperempat penduduk perempuan dilaporkan
pernah mengalami menoragia, 21% mengeluh siklus haid memendek, 17% mengalami
perdarahan antar haid dan 6% mengeluh perdarahan pascasenggama. Selain menyebabkan
gangguan kesehatan, gangguan haid ternyata berpengaruh pada aktivitas sehari-hari yaitu
28% dilaporkan merasa terganggu saat bekerja sehingga berdampak pada bidang ekonomi.3,4

Di RSUD Dr. Soetomo Surabaya pada tahun 2007 dan 2008 didapatkan angka kejadian
perdarahan uterus abnormal sebanyak 12,48% dan 8,8% dari seluruh kunjungan poli
kandungan (sifasi kepustakaan).
Tabel 1. Penyebab gangguan haid4
Keadaan Patologi Panggul
Lesi permukaan pada traktus genital

Penyakit Medis Sistemik
Gangguan hipotalamus hipofisis

Mioma uteri, adenomiosis

Stres,

Polip endometrium

berlebih

adenoma,


prolaktinoma,

olahraga

Hiperplasia endometrium
Adenokarsinoma endometrium, sarkoma

Gangguan hemostasis

Infeksi pada serviks, endometrium dan uterus

Penyakit von willebrand, gangguan faktor II,

Kanker serviks, polip

V, VII, VIII, IX, XIII, trombositopenia,

5
Universitas Sumatera Utara


Trauma

Lesi dalam

gangguan platelets

Penyakit lain

Adenomiosis difus, mioma uteri, hipertrofi Penyakit
miometrium

tiroid,

gagal

ginjal,

disfungsi

kelenjar adrenal, SLE


Endometriosis
Malformasi arteri vena pada uterus

Kelainan Ginekologi Ditinjau Dari Sudut Psikosomatik
Gangguan haid bersifat individual. Ada yang menganggap biasa terdapat pada
perempuan yang baik keseimbangan psikologinya, sedang yang emosional memberi arti yang
berlebihan dan biasanya ada hubungan dengan konflik dari perempuan tersebut serta tidak
ada kelainan organik. Penyakit psikosomatik lebih umum disebut gangguan somatoform di
bidang psikiatri yang dibagi menjadi dua bagian yaitu gangguan somatisasi dan gangguan
hipokondrik. Gangguan haid termasuk gangguan somatisasi di mana perempuan itu selalu
meminta pengobatan terhadap gangguan haidnya dan jika kehendaknya tidak dituruti maka
pasti ia mencari dokter lain. Dugaan adanya kendala psikologis di dalam kehidupannya pasti
akan ditolak oleh perempuan itu sebab dia tidak mau dirujuk ke psikiater. Terapi diberikan
dengan cara pemberian obat ataupun dengan cara pendekatan psikologis.2
a. Amenorea
Merupakan gejala tidak datangnya haid selama beberapa bulan pada perempuan yang tidak
hamil dan tidak ada kelainan organik. Biasanya perempuan ini mengalami stres psikologis
berupa kecemasan, emosional, ketakutan melakukan pekerjaan baru, mengalami
keterlambatan penerimaan kiriman uang dan ingin hamil pada pasutri sehingga akan
timbul gangguan psikosomatik yang berupa amenorea.
b. Menoragia
Menoragia adalah perdarahan haid yang memanjang. Hipermenorea adalah peradarahan
haid yang banyak.2 Polimenorea adalah haid dengan siklus haid yang lebih pendek dari
normal yaitu kurang dari 21 hari. Seringkali sulit membedakan polimenorea dengan
metroragia yang merupakan perdarahan antara dua siklus haid. Penyebab polimenorea
bermacam-macam antara lain gangguan endokrin yang menyebabkan gangguan ovulasi,
6
Universitas Sumatera Utara

fase luteal memendek dan kongesti ovarium karena peradangan.5,6 Oligomenorea adalah
haid dengan siklus yang lebih panjang dari normal yaitu lebih dari 35 hari. Sering terjadi
pada sindroma ovarium polikistik yang disebabkan oleh peningkatan hormon androgen
sehingga terjadi gangguan ovulasi. Pada remaja oligomenorea dapat terjadi karena
imaturitas poros hipotalamus hipofisis ovarium endometrium. Penyebab lain hipomenorea
antara lain stres fisik dan emosi, penyakit kronis serta gangguan nutrisi. Oligomenorea
memerlukan evaluasi lebih lanjut untuk mencari penyebab. Perhatian perlu diberikan bila
oligomenorea disertai dengan obesitas dan infertilitas karena mungkin berhubungan
dengan sindrom metabolik.5,6,7 Terjadinya akibat stres psikologis seperti ketakutan,
kecemasan, ketegangan jiwa, mengalami pertentangan dengan keluarga atau dengan
temannya.2
c. Dismenorea
Dismenorea adalah rasa sangat sakit waktu haid yang sering dikeluhkan semasa haid.
Nyeri haid yang hebat ini menyebabkan penderita terpaksa beristirahat hingga
meninggalkan sekolah maupun pekerjaannya sampai berhari-hari.
Dua macam dismenorea :
1. Dismenorea Primer
Nyeri haid yang tidak didapatkan adanya kelainan pada alat genital. Diperkirakan oleh
faktor prostaglandin, emosional dan psikologis.
2. Dismenorea Sekunder
Nyeri haid yang disebabkan karena adanya kelainan organ reproduksi seperti
peradangan tuba fallopii, endometriosis dan mioma.
d. Pre Menstrual Syndrome
Dua macam penyebabnya yaitu
1. Faktor psikologis yang akan mempengaruhi kondisi fisik dengan gejala seperti muntah,
marah-marah, mudah tersinggung, perasaan tidak enak, gelisah dan menangis.
2. Faktor fisik/organik. Pada faktor fisik ini gejala-gejalanya antara lain sakit kepala,
insomnia, takikardi, anoreksia, nausea, perut kembung dan payudara sakit.
Pre menstrual sindrom tergantung dari kepribadian perempuan itu, sehingga bersifat
individual. Perempuan yang bersifat introvert selalu memperhatikan keadaan tubuhnya
sehingga lebih cepat merasakan timbulnya gejala-gejalanya. Sebaliknya, perempuan yang
bersifat extrovert lebih banyak memperhatikan lingkungannya sehingga kurang mengenali
gejala-gejala ini. Keadaan stres dan mood (gangguan suasana hati) juga berpengaruh pada
7
Universitas Sumatera Utara

perempuan yang akan haid. Perempuan rentan terhadap stres yang bersifat negatif yaitu
yang menjadi atau membuat gejala-gejala seperti tersebut di atas. Penanganan tidak selalu
berhasil, tetapi dapat dicoba dengan mengkonsumsi makanan rendah garam kalau perlu
obat-obatan. Keadaan stresnya dapat reda dengan berpikir yang positif, rileks dan
mempergunakan waktu sebaik-baiknya. Apabila gejala tersebut tetap ada, maka ia harus
segera menemui psikiater/psikolog.2
Dikenal istilah premenstrual disporia, yaitu termasuk gangguan depresi yang hanya
mengenai pada perempuan. Pre menstrual sindrom (PMS) adalah jenis yang paling banyak
dipelajari. PMS berat adalah gangguan mood kronis yang terus berlangsung bertahuntahun pada perempuan yang masih dalam usia reproduksi. Penyebabnya masih belum
diketahui dengan pasti. Diagnostic and Statistical Manual for Mental Disorders , 4th ed
(DSM-IV) memberikan kriteria diagnostik spesifik untuk PMS disporia yang berat disebut
premenstrual dysphoric disorder (PMDD).8

Gejala cepat marah, hipersensitivitas emosional, peningkatan kecemasan, mengidam
makanan, sulit tidur dan konsentrasi menurun merupakan ciri dari PMDD hampir sama
dengan depresi terutama depresi yang atipikal. Perempuan yang didiagnosis PMS dan
PMDD memiliki riwayat depresi 20-76%.

Perkembangan Persepsi
Psikosomatik sudah lama dikenal dalam dunia kedokteran. Di dalam perkembangannya
telah mengalami berbagai perubahan dan perluasan, baik dalam wawasan, pengertian,
maupun cara penanggulangannya. Karena masalah psikis sangat berkaitan dengan lingkungan
sosial, budaya dan agama. Tidak mengherankan bila terdapat berbagai variasi dalam
pengertian istilah tersebut.9
Menurut Lock dan Donelly10 diantara para penderita yang datang ke ahli ginekologi,
kira-kira 33% menderita keluhan psikosomatik. Mengingat hal ini, maka kemungkinan salah
diagnosis dan salah terapi cukup besar apabila segi-segi psikologi tidak/kurang mendapat
perhatian.
Dengan melihat perkembangan tersebut di atas, ada dua hal yang kita patut perhatikan
yaitu :

8
Universitas Sumatera Utara

1. Pengertian psikosomatik tidak lagi sesederhana seperti pada contoh pseudosiesis,
melainkan telah berkembang jauh menjadi psychosomatic medicine yang menekankan
adanya kesatuan jiwa dan raga serta interaksi anatara keduanya.
2. Pendekatan terbaik adalah secara biopsikososial. Oleh karena itu, setiap pakar obstetri dan
ginekologi harus membekali dirinya dengan pengetahuan dan keterampilan komunikasi,
psikologi dan ilmu perilaku lainnya.9
Hubungan Faktor Psikososial dengan Kondisi Medik
Menurut Soucasaux11 seorang ginekolog dari Brazil, masih menggunakan istilah
psychosomatic gynecology, walaupun dalam uraian selanjutnya lebih banyak berbicara

tentang pengaruh psikososial terhadap keluhan dan kelainan ginekologi. Ungkapannya di
bawah ini merupakan bukti dari pengertian di atas. Menurut pendapatnya perempuan
cenderung untuk memproyeksikan masalah emosi atau psikologinya ke dalam organ yang
memiliki sifat khas perempuan yaitu organ seksual dengan fisiologi endokrinnya yang rumit.
Menurut pendapatnya jalur yang dilalui disebut sebagai the psychosomatic pathways, ada tiga
yaitu :
1. Jalur Neuroendokrin
Interrelasi antara psiko, korteks serebri, sistem limbik serta pengaruhnya terhadap poros
hipotalamus-hipofisis-ovarium sudah lama dikenal. Fungsi ovarium dipengaruhi oleh FSH
dan LH. Sebaliknya hormon ovarium, estrogen dan progesteron berpengarug terhadap
hipotalamus melalui sistem umpan balik. Dengan cara ini bila terjadi gangguan pada poros
tersebut di atas, berbagai gangguan hormonal dapat terjadi diikuti dengan berbagai bentuk
kelainan pola menstruasi.
2. Jalur Neurovegetatif
Jalur ini melalui sistem saraf simpatik dan parasimpatik langsung mempengaruhi organ
panggul.
3. Jalur Imunologi
Perubahan dalam sistem imunologi berdampak pula terhadap alat genitalia. Bisa
merupakan faktor predisposisi terhadap infeksi atau bersama-sama dengan faktor lain
berperan dalam kejadian kanker.
Mengingat bahwa sebagian besar fisiologi ginekologi itu bersifat hormonal, tampaknya
jalur neuroendokrinlah yang paling berperan. Melalui jalur ini, pengaruh pikiran (mind) dan
sistem saraf pusat terhadap perempuan, berlangsung secara hormonal.9
9
Universitas Sumatera Utara

Kuantitas, intensitas keluhan dan gejala yang terjadi sangat bervariasi antar perempuan.
Dan pada satu perempuan antarsiklus bergantung pada kurun kehidupan, kondisi emosi dan
variasi endokrin.
Daerah sasaran (target) dari proyeksi psikosomatik berserta pola keluhannya sngat
bersifat individual. Ada perempuan yang datang dengan keluhan haid, baik siklus, jumlah,
lama dan rasa sakitnya. Tidak sedikit yang datang dengan keluhan premenstrual syndrome
dengan sakit payudaranya, insomnia dan emosi yang labil.

Depresi
Depresi merupakan penyakit yang termasuk gangguan psikosomatik dengan catatan
depresi psikotik tidak termasuk didalamnya. Selain itu kasus-kasus psikosomatik dibatasi
hanya pada kasus yang tidak ada kelainan psikiatris, tidak ada gejala psikotik seperti
disintegrasi kepribadian, distorsi dari realita, waham dan sebagainya. Pasien sadar bahwa
dirinya sakit dan masih aktif mau datang berobat ke dokter. Kasus-kasus psikosomatik di
bagian ilmu penyakit dalam dapat dibedakan beberapa kelompok yaitu12 :
a. Tanpa dijumpai kelainan organik (kasus psikosomatik murni). Misalnya depresi
karena konflik psikologis yang tak terselesaikan.
b. Terdapat kelainan organik disebabkan karena gangguan psikoomatiknya sudah
berlangsung lama. Misalnya dispepsia non ulkus menjadi ulkus peptikum.
c. Kelainan organik terdapat bersama-sama dengan gangguan psikosomatiknya dan tidak
saling berhubungan (koisidensi). Dalam hal ini keluhan-keluhan pasien tidak sesuai
dengan kelainan yang ditemukan. Mereka terlampau banyak mempunyai keluhan
yang tak cocok dengan kelainan organiknya.
d. Kelainan organik yang ada baru disadarkan oleh orang lain atau dokternya. Misalnya
kelainan jantung bawaan, tuberkulosis, tumor ganas, infark miokard dan sebagainya.
Untuk menentukan diagnosis depresi dipakai kriteria DSM IV (Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorder, Revised Third Edition and Fourth Edition ). Baik

ansietas maupun depresi masing-masing menampilkan gejala-gejala psikis dan gejala somatik
yang berbeda.

10
Universitas Sumatera Utara

Keluhan-keluhan somatik yang umum dijumpai pada pasien ansietas dan depresi antara
lain sakit kepala, anoreksia, cepat lelah, konstipasi, insomnia, palpitasi, berkeringat, libido
menurun, sakit perut, nyeri ulu hati, sesak nafas dan sebagainya. Keluhan-keluhan ini yang
membawa pasien datang berobat kepada dokter.
Sedangkan keluhan-keluhan psikisnya jarang dikemukakan secara langsung dan baru
terungkap melalui anamnesis yang lebih teliti dan terarah. Belakangan dapat diperhatikan jika
pasien berasal dari kelompok dengan intelegensia tinggi (misalnya manager, para eksekutif,
icendekiawan) mereka mengemukakan keluhan psikis sebagai keluhan utamanya, misalnya
sulit konsentrasi, merasa tidak tenang, selalu tegang dan sebagainya. Sedangkan pada
kelompok dengan intelegensia rendah justru keluhan fisisnya yang paling ditonjolkan.
Untuk mempermudah mengenal keadaan depresi terdapat gejala yang merupakan trias
depresi :
1. Tidak bisa menikmati hidup
2. Tidak ada perhatian pada lingkungan
3. Lelah sepanjang hari
J. Sutter13 memperkenalkan “antisipasi” untuk mengenal dan menentukan adanya
depresi berdasarkan kenyataan baha pasien mendapat kesulitan dalam mengerti dan mengatur
makna waktu. Pasien depresi mempunyai perubahan persepsi tentang waktu dan
pembicaraannya tidak menyangkut hari depan tetapi berputar-putar sekitar masalah yang
telah lalu. Pendek kata pasien telah kehilangan kemampuan mengatur waktu dan dengan
demikian kehilangan daya antisipasi. Beberapa komponen antisipasi antara lain :
a. Loss of comunication
Ketidakmampuan untuk berkomunikasi. Pasien merasa hampa, tidak mampu bertukar
pikiran atau gagasan, kehilangan semangat.
b. Solitude
Menyendiri. Tidak mampu mengantisipasi secara positif kehadiran orang lain. Ia
menjebloskan dirinya dalam kesendirian.
c. Feeling of impotence
Rasa tidak mampu. Pasien menunjukkan tidak dapat bertindak, merendahkan dirinya,
tidak mempunyai kegiatan yang bermakna.
d. Was-was dan merasa terancam, tak dapat mengantisipasi peristiwa sehari-hari.
11
Universitas Sumatera Utara

Komponen lain yang terdapat pada depresi ialah trias kognitif yang terganggu yaitu :
1. Menilai dirinya tidak berguna (I’m worthless)
2. Perasaan permusuhan pada lingkungan (the environment is hostile)
3. Masa depan suram (nothing good can happen)

Tabel 2. Perbedaan Ansietas dengan Depresi13
Ansietas

Depresi

Pola tidur

Sulit tidur

Cepat bangun

Rasa lelah

-

+

Paling tidak enak

Sore hari

Pagi hari

Rasa kasih sayang

+

-

Perhatian hobi

+

-

Humor

+

-

Tujuan hidup

+

-

Menangis

-

+

Menyalahkan diri

-

+

Somatis :

Psikis

Evaluasi
Diagnosis pramenstruasi disporia, PMS, atau PMDD berdasarkan gejala dan
mengeksklusikan diagnosis lain yang mungkin. Unsur-unsur penting yang dinilai hubungan
antara gejala dan siklus menstruasi. Untuk menegakkan diagnosis PMS/PMDD penting
mengkonfirmasi pola gejala 2-3 siklus menstruasi dengan gejala harian yang dirasakan oleh
pasien.8
Pertimbangan utama setelah mengidentifikasi pola gejala, apakah yang terjadi murni
PMS/PMDD atau eksaserbasi pramenstruasi dari masalah kejiwaan lainnya atau kondisi
medis lain. Gejala eksaserbasi premenstrual lain seperti asma, migrain, gangguan kejang,
asupan alkohol, depresi dan skizofrenia. Tidak ada tes laboratorium yang mengidentifikasi
PMS/PMDD dan tes tersebut berguna hanya jika ada pertanyaan lain yang mungkin harus
dijawab.
12
Universitas Sumatera Utara

PMS dan PMDD didasarkan pada siklus menstruasi yang teratur dalam kisaran normal
dari 22-35 hari dan pasien dengan siklus haid yang tidak teratur harus diperiksa untuk kondisi
lainnya. Profil pemeriksaan hematologi standar dan kimia darah dilakukan untuk
mengkonfirmasi keadaan umum saja. Pemeriksaan menyeluruh meliputi review saat ini dan
status psikiatri masa lalu. Gangguan mood dan cemas merupakan gangguan yang biasanya
terkait dengan PMS/PMDD. Pemeriksaan ginekologi penting untuk menyingkirkan masalah
lain seperti endometriosis misalnya.

Antidepresan Serotonergik
Antidepresan serotonergik, khususnya SSRI menjadi pilihan pengobatan untuk PMS
yang berat dan PMDD saat ini. Modulasi fungsi serotonergik konsisten dengan pandangan
teoritis dominan bahwa fluktuasi steroid gonad dari siklus

menstruasi memicu respon

serotonergik abnormal rentan terhadap perempuan. Indikasi penanda kelainan

transmisi

serotonergik pada wanita dengan PMS berat, adanya bukti rendahnya pengikat imipramine
platelet (Penanda fungsi serotonin perifer [5-hydroxytryptamine, 5-HT] ) pada fase luteal,
rendahnya konten platelet 5-HT dan uptake 5-HT selama fase luteal. Secara signifikan nilai
5-HT keseluruhan menurun premenstrual. Pasien PMS menunjukkan 5-HT yang rendah
lambat berespon terhadap tryptophan (5-HT prekursor) selama fase luteal dibandingkan
dengan fase folikel atau fase midluteal. Tes tantangan depleting tryptophan memprovokasi
gejala PMS.
Setelah pemberian dari fenfluramine serotonin-releasing, wanita dengan PMDD secara
signifikan memiliki respon prolaktin yang kurang baik dibandingkan dengan kontrol yang
normal controls. Fenfluramine diberikan kepada pasien PMS dengan gangguan mood depresi
dan mengidam makanan.
Pemberian serotonin agonis m-chlorophenylpiperazine

(M-CPP) menunjukkan

peningkatan dari gejala PMS pada fase luteal dan respon yang tumpul pada kortisol dan
hormon adrenokortikotropik (ACTH) kedua folikular dan fase luteal dari subyek yang PMS
dibandingkan dengan kontrol biasa. Meskipun ada Informasi tidak menunjukkan hubungan
sebab akibat antara serotonin dan PMS, data menunjukkan keterlibatan sistem serotonergik
dalam gangguan ini.
Sebuah meta-analisis dari uji coba terkontrol secara acak, pengobatan PMS / PMDD
dengan SSRI disimpulkan bahwa obat ini merupakan terapi lini pertama yang efektif, dengan
keseluruhan standar rata-rata untuk rasio odds 6.91. Obat yang jelas terbukti efektif
diantaranya fluoxetine, sertraline, paroxetine, citalopram, venlafaxine dan clomipramine.
13
Universitas Sumatera Utara

Studi Open label menunjukkan bahwa nefazodone dan fluvoxamine juga memiliki respon
dalam pengobatan PMS. Food and Drug Administration (FDA) menyatakan bahwa
pengobatan PMDD adalah fluoxetine dan sertraline.
Dalam semua laporan dari SSRI dan antidepresan serotonergik lainnya pengobatan
untuk PMS/PMDD, dosis efektif tetap pada the low end of the dose range. Dianggap
pengobatan adekuat setelah pemberian obat anti depresan setidaknya terdapat parsial respon
minimal dua siklus dari dengan siklus ketiga. Jika pasien memiliki respon yang kurang baik
atau adanya efek samping yang terus berlanjut, SSRI lain bisa dicoba. Efek samping yang
umum biasanya timbul di awal pengobatan, tapi kemudian sementara saja dan menghilang
selama siklus pengobatan pertama. Efek samping yang umum dari pengobatan sakit kepala,
mual, insomnia, kelelahan atau lesu, diare, konsentrasi menurun, dan pusing. Penurunan
libido juga merupakan efek samping yang umum dari pengobatan SSRI, meskipun
laporannya jarang. Frekuensi yang rendah dari gairah seksual juga dilaporkan, dialami
perempuan depresi berkisar dari 32% (sertraline) ke 40% (paroxetine). Terdapat perbedaan
yang jelas antara PMS dan depresi berat. Biasanya PMS/PMDD percobaan pengobatan akut,
tidak mewakili penilaian yang sistematis dari fungsi seksual, dan mungkin tidak mewakili
pengalaman dengan pengobatan pemeliharaan lebih lama.

Dosis Fase Luteal
Dua uji coba multicenter besar melaporkan khasiat fluoxetine dan sertraline diberikan 2
minggu terakhir dari siklus menstruasi. Seperti dosis harian, dosis rata-rata tetap rendah dan
obat ditoleransi dengan baik. Tidak ada studi sampai saat ini yang melaporkan penghentian
gejala dengan dosis fase luteal. Secara keseluruhan, studi menunjukkan bahwa dosis fase
luteal efektif untuk mendiagnosis PMS/PMDD; pengobatan harian dengan SSRI tidak
dianjurkan; respon biasanya tergantung the low end of the dose range; Efek samping terlihat
pada dosis terus menerus; dan penghentian gejala tidak menjadi masalah pada pemberian
regimen dosis fase luteal.

Antidepresan Lainnya
respon antidepresan pada PMS/PMDD tampaknya terkait potensi aktivitas serotonergik
dan bukan efek antidepresan secara umum. antidepresan lain yang jelas efektif untuk depresi
mayor, seperti desipramine (antidepresan trisiklik noradrenergik),

buproprion (dengan

penghambatan lemah dari kedua serotonin dan norepinephrine reuptake) dan maprotoline

14
Universitas Sumatera Utara

(selektif noradrenalin reuptake inhibitor ) tidak lebih efektif daripada plasebo dalam
pengobatan PMS.

Pengobatan Jangka Panjang dari PMS/PMDD
Semua penelitian yang dipublikasi bahwa efikasi pengobatan PMS/PMDD berdasarkan
pada lamanya pengobatan akut 2-3 bulan. laporan anekdot menunjukkan bahwa gejala PMS
kembali dalam beberapa bulan jika obat dihentikan. Hal ini juga tampak bahwa gejala yang
tidak diobati tidak membaik secara spontan seperti yang terjadi pada depresi, tetapi terus
selama bertahun-tahun, berdasarkan informasi dari uji klinis, yang melaporkan bahwa durasi
gangguan antara 8-10 tahun sebelum perawatan. Studi pemeliharaan jangka panjang belum
dilakukan untuk gangguan ini, tapi pengamatan ini menunjukkan bahwa pengobatan
perawatan jangka panjang mungkin sesuai untuk pasien dengan PMS berat/PMDD,
khususnya jika mereka mengalami gejala yang cepat kembali

setelah mendapatkan

pengobatan.
Pengobatan Hormonal
Terapi hormon untuk PMS/PMDD tidak didukung oleh informasi ilmiah yang
konsisten terlepas dari bukti keterlibatan gangguan hormonal. Agonis GnRH, seperti depot
leuprolide dan intranasal buserelin efektif mengurangi gejala PMS tetapi penggunaan terbatas
karena risiko yang terkait dengan tingkat estrogen rendah, khususnya osteoporosis, dan obatobat ini dipandang sesuai hanya sebagai alat diagnostik atau untuk pasien yang tidak
menanggapi perawatan lainnya. Hasil investigasi awal terapi menggunakan estrogen dosis
rendah dan progesteron dalam hubungannya dengan agonis GnRH tidak konsisten dan belum
definitif menunjukkan aman serta efektif dalam pendekatan pengobatan jangka panjang.
Data yang terbatas menunjukkan bahwa tibolone (a selective estrogen enzim
modulator ) diberikan dengan agonis GnRH dalam pengobatan PMS melindungi terhadap

keropos tulang diamati dengan agonis GnRH dan tidak mengurangi efek terapi dari agonist.
Studi plasebo-terkontrol acak, kontrasepsi oral (OC) sebagai pengobatan untuk PMS
berat/PMDD, tidak ada bukti ilmiah yang konsisten efektif untuk gangguan ini. Kontrasepsi
oral trifasik lebih efektif daripada plasebo hanya untuk gejala fisik nyeri payudara dan
bloating. Percobaan terbaru dari OC mengandung progestin baru, analog dari spironolaktone

dengan antimineralokortikoid dan aktivitas antiandrogenik, menunjukkan pengurangan
konsisten baik fisik dan perilaku gejala PMS termasuk mood disporik. Tapi studi tambahan
dengan kekuatan statistik yang cukupdibutuhkan.
15
Universitas Sumatera Utara

Singkatnya, ada sedikit dukungan empiris atau bimbingan untuk kontrasepsi oral
sebagai pengobatan untuk PMS / PMDD. Jika gejala suasana hati yang dominan dan
konsisten, antidepresan serotonergik dianggap terapi lini pertama.
Terapi estrogen dengan dosis rejimen yang cukup untuk menekan ovulasi secara
signifikan menurun mood disporik dan gejala fisik PMS. Namun, Estrogen harus bersiklus
dengan progesteron untuk mengurangi risiko kanker rahim, dan sejauh mana progesteron
eksogen menyebabkan kembalinya gejala PMS masih belum jelas. Pengobatan progesteron
untuk dianjurkan bertahun-tahun. Tetapi banyak penelitia termasuk tiga penelitian besar uji
acak terkontrol, gagal menunjukkan peningkatan secara signifikan lebih besar dibandingkan
plasebo untuk gangguan mood dan gejala PMS.

16
Universitas Sumatera Utara

Daftar Pustaka

1. Baziad Ali Med. Endokrinologi Ginekologi. Edisi Ketiga. Media Aesculapius
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2008. Hal 35-37.
2. Anwar Mochamad, Baziad Ali, Prabowo Prajitno. Ilmu Kandungan. PT Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo. Jakarta. 2011. Halaman 75-79, 464-465.
3. Zinger M. Epidemiology of Abnormal Uterine Bleeding in : O’Donavan Pj, Miller
CE, Modern Management of Abnormal Uterine Bleeding. London, Informa. 2008.
Page 8-25.
4. Lund KJ. Abnormal Uterine Bleeding in : Alvero R, Schlaff W. Reproductive
Endocrinology and Infertility. The Requisites in Obstetrics and Gynecology,
Philadelphia, Mosby Elsevier. 2007. Page 77-91.
5. Simajuntak P. Gangguan Haid dan Siklusnya. Dalam : Wiknjosastro H, Saiffudin AB,
Rachimhadhi T, Ilmu Kandungan. Edisi ke-2 cetakan ke-6. Jakarta : Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo. 2008. Halaman 34-203.
6. Baziad A. Gangguan Haid. Dalam : Endokrinologi Ginekologi. Edisi ke-3. Jakarta :
Media Aesculapius. 2008. Halaman 35-47.
7. Speroff L, Fritz MA. Dysfunctional Uterine Bleeding, in : Clinical Gynecologic
Endocrinology and Infertility 7th ed, Philadelphia, Lippincot Williams & Wilkins.
2005. Page 71-547.
8. Freeman W Ellen. Treatment of depression associated with the menstrual cycle:
premenstrual dysphoria, postpartum depression, and the perimenopause. Dialogues in
Clinical Neuroscience - Vol 4 . No. 2 . 2002
9. Martaadisoebrata Djamhoer, Sastrawinata Sulaiman R, Saifuddin Bari Abdul. Bunga
Rampai Obstetri dan Ginekologi Sosial. Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo. Jakarta. 2005. Halaman 133-146.
10. Hudono ST, Wiknjosastro H. Psikosomatik dan Seksologi, Ilmu Kandungan. Edisi
Kedua. YBPSP. 1994.
11. Soucasaux N. Clinical and Psychosomatic Gynecology ; New Perpectives in
Gynecology Imago Editora. Rio deJeniro. 2003.
12. Mudjaddid E. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi VI : Bab Psikosomatik :
Pemahaman dan Penanganan Psikosomatik Gangguan Ansietas dan Depresi di Bidang
Ilmu Penyakit Dalam. Interna Publishing. Jakarta. 2015. Halaman 3583-3586.
13. Sutter J. Anticipation and Depression. International Reference 1990. Survector
Scientific Collection. Page 1-7.

17
Universitas Sumatera Utara