Hubungan antara Fase pada Siklus Haid Wanita Normal dengan Hasil Pemeriksaan Audiologi

(1)

HUBUNGAN ANTARA SIKLUS HAID WANITA NORMAL

DENGAN HASIL PEMERIKSAAN AUDIOLOGI

Tesis

Oleh:

INDRI ADRIZTINA

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS

ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

HUBUNGAN ANTARA SIKLUS HAID WANITA NORMAL

DENGAN HASIL PEMERIKSAAN AUDIOLOGI

Tesis

Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Spesialis dalam Bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung

Tenggorok Bedah Kepala Leher

Oleh:

INDRI ADRIZTINA

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS

ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Medan, 7 Agustus 2014 Tesis dengan judul

HUBUNGAN ANTARA SIKLUS HAID WANITA NORMAL DENGAN HASIL PEMERIKSAAN AUDIOLOGI

Telah disetujui dan diterima baik oleh Komisi Pembimbing Ketua

NIP. 140202219

dr. Adlin Adnan, Sp.THT-KL(K)

Anggota

Dr. dr. Tengku Siti Hajar Haryuna, Sp.THT-KL

NIP. 19790620 200212 2 003 NIP. 19590223 198603 1 001

dr. Ichwanul adenin, M.Ked(OG),SpOG

Diketahui oleh

Ketua Departemen Ketua Program Studi

Prof.Dr.dr.Abd. Rachman S, Sp.THT-KL(K)

NIP: 19471130 198003 1 002 NIP: 19790620 200212 2 003 Dr. dr. Tengku Siti Hajar Haryuna, Sp.THT-KL

Dekan Fakultas Kedokteran USU Ketua TKP-PPDS

Prof. dr. Gontar A. Siregar, Sp.PD, KGEH

NIP: 19540220 198011 1 001 NIP: 19540620 198011 1 001 dr. H. Zainuddin Amir, Sp.P(K)


(4)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan Bismillahirahmanirrahim, saya sampaikan rasa syukur kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan karuniaNya saya dapat menyelesaikan tesis ini sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan untuk memperoleh gelar Spesialis dalam bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok dan Bedah Kepala Leher di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan. Saya menyadari penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna, baik isi maupun bahasannya. Walaupun demikian, mudah-mudahan tulisan ini dapat menambah perbendaharaan penelitian dengan judul

Hubungan antara Fase pada Siklus Haid Wanita Normal dengan Hasil Pemeriksaan Audiologi

Dengan telah selesainya tulisan ini, pada kesempatan ini dengan tulus hati saya mengucapkan terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan setinggi-tingginya kepada yang terhormat :

dr. Adlin Adnan, Sp.THT-KL(K) atas kesediaannya sebagai ketua pembimbing penelitian ini, Dr. dr. Tengku Siti Hajar Haryuna, Sp.THT-KL dan dr. Ichwanul Adenin, M.Ked (OG), SpOG (K) sebagai anggota pembimbing. Di tengah kesibukan beliau, dengan penuh perhatian dan kesabaran, telah banyak memberi bantuan, bimbingan, saran dan pengarahan yang sangat bermanfaat kepada saya dalam menyelesaikan tulisan ini.

Rasa terimakasih yang setinggi-tingginya kepada Prof. dr. Sorimuda Sarumpaet, MPH sebagai pembimbing ahli yang banyak memberi bantuan, bimbingan dan masukan dalam bidang metodelogi penelitian dan statistik.

Dengan telah berakhirnya masa pendidikan spesialis saya, pada kesempatan yang berbahagia ini perkenankanlah saya menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

Yang terhormat Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. dr. Syahril Pasaribu, Sp.A(K), DTM&H dan mantan Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. dr. Chairuddin Panusunan Lubis, Sp.A(K), DTM&H, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Spesialis Kedokteran Klinik di Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.


(5)

Yang terhormat Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD(KGEH), atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk mengikuti Program Spesialis Kedokteran Klinik di Fakultas Kedokteran USU.

Yang terhormat Bapak Direktur RSUP H. Adam Malik Medan, yang telah mengizinkan peneliti untuk mengambil data di rumah sakit yang beliau pimpin dan telah memberikan kesempatan pada saya untuk menjalani masa pendidikan di rumah sakit yang beliau pimpin.

Yang terhormat Ketua Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran USU Prof. dr. Delfi Lutan, M.Sc, SpOG(K) yang telah memberikan izin dan kesempatan untuk bekerja sama dengan departemen Obstetri dan Ginekologi RSUP H. Adam Malik Medan

Yang terhormat Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok dan Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran USU Prof. Dr. dr. Abdul Rachman Saragih, Sp.THT-KL(K) dan Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran USU, Dr. dr T. Siti Hajar Haryuna Sp.THT-KL, Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran USU sebelumnya Prof. dr. Askaroellah Aboet, Sp.THT-KL(K) yang telah memberikan izin, kesempatan dan ilmu kepada saya dalam mengikuti Program Spesialis Kedokteran Klinik sampai selesai.

Yang terhormat supervisor di jajaran Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik Medan, dr. Asroel Aboet, Sp.THT-KL(K), Prof. dr. Ramsi Lutan, Sp.THT-KL(K), dr. Yuritna Haryono, Sp.THT-KL (K), Prof. dr. Askaroellah Aboet, Sp.THT-KL(K), Prof. Dr. dr. Abdul Rachman Saragih, Sp.THT-KL(K), dr. Muzakkir Zamzam, SpTHT-KL(K), dr. Mangain Hasibuan, KL, dr. T.Sofia Hanum, Sp.THT-KL(K), Prof. Dr. dr. Delfitri Munir, SpTHT-KL(K), dr. Linda I. Adenin, Sp.THT-KL, (Almh) dr. Hafni,Sp.THT-SpTHT-KL(K), dr. Ida Sjailandrawati Hrp, SpTHT-KL, dr.Adlin Adnan, Sp.THT-KL, dr. Rizalina A. Asnir, KL(K), (Almh) dr. Ainul Mardhiah, KL, dr. Siti Nursiah, Sp.THT-KL, dr. Andrina Y.M. Rambe, Sp.THT-Sp.THT-KL, dr. Harry Agustaf Asroel, M.Ked (ORL-HNS), Sp.THT-KL, dr. Farhat, M.Ked (ORL-(ORL-HNS), Sp.THT-KL(K), dr. T. Siti Hajar Haryuna, Sp.THT-KL, dr. Aliandri, Sp.THT-KL, dr. Asri Yudhistira, M.Ked (ORL-HNS), Sp.THT-KL, dr. Devira Zahara, M.Ked (ORL-(ORL-HNS), SpTHT-KL, dr. H.R. Yusa Herwanto, M.Ked (ORL-HNS), SpTHT-KL, dr. M. Pahala Hanafi Harahap,


(6)

SpTHT-KL dan dr. Ferryan Sofyan, M.Kes, SpTHT-KL. Terima kasih atas segala ilmu, keterampilan dan bimbingannya selama ini.

Yang tercinta teman-teman sejawat PPDS Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran USU, atas bantuan, nasehat, saran maupun kerjasamanya selama masa pendidikan.

Rasa terima-kasih saya sampaikan sebesar-besarnya kepada suami saya tercinta, Dipa Nandastyra Hasibuan, S.Sos, yang telah memberi limpahan kasih sayang selama ini, dan dengan sabar selalu memberikan dukungan dan bantuannya yang tiada terhingga hingga terselesaikannya tesis ini.

Yang mulia dan tercinta Ayahanda dr. Ichwanul Adenin, M.Ked(OG), SpOG (K) dan Ibunda (almh) dr. Efrina Rizar, SpM juga bunda dr. Erfitrina SpM, ananda sampaikan rasa hormat dan terima kasih yang tak terhingga serta penghargaan yang setinggi-tingginya atas kasih sayang yang telah diberikan dan dilimpahkan kepada ananda sejak dalam kandungan, dilahirkan, dibesarkan dan diberi pendidikan yang baik serta diberikan suri tauladan yang baik hingga menjadi landasan yang kokoh dalam menghadapi kehidupan ini, dengan memanjatkan doa kehadirat Allah SWT, Ya Allah ampuni dosa kami dan dosa kedua orang tua kami, serta kasihilah mereka sebagaimana mereka mengasihi kami sejak kecil.

Kepada mertua saya tersayang, drs Zulyaden Hasibuan dan drg. Alma Wirena, ananda ucapkan banyak terima kasih atas kasih sayang dan segala bantuan yang diberikan. Sesungguhnya semua ini tidak akan tercapai tanpa doa, kasih sayang dan semangat kalian yang tak hentinya dilimpahkan kepada ananda sehingga dapat terselesaikannya tesis ini.

Kepada adik-adikku Rizka Tania, SMB, Nashwa Zahira dan Raffi Ichwanul penulis mengucapkan terima kasih atas limpahan kasih sayang dan tak henti-hentinya memberikan dorongan serta doa kepada penulis.

Kepada seluruh kerabat dan handai taulan yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Akhirnya izinkanlah saya mohon maaf yang setulus-tulusnya atas segala kesalahan dan kekurangan saya selama mengikuti pendidikan ini, semoga segala bantuan, dorongan, petunjuk yang diberikan kepada saya selama


(7)

mengikuti pendidikan kiranya mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT, Yang Maha Pemurah, Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Amin.

Medan, Agustus 2014

Penulis


(8)

ABSTRAK

Pendahuluan: Informasi mengenai pengaruh hormonal terhadap fungsi pendengaran masih sangat terbatas, namun beberapa penelitian yang ada, tidak memungkiri bahwa fluktuasi hormonal juga dapat menyebabkan fluktuasi fungsi pendengaran

Tujuan: Untuk mengetahui hubungan siklus menstruasi terhadap fungsi sel rambut luar koklea dengan pemeriksaan audiologi

Metode: Penelitian ini bersifat analitik dengan desain cross sectional. Pengambilan sampel dilakukan dengan sistematik random sampling. Didapatkan 49 wanita dengan siklus haid normal yang memenuhi kriteria inklusi. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, pemeriksaan fisik telinga dengan otoskopi dan pemeriksaan THT rutin lainnya kemudian dilakukan pemeriksaan timpanometri, DPOAE dan audiometri nada murni.

Hasil Penelitian: Ditemukan rerata nilai audiometri pada fase folikular di frekuensi 4000 Hz telinga kanan paling buruk diantara fase lainnya dan saat ovulasi ditemukan nilai yang paling baik di frekuensi 1000 Hz telinga kiri dengan perbedaan yang bermakna. Ditemukan perbedaan yang bermakna antara rerata nilai DPOAE pada saat ovulasi dibandingkan dengan fase folikular pada telinga kiri di frekuensi 3000 Hz dan 1000 Hz, dan pada saat ovulasi dibandingkan dengan fase luteal pada frekuensi 2000 Hz, 3000 Hz dan 5000 Hz pada telinga kanan dan frekuensi 1000 Hz pada telinga kiri dengan p < 0,05. Terdapat hubungan antara rerata nilai audiometri dan DPOAE pada fase luteal di frekuensi 4000 Hz.

Kesimpulan: Ditemukan perbedaan yang signifikan antara rerata nilai audiometri berdasarkan fase siklus haid namun hanya pada sebagian kecil frekuensi dan tidak menggambarkan perubahan secara keseluruhan. Namun kami menemukan hubungan yang bermakna antara nilai DPOAE dan fase pada siklus haid.


(9)

ABSTRACT

Introduction: There are only limited information from previous studies suggest that auditory function may be influenced by hormones. Recent advances in the field have provide the potential role of hormones in modulating the auditory system.

Aim: To investigate the relationship between menstrual cycle and outer hair cell function with audiologic examination

Methods: This is an analitic study with cross sectional design. Sampling is done by systematic random sampling. We found 49 women with normal menstrual cycle. Data was collected through interviews, physical examination and examination of the ear with otoscopic and other routine otorhinolaryngology examination. Tympanometric, DPOAE and pure tone audiometry was evaluated.

Results: We found the audiometric thershold worse in the folicullar phase than other phases at 4000 Hz of the right ear, and in the ovulation was found best than any other phases at 1000 Hz of the left ear with significant difference.

We found significant difference of DPOAE between ovulation time and follicular phase at 3000 Hz and 1000 Hz in the left ear, and between ovulation and luteal phased at 2000 Hz, 3000 Hz and 5000 Hz in the right ear, and at 1000 Hz in the left ear with p < 0,05.

Conclusion: The result of this study showed only a small part of audiometry threshold that had a significant difference between each phase of menstrual. In other word we found no correlation between menstrual and audiometry threshold. But there is a correlation between phase of menstrual cycle and DPOAE amplitude


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Derajat Gangguan Pendengaran Menurut ISO Tabel 3.1. Penjelasan Mengenai Variabel Penelitian

Tabel 4.1. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kelompok Umur

Tabel 4.2. Distribusi Rerata Nilai Audiometri pada Setiap Fase Sesuai dengan Kelompok Umur

Tabel 4.3. Distribusi Rerata Nilai DPOAE pada Setiap Fase Sesuai dengan Kelompok Umur.

Tabel 4.4. Distribusi Rerata Nilai Audiometri pada Siklus Haid Fase Folikular Tabel 4.5. Distribusi Rerata Nilai Audiometri pada Siklus Haid Saat Ovulasi Tabel 4.6. Distribusi Rerata Nilai Audiometri pada Siklus Haid Fase Luteal Tabel 4.7. Hubungan Silkus Haid Fase Folikular dengan Saat Ovulasi

Berdasarkan Rerata Nilai Audiometri

Tabel 4.8. Hubungan Siklus Haid Saat Ovulasi dengan Fase Luteal Berdasarkan Nilai Audiometri

Tabel 4.9. Hubungan Siklus Haid Fase Folikular dengan Fase Luteal Berdasarkan Rerata Nilai Audiometri

Tabel 4.10. Distribusi Rerata Nilai Amplitudo DPOAE pada Fase Folikular Tabel 4.11. Distribusi Rerata Nilai Amplitudo DPOAE pada Saat Ovulasi Tabel 4.12. Distribusi Rerata Nilai Amplitudo DPOAE pada Fase Luteal

Tabel 4.13. Hubungan Antara Siklus Haid Fase Folikular dengan Fase Ovulasi Berdasarkan Rerata Nilai Amplitudo DPOAE

Tabel 4.14. Hubungan Antara Siklus Haid Saat Ovulasi dengan Fase Luteal Berdasarkan Rerata Nilai Amplitudo DPOAE

Tabel 4.15. Hubungan Antara Siklus Haid Fase Folikular dengan Fase Luteal Berdasarkan Rerata Nilai Amplitudo DPOAE

Tabel 4.16. Hubungan Antara Rerata Nilai Audiometri dan DPOAE pada Folikular Dini

Tabel 4.17. Hubungan Antara Rerata Nilai Audiometri dan DPOAE pada Saat Ovulasi

Tabel 4.18. Hubungan Antara Rerata Nilai Audiometri dan DPOAE pada Fase Luteal


(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Potongan Melintang pada Putaran Koklea

Gambar 2.2. Perubahan Hormonal pada Siklus Haid Normal

Gambar 2.3. Hasil Pemeriksaan Tes Ovulasi dengan Urin

Gambar 2.4. Gambaran Skematis Perubahan yang Terjadi Pada Siklus Haid

Gambar 2.5. (A) Spektrum Suara Pada Liang Telinga Normal Yang Diberikan dengan f1=1425Hz dan f2=1500Hz, Yang

Keduanya Diberikan pada Intensitas 70 dB. (B) Gambaran Distorsi Produk yang Dihasilkan pada DP-Gram


(12)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vii

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR ISI ... xi

BAB 1. PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian... 3

1.3.1 Tujuan umum ... 3

1.3.2 Tujuan khusus ... 4

1.4. Manfaat Penelitian... 4

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Anatomi Telinga Dalam ... 5

2.2. Fisiologi Pendengaran ... 7

2.3. Mekanisme Aktif Koklea ... 8

2.3.1 Langkah pertama ... 8

2.3.2 Langkah kedua ... 9

2.3.3 Langkah ketiga ... 9

2.4. Haid dan Siklusnya... 9

2.4.1 Siklus haid normal ... 10

2.4.2 Pemeriksaan waktu ovulasi dengan alat tes ovulasi .. 12

2.5. Pengaruh Perubahan Hormonal pada Sistem Pendengaran . 13 2.5.1 Pengaruh estrogen terhadap sistem auditori ... 15

2.5.2 Pengaruh progesterone terhadap sistem auditori ... 16

2.6. Emisi Otoakustik ... 16


(13)

2.7. Pemeriksaan Audiometri Nada Murni ... 19

2.7.1 Penentuan ambang dengar ... 19

2.7.2 Prosedur pemeriksaan ambang dengar ... 20

2.8. Timpanometri ... 21

2.9. Kerangka Teori Terjadinya Gangguan Aktifitas Sel Rambut Koklea pada Siklus Haid ... 23

2.10. Kerangka Konsep ... 24

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 25

3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 25

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian ... 25

3.3. Populasi, Sampel, Besar Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel ... 25

3.3.1 Populasi ... 25

3.3.2 Besar sampel ... 25

3.3.3 Teknik pengambilan sampel ... 26

3.3.4 Sampel Penelitian ... 26

3.4. Variabel Penelitian ... 26

3.5. Definisi Operasional ... 27

3.6. Bahan dan Alat penelitian ... 27

3.7. Tehnik Pengumpulan Data ... 29

3.8. Analisis Data ... 29

3.9. Kerangka Kerja ... 30

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 32

BAB 5. PEMBAHASAN ... 44

BAB 3. KESIMPULAN DAN SARAN ... 53

3.1. Kesimpulan ... 53

3.2. Saran ... 54

DAFTAR PUSTAKA ... 55

PERSONALIA PENELITIAN ... 60

LAMPIRAN 1... 62


(14)

LAMPIRAN 3... 68

LAMPIRAN 4... 69

LAMPIRAN 5... 70

LAMPIRAN 6... 80


(15)

ABSTRAK

Pendahuluan: Informasi mengenai pengaruh hormonal terhadap fungsi pendengaran masih sangat terbatas, namun beberapa penelitian yang ada, tidak memungkiri bahwa fluktuasi hormonal juga dapat menyebabkan fluktuasi fungsi pendengaran

Tujuan: Untuk mengetahui hubungan siklus menstruasi terhadap fungsi sel rambut luar koklea dengan pemeriksaan audiologi

Metode: Penelitian ini bersifat analitik dengan desain cross sectional. Pengambilan sampel dilakukan dengan sistematik random sampling. Didapatkan 49 wanita dengan siklus haid normal yang memenuhi kriteria inklusi. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, pemeriksaan fisik telinga dengan otoskopi dan pemeriksaan THT rutin lainnya kemudian dilakukan pemeriksaan timpanometri, DPOAE dan audiometri nada murni.

Hasil Penelitian: Ditemukan rerata nilai audiometri pada fase folikular di frekuensi 4000 Hz telinga kanan paling buruk diantara fase lainnya dan saat ovulasi ditemukan nilai yang paling baik di frekuensi 1000 Hz telinga kiri dengan perbedaan yang bermakna. Ditemukan perbedaan yang bermakna antara rerata nilai DPOAE pada saat ovulasi dibandingkan dengan fase folikular pada telinga kiri di frekuensi 3000 Hz dan 1000 Hz, dan pada saat ovulasi dibandingkan dengan fase luteal pada frekuensi 2000 Hz, 3000 Hz dan 5000 Hz pada telinga kanan dan frekuensi 1000 Hz pada telinga kiri dengan p < 0,05. Terdapat hubungan antara rerata nilai audiometri dan DPOAE pada fase luteal di frekuensi 4000 Hz.

Kesimpulan: Ditemukan perbedaan yang signifikan antara rerata nilai audiometri berdasarkan fase siklus haid namun hanya pada sebagian kecil frekuensi dan tidak menggambarkan perubahan secara keseluruhan. Namun kami menemukan hubungan yang bermakna antara nilai DPOAE dan fase pada siklus haid.


(16)

ABSTRACT

Introduction: There are only limited information from previous studies suggest that auditory function may be influenced by hormones. Recent advances in the field have provide the potential role of hormones in modulating the auditory system.

Aim: To investigate the relationship between menstrual cycle and outer hair cell function with audiologic examination

Methods: This is an analitic study with cross sectional design. Sampling is done by systematic random sampling. We found 49 women with normal menstrual cycle. Data was collected through interviews, physical examination and examination of the ear with otoscopic and other routine otorhinolaryngology examination. Tympanometric, DPOAE and pure tone audiometry was evaluated.

Results: We found the audiometric thershold worse in the folicullar phase than other phases at 4000 Hz of the right ear, and in the ovulation was found best than any other phases at 1000 Hz of the left ear with significant difference.

We found significant difference of DPOAE between ovulation time and follicular phase at 3000 Hz and 1000 Hz in the left ear, and between ovulation and luteal phased at 2000 Hz, 3000 Hz and 5000 Hz in the right ear, and at 1000 Hz in the left ear with p < 0,05.

Conclusion: The result of this study showed only a small part of audiometry threshold that had a significant difference between each phase of menstrual. In other word we found no correlation between menstrual and audiometry threshold. But there is a correlation between phase of menstrual cycle and DPOAE amplitude


(17)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Informasi mengenai pengaruh hormonal terhadap fungsi pendengaran masih sangat terbatas, namun beberapa penelitian yang ada, tidak memungkiri bahwa fluktuasi hormonal juga dapat menyebabkan fluktuasi fungsi pendengaran. Penelitian terakhir pada bidang neuroendokrin dan nerofarmakologi telah menguak pengetahuan tentang pengaruh hormon terhadap sistem reproduksi, respon stress individu dan keseimbangan cairan dan elektrolit. Pada konteks ini ingin mengupas tentang pengaruh siklus haid yang terjadi oleh adanya variasi hormon terhadap sistem pendengaran (Al-Mana et al. 2008).

Siklus haid dibagi menjadi 2 fase dan 1 saat. Fase folikular, saat ovulasi dan fase luteal. Fase folikular dimulai dari awal haid dan berakhir sekitar 15 hari setelahnya. Setelah ovulasi, dimulailah fase luteal, hal ini berlangsung selama 13 sampai 15 hari dan berakhir pada onset haid selanjutnya. Pada fase luteal, level progesteron dan level luteneizing/follicle stimulating hormone (LH/FSH) meningkat dan estrogen menurun. Tingginya produksi progesteron dapat meningkatkan sodium, klorida dan reabsorpsi. Kebanyakan perubahan pada wanita terjadi pada fase luteal. Perubahan ini termasuk retensi cairan, penambahan berat badan, meningkatnya kebutuhan energi, perubahan uptake glukosa, waktu transit gastrointestinal yang meningkat dan salah satu yang terjadi pada fase ini adalah hydrops dari labirin (akibat dari retensi cairan). Siklus haid berhenti saat progesteron dan level LH/FSH pada level minimum (Arruda & Silva, 2008; Isbii, Nisbino & Campos 2009).

Homeostasis dan status biokimia dari cairan telinga dalam dibutuhkan untuk keseimbangan dan pendengaran. Wanita dengan siklus haid secara alami dapat mengalami fluktuasi pada fungsi pendengaran dan keseimbangan pada waktu-waktu tertentu selama siklus tersebut. Dasar


(18)

fisiologis hubungan terjadinya peristiwa ini masih belum jelas.(Gurbuzler et al. 2012; Arruda & Silva 2008).

Analisa dari emisi otoakustik (OAE) adalah tes yang dilakukan pada liang telinga luar, suara dihasilkan dari kontraksi sel rambut luar akibat dari stimulus suara yang diberikan dan diterima dalam amplitudo tertentu. OAE dapat terjadi secara spontan ataupun dirangsang. Tes OAE ini berfungsi untuk mendapatkan informasi mengenai integritas sel rambut luar selama mekanisme koklea aktif. Sebuah hipotesis mengatakan bahwa pengaruh hormonal dapat menyebabkan suatu kelainan telinga dalam seperti Menier’s. Seperti pada fase luteal di siklus haid, progresteron dapat menyebabkan terjadinya peningkatan reabsopsi air dan sodium yang juga dapat menyebabkan gejala pendengaran. Penilaian dari OAE yang sangat stabil, sangat baik untuk penggunaan secara medis dalam mendeteksi gangguan telinga dalam tersebut. Amplitudo dari OAE dapat dihasilkan oleh stimuli transien yang dilakukan dengan alat transient evoked otoaccoustic emission (TEOAE) ataupun produk distorsi dengan alat yang disebut distortion product otoaccoustic emission (DPOAE) (Arruda & Silva 2008). Eksitasi yang lebih kuat yang dilakukan dengan tonus yang berkesinambung (sampai mencapai 75 dB SPL) pada DPOAE membuat pemeriksaan tersebut dapat melihat gangguan pendengaran sampai ringan yang tidak dapat dideteksi oleh TEOAE (Kemp, 2002).

Beberapa penelitian menemukan adanya hubungan antara fase haid dan fluktuasi pendengaran. Swanson dan Dengerink pada tahun 1988 menunjukkan penurunan ambang dengar dengan pemeriksaan audiometri yang signifikan pada frekuensi 4000 Hz antara fase haid dibandingkan dengan fase ovulasi dan fase luteal. Sedangkan penelitian oleh Amit dan Animesh pada tahun 2002 dengan pemeriksaan TEOAE dan mendapatkan peningkatan amplitudo yang signifikan pada fase menstrual sedangkan terjadi penurunan pada fase luteal. Al-mana et al, pada tahun 2010 juga menemukan perbedaan amplitudo OAE yang signifikan pada


(19)

fase folikular akhir dibandingkan dengan fase luteal akhir (Al-Mana et al. 2010; Al-Mana et al. 2008; Swanson & Dengerink 1988).

Telah diketahui sebelumnya bahwa frekuensi pada emisi otoakustik dapat digunakan untuk memeriksa variasi fungsi pendengaran selama perubahan fase siklus haid. Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti belum menemukan penelitian mengenai hubungan antara fase pada siklus haid wanita normal dengan hasil pemeriksaan audiologi di Indonesia, khususnya di Sumatera Utara. Karena itu, penelitian ini dibuat untuk memeriksa aktifitas sel rambut dengan pemeriksaan DPOAE dan ambang dengar dengan pemeriksaan audiometri pada wanita selama siklus haid normal.

1.2 Rumusan Masalah

Apakah ada hubungan siklus haid terhadap hasil pemeriksaan audiologi?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara setiap fase siklus haid terhadap hasil pemeriksaan audiologi.

1.3.2. Tujuan khusus

a. Mengetahui distribusi frekuensi berdasarkan kelompok umur b. Mengetahui distribusi rerata nilai audiometri pada setiap fase

sesuai dengan kelompok umur

c. Mengetahui distribusi rerata nilai DPOAE pada setiap fase sesuai dengan kelompok umur

d. Mengetahui distribusi rerata nilai audiometri pada siklus haid fase folikular


(20)

e. Mengetahui distribusi rerata nilai audiometri pada siklus haid fase luteal

f. Mengetahui distribusi rerata nilai audiometri pada siklus haid saat ovulasi

g. Mengetahui hubungan antara setiap fase pada siklus haid berdasarkan rerata nilai audiometri

h. Mengetahui distribusi rerata nilai amplitudo DPOAE pada fase folikular

i. Mengetahui distribusi rerata nilai amplitudo DPOAE pada fase luteal

j. Mengetahui distribusi rerata nilai amplitudo DPOAE pada saat ovulasi

k. Mengetahui hubungan antara setiap fase pada siklus berdasarkan rerata nilai amplitudo DPOAE

l. Mengetahui hubungan antara rerata nilai audiometri dan rerata nilai amplitudo DPOAE pada setiap fase folikular, saat ovulasi dan fase luteal

1.4 Manfaat Penelitian

1. Untuk memperoleh data mengenai hasil pemeriksaan audiologi pada setiap fase siklus haid untuk memperkuat hasil penelitian sebelumnya.

2. Sebagai sumber referensi mengenai perubahan hormonal pada fase siklus menstruasi dengan pemeriksaan audiologi untuk melakukan penelitian selanjutnya.

3. Sebagai bahan untuk pengembangan keilmuan dibidang Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok dan Bedah Kepala Leher.

4. Sebagai bahan pegangan perlu atau tidaknya memperhatikan faktor fase pada siklus menstruasi saat melakukan pemeriksaan audiologi.


(21)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Telinga Dalam

Bentuk telinga dalam sedemikian kompleksnya sehingga disebut sebagai labirin. Derivat vesikel otika membentuk suatu rongga tertutup yaitu labirin membran yang terisi endolimfe, satu-satunya cairan ekstraselular dalam tubuh yang tinggi kalium dan rendah natrium. Endolimfe dihasilkan dari sel sekretori dari stria vaskularis dan dark cell. Labirin membran dikelilingi oleh cairan perilimfe (tinggi natrium, rendah kalium) yang terdapat dalam kapsula otika bertulang. Labirin tulang dan membran memiliki bagian vestibular dan bagian koklear. Bagian vestibularis (pars superior) berhubungan dengan keseimbangan, sementara bagian koklearis (pars inferior) merupakan organ pendengaran kita (Adams, Boies & Higler 1997; Gacek 2009).

Koklea melingkar seperti rumah siput dengan dua dan satu-setengah putaran. Aksis dari spiral tersebut dikenal sebagai modiolus, berisi berkas saraf dan suplai arteri dari arteri vertebralis. Serabut saraf kemudian berjalan menerobos suatu lamina tulang yaitu lamina spiralis oseus untuk mencapai sel-sel sensorik organ Corti. Rongga koklea bertulang dibagi menjadi tiga bagian oleh duktus koklearis yang panjangnya 35 mm dan berisi endolimfe. Bagian atas adalah skala vestibuli, berisi perilimfe dan dipisahkan dari duktus koklearis oleh membran Reissner yang tipis. Bagian bawah adalah skala timpani juga mengandung perilimfe dan dipisahkan dari duktus koklearis oleh lamina spiralis oseus dan membran basilaris. Perilimfe pada kedua skala berhubungan pada apeks koklea spiralis tepat setelah ujung buntu duktus koklearis melalui suatu celah yang dikenal sebagai helikotrema. Membrana basilaris sempit pada basisnya (nada tinggi) dan melebar pada apeks (nada rendah) (Adams, Boies & Higler 1997; Adunka & Bichman 2011).


(22)

Terletak di atas membran basilaris dari basis ke apeks adalah organ Corti, yang mengandung organel-organel penting untuk mekanisme saraf perifer pendengaran seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.1. Organ Corti terdiri dari satu baris sel rambut dalam (3000) dan tiga baris sel rambut luar (12.000). Sel-sel ini menggantung lewat lubang-lubang lengan horizontal dari suatu jungkat-jungkit yang dibentuk oleh sel-sel penyokong. Ujung saraf aferen dan eferen menempel pada ujung bawah sel rambut. Pada permukaan sel-sel rambut terdapat stereosilia yang melekat pada suatu selubung di atasnya yang cenderung datar, bersifat gelatinosa dan aselular, dikenal sebagai membran tektoria. Membrana disekresi dan disokong oleh suatu panggung yang terletak di medial disebut sebagai limbus (Adams, Boies & Higler 1997; Gacek 2009).

Bagian vestibulum telinga dalam dibentuk oleh sakulus, utrikulus dan kanalis semisirkularis. Utrikulus dan sakulus mengandung makula yang diliputi oleh sel-sel rambut. Menutupi sel-sel rambut ini adalah suatu lapisan gelatinosa yang ditembus oleh silia, dan pada lapisan ini terdapat pula otolit yang mengandung kalsium dan dengan berat jenis yang lebih besar daripada endolimfe. Karena pengaruh gravitasi, maka otolit akan membengkokkan silia sel-sel rambut dan menimbulkan rangsangan pada reseptor (Adams, Boies & Higler 1997; Adunka & Bichman 2011).

Sakulus berhubungan dengan utrikulus melalui suatu duktus sempit yang juga merupakan saluran menuju sakus endolimfatikus. Makula utrikulus terletak pada bidang yang tegak lurus terhadap makula sakulus. Ketiga kanalis semisirkularis bermuara pada utrikulus. Masing-masing kanalis mempunyai suatu ujung yang melebar membentuk ampula dan mengandung sel-sel rambut Krista. Sel-sel rambut menonjol pada suatu kupula gelatinosa. Gerakan endolimfe dalam kanalis semisirkularis akan menggerakkan kupula yang selanjutnya akan membengkokkan silia sel-sel rambut Krista dan merangsang sel-sel reseptor (Adams, Boies & Higler 1997; Gacek 2009; Adunka & Bichman 2011).


(23)

Gambar 2.1 Potongan melintang pada putaran koklea (Newton & Vallely 2006).

2.2 Fisiologi Pendengaran

Sampai tingkat tertentu pinna adalah suatu “pengumpul” suara, sementara liang telinga karena bentuk dan dimensinya, dapat sangat memperbesar suara dalam rentang 2 sampai 4 kHz, perbesaran pada frekuensi ini adalah sampai 10 hingga 15 dB. Maka suara dalam rentang frekuensi ini adalah yang paling berbahaya jika ditinjau dari sudut trauma akustik (Adams, Boies & Higler 1997).

Pada telinga tengah terdapat maleus, inkus dan stapes. Tangkai dari maleus terletak dalam membrana timpani, sedangkan otot tensor timpani berinsersi pada leher maleus. Kaput maleus bersendi dengan permukaan anterior korpus inkus dalam epitimpanum. Inkus memiliki prosesus brevis yang menonjol ke belakang dan prosesus longus yang berjalan ke bawah untuk bersendi dengan kaput stapes (Adams, Boies & Higler 1997; Gacek 2009).

Getaran suara dihantarkan lewat liang telinga dan telinga tengah ke telinga dalam melalui stapes, menimbulkan suatu gelombang berjalan di sepanjang membran basilaris dan organ Cortinya. Puncak gelombang berjalan di sepanjang membran basilaris yang panjangnya 35 mm


(24)

tersebut, ditentukan oleh frekuensi gelombang suara. Hal ini berakibat membengkoknya stereosilia oleh kerja pemberat membrana tektoria, dengan demikian menimbulkan depolarisasi sel rambut dan menciptakan potensial aksi pada serabut-serabut saraf pendengaran yang melekat padanya. Disinilah gelombang suara mekanis diubah menjadi energi elektrokimia agar dapat ditransmisikan melalui saraf kranialis ke-8. Paling tidak sebagian analisis frekuensi telah terjadi pada tingkat organ Corti. Gelombang suara mencapai amplitudo maksimum sesuai dengan frekuensinya terletak pada daerah tertentu di membran basilaris dan menstrimulasi segmen tersebut. Frekuensi tinggi dipresentasikan pada daerah basal koklea dan secara progresif menuju frekuensi rendah ke daerah apeks. Peristiwa listrik pada organ Corti dapat diukur dan dikenal sebagai mikrofonik koklearis. Peristiwa listrik yang berlangsung dalam neuron juga dapat diukur dan disebut sebagai potensial aksi (Adams, Boies & Higler 1997; Dhingra & Dhingra 2010).

2.3 Mekanisme Aktif Koklea

Koklea yang terletak pada telinga dalam memiliki mekanisme aktif yang dapat kita bagi menjadi 3 langkah yang terpisah sebagai berikut:

2.3.1 Langkah pertama

Tekanan pada dinding ovale menimbulkan getaran terhadap perilimf, menghasilkan pergerakan membran basilaris dan organ Corti. Pergerakan ini menggeser stereosilia yang berhubungan dengan membran tektorial. Stimulasi ini merupakan stimulasi yang tergantung terhadap frekuensi, getaran membran basilaris berbeda pada frekuensi tinggi (puncak getaran terjadi dekat pada basal koklea) dan frekuensi rendah (puncak getaran terjadi pada apeks koklea). Pergerakan dari stereosilia membuka chanel potassium pada membran sel, menghasilkan potensial reseptor elektrik atau potensial mikrofonik koklearis (Al-Mana, et al. 2010).


(25)

2.3.2 Langkah kedua

Potensial yang dihasilkan menciptakan perubahan konsentrasi secara cepat pada sel rambut luar sesuai dengan stimulus frekuensinya. Mekanisme kontraksi yang cepat adalah proses awal dari amplifikasi aktif koklea, getaran pada sel-sel yang menghubungkan antara membran basilaris dan tektoria mengakibatkan amplifikasi dari frekuensi sumber bunyi (Al-Mana, et al. 2010).

2.3.3 Langkah ketiga

Getaran sel rambut luar yang teramplifikasi dari gerakan membran basilaris dan tektorial juga menggerakkan longer silia (yang berhubungan dengan membran tektoria) dari sel rambut dalam yang terletak sesuai dengan frekuensinya. Pergerakan ini menimbulkan potassium masuk ke dalam sel, menghasilkan sebuah potensial reseptor yang membebaskan neurotransmitter, membentuk stimulus listrik yang berhubungan dengan pesan suara. Informasi tersebut kemudian diteruskan kepada saraf akustikus dan ke sistem saraf pusat (Al-Mana, et al. 2010).

2.4 Haid dan Siklusnya

Pada pengertian klinik, haid dinilai berdasarkan tiga hal. Pertama, siklus haid yaitu jarak antara hari pertama dengan hari pertama hadi berikutnya. Kedua, lama haid, yaitu jarak dari hari pertama haid sampai perdarahan haid berhenti, dan ketiga jumlah darah yang keluar selama satu kali haid. Haid dikatakan normal bila didapatkan siklus haid tidak kurang dari 24 hari, tetapi tidak melebihi 35 hari, lama haid 3 – 7 hari, dengan jumlah darah selama haid berlangsung tidak melebihi 80 ml, ganti pembalut 2 – 6 kali per hari. Haid pertama kali yang dialami seorang perempuan disebut menarke, yang umumnya terjadi pada umur sekitar 14 tahun. Selama kehidupan seorang perempuan, haid dialaminya mulai dari menarke sampai menopause. Menopause adalah haid terakhir yang dikenali bila setelah haid terakhir tersebut minimal satu tahun tidak


(26)

mengalami haid lagi. Haid normal merupakan hasil akhir suatu siklus ovulasi. Ovulasi yang terjadi teratur setiap bulan akan menghasilkan siklus yang teratur pula, siklus ovulasi (ovulatory cycle), sedangkan siklus anouvulasi paling sering didapatkan pada perempuan umur dibawah 20 tahun dan diatas 40 tahun. Sekitar 5 – 7 tahun pasca menarke siklus haid relatif memanjang, kemudian perlahan panjang siklus berkurang menuju siklus yang teratur normal, memasuki masa reproduksi yaitu masa sekitar umur 20 – 40 tahun (Samsulhadi 2011).

2.4.1 Siklus haid normal

Siklus haid normal dapat dipahami dengan baik dengan membaginya atas 2 fase dan 1 saat, yaitu fase folikular, saat ovulasi, dan fase luteal (Sarwono, 2002).

Perubahan-perubahan kadar hormon sepanjang siklus haid disebabkan oleh mekanisme umpan balik (feedback) antara hormon steroid dan hormon gonadotropin. Estrogen menyebabkan umpan balik negatif terhadap FSH, sedangkan terhadap LH, estrogen menyebabkan umpan balik negatif jika kadarnya rendah, dan umpan balik positif jika kadarnya tinggi. Tempat utama umpan balik terhadap hormon gonadotropin ini mungkin pada hypothalamus (Sarwono, 2002).

Tidak lama setelah haid dimulai, pada fase haid dini, beberapa folikel berkembang oleh pengaruh FSH yang meningkat. Awalnya pada fase folikuler dini, esterogen ditemukan pada level rendah. Meningkatnya FSH ini disebabkan oleh regresi korpus luteum, sehingga hormon steroid berkurang. Dengan berkembangnya folikel, produksi estrogen meningkat, dan ini menekan produksi FSH; folikel yang akan berovulasi melindungi dirinya sendiri terhadap atresia, sedangkan folikel-folikel lain mengalami atresia. Panjang fase folikuler pada umumnya berkisar antara 10-14 hari. Pada waktu ini LH juga meningkat, namun peranannya pada tingkat ini hanya membantu pembuatan estrogen dalam folikel. Perkembangan folikel yang cepat pada fase folikel akhir ketika FSH mulai menurun,


(27)

menunjukkan bahwa folikel yang telah masak itu bertambah peka terhadap FSH. Perkembangan folikel berakhir setelah kadar estrogen dalam plasma jelas meninggi. Estrogen pada mulanya meninggi secara berangsur-angsur, kemudian dengan cepat mencapai puncaknya. Ini memberikan umpan balik positif terhadap pusat siklik, dan dengan mendadak terjadi puncak pelepasan LH (LH surge) pada pertengahan siklus, yang mengakibatkan terjadinya ovulasi. LH yang meninggi itu menetap kira-kira 24 jam dan menurun pada fase luteal. Mekanisme turunnya LH tersebut belum jelas. Dalam beberapa jam setelah LH meningkat, estrogen menurun dan mungkin inilah yang menyebabkan LH itu menurun. Menurunnya estrogen mungkin disebabkan oleh perubahan morfologik pada folikel. Mungkin pula menurunnya LH itu disebabkan oleh umpan balik negatif yang pendek dari LH terhadap hypothalamus. Pecahnya folikel terjadi 16-24 jam setelah lonjakan LH (Sarwono 2002; Maki, Rich & Rosenbaum 2000).

Pada fase luteal, setelah ovulasi, sel-sel granulose membesar, membentuk vakuola yang bertumpuk pigmen kuning (lutein); folikel menjadi korpus luteum. Vaskularisasi dalam lapisan granulosa juga bertambah dan mencapai puncaknya pada 8-9 hari setelah ovulasi. Luteneizing granulose cells dalam korpus luteum itu membuat progestron yang banyak, dan luteinized theca cells membuat pula estrogen yang banyak, sehingga kedua hormon itu meningkat tinggi pada fase luteal. Mulai 10-12 hari setelah ovulasi, korpus luteum mengalami regresi berangsur-angsur disertai dengan berkurangnya kapiler-kapiler dan diikuti oleh menurunnya sekresi progesteron dan esterogen. Dalam hal ini, fase kedua, yaitu fase sekresi atau fase luteal lamanya hampir selalu tetap yaitu 14 hari, tidak sama halnya dengan fase folikuler. Dengan kata lain, variasi panjang siklus haid merupakan manifestasi klinik dari variasi panjang fase folikuler. Gambaran fluktuasi hormonal pada siklus haid dan proses maturasi folikel hingga menjadi korpus luteum dapat dilihat pada gambar 2.2 (Baziad et al. 1993; Sarwono 2002; Samsulhadi 2011).


(28)

Gambar 2.2. Perubahan hormonal pada siklus haid normal (Mtawalli et al. 1997)

2.4.2 Pemeriksaan waktu ovulasi dengan alat tes ovulasi

Banyak variasi produk yang dijual secara bebas untuk menentukan tidak hanya apakah wanita tersebut sedang ovulasi, namun lebih kapan lebih tepatnya wanita mengalami ovulasi. Produk ini biasa disebut “alat tes ovulasi” ataupun “LH kit”, semua produk ini digunakan untuk melihat adanya lonjakan LH di urin pada midcycle. Lonjakan LH pada midcycle merupakan waktu yang cukup singkat, biasanya berlangsung selama 48-50 jam dari awal terjadinya hingga selesai. LH memiliki waktu paruh yang sangat singkat dan dengan cepat dibuang melalui urin. Tes ovulasi berubah positif jika konsentrasi LH pada urin melebihi batas ambang normal yang hanya terlihat pada saat lonjakan LH. Pada kebanyakan siklus ovulasi, hasil tes positif hanya pada satu hari saat ovulasi, namun pada waktu tertentu dapat juga selama 2 hari yang berdekatan. Untuk lebih memastikan waktunya terjadi lonjakan LH, test harus dilakukan setiap hari, dimulai dari 2 sampai 3 hari sebelum jadwal terjadinya lonjakan LH, yang dihitung berdasarkan lama siklus biasanya.


(29)

Alat tes ovulasi merupakan alat pemeriksaan non invasif dan tersedia secara luas seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.3. Hasil tes ovulasi sensitif terhadap volume dan seringnya mengkonsumsi cairan perhari. Tidak perlu membatasi banyaknya minum, namun pasien dapat diberitahu agar tidak mengkonsumsi minuman yang berlebihan sebelum dilakukan tes ovulasi (Speroff & Fritz 2005).

Gambar 2.3. Hasil pemeriksaam tes ovulasi dengan urin (Diagnostica 2013).

Secara logika, urin pagi hari merupakan spesimen yang ideal karena merupakan merupakan urin yang paling konsentrat. Namun, hasil yang didapat yang berhubungan dengan tingginya lonjakan LH dalam darah terjadi pada sore hingga malam hari (4.00-10.00 PM), mungkin disebabkan karena lonjakan LH tersering terjadi pada pagi hari dan mulai terdeteksi di urin pada beberapa jam setelahnya. Dua kali pemeriksaan dalam sehari dapat mengurangi kemungkinan terjadinya false negative, namun umunya hal ini tidak diperlukan. Kejadian false positive sangat jarang terjadi (Speroff & Fritz 2005).

2.5 Pengaruh Perubahan Hormonal pada Sistem Pendengaran

Sekresi estrogen dan progesteron berfluktuasi selama siklus ovulasi, level estrogen meningkat selama awal fase proliferatif (folikular) dari siklus ovulasi dan mencapai puncak tepat sebelum lonjakan LH, dimana sekresi


(30)

progesteron meningkat pada pase luteal, kemudian berlanjut pada lonjakan LH dan ovulasi (Al-mana, et al. 2008).

Level estrogen yang meningkat selama fase folikular berhubungan dengan peningkatan hormon lainnya. Level vasopressin juga didapatkan meningkat pada fase folikular jika dibandingkan dengan fase mid-luteal. Meningkatnya sekresi vasopressin kemungkinan disebabkan oleh estrogen. Hal ini dapat menyebabkan retensi atau redistribusi cairan yang biasanya terjadi pada beberapa wanita di periode pre-menstrual dari siklus haid yang dapat menyebabkan gangguan pendengaran (Al-Mana, et al. 2008)

Namun beberapa penelitian melaporkan terjadinya penurunan ambang dengar selama siklus haid justru terjadi akibat peningkatan progesteron. Peningkatan cairan intertisial (yang kemungkinan disebabkan oleh progesteron) dapat mempengaruhi fungsi tuba eustachius yang mengakibatkan penurunan ambang dengar selama fase luteal pada siklus haid (Al-Mana, et al. 2008; Al-Mana, et al. 2010).

Pada siklus haid absorpsi/reabsorpsi sodium dan air bervariasi dan pengaruh hormonal terhadap aliran darah di koklea pun mempengaruhi mekanisme aktif dari koklea. Peningkatan cairan interstitial ini juga dapat berhubungan dengan tekanan telinga tengah yang lebih negatif akibat dari terganggunya fungsi tuba eustachius yang dapat menyebabkan penurunan ambang dengar. Kurva waktu terjadinya retensi cairan akibat fluktuasi hormonal dapat dilihat pada gambar 2.4 (Aruda & Silva 2008; Al-Mana et al. 2008).

Beberapa laporan kasus menunjukkan fluktuasi dari gangguan pendengaran yang berhubungan dengan siklus haid yang terjadi pada fase luteal dan membaik setelah mulai haid. Miller dan Gould melaporkan dua wanita dengan keadaan tersebut. Souaid dan Rappaport juga melaporkan wanita berumur 45 tahun yang menderita gangguan pendengaran bilateral pada mulainya haid dengan rasa sumbat pada


(31)

telinga kanan dan tinnitus yang membaik sesuai berjalannya siklus ovulasi (Al-Mana et al. 2008).

Beberapa penelitian juga menerangkan hubungan siklus haid dengan gangguan mekanisme aktifitas koklea. Diketahui terjadinya retensi natrium dan cairan pada siklus haid dapat mempengaruhi aktifitas koklea. Penelitian sebelumnya menunjukkan adanya perubahan OAE spontan sesuai degan fuktuasi hormon esterogen dan sebagian lainnya menyatakan gangguan aktifitas koklea pada saat terjadi peningkatan progesteron (Arruda & Silva 2008; Isbii, Nisbino & Campos 2009; Gurbuzler et al. 2012).

Gambar 2.4. Gambaran skematis perubahan yang terjadi pada siklus haid (Al-Mana et al. 2008).

Pada penelitian yang dilakukan pada manumur, perubahan pada fungsi pendengaran selama siklus ovulasi telah banyak dilaporkan seperti penilaian ambang dengar (Cox 1980; Swanson and Dengerink 1988), Auditory Brainstem Responses (ABR) dan OAE (Serra et al. 2003; Al-Mana et al. 2008).

2.5.1 Pengaruh estrogen terhadap sistem auditori

Beberapa penelitian telah menunjukkan adanya reseptor esterogen


(32)

manumur, tikus dan mencit (termasuk sel spiral ganglion tipe 1, stria vaskularis dan pembuluh darah koklea) melalui pewarnaan imunohistokimia. Adanya reseptor estrogen pada spiral ganglion, dan sel rambut dalam dan luar, menunjukkan adanya kemungkinan pengaruh dari hormon estrogen dapat mempengaruhi transmisi auditori, sedangkan reseptor esterogen pada stria vaskularis dapat mempengaruhi keseimbangan cairan pada koklea. (Al-Mana et al. 2008; Simonoska 2009)

Thompson et al. (2006) menyatakan bahwa dengan memblok reseptor estrogen dapat menyebabkan supresi dari DPOAE akibat supresi dari transmisi auditori dengan kata lain, estrogen dapat dikatakan berperan protektif terhadap fungsi auditori dan berhubungan dengan fungsinya sebagai neuroprotektif (Al-Mana et al. 2008).

2.5.2 Pengaruh progesteron terhadap sistem auditori

Progesteron merupakan precursor terhadap hormon steroid lain dan bertindak sebagai neurosteroid. Belum ada penelitian yang menemukan reseptor progesteron secara spesifik pada sistem auditori, namun progesteron dapat bereaksi silang dengan reseptor steroid lain (seperti reseptor glukokortokoid dan mineralkortikoid) yang terdapat pada koklea ataupun terletak lebih proksimal pada sistem auditori yang akhirnya dapat mempengaruhi keseimbangan sodium pada koklea. Progesteron juga diketahui dapat mempengaruhi sistem auditori dengan berinteraksi pada daerah ikatan steroid pada reseptor GABA-A dan bertindak sebagai GABA-A agonis yang dapat mempengaruhi sistem auditori secara tidak langsung (Guimaraes, 2006; Al-Mana et al. 2008).

2.6 Emisi Otoakustik

Emisi otoakustik adalah suara yang mencapai liang telinga ketika (secara paradoksal) membran timpani menerima getaran balik dari telinga tengah yang dihasilkan koklea. Getaran ini terjadi akibat dari mekanisme


(33)

koklea yang sensitif dan unik yang disebut ‘cochlea amplifier’ yang sangat berkontribusi dari sensitifitas dan diskriminasi dari pendengaran seseorang (Kemp 2002).

Analisa dari OAE adalah tes yang dilakukan pada liang telinga luar, suara dihasilkan dari kontraksi sel rambut luar akibat dari stimulus suara yang diberikan. OAE dapat terjadi secara spontan ataupun diberikan. OAE yang spontan ditemukan pada 40% dari subjek dengan pendengaran normal, OAE yang terjadi merupakan energi yang didapatkan pada liang telinga sebagai respon dari stimulus akustik yang dapat merupakan nada ‘klik’ (transien) ataupun dua frekuensi nada murni (distortion product). Tes ini berfungsi untuk mendapatkan informasi mengenai integritas sel rambut luar selama mekanisme koklea aktif (Arruda & Silva 2008).

Hubungan antara hasil produksi emisi otoakustik dengan ambang dengar diketahui memiliki hubungan yang signifikan. Penurunan produksi emisi otoakustik didapati pada penderita dengan penurunan ambang dengar. Hal ini juga banyak disebutkan pada berbagai literatur (Guida, Sousa & Cardoso 2012).

Sebuah hipotesis mengatakan bahwa pengaruh hormonal dapat menyebabkan suatu kelainan telinga tengah seperti Meniere’s. Sebuah konsesus menyatakan bahwa penilaian penerimaan dari OAE sangat stabil, yang mana hal ini dapat sangat baik untuk penggunaan secara medis. Pengukuran amplitudo OAE dapat digunakan untuk mengukur variasi yang terjadi selama siklus ovulasi (Arruda & Silva 2008).

2.6.1 DPOAE

Amplitudo dari OAE dapat dihasilkan oleh stimuli transien yang dilakukan dengan alat TEAOE ataupun produk distorsi dengan alat yang disebut DPOAE (Arruda & Silva 2008). Intermodulasi non-linier diantara tonus dua stimulus di dalam koklea menghasilkan beberapa komponen frekuensi akustik baru yang dapat diterima pada liang telinga. Distorsi liang dapat mencapai diatas 20 dB SPL. Intermodulasi non-linear diantara


(34)

dua tonus adalah semata-mata proses mekanikal dan produk distorsi yang menghasilkan frekuensi dengan hubungan fdp= f1 + N(f2-f1). Setiap komponen distorsi dapat dipisahkan dari stimuli dengan analisis frekuensi sinyal. Intensitas dari satu komponen particular dengan fdp=2f1-f2 digunakan sebagai indikator status dari koklea, secara tidak langsung berfungsi sebagai frekuensi pada DP-gram. Gambaran spektrum suara dan hasil DP-gram dapat dilihat pada gambar 2.5. DPOAE dapat berkurang atau bahkan tidak ada pada gangguan sel rambut yang berat (Kemp 2002).

Gambar 2.5. (A) Spektrum suara pada liang telinga normal yang diberikan dengan f1=1425Hz dan f2

=1500Hz, yang keduanya diberikan pada intensitas 70 dB. (B) Gambaran distorsi produk yang dihasilkan pada DP-Gram (Kemp 2002).

Eksitasi yang lebih kuat yang dilakukan dengan tonus yang berkesinambung (sampai mencapai 75 dB SPL) pada DPOAE membuat pemeriksaan tersebut dapat melihat gangguan pendengaran sampai derajat sedang yang tidak dapat dideteksi oleh TEOAE (Kemp 2002).

Pada siklus haid normal terjadi penurunan pada frekuensi OAE sebelum onset haid yaitu pada fase luteal dan terjadi peningkatan kembali setelah mendekati saat ovulasi. Pada penelitian yang dilakukan oleh


(35)

Al-mana pada tahun 2010, mendapati perbedaan amplitudo OAE yang signifikan antara fase folikular akhir dengan luteal akhir dibandingkan dengan fase lainnya. Arruda et al. yang meneliti mengenai hubungan DPOAE dan TEOAE dengan siklus haid mendapatkan standart deviasi nilai DPOAE pada berbagai frekuensi salah satunya yang digunakan pada penelitian ini adalah 4,25 (Kemp 2002; Arruda & Silva 2008; Al-mana et al. 2010; Gurbuzler et al. 2012).

2.7 Pemeriksaan Audiometri Nada Murni

Audiometri nada murni merupakan suatu pemeriksaan sensitivitas/ ketajaman pendengaran seseorang dengan menggunakan stimulus nada murni (bunyi yang hanya mempunyai satu frekuensi). American Speech-languange Hearing Association (ASHA) menyatakan terdapat terdapat 3 metode yang umum digunakan yaitu (a) manual audiometry (conventional audiometry); (b) automatic audiometry (Bekesy audiometry); dan (c) computerized audiometry (American Speech-languange Hearing Association 2005; Margolis & Morgan 2008).

Prinsip dari suatu audiometer memberikan signal bunyi pada intensitas yang bervariasi dengan frekuensi yang berbeda (250Hz, 500Hz, 1000Hz, 2000Hz, 4000Hz, dan 8000Hz) ke dalam headphones yang digunakan untuk pemeriksaan pendengaran (Health and Safety Authority 2007). Hal yang harus diperhatikan antara lain kalibrasi peralatan, dan digunakan pada ruangan yang sesuai sehingga didapat hasil tes yang akurat (American Speech-languange Hearing Association 2005).

2.7.1 Penentuan ambang dengar

Persiapan

Pasien perlu diberitahu akan rencana pemeriksaan audiometri, sehingga mereka dapat memiliki waktu istirahat untuk menghindari lingkungan bising (kelab malam, konser musik dan lain-lain) minimal 16 jam sebelum pemeriksaan. Namun pada kenyataannya hal ini akan sulit.


(36)

Sebelum melakukan tes audiometri secara umum dilakukan wawancara ada tidaknya riwayat kelainan pada telinga, kemudian pemeriksaan otoskopi. Pemeriksaan dimulai pada telinga yang lebih baik pendengarannya (American Speech-languange Hearing Association 2005).

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terhadap penilaian ambang dengar manual antara lain (a) instruksi kepada pasien, (b) respon terhadap arahan, dan (c) interpretasi audiologis terhadap sikap respon pasien selama pemeriksaan (American Speech-languange Hearing Association 2005).

2.7.2 Prosedur pemeriksaan ambang pendengaran

Prosedur dasar untuk menentukan ambang terdiri dari:

(a) familiarisasi (membiasakan diri) terhadap signal pemeriksaan.

Hal ini bertujuan untuk memastikan audiologis bahwa pasien mengerti dan dapat merespon arahan yang diberikan dengan cara memberikan signal dengan intensitas yang cukup menimbulkan respon yang jelas (American Speech-languange Hearing Association 2005).

(b) Penentuan ambang dengar

Prosedur standar yang direkomendasikan pada pemeriksaan dengan menggunakan audiometri nada murni secara adalah bertahap yang dimulai dengan signal yang tidak dapat didengar. Stimulus nada murni diberikan selama 1 – 2 detik. Ambang dengar didapat dengan menentukan bunyi nada murni yang terlemah pada frekuenasi tertentu yang masih dapat didengar oleh telinga pasien (American Speech-languange Hearing Association 2005).

Derajat gangguan pendengaran dihitung dengan menggunakan indeks Fletcher yaitu:

Ambang dengar (AD) =

4


(37)

Dalam menentukan derajat gangguan pendengaran, yang dihitung hanya ambang dengar hantaran udaranya (AC) saja (Soepardi 2007). Derajat gangguan ambang dengar dapat dilihat pada tabel 2.1.

Tabel 2.1. Derajat gangguan pendengaran menurut ISO (Soepardi, 2007)

Ambang dengar Derajat gangguan pendengaran

0-25 dB Normal

>25-40 dB Tuli ringan

>40-55 dB Tuli sedang

>55-70 dB Tuli sedang berat

>70-90 dB Tuli berat

>90 Db Tuli sangat berat

Sensitifitas ambang dengar yang berkurang pada fase haid telah diteliti oleh Cox (1980). Cox menemukan terjadi penurunan ambang dengar pada hari ke 3 atau ke 4 pada siklus haid. Hal ini diduga akibat peningkatan tekanan telinga tengah akibat meningkatnya retensi cairan interstisial. Swanson dan Dengerink (1988) menunjukkan penurunan ambang dengar dengan pemeriksaan audiometri yang signifikan pada frekuensi 4000 Hz antara fase haid dibandingkan dengan fase ovulasi dan fase luteal.

2.8 Timpanometri

Timpanometri merupakan suatu metode pemeriksaan fungsi telinga tengah yang aman dan cepat pada anak-anak maupun orang dewasa, dimana tekanan udara di dalam liang telinga luar diubah untuk mengukur nilai imitans akustik pada permukaan lateral membran timpani (Shahnaz & Bork 2008).

Timpanometri adalah suatu tekhnik pemeriksaan yang objektif dari membran timpani, perubahan tekanan udara pada liang telinga tengah, timpanometri menilai mobilitas membran timpani, yang diperngaruhi


(38)

tekanan udara di belakang membran timpani. Pemeriksaan timpanometri dilaksanakan selama lebih kurang tiga detik sampai pemeriksaan selesai, posisi probe ditempatkan sedemikian rupa pada telinga luar (Minessote Dept. of Health Community 2009).

Dua komponen timpanometri yang menjadi parameter dalam interpretasi hasil pemeriksaan yaitu Complience peak (CP) atau mobilitas membran timpani dalam satuan mililiter (ml) dan air pressure (AP) atau tekanan udara dalam satuan decaPascal (daPa). Parameter lain pada pemeriksaan timpanometer seperti volume liang telinga (Ear Canal Volume), refleks akustik (AR) dan gradien (GR). Pada nilai timpanometri yang normal, CP harus berada antara nilai 0.3 sampai 1.4 ml dan AP berada di antara nilai -150 sampai +50 daPa (Minessote Dept. of Health Community 2009).

Beberapa penelitian mendapati peningkatan tekanan telinga tengah pada fase pre-haid sampai beberapa hari setelah haid. Namun, penelitian terhadap pengukuran nilai timpanometri pada perubahan fase siklus haid pada wanita normal yang pernah dilakukan oleh Nir D. (1991) tidak menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara perubahan nilai timpanometri terhadap siklus haid (Cox 1980; Al-Mana et al. 2008).


(39)

2.9 Kerangka Teori Terjadinya Gangguan Aktifitas Sel Rambut Koklea pada Siklus Haid

Fluktuasi hormon pada siklus haid

Gangguan keseimbangan natrium dan cairan

Gangguan mekanisme aktif koklea

Produksi amplitudo DPOAE terganggu

Fase folikular Saat ovulasi Fase Luteal

Level estrogen dan progesterone rendah

Level estrogen berada dalam konsentrasi tinggi

Level progesteron meningkat

Produksi amplitudo DPOAE baik

Peningkatan hormon vasopresin

Ambang dengar audiometri terganggu

Secara langsung mempengaruhi keseimbangan cairan pada koklea dan sebagai neuroprotektif

Mempengaruhi reseptor hormon mineralkortikoid


(40)

2.10 Kerangka Konsep

Siklus Haid: -Fase Folikular -Saat Ovulasi -Fase Luteal

Perubahan hormonal

-Gangguan fungsi sel rambut telinga dalam -Gangguan Nilai


(41)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian analitik dengan desain cross sectional yang menggunakan pengumpulan data primer disertai pengukuran non-intervensi

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di Departemen THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan. Penelitian dilakukan mulai bulan Mei 2013 sampai Agustus 2013.

3.3 Populasi, Sampel, Besar Sampel dan Tekhnik Pengambilan Sampel

3.3.1 Populasi

Seluruh wanita yang terdaftar sebagai peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis di RSUP H. Adam Malik Medan dengan siklus haid yang normal dalam umur reproduktif.

3.3.2 Besar sampel n= Zα x S ² = 1,645 x 4,25

d 1

² = 49 orang

n = Besar sampel.

Zα = dengan nilai kepercayaan 90% maka Zα =1,645.

S = Standart deviasi dari penelitian sebelumnya = 4,25 dB. d = ketepatan absolut yang dapat diterima = 1 dB.


(42)

3.3.3 Tehnik pengambilan sampel

Sampel penelitian diambil secara sistematik random sampling berdasarkan daftar populasi yaitu sebanyak 512 orang, dibagi dengan besar sampel sebanyak 49 menghasilkan interval 10, yang sesuai dengan kriteria inklusi dan bersedia ikut dalam penelitian kemudian.

3.3.4 Sampel

Dibuat daftar populasi disusun secara sistematik random sampling dari seluruh ppds perempuan yang bertugas di RS H. Adam Malik Medan.

Kriteria inklusi:

1. Wanita dengan siklus haid normal dalam 3 bulan terakhir dan tidak menggunakan obat-obatan hormonal.

2. Wanita dalam umur reproduktif yaitu antara 20 sampai 40 tahun. 3. Wanita dengan fungsi pendengaran normal dan tidak ada kelainan

dalam pemeriksaan THT-KL.

4. Bersedia untuk dilakukan pemeriksaan audiometri, timpanometri dan DPOAE dan menandatangani inform consent.

Kriteria eksklusi:

1. Wanita yang mendapatkan terapi ototoksik (furosemid, Cisplatin Hemodialisa).

2. Wanita yang menderita penyakit lain yang dapat mengakibatkan gangguan pendengaran.

3. Wanita dengan hasil pemeriksaan audiologi terganggu pada awal pemeriksaan.

3.4 Variabel Penelitian

a. Variable bebas : Fase pada siklus haid b. Variabel tergantung : -Nilai amplitudo DPOAE


(43)

3.5 Definisi Operasional

1. Haid adalah perdarahan secara periodik dan siklik dari uterus, disertai pelepasan endometrium (Samsulhadi 2011).

2. Siklus haid : tanggal mulainya haid yang lalu dan mulainya haid berikutnya (Samsulhadi 2011).

3. Siklus haid normal yaitu bila didapatkan siklus haid tidak kurang dari 24 hari, tetapi tidak melebihi 35 hari, lama haid 3 – 7 hari, dengan jumlah darah selama haid berlangsung tidak melebihi 80 ml, ganti pembalut 2 – 6 kali per hari (Samsulhadi 2011).

4. Fase folikular : terjadi tidak lama setelah haid dimulai (hari ke 3), perkembangan folikel dini dimulai oleh pengaruh LH, beberapa penelitian kadang membaginya menjadi folikular dini (hari ke 3 - 5 setelah haid) dan folikular akhir (hari ke 10 - 14 hari setelah haid) (Sarwono 2002; Al-Mana, et al. 2010).

5. Saat Ovulasi : saat folikel berada pada tingkat yang matang yang terjadi setelah lonjakan LH, terjadi sekitar hari ke 14-16 setelah haid dimulai yang diperiksa dengan menggunakan tes ovulasi (Baziad et al. 1993).

6. Tes ovulasi: Alat pemeriksaan berbentuk stick untuk menentukan waktu ovulasi dengan menilai lonjakan LH pada urin (Sperrof & Fritz 2005).

7. Fase Luteal : saat puncak vaskularisasi pada korpus luteum dimana progesteron banyak dibentuk, terjadi pada hari ke 8 setelah ovulasi (Samsulhadi 2011).

8. Nilai audiometri : dihitung dengan penghitungan ambang dengar pada frekuensi 250 Hz, 500Hz,1000Hz. 2000Hz, 4000Hz dan 8000 Hz (American Speech-language Hearing Association 2005).

9. Ambang dengar: nilai yang dihitung dengan rumus (Soepardi 2007)

4


(44)

10. Nilai audiometri normal: Nilai ambang dengar 0-25 dB (Soepardi 2007).

11. Nilai timpanometri : suatu teknik pemeriksaan yang objektif dari membran timpani, perubahan tekanan udara pada liang telinga tengah, timpanometri menilai mobilitas membran timpani. Pemeriksaan timpanometri dilaksanakan selama lebih kurang tiga detik sampai pemeriksaan selesai (Minnesote Dept. of Health Community 2009).

12. Nilai timpanometri normal (Minnesote Dept. of Health Community 2009):

CP = 0.3 – 1.4 ml AP = -150 - +50 daPa

13. Amplitudo DPOAE : nilai amplitudo gelombang suara yang dapat diterima oleh DPOAE dari penilaian gelombang suara yang diberikan oleh koklea (Kemp 2002).

14. Frekuensi DPOAE : frekuensi gelombang suara yang diberikan DPOAE untuk menstimulasi koklea yaitu pada frekuensi 1000 Hz, 2000 Hz, 3000 Hz, 4000 Hz dan 5000 Hz.

15. Signal to Noise Ratio (SNR): Perbandingan antara amplitudo yang dihasilkan pada pemeriksaan DPOAE dengan bising lingkungan (Shera & Abdala 2012)

16. Nilai DPOAE normal: amplitudo DPOAE dengan SNR > 3 dB (Almeida, Sances & Carvallo 2010)


(45)

Tabel 3.1. Penjelasan mengenai variabel penelitian.

Variabel Alat Ukur Hasil Ukur Jenis Ukuran Fase Folikular Anamnesis - -

Saat Ovulasi Ovu test positif/negatif -

Fase Luteal Anamnesis - -

Audiogram Audiometer dB Interval

Timpanogram Timpanometer daPa Numerik

DP-gram DPOAE dB Numerik

3.6 Bahan dan Alat Penelitian

1. Status pasien

2. Otoskopi merk riester

3. Alat penghisap (suction) merk Thomas Medipump tipe 1132GL 4. Kanul penghisap nomor 6 dan 8 tipe Fergusson

5. Pengait serumen

6. Larutan Peroksida 3% (H2O2 7. Lampu kepala

3%)

8. Kaca Rhinoskopi posterior 9. Kaca Laring

10. Tongue spatel 11. Kassa steril

12. Audiometer Audio Traveller AA222

13. Timpanometri merk Inter Acoustic, tipe Audio Traveller AA222 14. DPOAE merek Elios X Echodia

15. Tes ovulasi merk Clearblue easy

3.7 Tehnik Pengumpulan Data

Data diambil dari wanita dengan siklus haid yang normal minimal 3 bulan sebelum dilakukan pemeriksaan dan tidak sedang menggunakan kontrasepsi hormonal.


(46)

Sebelum dilakukan penelitian yang sebelumnya dilakukan pemeriksaan otoskopi untuk memeriksa ada tidaknya serumen yang dapat mengganggu hasil pemeriksaan. Jika terdapat serumen dibersihkan dengan menggunakan pengait serumen, kapas lidi, larutan peroksida 3% dan alat pengisap. Pasien yang mengalami gangguan akibat penyakit telinga lain pada pemeriksaan THT rutin dikeluarkan dari penelitian. Pasien kemudian dilakukan pemeriksaan timpanometri untuk menilai fungsi telinga tengah dengan nilai normal -100 daPa s/d 100 daPa. Pasien dengan hasil timpanometri diluar batas nilai yg ditentukan dikeluarkan dari penelitian. Pasien dengan pemeriksaan THT rutin dan timpanometri yang normal kemudian diperiksa ada tidaknya gangguan pendengaran dengan menilai gambaran audiometri dan pemeriksaan DPOAE. Pemeriksaan dilakukan oleh seorang teknisi yang tersertifikasi.

Pemeriksaan pertama diperiksa pada fase folikular yaitu pada hari ke 3 setelah haid, kemudian pemeriksaan kedua dilakukaan saat ovulasi yang ditentukan dengan pemeriksaan test ovulasi dengan urin. Pemeriksaan ketiga dilakukan pada fase luteal yaitu pada hari ke 8 setelah saat ovulasi.

3.8 Analisis Data

Data dikumpulkan serta diolah secara analisis observasional dengan menggunakan komputer melalui program SPSS (Statistical Package for the Social Science).

Analisa Univariat : Dilakukan dengan tabel frekuensi distribusi dari masing-masing variabel.

Analisa Bivariat : Mengukur rerata nilai audiometri dan DPOAE dari masing-masing pemeriksaan menggunakan uji t. Menguji hubungan antara nilai audiometri dan DPOAE dengan uji analisis korelasi Spearman.


(47)

3.9 Kerangka Kerja

Wanita dengan siklus haid normal

Pemeriksaan THT rutin dan timpanometri

Tidak terdapat kelainan Terdapat kelainan

Fase folikular Pada hari ke 3 haid

Saat ovulasi

Pada hari 14 sampai 16 setelah haid dengan pemeriksaan ovutes

Fase luteal Pada hari ke 8 setelah ovulasi

Pemeriksaan audiometri dan DPOAE


(48)

Jadwal Penelitian

NO Jenis Kegiatan Waktu Februari-

April 2013

Mei 2013– Juni 2014

Juli 2014 1 Persiapan Proposal

2 Presentasi Proposal

3 Pengumpulan, Pengolahan data/Pembuatan laporan


(49)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan desain cross sectional. Sampel didapatkan sebesar 49 sampel yang kemudian dilakukan penilaian pada pemeriksaan audiometri dan DPOAE.

Tabel 4.1 Distribusi frekuensi berdasarkan kelompok umur

Kelompok Umur (tahun)

n %

20 – 30 42 85.7

31 – 40 7 14.3

Total 49 100.0

Berdasarkan tabel diatas didapatkan umur terbanyak pada penelitian ini terdapat pada kelompok umur 20-30 tahun yaitu sebanyak 85.7 % dengan Mean umur 27.35 tahun.


(50)

Tabel 4.2 Distribusi rerata nilai audiometri pada setiap fase sesuai dengan kelompok umur.

Karakteristik Rerata intensitas audiometri

(dB)

Kanan Kiri

20-30 tahun

31-40 tahun

p 20-30 tahun

31-40 tahun

p

Audiometri Folikular

250 Hz 19.88 20.00 0.139 19.52 20.00 0.215

500 Hz 19.76 20.71 0.299 19.40 18.57 0.863

1000 Hz 19.05 17.86 0.833 18.93 17.14 0.304

2000 Hz 11.19 10.71 0.521 11.55 12.14 0.059

4000 Hz 9.29 7.86 0.247 7.62 7.14 0.022

8000 Hz 4.52 5.00 0.033 6.43 5.00 0.122 Ovulasi

250 Hz 18.81 20.71 0.818 19.52 18.57 0.608

500 Hz 19.05 20.71 0.063 18.81 17.14 0.771

1000 Hz 19.17 20.71 0.666 16.31 16.43 0.426

2000 Hz 11.07 12.14 0.731 10.36 7.86 0.477

4000 Hz 7.62 5.71 0.063 8.10 3.57 0.083

8000 Hz 3.69 7.86 0.587 4.64 4.29 0.782 Luteal

250 Hz 18.69 17.14 0.961 18.81 19.29 0.579

500 Hz 20.00 16.43 0.613 18.81 19.29 0.111

1000 Hz 17.62 14.29 0.177 18.21 20.71 0.211

2000 Hz 10.24 9.29 0.848 10.48 10.71 0.051

4000 Hz 6.98 7.14 0.768 7.62 4.29 0.080

8000 Hz 6.31 2.86 0.596 5.36 7.86 0.396

Berdasarkan tabel diatas, ditemukan hubungan yang bermakna antara rerata nilai audiometri kelompok umur 20-30 tahun telinga kiri pada fase folikular di frekuensi 4000 Hz dengan p= 0.022 dan telinga kanan di frekuensi 8000 Hz dengan p= 0.033.


(51)

Tabel 4.3 Distribusi rerata nilai DPOAE pada setiap fase sesuai dengan kelompok umur.

Karakteristik Rerata nilai DPOAE (dB)

Kanan Kiri

20-30 tahun

31-40 tahun

p 20-30 tahun

31-40 tahun

p

DPOAE Folikular

1000 Hz 4.95 2.14 0.151 5.10 4.57 0.192

2000 Hz 7.62 5.14 0.738 6.33 6.29 0.926

3000 Hz 3.12 0.71 0.311 1.95 3.86 0.328

4000 Hz 5.26 0.57 0.608 5.64 1.71 0.724

5000 Hz 5.55 2.71 0.769 6.26 3.14 0.631 Ovulasi

1000 Hz 5.88 2.14 0.765 6.60 6.71 0.357

2000 Hz 8.55 4.43 0.260 7.14 9.71 0.188

3000 Hz 4.12 4.86 0.513 5.26 8.14 0.701

4000 Hz 4.93 -0.14 0.237 7.21 2.71 0.713

5000 Hz 7.24 6.57 0.469 7.02 7.00 0.328 Luteal

1000 Hz 5.17 0.86 0.110 5.33 4.29 0.315

2000 Hz 6.71 3.71 0.809 5.40 7.43 0.406

3000 Hz 1.88 3.86 0.618 3.38 5.71 0.418

4000 Hz 3.79 1.57 0.484 5.07 2.29 0.796

5000 Hz 5.31 5.14 0.450 5.55 5.43 0.706

Berdasarkan tabel diatas, tidak ditemukan adanya perbedaan yang bermakna dari rerata nilai DPOAE pada setiap fase pada siklus haid antara kelompok umur 20 – 30 tahun dengan kelompok umur 31 - 40 tahun.


(52)

Tabel 4.4 Distribusi rerata nilai audiometri pada siklus haid fase folikular Karakteristik Siklus haid fase folikular

Kanan Kiri

Mean (dB) SD Mean (dB) SD

Audiometri

250 Hz 19.90 4.731 19.59 4.877

500 Hz 19.90 5.051 19.29 5.000

1000 Hz 18.00 4.816 18.67 4.180

2000 Hz 11.12 5.426 11.63 5.438

4000 Hz 9.08 5.271 7.55 5.785

8000 Hz 4.59 6.985 6.22 6.962

Berdasarkan tabel 4.4 didapatkan rerata nilai audiometri pada siklus haid fase folikular paling tinggi intensitasnya terdapat pada telinga kanan frekuensi 250 Hz dan 500 Hz yaitu sebesar 19,90 dB dan paling rendah intensitasnya pada telinga kanan frekuensi 8000 Hz yaitu sebesar 4,59 dB.

Tabel 4.5 Distribusi rerata nilai audiometri pada siklus haid saat ovulasi Karakteristik Siklus haid saat ovulasi

Kanan Kiri

Mean (dB) SD Mean (dB) SD

Audiometri

250 Hz 19.08 5.070 19.39 4.522

500 Hz 19.29 4.082 18.57 5.103

1000 Hz 18.39 4.855 16.33 4.539

2000 Hz 11.22 5.157 10.00 4.677

4000 Hz 7.35 5.313 7.45 4.578


(53)

Sesuai dengan tabel 4.5, pada penelitian ini ditemukan rerata nilai audiometri pada siklus haid saat ovulasi yang paling tinggi intensitasnya terdapat pada telinga kiri pada frekuensi 250 Hz yaitu sebesar 19.39 dB, dan paling rendah intensitasnya pada telinga kanan frekuensi 8000 Hz yaitu sebesar 4.29 dB.

Tabel 4.6 Distribusi rerata nilai audiometri pada siklus haid fase luteal Karakteristik Siklus haid fase luteal

Kanan Kiri

Mean (dB) SD Mean (dB) SD

Audiometri

250 Hz 18.47 5.323 18.00 5.521

500 Hz 19.49 5.327 18.88 4.595

1000 Hz 17.14 4.330 18.57 4.564

2000 Hz 10.10 4.620 10.51 4.359

4000 Hz 7.00 5.017 7.14 5.496

8000 Hz 5.82 5.714 5.71 6.614

Berdasarkan tabel 4.6 didapatkan rerata audiometri pada siklus haid fase luteal yang paling tinggi intensitasnya terdapat pada telinga kanan frekuensi 500 Hz yaitu sebesar 19.49 dB, dan yang paling rendah intensitasnya pada telinga kiri frekuensi 8000 Hz yaitu sebesar 5.71 dB.


(54)

Tabel 4.7 Hubungan siklus haid fase folikular dengan saat ovulasi berdasarkan rerata nilai audiometri

Frekuensi Audiometri

Rerata Nilai Audiometri kanan (dB)

Nilai p Rerata Nilai Audiometri

kiri (dB)

Nilai p

Fase Folikular

Saat Ovulasi

Fase Folikular

Saat Ovulasi

250 Hz 19.90 19.08 0.315 19.59 19.39 0.808

500 Hz 19.90 19.29 0.518 19.29 18.57 0.376

1000 Hz 18.00 18.39 0.593 18.67 16.33 0.005

2000 Hz 11.12 11.22 0.898 11.63 10.00 0.051

4000 Hz 9.08 7.35 0.008 7.55 7.45 0.908

8000 Hz 4.59 4.29 0.764 6.22 4.59 0.125

Berdasarkan tabel diatas, ditemukan adanya perbedaan yang bermakna antara rerata nilai audiometri pada siklus haid fase folikular yaitu sebesar 9.08 dB dibandingkan dengan saat ovulasi sebesar 7.35 dB pada telinga kanan di frekuensi 4000 hz. Pada telinga kiri di frekuensi 1000 Hz juga ditemukan perbedaan yang bermakna antara fase folikular sebesar 18.67 dengan saat ovulasi sebesar 16.33 dB dengan nilai p < 0,05.


(55)

Tabel 4.8 Hubungan siklus haid saat ovulasi dengan fase luteal berdasarkan rerata nilai audiometri

Frekuensi Audiometri

Rerata Nilai Audiometri kanan (dB)

Nilai p Rerata Nilai Audiometri

kiri (dB)

Nilai p

Saat Ovulasi

Fase Luteal

Saat Ovulasi

Fase Luteal

250 Hz 19.08 18.47 0.508 19.39 18.00 0.521

500 Hz 19.29 19.49 0.808 18.57 18.88 0.700

1000 Hz 18.39 17.14 0.114 16.33 18.57 0.003

2000 Hz 11.22 10.10 0.140 10.00 10.51 0.390

4000 Hz 7.35 7.00 0.625 7.45 7.14 0.679

8000 Hz 4.29 5.82 0.104 4.59 5.71 0.242

Berdasarkan tabel diatas, ditemukan adanya perbedaan yang bermakna antara rerata nilai audiometri pada siklus haid saat ovulasi yaitu sebesar 16.33 dB dibandingkan dengan fase luteal yaitu sebesar 18.57 dB pada telinga kiri di frekuensi 1000 Hz dengan nilai p< 0,05.


(56)

Tabel 4.9 Hubungan siklus haid fase folikular dengan fase luteal berdasarkan rerata nilai audiometri.

Frekuensi DPOAE

Rerata Nilai Audiometri kanan (dB)

Nilai p Rerata Nilai Audiometri

kiri (dB)

Nilai p

Fase Folikular

Fase Luteal

Fase Folikular

Fase Luteal

250 Hz 19.90 18.47 0.142 19.59 18.00 0.442

500 Hz 19.90 19.49 0.667 19.29 18.88 0.633

1000 Hz 18.00 17.14 0.052 18.67 18.57 0.904

2000 Hz 11.12 10.10 0.207 11.63 10.51 0.154

4000 Hz 9.08 7.00 0.013 7.55 7.14 0.622

8000 Hz 4.59 5.82 0.248 6.22 5.71 0.694 Berdasarkan tabel diatas, ditemukan adanya perbedaan yang bermakna antara rerata nilai audiometri pada siklus haid fase folikular sebesar 9.08 dB dibandingkan dengan fase luteal yaitu sebesar 7.00 dB pada telinga kanan di frekuensi 4000 Hz dengan nilai p= 0,013.

Tabel 4.10 Distribusi rerata nilai amplitudo DPOAE pada fase folikular Karakteristik Siklus haid fase folikular

Kanan Kiri

Mean (dB) SD Mean (dB) SD

DPOAE

1000 Hz 4.55 5.385 5.02 4.858

2000 Hz 7.27 4.799 6.33 5.662

3000 Hz 2.78 5.249 2.22 5.296

4000 Hz 4.59 6.708 5.08 6.892


(57)

Berdasarkan tabel 4.10 didapatkan rerata amplitudo yang paling tinggi terdapat pada telinga kanan frekuensi 2000 Hz yaitu sebesar 7,27 dB dan yang paling rendah terdapat telinga kiri pada frekuensi 3000 Hz yaitu sebesar 2,22 dB.

Tabel 4.11 Distribusi rerata nilai amplitudo DPOAE pada saat ovulasi Karakteristik Siklus haid saat ovulasi

Kanan Kiri

Mean (dB) SD Mean (dB) SD

DPOAE

1000 Hz 5.35 5.479 6.61 4.645

2000 Hz 7.96 5.393 7.51 6.028

3000 Hz 4.22 5.448 5.67 5.691

4000 Hz 4.20 6.658 6.57 7.588

5000 Hz 7.14 5.986 7.02 7.440

Pada penelitian ini, sesuai dengan tabel 4.11 didapatkan rerata amplitudo DPOAE yang paling tinggi ialah pada telinga kanan frekuensi 2000 Hz yaitu sebesar 7,96 dB dan yang paling rendah terdapat pada frekuensi 4000 Hz yaitu sebesar 4,20 dB.


(58)

Tabel 4.12 Distribusi rerata nilai amplitudo DPOAE pada fase luteal Karakteristik Siklus haid fase luteal

Kanan Kiri

Mean (dB) SD Mean (dB) SD

DPOAE

1000 Hz 4.55 4.958 5.18 4.590

2000 Hz 6.29 6.212 5.69 6.407

3000 Hz 2.16 6.155 3.71 5.867

4000 Hz 3.47 6.436 4.67 5.832

5000 Hz 5.29 5.107 5.53 6.953

Berdasarkan tabel 4.12 didapatkan rerata amplitudo yang paling tinggi terdapat pada telinga kanan frekuensi 2000 Hz yaitu sebesar 6,29 dB dan yang paling rendah terdapat pada telinga kanan frekuensi 3000 Hz yaitu sebesar 2,16 dB.

Tabel 4.13 Hubungan antara siklus haid fase folikular dengan fase ovulasi berdasarkan rerata nilai amplitudo DPOAE

Frekuensi DPOAE

Rerata Nilai amplitudo DPOAE

kanan (dB)

Nilai p Rerata Nilai amplitudo DPOAE

kiri (dB)

Nilai p

Fase Folikular

Saat Ovulasi

Fase Folikular

Saat Ovulasi

1000 Hz 4.55 5.35 0.181 5.02 6.61 0.022

2000 Hz 7.27 7.96 0.170 6.33 7.51 0.060

3000 Hz 2.78 4.22 0.070 2.22 5.67 0.000

4000 Hz 4.59 4.20 0.690 5.08 6.57 0.263


(59)

Berdasarkan tabel 4.13, tidak ditemukan adanya perbedaan yang signifikan antara rerata nilai amplitudo DPOAE pada siklus haid fase folikular dan fase ovulasi pada telinga kanan dengan nilai p keseluruhan frekuensi >0.05. Sedangkan pada telinga kiri terdapat perbedaan yang bermakna antara rerata amplitudo DPOAE pada fase folikular dibandingkan dengan saat ovulasi di frekuensi 1000 Hz dan 3000 Hz dengan p<0.05.

Tabel 4.14 Tabel hubungan antara siklus haid saat ovulasi dengan fase luteal berdasarkan rerata nilai amplitudo DPOAE.

Frekuensi DPOAE

Rerata Nilai amplitudo DPOAE

kanan (dB)

Nilai p Rerata Nilai amplitudo DPOAE

kiri (dB)

Nilai p

Saat Ovulasi

Fase Luteal

Saat Ovulasi

Fase Luteal

1000 Hz 5.35 4.55 0.295 6.61 5.18 0.013

2000 Hz 7.96 6.29 0.003 7.51 5.69 0.005

3000 Hz 4.22 2.16 0.003 5.67 3.71 0.014

4000 Hz 4.20 3.47 0.417 6.57 4.67 0.064

5000 Hz 7.14 5.29 0.034 7.02 5.53 0.113

Berdasarkan tabel diatas, didapatkan perbedaan yang bermakna antara rerata nilai DPOAE pada telinga kanan saat ovulasi dan fase luteal di frekuensi 2000 Hz, 3000 Hz, dan 5000 Hz dengan p< 0.05. Sedangkan pada telinga kiri, terdapat perbedaan yang bermakna antara rerata amplitudo DPOAE saat ovulasi dibandingkan dengan fase luteal pada frekuensi 1000 Hz, 2000 Hz dan 3000 Hz dengan p< 0.05.


(1)

Paired Samples Test

Paired Differences

t df

Sig, (2-tailed) 95% Confidence

Interval of the Difference

Mean Std, Deviation

Std, Error

Mean Lower Upper Pair 1 Kanan_1000_Folikular

-

Kanan_1000_Ovulasi

-,796 4,108 ,587 -1,976 ,384 -1,356 48 ,181

Pair 2 Kanan_2000_Folikular -

Kanan_2000_Ovulasi

-,694 3,489 ,498 -1,696 ,308 -1,392 48 ,170

Pair 3 Kanan_3000_Folikular -

Kanan_3000_Ovulasi

-1,449 5,477 ,782 -3,022 ,124 -1,852 48 ,070

Pair 4 Kanan_4000_Folikular -

Kanan_4000_Ovulasi

,388 6,754 ,965 -1,552 2,328 ,402 48 ,690

Pair 5 Kanan_5000_Folikular -

Kanan_5000_Ovulasi

-2,000 7,348 1,050 -4,111 ,111 -1,905 48 ,063

Pair 6 Kanan_1000_Folikular - Kanan_1000_Luteal

,000 4,912 ,702 -1,411 1,411 ,000 48 1,000

Pair 7 Kanan_2000_Folikular - Kanan_2000_Luteal

,980 4,888 ,698 -,424 2,384 1,403 48 ,167

Pair 8 Kanan_3000_Folikular - Kanan_3000_Luteal

,612 5,567 ,795 -,987 2,211 ,770 48 ,445

Pair 9 Kanan_4000_Folikular - Kanan_4000_Luteal

1,122 6,732 ,962 -,811 3,056 1,167 48 ,249

Pair 10

Kanan_5000_Folikular - Kanan_5000_Luteal

-,143 6,158 ,880 -1,912 1,626 -,162 48 ,872

Pair 11

Kanan_1000_Ovulasi - Kanan_1000_Luteal


(2)

Pair 12

Kanan_2000_Ovulasi - Kanan_2000_Luteal

1,673 3,705 ,529 ,609 2,738 3,162 48 ,003

Pair 13

Kanan_3000_Ovulasi - Kanan_3000_Luteal

2,061 4,566 ,652 ,750 3,373 3,160 48 ,003

Pair 14

Kanan_4000_Ovulasi - Kanan_4000_Luteal

,735 6,278 ,897 -1,068 2,538 ,819 48 ,417

Pair 15

Kanan_5000_Ovulasi - Kanan_5000_Luteal

1,857 5,941 ,849 ,151 3,564 2,188 48 ,034

Pair 16

Kiri_1000_Folikular - Kiri_1000_Ovulasi

-1,592 4,690 ,670 -2,939 -,245 -2,376 48 ,022

Pair 17

Kiri_2000_Folikular - Kiri_2000_Ovulasi

-1,184 4,309 ,616 -2,421 ,054 -1,923 48 ,060

Pair 18

Kiri_3000_Folikular - Kiri_3000_Ovulasi

-3,449 5,401 ,772 -5,000 -1,898 -4,470 48 ,000

Pair 19

Kiri_4000_Folikular - Kiri_4000_Ovulasi

-1,490 9,204 1,315 -4,133 1,154 -1,133 48 ,263

Pair 20

Kiri_5000_Folikular - Kiri_5000_Ovulasi

-1,204 6,758 ,965 -3,145 ,737 -1,247 48 ,218

Pair 21

Kiri_1000_Folikular - Kiri_1000_Luteal

-,163 4,100 ,586 -1,341 1,014 -,279 48 ,782

Pair 22

Kiri_2000_Folikular - Kiri_2000_Luteal

,633 3,882 ,555 -,482 1,748 1,141 48 ,260

Pair 23

Kiri_3000_Folikular - Kiri_3000_Luteal

-1,490 6,442 ,920 -3,340 ,361 -1,619 48 ,112

Pair 24

Kiri_4000_Folikular - Kiri_4000_Luteal

,408 7,713 1,102 -1,807 2,624 ,370 48 ,713

Pair 25

Kiri_5000_Folikular - Kiri_5000_Luteal

,286 5,679 ,811 -1,345 1,917 ,352 48 ,726

Pair 26

Kiri_1000_Ovulasi - Kiri_1000_Luteal

1,429 3,884 ,555 ,313 2,544 2,575 48 ,013

Pair 27

Kiri_2000_Ovulasi - Kiri_2000_Luteal

1,816 4,362 ,623 ,563 3,069 2,915 48 ,005

Pair 28

Kiri_3000_Ovulasi - Kiri_3000_Luteal

1,959 5,393 ,770 ,410 3,508 2,543 48 ,014

Pair 29

Kiri_4000_Ovulasi - Kiri_4000_Luteal


(3)

Pair 30

Kiri_5000_Ovulasi - Kiri_5000_Luteal

1,490 6,462 ,923 -,366 3,346 1,614 48 ,113

T-Test

Paired Samples Statistics

Mean N Std, Deviation Std, Error Mean

Pair 1 DPOAEKanan_1000_Folikular 4,55 49 5,385 ,769

AUDIOKanan_1000_Folikular 18,88 49 4,816 ,688

Pair 2 DPOAEKanan_2000_Folikular 7,27 49 4,799 ,686

AUDIOKanan_2000_Folikular 11,12 49 5,426 ,775

Pair 3 DPOAEKanan_4000_Folikular 4,59 49 6,708 ,958

AUDIOKanan_4000_Folikular 9,08 49 5,271 ,753

Pair 4 DPOAEKanan_1000_Ovulasi 5,35 49 5,479 ,783

AUDIOKanan_1000_Ovulasi 19,39 49 4,855 ,694

Pair 5 DPOAEKanan_2000_Ovulasi 7,96 49 5,393 ,770

AUDIOKanan_2000_Ovulasi 11,22 49 5,157 ,737

Pair 6 DPOAEKanan_4000_Ovulasi 4,20 49 6,658 ,951

AUDIOKanan_4000_Ovulasi 7,35 49 5,313 ,759

Pair 7 DPOAEKanan_1000_Luteal 4,55 49 4,958 ,708

AUDIOKanan_1000_Luteal 17,14 49 4,330 ,619

Pair 8 DPOAEKanan_2000_Luteal 6,29 49 6,212 ,887

AUDIOKanan_2000_Luteal 10,10 49 4,620 ,660

Pair 9 DPOAEKanan_4000_Luteal 3,47 49 6,436 ,919

AUDIOKanan_4000_Luteal 7,00 49 5,017 ,717

Pair 10 DPOAEKiri_1000_Folikular 5,02 49 4,858 ,694

AUDIOKiri_1000_Folikular 18,67 49 4,180 ,597

Pair 11 DPOAEKiri_2000_Folikular 6,33 49 5,662 ,809

AUDIOKiri_2000_Folikular 11,63 49 5,438 ,777


(4)

AUDIOKiri_4000_Folikular 7,55 49 5,785 ,826

Pair 13 DPOAEKiri_1000_Ovulasi 6,61 49 4,645 ,664

AUDIOKiri_1000_Ovulasi 16,33 49 4,539 ,648

Pair 14 DPOAEKiri_2000_Ovulasi 7,51 49 6,028 ,861

AUDIOKiri_2000_Ovulasi 10,00 49 4,677 ,668

Pair 15 DPOAEKiri_4000_Ovulasi 6,57 49 7,588 1,084

AUDIOKiri_4000_Ovulasi 7,45 49 4,578 ,654

Pair 16 DPOAEKiri_1000_Luteal 5,18 49 4,590 ,656

AUDIOKiri_1000_Luteal 18,57 49 4,564 ,652

Pair 17 DPOAEKiri_2000_Luteal 5,69 49 6,407 ,915

AUDIOKiri_2000_Luteal 10,51 49 4,359 ,623

Pair 18 DPOAEKiri_4000_Luteal 4,67 49 5,832 ,833

AUDIOKiri_4000_Luteal 7,14 49 5,496 ,785

Paired Samples Correlations

N Correlation Sig,

Pair 1 DPOAEKanan_1000_Folikular & AUDIOKanan_1000_Folikular

49 -,044 ,764

Pair 2 DPOAEKanan_2000_Folikular & AUDIOKanan_2000_Folikular

49 -,080 ,586

Pair 3 DPOAEKanan_4000_Folikular & AUDIOKanan_4000_Folikular

49 ,101 ,489

Pair 4 DPOAEKanan_1000_Ovulasi & AUDIOKanan_1000_Ovulasi

49 -,125 ,392

Pair 5 DPOAEKanan_2000_Ovulasi & AUDIOKanan_2000_Ovulasi

49 -,223 ,124

Pair 6 DPOAEKanan_4000_Ovulasi & AUDIOKanan_4000_Ovulasi

49 -,031 ,830

Pair 7 DPOAEKanan_1000_Luteal & AUDIOKanan_1000_Luteal

49 ,085 ,563

Pair 8 DPOAEKanan_2000_Luteal & AUDIOKanan_2000_Luteal


(5)

Pair 9 DPOAEKanan_4000_Luteal & AUDIOKanan_4000_Luteal

49 -,376 ,008

Pair 10 DPOAEKiri_1000_Folikular & AUDIOKiri_1000_Folikular

49 ,027 ,854

Pair 11 DPOAEKiri_2000_Folikular & AUDIOKiri_2000_Folikular

49 -,082 ,576

Pair 12 DPOAEKiri_4000_Folikular & AUDIOKiri_4000_Folikular

49 -,259 ,073

Pair 13 DPOAEKiri_1000_Ovulasi & AUDIOKiri_1000_Ovulasi

49 -,232 ,109

Pair 14 DPOAEKiri_2000_Ovulasi & AUDIOKiri_2000_Ovulasi

49 -,248 ,086

Pair 15 DPOAEKiri_4000_Ovulasi & AUDIOKiri_4000_Ovulasi

49 ,154 ,291

Pair 16 DPOAEKiri_1000_Luteal & AUDIOKiri_1000_Luteal

49 -,027 ,854

Pair 17 DPOAEKiri_2000_Luteal & AUDIOKiri_2000_Luteal

49 -,102 ,484

Pair 18 DPOAEKiri_4000_Luteal & AUDIOKiri_4000_Luteal


(6)

LAMPIRAN 7

CURICULUM VITAE

I.

IDENTITAS

1. Nama

: dr. Indri Adriztina

2. Tempat/ Tanggal lahir

: Medan / 14 Oktober 1986

3. Alamat

: Komp TASBI Blok M No 38 Medan

4. No Telp/ HP

: 061-91083592 /08126358349

II.

RIWAYAT PENDIDIKAN

1. 1992-1998

: SD Kemala Bhayangkari I Medan

2. 1998-2001

: SLTP Harapan I Medan

3. 2001-2004

: SMU Negeri 1 Medan

4. 2004-2009

: Fakultas Kedokteran USU

5. 2010- Sekarang

: PPDS I. Kes THT-KL FK USU Medan

III. KEANGGOTAAN PROFESI

1. 2010- sekarang

: Anggota Muda PERHATI-KL

Cabang SUMUT