Distribusi dan Karakterisasi Populasi Sintrong (Crassocephalum crepidioides. Benth) Gulma Resisten Parakuat pada Lahan Tanaman Jagung (Zea Mays) di Kabupaten Dairi Chapter III V

III. BAHAN DAN METODE

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat pengambilan sampel populasi yang akan diuji adalah Kabupaten
Dairi, terletak sebelah Barat Daya Propinsi Sumatera Utara yang berada pada
ketinggian 400 m - 1700 m di atas permukaan laut, dan 2015’00” LU – 3000’00”
LU serta 980 00’ BT – 980 30’ BT. Luasnya sekitar 192.780 ha. Luas tanaman
jagung pada tahun 2012 adalah 35.028 ha atau 18,17% dari luas Kabupaten Dairi
yang tersebar pada beberapa kecamatan (BPS, 2012). Penapisan sintrong resisten
herbisida parakuat dan uji tingkat resistensi dilaksanakan di Kecamatan Patumbak
Kabupaten Deli Serdang pada bulan Mei 2013 sampai dengan Pebruari 2014.
3.2 Bahan dan Alat
Bahan yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah: biji sintrong yang
sudah sering dikendalikan dengan herbisida parakuat yang berasal dari lahan
jagung, dan benih sintrong yang belum pernah ter-ekspos parakuat; tanah dan air
secukupnya; herbisida yang berbahan aktif parakuat (1,1'- dimethyl -4, 4'bipyridinium dichloride) seperti Primaxone plus 280SL; serta kuisioner. Kuisioner
bermanfaat untuk mengetahui lama petani menggunakan parakuat, dosis yang
digunakan dan frekuensi penggunaan parakuat dalam satu periode tanam.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : sprayer; polibeg
dengan ukuran 40 cm x 40 cm; amplop tempat benih sintrong dari lapangan;
cangkul; alat timbangan digital.


Universitas Sumatera Utara

3.3

Metode Pengumpulan Data

3.3.1 Data Responden
Pengumpulan data dilakukan dengan metode survei. Survei langsung ke
lahan dan mewawancarai petani dengan

kuesioner yang telah disediakan

(Lampiran 1). Responden berasal dari enam kecamatan sentra produksi jagung
berdasarkan luas tanam di Kabupaten Dairi (BPS, 2012). Keenam kecamatan
tersebut meliputi: Kecamatan Parbuluan, Siempat Nempu Hulu, Siempat Nempu,
Tigalingga, Gunung Sitember dan Kecamatan Tanah Pinem. Setiap kecamatan
diambil

5 (lima) petani jagung sebagai responden, sehingga total responden


sebanyak 30 petani. Penentuan

responden berdasarkan metode

pertimbangan

(purposive sampling method) (Singarimbun dan Effendi, 1995). Pertimbangan
untuk menjadi responden meliputi, pertama tempat tinggal dan ladang petani
berada pada sentra produksi jagung di Kabupaten Dairi, kedua, telah berulangulang menggunakan herbisida parakuat sebagai sarana untuk menyiangi gulma
pada tanaman jagung dan ketiga, tingkat homegenitas alat/sampel yang digunakan
cukup tinggi. Hanafiah (1991), mengatakan bahwa jika dalam suatu percobaan
tingkat homegenitas suatu alat/sampel tinggi maka ulangan dalam percobaan itu
semakin sedikit, sebaliknya jika homegenitasnya rendah membutuhkan ulangan
yang lebih banyak.
3.3.2 Data Benih Sintrong
Biji sintrong yang diduga resisten diambil dan dikumpulkan dari masingmasing lahan petani responden minimal dari 25 tumbuhan/populasi. Biji-biji

Universitas Sumatera Utara


tersebut selanjutnya dimasukkan ke dalam amplop kertas, dan dikeringkan dengan
cara menjemur di bawah sinar matahari. Biji-biji gulma sintrong yang tidak pernah
disemprot dengan parakuat juga diambil sebagai populasi pembanding. Biji ini
diambil dan dikumpulkan dari lokasi yang belum pernah disemprot dengan
herbisida, yaitu dari jalan lintas perbatasan Kecamatan Merek di Tanah Karo
dengan Kecamatan Sumbul di Kabupaten Dairi.
3.4 Metode Pelaksanaan Penelitian
Penelitian ini terdiri dari dua tahap.
Tahap pertama : penapisan benih sintrong yang diduga resisten dengan
mengunakan herbisida berbahan aktif parakuat. Penapisan ini dilakukan dengan
metode bioassay pot dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Polibeg berukuran 40 cmx 40 cm yang di isi dengan tanah gembur secukupnya
yang berasal dari pinggiran hutan di daerah Tutungan. Kemudian disiram
dengan air dengan maksud agar tanah lembab.
b. Pot disusun berdasarkan Rancangan Acak Kelompok (RAK) ( Lampiran 2).
c. Biji-biji sintrong yang dikumpulkan dari lahan petani, disebar kedalam polibeg
dan ditutup dengan tanah secara merata dengan ketebalan 0,5 cm – 1 cm.
Banyaknya biji sintrong yang disebar sekitar 100-200 biji/ polibeg. Benih yang
telah tumbuh disiram setiap pagi dan sore . Untuk menghindari gangguan hama
penggerek daun/batang


seperti

ulat

tentara

(Army

worm)

dilakukan

penyemprotan insektisida
d. Penapisan dilakukan pada umur 3 bulan setelah tanam. Sintrong yang tumbuh
dalam polibeg tingginya bervariasi sehingga perlu diseleksi sebelum herbisida

Universitas Sumatera Utara

diaplikasikan. Dipilih gulma sintrong yang memiliki tinggi antara 10 -15 cm

dan pertumbuhannya yang baik. Jumlah populasi gulma sintrong dalam polibeg
sebelum apilkasi herbisida antara 12-35 batang/polibeg.
e. Penapisan menggunakan berbisida berbahan aktif parakuat diklorida 280g/l
setara dengan ion parakuat 203g/l dengan merek dagang Primaxone plus 280
SL. Dosis parakuat yang diaplikasikan adalah 304,5 gr.ba/ha (atau setara
dengan 1,5 liter/ha primaxone plus 280 SL)
f. Alat untuk menyemprot herbisida digunakan knapsack sprayer elektrik dengan
nozzle T-jet warna kuning. Luas bidang semprot yang digunakan berukuran 1 x
17 m dengan waktu aplikasi sekitar 40 detik. Gulma diatur dalam luasan bidang
semprot. Volume semprot sebesar 413,5 liter/ha, dengan demikian konsentrasi
herbisidanya adalah 3,5 ml/liter air atau setara dengan bahan aktif ion parakuat
0,7105 g.
g. Penghitungan populasi yang mati dilakukan 14 hari setelah aplikasi herbisida.
h. Hasil penapisan popoulasi sintrong dibagi atas 3 (tiga) kategori yaitu: populasi
gulma sintrong dengan mortalitas 81% -100% sebagai kategori K1 (populasi
resisten antara 1% -19%), mortalitas populasi antara

11% - 80% sebagai

kategori K2 (populasi resisten 20% -89%), mortalitas kurang dari 10% sebagai

kategori K3 (populasi resisten > 90%) (Wals dan Powles 2004).
Tahap kedua : Menilai tingkat resistensi populasi sintrong dari hasil
penapisan. Untuk menilai tingkat resistensi populasi sintrong terhadap herbisida
parakuat dipilih 3 (tiga) populasi sintrong hasil penapisan yang memilki persentase

Universitas Sumatera Utara

hidup paling tinggi dan populasi yang sensitif sebagai kontrol. Pelaksanaan tahap
kedua adalah sebagai berikut:
a.

Polibeg berukuran 40 cm x 40 cm di isi dengan tanah gembur sebanyak 4/5
bagian, kemudian disiram dengan air agar tanah lembab.

b.

Polibeg disusun sesuai dengan bagan penelitian

Rancangan Kelompok


Lengkap Teracak (RKLT) (Lampiran 3).
c.

Biji-biji sintrong di sebar ke dalam polibeg dan ditutup dengan tanah secara
merata dengan ketebalan 0,5 cm - 1,0 cm (sama seperti poin c saat penapisan).

d.

Penyemprotan dilakukan setelah gulma sintrong berumur 3 bulan, dengan
dosis 0 g/ha (P0), 76g/ha (P1), 152 g/ha (P2),304,5 g/ha (P3), 609 g/ha (P4),
1218 g/ha (P5), 2436 g/ha (P6). Penyemprotan dilakukan pagi hari dan tidak
ada hujan.

e.

Alat untuk menyemprot herbisida digunakan knapsack sprayer elektrik dengan
nozzle T-jet warna kuning. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 3 kali.

f.


Penghitungan populasi yang mati dilakukan 2, 4, 6, 8, 10, 12 dan 14 hari
setelah aplikasi herbisida.

g.

Pengukuran jumlah klorofil daun dilakukan 21 hari setelah aplikasi herbisida.

3.5 Peubah Amatan
Peubah amatan penelitian tahap pertama adalah persentase kematian gulma
setelah aplikasi herbisida. Persentase kematian di hitung dengan rumus:
�����ℎ �������� ���� ����

�����ℎ �������� ������ℎ���

x 100% (Triharso, 2007).

Peubah amatan pada tahap kedua antara lain:

Universitas Sumatera Utara


1.

Persentase kematian gulma.

2.

Nilai tingkat resistensi suatu gulma pada suatu daerah terhadap herbisida
tertentu (FR =

��50 ����� ���

��50 ����� ����

) (Untung 2001). Rumus ini merupkan analog

untuk menentukan Faktor Resistensi (FR) serangga resisten insektisida.
3.

Lethal Dose


(LD) 50%. Untuk menentukan nilai LD 50% digunakan

persamaan regresi Y = ax + b. Persamaan regresi yang didapat selanjutnya
digunakan untuk menentukan LD50% dari masing-masing perlakuan jenis
herbisida. Kematian 50% yang diinginkan merupakan nilai Y dari persamaan
regresi, yang ditransformasikan ke dalam nilai probits, yaitu 5. Nilai X
adalah

log

dosis

dari masing-masing

perlakuan,

sehingga

untuk


menentukan LD 50% log dosis harus dikembalikan ke dalam antilog (X)
(Guntoro dan Trisnani, 2013) .
4.

Lethal Time (LT) 50%. LT 50% dihitung dengan suatu konsentrasi kimiawi
yang mengakibatkan kematian 50% populasi percobaan. Penghitungan nilai
lethal time didapat dengan menganalisa probit waktu kematian gulma yang
telah diberi perlakuan. Lethal Time 50% merupakan nilai Y dari persamaan
regresi yang ditransformasikan ke dalam nilai probits (Raharjo et al., 2014).

5.

Jumlah klorofil daun. Kadar klorofil total daun dilakukan secara spektroskopi
pada akhir penelitian yaitu pada 21 hari setelah aplikasi herbisida, pada daun
nomor tiga.

3.6

Rancangan Penelitian

Universitas Sumatera Utara

Model rancangan percobaan pada tahap pertama akan digunakan
Rancangan Acak Kelompok (RAK). Herbisida parakuat pada dosis anjuran akan
diaplikasikan terhadap 31 jenis populasi sintrong yang bersumber dari 6 (enam)
daerah yang berbedadan 1 (satu) jenis yang belum pernah disemprot herbisida
parakuat. Percobaan tahap pertama dibuat sebanyak 3 (tiga) ulangan. Secara
matematis model ini dapat ditulis sebagai berikut:

Y ij = µ + β i + τ j + ε ij
dengan : i

(Sudjana, 1991)

= 1,2,3...... b (banyak blok)

j

= 1,2,3.......p (banyak perlakuan)

Y ij

= variabel yang diukur

µ

= rata-rata umum

τj
ε ij

= efek perlakuan ke j
= efek unit eksperimen dalam blok ke i karena perlakuan
ke-j.

Untuk mempermudah

perancangan dan pengacakan maka perlakuan

tersebut diberi simbol. Untuk herbisida parakuat dinyatakan dengan P. Untuk
sumber benih dinyatakan dengan C, dengan demikian dapat dinyatakan sebagai
berikut.
C0
C1,C2,C3,C4, C5
C6,C7,C8,C9,C10
C11,C12,C13,C14,C15
C16,C17,C18,C19,C20
C21,C22,C23,C24, C25
C26,C27,C28,C29,C30

= benih belum pernah disemprot dengan herbisida
parakuat
= biji dari Kecamatan Parbuluan
= biji dari Kecamatan Siempat Nempu Hulu
= biji dari Kecamatan Siempat Nempu
= biji dari Kecamatan Gunung Sitember
= biji dari Kecamatan Tigalingga
= biji dari Kecamatan Tanah Pinem.

Universitas Sumatera Utara

Model rancangan percobaan yang akan digunakan tahap kedua adalah
model Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT). Secara matematis model
ini dapat dituliskan sebagai berikut:
Y ijk = µ +A i + B j + AB ij + Ɛ k ( ij)
dengan:
µ

= rata-rata yang sebenarnya (berharga konstan)

Yijk

= variabel respon hasil observasi ke- k yang terjadi karena pengaruh
bersama taraf ke faktor A dan taraf ke j faktor B

Ai

= efek taraf ke-i faktor A

Bj

= efek taraf ke-j faktor B

Abij

= efek interaksi antara taraf ke i faktor A dan taraf ke j faktor B

ε k(ij)

= efek unit eksperimen ke - k dalam kombinasi perlakuan (ij)
(Hanafiah, 1991., Sudjana, 1991).

Herbisida parakuat sebagai faktor B, dengan 7 (tujuh) taraf dosis yaitu: 0,
1 1

, , 1, 2, 4, 8 kali dosis anjuran. Simbol untuk herbisida parakuat dinyatakan

4 2

dengan:
P0
P1
P2
P3
P4
P5
P6

= tanpa herbisida
1
= dengan herbisida x dosis anjuran (76g.b.a/ha)
4
1

= dengan herbisida x dosis anjuran(152 g.b.a/ha)
2
= dengan herbisida dosis anjuran (304,5 g.b.a/ha)
= dengan herbisida 2 x dosis anjuran(609 g.b.a/ha)
= dengan herbisida 4 x dosis anjuran (1218 g.b.a/ha)
= dengan herbisida 8 x dosis anjuran(2436 g.b.a/ha)

Populasi gulma sintrong sebagai faktor A, dengan 4 (empat) jenis tingkat
persentasi mortalitas. Simbol untuk populasi sintrong dinyatakan dengan:
S
R1

= populasi sensitif yaitu populasi sintrong yang belum pernah
disemprot parakuat
= populasi sintrong hasil penapisan yang memiliki persentasi
hidupyang lebih rendah dari R 2

Universitas Sumatera Utara

R2
R3

= populasi sintrong hasil penapisan yang memiliki persentasi hidup
yang lebih rendah dari R3
= populasi sintrong hasil penapisan yang memiliki persentasi hidup
yang lebih tinggi dari R1 dan R2

Berdasarkan banyaknya taraf faktor A dan faktor B dibuat kombinasi
perlakuan sebagai berikut: P 0 S, P 0 R 1 , P 0 R 2 , P 0 R 3 , P 1 S, P 1 R 1 , P 1 R 2 , P 1 R 3 , P 2 S,
P 2 R 1 , P 2 R 2 , P 2 R 3 , P 3 S, P 3 R 1 , P 3 R 2 , P 3 R 3 , P 4 S, P 4 R 1 , P 4 R 2 , P 4 R 3 , P 5 S, P 5 R 1 ,
P 5 R 2 , P 5 R 3 , P 6 S, P 6 R 1 , P 6 R 2 , P 6 R 3 . Banyaknya perlakuan ada 28, dan setiap
perlakuan diulang sebanyak 3 kali.

Universitas Sumatera Utara

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Data Hasil Survei Petani Responden
Data hasil survei petani responden tentang lama dan frekuensi penggunaan
parakuat, serta jumlah dosis yang digunakan untuk mengendalikan gulma pada
lahan jagung berdasarkan sumber biji sintrong disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1.Data rata-rata lama pemakaian, frekuensi, dan dosis parakuat yang
digunakan petani responden berdasarkan kecamatan
No. Kecamatan
Lama
Dosis
Frekuensi Selisih
Penggunaan (g.ba/ha)
dosis
(Thn)
1 Parbuluan
13,6
456,8
1
152,3
2 Siempat Nempu Hulu 16,2
492,0
1
187,5
3 Siempat Nempu
13,0
456,8
1
152,3
4 Gunung Sitember
17,4
600,6
2
296,1
5 Tiga Lingga
18,8
609,0
2
304,5
6 Tanah Pinem
25,4
651,6
2
347,1
Total
104,4
3266,8
9
Rata-rata
17,4
544,47
1,5
Berdasarkan Tabel 1 rata-rata lama waktu penggunaan parakuat 17,4 tahun
dengan dosis rata-rata 544,47 g.bahan aktif/ha (g.ba/ha) serta frekuensi 1,5 kali/
periode tanam. Selisih dosis anjuran (304,5 g.ba/ha) dengan dosis parakuat yang
digunakan petani responden di Kecamatan Parbuluan dan Siempat Nempu sebesar
152,3 g.ba/ha, di Kecamatan Siempat Nempu Hulu sebesar 187,5 g.ba/ha, di

Universitas Sumatera Utara

Gunung Sitember sebesar 296,1 g.ba/ha, di Tiga Lingga sebesar 304,5 g.ba/ha, di
Tanah Pinem 347,1 g.ba/ha.

4.1.2 Hasil Penapisan Populasi Sintrong dengan Parakuat
Hasil analisis dan uji beda jarak nyata penapisan populasi sintrong dengan
parakuat pada dosis anjuran (304,5 g.ba/ha), disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2.Rata-rata mortalitas dan kategori sintrongpopulasi dari enam kecamatan
hasil penapisan dengan parakuat pada dosis anjuran 14 HSA
Kode
Kecamatan
Kategori
Mortalitas (%)
Populasi
C0
Merek -Sumbul
K1
95,65 m
C1
Parbuluan
K2
37,93 jkl
C2
Parbuluan
K2
39,51 kl
C3
Parbuluan
K2
14,85 fg
C4
Parbuluan
K2
10,84 bcde
C5
Parbuluan
K2
41,79 l
C6
Siempat Nempu Hulu
K2
17,74 cdefgh
C7
Siempat Nempu Hulu
K2
14,52 efg
C8
Siempat Nempu Hulu
K2
27,12 hij
C9
Siempat Nempu Hulu
K2
13,11 defg
C10
Siempat Nempu Hulu
K2
29,85 ij
C11
Siempat Nempu
K2
52,08 l
C12
Siempat Nempu
K2
42,27 l
C13
Siempat Nempu
K2
14,7 g
C14
Siempat Nempu
K2
19,18 cdefgh
C15
Siempat Nempu
K2
22,86 cdefghi
C16
Gunung Sitember
K2
18,84 cdefgh
C17
Gunung Sitember
K2
20,83 cdefghi
C18
Gunung Sitember
K3
7,14 a
C19
Gunung Sitember
K3
9,09 a
C20
Gunung Sitember
K2
11,94 cdef
C21
Tiga Lingga
K2
16,67 cdef
C22
Tiga Lingga
K3
9,21 a
C23
Tiga Lingga
K3
8,86 a
C24
Tiga Lingga
K3
6,38 a
C25
Tiga Lingga
K3
3,13 a
C26
Tanah Pinem
K3
5,88 a
C27
Tanah Pinem
K3
1,39 a

Universitas Sumatera Utara

C28
C29
C30

Tanah Pinem
Tanah Pinem
Tanah Pinem

K3
K3
K3

5,19 a
0,00 a
0,00 a

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf kecil pada kolom yang sama menyatakan tidak berbeda
nyata pada taraf uji 5% berdasarkan Uji Jarak Nyata Ganda Duncan
K1 = mortalitas 81% -100%; K2 = mortalitas antara 11% -80%; K3 = mortalitas ≤ 10%

Berdasarkan Tabel 2, Lampiran 5, 6, dan 7,

mortalitas populasi

C0

(95,65%) berbeda nyata dengan mortalitas populasi yang bersumber dari lahan
jagung. Populasi sintrong yang terdapat di Kecamatan Parbuluan, Siempat Nempu,
Siempat Nempu Hulu semua tergolong kategori K2. Di Kecamatan Gunung
Sitember dan Tiga Lingga terdapat K2 dan K3. Sedangkan di Kecamatan Tanah
Pinem semua populasi tergolong kategori K3.
Data mortalitas populasi sintrong yang terendah dan tertinggi pada masingmasing kecamatan ditampilkan pada Tabel 3. Berdasarkan Tabel 3. Mortalitas
tertinggi (52,08%) terdapat di Kecamatan Siempat Nempu

dan terendah di

Kecamatan Tanah Pinem (0%).
Tabel 3. Data mortalitas tertinggidan terendah hasil penapisan dengan parakuat
pada dosis anjuran
Asal Populasi
Mortalitas (%)
(Kecamatan)
Terendah
Kode
Tertinggi Kode populasi
Populasi
1. Parbuluan
10,84
C4
41,79
C5
2. Siempat Nempu Hulu
13,11
C9
29,85
C10
3. Siempat Nempu
14,71
C13
52,08
C11
4. Gunung Sitember
7,14
C18
20,83
C17
5. Tiga Lingga
3,13
C25
16,67
C21
6. Tanah Pinem
0
C29,C30
5,88
C26

Berdasarkan Tabel 2, dapat dibuat data persentasi kategori dan perbedaan
(selisih) mortalitas sintrong antara populasi C0 (sensitif) dengan populasi dari
lahan jagung (populasi resisten) seperti padaTabel 4. Berdasarkan

Tabel 4.

Universitas Sumatera Utara

Kategori populasi sintrong di Kecamatan Parbuluan, Siempat Nempu dan Siempat
Nempu Hulu 100% termasuk kategori K2, sedangkan di Kecamatan Tanah Pinem
100% termasuk kategori K3. Selisih mortalitas antara populasi sensitif dengan
populasi resisten terendah (44,57%) terdapat di Kecamatan Siempat Nempu dan
tertinggi (95,65%) terdapat di Kecamatan Tanah Pinem
Tabel 4. Data selisih mortalitas populasi sintrong CO dengan populasi sintrong dari
lahan jagung di Kabupaten Dairi
Kecamatan
Parbuluan
Siempat Nempu Hulu
Siempat Nempu
Gunung Sitember
Tiga Lingga
Tanah Pinem

Kategori (%)
K1
K2
K3
0
100
0
0
100
0
0
100
0
0
60
40
0
20
80
0
0
100

Selisih Mortalitas (%)
Terendah
Tertinggi
53,86
84,80
65,80
83,54
44,57
80,94
74,82
88,51
78,98
92,52
89,77
95,65

Untuk mengetahui persentasi mortalitas, jumlah populasi yang tergolong
kategori K2, dan K3 hasil penapisan disajikan data seperti pada Tabel 5.
Berdasarkan Tabel 5, Lampiran 5 dan 6, populasi sintrong yang berasal dari lahan
jagung sebanyak 19

(63,33%)

yang termasuk populasi sintrong kategori K2

dengan tingkat mortalitas berkisar antara 10,84% hingga 52,08%, sedangkan 11
(36,67%) termasuk populasi kategori K3 dengan tingkat mortalitas antara 0,0% 9,09%. Rata-rata mortalitas kategori K2 sebesar 22,37%, dan populasi kategori
K3 sebesar 4,15%.

Populasi resisten di Kecamatan Parbuluan berkisar antara

58,21% s/d -89,16%; di Siempat Nempu Hulu 70,15% s/d 86,89%; di Siempat
Nempu 57,92% s/d 85,29%; di Gunung Sitember 79,17% s/d 92,86%; di Tiga
Lingga 83,33% s/d 96,87%; dan di Tanah Pinem 94,12 s/d 100%.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 5. Populasi awal, akhir, mortalitas, dan kategori populasi sintrong dari enam
kecamatan hasil penapisan dengan parakuat dosis anjuran 14HSA
Populasi
Kode
Mortalitas
Kategori*
Populasi
(%)
Kecamatan Awal
Akhir
Sumbul-Merek
69
C0
3
K1
95,65
69
Jumlah
3
1
C1
Parbuluan
58
36
K2
37,93
C2
Parbuluan
81
69
K2
39,51
C3
Parbuluan
101
86
K2
14,85
C4
Parbuluan
83
74
K2
10,84
C5
Parbuluan
67
39
K2
41,79
C6
SN Hulu**
62
51
K2
17,74
C7
SN Hulu
62
53
K2
14,52
C8
SN Hulu
59
43
K2
27,12
C9
SN Hulu
61
53
K2
13,11
C10
SN Hulu
67
47
K2
29,85
C11
Siempat Nempu
48
23
K2
52,08
C12
Siempat Nempu
55
29
K2
47,27
C13
Siempat Nempu
68
58
K2
14,71
C14
Siempat Nempu
73
59
K2
19,18
C15
Siempat Nempu
70
54
K2
22,86
C16
G. Sitember
69
56
K2
18,84
C17
G. Sitember
72
57
K2
20,83
C20
G.Sitember
67
59
K2
11,94
C21
Tiga Lingga
78
65
K2
16,67
Jumlah
1301
1010
19
24,82
Rata-rata
C18
G. Sitember
56
52
K3
7,14
C19
G.Sitember
66
60
K3
9,09
C22
Tiga Lingga
76
69
K3
9,21
C23
Tiga Lingga
79
72
K3
8,86
C24
Tiga Lingga
94
88
K3
6,38
C25
Tiga Lingga
64
62
K3
3,13
C26
Tanah Pinem
68
64
K3
5,88
C27
Tanah Pinem
72
71
K3
1,39
C28
Tanah Pinem
77
73
K3
5,19
C29
Tanah Pinem
73
73
K3
0,00
C30
Tanah Pinem
74
74
K3
0,00
Jumlah
799
762
11
5,12

Universitas Sumatera Utara

Rata-rata

* K1= mortalitas 81% -100% ; K2 = mortalitas 11% - 80% ; K3 = mortalitas ≤ 10%
** SN Hulu = Siempat Nempu Hulu

Untuk menunjukkan peta wilayah

distribusi dan karakteristik populasi

sintrong hasil penapisan di Kabupaten Dairi disajikan seperti Gambar 1. Populasi
sintrong yang bertahan hidup 20% - 89% di beri simbol K2, dan yang ≥ 90% di
beri simbol K3.

K3
K3

15

15

K3

13
K3

11
11

13
12

K2
K2

K3

12

K2

7

9

7
88

14

14

K2
10

9K2 10K2
6

55

1
2

6
33

44K2
K2

Gambar 1. Peta Kabupaten Dairi tempat sumber benih gulma sintrong
Keterangan
1. Kec Sidikalang
2. Kec berampu
3. Kec Sitinjo
4. Kec Parbuluan
5. Kec Sumbul

6. Kec Silahisabungan
7. Kec Silima Pungga-pungga
8.Kec Laeparira
9. Kec Siempat Nempu
10.Kec Siempat Nempu Hulu

11. Kec Siempat Nempu Hilir
12. Kec Tigalingga
13. Kec Gunung Sitember
14. Kec Pegagan Hilir
15. Kec Tanah Pinem

K1= mortalitas 81% -100% ; K2 = mortalitas 11% - 80% ; K3 = mortalitas ≤ 10%
Batas Kecamatan

Universitas Sumatera Utara

4.1.3 Uji Tingkat Resisten dari Tiga Populasi Mortalitas Terendah
Dari hasil penapisan populasi sintrong (Tabel 2) dilanjutkan pengujian dosis
respon terhadap 3 (tiga) populasi yang dipilih dengan tingkat mortalitas terendah
yaitu C25 (3,13%), C27 (1,39%) dan C30 (0%) dibandingkan dengan populasi CO
(95,65%). Untuk selanjutnya C0 disebut sebagai S, untuk C25 sebagai R-C25,
C27 sebagai R-C27, dan C30 sebagai R-C30.

a. Hubungan Waktu Mati dengan Dosis Parakuat dan Mortalitas Populasi S,
R-C25, R-C27 dan R-C30
Analisis hubungan antara waktu mati dengan dosis parakuat dan mortalitas
populasi S, R-C25, R-C27 dan R-C30 dapat dilihat pada Tabel 6, Lampiran8-14;
17- 36. Hasil analisis hubungan waktu mati populasi S (sensitif) berbeda nyata
dengan populasi resisten (R-C25, R-C27 dan R-30) pada 2HSA sampai 14HSA.
Pada pengamatan 4HSA sampai 14HSA mortalitas populasi R-C25, dan R-C27
berbeda nyata dengan populasi R-C30.
Berdasarkan pengamatan 2HSA sampai 14HSA, level dosis yang tidak
mematikan P1 (76 g.ba/ha) dan P2 (152 g.ba/ha) berbeda nyata dengan level dosis
yang mematikan (304,5 g.ba/ha). Pada pengamatan 2HSA level dosis P3 (304,5
g.ba/ha) berbeda nyata dengan level dosis P5 (1218 g.ba/ha) dan P6 (2436 g.ba/ha).
Pada pengamatan 4 HSA level dosis P3 berbeda nyata dengan level dosis P4 (609
g.ba parakuat/ha), P5 (1218 g.ba/ha) dan P6 (2436 g.ba/ha).

Level dosis P4

Universitas Sumatera Utara

berbeda nyata dengan level dosis P5 dan P6. Pada pengamatan 6 HSA sampai 10
HSA semua level dosis yang mematikan berbeda nyata.

Tabel 6.Analisis hubungan mortalitas dengan populasi S, R-C25, R-C27, dan RC30 dengan waktu pengamatan pada 2 - 14HSA
Perlakuan
2
Sintrong (A)
S**
30,46b
R-C25
2,95a
R-C27
1,04a
R-C30
0,51a
Parakuat (B)
P0***
0,00a
P1
1,00a
P2
3,3ab
P3
8,2bc
P4
13,6cde
P5
16,2de
P6
1,8e
Interaksi A x B
P0S
0,0a
P0R-C25
0,0a
P0R-C27
0,0a
P0R-C30
0,0a
P1S
4,1abc
P1R-C25
0,0a
P1R-C27
0,0a
P1R-C30
0,0a
P2S
8,1c
P2R-C25
1,0abc
P2R-C27
0,0a
P2R-C30
0,0a
P3S
29,58d
P3R-C25
1,7abc
P3R-C27
1,3abc
P3R-C30
0,0a
P4S
47,4e
P4R-C25
5,0abc
P4R-C27
1,8abc
P4R-C30
0,0a
P5S
56,3f
P5R-C25
5,0abc
P5R-C27
1,7abc
P5R-C30
1,7abc
P6S
67,.7g
P6R-C25
8,0bc
P6R-C27
1,8abc
P6R-C30
1,9abc

4

Waktu pengamatan (Hari)
6
8

10-14*

45,20c
11,90b
8,29b
1,59a

55,86c
18,08b
17,10b
6,35a

62,47c
29,06b
25,91b
9,14a

71,22c
31,81b
28,76b
11,68a

0,00 a
2,5a
5,3 a
14,80b
25,9c
33,3de
38,1e

0,00 a
7,50b
11,26b
19,9c
30,2d
44,9e
60,7f

0,00 a
8,8b
11,8b
21,6 c
41,7d
55,1e
69,6 f

0,00 a
9,1b
3,3b
6,7c
48,5d
56,4e
72,1f

0,0a
0,0a
0,0a
0,0a
12,1a
0,0a
0,0a
0,0a
19,8b
1,3a
0,0a
0,0a
56,4f
1,7a
1,3a
0,0a
68,2g
20,0c
13,9b
1,7a
81,3h
27,4d
20,7c
3,9a
83,2h
38,9e
24,1c
6,1a

0,0a
0,0a
0,0a
0,0a
30,1d
0,0a
0,0a
0,0a
43,5f
1,3ab
0,0a
0,0a
71,4h
5,7ab
2,6ab
0,0a
73,7h
20,0d
19,6c
7,2ab
85,6i
46,0f
38,8ef
9,3b
87,7i
61,4g
60,9g
32,8e

0,0a
0,0a
0,0a
0,0a
35,3efg
0,0a
0,0a
0,0a
45,9hi
1,3a
0,0a
0,0a
78,1 l
5,7ab
2,6ab
0,0a
78,8 l
43,4ghi
33,7 def
10,7b
97,5m
55,9j
48,ij
18,9c
100,0m
69,9 k
64.7k
39,8fghi

0,0a
0,0a
0,0a
0,0a
36,3cd
0,0a
0,0a
0,0a
51,8gh
1,3a
0,0a
0,0a
96,6j
5,7a
4,3a
0,0a
100,0j
43,6defg
33,8c
16,5b
100,0j
56,0h
48,3efgh
21,1b
100,0j
72,4i
64,7i
51,3fgh

Universitas Sumatera Utara

Keterangan: angka –angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama menyatakan tidak berbeda nyata pada taraf
uji 5% berdasarkan Uji Jarak Nyata Ganda Duncan
*Jumlah populasi sintrong dari 12 HSA -14 HSA adalah sama,sehingga analisis sidik ragam sama juga
(Lampiran 6)
** S = pop sensitif mortalias 95,65%; R-C25 pop resisten mortalitas 3,13%,; R-C27 pop resisten mortalitas
1,39%; R-C30 pop resisten mortalitas 0%
***P0 = 0 gr.ba/ha; P1= 76 gr.ba/ha; P2 =152 gr.ba/ha; P3= 304,5 gr.ba/ha; P4= 609 gr.ba/ha; P5= 1218
gr.ba/ha; P6= 2436gr.ba/ha

Interaksi antara faktor A dengan faktor B seperti pada Tabel 6
menunjukkan perbedaan mortalitas pada setiap pengamatan.

Pada pengamatan 2

HSA sampai 14 HSA mortalitas populasi sensitif berbeda nyata padasetiap
leveldosis yang digunakan, kecuali antara P1S dengan P2S. Pengamatan 2HSA
mortalitas populasi sensitif berbeda nyata dengan mortalitas populasi resisten
kecuali pada level dosis yang tidak mematikan (P1 dan P2).
Pada pengamatan 4HSA mortalitas populasi sensitif

berbeda nyata

dengan mortalitas populasi resisten, kecuali pada level dosis P1. Mortalitas
populasi R-25, R-C27, R-C30 berbeda nyata pada level dosis P4, P5, dan P6. Pada
pengamatan 6HSA mortalitas populasi sensitif berbeda nyata dengan mortalitas
populasi resisten pada level dosis P1, P2, P3, P4, P5 dan P6.Mortalitas populasi RC25 berbeda nyata dengan R-C27 pada level dosis P4, sedangkan dengan R-C30
pada level dosis P6. Mortalitas populasi R-C27 berbeda nyata dengan populasi RC30 pada level dosis P4, P5, dan P6.
Pada pengamatan 8HSA s/d 10HSA mortalitas populasi sensitif berbeda
nyata dengan mortalitas populasi resisten pada setiap level dosis yang digunakan.
Mortalitas populasi R-C25 berbeda nyata dengan populasi R-C27 pada level dosis
P4. Mortalitas populasi R-C30 berbeda nyata dengan populasi R-C25 dan R-C27
pada level dosis P4, P5, dan P6.

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan Tabel 6, Lampiran 35-36, hubungan persentase mortalitas
sintrong populasi S, R-C25, R-C27 dan R-C30 dengan waktu pengamatan
ditampilkan pada Gambar 2. Mortalitas populasi sintrong mulai hari ke-2 HSA
sampai 10 HSA terus bertambah, tetapi setelah hari ke-12 HSA hari ke-14 HSA

Mortalitas Sintrong (%)

mortalitas sintrong tidak ada yang bertambah.

80
70
60
50
40
30
20
10
0

S
R-C25
R-C27
R-C30

2 hari

4 hari

6 hari 8 hari 10 hari 12 hari 14 hari
Waktu Pengamatan (HSA)

Gambar 2. Hubungan persentase mortalitas sintrong populasi S, R-C25 ,R-C27, dan
R-C30 dengan waktu pengamatan pada 2 - 14 HSA

b.

Lethal Time 50%
Lethal Timea dalah lama waktu yang dapat menyebabkan kematian 50%

suatu populasi dengan konsentrasi kimia tertentu. Nilai probit merupakan fungsi
persamaan

regresi

yang

dapat

digunakan untuk menentukan nilai LT50,

LT25% dan LT10% dari perlakuan herbisida yang diaplikasikan pada

jenis

populasi gulma. Hubungan persentase mortalitas sintrong populasi S, R-C25, RC27, dan R-C30 dengan waktu pengamatan pada 2 HSA -14 HSA dapat diketahui
melalui transformasi ke dalam nilai probit. Transformasi persentasi mortalitas
dilakukan dengan bantuan tabel probit (Lampiran 35-36), demikian juga waktu

Universitas Sumatera Utara

pengamatan (hari) ditransformasi dalam bentuk logaritmik. Data hasil transformasi
logaritma waktu pengamatan (hari) dengan data transformasi nilai probit mortalitas
populasi sintrong ditampilkan pada Tabel 7.
Tabel 7. Data nilai log waktu pengamatan dengan transformasi
mortalitas sintrong populasi S, R-C25, R-C27 dan R-C30

Log hari
0,301
0,602
0,778
0,903
1,000
1,079
1,146

nilai probits

Nilai Probit
S

R-C25

R-C27

4,450

2,985

2,670

R-C30
1,335

4,876

3,820

3,613

2,710

5,182

4,080

4,050

3,478

5,286

4,450

4,357

3,667

5,556

4,520

4,444

3,805

5,556

4,520

4,444

3,805

5,560

4,520

4,444

3,805

Persamaan regresi yang didapat digunakan untuk menentukan

nilai

LT50%, LT25%, dan LT10% untuk untuk masing-masing populasi sintrong.
Berdasarkan Tabel 7, Lampiran 35 -36, diperoleh hasil persamaan regresi seperti
Tabel 8. LT 50% untuk populasi S adalah 4,79 hari, sedangkan untuk populasi RC25, R-C27, dan R-C30 belum tercapai. LT25% populasi S adalah 1,59 hari,
lebih rendah bila dibandingkan dengan populasi R-C25 (8,58 hari), dan populasi RC27 (9,6 hari), serta populasi R-C30 (9,8 hari).
Tabel 8. Persamaan regresi, nilai LT 50; LT25 dan LT10
Populasi
S
R-C25
R-C27
R-C30

Persamaan Regresi
y=
y=
y=
y=

1,396x +4,050
1,863x + 2,581
2,151x +2,217
2,945x + 0,785

R2 (%)
0,977
0,936
0,930
0,901

LT50%
4,79
-

LT25%
1,59
8,58
9,6
-

LT10%
4,1
5,0
9,85

Universitas Sumatera Utara

Keterangan : LT50% = Lethal Time 50%%; LT25% = Lethal Time 25%;LT10% =Lethal Time
10%; R2 = koefisien determinasi

c. Hubungan Taraf Dosis Parakuat dengan Mortalitas Sintrong Populasi
S, R-C25, R-C27 dan R-C30

Hubungan taraf dosis parakuat dengan rata-rata mortalitas disajikan pada
Tabel 9, Lampiran 8, 28, 29, dan 30.
Tabel 9. Mortalitas populasi sintrong S, R-C25, R-C27dan R-C30 pada 14HSA
parakuat
Dosis
(g.ba/ha)
0,0 (P0)
76 (P1)
152 (P2)
304,5(P3)
609 (P4)
1218 (P5)
2436 (P6)

Mortalitas Populasi Sintrong Hasil Penapisan (%)
S
R-C25
R-C27
R-C30
0
a
0 a
0 a
0
a
36 f
0 a
0 a
0
a
52,9 ij
1,2 ab
0 a
0
a
96,8 m
5,7 c
4,2 bc
0
a
100 m
43,3 g
34 f
16,98 d
100 m
55,7 j
48,2 h
20,75 e
100 m
70,9 l
64,8 k
50,98 hi

Keterangan: angka –angka yang diikuti oleh huruf kecil pada kolom dan baris yang sama menyatakan tidak
berbeda nyata pada taraf uji 5% berdasarkan Uji Jarak Nyata Ganda Duncan

Berdasarkan Tabel 9 aplikasi parakuat pada dosis 76 g.ba/ha tingkat
mortalitas populasi S sebesar 36%, sedangkan pada populasi R-C25, R-C27 dan
R-C30 masih 0%. Aplikasi parakuat 152 g.ba/ha mengakibatkan mortalitas pada
populasi S meningkat menjadi 52,9%, mortalitas populasi R-C25 sebesar 1,2%
sedangkan R-C27 dan R-C30 masih tetap 0%. Aplikasi parakuat pada dosis 304,5
g.ba/ha mortalitas populasi S telah mencapai 96,8%, mortalitas populasi R-C25
dan R-C27 masing-masing 5,7% dan 4,2%, sedangkan populasi R-C30 masih tetap
0%. Pada perlakuan 609 g.ba/ha mortalitas populasi S telah mencapai 100%,

Universitas Sumatera Utara

sedangkan mortalitas populasi R-C30 masih 16,98%. Semakin tinggi dosis
parakuat yang diaplikasikan semakin tinggi pula mortalitasnya.
Mortalitas populasi sintrong sensitif berbeda nyata dengan mortalitas
populasi resisten R-C25, R-C27 dan R-C30 pada setiap tingkatan dosis parakuat
yang diaplikasikan. Mortalitas populasi sintrong antara R-C25 dengan R-C27
berbeda nyata kecuali pada taraf dosis 304,5 g.ba/ha. Mortalitas populasi R-C27
pada aplikasi parakuat 1218 g.ba/ha tidak berbeda nyata dengan mortalitas populasi
sintrong R-C30 pada taraf dosis 2436 g.ba/ha
Hubungan rata-rata mortalitas populasi sintrong S,R-C25, R-C27, dan R-

Rata-rata mortalitas Sintrong

C30 dengan taraf dosis parakuat yang diaplikasikan ditunjukkan pada Gambar 3.

100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0

S
R-C25
R-C27
R-C30

0

300

600

900

1200

1500

1800

2100

2400

2700

Dosis parakuat (g.ba/ha)
Gambar 3.Hubungan rata-rata mortalitas (%) sintrong populasi S, R-C25, R-C27
dan R-C30 dengan dosis parakuat (g.ba/ha)
Berdasarkan Gambar 3, rata-rata mortalitas populasi sintrong semakin
meningkat seiring dengan peningkatan penggunaan dosis herbisida pada masingmasing perlakuan. Peningkatan rata-rata mortalitas populasi sensitif lebih besar

Universitas Sumatera Utara

32

bila dibandingkan dengan populasi R-C25, R-C27 dan R-C30. Rata-rata
pertambahan mortalitas sintrong populasi resisten masih terus meningkat sampai
batas dosis yang belum diketahui, hal ini terlihat dari arah grafik yang masih naik.
d. Lethal Dosis
Lethal Dosis 50% merupakan batasan untuk mengetahui apakah dosis
yang digunakan sudah cukup atau berlebih dalam mengendalikan populasi
gulma, atau seberapa besar dosis herbisida yang diperlukan agar dapat
mengendalikan populasi gulma sebanyak 50% dari populasi yang ada. Untuk
mengetahui

LD50% dari sintrong

populasi S, R-C25, R-C27 dan R-C30

dilakukan

analisis probits melalui suatu persamaan regresi. Transformasi

persentasi mortalitas dilakukan dengan bantuan tabel probit (Lampiran 37 dan 38),
demikian

juga dosis

ditransformasi dalam bentuk logaritmik. Tabel 10

menerangkan data hasil transformasi logaritma dosis

(g.ba/ha)

dengan data

transformasi nilai probit mortalitas populasi S; R-C25, R-C27 dan R-C30 pada
14HSA.
Tabel 10.Data nilai log dosis parakuat dengantransformasi nilai probits mortalitas
sintrong populasi S, R-C25, R-C27 dan R-C30
Perlakuan
Log Dosis
Probit
S
R-C25
R-C27
R-C30
P0
0,00
P1
1,881
4,640
0,000
0,000
0,000
P2
2,182
5,080
2,706
0,000
0,000
P3
2,484
6,865
3,445
3,256
0,000
P4
2,785
8,100
4,829
4,59
4,050
P5
3,086
8,100
5,145
4,952
4,175
P6
3,387
8,100
5,545
5,384
5,030
Keterangan: S= sensitif; R-C25 mortalitas 3,13% ; R-C27 mortalitas 1,39%; R-C30 mortalitas 0%

Universitas Sumatera Utara

Persamaan regresi yang didapat, maka nilai LD50% untuk masing-masing
populasi sintrong seperti pada Tabel 11. LD 50% untuk populasi S adalah 88 g
ba/ha parakuat, untuk populasi resisten R-C25 sebesar 1085 g.ba/ha, untuk populasi
R-C72 sebesar 1308 g.ba/ha sedangkan populasi R-30 adalah 2185 g.ba/ha.

Tabel 11.Persamaan regresi probit dan nilai LD50 terhadap herbisida parakuat
Populasi
S
R-C25
R-C27
R-C30

Persamaan Regresi
y = 2,617x + 0,081
y = 3,455x – 5,489
y = 4,089x – 7,742
y = 3,957x – 8,215

Nilai r2 (%)
0,857
0,883
0,882
0,883

LD 50% (gr.ba/ha)
R/S
88
1085
12,33
1308
14,86
2185
24,83

4.1.4 Indeks Klorofil Daun Sintrong Populasi S, R-C25, R-C27 dan R-C30
setelah 21 HSA Parakuat
Indeks klorofil daun adalah suatu angka rasio antara jumlah klorofil daun
populasi kontrol (P0) yang dapat digunakan untuk melakukan perbandingan antara
klorofil daun populasi sensitif (S) dengan populasi resisten (R-C25, R-C27, dan RC30) sebelum dan sesudah aplikasi herbisida parakuat. Indeks klorofil daun pada
masing-masing perlakuan

ditampilkan pada Tabel 12.

Jumlah klorofil daun

sintrong untuk perlakuan P0 (0 g.ba/ha = kontrol) sebesar 100%, artinya jumlah
klorofil daun populasi sintrong belum dipengaruhi oleh parakuat. Persentasi jumlah
klorofil daun sintrong populasi S pada aplikasi parakuat 76 g.ba/ha berkurang
menjadi 83,4%, dan selalu berkurang dengan bertambahnya dosis parakuat yang
diaplikasikan. Pada dosis 609 g.ba/ha persentasi jumlah klorofil sintrong populasi S
menjadi 0 (populasi sensitif telah mati semua).

Universitas Sumatera Utara

Tabel 12.Indeks klorofil daun sintrong populasi R-C25, R-C27 dan R-C30 pada
pengamatan 21 HSA parakuat
Indeks klorofil daun (%)
Parakuat
(g.ba/ha)

S

R-25

R-27

R-30

0(P0)

100

lm

100

lm

100

lm

100

76 (P1)

83,4

gh

97,4

kl

81,9

fg

103,6 lo

152 (P2)

72,8

c

105

po

80,2

ef

106,8 pqr

304,5 (P3)

27,6

b

95,6

kl

97,4

kl

108,7 qrs

609 (P4)

0

a

98,3

klm

101,3 mn

89,2

i

1218 (P5)

0

a

80,5

ef

105,4 poq

108,7

rs

2436 (P6)

0

a

85,3

h

110,3

78

de

h

lm

Keterangan: angka –angka yang diikuti oleh huruf kecil yang samapada kolom dan baris yang sama
menyatakan tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% berdasarkan Uji Jarak Nyata Duncan
S = sensitif; R = resisten; R-C25 =mortalitas 3,13% ; R-C27 = mortalitas 1,39%; R-C30 =
mortalitas 0%

Persentasi jumlah klorofil daun sintrong populasi R-C25 setelah aplikasi
parakuat tidak berbeda nyata pada perlakuan P1, P3, dan P4, tetapi berbeda nyata
pada perlakuan P2, P5 dan P6. Persentasi jumlah klorofil populasi R-C27 setelah
aplikasi parakuat berbeda nyata pada perlakuan P1, P2, P5, dan P6, dan tidak
berbeda dengan perlakuan P3 dan P4. Persentasi jumlah klorofil daun populasi RC30 setelah aplikasi parakuat berbeda pada setiap tingkatan dosis, kecuali pada
perlakuan P2, P3 dan P5.
Secara umum persentasi jumlah klorofil daun sintrong populasi sensitif
(P0S) sebelum aplikasi parakuat lebih tinggi (19,33 butir/mm2) dari pada klorofil
daun populasi resisten (POR-C25 = 12,84 butir/mm2, P0R-C27 =12,21 butir/mm2,
dan P0R-C30 = 12,17 butir/mm2) dan berbeda nyata. Pengurangan persentasi
jumlah klorofil daun populasi S akibat adanya aplikasi parakuat tinggi bila
dibandingkan dengan populasi R-C25, R-C27, dan R-C30. Jumlah klorofil daun

Universitas Sumatera Utara

populasi S sangat dipengaruhi adanya perbedaan dosis parakuat

yang

diaplikasikan, berbeda dengan populasi resisten secara umum tidak dipengaruhi
oleh adanya aplikasi parakuat.

4.1 Pembahasan
Rata-rata lama penggunaan herbisida parakuat di Kabupaten Dairi berkisar
17,4 tahun, dengan dosis 544,47 g.ba/ha, dan rata-rata frekuensi penggunaan 1,5
kali periode tanam. Menurut

Jasieniuk et al. (1996)

salah satu faktor yang

mengakibatkan terjadinya populasi resisten adalah penggunaan herbisida sejenis
secara berulang - ulang dalam periode lama pada suatu areal, tindakan manusia
terutama pengguna pestisida tanpa dilandasi oleh pengetahuan yang menyeluruh
tentang sifat-sifat dasar pestisida kimia. Selanjutnya Purba (2009), mengatakan
populasi resisten terbentuk akibat adanya tekanan seleksi akibat

penggunaan

herbisida sejenis secara berulang-ulang dalam periode yang lama pada suatu tempat
tertentu. Konsekuensi dari pemakaian herbisida yang sama (sama jenis bahan aktif
atau sama cara kerja) secara berulang –ulang dalam periode yang lama pada suatu
areal maka ada dua kemungkinan masalah yang timbul, yaitu terjadi dominansi
populasi gulma resisten herbisida atau dominansi populasi gulma toleran herbisida.
Persentasi mortalitas populasi sintrong kategori K1 (95,65%) berbeda nyata
dengan K2 (10,84% - 52,08%) dan K3 (0% - 9,21%). Demikian antara K2 dengan
K3 juga berbeda nyata (Tabel 2). Berdasarkan Tabel 4 dan Tabel 5 persentasi
populasi resisten kategori K3 lebih banyak di jumpai di Kecamatan Tanah Pinem
(100%), diikuti dengan Kecamatan Tiga Lingga (80%), dan Gunung Sitember

Universitas Sumatera Utara

(40%0, Kecamatan Siempat Nempu Hulu, Parbuluan, dan Kecamatan Siempat
Nempu (100%) kategori K2. Adanya perbedaan persentasi populasi resisten di
duga akibat perbedaan dosis, lama, dan frekuensi penggunaan oleh para petani
responden. Menurut Wals dan Powles (2007) populasi yang bertahan hidup 1% 19% terhadap suatu jensi herbisida, tergolong populasi gulma dalam proses
pengembangan resisten, dan jika ≥ 20% populasi bertahan hidup merupakan gulma
resisten terhadap suatu jenis herbisida tertentu. Selanjutnya Baumgartner et al.
(1999) mengatakan ketika mortalitas populasi gulma kurang 10% terhadap suatu
jenis herbisida maka populasi itu dianggap telah resisten, dan mortalitas > 90%
dianggap populasinya rentan, sedangkan apabila mortalitasnya antara 11%- 90%
memiliki resisten menengah.
Populasi resisten pada gulma dapat dihindari dengan cara tidak
menggunakan satu jenis herbisida tunggal dalam waktu yang lama tetapi
menggantinya secara berkala ataupun melakukan rotasi herbisida. Martani et al.
(2000) mengatakan pertahanan terbaik terhadap resistensi herbisida dan akan
membantu mengurangi tekanan seleksi adalah menggunakan bermacam-macam
cara kerja herbisida yang berbeda selama tahun yang sama ataupun merotasi
herbisida yang berbeda setiap tahun, rotasi tanaman, dan teknik budidaya.

4.2.1 Pengaruh Dosis Herbisida terhadap Mortalitas Sintrong
Mortalitas populasi sensitif pada dosis herbisida 304,5 g.ba/ha (dosis
anjuran, P3) mencapai 96,6% sedangkan populasi resisten (R-C-25, R-C27 dan RC30) masing- masing sebesar 5,7%, 4,3%, dan 0% (Tabel 6). Ini berarti bahwa

Universitas Sumatera Utara

dosis anjuran tidak lagi mampu untuk mengendalikan populasi sintrong pada lahan
jagung petani di Kabupaten Dairi. Menurut Walsh dan Powles (2004) populasi
gulma digolongkan sebagai resisten jika ≥ 20% dari individu-individu dalam

populasi hidup (survival) setelah dikenai suatu jenis herbisida pada dosis tertentu.
Apabila > 90% populasi

bertahan hidup (survival) terhadap herbisida maka

populasi itu sudah resisten pada semua jenis herbisida. Hall et al. (1999)
mengatakan populasi gulma yang survival > 90%, dianggap memiliki resistensi
ganda atau resisten silang terhadap herbisida lain. Berdasarkan hal ini populasi
sintrong di Kabupaten Dairi dapat di kategorikan ke dalam 2 kategori (Tabel 2).
Kategori pertama yaitu populasi sintrong yang mortalitasnya kurang dari 10%
yaitu C18, C19 di Kecamatan Gunung Sitember, C22, C23, C24, C25 di
Kecamatan Tiga Lingga, C26, C27, C28, C29, dan C30 di Kecamatan Tanah
Pinem. Kategori kedua yaitu populasi sintrong dengan mortalitas antara 11% s/d
80% yaitu C1 - C5 di Kecamatan Parbuluan, C6 – C10 di Kecamatan Siempat
Nempu Hulu, C11 – C15 di Kecamatan Siempat Nempu, C16, C17 dan C20 di
Kecamatan Gunung Sitember, dan C21 di Kecamatan Tiga Lingga.
Heping et al. (2011) mengatakan untuk mengetahui dosis respon dari
suatu herbisida terhadap suatu jenis gulma adalah dengan mengukur persentase
tingkat kematian gulma 50% pada dosis tertentu.LD 50%untuk populasi sintrong
yang sensitif parakuat berdasarkan persamaan sidik regresi dan hasil analisis
probit adalah 88 g.ba/ha lebih rendah dibandingkan LD50%

untuk populasi

resisten R-C25 sebesar 1085 g.ba/ha; R-C27 sebesar 1308 g.ba/ha; , dan R-C30
sebesar 2185 g.ba/ha. Ini menunjukkan bahwa hasil penapisan dalam penelitian ini

Universitas Sumatera Utara

mampu membedakan antara populasi sintrong sensitif dengan populasi sintrong
resisten parakuat.
Hubungan dosis dengan mortalitas populasi sintrong, diketahui bahwa
nilai tingkat resisten (resistence factor) untuk sintrong populasi R-C25 adalah
12,33 kali, untuk R-C27 adalah 14,86 kali dan untuk R-C30 adalah 24,83 kali
(Tabel 8). Ini berarti populasi gulma sintrong R-C25 telah resisten terhadap
parakuat sebesar 12,33 kali, populasi sintrong R-C27 resiten terhadap parakuat
sebesar 14,86 kali dan populasi gulma sintrong R-C30 resisten terhadap parakuat
sebesar 24,83 kali. Menurut Purba (2009) yang menyatakan bahwa konsekuensi
dari pemakaian herbisida yang sama (jenis bahan aktif sama atau sama cara kerja)
secara berulang-ulang dalam periode yang lama pada suatu areal kemungkinan
akan menimbulkan masalah areal dominansi gulma resisten herbisida pada areal
tersebut.
4.2.2 Pengaruh Dosis Herbisida terhadap Rata-rata Jumlah Klorofil Daun
Sintrong
Jumlah klorofil daun sintrong populasi S (P0S) (19,33 butir/mm2) berbeda
nyata dengan rata-rata jumlah klorofil daun populasi resisten (P0R-C25 = 12,84
butir/mm2, P0R-C27= 12,21 butir/mm2, dan P0R-C30 = 12,69 butir/mm2). Ratarata jumlah klorofil populasi gulma sintrong yang sensitif lebih tinggi
dibandingkan dengan populasi gulma sintrong yang resisten parakuat. Hal ini
senada dengan Hamza et al. (2011) yang menyatakan isi kandungan klorofil pada
tanaman E.crusgalli yang sensitif lebih tinggi dibandingkan dengan isi kandungan
klorofil yang resisten herbisida.

Universitas Sumatera Utara

Secara umum pengaruh dosis herbisida terhadap angka indeks jumlah
klorofil daun populasi gulma sintrong

S berbeda nyata. Hal ini terlihat pada

perlakuan P0S (100%) dengan P1S (83,4%), P2S (72,8%), P3S (27,6%) dan P4S
(0%), setiap kenaikan dosis herbisida yang digunakan menurunkan jumlah klorofil
daun populasi gulma sintrong S (sensitif) secara nyata. Berbeda dengan populasi
gulma sintrong yang resisten parakuat (R-C25, R-C27, dan R-C30), pengaruh
dosis terhadap rata-rata jumlah klorofil daun tidak berbeda nyatasebelum dan
setelah aplikasi herbisida. Menururt Moenandir (1998), perbedaan rata-rata jumlah
klorofil daun masing-masing populasi disebabkan karena adanya faktor dalam dari
gulma yang dapat mempengaruhi daya meracun suatu jenis herbisida dan tingkat
perkembangan kepekaan gulma terhadap herbisida. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian Hamza et al. (2011) terhadap gulma Echinochloa crusgalli yang
diaplikasi dengan herbisida Fenoxaprop - p-etil. Gulma E.crusgalli yang rentan
setelah disemprot dengan herbisida mengalami penurunan ketebalan lamina daun
dan diameter pembuluh xilem yang nyata sedangkan pada gulma E. crusgalli yang
resisten tampak normal dan tidak ada perbedaan yang nyata ketebalan lamina daun
dan diameter pembuluh xilem. Para fisiologis dan anatomis menyatakan dengan
adanya penurunan atau perbedaan pertambuhan diameter pembuluh xilem,
ketebalan lamina daun dan perbedaan kandungan klorofil dalam suatu populasi
gulma tertentu akibat perlakuan suatu jenis herbisida, hal ini menunjukkan bahwa
populasi gulma tersebut terindikasi ada yang sensitif dan ada yang resisten.

Universitas Sumatera Utara

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1.

Hasil penapisan dari 30 populasi sintrong, sebanyak 19 populasi (63,33%)
termasuk moderat resisten (K2) dengan mortalitas rata-rata 24,82%, dan 11
populasi (36,67%) termasuk kategori sangat resisten (K3) dengan mortalitas
rata-rata 5,12%.

2.

Populasi

sintrong

biotip resisten

parakuat terdistribusi di Kecamatan

Parbuluan, Siempat Nempu, Siempat Nempu Hulu, Gunung Sitember, Tiga
Lingga, dan Tanah Pinem, dengan jumlah populasi yang bertahan hidup
terendah sebesar 47,92% (C11) terdapat di Kecamatan Siempat Nempu Hulu,
sedangkan tertinggi 100% (C29, C30) terdapat di Kecamatan Tanah Pinem.
3.

Lethal dose 50% populasi sintrong biotip S adalah 88 g.ba /ha lebih rendah
dibandingkan lethal dose populasi R-C25 (1085 g.ba parakuat/ha), populasi RC27 (1308 g.ba/ha), dan populasi R-C30 (2185 g.ba parakuat/ha). Lethal time
50% untuk biotip S adalah 4,79 hari, sedangkan populasi R-C25, R-C27, dan
R-C30 tidak terdeteksi hingga 21 HSA.

4.

Tingkat resistensi sintrong untuk populasi R-C25, R-C27, dan R-C30 masingmasing secara berturut-turut sebesar 12,33 kali, 14,86 kali, dan sebesar 24,83
kali dibandingkan dengan populasi S.

5.

Jumlah klorofil daun sintrong populasi S (19,33 butir/mm2) sebelum aplikasi
parakuat lebih tinggi dibandingkan dengan populasi jumlah klorofil daun

Universitas Sumatera Utara

populasi R-C25 (12,84 butir/mm2), R-C27 (12,21 butir/mm2), dan populasi RC30 (12,17 butir/mm2). Jumlah klorofil daun populasi sensitif berkurang
setelah aplikasi parakuat, sedangkan populasi resisten sesudah dan sebelum
aplikasi parakuat relatif tidak berkurang.

5.2 Saran
Perlu dilakukan pengujian dengan herbisida lain untuk mengetahui herbisida
yang dapat mengendalikan biotif sintrong resisten parakuat di Kabupaten
Dairi.

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Pengaruh Pemberian Pakan Jagung (Zea mays) Terhadap Pertumbuhan Ikan Mas (Cyprinus carpio) di Desa Tanjung Mulia Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang.

2 71 63

Identifikasi Petogen Penyebab Hawar Daun Pada Tanaman Jagung (Zea mays L.) Di Kabupaten Karo, Sumatera Utara

0 47 68

Tanggap Tanaman Jagung ( Zea mays L ) Terhadap Pemupukan P dan Kotoran Ayam Pada Tanah Ultisol Asal Mancang Kabupaten Langkat

7 53 66

Pengelolaan Hara Pada Berbagai Varietas Jagung (Zea mays L.) Di Tanah Inceptisol Kabupaten Deli Serdang

2 28 116

Distribusi dan Karakterisasi Populasi Sintrong (Crassocephalum crepidioides. Benth) Gulma Resisten Parakuat pada Lahan Tanaman Jagung (Zea Mays) di Kabupaten Dairi

0 0 16

Distribusi dan Karakterisasi Populasi Sintrong (Crassocephalum crepidioides. Benth) Gulma Resisten Parakuat pada Lahan Tanaman Jagung (Zea Mays) di Kabupaten Dairi

0 0 2

Distribusi dan Karakterisasi Populasi Sintrong (Crassocephalum crepidioides. Benth) Gulma Resisten Parakuat pada Lahan Tanaman Jagung (Zea Mays) di Kabupaten Dairi

1 10 4

Distribusi dan Karakterisasi Populasi Sintrong (Crassocephalum crepidioides. Benth) Gulma Resisten Parakuat pada Lahan Tanaman Jagung (Zea Mays) di Kabupaten Dairi

0 1 7

Distribusi dan Karakterisasi Populasi Sintrong (Crassocephalum crepidioides. Benth) Gulma Resisten Parakuat pada Lahan Tanaman Jagung (Zea Mays) di Kabupaten Dairi

0 0 4

Distribusi dan Karakterisasi Populasi Sintrong (Crassocephalum crepidioides. Benth) Gulma Resisten Parakuat pada Lahan Tanaman Jagung (Zea Mays) di Kabupaten Dairi

0 0 39