Respon Pertumbuhan dan Produksi bebeapa Varietas Padi Gogo (Oriza sativa L.) dengan Ketebalan Tanah Mineral pada Lahan Gambut

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Morfologi dan Pertumbuhan Tanaman Padi
Bagian-bagian tanaman padi secara garis besarnya dibagi dalam dua bagian

besar, yaitu: bagian vegetatif (akar, batang dan daun) dan bagian generatif berupa
malai dan bunga (Manurung dan Ismunadji, 1988).
Akar tanaman padi termasuk akar serabut. Akar primer (radikula) yang
tumbuh sewaktu berkecambah berama akar-akar lain yang muncul dari janin dekat
bagian buku skutellum disebut akar seminal yang jumahnya 1-7. Akar-akar
seminal selanjutnya akan digantikan oleh akar-akar skunder yang tumbuh dari
buku terbawah batang. Akar-akar ini disebut akar adventif atau akar-akar buku
karena tumbuh dari bagian tanaman yang bukan embrio atau karena tumbuhnya
bukan dari akar sebelumnya (Makarim dan Surtatik, 2009).
Perbedaan anatomi akar padi yang ditanam pada kondisi air tergenang dan
lembab menyebabkan besarnya perbedaan ketahanan akar dalam menyerap air
antara padi sawah dan padi gogo. Ketahanan akar padi gogo mencapai 17 kali
lebih besar dari pada padi sawah. Keterbatasan air yang diserap mempengaruhi

pembelahan sel, pertumbuhan dan hasil (Suardi, 2002).
Batang terdiri atas beberapa ruas yang disebut buku, daun dan tunas
(anakan) tumbuh pada buku. Pada permukaan stadia tumbuh batang yang terdiri
atas pelepah-pelepah daun dan ruas-ruas yang tertumpuk padat. Ruas-ruas tersebut
kemudian memanjang dan berongga setelah tenaman memasuki stadia
reproduktif. Jumlah buku sama dengan jumlah daun ditambah dua, yakni satu

Universitas Sumatera Utara

7

buku untuk tumbuhnya koleoptil dan yang satu lagi buku terakhir yang menjadi
dasar malai. Ruas yang terpanjang adalah ruas teratas dan panjangnya berangsur
menurun sampai keruas yang terbawah dekat permukaan tanah. Perpanjangan ruas
pada varietas-varietas berumur genjah, perpanjangan ruas dimulai sekitar inisiasi
primordial malai. Sebaliknya, pada varietas-varietas berumur dalam perpanjangan
ruas terjadi sebelum inisasi primordial malai (Makarim dan Surtatik, 2009)
Daun tanaman padi tumbuh pada batang dalam susunan yang berselangseling satu daun pada tiap buku. Tiap daun terdiri atas helai daun, pelepah daun
yang membungkus ruas, telinga daun (auricle), lidah daun (ligule). Adanya teliga
dan lidah daun pada padi dapat digunakan untuk membedakannya dengan rumputrumputan pada stadia bibit (seedling) karena daun rumput-rumputan hanya

memiliki lidah atau teliga daun atau tidak ada sama sekali (Makarim dan Surtatik,
2009).
Daun teratas disebut daun bendera yang posisi dan ukurannya tampak
bebeda dengan daun yang lain. Satu daun pada awal-awal fase tumbuh
memerlukan waktu 4-5 hari untuk tumbuh secara penuh, sedangkan untuk fase
tumbuh selanjutnya diperlukan waktu yang lebih lama, yakni 8-9 hari. Jumlah
daun pada setiap tanaman tergantung pada varietas (Makarim dan Surtatik, 2009).
Bunga padi secara keseluruhan disebut malai. Tiap unit bunga padi pada
malai disebut spikelet yang pada hakikatnya adalah bunga yang terdiri atas
tangkai, bakal buah, lemma, palea, putik dan benang sari serta beberapa organ lain
yang bersifat inferior. Tiap unit bunga padi pada hakikatnya adalah floret yang
hanya terdiri atas satu bunga dan satu bunga terdiri atas satu organ betina (pistil)
dan 6 organ jantan (stamen). Stamen memiliki dua sel kepala sari yang ditopang

Universitas Sumatera Utara

8

oleh tangkai sari berbentuk panjang, sedangkan pistil terdiri atas satu ovul yang
menopang dua stigma melalui stile pendek (Makarim dan Surtatik, 2009).

Pada dasar bunga dekat palea ada dua struktur transfaran yang dinamakan
lodikula (lodicules) yang menembus lemma dan palea yang terpisah sewaktu
pembungaan agar pemanjangan benang sari (stamens) dapat tersembul dari floret
yang membuka. Lemma dan palea tertutup setelah kepala sari (anthers)
menyerbukkan tepung sarinya (pollen). Malai tanaman padi terdiri atas 8-10 buku
yang menghasilkan cabang-cabang primer dan cabang primer selanjutnya
menghasikan cabang skunder. Tangkai buah (pedicel) tumbuh dari buku-buku
cabang primer maupun cabang skunder (Makarim dan Surtatik, 2009).
Pola pertumbuhan tanaman padi ada 3 fase yaitu fase generatif, vegetatif
dan fase pematangan gabah. Fase vegetatif dimulai dari saat berkecambah sampai
dengan inisiasi primordial malai, fase generatif dimulai dari pembungaan sampai
gabah matang. Lama fase vegetatif tidak sama untuk setiap varietas sehigga
menyebabkan terjadinya perbedaan umur panen, sedangkan fase generatif dan
pematangan gabah pada umumnya sama setiap varietas (Balai Penelitian Tanaman
Padi 2007). Selanjutnya Manurung dan Ismunadji (1988), menyatakan bahwa fase
generatif ditandai dengan pembentukan anakan yang aktif, bertambah tingginya
tanaman dan daun tumbuh secara teratur. Sedangkan lama fase reproduktif dan
pematangan gabah dipengaruhi oleh faktor genetik yaitu masing-masing 30 hari.
Fase pertumbuhan generatif adalah pembentukan malai sampai pembungaan
dan pematangan biji. Pada fase generatif pertumbuhan dan perkembangan malai

muda meningkat dan berkembang keatas didalam pelepah daun bendera

Universitas Sumatera Utara

9

mengembung (bulge). Pengembangan pelepah daun bendera ini disebut bunting
(Balai Penelitian Tanaman Padi 2007).
Pembungaan terjadi setelah keluarnya malai yang ditandai dengan
kemunculan ujung malai dari pelepah daun bendera peristiwa ini disebut heading.
Malai terus berkembang sampai keluar seutuhnya dari pelepah daun, pada
umumnya floret (kelopak bunga) membuka pada pagi hari (IRRI 1997).
Fase pemasakan gabah merupakan fase terakhir dari perkembagan
pertumbuhan tanaman padi, yang ditandai dengan menuanya daun dan terhentinya
pertumbuhan gabah, terjadi perubahan warna gabah menjadi menguning cerah.
Ada tiga tahapan dalam pemasakan/pematangan gabah yaitu, tahap pertama gabah
matang susu, tahap kedua gabah setengah matang (dough grain stage) dan tahap
ketiga gabah matang penuh dan siap panen (Prasetyo, 1996).

2.2


Varietas Padi Gogo
Varietas unggul merupakan salah satu komponen teknologi yang memiliki

peranan nyata dalam meningkatkan produksi dan kualitas hasil komoditi
pertanian. Selama ini sumbangan varietas unngul terhadap peningkatan produksi
padi nasional cukup besar (Soewito et al. 2005).
Uphoff (2001), menyampaikan bahwa sistem budidaya padi gogo umumnya
memakai sebanyak 3-5 benih dalam satu lobang tanam. Apabila terjadi pemberian
benih yang terlalu banyak dalam satu lobang tanam maka akan menimbulkan
terjadinya persaingan unsur hara dan ruang gerak untuk perkembangan akar serta
anakan akan semkin sempit sehingga mengakibatkan pertumbuhan terhambat dan
produksinya rendah.

Universitas Sumatera Utara

10

Salah satu upaya meningkatkan produksi padi gogo yaitu melalui
penggunaan varietas unggul baru dengan pemberian pupuk yang tepat. Teknologi

pemupukan merupakan salah satu faktor penentu didalam meningkatkan produksi
pangan. Sejalan dengan perkembangan dan kemajuan teknologi pemupukan serta
terjadinya perubahan status hara di dalam tanah maka rekomendasi pemupukan
yang telah ada perlu diteliti lagi dan disempurnakan (Kasniari dan Supadma,
2007).
Kondisi lahan kering tadah hujan yang tergantung air hujan untuk
kebutuhan airnya dan seringkali dengan intensitas curah hujan yang tidak pasti
menyebabkan tanaman padi gogo sangat beresiko mengalami cekaman
kekeringan. Sehingga varietas padi yang ditanam harus yang toleran kekeringan
dan berumur pendek. Umumnya padi dengan karakteristik seperti ini adalah padi
lokal dengan daya hasil yang rendah (Taslim at al. 1993).
Sadimantara (2013), menyampaikan bahwa upaya peningkatan beras
nasional melalui pengembangan budidaya padi selain padi sawah perlu dilakukan.
Pengembangan budidaya padi gogo merupakan salah satu alternatif peningkatan
produksi padi nasional, mengingat lahan kering yang berpotensi untuk budidaya
padi tersebut tersedia cukup.
Cukup banyak varietas padi gogo yang telah dikenal petani. Sejak tahun
1960-2002, Badan Litbang Pertanian telah berhasil melepas 30 varietas unggul
padi gogo, baik hasil pemutihan varietas lokal, introduksi dari luar negeri maupun
dari program pemuliaan (Balai Penelitian Tanaman Padi 2005).

Iwo dan Obok (2010), ada perbedaan yang signifikan pada jumlah hari
hingga 50% berbunga, jumlah anakan setelah matang, anakan produktif, biji-

Universitas Sumatera Utara

11

bijian/malai dan hasil gabah. FARO 43, FARO 49 dan NERICA-1 telah berbunga
50% pada periode yang sama menunjukkan hasil berbeda secara signifikan
(PL.05) dari FARO 46, yang merupakan genotipe matang awal dan FARO 48,
akhir genotif pematang.
Imolehin dan Wada (2000), seperti yang dilaporkan Kamura (1956), selain
matang awal, kemampuan anakan dan produktivitas padi merupakan parameter
yang baik yang mempengaruhi hasil gabah yang positif. FARO 48 memiliki
jumlah tertinggi jumlah anakan dan NERICA-1 dengan anakan produktif yang
paling sedikit.

2.3

Krakteristik Lahan Gambut

Lahan gambut di Indonesia diperkirakan mencapai 20 juta ha. Lokasi tanah

gambut tersebar luas terutama di Pulau Sumatera 6,8 juta ha, dan sebagian besar
(4 juta ha) diantaranya berada di Kepulauan Riau (Mutalib,1991).
Pada kondisi alami, tanaman pertanian umumnya sulit tumbuh dilahan
gambut disebabkan faktor penghambat yang dimiliki lahan gambut begitu
komplek mencakup kesuburan kimia, fisika dan biologi yang kurang
menguntungkan. Hal ini antara lain disebabkan pH rendah, kejenuhan bassa
rendah, KTK tinggi, rasio C/N tinggi sehingga ketersediaan hara makro dan mikro
rendah, aktivitas mikrobia rendah adanya pengaruh intrusi garam dan lapisan
sulfat masam, draenase buruk, daya dukung tanah rendah dan berbagai faktorfaktor penghambat lainnya seperti keberadaan asam organik yang bersifat toksik.
Kondisi demikian tidak menunjang terciptanya laju penyediaan hara yang
memadai bagi tanaman. Kandungan bahan organik yang tinggi menyebabkan hara

Universitas Sumatera Utara

12

mikro membentuk senyawa kompleks dengan asam organik dan tidak mudah
tersedia (Rachim, 1995).

Lahan gambut bersifat sangat masam karena kadar asam-asam organik
sangat tinggi dari hasil pelapukan bahan organik. Sebahagian dari asam-asam
organik tersebut, khususnya golongan asam fenolat bersifat racun menghambat
perakaran tanaman, sehingga pertumbuhan tanaman sangat terganggu. Amelioran
diperlukan untuk mengatasi kendala reaksi tanah masam dan keberadaan asam
organik beracun, sehingga perakaran tanaman menjadi lebih baik. Amelioran
alami yang mengandung kation polivalen (Fe, Al, Cu, dan Zn) seperti terak baja,
tanah mineral laterit atau lumpur sungai sangat efektif mengurangi dampak buruk
asam fenolat (Subiksa, 2009).
Upaya peningkatan produktivitas lahan gambut dengan pemberian
amelioran tanah mineral telah lama dipraktekkan di daerah pertanian gambut
dalam di Hokaido Jepang, Belanda, Rusia dan Jerman (Hartatik, 2008).
Tingginya kandungan Fe dari amelioran tanah mineral dapat mengurangi
pengaruh buruk dari asam-asam fenolat melalui adsorpsi kation pada tapak reaktif
gambut. Disamping itu adanya kation Fe dapat meningkatkan ikatan kation dan
anion sehingga konservasi terhadap unsur hara yang berasal dari pupuk menjadi
lebih baik (Handayani, 2002).
Gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tumbuhan yang telah mati, baik
yang sudah lapuk maupun belum. Timbunan terus bertambah karena proses
dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob dan atau kondisi lingkungan lainnya

yang

menyebabkan

rendahnya

tingkat

perkembangan

biota

pengurai.

Pembentukan tanah gambut merupakan proses geogenik yaitu pembentukan tanah

Universitas Sumatera Utara

13


yang disebabkan oleh proses deposisi dan tranportasi, berbeda dengan proses
pembentukan tanah mineral yang pada umumnya merupakan proses pedogenik
(Hardjowigeno, 1989).
Secara umum dalam klasifikasi tanah, tanah gambut dikenal sebagai
Organosol atau Histosols. Berdasarkan kedalamannya gambut dibedaan menjadi:
gambut dangkal (50-100 cm), gambut sedang (100-200 cm), gambut dalam (200300 cm) dan gambut sangat dalam (> 300 cm). Tanah gambut mengandung unsur
mikro yang sangat rendah dan diikat cukup kuat (khelat) oleh bahan organik
sehingga tidak tersedia bagi tanaman. Selain itu adanya kondisi reduksi yang kuat
menyebabkan unsur mikro direduksi kedalam bentuk yang tidak tersedia bagi
tanaman. Kandungan unsur mikro pada tanah gambut dapat ditingkatkan dengan
menambahkan tanah mineral atau menambahkan pupuk mikro (Agus dan Subiksa,
2008).
Pada kondisi alami, tanaman pertanian pada umumnya sulit tumbuh dilahan
gambut disebabkan faktor penghambat yang dimiliki tanah gambut begitu
komplek

mencakup

kesuburan

kimia,

fisik

dan

biologi

yang kurang

menguntungkan (Zuraida, 2013).
Kandungan serat gambut merupakan ukuran derajat dekomposisi yang
mencerminkan struktur tanah, porositas dan distribusi porinya. Bahan yang relatif
belum terdekomposisi mempunyai porositas yang tinggi dengan proporsi pori-pori
besar yang tinggi. Porositas total tanah gambut relatif tinggi, umumnya dalam
kisaran 70–95%. Porositas total menurun dengan meningkatnya dekomposisi dan
hal tersebut sangat menentukan besarnya pengikatan air oleh tanah gambut. Daya
hantar air tanah gambut ke arah vertikal sangat rendah, sedangkan ke arah lateral

Universitas Sumatera Utara

14

relatif tinggi dan menurun dengan meningkatnya dekomposisi (Radjagukguk,
2000).
Menurut Widjaja (1992), berdasarkan tingkat ketebalan gambutnya, gambut
dapat digolongkan ke dalam gambut dangkal (50-100 cm) dan gambut sedang
(100-200 cm). Ketebalan gambut yang berbeda-beda dapat mempengaruhi tingkat
kesuburan gambut. Semakin tebal gambut kesuburannya semakin menurun
sehingga tanaman akan sulit mencapai lapisan mineral yang berada di lapisan
bawahnya. Ketebalan gambut juga mempunyai pengaruh yang cukup signifikan
terhadap produktivitas lahan, sehingga ketebalan gambut menjadi salah satu
pertimbangan utama dalam pengelolaan lahan untuk pengembangan pertanian.
Tanah gambut mempunyai kapasitas mengikat air (water holding capacity)
yang relatif sangat tinggi atas dasar berat kering. Kapasitas mengikat air
maksimum untuk gambut fibrik adalah 580–3,000%, untuk gambut hemik 450–
850% dan untuk gambut saprik < 450%. Gambut akan berubah menjadi hidrofob
(menolak air) kalau terlalu kering (Notohadiprawiro, 1997).
Tim Sintesis Kebijakan (2008), menyampaikan bahwa tanah gambut yang
dibuka dan mengalami pengeringan karena drainase maka gambut akan ’kempes’
atau mengalami subsidence sehingga terjadi penurunan permukaan tanah. Bila
tanah gambut mengalami pengeringan yang berlebihan, koloid gambut menjadi
rusak dan terjadi gejala kering tak balik (irreversible drying). Gambut berubah
seperti arang dan tidak mampu lagi menyerap hara dan menahan air, sehingga
pertumbuhan tanaman dan vegetasi menjadi kerdil dan merana.
Kadar air tanah gambut berkisar antara 100–1,300% dari berat keringnya
(Mutalib et al. 1991). Artinya bahwa gambut mampu menyerap air sampai 13 kali

Universitas Sumatera Utara

15

bobotnya. Dengan demikian, sampai batas tertentu, kubah gambut mampu
mengalirkan air ke areal sekelilingnya. Kadar air yang tinggi menyebabkan BD
menjadi rendah, gambut menjadi lembek dan daya menahan bebannya rendah
(Nugroho et al. 1997).
Dalam mengaplikasikan teknologi pengelolaan lahan gambut harus
mempertimbangkan dan memperhatikan sifat fisik sebelum lahan gambut dibuka
untuk lahan pertanian. Sifat fisik antara lain adalah ketebalan dan kematangan
tanah gambut, berat jenis (bulk density), subsidence (penurunan permukaan
lapisan tanah gambut) dan sifat kering tak balik (irreversible drying). Jika
pembukaan lahan gambut untuk pertanian tidak mengindahkan sifat fisik maka
akan mengalami kegagalan (Susanti, 2011).
Kerapatan lindak atau bobot isi (bulk density-BD) 0,30 g/cm3. Tanah
gambut dengan kandunganbahan organik (> 38% C-organik) lebih dari 65%
mempunyai kerapatan lindak untuk gambut fibrik 0,11-0,12 g/cm3, untuk hemik
0,14-0,16 g/cm3, dan untuk saprik 0,18-0,21 g/cm3. Bila kandungan bahan organik
antara 30-60%, kerapatan lindak untuk hemik adalah 0,21-0,29 g/cm3 dan saprik
0,30-0,37g/cm3.

Nilai kerapatan lindak

sangat

ditentukan

oleh

tingkat

pelapukan/dekomposisi bahan organik dan kandungan mineral. Porositas gambut
yang dihitung berdasarkan kerapatan lindak dan bobot jenis berkisar antara 7595% (Tim Sintesis Kebijakan, 2008).
Rendahnya BD gambut menyebabkan daya menahan atau menyangga beban
(bearing capacity) menjadi sangat rendah. Hal ini menyulitkan beroperasinya
peralatan mekanisasi karena tanahnya yang empuk. Gambut juga tidak bisa
menahan pokok tanaman tahunan untuk berdiri tegak (Sinuraya, 2010).

Universitas Sumatera Utara

16

Pengaruh buruk dari derivat asam-asam fenolat pada lahan gambut dapat
dikurangi dengan pemberian kation-kation polivalen seperti Al, Fe, Cu, dan Zn
Penurunan asam-asam fenolat disebabkan oleh adanya erapan kation-kation
polivalen oleh tapak reaktif tanah gambut sehingga membentuk senyawa
kompleks. Koloid asam-asam humat dan asam fulvat diendapkan dengan elektrolit
yang dipengaruhi oleh faktor-faktor pH, sifat elektrolit dan konsentrasi koloid
(Rachim 1995; Prasetyo 1996; Saragih 1996). Dari beberapa hasil penelitian yang
telah dilakukan (Prasetyo 1996; Rachim 1995; Saragih, 1996) menunjukkan
kation Cu2+, Zn2+, Na+, Al3+, Fe2+ dan Fe3+ dapat mengurangi pengaruh buruk
asam-asam organik dalam tanah gambut melalui mekanisme erapan kation pada
tapak reaktif gambut dan pembentukan senyawa kompleks.

2.4

Pengelolaan Lahan Gambut untuk Pertanian
Keberhasilan pemanfaatan gambut untuk usaha budidaya masih jauh dari

yang diharapkan, karena ada kendala yang berasal dari sifat-sifat gambut bawaan
(inherent properties) serta paket teknologi reklamasi yang diterapkan belum
memadai (Zuraida, 2013).
Tanah gambut sebagai media tumbuh tanaman memerlukan berbagai input
untuk menciptakan kondisi optimal bagi pertumbuhan dan perkembangan
tanaman yang dibudidayakan. Variasi input yang pernah dilakukan adalah
pemberian pupuk P, Cu, pengapuran, pemberian abu, aplikasi manure, pemberian
tanah mineral, pengolahan tanah serta melakukan seleksi pada tanaman budidaya
yang mampu beradaptasi pada lingkungan tanah gambut. Tanah mineral
mengandung Fe, Mn, Cu dan Zn lebih tinggi dibandingkan bahan ameliorasi yang

Universitas Sumatera Utara

17

lainnya. Tingginya konsentrasi Fe pada tanah mineral dapat menurunkan aktivitas
asam fenol (Handayani, 2002).
Bertham (1996), melaporkan bahwa pemberian pupuk CuSO 4 dosis 10
kg/ha pada lahan gambut Air Hitam Bengkulu dapat memperbaiki keragaan dan
pertumbuhan tanaman padi sawah. Kenampakan yang nyata terjadi pada
peningkatan jumlah anakan setelah 30 HST dan tinggi tanaman pada 60 HST.
Hasil percobaan ini juga menunjukkan bahwa penambahan pupuk Cu telah
mengurangi jumlah gabah hampa. Hal ini memberikan indikasi bahwa
peningkatan produksi padi sawah di lahan gambut memerlukan input unsur mikro,
khususnya Cu. Pemupukan Cu juga meningkatkan ketahanan tanaman padi
terhadap serangan hama dan penyakit akibat adanya peningkatan lignin pada
dinding sel tanaman.
Mengurangi pengaruh buruk asam-asam organik beracun juga dapat
dilakukan dengan penambahan bahan-bahan yang banyak mengandung kation
polivalen seperti terak baja, tanah mineral Laterit/Oxisols atau lumpur sungai.
Pemberian tanah mineral berkadar besi tinggi dapat meningkatkan pertumbuhan
dan produksi tanaman padi (Salampak, 1999), namun pemberian yang berlebihan
> 7,5% erapan maksimum Fe, pertumbuhan tanaman cendrung tertekan. Hal ini
diperkuat oleh penelitian Rachim (1995), pemberian Al, Fe dan Cu yang terlalu
tinggi, kemasaman tanah akan meningkat dan pertumbuhan tanaman cendrung
terganggu.

Universitas Sumatera Utara

18

2.5

Tanah Mineral sebagai Amelioran
Lahan gambut bersifat sangat masam karena kadar asam-asam organik

sangat tinggi dari hasil pelapukan bahan organik. Sebagian dari asam-asam
organik tersebut, khususnya golongan asam fenolat, bersifat racun dan
menghambat perkembangan akar tanaman, sehingga pertumbuhan tanaman sangat
terganggu. Ameliorasi diperlukan untuk mengatasi kendala reaksi tanah masam
dan keberadaan asam organik beracun, sehingga media perakaran tanaman
menjadi lebih baik. Amelioran alami yang mengandung kation polivalen (Fe, Al,
Cu, dan Zn) seperti terak baja, tanah mineral laterit atau lumpur sungai sangat
efektif mengurangi dampak buruk asam fenolat (Subiksa, 2009).
Upaya

peningkatan

produktivitas lahan

gambut

melalui

teknologi

pencampuran dengan tanah mineral telah lama dipraktekkan di daerah pertanian
gambut dalam di Hokaido Jepang, Belanda, Rusia dan Jerman (Hartatik, 2008).
Beberapa penelitian untuk meningkatkan efisiensi pemupukan dan sekaligus
meningkatkan produktivitas gambut Indonesia telah dilakukan. Halim (1987),
melakukan pencampuran dengan tanah mineral berasal dari tanggul sungai
(levee). Rachim (1995), menggunakan bahan tanah sulfat masam untuk
meningkatkan hasil dan dapat diaplikasikan secara baik.
Pemberian tanah mineral berkadar besi tinggi sampai dosis 7,5% serapan
maksimum mampu menurunkan konsentrasi asam-asam fenolat sekitar 30% dan
meningkatkan produksi padi. Pemberian tanah mineral juga dapat memperkuat
ikatan-ikatan kation dan anion sehingga konservasi terhadap unsur hara yang
berasal dari pupuk menjadi lebih baik (Hartatik, 1998).

Universitas Sumatera Utara

19

Untuk meningkatkan efektivitas pengendalian asam-asam fenolat pada
gambut maka diperlukan bahan amelioran insitu yang mempunyai kadar Fe, Al
dan Cu yang tinggi dan dibuat dalam bentuk formula yang tepat dengan
mempertimbangkan jenis asam fenolat yang dominan dalam gambut yang akan
diameliorasi (Hartatik, 2008). Adanya peningkatan nilai Ca-dd dan Mg-dd akibat
pemberian bahan amelioran di tanah gambut hemik. Pemberian bahan amelioran
pada tanah gambut juga sangat nyata meningkatkan pH H 2 O, K-dd, Na-dd, Ca-dd,
Mg-dd, dan Kejenuhan basa. Namun tidak nyata menurunkan kapasitas tukar
kation (KTK) (Zuraida, 2013).
Subiksa (2009), menyampaikan bahwa kekurangan unsur mikro dapat
menyebabkan bunga jantan steril sehingga terjadi kehampaan pada tanaman padi,
tongkol kosong pada jagung atau polong hampa pada kacang tanah.
Hasil penelitian Nurhayati (2013), menunjukkan bahwa perlakuan amelioran
berpengaruh sangat nyata terhadap peubah jumlah bintil akar tananman kedelai,
derajat infeksi mikoriza dan berpengaruh nyata terhadap peningkatan tinggi
tanaman umur 5 minggu setelah tanam.Selanjutnya Zuraida (2013), menyatakan
bahwa pemberian amelioran pada tanah gambut sangat nyata meningkatkan pH
H 2 O, K-dd, Na-dd, Ca-dd, Mg-dd dan kejenuhan basa.
Salampak (1999), pemberian tanah mineral berkadar besi tinggi samapai
dosis 7,5% atau setara dengan 7,5 ton per ha tanah mineral untuk tanah gambut
Berengbengkel, 10 ton per ha untuk gambut transisi Sampit, 11,9 ton per ha untuk
gambut pantai Samuda mampu meningkatkan produksi padi 2,51 ton per ha atau
sekitar 400% (gambut pantai Samuda) dan 2,18 ton per ha atau sekitar 300%
(gambut transisi, Sampit).

Universitas Sumatera Utara

20

Efektivitas pengendalian asam-asam fenolat dapat ditingkatkan dengan
pemberian amelioran tanah mineral yang berkadar Fe tinggi melalui pembentukan
senyawa kompleks organik-Fe. Rata-rata kelarutan Fe dari tanah mineral sebesar
13%. Dosis kebutuhan bahan amelioran tanah mineral masing-masing pada 2,5; 5;
7,5; dan 10% adalah berturut-turut sebesar 7,3; 14,6; 21,8 dan 29,1 ton/ha
(Hartatik, 1998).

Universitas Sumatera Utara