Peranan Mediator dalam Penyelesaian Sengketa Pembagian Waris Poligami (Studi Akta Perdamaian Notaris Mediator Nomor 40 Tanggal 23 Juni 2011)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum waris Islam merupakan salah satu bagian dari Hukum Islam.Oleh
sebab itu pengertian hukum waris Islam haruslah didahului dengan memahami
pengertian hukum dan Islam. Berbicara tentang hukum, paling tidak ada empat
komponen yang harus ada yaitu peraturan-peraturan atau komponen yang harus ada
yaitu peraturan-peraturan seperangkat norma yang mengatur tingkah laku manusia
dalam suatu masyarakat, dibuat memiliki sanksi yang jelas/tegas.
Hukum dapat berupa bentuk tidak tertulis seperti hukum adat, mungkin juga
berupa hukum tertulis dalam peraturan perundang-undangan. Hukum dalam konsepsi
seperti hukum tertulis ini adalah hukum yang sengaja dibuat oleh manusia untuk
mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan mengatur berada di
masyarakat.
Pada dasarnya hukum waris yang berlaku dan diterima masyarakat Indonesia
ada tiga yaitu, hukum waris adat, hukum waris Islam dan hukum waris perdata (BW).
Ditinjau dari segi kodratnya, manusia pada dasarnya memiliki sifat yang kurang puas.
Dimana sifat yang kurang puas tersebut selalu berusaha untuk memenuhinya, apabila
telah terpenuhi kemudian timbul kebutuhan lain yang ingin dipenuhi sehingga
menimbulkan ketidakpuasan atas dirinya sendiri dan bahkan menimbulkan kerugian

pada pihak lain.

1

Universitas Sumatera Utara

2

Manusia memiliki berbagai kebutuhan di dalam hidupnya. Untuk dapat
memenuhi kebutuhan tersebut, di dalam berhubungan dengan manusia lain
diperlukan keteraturan. Keadilan dan kepastian hukum merupakan salah satu
kebutuhan yang penting dalam masyarakat. Untuk itu, masyarakat membuat aturan
hukum untuk dipatuhi dan akan ditegakkan bila terjadi pelanggaran. Namun, seiring
dengan berjalannya waktu, konflik-konflik hukum yang terjadi di masyarakat menjadi
semakin meningkat sehingga menghambat jalannya proses penegakan.
Sejarah mencatat,1 bahwa dalam kehidupan manusia tidak dapat terhindar
dari

konflik, Al-Qur`an menggambarkan menusia sebagai Khalīfah-Nya di bumi,


mendapat tantangan dari malaikat. Malaikat khawatir dengan keberadaan manusia
sebagai khalifahfil ardh, karena manusia cenderung melakukan kerusakan dan
pertumpahan darah di muka bumi.Malaikat mempertanyakan kenapa Allah
menjadikan manusia sebagai khalifah, dan “bukankah kami yang selalu mengabdi dan
menyucikan diri-Mu”.
Dialog malaikat dengan Allah, dijelaskan Allah dalam al-Qur`an Surah AlBaqarah /Q.S. 2 : 30.
Dan (ingatlah) Ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku
hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata , “Apakah Engkau
hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana,
sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia
berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu mengetahui.”2

Kasus Hābil dan Qābil yang dilukiskan al-Qur`an merupakan bukti sejarah konflik dan
kekerasan serta pertumpahan darah pertama dilakukan manusia di bumi.
2
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Pustaka Agung Harapan,
2006), hal 6.
1

Universitas Sumatera Utara


3

Ayat ini dimulai dengan menyampaikan keputusan Allah kepada para
malaikat tentang rencana-Nya menciptakan manusia di bumi. Penyampaian kepada
mereka penting, karena malaikat akan dibebani sekian tugas menyangkut manusia;
ada yang akan bertugas mencatat amal-amal manusia, ada yang bertugas
memeliharanya, ada yang membimbingnya, dan sebagainya. Kasus ini menarik untuk
dicermati sebagai awal start berpikir memperhatikan peristiwa

konflik dalam

kehidupan manusia sejak awal sampai kini dan memikirkan dimasa yang akan datang.
Konflik dikalangan manusia adalah seumur dengan manusia itu, baik yang
terjadi pada diri seseorang seperti terjadinya kesenjangan antara keinginan dan
kenyataan dalam diri.Jika diperhatiakan sejarah kehidupan kita dapat menemukan
berbagai macam bentuk konflik, baik yang berbentuk perorangan, kelompok, suku,
agama dan ras demikian pula konflik antara bangsa. Dalam suatu negara banyak pula
terjadi konflik, baik yang menyangkut politik, ekonomi dan konflik dalam keluarga
yang tidak ada habisnya.3

Dalam negara hukum konflik masyarakat dapat berlanjut menjadi sengketa
atau perkara di pengadilan. Secara faktual dapat disaksikan konflik yang meningkat
menjadi sengketa di pengadilan dan telah banyak hal menimbulkan problem,
diantaranya bertumpuknya perkara kasasi di Mahkamah Agung, berkurangnya
kepercayaan masyarakat pada lembaga peradilan di Indonesia, banyak kerusuhan
terjadi di pengadilan dan telah menelan korban jiwa, baik dari pihak yang bersengketa
maupun pihak pengadilan serta pihak pengamanan.
3

Ibid. hal. 7

Universitas Sumatera Utara

4

Masalah konflik berpasangan sering terjadi, karena segala sesuatu diciptakan
dalam keadaan berpasang-pasangan sebagaimana firman Allah Swt.dalam al-Qur`an
Surah Yā Sin/ Q. S. 36 : 36 yang artinya : Mahasuci (Allah) yang telah menciptakan
semuanya pasangan-pasangan, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari
diri mereka sendiri, maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.4

Demikian juga firman Allah Swt. dalam al-Qur`an Surahal-Dzāriyat/Q.
S.51:49 yang artinya : Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasngan agar
kamu mengingat (kebesaran Allah).5
Dari ayat tersebut ditegaskan bahwa segala sesuatu diciptakan dalam bentuk
berpasang-pasangan termasuk pasangan konflik dan damai, konflik harus
ditanggulangi dan damai harus dilestarikan agar kemaslahatan hidup manusia dunia
dan akhirat dapat terwujud. Hal itulah yang menjadi salah satu sebab hukum
diperlukan untuk menjamin ketertiban hidup manusia.
Konflik yang masuk di pengadilan harus ditangani secara profesional terutama
yang berkaitan dengan hukum keluarga, seperti kasus perceraian yang digabung
dengan kasus harta bersama, pemeliharaan anak nafkah serta sengketa kewarisan. Hal
tersebut telah banyak menelan korban, baik berupa materi maupun nyawa. Kenapa
konflik keluarga sangat penting ditanggulangi, karena segala masalah dapat dikatakan
berawal dari keluarga. Hal ini yang dapat menjadi indikasi mengapa al-Qur`anbanyak

4
5

Ibid., hal 628.
Ibid., hal 756.


Universitas Sumatera Utara

5

menampilkan yang menyangkut keluarga, bukan hukum yang mengatur tentang
kenegaraan.
Konflik dapat berlanjut menjadi sengketa dan sengketa perlu ditangani dengan
baik agar terhindar dari persoalan yang lebih besar. Penyelesaian sengketa dapat
ditempuh berbagai cara, diantaranya melalui “Alternative Dispute Resolution(ADR)”
padanannya dalam bahasa Indonesia dapat disebut pilihan penyelesaian Sengketa
(PPS), dapat pula melalu negosiasi, mediasi, arbiterase, dan perdamaian desa.
Penelitian ini yang menjadi pokok masalah adalah mediasi perspektif hukum Islam.
Penyelesaian

sengketa

melalui

mediasi


penyelesaian sengketa melalui “hakam” dan

dapat

dipersamakan

dengan

bentuk operasionalnya adalah

“tahkim”, hal tersebut dikemukakan dalam al-Qur’an. Konflik yang berlanjut menjadi
sengketa di pengadilan banyak terjadi di negara hukum Republik Indonesia, baik
yang bersifat pidana maupun perdata. Dilihat dari subyeknya konflik yang menjadi
sengketa bersifat perorangan, kelompok, dan dapat pula bersifat keluarga.6
Konflik yang terjadi dalam masyarakat berlanjut menjadi perkara apabila yang
berangkutan merasa hak-haknya terganggu kemudian memasukkan atau mengajukan
gugatan di pengadilan dan setelah terdaftar resmi menjadi perkara. Sehubungan
dengan hal tersebut penanganan perkara di Indonesia, sekarang telah menimbulkan
masalah serius bertumpuknya perkara baik di tingkat pertama, banding, maupun

tingkat kasasi.

6

Ibid., hal 758

Universitas Sumatera Utara

6

Landasan filosofis tentang penyelesaian konflik melalui mediasi pernah
dilaksanakan oleh Muhammad Rasulullah Saw., baik sebelum menjadi rasul maupun
setelah menjdi rasul. Proses penyelesaian konflik (sengketa) dapat ditemukan dalam
peristiwa peletakan kembali `Hajar Aswad (batu hitam pada sisi kakba) dan
perjanjian hudaibiyah.Kedua peristiwa ini dikenal baik oleh kaum muslimin di
seluruh dunia, dan karena itu diterima secara umum. Peletakan kembali Hajar Aswad
dan perjanjian Hudaibiyah memiliki nilai dan strategi resolusi konflik (sengketa)
terutama mediasi dan negoisasi, sehingga kedua peristiwa ini memiliki perspektif
yang sama yaitu mewujudkan perdamaian.7
Mediasi sebagai salah satu mekanisme penyelesaian sengketa alternatif di luar

pengadilan sudah lama dipakai dalam berbagai kasus-kasus bisnis, lingkungan hidup,
perburuhan, pertanahan, perumahan, sengketa konsumen dan sebagainya yang
merupakan perwujudan tuntutan masyarakat atas penyelesaian sengketa yang cepat,
efektif dan efisien.8
Secara etimologi, istilah mediasi berasal dari bahasa Latin, yaitu ; “mediare”
yang berarti berarti berada ditengah. Makna ini menunjuk pada peran yang
ditampilkan pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi
dan menyelesaikan sengketa antara para pihak.“Berada di tengah” juga bermakna
mediator harus berada pada posisi netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan
7
Hamadi Redissi dan Jon-Erik Lane, “Does Islam Partivide a Theory of Violence”, dalam
Amelie Blom, Laetitia Bucaille dab Luis Martinez, The Enigma of Iaslamits Violence, (New York:
Columbia University Press, 2007), hal 48.
8
Bambang Sutiyono, Penyelesaian Sengketa Bisnis, Solusi dan Antisipasi bagi Peminat
Bisnis dalam Menghadapi Sengketa Kini dan Mendatang.(Yogyakarta, Citra Media, 2001), hal 53.

Universitas Sumatera Utara

7


sengketa. Mediator harus mampu menjaga kepentingan para pihak yang bersengketa
secara adil dan sama, sehingga menumbuhkan kepercayaan (trust) dari pihak yang
bersengketa.9
Mediasi merupakan alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan, yang
bersifat suka rela atau pilihan. Akan tetapi dalam konteks mediasi di pengadilan,
ternyata mediasi di pengadilan bersifat wajib. Hal ini mengandung arti proses mediasi
dalam penyelesaian sengketa di pengadilan harus terlebih dahulu dilakukan
penyelesaiannya melalui perdamaian. Pihak-pihak yang bersengketa di muka
pengadilan, terlebih dahulu harus menyelesaikan persengketaannya melalui
perdamaian atau perundingan dengan dibantu oleh mediator.
Sebagaimana diketahui penyelesaian sengketa melalui perdamaian dengan
menempuh mediasi dipengadilan, dibantu oleh mediator. Mediator inilah yang
nantinya yang nantinya akan membantu para pihak yang berperkara dalam proses
perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa.
Di Indonesia, Pancasila sebagai dasar filosofi kehidupan bermasyarakatnya,
telah mengisyaratkan bahwa asas penyelesaian sengketa melalui musyawarah untuk
mufakat lebih diutamakan, seperti tersirat juga dalam Undang-Undang Dasar 1945.10
Dalam mediasi, mediator memperlakukan sengketa sebagai suatu peluang
untuk membantu para pihak memahami pandangan masing-masing dan membantu


9

Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, Hukum Nasional,
(Jakarta: Kencana,2009), hal 1-2
10
Joni Emirzon. 2011. Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Negosiasi,
Mediasi, Konsolidasi, dan Arbitrase). (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama), hal 8.

Universitas Sumatera Utara

8

mencari

persoalan-persoalan

yang

dianggap

penting

bagi

mereka.Mediator

mempermudah pertukaran informasi, mendorong diskusi mengenai perbedaanperbedaan kepentingan, persepsi, penafsiran terhadap situasi dan persoalan-persoalan
dan membiarkan, tetapi mengatur pengungkapan emosi. Mediator membantu para
pihak memprioritaskan persoalan-persoalan dan menitikberatkan pembahasan
mengenai tujuan dan kepantingan umum.11
Siapa yang dapat bertindak sebagai mediator pada mediasi di pengadilan,
diatur dalam ketentuan Pasal 8 ayat (1) PERMA No. 1 Tahun 2008, yang menentukan
sebagai berikut:
1. Hakim bukan pemeriksa perkara pada pengadilan yang bersangkutan;
2. Advokat atau akademisi hukum
3. Profesi bukan hukum yang dianggap oleh para pihak menguasai atau
berpengalaman dalam sengketa.
4. Hakim majelis pemeriksa perkara
5. Gabungan antara mediator yang disebut dalam butir a dan d atau gabungan
butir b dan d atau gabungan butir c dan d.
Jadi berdasarkan ketentuan dalam Pasal 8 ayat (1) PERMA Nomor 1 Tahun
2008, yang dapat bertindak sebagai mediator adalah hakim, advokat, akademisi
hukum dan profesi lainnya sepanjang yang bersangkutan menguasai atau
berpengalaman dalam pokok sengketa.Hal ini mengandung arti, bahwa para pihak

11

Gary Goodpaster, Tinjauan Terhadap penyelesaian Sengketa, dalam arbitrase di Indonesia,
(Jakarta, Ghalia Indonesia, 2005), hal. 16

Universitas Sumatera Utara

9

yang berperkara dapat memilih salah satu atau lebih diantara mereka untuk menjadi
mediator. Dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tersebut, para pihak dibolehkan
untuk menggunakan jasa mediator lebih dari satu yang terdiri satu yang terdiri atas
hakim

dan

profesi

lainnya

yang

dianggap

memahami

masalah

pokok

sengketa.Konsep ini menyerupai dengan konsep chotei dalam sistem hukum Jepang. 12
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 6 ayat (1) PERMA Nomor 2 Tahun 2003,
yang dapat bertindak sebagai mediator pada setiap pengadilan dapat berasal dari
kalangan hakim dan bukan hakim, yang syaratnya telah memiliki sertifikat sebagai
mediator, bedanya dalam PERMA Nomor 2 Tahun 2003, hakim pemeriksa, baik
sebagai ketua atau anggota majelis dilarang atau tidak diperkenankan bertindak
sebagai mediator bagi perkara yang diperiksanya. Sementara itu bilamana
dibandingkan dengan PERMA Nomor 1 Tahun 2008, maka hakim pemeriksa perkara
tidak dilarang atau diperkenankan saja menjadi mediator bagi perkara yang
diperiksanya bilamana pada pengadilan yang bersangkutan tidak terdapat hakim
bukan hakim pemeriksa perkara.Hakim pemeriksa perkara boleh menjadi mediator
dalam perkara yang diperiksanya menyerupai dengan konsep wakai dalam sistem
hukum Jepang.13
Berkaitan dengan peranan mediator dalam penyelesaian sengketa waris, dalam
penelitian yang dilakukan, ditemukan kasus yang menarik untuk dikaji, terkait
dengan peranan mediator dalam penyelesaian sengketa waris, dimana almarhum
12

Rachmadi Usman, Mediasi di Pengadilan dalam Teori dan Praktik, 2012, (Jakarta : Sinar
Grafika), hal. 84.
13
Ibid

Universitas Sumatera Utara

10

semasa hidupnya melangsungkan pernikahan sebanyak 5 (lima) kali dan dari 5 (lima)
orang istri tersebut almarhum dikaruniai 13 (tiga belas) orang anak. Kasus ini berawal
dari ayahanda penggugat (sebut saja Almarhum A) meninggal dunia dan sebahagian
aset Perseroan almarhum A tersebut (sebut saja PT. ABCD) telah dikuasai tergugat
secara sepihak dan tanpa dasar atau persetujuan dari pemegang saham lainnya (ic.
Para Penggugat, Turut Tergugat II, III dan IV ataupun ahli waris almarhum A
tersebut), namun berdasarkan gugatan dari tergugat tanggal 11 April 2003 yang
didaftarkan di Pengadilan Negeri Medan No. 115/Pdt.G/2003/PN.Mdn (gugatan
terhadap rapat umum pemegang saham yang dilakukan tergugat kepada para
penggugat, baru para penggugat sendiri dan diketahui keberadaan penguasaan asset
perseroan tersebut telah dilakukan oleh tergugat secara melawan hukum. Kasus ini
telah mencapai putusan Pengadilan Tinggi Sumatera Utara dengan nomor
423/PDT/2009/PT-MDN, hingga kedua belah pihak yang bersengketa sepakat untuk
melakukan perdamaian melalui mediator untuk menyelesaikan sengketa waris antara
mereka. Inilah yang menjadi alasan untuk mengkaji dan menelaah putusan tersebut,
dan menjadikan judul: Peranan Mediator dalam Penyelesaian Sengketa
Pembagian Waris Poligami (Studi Akta Perdamaian Notaris Mediator Nomor
40 Tanggal 23 Juni 2011) sebagai judul tesis ini.
B.

Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam

penulisan tesis ini adalah sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

11

1. Bagaimana peranan mediator dalam penyelesaian sengketa pembagian waris
poligami?
2. Bagaimana mekanisme menyelesaikan sengketa pembagian waris poligami
yang dilakukan oleh mediator?
3. Apa saja faktor-faktor yang menghambat mediator dalam menyelesaikan
sengketa pembagian waris poligami?
C. Tujuan Penulisan
Didalam penulisan tesis ini mempunyai beberapa tujuan pokok yang akan
dicapai didalam pembahasan tesis ini. Pembahasan tersebut didukung dengan adanya
pendekatan-pendekatan ilmiah terhadap suatu permasalahan yang akan dibahas pada
bab selanjutnya.
Adapun tujuan penulisan tesis ini adalah:
1. Untuk mengtahui dan menganalisis peranan mediator dalam penyelesaian
sengketa pembagian waris poligami.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis mekanisme penyelesaian sengketa
pembagian waris poligami yang dilakukan oleh mediator.
3. Untuk mengetahui dan menganalisis faktor-faktor apa saja yang menghambat
mediator dalam menyelesaikan sengketa pembagian waris poligami.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah:
1. Secara teoritis.

Universitas Sumatera Utara

12

a. Sebagai sumbangsi pemikiran bagi masyarakat pencari keadilan dan hakim
yang menjalankan fungsi mediator di Pengadilan Agama dalam rangka
memanipestasikan asas wajib mendiasi untuk mendamaikan para pihak
dalam setiap tahap pemeriksaan perkara sesuai ketentuan mediasi dan
hukum Islam.
b. Sebagai sumbangsi pemikiran bagi pengembangan wawasan pemahaman
bidang ilmu hukum pada umumnya dan ilmu hukum Islam pada khususnya
dan meningkatkan keterampilan menulis dalam membuat karya ilmiah.
2. Secara praktis.
Penelitian ini berguna sebagai acuan atau referensi pagi pendidikan
hukum pada umumnya dan penelitian hukum lanjutan pada khususnya
dibidang mediasi di pengadilan.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan tahapan pengajuan judul yang disebutkan di atas telah melalui
tahap penelusuran pada data pustaka di lingkungan Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara dan perolehan informasi bahwa belum adanya pengangkatan judul
yang diajukan ditemukan judul tesis antara lain:
Yunasril (2003) Sengketa Waris dan Upaya Penyelesaiannya pada Masyarakat
adat Minangkabau (Studi kasus di Kabupaten Solok).
Achmad Fadil (2010) Peran dan Pelaksanaan Mediasi Dalam Menyelesaikan
Sengketa Perdata Di Pengadilan Negeri Medan (Analisis Terhadap Perkara Yang
Diselesaikan Melalui Mediasi di Pengadilan Negeri Medan)

Universitas Sumatera Utara

13

Selly Herwina (2011) Peran Hakim Mediator Dalam Menyelesaikan Perkara
Perdata Menurut Perma Nomor 1 Tahun 2008.
Dalam penelitian tesis ini mengambil judul tentang Peranan Mediator Dalam
Penyelesaian Sengketa Pembagian Waris Poligami (Studi Akta Perdamaian Notaris
Sebagai Mediator), jadi penelitian ini belum diteliti oleh peneliti yang lain. Kajian
pada penelitian ini berbeda dari penelitian sebelumnya. Adapun perumusan masalah
yang akan dikaji dalam penulisan ini antara lain tentang Bagaimana peranan mediator
dalam penyelesaian sengketa pembagian waris poligami? Bagaimana mekanisme
penyelesaian sengketa pembagian waris yang dilakukan oleh mediator? Apa saja
faktor-faktor yang menghambat mediator dalam menyelesaikan sengketa pembagian
waris poligami? Perumusan masalah di atas berbeda dari penulisan tesis sebelumnya,
dengan demikian ini keaslian tesis ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1.

Kerangka Teori
Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat mengenai

sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan dan
pegangan teoritis. Kerangka teori merupakan susunan dari beberapa anggapan,
pendapat, cara, aturan, asas, keterangan sebagai satu kesatuan yang logis menjadi
landasan, acuan dan pedoman untuk mencapai tujuan,14 sedangkan teori adalah
penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut tetapi merupakan

14

Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bakti,
2004), hal. 72-73

Universitas Sumatera Utara

14

suatu abstraksi intelektual dimana pendekatan secara rasional digabungkan dengan
pengalaman empiris.15
Teori merupakan keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan, yang
dikemukakan untuk menjelaskan tentang adanya sesuatu, maka teori hukum dapat
ditentukan dengan lebih jauh sebagai suatu keseluruhan pernyatan-pernyataan yang
saling berkaitan dan berkenaan dengan hukum. Dengan ini harus cukup menguraikan
tentang apa yang diartikan dengan unsur teori dan harus mengarahkan diri kepada
unsur hukum. Teori juga merupakan sebuah desain langkah-langkah penelitian yang
berhubungan dengan kepustakaan, isu kebijakan maupun narasumber penting
lainnya.Sebuah teori harus diuji dengan menghadapkannya kepada fakta-fakta yang
kemudian harus dapat menunjukkan kebenarannya.
Fungsi teori dalam penelitian tesis ini adalah untuk memberikan
pedoman/petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati.16Adapun
teori yang akan digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini adalah teori
Tahkim dan teori kepastian hukum.Kata Tahkim dalam bahasa Arab diambil dari akar
kata hakkama-yuhakkimu-tahkiman, yang berarti menjadikan sebagai hakim.17
Tahkim dalam perspektif Islam sering sekali dipandang dengan istilah arbitrase.
1.

Teori Tahkim
Secara etimologi, tahkim berarti menjadikan seseorang sebagai pencegah

suatu sengketa.18 Secara umum, tahkim memiliki pengertian yang sama dengan
arbitrase yang dikenal dewasa ini, yakni pengangkatan seseorang atau lebih sebagai
15

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung : Bandar Maju, 1994), hal.27.
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : Remaja Rosdakarya,
2002),hal. 35.
17
Ibnu Mandzur, Lisanul Arab, (Riyadh:Dasar Aalam Al-Kutub, 2003), hal 350
18
Louis Ma’luf, al-Munjid al-Lughah wa al-Alaam, (Beirut: Dasar al-Masyriq,tt) hal 146
16

Universitas Sumatera Utara

15

wasit oleh dua orang yang berselisih atau lebih guna menyelesaikan perselisihan
mereka secara damai. Orang yang menyelesaikan disebut dengan hakam.
Dalam Hukum Islam, terminologi tahkim diartikan: Berlindungnya dua pihak
yang bersengketa kepada orang yang mereka sepakati dan setujui serta rela menerima
keputusannya untuk menyelesaikan persengketaan mereka.19Kadangkala terma
tahkim didefinisikan juga dengan berlindungnya dua pihak yang bersengketa kepada
orang yang mereka tunjuk sebagai penengah untuk memutuskan / menyelesaikan
perselisihan yang terjadi antara mereka.20Kedua definisi yang disebutkan di atas
menunjukkan bahwa pemilihan dan pengangkatan seorang juru damai (hakam)
dilakukan secara sukarela oleh kedua belah pihak yang terlibat persengketaan.
Menurut Abu al-Alnain Fatah Muhammad, pengertian Tahkim menurut istilah
Fiqih adalah sebagai bersandaranya dua orang yang pertikaian para pihak yang
bersengketa.21 Sedangkan menurut Said Aqil al-Munawwar, pengertian tahkim
menurut kelompok ahli Hukum Islam Mazhab Hanafiyah adalah memisahkan
persengketaan atau menetapkan hukum diantara manusia dengan ucapan yang
mengikat kedua belah pihak yang bersumber dari pihak yang mempunyai kekuasaan
secara umum.22

19

Erman Rajagukguk, Penyelesaian Sengketa Alternatif, (Jakarta: Fakultas Hukum
Universitas Indonesia), hal 57
20
Ibid, hal 58
21
Abu Al-Alnain Fatah Muhammad, Al-Qadha wa al-itsbat Fi al-Fiqh al-Islami, (Kairo:
Dasar al-Fikr, 1976), hal 84
22
Said Agil al-Munawwar, Pelaksanaan Arbitrase di dunia Islam, dalam arbitrase Islam di
Indonesia, (Jakarta: BAMUI & BMI, 1994), hal 48

Universitas Sumatera Utara

16

Adapun pengertian tahkim menurut Hukum Islam kelompok Syafiyyah adalah
memisahkan pertikaian antara pihak yang bertikai atau lebih dengan hukum Allah
atau menyatakan dan menetapkan hukum syara’ terhadap suatu peristiwa yang wajib
dilaksanakannya.23
Ruang lingkup tahkim (arbitrase) syari'ah hanya terkait dengan persoalanperseoalan yang menyangkut haququl ibad (hak-hak perorangan) secara penuh, yaitu
aturan-aturan hukum yang mengatur hak-hak perorangan yang berkaitan dengan harta
bendanya.24
Menurut Wahbah Zuhaily, para ahli hukum islam dikalangan Mazhab
Hanabilah berpendapat bahwa Tahkim berlaku dalam masalah harta benda, qishash,
hudud, nikah, li'an, baik yang menyangkut hak Allah dan hak manusia, sebagaimana
yang dikatakan oleh Imam Ahmad al-Qadhi Abu Ya'la, bahwa tahkim dapat
dilakukan dalam segala hal, kecuali dalam bidang nikah, li'an, qazf dan qishash.25
Sebaliknya, ahli hukum di kalangan mazhab Hanafiyyah berpendapat bahwa
tahkim itu dibenarkan dalam segala hal kecuali dalam bidang Hudud dan Qishash,
adapun dalam ijtihad hanya dibenarkan dalam bidang mu'amalah, nikah, dan thalak
saja.26
Ahli hukum Islam di kalangan Mazhab Malikiyyah mengatakan bahwa tahkim
dibenarkan dalam syari'ah islam hanya dalam bidang harta benda saja, tetapi tidak
23

Ibid, hal 49
Zamakhsyari, Teori-Teori Hukum Islam dalam Fiqih dan Ushul Fiqih, 2013, (Bandung:
Citapustaka Media Perintis, 2013), hal. 77.
25
Wahbah Zuhaily, al-Fiqh al-islami wa Adillatuhu, Juz IV (Damaskus Fikri, 2005), hal 752
26
Ibid, hal 752
24

Universitas Sumatera Utara

17

dibenarkan dalam bidang hudud, qishash, dan li'an, karena masalah ini merupakan
urusan peradilan.27
Pendapat terakhir ini adalah pendapat yang sering dipakai oleh kalangan ahli
hukum Islam.Untuk menyelesaikan perkara yang timbul dalam kehidupan
masyarakat, termasuk juga dalam bidang ekonomi syari'ah.28 Pendapat ini sejalan
dengan apa yang dikemukakan oleh Ibnu Farhun, bahwa wilayah tahkim itu hanya
berhubungan dengan harta saja, tidak termasuk dalam bidang hudud dan qishash.
Di Indonesia, sebagaimana tersebut dalam Pasal 66 huruf b Undang-Undang
Nomor 30 tahun 1999 tentang ADR dijelaskan bahwa sengketa-sengketa yang tidak
dapat dijelaskan oleh lembaga Arbitrase adalah sengketa-sengketa yang menurut
peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian.29
Para ahli hukum Islam dikalangan Mazhab Hanafiyyah, Malikiyyah, dan
Hanabilah, sepakat bahwa segala apa yang menjadi keputusan hakam (arbitrase)
langsung mengikat kepada pihak-pihak yang bersengketa tanpa terlebih dahulu
meminta persetujuan kedua belah pihak. Pendapat ini juga didukung oleh sebagian
besar ahli hukum dikalangan mazhab Syafi'i.
Alasan mereka ini didasarkan hadist Rasulullah saw yang menyatakan bahwa
apabila

mereka

sudah

sepakat

mengangkat

hakam

untuk

menyelesaikan

persengketaan yang diperselisihkannya, kemudian putusan hakam itu tidak mereka
patuhi, maka bagi orang yang tidak mematuhinya akan mendapat siksa dari Allah
27

Ibid, hal 752
Op .cit, Zamakhsyari, hal. 78.
29
Ibid, hal 78.
28

Universitas Sumatera Utara

18

swt. Disamping itu barang siapa yang diperbolehkan oleh syari'at untuk memutuskan
suatu perkara, maka putusannya adalah sah, oleh karena itu putusannya mengikat,
sama halnya dengan hakim di pengadilan yang telah diberi wewenang oleh penguasa
untuk mengadili suatu perkara.30
2. Teori Kepastian Hukum
Teori kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian, yaitu pertama adanya
aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh
atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari
kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum
itu, individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh
negara terhadap individu.31
Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisebel terhadap tindakan
sewenang-wenang, masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum, karena
dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas
menciptakan kepastian hukum.32
3. Teori Islah
Teori lainnya yang digunakan dalam penulisan ini adalah teori islah, yang
berasal

dari

kata

al-islah

yang

artinya

memperbaiki,

mendamaikan

dan

30

Ibid, hal 78
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana Pranada Media Group,
2008), hal. 158.
32
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta:Liberty, 2003),
hal. 160
31

Universitas Sumatera Utara

19

menghilangkan sengketa atau kerusakan.33Berusaha menciptakan perdamaian,
membawa keharmonisan, menganjurkan orang untuk berdamai antara satu dan
lainnya, melakukan perbuatan baik, berprilaku sebgai orang suci (baik).34
Ruang lingkup bahasan islah sangat luas, mencakup aspek-aspek kehidupan
manusia baik pribadi maupun sosial. Dalam hadis Nabi Muhammad SAW yang
diriwayatkan Abu Dawud at-Tirmizi, Ibnu Majah, al-Hakim, dan Ibnu Hibban,
dijelaskan bahwa islah yang dilarang adalah menghalalkan yang diharamkan Allah
SWT atau mengharamkan yang dihalalkan-Nya.35
Di antara islah yang diperintahkan Allah SWT adalah dalam masalah rumah
tangga.Untuk menangani kemelut dan sengketa dalam rumah tangga (syiqaq dan
nusyus), dalam surah an-Nisa' (4) ayat (35) Allah SWT memerintahkan untuk
mengutus pihak ketiga (hakam) dari pihak suami dan istri untuk mendamaikan
mereka.Dalam hal ini, ulama fikih sepakat menyatakan bahwa jika hakam (juru damai
dari pihak suami dan istri) berbeda pendapat, maka putusannya harus dijalankan
tanpa meminta kuasa (ijin) mereka.36
2.

Kerangka Konsepsi
Konsepsi merupakan unsur pokok dalam usaha penelitian atau untuk membuat

karya ilimiah.
Menurut Hilman Hadikusuma:
33
Hasballah Thaib dan Zamakhsyari Hasballah, Tafsir Tematik Al Qur'an V, (Medan: Pustaka
Bangsa, 2008), hal. 147.
34
Ibid, hal. 147.
35
Ibid, hal 148.
36
Ibid, hal 148-149.

Universitas Sumatera Utara

20

Konsepsi adalah suatu pengertian mengenai sesuatu fakta atau dapat
berbentuk batasan atau definisi tentang sesuatu yang akan dikerjakan. Jadi jika
teori kita berhadapan dengan sesuatu hasil kerja yang telah selesai, sedangkan
konsepsi masih merupakan permulaan dari sesuatu karya yang setelah
diadakan pengolahan akan dapat menjadikan suatu teori.37
Selanjutnya dinyatakan Hilman Hadikusuma:
Kegunaan dari adanya konsepsi agar supaya ada pegangan dalam melakukan
penelitian atau penguraian, sehingga dengan demikian memudahkan bagi
orang lain untuk memahami batasan-batasan atau pengertian-pengertian yang
dikemukakan. Dalam hal ini seolah-olah ia tidak berbeda dari suatu teori,
tetapi perbedaannya terletak pada latar belakangnya. Suatu teori pada
umumnya merupakan gambaran dari apa yang sudah pernah dilakukan
penelitian atau diuraikan, sedangkan suatu konsepsi lebih bersifat subjektif
dari konseptornya untuk sesuatu penelitian atau penguraian yang akan
dirampungkan.38
Konsepsi merupakan alat yang dipakai oleh hukum disamping yang lain-lain,
seperti asas dan standar.Oleh karena itu kebutuhan untuk membentuk konsep
merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan pentingnya dalam hukum. Konsep
adalah suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh satu proses yang
berjalan dalam penelitian untuk keperluan analistis.39
Suatu konsep atau suatu kerangka konsepsionil pada hakikatnya merupakan
suatu pengarah, atau pedoman yang lebih konkrit daripada kerangka konsepsionil
belaka, kadang-kadang dirasakan masih juga abstrak, sehingga diperlukan definisidefinisi operasional yang akan dapat pegangan konkrit di dalam proses penelitian.40
Oleh karena itu, untuk dapat menjawab permasalahan dalam penelitian tesis ini perlu

37

Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal 5
Ibid. hal 5
39
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hal 397
40
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 2010), hal 133
38

Universitas Sumatera Utara

21

didefinisikan beberapa konsep dasar dalam rangka menyamakan persepsi untuk dapat
menjawab permasalahan penelitian yang dimaksud yaitu:
a. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan sebagai suami/istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.41
b. Mediasi adalah adalah proses negosiasi pemecahan masalah, di mana para pihak
yang tidak memihak bekerja sama dengan pihak yang bersengketa untuk mencari
kesepakatan bersama. Pihak luar tersebut disebut dengan mediator, yang tidak
berwenang untuk memutus sengketa, tetapi hanya membantu para pihak untuk
menyelesaiakan persoalan-persoalan yang dikuasakan kepadanya.42
c. Mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses
perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa
menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.43
d. Hukum kewarisan menurut fiqih mawaris adalah fiqih yang berkaitan dengan
pembagian harta warisan, mengetahui perhitungan agar sampai kepada
mengetahui bagian harta warisan dan bagian-bagian yang wajib diterima dari
harta peninggalan untuk setiap yang berhak menerimanya.

19

e. Waris dalam bahasa Indonesia disebut pusaka, yaitu harta benda dan hak yang
ditinggalkan oleh orang yang mati untuk dibagikan kepada yang berhak
41

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 1
Khotibul Umam, Penyelesaian Sengketa diluar Pengadilan, (Yogyakarta:Pustaka
Yustisia,2010), hal 10
43
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan Pasal 1 ayat (6)
42

Universitas Sumatera Utara

22

menerimanya. Pembagian itu lazim disebut Faraidh, artinya menurut syara’ ialah
pembagian pusaka bagi yang berhak menerimanya.44
f. Di dalam Islam poligami mempunyai arti perkawinan yang lebih dari satu, dengan
batasan, umumnya dibolehkan sampai empat wanita. Walaupun ada juga yang
memahami ayat tentang poligami dengan batasan istilah lebih dari empat atau
bahkan lebih dari sembilan istri. Perbedaan ini disebabkan perbedaan dalam
memahami dan menafsirkan ayat (3)surat An- Nisa sebagai dasar penetapan
hukum poligami.45
g. Tahhim adalah tahkim berarti menjadikan seseorang sebagai pencegah suatu
sengketa.46
h. Islah adalah memperbaiki, mendamaikan dan menghilangkan sengketa atau
kerusakan,

berusaha

menciptakan

perdamaian,

membawa

keharmonisan,

menganjurkan orang untuk berdamai antara satu dan lainya melakukan perbuatan
baik berperilaku sebagai orang suci47
G. Metode Penelitian
Sebelum membahas mengenai hal-hal yang berhubungan dengan metode
penelitian yang dipakai dalam penulisan tesis ini, terlebih dahulu akandipaparkan
pengertian dari penelitian hukum. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan
ilmiah, yang didasarkan pada metode,sistematika dan pemikiran tertentu, yang
44

Moh Rifai, Ilmu Fiqih Islam, (Semarang:Toha Putra,1978), hal.513
Kasmuri Selamat, Pedoman Mengayuh Bahtera Rumah Tangga, (Jakarta: Kalam Mulia,
Jakarta, 1998), hal. 19
46
Louis Ma’luf, Op.cit hal 146
47
Tim PenyusunEnsiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Intermansa, 1997), hal. 740
45

Universitas Sumatera Utara

23

bertujuan untuk mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan
jalan menganalisisnya.Disamping itu juga diadakan pemeriksaan yang mendalam
terhadap faktor hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan
atas permasalahan-permasalahan yang timbul didalam gejala yang bersangkutan.48
1. Jenis penelitian
Dalam metode penelitian hukum dikenal ada dua jenis penelitian yaitu
penelitian hukum empiris dan penelitian hukum normatif. Penelitian hukum empiris
adalah penelitian terhadap identifikasi hukum, dan efektivitas hukum (kaidah hukum,
penegak hukum, sarana atau fasilitas, kesadaran hukum masyrakat) dan penelitian
perbandingan hukum.Sedangkan penelitian hukum normatif adalah penelitian yang
membahas doktrin-doktrin atau asas-asas dalam ilmu hukum.49
Jenis penelitian dalam penulisan tesis ini adalah penelitian hukum ini
menggunakan pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengacu pada
penerapan norma hukum yang berlaku berupa doktrin dan asas dalam ilmu hukum.50
2. Sifat penelitian
Sifat yang melekat pada penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitis
yaitu penelitian yang bertujuan menggambarkan secara tepat obyek masalah dengan
maksud untuk mengambil suatu kesimpulan yang berlaku secara umum, dengan
perkataan lain tesis ini bertujuan untuk melukiskan realita yang ada.51

48

Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal 9
Ibid. hal. 24
50
Ibid. hal 31
51
Amiruddin, Pengantar Metode Penelitian, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004), hal 17.
49

Universitas Sumatera Utara

24

3. Sumber Data Penelitian
Data adalah bahan yang dipakai dalam suatu penelitian.Data sangat berperan
penting dalam suatu penelitian demi penemuan terbaru.Sumber data dalam penelitian
yaitu Data sekunder adalah data yang tidak diperoleh dari sumber pertama. Data
sekunder diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian,
laporan, makalah, surat kabar dan lain-lain.52
Data sekunder, meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan
bahan hukum tersier.53
a. Bahan hukum adalah semua dokumen yang mengikat keberlakuannya dan
ditetapkan oleh pihak-pihak yang berwenang, contohnya segala macam bentuk
peraturan perundang-undangan, (sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 10
Undang-undang No. 10 Tahun 2004), bahan hukum yang tidak dikodifikasi
seperti hukum adat dan kebiasaan, yurisprudensi dan traktat. Dalam penulisan
tesis ini bahan hukum primernya antara lain Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, PERMA No. 02 Tahun 2003 dan PERMA
No. 01 Tahun 2008. yang meliputi bahan hukum Primer, bahan hukum
sekunder dan bahan hukum tertier.
b. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang menjelaskan tentang bahan
hukum primer, yaitu semua dokumen yang merupakan sumber informasi dan

52
53

Edi Ikhsan, Metode Penelitian Hukum, Medan: Fakultas Hukum USU, 2008, hal 29.
Ibid hal. 29.

Universitas Sumatera Utara

25

bahan referensi yang berasal dari media cetak dan media masa. Contohnya
buku, artikel-artikel yang termuat dalam internet, koran dan majalah.
c. Bahan hukum tertier adalah bahan hukum yang dapat memberikan petunjuk
atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,
bahan hukum tertier seperti kamus, ensiklopedia dan lain sebagainya.
4. Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan :
a. Interview (wawancara) yaitu memperoleh data bagi penulisan penelitian
dengan cara tanya jawab secara langsung. Dalam proses interview ada dua
pihak yang menempati kedudukan yang berbeda, satu pihak berfungsi
sebagai pemberi informasi atau interviewer sedangkan pihak lain
berfungsi sebagai pemberi informasi atau informan (responden).54
Wawancara dilakukan dengan seorang mediator yang menangani langsung
kasus yang diangkat dalam penulisan tesis ini.
b. Studi Kepustakaan (library research) Dilakukan dengan mempelajari
buku-buku literature dokumen resmi, brosur, buku, makalah, surat kabar,
majalah, artikel, internet, peraturan perundang-undangan, Peraturan
Mahkamah Agung yaitu PERMA No. 01 Tahun 2008 tentang Prosedur
Mediasi Di Pengadilan,Undang-undang No. 04 tahun 2004 tentang

54

Soemitro Romy H, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta : Ghalia
Indonesia, 1990), hal 23.

Universitas Sumatera Utara

26

Kekuasaan Kehakiman, keputusan pengadilan yang diselesaikan melalui
mediasi dan teori-teori yang berguna untuk menunjang obyek penelitian.
5. Analisis Data
Penelitian sosial umumnya mengenal dua macam analisis data yaitu analisis
kualitatif dan analisis kuantitatif.Analisi kualitatif sering disebut dengan analisis
penelitian yang mencari informasi sedalam-dalamnya dan sebanyak-banyaknya
tentang aspek yang diteliti, dan mengkaji objek secara utuh.Sedangkan analisis
kuantitatif pada dasarnya penyorotan terhadap usaha pemecahan yang dilakukan
dengan upaya-upaya yang banyak didasarkan pada aspek pengukuran yang ketat yang
dilakukan dengan memecahkan objek penelitian kedalam unsur-unsur tertentu untuk
kemudian ditarik suatu generalisasi yang seluas mungkin ruang lingkupnya.55Tesis ini
menggunakan analisis data kualitatif.Penelitian yang kemudian dituangkan dalam
tesis ini tidak hanya mengumpulkan data, dalam penulisan tesis ini data yang telah
diperoleh kemudian di analisis. Berdasarkan sifat penelitian yang menggunakan
metode penelitian bersifat deskriptif analisis maka analisis yang digunakan pada
penelitian ini adalah deskriptif kualitatif yaitu mengacu pada norma hukum yang
terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan serta normanorma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.

55

Edi Ikhsan, Op.cit, hal. 43-44

Universitas Sumatera Utara