PERAN NOTARIS SEBAGAI MEDIATOR DALAM PENYELESAIAN SENGKETA ANTAR PARA PIHAK DI DENPASAR.

(1)

SKRIPSI

PERAN NOTARIS SEBAGAI MEDIATOR DALAM

PENYELESAIAN SENGKETA ANTAR PARA PIHAK DI

DENPASAR

I PUTU EKA DAMARA NIM. 1016051021

PROGRAM EKSTENSI FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

PERAN NOTARIS SEBAGAI MEDIATOR DALAM

PENYELESAIAN SENGKETA ANTAR PARA PIHAK DI

DENPASAR

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum

pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

I PUTU EKA DAMARA NIM. 1016051021

PROGRAM EKSTENSIFAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(3)

SKRIPSI INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 29 Februari 2016

Pembimbing I

Dr. Desak Putu Dewi Kasih, SH., M.Hum NIP : 196404021989112001

Pembimbing II

I Made Dedy Priyanto, SH.,M.Kn NIP : 198404112008121003


(4)

SKRIPSI INI TELAH DIUJI PADA TANGGAL 1 APRIL 2016

Panitia Penguji Skripsi

Berdasarkan Surat Keputusan Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana

Nomor: 0312/UN14.4E/IV/PP/2016 Tanggal 16 Maret 2016

Ketua: Dr. Desak Putu Dewi Kasih, SH., M.Hum

NIP. 19640402198911 2001 (________________)

Sekretaris: I Made Dedy Priyanto, SH., M.Kn

NIP. 19840411200812 1003 (________________)

Anggota: Dr. I Made Sarjana, SH., MH

NIP. 19611231198601 1001 (________________)

Dr. I Ketut Westra, SH., MH

NIP. 19580917198601 1002 (________________)

Ayu Putu Laksmi Danyanthi, SH., M.Kn


(5)

ABSTRACT

Notary as a public official authorized to make an authentic deed is sometimes asked to become a mediator by the parties to resolve the dispute between the parties on the deed he or she made. The problems faced are: What are the arrangements of notary in running role as mediator in Denpasar? How are the implementation and the role of the notary as a mediator in the settlement of disputes between the parties in Denpasar? The research method used in this research is the method of empirical legal research.

Based on the results of research conducted empirically by conducting research on several notaries located in the City of Denpasar, it can be seen that arrangement of a notary public in the role as a mediator in Denpasar is contained in the provisions of Article 15 paragraph (2) letter e of Amended Law on Notary, Article 16 paragraph (1) letter a of Amended Law on Notary, Article 16 paragraph (1) letter e of Amended Law on Notary, Article 3, paragraph (6) Notary Code 2015, Article 3 paragraph (7) of the Code of Notary 2015, and in the text of a speech of the President of the Republic of Indonesia at the official opening of the XV Congress of Indonesian Notary Association on November 4, 1993 at the State Palace.

The result of research is implementation of the role of the notary as a mediator in the settlement of disputes between the parties in Denpasar, namely for the parties who are making an agreement before a notary, in case of a conflict or dispute relating to the deed, the first to be asked for advice is the notary to act as mediator in efforts to mediate between the conflicting parties, the efforts to resolve the dispute by neutral mutual agreement and does not make decisions for the parties, but rather acts as a facilitator for the implementation of the dialogue between the parties with an atmosphere of openness, honesty and exchange opinions to achieve consensus. Hence, by the deliberation, issues can be resolved peacefully.


(6)

ABSTRAK

Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik terkadang diminta untuk menjadi seorang mediator oleh para pihak untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi antara para pihak terkait dengan akta yang dibuatnya. Permasalahan yang terjadi yaitu Bagaimanakahpengaturan notaris dalam menjalankan peran sebagai mediator di Denpasar? Dan Bagaimanakah pelaksanaan peran notaris sebagai mediator dalam penyelesaian sengketa antara para pihak di Denpasar? Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini yaitu metode penelitian hukum empiris.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan secara hukumempiris dengan melakukan penelitian pada beberapa notaris yang terdapat di kota Denpasar dapat diketahui bahwa (1) Pengaturan notaris dalam menjalankan peran sebagai mediatordi Denpasar termuat dalam ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf e UUJN Perubahan, Pasal 16 ayat (1) huruf a UUJN Perubahan, Pasal 16 ayat (1) huruf e UUJN Perubahan, Pasal 3 ayat (6) Kode Etik Notaris Tahun 2015, Pasal 3 ayat (7) Kode Etik Notaris Tahun 2015, dan dalam teks pidato sambutan Presiden Republik Indonesia pada peresmian pembukaan Kongres XV Ikatan Notaris Indonesia pada tanggal 4 Nopember 1993 di Istana Negara.

Kesimpulan ke dua dalam penelitian ini adalah pelaksanaan peran notaris sebagai mediator dalam penyelesaian sengketa antara para pihak di Denpasar yaitu bagi pihak yang membuat suatu perjanjian dihadapan notaris, apabila terjadi suatu konflik atau sengketa yang berhubungan dengan akta tersebut, orang pertama yang diminta nasihat adalah notaris yang bersangkutan, dengan berperan sebagai mediator dalam upaya memediasi para pihak yang bersengketa maka upaya penyelesaian sengketa dengan kesepakatan bersama yang bersikap netral, dan tidak membuat keputusan bagi para pihak tetapi lebih berperan sebagai fasilitator demi terlaksananya dialog antara para pihak dengan suasana keterbukaan, kejujuran dan tukar pendapat untuk tercapainya mufakat. Sehingga dengan adanya kata mufakat permasalahan dapat diselesaikan dengan damai.


(7)

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN

Dengan ini penulis menyatakan bahwa Karya Ilmiah/Penulisan Hukum/Skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis, tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan disuatu perguruan tinggi manapun, dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh penulis lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila Karya Ilmiah/Penulisan Hukum/Skripsi ini terbukti merupakan duplikasi ataupun plagiasi dari hasil karya penulis lain dan/atau dengan sengaja mengajukan karya atau pendapat yang merupakan hasil arya penulis lain, maka penulis bersedia menerima sanksi akademik dan/atau sanksi hukum yang berlaku.

Demikian Surat Pernyataan ini saya buat sebagai pertanggungjawaban ilmiah tanpa ada paksaan maupun tekanan dari pihak manapun juga.

Denpasar, 29 Februari 2016 Yang Menyatakan,

(I PUTU EKA DAMARA)


(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmat dan perlindungan-Nya, saya dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul “PERAN NOTARIS SEBAGAI MEDIATOR DALAM PENYELESAIAN SENGKETA ANTAR PARA PIHAK DI DENPASAR” yang merupakan persyaratan dalam

memperoleh Gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Pada kesempatan ini, tidak lupa saya ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah banyak memberi dukungan, bimbingan dan bantuan dalam penyusunan skripsi ini:

1. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH., MH., Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana.

2. Bapak Dr. I Nyoman Suyatna, SH., MH., Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Udayana.

3. Bapak I Wayan Bela Siki Layang, SH., MH., Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Udayana.

4. Bapak I Wayan Suardana, SH., MH., Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Udayana.

5. Bapak A.A.Gede Oka Parwatha, SH., M.Si., Ketua Program Ekstensi Fakultas Hukum Universitas Udayana sekaligus sebagai pembimbing akademik,

6. Ibu Dr. Desak Putu Dewi Kasih, SH.,M.Hum, Dosen Pembimbing I yang telah banyak memberikan arahan, saran dan bantuan dalam penyelesaian skripsi ini.

7. Bapak I Made Dedy Priyanto, SH.,M.Kn, Dosen Pembimbing II yang telah banyak memberikan arahan, saran dan bantuan dalam penyelesaian skripsi ini.


(9)

8. Semua dosen dan asisten dosen pengajar di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah banyak memberikan ilmu pengetahuan selama menempuh ilmu di Fakultas Hukum Universitas Udayana dan menjadi bekal bagi saya dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Ibu Notaris Putu Eka Lestary, SH. yang berkantor di jalan Sudirman 1,no 3 Denpasar, 10.Bapak Notaris I Made Widiada, SH. yang berkantor di jalan A. Yani no 125 Denpasar, 11.Ibu Notaris Ida Ayu Dwipayatni, SH. yang berkantor di jalan Pulau Ayu no 3 Bumu Werdi

Sumuh Teuku Umar Denpasar,

12.Ibu Notaris Ni Made Suryani, SH. yang berkantor di jalan Tantular Barat no 11 c Renon Denpasar,

13.Seluruh keluarga, khususnya kedua orang tua yang telah memberikan dorongan moril dan materiil serta penuh antusiasme mendukung pendidikan saya.

14.Semua rekan Fakultas Hukum Universitas Udayana Khusunya Eka Garbantara, Hendra Mahardika, Renhat Marlianus Siki, Galih Pradana, Wah Dhian, Dedy Sancita, Adi Witra, Wisnu Nugraha, serta seluruh angkatan 2010 yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Denpasar, 29Februari 2016


(10)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...i

HALAMAN PERSYARATAN GELAR ...ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ...iii

HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI ...iv

ABSTRACT ...v

ABSTRAK ...vi

SURAT PERNYATAAN ...vii

KATA PENGANTAR ...viii

DAFTAR ISI...x

BAB I PENDAHULUAN ...1

1.1. Latar Belakang Masalah ...1

1.2. Rumusan Masalah ...9

1.3. Ruang Lingkup Masalah ...9

1.4. Orisinalitas ...9

1.5. Tujuan Penelitian ...11

1.5.1.Tujuan Umum ...11

1.5.2.Tujuan Khusus ...11

1.6. Manfaat Penelitian ...11

1.6.1.Manfaat Teoritis ...11

1.6.2.Manfaat Praktis ...12

1.7. Landasan Teoritis ...12


(11)

1.8.1.Jenis Penelitian ...14

1.8.2.Jenis Pendekatan ...15

1.8.3.Sifat Penelitian ...15

1.8.4.Sumber Data ...16

1.8.5.Teknik Pengumpulan Data ...17

1.8.6.Tenik Pengolahan dan Analisis Data ...18

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG NOTARIS DAN MEDIATOR 20 2.1. Notaris ...20

2.1.1.Pengertian Notaris ...20

2.1.2.Kedudukan Notaris Sebagai Pejabat Umum ...22

2.2. Mediator Pada Umumnya ...25

2.2.1.Pengertian Mediasi ...25

2.2.2.Pengertian Mediator ...30

2.2.3.Sertifikasi Mediatordan Pemilihan Mediator ...31

2.2.4.Tugas dan Kewenangan Mediator ...33

2.2.5.Lingkup Kerja Mediator ...34

BAB III PENGATURAN NOTARIS YANG MENJALANKAN PERAN SEBAGAI MEDIATOR ...38

3.1. PengaturanNotaris Sebagai Mediator Ditinjau Dari Undang-Undang Jabatan Notaris, Kode Etik Notaris dan Aturan MengenaiMediasi di Dalam Pengadilan dan Diluar Pengadilan ...38


(12)

3.2. Kekuatan Mengikat Kepada Para Pihak Berdasarkan Mediasi Yang

Dilakukan Oleh Notaris ...43

BAB IVPELAKSANAAN PERAN NOTARIS SEBAGAI MEDIATOR DALAM PENYELESAIAN SENGKETA ANTARA PARA PIHAK ...48

4.1. KriteriaSengketa-Sengketa Yang DapatDiselesaikanDengan MenggunakanMediasiOlehNotaris ...48

4.2. PelaksanaanPeran NotarisSebagai Mediator DalamPenyelesaian SengketaAntaraParaPihak ...51

4.3. Hambatan-Hambatan Yang DialamiNotarisDalamPerannyaSebagai Mediator DalamPenyelesaianSengketaAntaraParaPihak ...60

BAB V PENUTUP...64

5.1. Kesimpulan ...64

5.2. Saran ...64

DAFTAR PUSTAKA DAFTAR INFORMAN RINGKASAN


(13)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Peranan hukum dalam mengatur kehidupan masyarakat sudah dikenal sejak masyarakat mengenal hukum itu sendiri, sebab hukum itu dibuat untuk mengatur kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Hubungan antara masyarakat dan hukum diungkapkan dengan sebuah adagium yang sangat terkenal dalam ilmu hukum yaitu :ubi so cietes ibi ius (dimana ada masyarakat di sana ada hukum).1Melihat perkembangan hukum dalam masyarakat, maka akan ditemukan bahwa peranan hukum dalam mengatur kehidupan masyarakat mengalami perubahan dan perbedaan dari suatu kurun waktu ke waktu lain. Dalam masyarakat yang sederhana, hukum berfungsi untuk menciptakan dan memelihara keamanan serta ketertiban.Fungsi ini berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat itu sendiri yang meliputi berbagai aspek kehidupan masyarakat yang bersifat dinamis yang memerlukan kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan.

Kehidupan masyarakat yang berkembang memerlukan kepastian hukum dalam sektor pelayanan jasa publik.Salah satu pekerjaan yang menawarkan pelayanan jasa dalam bidang hukum khususnya hukum perdata ialah Notaris.Notaris adalah pejabat umum yang diangkat oleh pemerintah untuk membantu masyarakat umum dalam hal membuat perjanjian-perjanjian yang ada atau timbul dalam masyarakat.Perlunya perjanjian-perjanjian-perjanjian-perjanjian tertulis ini dibuat dihadapan seorang notaris adalah untuk menjamin kepastian hukum serta untuk memenuhi hukum pembuktian yang kuat bagi para pihak yang melakukan perjanjian.

1


(14)

Kebutuhan akan pembuktian tertulislah yang mengkehendaki pentingnya lembaga notariat ini.2

Notaris merupakan profesi hukum sehingga profesi notaris merupakan suatu profesi mulia (nobile officium). Notaris disebut sebagai pejabat mulia karena profesi notaris sangat erat hubungannya dengan kemanusiaan.Akta yang dibuat oleh notaris dapat menjadi alas hukum atas status harta benda, hak dan kewajiban seseorang.Kekeliruan atas akta yang dibuat notaris dapat menyebabkan tercabutnya hak seseorang atau terbebaninya seseorang atas suatu kewajiban, oleh karena itu notaris dalam menjalankan tugas jabatannya harus mematuhi berbagai ketentuan yang tersebut dalam Undang-Undang Jabatan Notaris.3Peran notaris dalam kehidupan masyarakat turut membantu upaya untuk mewujudkan prinsip negara hukum.Secara konstitusional, Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUDNRI 1945) menentukan secara tegas bahwa negara Republik Indonesia merupakan negara hukum.

Eksistensi notaris diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris yang kemudian dilakukan perubahan-perubahan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (Selanjutnya disebut UUJN). Sebelum berlakunya Undang-Undang ini pengaturan notaris tertuang dalam Peraturan Jabatan Notaris (Ord. Stbl. 1860 Nomor 3).

Kewenangan notaris dalam menjalankan tugasnya tertuang dalam Pasal 15 UUJN, yang mengatur sebagai berikut :

(1) Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta autentik,menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya itu sepanjang

2

R. Soegondo Notodisoerjo, 1993,Hukum Notariat Di Indonesia, PT Raja Grafindo, Jakarta, h. 1.

3

Abdul Ghofur Anshori, 2009,Lembaga Kenotariatan Indonesia, Perspektif Hukum dan Etika, UII Press, Yogyakarta, h.28.


(15)

pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.

(2) Selain kewenangansebagaimana dimaksud pada ayat (1), Notaris berwenang pula :

a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

b. membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; c. membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat

uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;

d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya; e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan Akta; f. membuat Akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau

g. membuat Akta risalah lelang.

(3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pada umumnya kewenangan atau tugas notaris adalah membuat suatu perjanjian atau akta otentik.Menurut A. Kohar akta adalah tulisan yang sengaja dibuat untuk dijadikan alat bukti.Apabila akta dibuat dihadapan notaris maka akta tersebut dikatakan sebagai akta notarial, atau akta otentik, atau akta notaris.

Suatu akta dikatakan otentik apabila dibuat dihadapan pejabat yang berwenang.4 Tujuan akta dibuat dihadapan pejabat berwenang adalah agar supaya akta tersebut dapat digunakan sebagai bukti yang kuat jika suatu saat terjadi perselisihan antara para pihak atau ada gugatan dari pihak lain.Berdasarkan uraian diatas, jelas begitu pentingnya fungsi dari akta notaris tersebut.

Tidak jarang dalam penerbitan suatu akta yang dibuat oleh notaris menimbulkan suatu persoalan hukum baik itu berupa suatu sengketa atau suatu perbuatan hukum yang dikategorikan sebagai tindak pidana.Pada umumnya persoalan hukum yang sering terjadi dengan terbitnya suatu akta oleh notaris adalah adanya sengketa antara para pihak. Misal adanya sengketa antara para pihak dalam proses sewa menyewa, pinjam-meminjam uang, atau sebagainya. Oleh karena itu perlu suatu bentuk penyelesaian suatu sengketa yang berorientasi pada penyelesaian yang menguntungkan semua pihak.

4


(16)

Secara teoritis penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui 2 (dua) cara. Cara penyelesaian sengketa pertama melalui proses litigasi di dalam pengadilan, kemudian berkembang proses penyelesaian sengketa melalui kerjasama (kooperatif) di luar pengadilan. Proses litigasi menghasilkan putusan yang bersifat pertentangan (adversarial) yang belum mampu merangkul kepentingan bersama, bahkan cenderung menimbulkan masalah baru, lambat dalam penyelesaiannya, membutuhkan biaya yang mahal, tidak responsif, dan menimbulkan permusuhan diantara pihak yang bersengketa.5

Dari beberapa permasalahan hukum yang timbul dalam masyarakat, munculah pemikiran untuk melahirkan sebuah bentuk Alternatif Dispute Resolution atau Alternatif Penyelesaian Sengketa, termasuk di Indonesia.Hadirnya alternatif penyelesaian sengketa tersebut bukan bermaksud untuk mengacaukan pelaksanaan hukum acara sebagai hukum formil dari hukum publik dan hukum privat yang berlaku.Hal tersebut membuka pintu baru bagi masyarakat selaku pencari keadilan, agar setiap sengketa tidak selalu diproses di pengadilan dengan waktu yang lama dan biaya yang mahal serta untuk tetap membantu pencapaian tujuan hukum (keadilan, kepastian, dan kemanfaatan).Salah satu bentuk penyelesaian sengketa alternatif adalah mediasi. Mediasi adalah proses negoisasi pemecahan masalah dimana pihak luar yang tidak memihak (imparsial) bekerja sama dengan pihak-pihak yang bersengketa untuk membantu mereka memperoleh kesepakatan perjanjian yang memuaskan.6

Mediasi merupakan alternatif penyelesaian sengketa atau biasa dikenal dengan istilah

”mekanisme alternatif penyelesaian sengketa” yang merupakan terjemahan dari ”alternative dispute resolution” yang tumbuh pertama kali di Amerika Serikat. Mediasi sebagai salah satu

5

Rachmadi Usman, 2003, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan,PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut Rachmadi Usman I) h..3.

6

Garry Goospaster, 1993, Negoisasi dan Mediasi: Sebuah Pedoman Negoisasi dan Penyelesaian Sengketa Melalui Negoisasi, ELIPS Project, Jakarta, h.201.


(17)

alternatif penyelesaian sengketa yang sudah lama dikenal dalam berbagaikepercayaan dan budaya.Berbagai fakta telah menunjukan bahwa pada dasarnya mediasi bukan merupakan suatu metode yang asing dalam upaya menyelesaikan sengketa di tengah masyarakat.Hanya saja konteks pendekatan dan caranya berbeda yang lebih disesuaikan dengan budaya hukum setempat. Mediasi ini lahir dilatarbelakangi oleh lambatnya proses penyelesaian sengketa di pengadilan, oleh karena itu mediasi ini muncul sebagai jawaban atas ketidakpuasan yang berkembang pada sistem peradilan yang bermuara pada persoalan waktu, biaya dan kemampuannya dalam menangani kasus yang kompleks.

Dalam Pasal 17 ayat (1) UUJN dijelaskan bahwa notaris tidak boleh rangkap jabatan, yang mengatur sebagai berikut :

Notaris dilarang :

a. menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya;

b. meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang sah;

c. merangkap sebagai pegawai negeri;

d. merangkap jabatan sebagai pejabat negara; e. merangkap jabatan sebagai advokat;

f. merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah atau badan usaha swastamerangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah dan/atau Pejabat Lelang Kelas II di luar tempat kedudukan Notaris;

Secara teoritis menurut ketentuan Pasal 17 ayat (1) UUJN disebutkan bahwa seorang notaris tidak boleh rangkap jabatan sebagaimana dijabarkan dalam aturan tersebut diatas.Akan tetapi dalam praktiknya ada notaris yang berpikir progresif (berpikir tidak berpatokan pada aturan hitam putih perundang-undangan) yakni berperan menjadi mediator dalam menyelesaikan sengketa diantara para pihak.Mediator disini diartikan sebagai pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.Syarat seorang mediator adalah memahami suatu persoalan-persoalan tertentu yang akan dibantu proses penyelesaiannya. Misal mediator pasar modal berarti disini


(18)

orang-orang yang dapat dijadikan sebagai mediator adalah orang yang memahami seluk beluk pasar modal. Jadi dapat dikatakan bahwa mediator adalah pihak-pihak yang memahami persoalan yang akan dibahas.

Pelaksanaan notaris menjadi mediator bagi para pihak yangbersengketa dikarenakan suatu akta yang dibuat oleh notaris, merupakan suatu bentuk tanggung jawab atau bentuk kepedulian oleh notaris dalam membantu penyelesaian suatu sengketa.Disamping itu tujuan notaris sebagai mediator disini adalahmembantu meringankan penumpukan berkas perkara di pengadilan dan melaksanakan asas trilogy peradilan (cepat, sederhana, biaya ringan).

Permasalahan yang terjadi adalah berkenaan dengan kewenangan notaris sebagai mediator. Dalam UUJN tidak diatur bahwa notaris dapat atau tidak bertindak sebagai mediator, hal ini bukan berarti bahwa notaris boleh bertindak sebagai mediator. Menurut ketentuan yang diatur dalam Pasal 6 ayat (3) UU Nomor 30 Tahun 1999 dapat diketahui

bahwa : “dalam hal sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak

dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang

mediator.”

Penyelesaian melalui mediasi merupakan penyelesaian melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator.Mediator yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa haruslah orang atau lembaga yang netral di mana mereka mampu menjembatani keinginan para pihak. Oleh karena mediasi belum diatur dengan jelas dan tuntas oleh Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, maka pembahasan mengenai proses mediasi, para pihak yang terkait seperti mediator serta peran dan fungsinya tidak dapat diuraikan secara lengkap.

Mediasi sangat tergantung pada lakon yang dimainkan oleh pihak yang terlibat dalam penyelesaian masalah.Pihak yang terlibat adalah pihak yang sedang bersengketa dan


(19)

mediator. Mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian atau pandangan penilaiannya atas masalah-masalah kepada para pihak selama proses mediasi berlangsung. Intervensi mediator ke dalam proses perundingan antara para pihak hanya dapat dilakukan apabila para pihak itu sendiri dapat menerimanya.

Proses mediasi jauh lebih murah biayanya, seperti halnya apabila yang menjadi mediator adalah notaris yang bersangkutan dalam akta yang dibuatnya, maka kita hanya perlu membayar biaya pembuatan akta notaris saja. Hasil mediasi tidak dapat diajukan banding,

karena sifatnya adalah ”perdamaian”, sedangkan proses litigasi dapat dilakukan

upayabanding dan kasasi, maka bagi pihak yang bersengketa pengeluaran biaya terus bertambah dan cenderung sulit di prediksi. Jadi dalam hal notaris dapat bertindak sebagai mediator hanya terkait dengan akta yang dibuatnya terhadap para pihak yang terikat di dalamnya.

Berdasarkan latar belakang diatas mendorong penulis untuk melakukan penelitian hukum yang dituangkan dalam sebuh skripsi yang berjudul “PERAN NOTARIS SEBAGAI MEDIATOR DALAM PENYELESAIAN SENGKETA ANTAR PARA PIHAK DI DENPASAR”

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah sebagaimana telah diuraikan, maka dapatlah diajukan beberapa permasalahan yang akan merupakan pokok bahasan dalam tulisan ini. Permasalahan-permasalahan tersebut apabila dirumuskan adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakahpengaturan notaris dalam menjalankan peran sebagai mediator di Denpasar?


(20)

2. Bagaimanakah pelaksanaan peran notaris sebagai mediator dalam penyelesaian sengketa antara para pihak di Denpasar?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Mengingat begitu luasnya permasalahan yang dapat diangkat, maka dipandang perlu adanya pembatasan mengenai ruang lingkup masalah yang akan dibahas nanti. Adapun permasalahan pertama dibatasi hanya padaperaturan hukum notaris dalam menjalankan peran sebagai mediator.Selanjutnya permasalahan kedua membahas mengenai bagaimana pelaksanaan peran notaris sebagai mediator dalam penyelesaian sengketa.

1.4 Orisinalitas

Dalam rangka menumbuhkan semangat anti plagiat didalam dunia pendidikan di Indonesia, maka mahasiswa diwajibkan untuk mampu menunjukan orisinalitas dari penelitian yang tengah dibuat dengan menampilkan, beberapa judul penelitian skripsi atau disertasi terdahulu sebagai pembanding. Adapun dalam penelitian kali ini, peneliti akan menampilkan 2 (dua) Skripsi terdahulu yang pembahasannya berkaitan dengan peran notaris sebagai mediator dalam penyelesaian sengketa antara para pihak :

1. Khairina, ( Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Hasanudin Makasar), Tahun 2013. Judul Mediasi sebagai alternative penyelesaian sengketa antara bank dan nasabah. Rumusan masalah:

a. Bagaimanakah tata cara penyelesaian sengketa antara bank dan nasabah menurut hukum perbankan?

b. Bagaimanakah penerapan mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa antara bank dan nasabah?

Kemiripan antara penelitian ini dengan penelitian yang penulis lakukan yaitu terletak pada mediasi. Perbedaan dari penelitian ini dengan yang penulis lakukan yaitu pada


(21)

penelitian ini menekankan penyelesaian sengketa secara mediasi antara bank dan nasabah, sedangkan penelitian yang penulis lakukan yaitu peranan notaris sebagai mediator.

2. Rr Wilis Tantri Atma Negara , (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta), Tahun 2009. Judul Penyelesaian sengketa perdata dengan cara mediasi oleh Pengadilan Negeri Surakarta. Rumusan masalah:

a. Bagaimanakah proses penyelesaian sengketa perdata dengan cara mediasi? b. Apa akibat hukum mediasi bagi kedua belah pihak tersebut?

Kemiripan antara penelitian ini dengan penelitian yang penulis lakukan yaitu sama-sama meneliti mengenai mediasi. Letak perbedaannya yaitu penelitian ini meneliti mengenai mediasi dalam penyelesaian sengketa perdata di pengadilan, sedangkan penelitian yang penulis lakukan menekankan pada peranan notaris sebagai mediator.

1.5 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penelitian skripsi ini yaitu tujuan umum dan tujuan khusus sebagai berikut:

1.5.1.Tujuan Umum

1. Untuk mengetahui pengaturan notaris dalam menjalankan peran sebagai mediator di Denpasar.

2. Untuk mengetahui pelaksanaan peran notaris sebagai mediator dalam penyelesaian sengketa antara para pihak di Denpasar.

1.5.2. Tujuan Khusus

1. Untuk lebih memahamipengaturan notaris dalam menjalankan peran sebagai mediator.

2. Untuk lebih memahamipelaksanaan peran notaris sebagai mediator dalam penyelesaian sengketa antara para pihak.


(22)

1.6 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian yang hendak dicapai dari penelitian skripsi ini yaitu sebagai berikut :

1.6.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat positif bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya bidang hukum perdata dan alternatif penyelesaian sengketa terutama yang berkaitan dengan peranan notaris sebagai mediator dalam penyelesaian sengketa antara para pihak.

1.6.2 Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan dan memberikan informasi kepada pihak-pihak yang terlibat dalam pengimplementasi peran notaris sebagai mediator dalam penyelesaian sengketa antara para pihak.Sehingga diharapkan pelaksanaan implementasi peran notaris sebagai mediator dalam penyelesaian sengketa antara para pihaktersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan tidak merugikan para pihak yang bersengketa.

1.7 Landasan Teoritis

Pranata penyelesaian sengketa alternatif pada dasarnya merupakan suatu bentuk penyelesaian sengketa diluar pengadilan, yang berdasarkan pada kesepakatan para pihak yang bersengketa.Sebagai konsekuensi dari kesepakatan para pihak yang bersengketa tersebut, alternatif penyelesaian sengketa bersifat sukarela dan karenanya tidak dapatdipaksakan oleh salah satu pihak kepada pihak lainnya yang bersengketa.Walau demikian, sebagai suatu bentuk perjanjian (Alternatif Penyelesaian Sengketa), kesepakatan yang telah dicapai oleh para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui forum diluar pengadilan harus ditaati oleh para pihak.Sampai seberapa jauh kesepakatan untuk menyelesaikan sengketa diluar pengadilan ini mengikat dalam sistem hukum positif yang berlaku, ternyata tidak dapat kita


(23)

temukan suatu persamaan yang berlaku secara universal untuk semua aturan hukum yang berlaku.

Adapun salah satu bentuk mekanisme penyelesaian sengketa alternatif adalah mediasi.Lucy V. Kazt menyatakan bahwa keberhasilan proses penyelesaian sengketa

alternatif melalui mediasi dikarenakan adanya “equitable and legal remedies” yang

memberikan adanya kesederajatan yang sama dan penggantian kerugian secara hukum yang harus dihormati oleh para pihak. Para pihak mempunyai keyakinan bahwa penyelesaian sengketa melalui mediasi akan mendapat remedy for damages bagi mereka dengan win-win solution bukan win-lose solution. Di sini, para pihak “sama-sama menang” tidak saja dalam arti ekonomi atau keuangan, melainkan termasuk juga kemenangan moril dan reputasi (nama baik dan kepercayaan). Selanjutnya, mediasi memiliki prinsip bahwa putusan tidak mengutamakan pertimbangan dan alasan hukum, melainkan atas dasar kesejajaran kepatutan dan rasa keadilan. Selain dapat mempersingkat waktu penyelesaian, mediasi juga diharapkan mengurangi beban psikologis yang akan mempengaruhi berbagai sikap dan kegiatan pihak yang berperkara. Proses mediasi juga menimbulkan efek sosial, yaitu semakin mempererat hubungan sosial atau hubungan persaudaraan. Dengan mediasi, dapat dihindari cara-cara berperkara melalui pengadilan yang mungkin menimbulkan keretakan hubungan antara pihak-pihak yang bersengketa. Sedangkan penyelesaian sengketa melalui proses mediasi dapat berjalan lebih informal, terkontrol oleh para pihak serta lebih mengutamakan kepentingan kedua belah pihak yang bersengketa untuk mempertahankan kelanjutan hubungan yang telah dibina.7

Penyelesaian sengketa melalui mediasi juga dapat mengurangi permusuhan dan mengizinkan para pihak mengontrol hasil penyelesaian sengketanya dengan satu penekanan kenetralan, tanggung jawab individu, dan kewajaran timbal balik yang ada dalam

7

Yayah Yarotul Salamah, 2009, Mediasi dalam Proses Beracara di Pengadilan Studi Mengenai Mediasi di Pengadilan Negeri Proyek Percontohan Mahkamah Agung RI, Disertasi, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, h.26.


(24)

mediasi.Penyelesaian sengketa dengan mediasi juga mengizinkan para pihak menemukan suatu penyelesaian yang sesuai dengan keinginan mereka, bahkan terhadap persetujuan yang mereka sepakati bersama.8Selain itu, mediasi juga memiliki kapasitas untuk mengakui adanya secara psikologis akan adanya kebutuhan-kebutuhan rohani dari para pihak, termasuk kebutuhan untuk berdamai, memaafkan, dan untuk dimaafkan.9

1.8 Metode Penelitian 1.8.1 Jenis Penelitian

“Penelitian adalah merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi yang dilakukan secara metodelogis, sistematis, dan konsisten.”10Jenis penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah dengan menggunakan metode yuridis empiris, metode yuridis yaitu suatu metode penulisan hukum yang berdasarkan pada teori-teori hukum, literatur-literatur dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam masyarakat. Sedangkan metode empiris yaitu suatu metode dengan melakukan observasi atau penelitian secara langsung ke lapangan guna mendapatkan kebenaran yang akurat dalam proses penyempurnaan penulisan skripsi ini. Dipergunakannya jenis penelitian yuridis empiris adanya pertentangan antara teori/aturan dan prakteknya. Dimana dalam aturan perundang-undangan yaitu UUJN tidak mengenal kewenangan notaris melakukan mediasi ataupun tidak dikenal adanya rangkapan jabatan notaris sebagai mediator (berdasarkan Pasal 17 UUJN) akan tetapi realitanya dalam masyarakat ada notaris-notaris yang berperan sebagai mediator dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi diantara para pihak.

1.8.2.Jenis Pendekatan

Penelitian ini mempergunakan Pendekatan Undang-Undang (The StatuteApproach) dan Pendekatan Fakta (The Fact Approach). Pendekatan undang-undang untuk mengetahui

8

Ibid, h.29.

9

Ibid.

10


(25)

pengaturan tentang landasan hukum bagi notaris dalam melaksanakan mediasi bagi para pihak yang bersengketa. Pendekatan fakta adalah menjelaskan fakta-fakta yang terjadi dilapangan. Disini melihat bagaimana fakta yang ada tentang implementasi peran notaris sebagai mediator dalam penyelesaian sengketa antara para pihak.

1.8.3 Sifat Penelitian

Sifat penelitian hukum empiris yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah penelitian yang sifatnya deskriptif yaitu penelitian secara umum yang bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada atau tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat. Dimana dalam skripsi ini yang diteliti adalahimplementasi peran notaris sebagai mediator dalam penyelesaian sengketa antara para pihak.

1.8.4.Sumber Data a. Data Primer

Data primer adalah data yang didapat langsung dari masyarakat sebagai sumber pertama dengan melalui penelitian lapangan atau Field Research, dilakukan baik melalui wawancara atau interview.11Data primer yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini bersumber atau diperoleh dari penelitian di lapangan yang dilakukaan dengan cara mengadakan penelitian di beberapa notaris. Adapun sumber data primer merupakan sumber data yang diperoleh dari narasumber yang paling utama, dalam hal ini adalah beberapa notaris.

b. Data Sekunder

Bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri

11


(26)

atas bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Adapun bahan-bahan hukum sebagaimana dimaksud adalah sebagai berikut :

1. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang bersifat autoritatif atau mempunyai otoritas atau memiliki kekuatan mengikat,12yaitu:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945; b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

c. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa;

d. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, yaitu meliputi buku-buku, literature, makalah, tesis, skripsi, dan bahan-bahan hukum tertulis lainnya yang berhubungan dengan permasalahan penelitian,13 disamping itu, juga dipergunakan bahan-bahan hukum yang diperoleh melalui electronic research yaitu melalui internet dengan jalan mengcopy (download) bahan hukum yang diperlukan.

3. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yaitu berupa kamus, yang terdiri dari :

a. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Penerbit Balai Pustaka, Jakarta; b. Kamus Hukum.

1.8.5.Teknik Pengumpulan Data

12

Soerjono Soekanto dan Sri Mahmmudji, 1988, Penelitian Hukum Normatif, Rajawali Press, Jakarta, h. 34.

13


(27)

Pengumpulan bahan hukum dilakukan melalui studi dokumentasi. Bahan hukum yang diperolehnya, diinfentarisasi (dikumpulkan) dan diidentifikasi serta kemudian dilakukan pengklasifikasian bahan-bahan sejenis, mencatat dan mengolahnya secara sistematis sesuai dengan tujuan dan kebutuhan penelitian.Tujuan dari tehnik dokumentasi ini adalah untuk mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori, pendapat-pendapat, penemuan-penemuan yang berhubungan dengan permasalahan penelitian.

a. Teknik studi dokumen

Teknik studi dokumen merupakan teknik awal yang digunakan dalam melakukan penelitian ini dengan cara mengumpulkan data berdasarkan pada benda-benda berbentuk tulisan, dilakukan dengan cara mencari, membaca, mempelajari dan memahami data-data sekunder yang berhubungan dengan hukum sesuai dengan permasalahan yang dikaji yang berupa buku-buku, majalah, literatur, dokumen, peraturan yang ada relevansinya dengan masalah yang diteliti.

b. Teknik wawancara

Metode wawancara adalah metode untuk mengumpulkan data dengan cara tanya jawab. Dalam penelitian ini wawancara yang merupakan teknik untuk memperoleh data dilapangan dipergunakan untuk menunjang dari data-data yang diperoleh melalui studi dokumen. Dimana peneliti sebagai penanya dan sumber informan sebagai obyek yang akan dimintai keterangan dan informasi terkait penelitian tersebut. Pedoman daftar pertanyaan dibuat secara sistematis dan telah disiapkan oleh peneliti.Penelitian yang dilakukan dengan wawancara kepada narasumber.Narasumber diberikan pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan topik skripsi yang dibuat.

1.8.6.Teknik Pengolahan Data dan Analisa Data

Setelah data terkumpul secara lengkap tahap berikutnya adalah tahap pengolahan data.Winarno Surachmad mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan pengolahan data


(28)

adalah kegiatan mengolah data berdasarkan tehnik kualitatif, yang hasilnya disajikan dalam bentuk deskriptif .14 Dengan demikian data yang sudah diperoleh dan terkumpul secara lengkap selanjutnya akan diolah secara kualitatif, yaitu data yang bersangkutan di hubungkan antara yang satu dengan yang lainnya tetapi tetap bertumpu pada isinya dan tanpa dihitung jumlahnya dan frekuensinya dari seluruh data yang diperoleh dengan kata lain tanpa menggunakan angka, kemudian disajikan secara deskriptif analisis yaitu dengan menggambarkan secara lengkap tentang aspek-aspek tertentu yang bersangkut paut dengan masalah dan kemudian dianalisa untuk mendapatkan kebenaran dan berusaha memahami kebenaran tersebut.

14

Winarno Surachmad, 1991, Dasar dan Teknik Research Pengantar Metodologi Ilmiah. Cet. I, Tarsito, Bandung, h. 137.


(29)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG NOTARIS DAN MEDIATOR 1.1 Notaris

1.1.1 Pengertian Notaris

Kata notaris berasal dari kata "nota literaria" yaitu tanda tulisan atau karakter yang dipergunakan untuk menuliskan atau menggambarkan ungkapan kalimat yang disampaikan narasumber. Tanda atau karakter yang dimaksud adalah tanda yang dipakai dalam penulisan cepat. Pada awalnya jabatan notaris hakikatnya adalah sebagai pejabat umum yang ditugaskan oleh kekuasaan umum untuk melayani kebutuhan masyarakat akan alat bukti otentik yang memberikan kepastian hubungan hukum keperdataan. Jadi, sepanjang alat bukti autentik tetap diperlukan oleh sistem hukum negara maka jabatan notaris akan tetap diperlukan eksistensinya di tengah masyarakat.1

Menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UUJN Perubahan), disebutkan

bahwa “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta

autentik dan memiliki kewenangan lainnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya.” UUJN dan UUJN Perubahan telah mengatur secara rinci mengenai jabatan umum yang dijabat oleh notaris, dan dalam undang-undang tersebut juga mengatur tentang bentuk dan sifat

1


(30)

akta notaris, serta tentang minuta akta, grosse akta,dan salinan akta, maupun kutipan akta notaris.

Walaupun menurut definisi tersebut ditegaskan bahwa notaris itu adalah pejabat umum (openbare amtbtenaren), notaris bukan pegawai menurut undang-undang atau peraturan-peraturan kepegawaian negeri.Notaris tidak menerima gaji, bukan bezoldigd staatsambt, tetapi menerimahonorarium sebagai penghargaan atas jasa yang telah diberikan kepada masyarakat.2

Bila dikaitkan dengan Pasal 1 Stbl.1860 Nomor 3 tentang Notaris

Reglement atau Peraturan Jabatan Notaris mengatakan bahwa :

Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya, dan memberikan grosse, salinandan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.

Berdasarkan kedua ketentuan yang telah diuraiakan diatas terdapat kesamaan terkait dengan pengertian notaris sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik. Pejabat umum yang dimaksud dalam ketentuan tersebut adalah seseorang yang diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah dan diberi wewenang dan kewajiban untuk melayani publik dalam hal-hal tertentu karena ia ikut serta melaksanakan suatu kekuasaan yang bersumber pada kewibawaan dari pemerintah.

2


(31)

1.1.2 Kedudukan Notaris Sebagai Pejabat Umum

Notaris merupakan pejabat yang mempunyai spesialisasi tersendiri, karena notaris merupakan pejabat negara yang melaksanakan tugasnya untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat umum dalam bidang hukum perdata. Istilah pejabat umum merupakan terjemahan dari istilah openbare Amtbtenaren yang terdapat dalam ketentuan Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata). Adalah suatu keharusan untuk menjadikan notaris sebagai pejabat umum, berhubung dengan definisi dari akta otentik yang diberikan oleh Pasal 1868 KUHPerdata yang berbunyi : “Suatu akta otentik adalah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang‐undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai‐ pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya.”

Openbare Amtbtenarenyang diterjemahkan sebagai pejabat umum diartikan sebagai pejabat yang diserahi tugas untuk membuat akta otentik yang melayani kepentingan publik, dan kualifikasi seperti itu diberikan kepada notaris.Maka berdasarkan ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata tersebut, untuk dapat membuat suatu akta otentik seseorang harus mempunyai kedudukan sebagai pejabat umum.Namun dalam Pasal 1868 KUHPerdata itu tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai siapa yang dimaksud sebagai pejabat umum tersebut.

Menurut kamus hukum salah satu arti dari Amtbtenaren adalah pejabat.Dengan demikian Openbare Amtbtenaren adalah pejabat yang mempunyai tugas yang bertalian dengan kepentingan publik, sehingga tepat jika Openbare Amtbtenaren diartikan sebagai Pejabat Publik.Khusus berkaitan dengan Openbare


(32)

Amtbtenaren yang diterjemahkan sebagai Pejabat Umum diartikan sebagai pejabat yang diserahi tugas untuk membuat akta otentik yang melayani kepentingan publik, dan kualifikasi seperti itu diberikan kepada notaris.3

Dari pasal tersebut jelas menggambarkan bahwa tugas pokok dari notaris adalah membuat akta‐akta otentik yang menurut Pasal 1870 KUHPerdata berfungsi sebagai alat pembuktian yang mutlak. Dalam arti bahwa apa yang tersebut dalam akta otentik pada pokoknya dianggap benar. Hal ini sangat penting bagi siapa saja yang membutuhkan alat pembuktian untuk suatu keperluan, baik untuk pribadi maupun untuk kepentingan usaha.

Kedudukan notaris sebagai seorang pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik telah ditegaskan dalam ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1 angka 1 UUJN Perubahan. Notaris dalam UUJN dikualifikasikan sebagai pejabat umum, tapi kualifikasi notaris sebagai pejabat umum tidak hanya untuk notaris saja karena sekarang ini seperti Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PPAT) juga diberi kualifikasi sebagai Pejabat Umum dan Pejabat Lelang. Pemberian kualifikasi sebagai pejabat umum kepada pejabat lain selain kepada notaris bertolak belakang dengan makna dari pejabat umum itu sendiri, karena seperti PPAT hanya membuat akta-akta tertentu saja yang berkaitan dengan pertanahan dengan jenis akta yang sudah ditentukan, dan pejabat lelang hanya untuk lelang saja.4

3

Habib Adjie, 2009, Sekilas Dunia Notaris & PPAT Indonesia, Mandar Maju, Bandung, (selanjutnya disebut Habib Adjie I) h. 16

4

Habib Adjie, 2008, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris), Refika Aditama,Bandung, (selanjutnya disebut Habib Adjie II) h. 13


(33)

Kedudukan seorang notaris sebagai fungsionaritas dalammasyarakat dianggap sebagai seorang pejabat tempat seseorang dapat memperoleh nasihat yang boleh diandalkan dan pembuatan dokumen yang kuat dalam suatu proses hukum. Sehingga masyarakat membutuhkan seorang (figure) yang ketentuan-ketentuanya dapat diandalkan, dapat dipercaya, yang tanda tangannya serta segalanya (capnya) memberikan jaminan dan bukti kuat, seorang ahli yang tidak memihak dan penasihat yang tidak ada cacatnya (onkreukbaar atau

unimpeachable), yang tutup mulut, dan membuat suatu perjanjian yang dapat melindunginya di hari yang akan datang.5

Jabatan notaris merupakan suatu lembaga yang diciptakan oleh negara.Menempatkan notaris sebagai jabatan merupakan suatu bidang pekerjaan atau tugas yang sengaja dibuat oleh aturan hukum untuk keperluan dan fungsi tertentu (kewenangan tertentu) serta bersifat berkesinambungan sebagai suatu lingkungan pekerjaan tetap. Sebagai pejabat umum, notaris : (a) berjiwa pancasila; (b) taat kepada hukum, sumpah jabatan, Kode Etik Notaris; (c) berbahasa Indonesia yang baik.6Sehingga segala tingkah laku notaris baik di dalam ataupun di luar menjalankan jabatannya harus selalu memperhatikan peraturan hukum yang berlaku, dan yang tidak kalah penting juga kode etik notaris.

5

Tan Thong Kie, 2000, Studi Notariat Serba Serbi Praktek Notaris, Ikhtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, h. 162

6

Abdulkadir Muhammad, 2006, Etika Profesi Hukum, cet 3, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 89


(34)

1.2 Mediator Pada Umumnya 1.2.1 Pengertian Mediasi

Mediasi merupakan adopsi dari bahasa latinmediare yang berarti berada di tengah.7Pengertian ini lebih mengarah kepada fungsi dan peranan mediator yakni sebagai penengah antara dua orang atau lebih yang saling bersengketa, oleh sebab itu mediator harus mampu menjaga independensi serta menjaga keberpihakan kepada salah satu pihak agar menumbuhkan kepercayaan antara para pihak yang bersengketa.Ramadi Usman mendefinisikan kata mediasi berasal dari bahasa Inggris “mediation” yang artinya penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga sebagai penengah atau penyelesaian sengketa secara menengahi, sedangkan orang yang menengahi disebut mediator atau orang yang menjadi penengah.8

Mediasi merupakan metode penyelesaian sengketa yang berkembang pesat di berbagai belahan dunia sejak tiga dasawarsa terakhir.Penggunaan mediasi tidak hanya dilakukan di luar pengadilan oleh lembaga swasta dan swadaya masyarakat, tetapi juga terintegrasi dalam sistem peradilan.Perkembangan mediasi merupakan hal yang menggembirakan di tengah mandeknya mekanisme peradilan di dunia.9Secara umum, kamus besar bahasa Indonesia, disebutkan bahwa yang dimaksuddengan mediasi adalah proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam menyelesaikan suatu perselisihan sebagai penasehat.10Sedangkan pengertian perdamaian menurut hukum positif sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 1851

7

Syahrizal Abbas, 2009, Mediasi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 1-2

8

Rahmadi Usman, I, Op.cit, h. 79

9

Fatahillah A. Syukur, 2012, Mediasi Yudisial Di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, h. 1

10

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 2000, Kamus Besar Bahasa Indonesia,Balai Pustaka, Jakarta, h. 640


(35)

KUHPerdata adalah “suatu perjanjian dimana kedua belah pihak dengan dalam menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung atau mencegah timbulnya suatu perkara kemudian.”

Dalam pengertian lain, mediasi adalah penyelesaian sengketa melalui cara perundingan/musyawarah mufakat para pihak dengan bantuan pihak netral (mediator) yang tidak memiliki kewenangan memutus dengan tujuan menghasilkan kesepakatan damai untuk mengakhiri sengketa secara yuridis, pengertian mediasi hanya dapat dijumpai dalam Perma Nomor 1 Tahun 2008

dalam pasal 1 ayat 7, yang menyebutkanbahwa : “Mediasi adalah cara

penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh

kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.”

Beberapa unsur penting yang terdapat dalam mediasi antara lain sebagai berikut:

1. Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa berdasarkan perundingan; 2. Mediator terlibat dan diterima para pihak yang bersengketa didalam

perundingan;

3. Mediator bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk mencari penyelesaian;

4. Mediator tidak mempunyai kewenangan membuat keputusan selama perundingan berlangsung;


(36)

5. Tujuan mediasi adalah untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan yang diterima pihak-pihak yang bersengketa guna mengakhiri sengketa.11 Mediasi atau alternatif penyelesaian sengketa di Indonesia adalah merupakan

culture (budaya) bangsa Indonesia sendiri.Baik dalam masyarakat tradisional maupun sebagai dasar negara Pancasila yang dikenal istilah musyawarah untuk mufakat. Seluruh suku bangsa di Indonesia pasti mengenal makna dari istilah tersebut, walaupun penyebutannya berbeda, akan tetapi mempunyai makna yang sama. Dalam klausula-klausula suatu kontrak atau perjanjian, pada bagian penyelesaian sengketa selalu diikuti dengan kata-kata “kalau terjadi sengketa atau perselisihan akan diselesaikan dengan caramusyawarah dan apabila tidak tercapai

suatu kesepakatan akan diselesaikan di Pengadilan Negeri”

Terdapat dua bentuk mediasi bila ditinjau dari waktu pelaksanaannya.Pertama yang dilakukan di luar sistem peradilan dan yang dilakukan dalam sistem peradilan. Sistem hukum Indonesia dalam hal ini Mahkamah Agung (selanjutnya disebut MA) lebih memilih bagian yang kedua yaitu mediasi dalam sistem peradilan atau court annexed mediation atau lebih dikenal court annexed dispute resolution.12 Untuk saat ini, pemberlakuan mediasi dalam sistem peradilan di Indonesia didasarkan pada Peraturan Mahkamah Agung (selanjutnya disebut Perma) Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang menetapkan mediasi sebagai bagian dari hukum acara dalam

11

Suyut Margono, 2000, ADR dan Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, PT. Graha Indonesia, Bogor, h. 59

12

Suyud Margono, 2002, ADR (Alternative Dispute Resolution) & Arbitrase Proses Pelembagaan Dan Aspek Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 23-33


(37)

perkara perdata, sehingga suatu putusan akan menjadi batal demi hukum manakala tidak melalui proses mediasi (Perma Nomor 1 Tahun 2008 Pasal 2).

Diberlakukannya Perma Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, sebagai pengganti Perma Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, maka setiap perkara perdata tertentu yang akan diadili oleh hakim pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan peradilan agama diwajibkan terlebih dahulu untuk menempuh prosedur mediasi di pengadilan. Penginstitusionalisasi mediasi dalam proses berperkara di pengadilan tersebut dimaksudkan dapat menjadi salah satu instrumen efektif dalam mengatasi masalah penumpukan perkara di pengadilan dan sekaligus memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian sengketa. Hal ini sejalan dengan prinsip penyelesaian sengketa yang cepat dan murah, yang pada akhirnya dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak untuk menemukan penyelesaian sengketanya secara memuaskan dan memenuhi rasa keadilan.

Perma Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi (selanjutnya disebut Perma Nomor 1 Tahun 2008) di Pengadilan pada bagian menimbang

tertulis “Bahwa mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak menemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa

keadilan.” Mediasi adalah proses negosiasi pemecahan masalah, di mana pihak

luar yang tidak memihak (impartial) bekerja sama dengan pihak yang bersengketa untuk mencari kesepakatan bersama. Mediator tidak berwenang untuk memutus


(38)

sengketa, tetapi hanya membantu para pihak untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dikuasakan kepadanya.13

Seseorang yang hendak menjadi mediator secara umum wajib memiliki sertifikat mediator, hal ini sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 5 Perma Nomor 1 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa :

1. Kecuali keadaan sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (3) dan Pasal 11 ayat (6), setiap orang yang menjalankan fungsi mediator pada asasnya wajib memiliki sertifikat mediator yang diperoleh setelah mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh lembaga yang telah memperoleh akreditasi dari Mahkamah Agung Republik Indonesia.

2. Jika dalam wilayah sebuah pengadilan tidak ada hakim, advokat, akademisi hukum dan profesi bukan hukum yang bersertifikat mediator, hakim di lingkungan pengadilan yang bersangkutan berwenang menjalankan fungsi mediator.

3. Untuk memperoleh akreditasi, sebuah lembaga harus memenuhi syarat-syarat berikut:

a. Mengajukan permohonan kepada Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia;

b. Memiliki instruktur atau pelatih yang memiliki sertifikat telah mengikuti pendidikan atau pelatihan mediasi dan pendidikan atau pelatihan sebagai instruktur untuk pendidikan atau pelatihan mediasi; c. Sekurang-kurangnya telah dua kali melaksanakan pelatihan mediasi

bukan untuk mediator bersertifikat di Pengadilan;

d. Memiliki kurikulum atau pelatihan mediasi di pengadilan yang di sahkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Kedudukan mediasi sebagai salah satu bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa ini berada di bawah payung alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan berupa konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi dan penilaian ahli. Pengaturan mengenai alternatif penyelesaian sengketa cukup terbatas diatur dalam undang-undang ini, yaitu hanya satu pasal,

13

Khotibul Uman, 2010, Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan, Pustaka Yustisia, Yogjakarta, h. 10


(39)

yaitu pasal 6 dengan 9 ayat. Dalam pasal tersebut tidak ditemukan persyaratan mediator, pengangkatan mediator, kewenangan dan tugas mediator, keterlibatan pihak ketiga, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan proses mediasi. Oleh karena itu, sangat tepat bila undang-undang ini disebut sebagai undang-undang arbitrase dan bukan undang-undang mediasi.14

1.2.2 Pengertian Mediator

Dalam Pasal 1 ayat (6) Perma Nomor 1 Tahun 2008 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.”

Sebagai seorang mediator yang dituntut untuk mengedepankan negosiasi yang bersifat kompromis, hendaklah memiliki ketrampilan-ketrampilan khusus. Ketrampilan khusus yang dimaksud ialah:

1. Mengetahui bagaimana cara mendengarkan para pihak yang bersengketa; 2. Mempunyai ketrampilan bertanya terhadap hal-hal yang

dipersengketakan;

3. Mempunyai ketrampilan membuat pilihan-pilihan dalam menyelesaikan sengketa yang hasilnya akan menguntungkan para pihak yang bersengketa (win-win solution);

4. Mempunyai ketrampilan tawar menawar secara seimbang;

14


(40)

5. Membantu para pihak untuk menemukan solusi mereka sendiri terhadap hal-hal yang dipersengketakan.15

Berbeda dengan hakim atau arbiter, mediator tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan sengketa antara para pihak namun dalam hal ini para pihak menguasakan kepada mediator untuk membantu mereka menyelesaikan persoalan-persoalan di antara mereka. Asumsinya adalah pihak ketiga akanmampu mengubah kekuatan dan dinamika sosial hubungan konflik dengan cara mempengaruhi kepercayaan dan tingkah laku pribadi/individual para pihak, dengan memberikan pengetahuan atau informasi, atau dengan menggunakan proses negosiasi yang lebih efektif dan dengan demikian membantu para peserta untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dipersengketakan.16

1.2.3 Sertifikasi Mediator dan Pemilihan Mediator

Mengenai sertifikasi mediator diatur dalam Pasal 5 Perma Nomor 1 Tahun 2008 dapat diketahui bahwa :

1. Setiap orang yang menjalankan fungsi mediator pada asasnya wajib memiliki sertifikat mediator yang diperoleh setelah mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh lembaga yang telah memperoleh akreditasi dari Mahkamah Agung Republik Indonesia;

2. Jika dalam wilayah sebuah pengadilan tidak ada hakim, advokat, akademisi hukum dan profesi hukum yang bersertifikat mediator, hakim

15

Harijah Damis, Hakim Mediasi Versi Sema Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai, Majalah Mimbar Hukum, Nomor 63 tahun XV, Edisi Maret-April 2004, h. 28

16


(41)

di lingkungan pengadilan yang bersangkutan berwenang menjalankan fungsi mediator.

3. Untuk memperoleh akreditasi, sebuah lembaga harus memenuhi syarat-syarat berikut :

a. Mengajukan permohonan kepada Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia;

b. Memiliki instruktur atau pelatih yang memiliki sertifikat telah mengikuti pendidikan atau pelatihan mediasi dan pendidikan atau pelatihan sebagai instruktur untuk pendidikan atau pelatihan mediasi;

c. Sekurang-kurangnya telah dua kali melaksanakan pelatihan mediasi bukan untuk mediator bersertifikat di pengadilan;

d. Memiliki kurikulum pendidikan atau pelatihan mediasi di pengadilan;

e. Memiliki kurikulum pendidikan atau pelatihan mediasi di pengadilan yang disahkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Para pihak berhak untuk memilih mediator sebagaimana ditentukan dalam ketentuan Pasal 8 ayat (1) Perma Nomor 1 Tahun 2008 yaitu :

a. Hakim bukan pemeriksa perkara pada pengadilan yang bersangkutan;


(42)

c. Profesi bukan hukum yang dianggap para pihak menguasai atau berpengalaman dalam pokok sengketa;

d. Hakim majelis pemeriksa perkara;

e. Gabungan antara mediator yang disebut dalam butir a dan d, atau gabungan butir b dan d atau gabungan butir c dan d.

1.2.4 Tugas dan Kewenangan Mediator

Tugas-tugas dari seorang mediator dalam melakukan mediasi diantara pihak-pihak yang bersengketa diatur dalam ketentuan Pasal 15 Perma Nomor 1 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa :

1. Mediator wajib mempersiapkan usulan jadwal pertemuan mediasi kepada para pihak untuk dibahas dan disepakati;

2. Mediator wajib mendorong para pihak untuk secara langsung berperan dalam proses mediasi;

3. Apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus;

4. Mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali kepentingan mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak.

Selain itu menurut ketentuan yang diatur dalam Pasal 17 ayat (1) Perma Nomor 1 Tahun 2008 menyatakan bahwa tugas mediator untuk membantu para pihak merumuskan kesepakatan perdamaian.

Mediator dalam menjalankan tugasnya juga memiliki kewenangan untuk menyatakan mediasi gagal sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 14 Perma Nomor 1 Tahun 2008 yaitu :


(43)

a. Mediator berwenang untuk menyatakan mediasi telah gagal jika salah satu pihak atau para pihak atau kuasa hukumnya telah dua kali berturut-turut tidak menghadiri pertemuan mediasi sesuai jadwal pertemuan mediasi yang telah disepakati atau telah dua kali berturut-turut tidak menghadiri pertemuan mediasi tanpa alasan setelah dipanggil secara patut;(Pasal 14 ayat (1)).

b. Mediator mempunyai kewenangan untuk membatasi mediasi yang melibatkan aset atau harta kekakayaan atau kepentingan yang nyata-nyata berkaitan dengan pihak lain yang tidak disebutkan dalam surat gugatan sehingga para pihak yang dihadirkan dalam proses mediasi tidak lengkap. (Pasal 14 ayat (2)).

1.2.5 Lingkup Kerja Mediator

Keterampilan untuk menemukan pilihan-pilihan alternatif penyelesaian sengketa merupakan salah satu kekayaan yang paling berguna bagi seorang penengah.Mediator tidak mempunyai wewenang membuat penilaian atau putusan siapa yang benar dan siapa yang salah, mediator dihadirkan karena keterampilan yang mereka miliki untuk mempermudah munculnya sebuah solusi.

Mediasi dapat berfungsi dengan baik bilamana sesuai dengan beberapa syarat berikut ini:

a. Para pihak mempunyai kekuatan tawar-menawar yang sebanding; b. Para pihak menaruh perhatian terhadap hubungan di masa depan; c. Terdapat urgensi atau batas waktu untuk penyelesaian;


(44)

d. Para pihak tidak memiliki permusuhan yang berlangsung lama dan mendalam;

e. Jika para pihak berada dalam proses litigasi, kepentingan-kepentingan pelaku lainnya, seperti para pengacara tidak akan menjamin diperlakukan lebih baik dibandingkan dengan mediasi.17

Apabila proses mediasi sudah berlangsung, mediator harus berfungsi sebagai wasit dengan tetap menjaga netralitas dan tidak boleh terbawa didalam emosi salah satu pihak dan selalu menjaga kenyamanan suasana. Garry Goodpaster membagi pelaksanaan mediasi itu berlangsung menjadi 4 (empat) tahapan, yaitu:

1. Tahapan Pertama: Menciptakan Forum

Dalam tahap pertama ini, kegiatan-kegiatan yang dilakukan mediator antara lain:

a. Mengadakan pertemuan bersama; b. Pernyataan pembukaan mediator;

c. Menetapkan aturan dasar perundingan dan membimbing para pihak;

d. Mengembangkan hubungan dan kepercayaan diantara para pihak; e. Penyataan-pernyataan para pihak;

f. Para pihak mengadakan atau melakukan hearing dengan mediator; g. Mengembangkan, menyampaikan dan melakukan klarifikasi

informasi;

17

Rachmadi Usman, 2002, Hukum Arbitrase Nasional, Grasindo, Jakarta, (selanjutnya disebut Rachmadi Usman II) h. 17


(45)

h. Menciptakan interaksi model dan disiplin.

2. Tahap Kedua: Pengumpulan dan Pembagian Informasi

Dalam tahap ini mediator akan mengadakan pertemuan-pertemuan secara terpisah atau dinamakan dengan caucus-causus terpisah guna:

a. Mengembangkan informasi lanjutan;

b. Melakukan eksplorasi yang mendalam mengenai keinginan atau kepentingan para pihak;

c. Membantu para pihak dalam menaksir dan menilai kepentingan; d. Membimbing para pihak dalam tawar-menawar penyelesaian

masalah.

3. Tahap Ketiga: Penyelesaian Masalah

Dalam tahap ketiga ini mediator dapat mengadakan pertemuan bersama atau caucus-caucus terpisah sebagai tambahan atau kelanjutan dari pertemuan sebelumnya, dengan maksud untuk:

a. Menyusun dan menetapkan agenda;

b. Merumuskan kegiatan-kegiatan penyelesaian masalah; c. Meningkatkan kerja sama;

d. Meningkatkan identifikasi dan klarifikasi masalah; e. Mengadakan pilihan penyelesaian masalah;

f. Membantu melakukan pilihan penafsiran;

g. Membantu para pihak dalam menafsir, menilai dan membuat prioritas kepentingan-kepentingan mereka.


(46)

4. Tahap Keempat: Pengambilan Keputusan

Dalam rangka pengambilan keputusan, kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan:

a. Mengadakan caucus-caucus dan pertemuan-pertemuan bersama; b. Melokasikan peraturan, mengambil sikap dan membantu para pihak

mengevaluasi paket-paket pemecahan masalah;

c. Membantu para pihak untuk memperkecil perbedaan-perbedaan; d. Mengkonfirmasi dan mengklarifikasi perjanjian;

e. Membantu para pihak untuk membandingkan proposal penyelesaian masalah dengan pilihan diluar perjanjian;

f. Mendorong atau mendesak para pihak untuk menghasilkan pemecahan masalah;

g. Memikirkan formula pemecahan masalah yang win-win solution;

h. Membantu para pihak melakukan mufakat dengan pemberi kuasa mereka;

i. Membantu para pihak membuat pertanda perjanjian.18

Setelah para pihak tersebut mencapai kesepakatan, mereka harus menulis sebuah kesepakatan final dan menandatanganinya, sehingga hal tersebut akan dapat dibawa ke pengadilan jika ternyata bermasalah. Mediator tidak boleh hanya mewakili satu pihak saja, karena hal ini dapat membuat mediator rentan terhadap tuntutan-tuntutan konflik kepentingan.

18


(47)

(1)

c. Profesi bukan hukum yang dianggap para pihak menguasai atau berpengalaman dalam pokok sengketa;

d. Hakim majelis pemeriksa perkara;

e. Gabungan antara mediator yang disebut dalam butir a dan d, atau gabungan butir b dan d atau gabungan butir c dan d.

1.2.4 Tugas dan Kewenangan Mediator

Tugas-tugas dari seorang mediator dalam melakukan mediasi diantara pihak-pihak yang bersengketa diatur dalam ketentuan Pasal 15 Perma Nomor 1 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa :

1. Mediator wajib mempersiapkan usulan jadwal pertemuan mediasi kepada para pihak untuk dibahas dan disepakati;

2. Mediator wajib mendorong para pihak untuk secara langsung berperan dalam proses mediasi;

3. Apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus;

4. Mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali kepentingan mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak.

Selain itu menurut ketentuan yang diatur dalam Pasal 17 ayat (1) Perma Nomor 1 Tahun 2008 menyatakan bahwa tugas mediator untuk membantu para pihak merumuskan kesepakatan perdamaian.

Mediator dalam menjalankan tugasnya juga memiliki kewenangan untuk menyatakan mediasi gagal sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 14 Perma Nomor 1 Tahun 2008 yaitu :


(2)

a. Mediator berwenang untuk menyatakan mediasi telah gagal jika salah satu pihak atau para pihak atau kuasa hukumnya telah dua kali berturut-turut tidak menghadiri pertemuan mediasi sesuai jadwal pertemuan mediasi yang telah disepakati atau telah dua kali berturut-turut tidak menghadiri pertemuan mediasi tanpa alasan setelah dipanggil secara patut;(Pasal 14 ayat (1)).

b. Mediator mempunyai kewenangan untuk membatasi mediasi yang melibatkan aset atau harta kekakayaan atau kepentingan yang nyata-nyata berkaitan dengan pihak lain yang tidak disebutkan dalam surat gugatan sehingga para pihak yang dihadirkan dalam proses mediasi tidak lengkap. (Pasal 14 ayat (2)).

1.2.5 Lingkup Kerja Mediator

Keterampilan untuk menemukan pilihan-pilihan alternatif penyelesaian sengketa merupakan salah satu kekayaan yang paling berguna bagi seorang penengah.Mediator tidak mempunyai wewenang membuat penilaian atau putusan siapa yang benar dan siapa yang salah, mediator dihadirkan karena keterampilan yang mereka miliki untuk mempermudah munculnya sebuah solusi.

Mediasi dapat berfungsi dengan baik bilamana sesuai dengan beberapa syarat berikut ini:

a. Para pihak mempunyai kekuatan tawar-menawar yang sebanding; b. Para pihak menaruh perhatian terhadap hubungan di masa depan; c. Terdapat urgensi atau batas waktu untuk penyelesaian;


(3)

d. Para pihak tidak memiliki permusuhan yang berlangsung lama dan mendalam;

e. Jika para pihak berada dalam proses litigasi, kepentingan-kepentingan pelaku lainnya, seperti para pengacara tidak akan menjamin diperlakukan lebih baik dibandingkan dengan mediasi.17

Apabila proses mediasi sudah berlangsung, mediator harus berfungsi sebagai wasit dengan tetap menjaga netralitas dan tidak boleh terbawa didalam emosi salah satu pihak dan selalu menjaga kenyamanan suasana. Garry Goodpaster membagi pelaksanaan mediasi itu berlangsung menjadi 4 (empat) tahapan, yaitu:

1. Tahapan Pertama: Menciptakan Forum

Dalam tahap pertama ini, kegiatan-kegiatan yang dilakukan mediator antara lain:

a. Mengadakan pertemuan bersama; b. Pernyataan pembukaan mediator;

c. Menetapkan aturan dasar perundingan dan membimbing para pihak;

d. Mengembangkan hubungan dan kepercayaan diantara para pihak; e. Penyataan-pernyataan para pihak;

f. Para pihak mengadakan atau melakukan hearing dengan mediator; g. Mengembangkan, menyampaikan dan melakukan klarifikasi

informasi;

17

Rachmadi Usman, 2002, Hukum Arbitrase Nasional, Grasindo, Jakarta, (selanjutnya disebut Rachmadi Usman II) h. 17


(4)

h. Menciptakan interaksi model dan disiplin.

2. Tahap Kedua: Pengumpulan dan Pembagian Informasi

Dalam tahap ini mediator akan mengadakan pertemuan-pertemuan secara terpisah atau dinamakan dengan caucus-causus terpisah guna:

a. Mengembangkan informasi lanjutan;

b. Melakukan eksplorasi yang mendalam mengenai keinginan atau kepentingan para pihak;

c. Membantu para pihak dalam menaksir dan menilai kepentingan; d. Membimbing para pihak dalam tawar-menawar penyelesaian

masalah.

3. Tahap Ketiga: Penyelesaian Masalah

Dalam tahap ketiga ini mediator dapat mengadakan pertemuan bersama atau caucus-caucus terpisah sebagai tambahan atau kelanjutan dari pertemuan sebelumnya, dengan maksud untuk:

a. Menyusun dan menetapkan agenda;

b. Merumuskan kegiatan-kegiatan penyelesaian masalah; c. Meningkatkan kerja sama;

d. Meningkatkan identifikasi dan klarifikasi masalah; e. Mengadakan pilihan penyelesaian masalah;

f. Membantu melakukan pilihan penafsiran;

g. Membantu para pihak dalam menafsir, menilai dan membuat prioritas kepentingan-kepentingan mereka.


(5)

4. Tahap Keempat: Pengambilan Keputusan

Dalam rangka pengambilan keputusan, kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan:

a. Mengadakan caucus-caucus dan pertemuan-pertemuan bersama; b. Melokasikan peraturan, mengambil sikap dan membantu para pihak

mengevaluasi paket-paket pemecahan masalah;

c. Membantu para pihak untuk memperkecil perbedaan-perbedaan; d. Mengkonfirmasi dan mengklarifikasi perjanjian;

e. Membantu para pihak untuk membandingkan proposal penyelesaian masalah dengan pilihan diluar perjanjian;

f. Mendorong atau mendesak para pihak untuk menghasilkan pemecahan masalah;

g. Memikirkan formula pemecahan masalah yang win-win solution; h. Membantu para pihak melakukan mufakat dengan pemberi kuasa

mereka;

i. Membantu para pihak membuat pertanda perjanjian.18

Setelah para pihak tersebut mencapai kesepakatan, mereka harus menulis sebuah kesepakatan final dan menandatanganinya, sehingga hal tersebut akan dapat dibawa ke pengadilan jika ternyata bermasalah. Mediator tidak boleh hanya mewakili satu pihak saja, karena hal ini dapat membuat mediator rentan terhadap tuntutan-tuntutan konflik kepentingan.

18


(6)