Transisi Ekonomi dan Reformasi Indonesia
Transisi Ekonomi dan Reformasi Indonesia: Perluasan Pasar dan Adaptasi Jaringan Lama
Peristiwa reformasi dari Orde Baru juga simultan dengan proses transisi ekonomi
yang melanda Indonesia pada kala itu. Pada masa Orde Baru, kekuasaan begitu otoriter dan,
dalam istilah Hutchcroft, administrtative patrimonial1; dalam artian bahwa kekuasaan berada
di tangan pejabat yang berkuasa yang mendapat keuntungannya dari bayaran-bayaran para
pebisnis yang secara politis tak terorganisasi. Namun seiring berjalannya waktu, Orde Baru
juga menjadi inkubator dari kelas kapitalis baru yang akan menentang bentuk administrative
patrimonial Orde Baru yang merugikannya2. Selama masa pergolakan politik yang bermuara
pada lengsernya Orde Baru, maka juga terjadi transisi ekonomi yang merubah wajah ekonomi
Indonesia hingga sekarang. Transisi ekonomi ini hendak membebaskan ekonomi supaya
perekonomian tak lagi hanya dikuasai oleh beberapa pihak saja yang sering disebut
konglomerat yang memiliki jaringan kuat dengan pejabat-pejabat Orde Baru pun dengan
lingkaran Cendana3.
Namun yang perlu dicermati lebih lanjut dari transisi ekonomi ini terletak di perluasan
pasar. Dengan liberalisasi ekonomi dari struktur politiko-bisnis yang kuat yang ada
sebelumnya di masa Orde Baru, pasar memiliki ruang lebih luas sehingga mendorong
berkembangnya lapisan kapitalis ukuran-menengah yang tidak membutuhkan patronase
negara mengingat sebagian besar sektor perekonomian telah dideregulasi selama duapuluh
lima tahun terakhir4. Akan tetapi, sebelum pasar dapat bergerak lebih luas di segala lini
ekonomi -mikro-menengah dan makro-, terebih dahulu pasar harus membangun sebuah
‘lingkungan’ yang dapat mendukung aktivitasnya. Stiglitz, dalam Robinsons dan Hadiz,
mengatakan bahwa yang sulit dari pembangunan adalah memastikan pertumbuhan modal
sosial dan institusional yang dapat menjamin masyarakat berfungsi dengan baik. Karena jika
jaringan, norma dan institusi sosial terlalu lemah, pasar akan sulit untuk membuat masyarakat
mengikutinya5. Maka, penguatan modal sosial masyarakat adalah sebagai prasyarat penting
1 Robinson, Richard & Vedi Hadiz. Reorganising Power in Indonesia: The Politics of
Oligarchy in an Age of Market. RoutledeCurzon. London: 2004. Hal: 42
2 Ibid hal: 43
3 Pepinsky, Thomas B. Economic Crises and the Breakdown of Authoritarian Regimes :
Indonesia and Malaysia in Comparative Perspective. Cambridge University Press.
Cambridge: 2009. Hal 58
4 Aspinall, Edward. Kemenangan Modal? Politik Kelas dan Demokratisasi Indonesia dalam
Prisma edisi Perselingkuhan Bisnis dan Politik vol. 32 no. 1. LP3ES. Jakarta: 2013. Hal: 29
5 Robinson, Richard & Vedi Hadiz. Op cit. Hal: 24
Tugas UAS Modal Sosial dan Civil Society. Fazar R. Sargani (1106059221) Page
1
terbentuknya pasar bebas6, terutama di masa transisi menujunya agar berhasil 7. Dan hasilnya
adalah modal swasta termasuk investasi asing jauh lebih besar dibanding masa Orde Baru dan
berkembangnya kapitalis pribumi ukuran-menengah yang mandiri8.
Jika fokus dipusatkan pada perusahaan-perusahaan besar yang diuntungkan pada saat
Orde Baru, apakah yang terjadi pada mereka di masa transisi? Apakah konglomerasi dan
figur-figur lama akan hilang? Apakah sesuai dengan apa yang dijelaskan oleh Recanatini dan
Rayterman bahwa perusahaan-perusahaan yang bertahan dalam masa transisi adalah
perusahaan yang bisa membentuk jaringan baru daripada bertahan pada jaringan lama? Dan
apakah sesuai dengan asumsi Batjargal yang mengatakan bahwa ikatan yang lemah lebih
menguntungkan perusahaan di masa transisi daripada jaringan yang kuat yang berbasis pada
hubungan personal9 atau partikular? Mengacu pada Robinsons dan Hadiz, figur-figur yang
dominan dalam bisnis dan politik yang tadinya menjadi penyokong Suharto, berhasil bertahan
dan mereorganisasi kekuatan ekonomi mereka bukan dengan cara membuka diri untuk
berkompetisi di dalam pasar bebas atau berada pada lembaga hukum yang transparan dan
adil, tetapi dengan cara bergantung, sampai batas tertentu pada ikatan-ikatan partikularistik
yang membersarkannya10 dan menekan negara untuk menanggung sebanyak mungkin
kerugian ekonomi semasa krisis dan mereka juga menyerang alinasi politik yang baru.
Akhirnya, negara tak mampu menlakukan reformasi yang menyeluruh karena kekuasaan
ekonomi pun politik masih berada di tangan kepentingan politik yang selamat dan
keselamatannya itu bergantung pada pelanggengan institusi-institusi rezim lama 11. Dengan
demikian, figur-figur, yang juga miliki perusahaan-perusahaan, dapat bertahan selama masa
transisi ekonomi Indonesia menggunakan mekanisme lain daripada yang dikemukakan
Batjargan maupun Recantini dan Rayterman. Dan juga tampak perbedaan dengan apa yang
Raiser katakan bahwa jaringan the old boys akan kesusahaan untuk bertahan, walaupun
sepertinya benar bahwa jaringan itu memberikan externalities yang negatif bagi para
kompetitor yang baru khususnya.
6 Ibid hal: 25
7 Raiser, Martin. Social Capital in Transition Economies dalam Castiglione, Dario. Jan
W.Van Deth & Guglielmo Wolleb (ed). The Handbook of Social Capital. Oxford University
Press. Oxford:2008. Hal: 496
8 Aspinall, Edward. Op. cit. Hal: 24-8
9 . Raiser, Martin. Op cit.Hal: 501
10 Apinall, Edward. Op. cit. Hal: 29
11 Robinsons, Richard & Vedi Hadiz. Op cit. hal: 187
Tugas UAS Modal Sosial dan Civil Society. Fazar R. Sargani (1106059221) Page
2
Contoh riilnya seperti penguasaan saham secara tidak langsung beberapa statiun
televisi oleh keluarga Cendana, usaha Salim Group untuk menguasai kembali aset-aset yang
BPPN ambil alih semasa krisis ekonomi, monopoli film import oleh Twenty One Group milik
Sudwikatmono, saudara tiri Soeharto dan tumbuh kembangnya yang pesat dari Bakrie Group
yang semasa Orba punya jaringan politik kuat khususnya dengan Golkar di mana kini
Aburizal Bakrie menjadi ketua Golkar12.
Selanjutnya sebagai penutup, tampak ada kesamaan yang dihadapi Indonesia dengan
Asia Tengah setelah masa transisi ekonomi usai. Menurut Raiser, perkembangan civil society
dan pemerintah yang akuntabel harus menunggu berakhirnya generasi pemimpin-pemimpin
yang ada sekarang. Di Indonesia trennya sudah menunjukkan ke arah pergantian dengan
munculnya nama-nama bakal calon presiden yang relatif lebih mudan dan sebelumnya tak
pernah ikut bursa calon presiden seperti Joko Widodo, Anies Baswedan dan Gita Wiryawan
walaupun mereka masih harus bersaing dengan nama-nama lama yang tersisa yang punyai
peran penting atau memiliki jaringan kuat dengan lingkaran kuasa semasa Orba. Pergantian
generasi pemimpin, oleh daripada itu, menjadi batu pijakan baru yang lebih jelas seselesainya
masa transisi ekonomi yang dicirikan keterlibatan publik yang lebih aktif di pasar walau juga
pada batas tertentu cuma membawa perubahan semu di Indonesia.
12 Sudibyo, Agus & Nezar Patria. Ditempa Pertarungan Modal Industri Pertelivisian di
Indonesia Pasca-Otoritarianisme dalam Prisma edisi Perselingkuhan Bisnis dan Politik vol.
32 no. 1. LP3ES. Jakarta: 2013. Hal: 54-7
Tugas UAS Modal Sosial dan Civil Society. Fazar R. Sargani (1106059221) Page
3
Peristiwa reformasi dari Orde Baru juga simultan dengan proses transisi ekonomi
yang melanda Indonesia pada kala itu. Pada masa Orde Baru, kekuasaan begitu otoriter dan,
dalam istilah Hutchcroft, administrtative patrimonial1; dalam artian bahwa kekuasaan berada
di tangan pejabat yang berkuasa yang mendapat keuntungannya dari bayaran-bayaran para
pebisnis yang secara politis tak terorganisasi. Namun seiring berjalannya waktu, Orde Baru
juga menjadi inkubator dari kelas kapitalis baru yang akan menentang bentuk administrative
patrimonial Orde Baru yang merugikannya2. Selama masa pergolakan politik yang bermuara
pada lengsernya Orde Baru, maka juga terjadi transisi ekonomi yang merubah wajah ekonomi
Indonesia hingga sekarang. Transisi ekonomi ini hendak membebaskan ekonomi supaya
perekonomian tak lagi hanya dikuasai oleh beberapa pihak saja yang sering disebut
konglomerat yang memiliki jaringan kuat dengan pejabat-pejabat Orde Baru pun dengan
lingkaran Cendana3.
Namun yang perlu dicermati lebih lanjut dari transisi ekonomi ini terletak di perluasan
pasar. Dengan liberalisasi ekonomi dari struktur politiko-bisnis yang kuat yang ada
sebelumnya di masa Orde Baru, pasar memiliki ruang lebih luas sehingga mendorong
berkembangnya lapisan kapitalis ukuran-menengah yang tidak membutuhkan patronase
negara mengingat sebagian besar sektor perekonomian telah dideregulasi selama duapuluh
lima tahun terakhir4. Akan tetapi, sebelum pasar dapat bergerak lebih luas di segala lini
ekonomi -mikro-menengah dan makro-, terebih dahulu pasar harus membangun sebuah
‘lingkungan’ yang dapat mendukung aktivitasnya. Stiglitz, dalam Robinsons dan Hadiz,
mengatakan bahwa yang sulit dari pembangunan adalah memastikan pertumbuhan modal
sosial dan institusional yang dapat menjamin masyarakat berfungsi dengan baik. Karena jika
jaringan, norma dan institusi sosial terlalu lemah, pasar akan sulit untuk membuat masyarakat
mengikutinya5. Maka, penguatan modal sosial masyarakat adalah sebagai prasyarat penting
1 Robinson, Richard & Vedi Hadiz. Reorganising Power in Indonesia: The Politics of
Oligarchy in an Age of Market. RoutledeCurzon. London: 2004. Hal: 42
2 Ibid hal: 43
3 Pepinsky, Thomas B. Economic Crises and the Breakdown of Authoritarian Regimes :
Indonesia and Malaysia in Comparative Perspective. Cambridge University Press.
Cambridge: 2009. Hal 58
4 Aspinall, Edward. Kemenangan Modal? Politik Kelas dan Demokratisasi Indonesia dalam
Prisma edisi Perselingkuhan Bisnis dan Politik vol. 32 no. 1. LP3ES. Jakarta: 2013. Hal: 29
5 Robinson, Richard & Vedi Hadiz. Op cit. Hal: 24
Tugas UAS Modal Sosial dan Civil Society. Fazar R. Sargani (1106059221) Page
1
terbentuknya pasar bebas6, terutama di masa transisi menujunya agar berhasil 7. Dan hasilnya
adalah modal swasta termasuk investasi asing jauh lebih besar dibanding masa Orde Baru dan
berkembangnya kapitalis pribumi ukuran-menengah yang mandiri8.
Jika fokus dipusatkan pada perusahaan-perusahaan besar yang diuntungkan pada saat
Orde Baru, apakah yang terjadi pada mereka di masa transisi? Apakah konglomerasi dan
figur-figur lama akan hilang? Apakah sesuai dengan apa yang dijelaskan oleh Recanatini dan
Rayterman bahwa perusahaan-perusahaan yang bertahan dalam masa transisi adalah
perusahaan yang bisa membentuk jaringan baru daripada bertahan pada jaringan lama? Dan
apakah sesuai dengan asumsi Batjargal yang mengatakan bahwa ikatan yang lemah lebih
menguntungkan perusahaan di masa transisi daripada jaringan yang kuat yang berbasis pada
hubungan personal9 atau partikular? Mengacu pada Robinsons dan Hadiz, figur-figur yang
dominan dalam bisnis dan politik yang tadinya menjadi penyokong Suharto, berhasil bertahan
dan mereorganisasi kekuatan ekonomi mereka bukan dengan cara membuka diri untuk
berkompetisi di dalam pasar bebas atau berada pada lembaga hukum yang transparan dan
adil, tetapi dengan cara bergantung, sampai batas tertentu pada ikatan-ikatan partikularistik
yang membersarkannya10 dan menekan negara untuk menanggung sebanyak mungkin
kerugian ekonomi semasa krisis dan mereka juga menyerang alinasi politik yang baru.
Akhirnya, negara tak mampu menlakukan reformasi yang menyeluruh karena kekuasaan
ekonomi pun politik masih berada di tangan kepentingan politik yang selamat dan
keselamatannya itu bergantung pada pelanggengan institusi-institusi rezim lama 11. Dengan
demikian, figur-figur, yang juga miliki perusahaan-perusahaan, dapat bertahan selama masa
transisi ekonomi Indonesia menggunakan mekanisme lain daripada yang dikemukakan
Batjargan maupun Recantini dan Rayterman. Dan juga tampak perbedaan dengan apa yang
Raiser katakan bahwa jaringan the old boys akan kesusahaan untuk bertahan, walaupun
sepertinya benar bahwa jaringan itu memberikan externalities yang negatif bagi para
kompetitor yang baru khususnya.
6 Ibid hal: 25
7 Raiser, Martin. Social Capital in Transition Economies dalam Castiglione, Dario. Jan
W.Van Deth & Guglielmo Wolleb (ed). The Handbook of Social Capital. Oxford University
Press. Oxford:2008. Hal: 496
8 Aspinall, Edward. Op. cit. Hal: 24-8
9 . Raiser, Martin. Op cit.Hal: 501
10 Apinall, Edward. Op. cit. Hal: 29
11 Robinsons, Richard & Vedi Hadiz. Op cit. hal: 187
Tugas UAS Modal Sosial dan Civil Society. Fazar R. Sargani (1106059221) Page
2
Contoh riilnya seperti penguasaan saham secara tidak langsung beberapa statiun
televisi oleh keluarga Cendana, usaha Salim Group untuk menguasai kembali aset-aset yang
BPPN ambil alih semasa krisis ekonomi, monopoli film import oleh Twenty One Group milik
Sudwikatmono, saudara tiri Soeharto dan tumbuh kembangnya yang pesat dari Bakrie Group
yang semasa Orba punya jaringan politik kuat khususnya dengan Golkar di mana kini
Aburizal Bakrie menjadi ketua Golkar12.
Selanjutnya sebagai penutup, tampak ada kesamaan yang dihadapi Indonesia dengan
Asia Tengah setelah masa transisi ekonomi usai. Menurut Raiser, perkembangan civil society
dan pemerintah yang akuntabel harus menunggu berakhirnya generasi pemimpin-pemimpin
yang ada sekarang. Di Indonesia trennya sudah menunjukkan ke arah pergantian dengan
munculnya nama-nama bakal calon presiden yang relatif lebih mudan dan sebelumnya tak
pernah ikut bursa calon presiden seperti Joko Widodo, Anies Baswedan dan Gita Wiryawan
walaupun mereka masih harus bersaing dengan nama-nama lama yang tersisa yang punyai
peran penting atau memiliki jaringan kuat dengan lingkaran kuasa semasa Orba. Pergantian
generasi pemimpin, oleh daripada itu, menjadi batu pijakan baru yang lebih jelas seselesainya
masa transisi ekonomi yang dicirikan keterlibatan publik yang lebih aktif di pasar walau juga
pada batas tertentu cuma membawa perubahan semu di Indonesia.
12 Sudibyo, Agus & Nezar Patria. Ditempa Pertarungan Modal Industri Pertelivisian di
Indonesia Pasca-Otoritarianisme dalam Prisma edisi Perselingkuhan Bisnis dan Politik vol.
32 no. 1. LP3ES. Jakarta: 2013. Hal: 54-7
Tugas UAS Modal Sosial dan Civil Society. Fazar R. Sargani (1106059221) Page
3