Laporan Teknologi Pengolahan Pangan Peng

Tugas:
Teknologi Pengolahan Pangan
“KATSUOBUSHI”

NAMA

:

HARDIN MUHAMMAD

NIM

:

D1C1 14 028

KELAS

:

Teknologi Pangan A


PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN
JURUSAN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI DAN INDUSTRI PERTANIAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2016

A. Pengertian Katsuobushi
Katsuobushi ( 鰹 節 ?) adalah makanan awetan berbahan baku ikan cakalang
(katsuo). Katsuobushi diserut menjadi seperti serutan kayu untuk diambil
kaldunya yang merupakan bahan dasar masakan Jepang, ditaburkan di atas
makanan sebagai penyedap rasa, atau dimakan begitu saja sebagai teman makan
nasi.
Katsuobushi yang sudah diserut tipis, berwarna coklat muda hingga merah
jambu sedikit bening umumnya dijual dalam kemasan plastik. Katsuobushi
sebagai penyedap makanan biasanya ditaburkan di atas hiyayako (tahu dingin),
okonomiyaki dan takoyaki. Katsuobushi yang sudah diserut disebut kezuribushi.
Pengawetan ikan cakalang menjadi katsuobushi umum dilakukan di beberapa
negara seperti Jepang dan kepulauan Maladewa. Teknik pengawetan ikan menjadi

katsuobushi sudah dikenal di Jepang sejak sebelum zaman Edo. Katsuobushi
disebut juga ikan kayu karena ikan cakalang yang sudah diolah menjadi sangat
keras seperti kayu, sehingga sebelum digunakan harus diserut dengan alat ketam.
Ikan dibelah menjadi 2 bagian untuk membuang bagian tulang, menyisakan
bagian daging ikan berbentuk lengkungan seperti kapal yang disebut fushi (節 ?).
Daging ikan kemudian diproses sehingga produk akhirnya disebut katsuobushi.
Pemrosesan terdiri dari berbagai tahap, sebutan untuk ikan cakalang yang
hanya direbus dan dikeringkan adalah namaribushi. Tahap selanjutnya adalah
memproses namaribushi dengan cara pengasapan atau pengapangan untuk
menumbuhkan berjenis-jenis kapang di atas permukaannya. Produk akhir yang

sering digunakan dalam masakan Jepang adalah katsuobushi yang mengalami
pengapangan dan namaribushi.
Katsuobushi kaya dengan vitamin B kompleks dan banyak mengandung
inosine dan unsur umami sehingga selalu digunakan di Jepang sebagai bumbu
dapur atau penyedap. Dalam istilah orang Jepang, umami adalah rasa "lezat" yang
merupakan rasa tambahan dari empat rasa utama yang umum: manis, asam, asin,
dan pahit.
Katsuobushi hasil pengapangan disebut karebushi (枯節 ?) yang mengandung
lebih banyak unsur umami dan vitamin B dibandingkan katsuobushi biasa.

B. Sejarah
Ikan cakalang adalah ikan yang sudah dikonsumsi orang Jepang sejak zaman
kuno. Dari beberapa situs penggalian seperti di Hachinohe (Prefektur Aomori)
berhasil ditemukan sisa-sisa ikan cakalang bekas dimakan orang zaman Jomon.
Walaupun ada kemungkinan teknik pengeringan ikan cakalang sudah dikuasai
orang Jepang sejak abad ke-5, hasil akhirnya mungkin sangat berbeda dengan
katsuobushi yang dikenal sekarang. Berdasarkan catatan zaman kuno juga
diketahui teknik pengolahan ikan cakalang yang sesudah jadi lebih mirip ikan
kering.
Menurut kitab hukum Fuyakuryō ( 賦 役 令 fuyakuryō atau buyakuryō?) dan
Kitab Undang-Undang Taihō terbitan tahun 701 (zaman Asuka), ikan cakalang
kering ditetapkan sebagai upeti atau barang persembahan, bersama-sama dengan
ikan cakalang, ikan cakalang masak nimono, dan air kaldu ikan cakalang. Pada
zaman dulu, ikan cakalang adalah upeti yang dikirimkan dari provinsi seperti Izu,

Suruga, Shima, Sagami, Awa ( 安 房 ?), Kii, Awa ( 阿 波 ?), Tosa, Bungo, dan
Himuka.
Pengolahan ikan cakalang dari zaman Muromachi mempunyai hasil akhir
yang mirip dengan katsuobushi yang dikenal sekarang. Hanakatsuo ( 花 鰹 ?)
disebut-sebut dalam buku masak terkenal dari zaman Muromachi yang berjudul

Shijōryū Hōchōsho ( 四 条 流 包 丁 書 ?). Kemungkinan besar hanakatsuo yang
disebut dalam buku masak zaman Muromachi adalah produk awetan ikan
cakalang yang sangat keras, sehingga harus diserut dengan alat ketam dan bukan
berupa ikan cakalang kering.
Teknik pengasapan baru dikenal pada zaman Edo. Teknik menghilangkan air
dari dalam daging ikan dengan cara pengasapan kemungkinan mulai dilakukan
pengolah ikan bernama Jintarō dari wilayah Kishu (Kumano). Kabibushi ( か び
節 ?) adalah jenis katsuobushi yang dimatangkan dengan cara pengapangan.
Teknik pembuatan kabibushi yang kemudian meluas ke seluruh Jepang kabarnya
diciptakan oleh Tosano Yoichi yang juga berasal dari Kishu. Pada zaman dulu,
pengolahan ikan cakalang di Jepang berpusat di daerah-daerah pantai Samudra
Pasifik seperti Satsuma, Tosa, Awa, Kii, Shima, Ise, dan Izu.
Pada zaman Edo peringkat kualitas katsuobushi dibuat seperti peringkat
pesumo. Kualitas atas yang disebut kelas gyoji ( 行 司 gyōji?, wasit) ditempati
asobushi dari Ise, namikiribushi dari Shima. Sementara itu, shimizubushi dari
Shizuoka dan yakushimabushi dari Satsuma menempati peringkat nomor dua atau
kelas Ozeki. Masakan berkelas khas Kyoto yang disebut kyōryōri banyak
menggunakan katsuobushi kelas gyōji. Namikiribushi dan karebushi banyak

dipakai dalam masakan chagaisekiryōri, hidangan kuil agama Buddha dan Shinto

di Kyoto. Kemajuan transportasi laut pada zaman Edo memungkinkan
katsuobushi yang berasal dari Kyushu dan Shikoku untuk diangkut sampai ke
Edo.
Sesudah zaman Meiji, pengolahan ikan cakalang juga dilakukan di Pulau
Uotsuri yang terletak di Kepulauan Senkaku, dan di pulau-pulau di sebelah selatan
Samudra Pasifik yang ditetapkan Liga Bangsa-Bangsa sebagai wilayah mandat
Jepang. Pengolahan ikan cakalang dari kepulauan Samudra Pasifik ini
berkembang dengan pesat karena harga-harga lokal yang murah, tapi kemudian
industri ini tamat akibat Perang Dunia II.
C. Manfaat
Katsuobushi adalah bahan dasar kaldu yang disebut dashi dan merupakan
bumbu dapur masakan Jepang yang paling utama. Dalam bahasa Jepang, sanmai
oroshi ( 三 枚 お ろ し tiga potong, belah?) adalah cara membelah ikan menjadi 3
bagian, yang terdiri dari 2 bagian daging dan 1 bagian tulang yang tidak
digunakan.
Jenis-jenis katsuobushi menurut bagian ikan hasil sanmai oroshi:


Kamebushi (dua bagian daging utuh)




Honbushi (daging bagian punggung dan perut saja)



Osubushi atau Senakabushi (bagian punggung dari Honbushi saja)



Mesubushi (daging bagian perut)

Pada zaman dulu, katsuobushi hanya diserut seperlunya sebelum digunakan
untuk memasak, sehingga alat ketam merupakan peralatan dapur yang harus
dimiliki oleh semua rumah tangga di Jepang. Alat ketam untuk menyerut
katsuobushi mirip dengan alat ketam yang digunakan tukang kayu, hanya saja
letak mata pisau berada di atas dan bukan di bawah. Sebuah kotak kecil
menyerupai laci yang bisa dibuka dan ditutup dipakai untuk mengumpulkan hasil
serutan. Nama resmi untuk alat ketam katsuobushi adalah ogura shiki katsuobushi
kezuriki (小倉式鰹節削り器 ?, alat serut katsuobushi cara Ogura) yang diciptakan

oleh warga Tokyo bernama Ogura.
Pada zaman sekarang, katsuobushi dijual dalam keadaan sudah diserut dalam
kemasan kedap udara berisi nitrogen. Katsuobushi yang dijual dalam sudah
diserut tidak berbau seharum aroma katsuobushi yang baru diserut. Rumah makan
tradisional Jepang (ryotei) umumnya memilih untuk menyerut sendiri.
Katsuobushi digunakan pada masakan Jepang yang dibuat dengan cara
nimono (merebus dengan kecap asin dan mirin), dimakan begitu saja dengan
sedikit kecap asin (o-kaka), atau digunakan sebagai isi onigiri. Katsuobushi yang
umum digunakan untuk memasak adalah Hanakatsuo yang merupakan serutan
Arakezuri. Rumah makan tradisional Jepang (ryotei) lebih memilih menggunakan
karebushi yang harganya mahal namun berkualitas tinggi dan jauh lebih enak.
D. Cara Pembuatan



Ikan cakalang dipotong, bagian kepala dibuang dan isi perut dikeluarkan



Ikan dibelah tiga menjadi 2 bagian daging dan 1 bagian tulang




Daging ikan dimasukkan ke dalam keranjang, direbus selama kira-kira 100
menit. Suhu rebusan sewaktu merebus harus benar-benar dijaga



Daging ikan diangkat, sisik ikan, lemak pada bagian perut dan tulang
harus dibuang semuanya dan dibersihkan. Daging ikan yang diolah sampai
tahap ini ada yang dijual sebagai produk akhir dan disebut Namaribushi.
Dulunya Namaribushi merupakan makanan istimewa yang hanya bisa
dinikmati di sentra-sentra industri ikan cakalang, tapi sekarang sudah
banyak dijual oleh perusahaan yang menerima pesanan yang dikirim lewat
paket pos.



Proses selanjutnya adalah mengeringkan daging ikan dengan proses
pengasapan menggunakan kayu semacam pohon ek. Daging ikan dibolakbalik seperlunya selama proses pengasapan. Daging ikan yang diolah

sampai tahap ini disebut arabushi yang setelah diserut dijual dengan nama
hanakatsuo.



Permukaan daging ikan dibersihkan, dibuang bagian yang kotor dan
dikeringkan lagi dengan menjemurnya di bawah sinar matahari.



Daging ikan dimasukkan ke dalam ruangan tertutup untuk menjalani
proses pengapangan secara alami dengan kapang Aspergillus.



Kapang yang tumbuh di permukaan daging ikan dibuang



Proses nomor 7 dan nomor 8 terus diulang sampai daging ikan menjadi

sangat kering dan keras seperti kayu sehingga kapang tidak bisa tumbuh
lagi. Pada tahap ini, berat bersih produk akhir yang bernama Karebushi
hanya tinggal seperlima dari berat bahan sebelum diproses. Karebushi
berkualitas baik jika diadu satu sama lainnya akan mengeluarkan bunyi
berdenting seperti kayu keras atau besi yang beradu. Pecahan Karebushi
terlihat berwarna merah tua yang bening seperti rubi.