Pengaruh Iklim Kesetan Kerja Terhadap Perilaku Aman Karyawan Rig Operation PT. Asia Petrocom Services Duri Tahun 2016

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Keselamatan Kerja
Istilah Safety berasal dari bahasa Inggris yang artinya keselamatan dan
biasanya selalu dikaitkan dengan keadaan terbebasnya seseorang dari peristiwa celaka
(accident) ataun nyaris celaka (near miss). Pada hakekatnya keselamatan sebagai

suatu pendekatan keilmuan maupun sebagai suatu pendekatan praktis mempelajari
faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya kecelakaan dan berupaya
mengembangkan berbagai cara dan pendekatan untuk memperkecil resiko terjadinya
kecelakaan (Syaaf, 2007).
Kata-kata safety sangat populer dan difahami oleh hampir semua kalangan.
Bahkan sebagian besar perusahaan suka menggunakan kata safety daripada
keselamatan. Secara luas safety dapat diartikan sebagai kondisi dimana tidak
terjadinya atau terbebasnya manusia dari kecelakaan, penyakit akibat kerja, dan
kerusakan lingkungan akibat polusi yang dihasilkan oleh suatu proses industri.
Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) adalah promosi dan pemeliharaan
terhadap faktor fisik, mental dan soisal pada semua pekerja yang terdapat disemua
tempat kerja, mencegah gangguan kesehatan yang disebabkan kondisi kerja,
melindungi pekerja dan semua orang dari hasil risiko dan dari faktor yang dapat

mengganggu kesehatan, menempatkan dan menjaga pekerja pada lingkungan kerja
yang adaftif terhadap fisiologis dan psikologis dan dapat menyesuaikan antara

9
Universitas Sumatera Utara

10

pekerjaan dengan manusia dan manusia lain sesuai jenis pekerjaannya (ILO, 1980
dalam Kondarus, 2006).
Keselamatan kerja mencakup dua istilah yaitu risiko keselamatan dan risiko
kesehatan. Dalam kepegawaian, kedua istilah tersebut dibedakan, yaitu risiko
keselamatan kerja menunjukan kondisi yang aman atau selamat dari penderitaan,
kerusakan atau kerugian ditempat kerja. Sedangkan risiko keselamatan merupakan
aspek-aspek dari lingkungan kerja yang dapat menyebabkan kebakaran, kerusakan
aliran listrik, terpotong, luka memar, keseleo, patah tulang, kerugian alat tubuh,
penglihatan, dan pendengaran. Semua itu sering dihubungankan dengan perlengkapan
perusahaan atau lingkungan fisik dan mencakup tugas-tugas kerja yang membutuhkan
pemeliharaan dan latihan (Mangkunegara, 2000).
Keselamatan kerja atau Occupational Safety secara filosofi diartikan sebagai

suatu pemikiran dan upaya untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan baik
jasmaniah maupun rohaniah tenaga kerja pada khususnya dan manusia pada
umumnya serta hasil budaya dan karyanya. Dari segi keilmuan diartikan sebagai
suatu pengetahuan dan penerapannya dalam usaha mencegah kemungkinan terjadinya
kecelakaan dan penyakit akibat kerja.
Di dalam UU RI No. 1 tahun 1970 dinyatakan bahwa setiap tenaga kerja
berhak mendapatkan perlindungan atas keselamatannya dalam melakukan pekerjaan
dan perlu diadakan segala upaya untuk membina norma-norma perlindungan kerja.
Berbagai upaya dilakukan oleh perusahaan sebagai tempat bekerja untuk melindungi
pekerjanya dari bahaya kecelakaan kerja. upaya-upaya itu antara lain pengendalian

Universitas Sumatera Utara

11

rekayasa (engineering control), pengendalian administratif, dan pengendalian
perilaku.
Suma’mur (1996), merumuskan tujuan dari keselamatan kerja antara lain :
a. Melindungi tenaga kerja atas hak keselamatannya dalam melakukan pekerjaan
untuk kesejahteraan hidup dan meningkatkan produksi serta produktivitas

nasional.
b. Menjamin keselamatan setiap orang lain yang berada di tempat kerja.
c. Sumber produksi terpelihara dan dipergunakan secara aman dan efisien.
2.2 Kecelakaan Kerja
2.2.1 Pengertian Kecelakaan Kerja
Kecelakaan kerja (accident) adalah suatu kejadian atau peristiwa yang tidak
diinginkan yang merugikan terhadap manusia, merusak harta benda atau kerugian
terhadap proses. Kecelakaan tidak terjadi kebetulan, melainkan ada sebabnya. Oleh
karena ada penyebabnya, sebab kecelakaan harus diteliti dan ditemukan, agar untuk
selanjutnya dengan tindakan korektif yang ditujukan kepada penyebab itu serta
dengan upaya preventif lebih lanjut kecelakaan dapat dicegah dan kecelakaan serupa
tidak berulang kembali (Suma’mur, 2009).
Menurut Freddin Warsto dan Loui Arthur Mamesah kecelakaan kerja adalah
kejadian yang tidak diinginkan yang berhubungan dengan pekerjaan yang dapat
mengakibatkan cidera/kematian terhadap orang, kerusakan harta benda atau
terhentinya proses produksi (Soehatman, 2009).

Universitas Sumatera Utara

12


2.2.2 Penyebab Kecelakaan Kerja
Menurut Matondang (2008) penyebab kecelakaan kerja di berbagai negara
tidak sama, namun ada kesamaan umum yaitu kecelakaan kerja disebabkan oleh :
1. Kondisi berbahaya (unsafe condition )
a. Mesin, peralatan, bahan, dan lain-lain
b. Lingkungan kerja
c. Proses kerja
d. Sifat pekerjaan
e. Cara kerja
2. Perbuatan berbahaya (unsafe action) dari manusia
a. Sikap dan tingkah laku yang tidak baik
b. Kurang pengetahuan dan keterampilan
c. Cacat tubuh yang tidak terlihat
d. Keletihan dan kelesuhan
Kecelakaan kerja tidak saja menimbulkan korban jiwa maupun kerugian
materi bagi pekerja dan pengusaha, tetapi juga dapat mengganggu proses produksi
secara menyeluruh, merusak lingkungan yang pada akhirnya akan berdampak pada
masyarakat luas (Depkes RI, 2008).
Secara umum menurut Budiono (2003) ada dua penyabab terjadinya

kecelakaan kerja yaitu penyebab langsung (immediate cause) dan penyebab dasar
(basic causes):

Universitas Sumatera Utara

13

1. Penyebab langsung
Penyebab langsung atau kecelakaan adalah suatu keadaan yang biasanya bisa
dilihat dan dirasakan langsung, yang dibagi dalam 2 kelompok, yaitu : tindakantindakan tidak aman (unsafe act) dan kondisi-kondisi yang tidak aman (unsafe
condition).

2. Penyebab Dasar
Terdiri

dari

dua

faktor,


yaitu

faktor

manusia/pribadi

dan

faktor

kerja/lingkungan.
a. Faktor manusia itu sendiri yang merupakan penyebab kecelakaan meliputi
aturan kerja, kemampuan pekerja (usia, masa kerja/pengalaman, kurangnya
kecakapan dan lambatnya mengambil keputusan), disiplin kerja, perbuatanperbuatan yang mendatangkan kecelakaan ketidakcocokan fisik dan mental.
Kesalahan-kesalahan yang disebabkan oleh pekerja dan karena sikap yang
tidak wajar seperti terlalu berani, sembrono, tidak mengindahkan instruksi,
kelalaian, melamun, tidak mau bekerja sama, dan kurang sabar. Kekurangan
kecakapan untuk mengerjakan sesuatu karena tidak mendapat pelajaran
mengenai pekerjaan. Kurang sehat fisik dan mental seperti adanya cacat,

kelelahan dan penyakit.
b. Faktor mekanik dan lingkungan, letak mesin, tidak dilengkapi dengan alat
pelindung, alat pelindung tidak pakai, alat-alat kerja yang telah rusak. Faktor
mekanis dan lingkungan dapat pula dikelompokkan menurut keperluan

Universitas Sumatera Utara

14

dengan suatu maksud tertentu. Misalnya di perusahaan penyebab kecelakaan
dapat disusun menurut kelompok pengolahan bahan, mesin penggerak dan
pengangkat, terjatuh di lantai dan tertimpa benda jatuh, pemakaian alat atau
perkakas yang dipegang dengan manual (tangan), menginjak atau terbentur
barang, luka bakar oleh benda pijar dan transportasi (Suma’mur, 2009).
2.3 Perilaku
2.3.1 Pengertian Perilaku
Perilaku diartikan sebagai tingkah atau tindakan yang dapat diobservasi oleh
orang lain. Tetapi apa yang dilakukan atau dikatakan seseorang tidaklah selalu sama
dengan apa yan individu tersebut pikir, rasakan, dan yakini (Geller, 2001).
Secara umum perilaku diartikan sebagai segala perbuatan atau tindakan yang

dilakukan makhluk hidup dan pada dasarnya perilaku dapat diamati melalui sikap dan
tindakan namun tidak berarti bahwa bentuk perilaku hanya dapat dilihat dari sikap
dan tindakannya. Perilaku juga bersifat potensial yakni dalam bentuk pengetahuan,
motivasi, dan persepsi. Perilaku sebagai refleksi faktor-faktor kejiwaan seperti
keinginan, minat, kehendak, pengetahuan, emosi, sikap, motivasi, reaksi, dan
sebagainya, dan faktor lain seperti pengalaman, keyakinan, sarana, fisik, sosio, dan
budaya (Notoadmodjo, 2003).
2.3.2 Bentuk Perilaku
Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus, maka perilaku dibedakan
menjadi dua (Notoadmodjo, 2003).

Universitas Sumatera Utara

15

1. Perilaku Tertutup (covert behavior)
Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup
(covert). Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian,

persepsi, pengetahuan/kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang

menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain.
2. Perilaku Terbuka (overt behavior)
Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka.
Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek
(practice), yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain.

2.4 Perilaku Aman (Safety Behaviour)
Pada awal tahun 1980 muncul pandangan baru tentang kesehatan dan
keselamatan kerja yaitu Safety Behavior . Perilaku aman menurut Heirinch (1980)
adalah tindakan atau perbuatan sari seseorang atau beberapa orang karyawan yang
memperkecil kemungkinan terjadinya kecelakaan terhadap karyawan, sedangkan
menurut Bird dan Germain (1990) perilaku aman adalah perilaku yang tidak dapat
menyebabkan terjadinya kecelakaan atau insiden. Perbedaan perilaku aman dan
perilaku kesehatan dan keselamatan kerja (K3) yaitu perilaku aman hanya berfokus
pada keselamatannya saja sedangkan perilaku K3 tidak hanya pada keselamatan
tetapi juga pada kesehatan kerjanya.
Perilaku aman (safety behaviour ) merupakan pendekatan yang didesain untuk
meningkatkan performa keselamatan kerja secara langsung sehingga dapat mencegah
terjadinya kecelakaan (Wirth et al. 2008). Perilaku aman di pengaruhi oleh sikap


Universitas Sumatera Utara

16

(attitutes) terhadap keselamatan seperti bekerja sesuai prosedur, memakai peralatan
keselamatan dan mampu menangani dan mengendalikan resiko yang ditemukan.
Perilaku aman (Safety behaviour) dalam APA dictionary of psychology
(2007) didefenisikan sebagai suatu perilaku yang dilakukan dengan ketertarikan
individu dalam usaha untuk memperkecil atau mencegah suatu bencana yang
ditakutkan. Menurut Neal dan Griffin (2004) ada dua faktor yang mempengaruhi
perilaku aman yaitu :
a. Faktor-faktor yang berasal dari dalam individu, seperti komitmen, perbedaan
individu misalnya ketelitian, kepribadian misalnya karakter yang dimiliki bersifat
permanen atau orang tersebut mempunyai kecenderungan celaka.
b. Lingkungan kerja, seperti iklim keselamatan dan faktor organisasional misalnya
supervisi dan desain pekerjaan.
Berdasarkan tugas dan konteks dari kinerja ada dua tipe dari perilaku aman,
yaitu compliance dan participation. Safety compilence merujuk pada aktivitasaktivitas inti yang seharusnya ditunjukkan oleh individu untuk memperbaiki
keselamatan di tempat kerja. Perilaku-perilaku ini yaitu mengikuti prosedur standar
kerja dan menggunakan APD (alat pelindung diri). Safety participation menjelaskan

perilaku-perilaku yang secara langsung tidak berkontribusi pada perilaku keselamatan
individu namun dapat membangun lingkungan yang mendukung keselamatan kerja.
Perilaku-perilaku ini seperti berpartisipasi menjadi sukarelawan dalam kegiatan
keselamatan kerja, membantu rekan kerja dalam isu-isu yang terkait keselamatan

Universitas Sumatera Utara

17

kerja, dan menghadiri pertemuan-pertemuan tentang keselamatan kerja (Borman and
Motowidlo, 1993 dalam Neal dan Griffin, 2006).
Dalam menerapkan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di suatu industri
diharapkan akan terwujud suatu perilaku aman pekerja dalam bekerja. Mengenai
indikator secara jelas dalam melakukan perilaku aman mengacu kepada UndangUndang No.1 Tahun 1970 mengenai “Keselamatan Kerja” pasal 12 tentang kewajiban
dan atau hak tenaga kerja, untuk :
1. Memberikan keterangan yang benar bila diminta oleh pegawai pengawas dan atau
ahli keselamatan kerja.
2. Memakai alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan.
3. Memenuhi dan mentaati semua syarat-syarat keselamatan dan kesehatan kerja
yang diwajibkan.
4. Meminta pada pengawas agar dilaksanakan semua syarat-syarat K3 yang
diwajibkan.
5. Menyatakan keberatan bekerja pada pekerjaan yang syarat K3 serta alat-alat
perlindungan diri yang diwajibkan diragukan olehnya, kecuali dalam hal-hal
khusus ditentukan lain oleh peawai pengawas dalam batas-batas yang masih dapat
dipertanggungjawabkan.
Menurut Frank E Bird dan Germain (1990) dalam teori Loss Causation Model
menyatakan bahwa jenis-jenis perilaku aman, meliputi :
a. Melakukan pekerjaan sesuai wewenang yang diberikan.
b. Berhasil memberikan peringatan terhadap adanya bahaya.

Universitas Sumatera Utara

18

c. Berhasil menggunakan area kerja dan orang-orang disekitarnya.
d. Bekerja sesuai dengan kecepatan yang telah ditentukan.
e. Menjaga alat pengaman agar tetap berfungsi.
f. Tidak menghilangkan alat pengaman keselamatan.
g. Menggunakan peralatan yang seharusnya.
h. Menggunakan peralatan yang sesuai.
i. Menggunakan APD dengan benar.
j. Pengisian alat atau mesin yang sesuai dengan aturan yang berlaku.
k. Penempatan material atau alat-alat sesuai dengan tempatnya dan cara.
mengangkat yang benar.
l. Memperbaiki peralatan dalam kondisi alat yang telah dimatikan.
m. Tindak bersenda gurau atau bercanda ketika bekerja.
Adapun jenis-jenis perilaku aman menurut Heirinch (1980) terdiri dari :
a. Mengoperasikan peralatan dengan kecepatan yang sesuai.
b. Mengoperasikan peralatan yang memang haknya.
c. Menggunakan peralatan yang sesuai.
d. Menggunakan peralatan yang benar.
e. Menjaga peralatan keselamatan tetap berfungsi.
f. Berhasil memperingatkan karyawan lain yang bekerja tidak aman.
g. Menggunakan personal protective equipment (PPE) dengan benar.
h. Mengangkat dengan beban yang seharusanya dan menempatkannya di tempat
yang seharusanya.

Universitas Sumatera Utara

19

i. Mengambil benda dengan posisi yang benar.
j. Cara mengangkat material atau alat dengan benar.
k. Displin dalam pekerjaan.
l. Memperbaiki peralatan dalam keadaan mati.
2.5 Iklim Organisasi
Iklim organisasi merupakan koleksi dan pola lingkungan yang menentukan
munculnya motivasi serta berfokus pada persepsi-persepsi yang masuk akal atau
dapat dinilai, sehingga mempunyai pengaruh langsung terhadap kinerja anggota
organisasi (Stringer, 2002).
Iklim organisasi adalah lingkungan internal atau psikologi organisasi. Iklim
organisasi mempengaruhi praktek dan kebijakan sumber daya manusia yang diterima
oleh anggota organisasi. Perlu diketahui bahwa setiap organisasi akan memiliki iklim
organisasi yang berbeda. Keanekaragaman pekerjaan yang dirancang di dalam
organisasi, atau sifat individu yang ada akan menggambarkan perbedaan tersebut.
Semua organisasi tentu memiliki strategi dalam memanajemen sumber daya manusia.
Iklim organisasi yang terbuka memacu karyawan untuk mengutarakan kepentingan
dan ketidakpuasan tanpa adanya rasa takut akan tindakan balasan dan perhatian.
Ketidakpuasan seperti itu dapat ditangani dengan cara yang positif dan bijaksana.
Iklim keterbukaan, bagaimanapun juga hanya tercipta jika semua anggota memiliki
tingkat keyakinan yang tinggi dan mempercayai keadilan tindakan (Luthans, 2006).

Universitas Sumatera Utara

20

Karakteristik atau dimensi iklim organisasi dapat mempengaruhi motivasi
anggota organisasi untuk berperilaku tertentu (Stringer, 2002). Ada enam dimensi
yang diperlukan, yaitu:
1. Struktur
Struktur merefleksikan perasaan bahwa karyawan diorganisasi dengan baik dan
mempunyai definisi yang jelas mengenai peran dan tanggung jawab mereka.
Meliputi posisi karyawan dalam perusahaan.
2. Standar-standar
Mengukur perasaan tekanan untuk memperbaiki kinerja dan derajat kebanggaan
yang dimiliki karyawan dalam melakukan pekerjaannya dengan baik. Meliputi
kondisi kerja yang dialami karyawan dalam perusahaan.
3. Tanggung jawab
Merefleksikan perasaan karyawan bahwa mereka menjadi “pimpinan diri sendiri”
dan tidak pernah meminta pendapat mengenai keputusannya dari orang lain.
Meliputi kemandirian dalam menyelesaikan pekerjaan.
4. Pengakuan
Perasaan

karyawan

diberi

imbalan

yang layak

setelah

menyelesaikan

pekerjaannya dengan baik. Meliputi imbalan atau upah yang terima karyawan
setelah menyelesaikan pekerjaan.
5. Dukungan
Merefleksikan perasaan karyawan mengenai kepercayaan dan saling mendukung
yang berlaku dikelompok kerja. Meliputi hubungan dengan rekan kerja yang lain.

Universitas Sumatera Utara

21

6. Komitmen
Merefleksikan perasaan kebanggaan dan komitmen sebagai anggota organisasi.
Meliputi pemahaman karyawan mengenai tujuan yang ingin dicapai oleh
perusahaan.
2.6 Iklim Keselamatan Kerja (Safety Climate)
2.6.1 Pengertian Iklim Keselamatan Kerja
Konsep safety climate

atau iklim keselamatan kerja pertama kali

diperkenalkan oleh Zohar (1980) yang menekankan pentingnya proses sosial dan
organisasi dalam mencegah kecelakaan. Iklim keselamatan kerja merupakan bentuk
perluasan dari iklim organisasional yang menjadi salah satu karakteristik penting dari
budaya organisasi, disamping karakteristik-karakteristik yang lain seperti perilaku
reguler yang terjadi sehari-hari, norma, nilai yang dominan, falsafah dan aturan
(Winarsunu, 2008).
Menurut Vinodkumar et al. (2009) yang mengutip pendapat Zohar (1980),
Iklim keselamatan kerja sebagai persepsi karyawan terhadap kebijakan keselamatan,
prosedur, praktek, serta seluruh kepentingan dan prioritas keselamatan kerja. Persepsi
karyawan terutama terkait dengan usaha keselamatan selama bekerja sebagai suatu
gambaran yang dirasakan atau terkait dengan persepsi pekerja akan pentingnya
keselamatan dan bagaimana hal tersebut bisa ditetapkan dalam organisasi. Persepsi
ini akan mempengaruhi perilaku pekerja, misalnya ketika organisasi tidak
memperhatikan perihal keselamatan kerja, maka akan demikian juga dengan
pekerjanya (Wicaksono, 2005).

Universitas Sumatera Utara

22

Pendapat tersebut didukung hasil penelitian Snyder et al. (2008) yang
menjelaskan bahwa iklim keselamatan kerja adalah persepsi pekerja terhadap praktek
keselamatan, peraturan, dan prosedur sehingga mereka bertindak aman dalam
lingkungan kerja. Persepsi ini akan mempengaruhi perilaku pekerja. Dengan
demikian perusahaan harus berusaha menciptakan suasana kerja atau iklim
keselamatan melalui sistem manajemen yang baik agar nantinya menghasilkan
perilaku kerja aman.
Di dalam membahas iklim keselamatan kerja dapat diilustrasikan, bahwa
seperti apapun canggihnya program keselamatan kerja yang ada akan menjadi tidak
efektif kecuali di dalam organisasi sudah terbentuk persepsi dari pekerja bahwa iklim
organisasi telah mendukung secara penuh usaha-usaha keselamatan kerja. Jika
manajer menunjukkan melalui perilaku yang aman (safety behavior) bahwa mereka
benar-benar mengerti dan menerapan konsep dan praktek-praktek keselamatan kerja,
hal ini akan tergambarkan di dalam perilaku yang aman yang ditunjukkan pekerjanya.
Bila mana manajemen hanya memberikan tidak lebih dari sekadar lip service untuk
keselamatan kerja, gagal menggunakan perlengkapan keselamatan kerja tetapi mereka
mengharapkan pekerja menggunakannya, atau membolehkan poor housekeeping dan
praktek-praktek kerja yang tidak aman, maka pekerja akan memiliki sikap yang
bertentangan dengan keselamatan kerja (Winarsunu, 2008).
2.6.2 Dimensi Iklim Keselamatan Kerja (Safety Climate)
Iklim keselamatan kerja terdiri atas 8 dimensi, yaitu : pelatihan keselamatan
kerja, sikap manajemen, pertimbangan perilaku keselamatan kerja pada saat promosi,

Universitas Sumatera Utara

23

level resiko di tempat kerja, status dari personil keselamatan kerja, tahapan pekerjaan,
efek perilaku keselamatan kerja dalam status sosial dan status komite keselamatan
kerja. Namun diimensi iklim keselamatan kerja ini semakin meluas seiring
berkembangnya penelitian (Zohar, 1980 dalam Cheng-chia, Yi-Shun, Sue-Ting, Suher, Mei-Fei, 2009).
Beberapa peneliti telah mencoba untuk mengidentifikasi fitur-fitur umum
terutama mengenai dimensi. Clarke (1999) telah melakukan studi tentang iklim
keselamatan kerja dan menemukan variasi dimensi iklim keselamatan kerja. Lima
dimensi umum yang diidentifikasi yaitu ;
1. Manajemen keselamatan
2. Tanggung jawab dan keterlibatan pekerja
3. Tugas / lingkungan kerja
4. Sikap manajemen
5. Tindakan manajemen.
Kemudian disusul oleh sebuah survei yang dilakukan oleh Flin et al. (2000),
enam dimensi dipakai dalam kuesioner iklim keselamatan kerja. Enam dimensi
tersebut yaitu :
1. Manajemen / pengawasan
2. Sistem keselamatan
3. Risiko
4. Pekerjaan
5. Kompetensi

Universitas Sumatera Utara

24

6. Prosedur/peraturan.
Dalam sebuah penelitian serupa, Guldenmund (2010) mengidentifikasi enam
dimensi yang tercantum di bawah ini yaitu :
1. Manajemen
2. Risiko
3. Peraturan keselamatan
4. Prosedur
5. Pelatihan
6. Pekerjaan
Adapun dimensi-dimensi iklim keselamatan, menurut Lu dan Tsai (2007)
terbagi dalam enam dimensi, yaitu :
1. Praktek keselamatan kerja manajemen
2. Praktek keselamatan kerja atasan
3. Sikap keselamatan kerja
4. Pelatihan keselamatan kerja
5. Keselamatan kerja
6. Praktek keselamatan rekan kerja
Menurut Lin et al, (2008) iklim keselamatan kerja dibagi menjadi tujuh
dimensi, yakni :
1. Kesadaran dan kompetensi kselamatan kerja
2. Komunikasi keselamatan kerja
3. Lingkungan organisasi

Universitas Sumatera Utara

25

4. Dukungan manajemen
5. Pertimbangan resiko
6. Peringatan keselamatan kerja
7. Pelatihan keselamatan keja
Dalam dunia keselamatan kerja saat ini, iklim keselamatan kerja yang baik
merupakan hal yang sangat penting untuk menciptakan lingkungan kerja yang aman
karena 88% kecelakaan kerja berawal dari perilaku tidak aman, dan perilaku tidak
aman berawal dari persepsi pekerja, namun sangatlah sulit untuk dapat mengukur
iklim keselamatan kerja karena penelitian yang mendalaminya masih minim.
Berawal dari hal tersebut, peneliti keselamatan kerja dari wilayah Nordik
(Swedia,Finlandia, Denmark, Norwegia dan Islandia), melakukan sebuah penelitian
untuk dapat membuat sebuah alat pengukur iklim keselamatan kerja. Mereka
kemudian merumuskan sebuah kuesioner yang bernama “ The Nordic Safety Climate
Questionnaire ” (NOSACQ-50). NOSACQ-50 terdiri dari 7 dimensi pertanyaan di

mana setiap bagiannya mewakili unsur dari iklim keselamaan kerja:
1. Prioritas keselamatan kerja manajemen, komitmen dan kompetensi
2. Kewenangan keselamatan kerja dari manajemen
3. Keadilan terhadap keselamatan kerja dari manajemen
4. Komitmen keselamatan kerja dari para karyawan
5. Prioritas keselamatan kerja dari karyawan dan sikap tidak mau ambil risiko
keselamatan kerja

Universitas Sumatera Utara

26

6. Komunikasi dan pelatihan keselamatan kerja termasuk percaya terhadap
komptensi keselamatan kerja dari rekan kerja
7. Kepercayaan pekerja terhadap sistem keselamatan kerja
2.7 Operasi Rig (Rig Operation)
2.7.1 Rig
Rig adalah suatu instalasi peralatan untuk melakukan pengeboran ke dalam
reservoir bawah tanah untuk memperoleh air, minyak, atau gas bumi, atau
deposit mineral bawah tanah. Rig pengeboran bisa berada di atas tanah ( on shore)
atau di atas laut/lepas pantai (off shore ) tergantung kebutuhan pemakaianya (Hartati,
2014).
2.7.2 System Operasional Rig
Pada setiap rig pengeboran terdapat beberapa unit/sistem yang memiliki
fungsi yang berbeda dan bekerja saling berkaitan membentuk sebuah proses yang
kompleks. Berikut adalah pekerjaan yang dilakukan pada setiap sistem operasional
pengeboran.
1. Sistem Angkat (Hoisting System)
Sistem angkat (hoisting system) adalah perangkat utama dalam sistem dan
perlengkapan pengeboran. Fungsi dari sistem angkat adalah untuk menyediakan
fasilitas untuk mengangkat, menahan dan menurunkan perlengkapan rotary ke dalam
atau keluar sumur. Sistem ini terdiri dari dua komponen utama, yaitu :

Universitas Sumatera Utara

27

a. Struktur pendukung (rig) yang terbuat dari kerangka baja, yang terletak tepat
diatas lubang pengeboran. Struktur ini terdiri dari drilling tower (derrick atau
mast, a frame), substructure , rig floor .

b. Hoisting Equipment, peralatan pengangkat ini berfungsi untuk mengangkut dan
menurunkan peralatan ke dan dari dasar sumur, yang terdiri dari draw works,
crown block, traveling block, deadline anchor, hook, elevator, drilling line .

Sistem angkat yang dilakukan selama operasi pengeboran dilakukan secara
mekanik dan manual, sebagian besar dilakukan secara mekanik, karena alat-alat yang
dilakukan pengangkatan adalah alat-alat berat, seperti bit, pipa pengeboran, HWDP
(Heavy Weight Drill Pipe ), drill collar, dan casing. Satu pipa pengeboran (drill pipe)
dengan diameter 5 inci dan panjang 30 kaki, memiliki berat sekitar 19,5 lb/ft sehingga
± beratnya mencapai 265 kg, sedangkan drill collar memiliki berat antara 2500-4000
pon atau sekitar 1250-2000 kg, tergantung dari diameternya.
Sebelum dilakukan proses pengangkatan dengan hoisting system, pipa-pipa
pengeboran diangkat terlebih dahulu dari tempat penyimpanan dengan menggunakan
truk ke area pengeboran. Setelah itu dilakukan proses pengangkatan dengan
menggunakan forklift atau crane untuk diletakkan di pipe rack. Setelah itu dilakukan
kegiatan manual yaitu mendorong pipa ke catwalk untuk kemudian diangkat ke lantai
pengeboran dengan menggunakan air hoist atau crane melalui V-door . Kegiatan
pengangkatan pipa yang paling awal adalah penyambungan pipa untuk dibuat di
stand di lantai pengeboran. Satu buah pipa disebut sabagai satu joint, dan untuk

Universitas Sumatera Utara

28

mempercepat proses pengeboran maka dilakukan penyusunan 3 buah joint, yang
kemudian disebut sebagai satu stand (Ratnasari, 2009).
2. Sistem Pemutar (Rotary System)
Sistem pemutar berfungsi untuk memutar drill string dan bit selama proses
pengeboran. Sistem rotary terdiri dari :
a. Rotary assembly, yaitu alat yang terkait dengan proses penyambungan dan
pelepasan pipa, terdiri dari rotary table, tongs, master bushing, dan rotary
slips.

b. Drill stem, menghubungkan rangkaian dari swivel sampai bit, terdiri dari
swivel, drill collar, drill pipe, bottom hole assembly (BHA), dan top drive.

Sebelum dilakukan proses pemutaran untuk mengantarkan bit masuk ke
dalam tanah, dilakukan proses pemasangan dan pelepasan pipa terlebih dahulu.
Kegiatan tersebut dilakukan dengan alat yang digerakkan secara mekanik oleh driller
dan secara manual oleh floorman di lantai pengeboran, ditambah seorang derrickman
yang bekerja di monkey board.
Proses pemasangan dan pelepasan pipa menggunakan alat manual yaitu tong,
chains tongs, dan hawk jaw. Pekerjaan ini berlangsung terus menerus, terdapat waktu

istirahat bagi floorman dan derrickman saat proses pemutaran pipa ke dalam atau
keluar lubang sumur yang biasa disebut sebagai proses trip in dan trip out (Ratnasari,
2009).

Universitas Sumatera Utara

29

3. Sistem Sirkulasi (Circulating System)
Fungsi

dari

sistem

sirkulasi

adalah

menyediakan

fasilitas

untuk

mensirkulasikan lumpur pengeboran (drilling fluid) dari mud tanks menggunakan
mud pump masuk ke drill stem, kemudian keluar dari bit dan kembali melalui annulus

ke mud tanks. Fungsi utama dari sirkulasi lumpur pengeboran tersebut antara lain :
a. membawa cutting (pecahan batuan hasil pengeboran)
b. membersihkan dasar lubang sumur
c. mendinginkan dan melumasi bit dan drill stem
d. menahan dinding lubang sumur
e. mencegah masuknya cairan formasi ke sumur
Peralatan yang digunakan dalam sistem sirkulasi terdiri dari, mud tank, mixing
hopper, pupm, stand pipe, mud hose, shale shaker, desander, desilter, degasser

(Ratnasari, 2009).
Alur sirkulasi lumpur pengeboran berawal dari hasil cutting yang dikeluarkan
oleh sumur pengeboran melalui annulus yang kemudian dialirkan menuju shale
shaker, melalui pipa penyalur yang tersambung dengan BOP. Saat di shale shaker

dilakukan proses pemisahan lumpur pengeboran dengan cutting, setelah lumpur
pengeboran akan disalurkan menuju desander , dalam desander dilakukan proses
hydrocyclone yaitu proses perputaran sentrifugal yang memisahkan pasir dengan

cairan pengeboran.
Lumpur pengeboran yang keluar dari desander kemudian masuk ke desilter,
prinsipnya sama seperti desander , namun untuk melakukan pemisahan dengan

Universitas Sumatera Utara

30

partikel yang lebih halus, sehingga jumlah padatan dalam lumpur pengeboran berada
pada level terendah. Setelah itu lumpur dialirkan ke mud tank, yang kemudian
dilakukan pencampuran bahan kimia agar kualitas lumpur sesuai dengan kriteria yang
dibutuhkan melalui mixing hopper. Setelah itu lumpur siap dipompakan ke proses
operasi pengeboran dengan mud pump melalui stand pipe.
Lumpur pengeboran umumnya merupakan campuran dari air, tanah liat,
material pemberat (Barite), dan bahan kimia. Proses pencampuran dan pengolahan
lumpur dilakukan di mud tank. Bahan kimia yang digunakan dalam pengolahan
lumpur umumnya adalah jenis bahan kimia yang dapat menimbulkan efek akut pada
kesehatan yaitu luka bakar, dan iritasi jika terjadi kontak langsung, serta gangguan
pernafasan akibat menghirup serbuk. Beberapa bahan kimia yang digunakan antara
lain betonite, caustic soda, calcium carbonate, dan citric acid (Ratnasari, 2009).
4. Sistem Pencegahan Semburan Liar (Blow Out Prevention )
Digunakan untuk menutup lobang sumur secara cepat bila terjadi kick (fluida
formasi masuk ke dalam sumur karena tekanan formasi lebih besar dari tekanan
hidrostatik fluida dalam lubang sumur) atau blow out (semburan formasi fluid yang
tidak terkontrol ke permukaan). Untuk mengoperasikan, membuka atau menutup
BOP diperlukan tenaga hydraulic yang biasanya datang dari accumulator unit.
Accumulator unit adalah kumpulan beberapa bejana atau tabung yang berisi cairan
hydraulic dan tekanan gas nitrogen.

Universitas Sumatera Utara

31

5. Sistem penggerak (Power System)
Pada umumnya peralatan rig digerakkan dengan menggunakan beberapa
sistem tenaga (power system) yang saling berhubungan antara satu dengan yang
lainnya, yaitu:
a. Tenaga Mekanis (Mechanical Power )
Tenaga putaran yang keluar dari engine memutar torque convertier , putaran
ini menggerakkan transmission dengan sistem tekanan.
b. Tenaga Hydraulic
Tenaga Hydraulic berasal dari pompa hidrolik berfungsi untuk merubah
sebagian energi mekanik dari engine menjadi energi hidrolik.
c. Tenaga Angin (Pneumatic Power )
Sumber tenaga angin yang ada di rig adalah air compressor . Tenaga angin
digunakan untuk menggerakkan alat-alat dengan tekanan yang lebih kecil
dibandingkan dengan hydraulic system yaitu antara 60 sampai 120 psi.
d. Tenaga Listrik (Electric power )
Untuk menghidupkan lampu-lampu dan radio diperlukan arus bolak balik (AC
= Alternative Current) yang diambil dari generator.
e. Tenaga Manusia (Man Power)
1. Well Site Manager
Perwakilan PT. Chevron Pasific Indonesia yang bertanggung jawab sebagai
pengawas operasi di lapangan.

Universitas Sumatera Utara

32

2. Tool Pusher
Pengawas dan bertanggung jawab kepada Well Site Manager .
3. Head Driller
Adalah orang yang bertanggungjawab terhadap operasi rig dan
mengepalai crew dalam bekerja. Ia langsung mengawasi operasi well service dan
workover dari control panel dekat mast rig. Melalui control panel dapat

memonitor proses pekerjaan yang sedang dilakukan dan mengoperasikan rig
component system.

4. Derrickman
Menghabiskan sebahagian waktunya bekerja diatas monkey board pada
mast, diwaktu mencabut atau memasukkan sucker rod string atau tubing kedalam

lobang sumur. Ia menyusun sucker rod atau tubing yang dicabut pada masingmasing raknya, diwaktu ada perbaikan pada pompa, mencabut packer , atau
melakukan pekerjaan lainnya. Kadang-kadang Derrickman bertugas sebagai
pembantu head driller diwaktu operasi well service dan workover . Disamping itu
bila ada pekerjaan pengeboran seperti memperdalam well, maka derrickman juga
bertanggungjawab untuk memonitor kondisi workover fluid yang sedang
digunakan, memelihara dan memperbaiki sirculating system equipment .
5. Floorman
Mereka bertugas untuk membantu head driller dan derrickman diwaktu
operasi pengeboran dilakukan. Floorhand biasanya terdiri dari tiga orang dalam
satu kru. Tanggung jawab mereka adalah membantu head driller dalam proses

Universitas Sumatera Utara

33

rig-up dan rig-down, untuk menangani, menyusun, memelihara, peralatan,

perkakas yang diperlukan sewaktu operasi well service dan workover . Pada
umumnya setiap orang baru bekerja di rig, selalu dimulai dari posisi floorman.
(Buku Panduan I Wellwork and Complition PT. Chevron Pasific Indonesia, 2016).
2.8 Kerangka Konsep
Kerangka konsep menggambarkan hubungan-hubungan yang lebih terbatas
dan spesifik antara variabel-variabel yang akan diteliti saja. Adapun kerangka konsep
dari penelitian ini adalah dijelaskan melalui diagram berikut :
Iklim Keselamatan Kerja
1. Prioritas keselamatan kerja
manajemen, komitmen dan
kompetensi
2. Kewenangan
keselamatan
kerja dari manajemen
3. Keadilan
terhadap
keselamatan
kerja
dari
manajemen
4. Komitmen keselamatan kerja
dari para karyawan
5. Prioritas keselamatan kerja
dari karyawan dan sikap tidak
mau ambil risiko keselamatan
kerja
6. Komunikasi dan pelatihan
keselamatan kerja termasuk
percaya terhadap komptensi
keselamatan kerja dari rekan
kerja
7. Kepercayaan pekerja terhadap
sistem keselamatan kerja

Perilaku Aman

Gambar 2.1 Kerangka Konsep Penelitian

Universitas Sumatera Utara