Akibat Hukum Terhdap Pembuatan Akta Otentik Yang Tidak Memenuhi Kewajiban Notaris Sebagaimana Diamanatkan Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Notaris merupakan pejabat umum (publik) yang berwenang untuk
membuat akta otentik, sejauh pembuatan akta otentik tertentu tidak
dikhususkan bagi pejabat umum lainnya. Penegasan notaris sebagai pejabat
publik yang berwenang membuat akta otentik ditemukan dalam Pasal 1 angka
1 revisi Uundang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
(UUJN). Pasal tersebut menegaskan: “Notaris adalah pejabat umum yang
berwenang untuk membuat akta otentik dan memiliki kewenangan lainnya
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan UndangUndang lainnya”.
Tugas dan wewenang dimaksud diberikan kepada notaris adalah tugastugas dan kewenangan yang ditentukan dalam Undang-Undang Jabatan
Notaris. Selain notaris memiliki tugas sebagai pejabat umum dan memiliki
wewenang untuk membuat akta otentik, notaris juga diberikan kewenangan
lainnya sesuai dengan yang diatur dalam Undang-Undang Jabatan Notaris. 1
Dengan demikian kedudukan notaris diakui secara yuridis sebagai pejabat
yang berwenang membuat akta otentik.

1

Abdul Ghofur Anshori, Lembaga Kenotariatan Indonesia, (Yogyakarta: UI Press,

2009), hal. 13.

Universitas Sumatera Utara

Notaris menempati sebagai jabatan umum atau jabatan publik oleh
karena legalitas notaris diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah.
Demikian ditentukan dalam Pasal 2 Undang-Undang Jabatan Notaris bahwa
“Notaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri”. Legalitas notaris demikian
sehingga notaris sesungguhnya bertugas menjalankan tugas negara dan akta
yang dibuatnya yaitu minuta (asli akta) merupakan dokumen negara.
Pejabat umum berarti pejabat yang diangkat dan diberhentikan oleh
kekuasaan umum (pemerintah) dan diberi wewenang serta kewajiban untuk
melayani publik dalam hal-hal tertentu. Dengan legalitas notaris diangkat oleh
Menteri, maka secara tidak langsung notaris turut serta melaksanakan tugastugas Pemerintah dan turut menjaga kewibawaan Pemerintah melalui
perannya dalam membuat akta otentik bagi masyarakat yang memerlukan. 2
Ketentuan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 ayat (1) revisi
Undang-Undang Jabatan Notaris menentukan bahwa:
Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan,
perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundangundangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk
dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan

akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta,
semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan
atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan
oleh undang-undang.

2

R. Soesanto, Tugas, Kewajiban dan Hak-Hak Notaris, Wakil Notaris, (Jakarta:
Pradnya Paramita, 1982), hal. 75.

Universitas Sumatera Utara

Pembuatan akta otentik ada yang diharuskan oleh peraturan
perundang-undangan dalam rangka menciptakan kepastian, ketertiban, dan
perlindungan hukum. Tetapi ada pula akta otentik yang dibuat oleh Notaris,
bukan saja karena diharuskan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga
karena dikehendaki oleh pihak yang berkepentingan untuk memastikan hak
dan kewajiban para pihak demi kepastian, ketertiban, dan perlindungan
hukum bagi pihak yang berkepentingan sekaligus bagi masyarakat secara
keseluruhan.3

Selain membuat akta otentik, notaris mempunyai tugas dan kewajiban
untuk memberikan pelayanan dan konsultasi hukum kepada masyarakat yang
membutuhkannya. Bantuan hukum yang dapat diberikan oleh notaris antara
lain dalam bentuk membuat akta otentik. Pengertian akta otentik menurut
Pasal 1868 KUH Perdata adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang
ditentukan oleh Undang-Undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawaipegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya.
Tiga unsur mutlak harus terpenuhi dalam Pasal 1868 KUH Perdata ini,
dibuat dalam bentuk yang dikehendaki undang-undang, dibuat oleh atau di
hadapan pejabat umum yang berwenang, dan di tempat di mana akta itu

3

Paragraf IV Penjelasan UUJN.

Universitas Sumatera Utara

dibuatnya. Jika tidak terpenuhi ketiga unsur di atas menurut Sutrisno maka
akta itu tidak dapat dikatakan sebagai akta otentik.4
Sehubungan dengan ketentuan Pasal 1868 KUH Perdata tersebut,
dengan tegas ditentukan dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Jabatan

Notaris bahwa akta notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di
hadapan notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam UndangUndang Jabatan Notaris. 5 Fungsi jabatan notaris dalam pembuatan akta
otentik sesungguhnya dikehendaki oleh Perundang-Undangan dengan maksud
untuk membantu dan melayani masyarakat yang membutuhkan alat bukti
tertulis yang bersifat otentik mengenai peristiwa hukum.
Akta otentik pada hakikatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan
apa yang diberitahukan para pihak kepada notaris. Namun, notaris mempunyai
kewajiban untuk memasukkan bahwa apa yang termuat dalam akta notaris
sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak,
yaitu dengan cara membacakannya sehingga menjadi jelas isi akta notaris,
serta memberikan akses terhadap informasi, termasuk akses terhadap
peraturan perundang-undangan yang terkait bagi para pihak penanda tangan
akta. Dengan demikian, para pihak dapat menentukan dengan bebas untuk

4

Sutrisno, ”Komentar Undang-Undang Jabatan Notaris”, Bahan Ajar, Medan,
Tanggal 1 Januari 2007, hal. 470-471.
5
Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Cet. 31,

(Jakarta: Pradnya Paramita, 2001), 397.

Universitas Sumatera Utara

menyetujui

atau

tidak

menyetujui

isi

akta

notaris

yang


akan

ditandatanganinya. 6
Notaris merupakan jabatan tertentu yang menjalankan profesi dalam
pelayanan hukum kepada masyarakat. 7 Organisasi notaris adalah organisasi
profesi jabatan notaris yang berbentuk perkumpulan berbadan hukum. 8
Profesi tentu memiliki kode etik masing-masing yang dikeluarkan oleh
organisasi profesinya. Notaris harus tunduk pada Kode Etik Profesi Notaris
dalam menjalankan kewajiban dengan menjunjung tinggi kehormatan,
martabat, dan tanggung jawab sebagai Notaris.
Liliana Tedjasaputro, mengatakan bahwa, sebagai perilaku profesi
memiliki unsur-unsur sebagai antara lain:9
1. Memiliki integeritas moral yang tinggi;
2. Harus jujur terhadap klien maupun terhadap diri sendiri;
3. Sadar akan batas-batas kewenangannya; dan
4. Tidak semata-mata berdasarkan pertimbangan uang.
Dalam Pasal 16 huruf a revisi Undang-Undang Nomor.30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris menegaskan kewajiban kepada Notaris untuk
bertindak amanah, jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak dan menjaga


6

Paragraf V Penjelasan UUJN.
Diktum Dalam Konsideran huruf c UUJN.
8
Lihat Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Jabatan Notaris. Organisasi notaris adalah
jabatan Notaris yang berbentuk perkumpulen berbadan hukum.
9
Liliana Tedjasaputro, Etika Profesi Notaris Dalam Penegakan Hukum Pidana,
(Yogyakarta: Bigraf Publishing, 1995), hal. 86.
7

Universitas Sumatera Utara

kepentingan para pihak yang terkait dalam perbuatan hukum. Peranan Notaris
sebagaimana dalam Undang-Undang Jabatan Notaris menghendaki kepada
notaris harus berintegritas moral yang tinggi, jujur, dan menunjujung tinggi
kode etik profesi. Pada prinsipnya setiap perintah dari peraturan perundangundangan mesti dijalankan agar tercipta keteraturan.10
Notaris harus peka, tanggap, mempunyai ketajaman berfikir, dan
mampu memberikan analisis yang tepat terhadap setiap peristiwa hukum dan

sosial yang muncul sehingga dengan begitu akan menumbuhkan sikap
keberanian dalam mengambil tindakan yang tepat. 11 Keberanian yang
dimaksud di sini adalah keberanian untuk melakukan perbuatan hukum yang
benar sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku di samping itu
notaris dapat menolak dengan tegas pembuatan akta yang bertentangan
dengan hukum, moral, etika, dan kepentingan umum. 12
Salah satu contoh dari ruang lingkup kewenangan wajib bagi notaris
sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang No.4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang
Berkaitan Dengan Tanah (Undang-Undang Hak Tanggungan) adalah
membuat Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) wajib
dibuat dengan akta notaris.
10

Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, (ed) Anke Dwi Saputro, Jati Diri Notaris
Indonesia, Dulu, Sekarang, dan di Masa Datang, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2008), hal. 104.
11
Wawan Setiawan, “Sikap Profesionalisme Notaris Dalam Pembuatan Akta
Otentik”, Jurnal Media Notariat, Edisi Mei-Juni 2004, hal. 25.
12

Ibid, hal. 26.

Universitas Sumatera Utara

Menurut

Undang-Undang

Hak

Tanggungan,

pemberian

hak

tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah
didasarkan pada suatu perjanjian utang-piutang atau perjanjian lain. Perjanjian
memberikan jaminan kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum bagi para
pihak. 13 Kelahiran dan keberadaan hak tanggungan tersebut ditentukan oleh

adanya piutang yang dijamin pelunasannya. Hak tanggungan menurut sifatnya
merupakan ikutan atau accessoir pada suatu piutang tertentu, yang didasarkan
pada suatu perjanjian utang-piutang atau perjanjian lain.14
Utang yang dijamin pelunasannya dengan hak tanggungan dapat
berupa utang yang telah ada atau yang telah diperjanjikan dengan jumlah
tertentu. Menurut Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan, utang
yang dijamin pelunasannya dengan hak tanggungan tersebut dapat ditentukan
berdasarkan perjanjian utang-piutang atau perjanjian lain yang menimbulkan
hubungan utang-piutang yang bersangkutan.
Dalam kasus sengketa tanah antara Penggugat dan (Tergugat I),
Notaris (Tergugat II), dan PT. Bank Pembangunan Daerah Aceh Cabang
Jeuram (Tergugat III) mempersengketakan atas SKMHT yang dikeluarkan
Notaris menurut Putusan Nomor: 09/Pdt.G/2010/PN-Mbo, Pengadilan Negeri
Meulaboh menjatuhkan putusan “perbuatan melawan hukum” terhadap notaris

13

A. Kohar, Notaris Dalam Praktek Hukum, (Bandung: Alumni, 1983), hal. 64.
Angka 8 Penjelasan Umum UU No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas
Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (selanjutnya disingkat UU Hak

Tanggungan)
14

Universitas Sumatera Utara

dan menyatakan SKMHT Nomor: 103/2009 tertanggal 11 September 2009
tersebut tidak sah dan tidak berkekuatan hukum.
Tergugat I menjaminkan sebidang tanah milik Penggugat seluas ±
16.026 m2 atas pinjaman (kredit) tergugat I kepada Tergugat III sejumlah
Rp.1.500.000.000,- (satu milyar lima ratus juta rupiah). Penjaminan utang atas
sebidang tanah tersebut, notaris (tergugat II) tidak mengetahui apakah anak
penggugat telah memalsukan tanda tangan kedua orang tuanya. Sementara
Tergugat I juga tidak mengetahui tindakan pemalsuan tanda tangan yang
dilakukan oleh anak penggugat. 15
Utang yang dijamin pelunasannya dengan hak tanggungan oleh
Tergugat I atas sebidang tanah milik Penggugat tersebut menurut fakta-fakta
di persidangan tanpa sepengetahuan (tidak diketahui) oleh penggugat. Di
mana bahwa anak penggugat telah memalsukan tanda tangan kedua orang
tuanya agar tanah yang menjadi objek dalam SKMHT tersebut dapat
dijaminkan.
Minut akta yang dibuat oleh notaris dikirim kepada pihak tergugat I
dan anak kandung penggugat untuk ditanda tangani oleh penggugat. Notaris
mengirimkan minut akta tersebut didasarkan atas dasar kepercayaan karena
sudah saling kenal satu sama lain. Hingga akhirnya minut akta tersebut

15

Putusan Nomor: 09/Pdt.G/2010/PN-Mbo, tertanggal 26 April 2011 atas Penggugat
dan Tergugat I, Tergugat II, dan Tergugat III, serta Badan Pertanahan Nasional Cq Badan
Pertanahan Nasional Wilayah Nanggroe Aceh Darussalam Cq Badan Pertanahan Nasional
Kabupaten Aceh Barat (Turut Tergugat), hal. 3 dan hal. 36.

Universitas Sumatera Utara

diserahkan kembali oleh tergugat I kepada notaris dalam keadaan sudah
ditanda tangani oleh penggugat (pemilik sebidang tanah seluas ± 16.026 m2).
Atas dasar karena kepercayaan sehingga notaris mengirimkan minut
akta tersebut kepada tergugat I dan anak penggugat untuk ditandatangani
penggugat adalah merupakan perbuatan pelanggaran hukum, sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 16 ayat (1) revisi Undang-Undang Jabatan Notaris,
menentukan bahwa dalam menjalankan jabatannya, Notaris berkewajiban:
a. Bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan
menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum;
b. Membuat akta dalam bentuk minuta akta dan menyimpannya sebagai
bagian dari protokol notaris;
c. Melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada Minuta
Akta
d. Mengeluarkan grosse akta, salinan akta, atau kutipan akta berdasarkan
minuta akta;
e. Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam undangundang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya;
f. Merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala
keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan
sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain;
g. Menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang
memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlah akta
tidak dapat dimuat dalam satu buku, akta tersebut dapat dijilid menjadi
lebih dari satu buku, dan mencatat jumlah minuta akta, bulan, dan
tahun pembuatannya pada sampul setiap buku;
h. Membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak
diterimanya surat berharga;
i. Membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan
waktu pembuatan akta setiap bulan;
j. Mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf h atau
daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke daftar pusat wasiat
departemen yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang kenotariatan
dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan
berikutnya;
k. Mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada
setiap akhir bulan;

Universitas Sumatera Utara

l. Mempunyai cap/stempel yang memuat lambang negara republik
indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama,
jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan;
m. Membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling
sedikit 2 (dua) orang saksi atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk
pembuatan akta wasiat dibawah tangan dan ditandatangani pada saat
itu juga oleh penghadap, saksi, dan notaris;
n. Menerima magang calon notaris.
Pada Pasal 16 ayat (1) huruf m revisi Undang-Undang Jabatan Notaris
yang dilanggar mengenai kewajibannya tidak membacakan akta di hadapan
penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi atau 4
(empat) orang saksi khusus untuk pembuatan akta wasiat dibawah tangan dan
ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan notaris.
Kemudian melanggar Pasal 16 ayat (1) huruf

a

revisi Undang-Undang

Jabatan Notaris yaitu bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak
berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan
hukum, Selain ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf m revisi Undang-Undang
Jabatan Notaris yang dilanggar adalah Pasal 4 ayat (6) Kode Etik Notaris
menentukan larangan “Mengirimkan minuta kepada klien untuk ditanda
tangani”. Apapun alasannya, apakah didasarkan pada saling percaya atau
sudah sama-sama kenal, dan lain-lain, notaris tetap dilarang mengirimkan
minut akta kepada pihak lain untuk ditandatangani.
Dalam kondisi seperti ini, jika notaris menyerahkan atau mengirimkan
minut akta melalui perantara atau pihak lain, selain notaris telah melanggar
Undang-Undang Jabatan Notaris juga melanggar Kode Etik Notaris. Pasal 3

Universitas Sumatera Utara

ayat (4) Kode Etik Notaris melarang sikap keberpihakan notaris dalam
menjalankan tugas. Seorang notaris “diharamkan” untuk berpihak hanya
kepada salah satu pihak. Notaris wajib melayani seluruh pihak secara netral.
Berbeda dengan advokat dapat dipastikan berpihak kepada kliennya. 16
Tanda tangan pihak penggugat dibubuhkan ke dalam minut akta
tersebut dalam kondisi penandatanganan minut akta tidak di hadapan notaris.
Di sinilah kemungkinan anak penggugat atau bersama-sama dengan tergugat I
memalsukan tanda tangan kedua orang tuanya dalam SKMHT yang dibuat
oleh Notaris sebagai Tergugat II. 17
Berdasarkan Putusan Nomor: 09/Pdt.G/2010/PN-Mbo, atas dasar
inilah Majelis Hakim Pengadilan Negeri Meulaboh menjatuhkan putusan
perbuatan melawan hukum terhadap notaris. Majelis Hakim Pengadilan
Negeri Meulaboh tidak mendasarkan penjatuhan putusannya terhadap notaris
atas pertimbangan hukum sebagaimana dalam Undang-Undang Jabatan
Notaris dan Kode Etik Notaris, melainkan penjatuhan sanksi tersebut
didasarkan pada benar tidaknya SKMHT ditandatangani. Padahal proses
hukum atas peristiwa pidana pemalsuan atas tanda tangan penggugat tersebut

16

Ira Koesoemawati dan Yunirman Rizan, Ke Notaris, (Jakarta: Raih Asa Sukses,
2009), hal. 33.
17
Putusan Nomor: 09/Pdt.G/2010/PN-Mbo, Op. cit., hal. 11-12.

Universitas Sumatera Utara

belum terbukti dalam sidang pidana (belum memiliki kekuatan hukum tetap),
masih dalam proses penyidikan.18
Dalam kasus ini terdapat dua persoalan hukum pertama gugatan
berdasarkan atas perbuatan melawan hukum dengan Putusan Nomor:
09/Pdt.G/2010/PN-Mbo atas gugatan perdata diputuskan Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Meulaboh pada tanggal 26 April 2011. Sedangkan yang
kedua tuntutan pidana atas tindakan pemalsuan tanda tangan melalui Putusan
Nomor: 1186/Pid.B/2011/PN-Mbo atas tuntutan pidana terhadap terpidana
Tergugat I yang memalsukan tanda tangan diputus oleh Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Meulaboh pada tanggal 1 Desember 2011. Jadi dalam satu
perkara ini lebih dahulu diputuskan gugatan perdatanya daripada tuntutan
pidananya.
Disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) revisi Undang-Undang Jabatan
Notaris dalam menjalankan jabatannya, notaris dibebani beberapa kewajiban.
Salah satu kewajibannya dalam Pasal 16 ayat (1) huruf m Undang-Undang
Jabatan Notaris adalah “Membacakan akta di hadapan penghadap dengan
dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi atau empat orang saksi khusus
untuk pembuatan Akta Wasiat dibawah tangan dan ditandatangani pada saat
itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris”. Jika putusan di atas dikaitkan
18

Putusan Nomor: 09/Pdt.G/2010/PN-Mbo atas gugatan perdata diputuskan Majelis
Hakim Pengadilan Negeri Meulaboh pada tanggal 26 April 2011. Sedangkan Putusan Nomor:
1186/Pid.B/2011/PN-Mbo atas tuntutan pidana terhadap terpidana Bahagia yang memalsukan
tanda tangan diputus oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Meulaboh pada tanggal 1
Desember 2011.

Universitas Sumatera Utara

dengan ketentuan dalam revisi UUJN tepatnya pada Pasal 16 ayat (1) huruf m
revisi Undang-Undang Jabatan Notaris dan Pasal 16 ayat (7) Undang-Undang
Jabatan Notaris, tidak merupakan kewajiban bagi notaris untuk membacakan
akta di hadapan para penghadap, karena dianggap para penghadap telah
membaca sendiri, mengetahui, dan memahami isinya dengan ketentuan bahwa
hal tersebut dinyatakan dalam penutup akta serta pada setiap halaman Minuta
diparaf oleh Penghadap, saksi dan Notaris,. Dasar pertimbangan ini tidak
disebutkan dalam pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Meulaboh.
Akan tetapi dalam kebiasaan berpraktek di lapangan, notaris wajib
membacakan akta di hadapan para penghadap karena jika tidak dibacakan di
hadapan para penghadap, maka akta tersebut dapat dianggap sebagai akta di
bawah tangan, artinya akta tersebut tidak dibuat oleh pejabat yang berwenang
(bukan akta otentik). Menurut Ira Koesoemawati dan Yunirman Rizan
mengatakan:19
Seorang notaris wajib membacakan akta di hadapan pihak yang
meminta pembuatan akta (klien) dan saksi-saksi. Setelah semua
memahami dan menyetujui isi akta lalu diikuti dengan
penandatanganan akta oleh semua yang hadir (notaris, para pihak, dan
saksi-saksi). Pembacaan akta ini merupakan salah satu poin penting
karena jika tidak dibacakan maka akta yang anda buat dianggap
sebagai akta di bawah tangan.

19

Ira Koesoemawati dan Yunirman Rizan, Op. cit., hal. 43.

Universitas Sumatera Utara

Dalam kasus ini para penghadap adalah tergugat I dan anak kandung
penggugat serta saksi-saksi, namun tidak dihadirkan sama sekali penggugat
(pemilik tanah seluas ± 16.026 m2). Ada masanya akta tidak dibacakan di
hadapan para penghadap jika semua pihak terkait dengan akta itu tidak mau
akta tersebut dibacakan dengan alasan sudah membacanya, 20 kecuali akta
wasiat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf m revisi
Undang-Undang Jabatan Notaris21
Penggugat sama sekali tidak pernah melihat bahkan membaca akta
tersebut. Oleh karena itu salah satu dari para pihak terkait dengan akta
tersebut tidak terpenuhi sebagaimana maksud Pasal 16 ayat (1) huruf m revisi
Undang-Undang Jabatan Notaris . Padahal pembacaan akta di hadapan
penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan 4
(empat) orang saksi ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi,
dan notaris menurut Pasal 16 ayat (1) huruf m revisi Undang-Undang Jabatan
Notaris adalah satu di antara kewajiban-kewajiban notaris.
Dalam hal ini walaupun penggugat sesungguhnya tidak mengetahui
sebidang tanah seluas ± 16.026 m2 milik penggugat dijadikan sebagai
jaminan/agunan peminjaman kredit sebagaimana dalam SKMHT dianggap

20

Sutrisno, “Komentar Undang-Undang Jabatan Notaris”, Bahan Ajar Buku II,
Medan, Tanggal 1 Mei 2007, hal. 24-25.
21
Pasal 16 ayat (1) huruf m Undang-Undang Jabatan Notaris , menenutkan satu di
antara kewajiban-kewajiban Notaris adalah: mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud
dalam huruf h atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke daftar pusat wasiat
departemen yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang kenotariatan dalam waktu 5 (lima)
hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya.

Universitas Sumatera Utara

telah disetujui. Namun anggapan demikian ini tidak cukup dalam praktek
karena mengingat kasus-kasus yang terjadi cenderung dimanipulasi dokumendokumen penting tanpa sepengetahuan pemilik aslinya. Oleh sebab itu, notaris
wajib menghadirkan semua pihak atau setidaknya secara langsung menjumpai
para pihak jika tidak berkenan datang menghadap disebabkan sesuatu alasan
penting, 22 atau menolak pembuatan kata tersebut.
SKMHT Nomor: 103/2009 yang dibuat notaris pada tanggal 11
September 2009 dan diberikan kepada Tergugat III pada tanggal 13
September 2009 juga telah memiliki Akta Pemberian Hak Tanggungan
(APHT) Nomor: 1.324/2009 tanggal 12 September 2009 dan Sertifikat Hak
Tanggungan Nomor: 663/2009 tanggal 28 September 2009 dinyatakan Majelis
Hakim tidak berkekuatan hukum tetap. Sertifikat Hak Milik atas Tanah
Nomor: 65/1967 tertanggal 6 Desember 1997 atas nama Penggugat
diperintahkan (menghukum) Tergugat III untuk dikembalikan kepada
Penggugat. 23
Menurut Undang-Undang Jabatan Notaris ada dua kategori kewajiban
notaris untuk membuat suatu akta yakni diharuskan oleh peraturan perundangundangan yang berlaku dan yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk
dinyatakan dalam akta otentik. Jika para pihak menginginkan untuk dibuat
aktanya, maka notaris tidak bisa menolak, kecuali yang ditentukan dalam

22
23

Ira Koesoemawati dan Yunirman Rizan, Loc. cit.
Putusan Nomor: 09/Pdt.G/2010/PN-Mbo, Op. cit., hal. 36.

Universitas Sumatera Utara

Pasal 16 ayat (1) huruf e Undang-Undang Jabatan Notaris, antara lain
menolaknya karena alasan adanya hubungan darah atau semenda dengan
Notaris sendiri atau dengan suami/istrinya, salah satu pihak tidak mempunyai
kemampuan bertindak untuk melakukan perbuatan, persyaratan dalam
perjanjian antara para pihak tidak lengkap, atau hal lain yang tidak dibolehkan
oleh undang-undang.
Dalam hal alasan menolak pembuatan akta otentik karena hal lain yang
tidak dibolehkan oleh undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
ayat (1) huruf e Undang-Undang Jabatan Notaris di atas seperti perbuatan
pemalsuan yang menurut KUH Pidana tindakan pemalsuan merupakan
perbuatan yang dilarang dan merupakan tindak pidana. Hal ini menjadi alasan
bagi Majelis Hakim untuk menjatuhkan sanksi kepada notaris dalam kasus di
atas tetapi yang menjadi masalah selanjutnya adalah bahwa tindak pidana
pemalsuan tanda tangan itu belum memperoleh kekuatan hukum tetap.
Persoalan selanjutnya adalah bahwa akta otentik pada hakikatnya
memuat kebenaran formil sesuai dengan apa yang diinginkan para pihak
datang menghadap kepada notaris. 24
Akta otentik pada hakikatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan
apa yang diberitahukan para pihak kepada Notaris. Namun, Notaris
mempunyai kewajiban untuk memasukkan bahwa apa yang termuat
dalam Akta Notaris sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai
dengan kehendak para pihak, yaitu dengan cara membacakannya
24

Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan,
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007), hal. 22.

Universitas Sumatera Utara

sehingga menjadi jelas isi Akta Notaris, serta memberikan akses
terhadap informasi, termasuk akses terhadap peraturan perundangundangan yang terkait bagi para pihak penanda tangan akta. Dengan
demikian, para pihak dapat menentukan dengan bebas untuk
menyetujui atau tidak menyetujui isi Akta Notaris yang akan
ditandatanganinya. 25

Kohar juga sependapat mengatakan notaris mempunyai kewajiban
untuk mengaktakannya sesuai dengan kehendak para pihak tersebut,
membacakannya agar menjadi jelas isi akta tersebut agar dimengerti oleh para
pihak serta memberikan akses informasi kepada kedua belah pihak dengan
tidak memihak dan bebas. 26 Dengan demikian sebenarnya tindakan pemalsuan
tanda tangan dalam kasus ini bukan menjadi urusan notaris untuk
membuktikannya, notaris hanya membuat akta sesuai dengan yang
dikehendaki para penghadap.
Otentik tidaknya suatu akta (otensitas) tidaklah cukup jika akta
tersebut dibuat oleh atau di hadapan pejabat (notaris) saja, namun cara
membuat akta otentik tersebut haruslah menurut ketentuan yang ditetapkan
oleh undang-undang. 27 Walaupun ada atau tidaknya hal lain yang tidak
dibolehkan oleh undang-undang menurut Pasal 16 ayat (1) huruf e UndangUndang Jabatan Notaris, perlu dibuktikan terlebih dahulu secara hukum
pidana. Jika sudah ada putusan yang berkekuatan hukum tetap terhadap
25

Paragraf V Penjelasan Umum Undang-Undang Jabatan Notaris .
A. Kohar, Op. cit, hal. 65.
27
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty,
1998), hal. 142.
26

Universitas Sumatera Utara

tindakan pemalsuan tanda tangan yang dilakukan oleh anak penggugat
tersebut, agar semakin menguatkan alasan hakim dalam putusan.
Tindakan pemalsuan jelas ditentukan larangannya dalam KUH Pidana
dan undang-undang lainnya, namun apakah notaris mengetahui atau tidak
tindakan pemalsuan itu, perlu dibuktikan pula pelanggaran pidana berdasarkan
hukum pidana. Berdasarkan Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Jabatan Notaris
dan Pasal 4 ayat (6) Kode Etik Notaris, notaris sudah nyata-nyata memenuhi
unsur kesalahan karena mengirimkan minut akta untuk ditanda tangani
penghadap dan tidak dibacakan di hadapan para penghadap. Ketentuan pidana
tidak diatur dalam Undang-Undang Jabatan Notaris jika notaris dalam
melanggar ketentuan pidana, melainkan ketentuan dalam Undang-Undang
Jabatan Notaris hanya mengatur pelanggaran kewajiban jabatan.
Oleh karenanya, pembuktian atas gugatan pengugat dalam perkara ini
sebaiknya terlebih dahulu ditunggu putusan pemalsuan (pidana) agar semakin
menguatkan alasan hakim menjatuhkan putusan “perbuatan melawan hukum”
kepada notaris yang bersangkutan. Tetapi apakah ditunggu atau tidak, tidak
ada larangan dan aturan hukum yang mengatur tentang hal itu.
Dalam sengketa tanah antara Penggugat dan para tergugat khususnya
dalam kaitannya dengan kewenangan notaris dalam pembuatan SKMHT
sebagaimana dalam Putusan Nomor: 09/Pdt.G/2010/PN-Mbo, Pengadilan
Negeri Meulaboh menjatuhkan putusan “perbuatan melawan hukum” terhadap

Universitas Sumatera Utara

notaris dan menyatakan SKMHT Nomor: 103/2009 tertanggal 11 September
2009 tersebut tidak sah dan tidak berkekuatan hukum.
Menarik untuk dilakukan penelitian ini karena dalam perkara ini minut
akta yang dibuat oleh notaris diserahkan kepada pihak tergugat I dan anak
kandung penggugat untuk ditanda tangani oleh penggugat, dan akta tidak
dibacakan notaris di hadapan para pihak termasuk penandatanganan akta juga
tidak dilakukan di hadapan notaris melainkan diserahkan kepada para pihak
tergugat.
Ketentuan kewajiban notaris yang dilanggar adalah Pasal 16 ayat (1)
huruf m Undang-Undang Jabatan Notaris sedangkan Pasal 16 ayat (7)
Undang-Undang Jabatan Notaris dikecualikan untuk akta wasiat tidak wajib
dibacakan di hadapan notaris (vide: Pasal 16 ayat 7 Undang-Undang Jabatan
Notaris ) tetapi dalam perkara ini pihak penggugat sama sekali tidak pernah
diberitahukan oleh notaris baik langsung maupun tidak langsung. Tidak
pernah ada pernyataan dari pihak penggugat bahwa penggugat telah
mengetahui akta yang dibuat notaris tersebut. Sehingga dengan muatan dalam
Putusan No.09/PDT.G/2010/PN-Mbo tersebut berakibat pada kekuatan hukum
akta di mana bahwa akta yang dibuat notaris tersebut tidak berkekuatan
hukum dan batal demi hukum.
Oleh karena itu, dipandang perlu untuk dilakukan penelitian tentang,
“Akibat Hukum Terhadap Pembuatan Akta Otentik Yang Tidak Memenuhi

Universitas Sumatera Utara

Kewajiban Notaris Sebagaimana Diamanatkan Dalam Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (Analisis Putusan
No.09/PDT.G/2010/PN-Mbo)” sebagai judul dalam tesis ini.

B. Perumusan Masalah
Permasalahan yang yang menjadi fokus pembahasan dalam penelitian
ini dirumuskan sebagaimana berikut:
1. Apakah pengaturan kewajiban notaris dalam pembuatan akta otentik
menurut revisisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris telah terlaksana dalam pembuatan akta?
2. Bagaimanakah akibat hukum terhadap pembuatan akta otentik yang
tidak memenuhi kewajiban notaris menurut revisi Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dalam kaitannya
dengan Putusan No.09/Pdt.G/2010/PN-Mbo?
3. Bagaimanakah tanggung jawab hukum notaris atas akta otentik yang
dibuat dihadapannya ternyata bertentangan dengan revisi UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris?

Universitas Sumatera Utara

C. Tujuan Penelitian
Tujuan dalam rangka dilakukaknnya penelitian terhadap ketiga
permasalahan di atas, adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui efektivitas kewajiban notaris dalam pembuatan akta
otentik menurut revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris telah terlaksana dalam pembuatan akta.
2. Untuk mengetahui dan memahami akibat hukum terhadap pembuatan
akta otentik yang tidak memenuhi kewajiban notaris menurut revisi
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dalam
kaitannya dengan Putusan No.09/Pdt.G/2010/PN-Mbo.
3. Untuk mengetahui dan memahami tanggung jawab hukum notaris atas
akta otentik yang dibuat dihadapannya ternyata bertentangan dengan
revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini memberikan sejumlah manfaat yang berguna baik
manfaat secara teoritis maupun secara praktis antara lain:
1. Secara teoritis penelitian ini bermanfaat bagi pihak akademisi sebagai
bahan pengkajian penelitian untuk pengkajian lebih lanjut serta
bermanfaat

bagi

masyarakat

khususnya

masyarakat

yang

membutuhkan akta otentik dengan membuatnya melalui notaris.

Universitas Sumatera Utara

2. Secara praktis penelitian ini bermanfaat bagi Notaris, lembagalembaga pemerintahan seperti Badan Pertanahan Nasional (BPN), dan
lembaga swasta seperti perseroan serta badan hukum lainnya yang
berkaitan langsung dengan pengurusan akta otentik, khususnya kepada
notaris dan PPAT.

E. Keaslian Penelitian
Penelitian ini memiliki keaslian dan tidak dilakukan plagiat dari hasil
karya penelitian pihak lain. Sebelumnya telah dilakukan pemeriksaan ataupun
ceking judul dan permasalahan dari tesis-tesis yang ada baik di Perpustakaan
Universitas Sumatera Utara khususnya di Program Studi Magister
Kenotariatan maupun dilakukan penelusuran di situs-situs resmi perguruan
tinggi lainnya melalui internet dan diperoleh judul tesis tentang:
a. Tanggung Jawab Notaris Terhadap Akta Otentik yang Dibuat dan
Berindikasi Perbuatan Pidana, oleh Agustining, NIM: 087011001.
Penelitian ini mengkonsentrasikan kajiannya pada permasalahan:
Faktor apakah yang menyebabkan notaris diperlukan kehadirannya
dalam pemeriksaan perkara pidana? Bagaimana tanggung jawab
notaris sebagai pejabat umum terhadap akta otentik yang dibuat dan
berindikasi perbuatan pidana? Bagaimana fungsi dan peranan majelis
pengawas daerah terhadap pemanggilan notaris pada pemeriksaan
perkara pidana?

Universitas Sumatera Utara

b. Akibat Hukum Dari Pembuatan Akta Jual Beli Tanah Bersertifikat
yang Tidak Sesuai Dengan Tata Cara Pembuatan Akta PPAT (Studi
Pada PPAT di Kabupaten Langkat), oleh: Fine Handryani, NIM:
097011108. Penelitian ini mengkonsentrasikan kajiannya pada
permasalahan: Mengapa terjadi pembuatan akta jual beli yang tidak
sesuai ketentuan dalam prosedur pembuatan akta Pejabat Pembuat
Akta Tanah? Bagaimana peran Badan Pertanahan Nasional dalam
melakukan pengawasan atas tata cara pembuatan akta Pejabat Pembuat
Akta Tanah? Bagaimana akibat hukum terhadap akta Pejabat Pembuat
Akta Tanah yang tidak sesuai dengan prosedur.
Kedua karya ilmiah di atas tidak memiliki kesamaan kajian dengan
permasalahan dalam tesis ini sebab dalam penelitian ini dibahas tentang akibat
hukum terhadap pembuatan akta yang tidak memenuhi kewajiban notaris
menurut revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris dalam kaitandannya dengan Putusan No.09/Pdt.G/2010/PN-MBO
sehubungan dengan perumusan masalah di atas.
Judul dan permasalahan dalam tesis ini tidak mengandung unsur
kesamaan atau plagiat dari hasil karya ilmiah pihak lain. Sehingga dapat
dikatakan bahwa penelitian ini baru pertama kali dilakukan dan sesuai dengan
asas-asas keilmuan yang harus dijunjung tinggi antara lain kejujuran, rasional,
objektif, terbuka, serta sesuai dengan implikasi etis dari prosedur menemukan
kebenaran ilmiah secara bertanggung jawab.

Universitas Sumatera Utara

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Teori yang digunakan untuk menganalisis permasalahan dalam
penelitian ini adalah teori tentang tanggung jawab atau pertanggungjawaban
hukum. Dalam hal ini teori dimaksud diambil dari teori Hans Kelsen yang
berlatar belakang aliran positivistik (hukum murni).
Amanat pelaksanaan kewajiban Notaris dalam revisi Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dapat dianalisis dari teori Hans
Kelsen. Berikut ini teori yang dikemukakan Hans Kelsen tentang tanggung
jawab atau pertanggungjawaban, yaitu:
Konsep pertanggungjawaban hukum pada dasarnya terkait, namun
tidak identik dengan konsep kewajiban hukum. Seseorang individu
secara hukum diwajibkan untuk berperilaku dengan cara tertentu, jika
perilakunya yang sebaliknya merupakan syarat diberlakukannya
tindakan paksa. Namun tindakan paksa ini tidak mesti ditujukan
terhadap individu yang diwajibkan (pelaku pelanggaran) namun dapat
ditujukan kepada individu lain yang terkait dengan individu pertama
dengan cara yang ditetapkan oleh tatanan hukum. Individu yang
dikenakan sanksi dikatakan “bertanggung jawab” atau secara hukum
bertanggung jawab atas pelanggaran. Pada kasus pertama, seseorang
bertanggung jawab atas pelanggarannya sendiri di mana individu yang
diwajibkan dan yang bertanggung jawab adalah identik, si calon
pelanggar dianggap bertanggung jawab. Dalam kasus kedua, seseorang
individu bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukan orang
lain, individu yang diwajibkan dan yang bertanggung jawab tidaklah
identik. Seseorang individu diwajibkan atas perilaku yang berhukum,
dan dia bertanggung jawab atas perilaku yang tidak berhukum.
Individu yang berkewajiban bisa memunculkan atau menghindari
sanksi dengan perilaku ini. Namun individu yang hanya bertanggung
jawab atas tidak terpenuhinya kewajiban individu lain, (yakni atas
pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain) tidak bisa memunculkan
dan tidak pula menghindari sanksi dengan perilakunya sendiri. Ini
cukup jelas dalam kasus pertanggungjawaban pidana atas pelanggaran
orang lain, yakni, ketika sanksinya memiliki karakter penghukuman.

Universitas Sumatera Utara

Namun ia juga berterap pada pertanggungjawaban perdata atas
pelanggaran orang lain, bila sanksinya memiliki karakter eksekusi
perdata.28
Konsep pertanggungjawaban hukum pada dasarnya terkait, namun
tidak identik dengan konsep kewajiban hukum, maksudnya bahwa
pertanggungjawaban hukum bagi subjek hukum sehubungan dengan
kewajiban hukum yang diperintahkan dalam undang-undang kepada jabatan
atau tugas-tugas tertentu. Selain sebagai kewajiban hukum, juga menjadi
tanggung jawab hukum untuk dipatuhi oleh subjek yang diwajibkan hukum.
Seseorang individu secara hukum diwajibkan untuk berperilaku
dengan cara tertentu, jika perilakunya yang sebaliknya merupakan
syarat diberlakukannya tindakan paksa. Namun tindakan paksa ini
tidak mesti ditujukan terhadap individu yang diwajibkan (pelaku
pelanggaran) namun dapat ditujukan kepada individu lain yang terkait
dengan individu pertama dengan cara yang ditetapkan oleh tatanan
hukum. 29
Hans Kelsen membagi tanggung jawab atau pertanggungjawaban
hukum tersebut dalam 2 (dua) kategori, yakni: 30
a. Seseorang bertanggung jawab atas pelanggarannya sendiri di mana
individu yang diwajibkan dan yang bertanggung jawab adalah identik, si
calon pelanggar dianggap bertanggung jawab.
b. Seseorang individu bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukan
orang lain, individu yang diwajibkan dan yang bertanggung jawab tidaklah
identik.

28

Hans Kelsen, diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, Teori Hukum Murni DasarDasar Ilmu Hukum Normatif, ((Bandung: Nusa Media, 2008), hal. 136.
29
Ibid.
30
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Ternyata dalam teori Hans Kelsen di atas, beliau juga mengakui
pertanggungjawaban hukum secara individu maupun secara kolektif. 31
Seseorang tidak hanya terikat pada pelanggaran yang bersifat individual saja
namun termasuk pula pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain dapat pula
dipertanggungjawabkan oleh orang lain. Dalam kaitan ini, unsur penting yang
diperhatikan adalah adanya hubungan hukum antara para pihak.
Individu tetap bertanggung jawab atas tidak terpenuhinya kewajiban
individu lain (atas pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain), individu
tersebut tidak bisa menghindari sanksi dengan perilakunya sendiri karena ada
hubungan hukum antar masing-masing subjek hukum. Prinsip tanggung jawab
demikian diakui dalam hukum pidana dan hukum perdata yang dikenal
dengan istilah pertanggungjawaban individu dan kolektif. 32 Namun prinsip
tanggung jawabnya diadakan pembatasan-pembatasan sejauhmana individu
tersebut bertanggung jawab. 33
Sehubungan dengan teori tanggung jawab atau pertanggungjawaban
dari teori Hans Kelsen di atas, dapat diterapkan dalam pelaksanaan jabatan
notaris sebagai pejabat publik yang berwenang membuat akta otentik guna
menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum, yang berintikan
kebenaran dan keadilan yang memerlukan suatu alat bukti tertulis yang
bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa, atau perbuatan hukum yang

31

Hans Kelsen, diterjemahkan oleh Siwi Purwandari, Pengantar Teori Hukum,
(Bandung: Nusa Media, 2010), hal. 89.
32
Raisul Muttaqien, Op. cit., hal. 138.
33
Siwi Purwandari, Op. cit, hal. 90.

Universitas Sumatera Utara

diselenggarakan melalui jabatan tertentu.
Legalitas kewenangan notaris sebagai pejabat publik dalam membuat
akta otentik merupakan salah satu cara memberikan kepastian hukum kepada
masyarakat ketika masyarakat membutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat
otentik. Jasa notaris dalam proses pembangunan dan proses hukum di
pengadilan merupakan kebutuhan hukum masyarakat yang mendesak, karena
akta otentik yang dibuat notaris adalah bukti sempurna di sidang pengadilan.
Dengan memperhatikan kewajiban notaris dalam Undang-Undang
Jabatan Notaris sebagai dasar untuk pelaksanaan tanggung jawabnya dalam
membuat akta otentik. Inilah yang dikatakan oleh Hotma P. Sibuea sebagai
“tumpuan berfikir dalam mewujudkan cita hukum”.34 Notaris sebagai jabatan
publik, tunduk pada kode etik yang memuat asas hukum moral yang
ditentukan oleh perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia (INI). Profesi notaris
merupakan jenis pekerjaan yang karena sifatnya dituntut harus tunduk pada
tanggung jawab profesi hukum. 35
Profesi menuntut pemenuhan nilai moral dan nilai moral itu sendiri
merupakan kekuatan yang mengarahkan dan mendasari perbuatan luhur yang
mendasari kepribadian profesional hukum. 36 Moral mengajarkan tentang baik
buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, akhlak,

34

Hotma P. Sibuea, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan, Asas-Asas Umum
Pemerintahan yang Baik, (Jakarta: Erlangga, 2010), hal. 150.
35
Supriadi, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2006), hal. 19.
36
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

budi pekerti, dan susila. Kata yang sangat dekat dengan moral adalah etika. 37
Moral berasal dari kata mos jamaknya mores (Latin) yang artinya adat
kebiasaan.38 Etika berasal dari kata ethos jamaknya ta ethos (Yunani Kuno)
artinya adat kebiasaan.39
Moral sebagai refleksi kritis tentang bagaimana manusia harus hidup
dan bertindak dalam sistim situasi konkrit, situasi khusus tertentu, mengkaji
secara kritis persoalan benar atau salah secara tentang bagaimana harus
bertindak dalam situasi konkrit.40 Notaris harus terbuka (transparan)
berkenaan dengan pelayanan klien, kerelaan melayani secara bayaran maupun
secara cuma-cuma.
Sifat jujur mengandung sikap yang wajar artinya pelayanan notaris
terhadap klien pada tingkat kewajaran, tidak berlebihan, tidak otoriter, tidak
sok kuasa, tidak kasar, tidak menindas, dan tidak memeras. 41 Kualitas notaris
mudah diukur, sejauh mana notaris mampu mengemban tanggung jawab
moral dalam menjalankan tugasnya. K. Bertens, mengatakan, kualitas moral
suatu perbuatan diperoleh dengan dicapainya tujuan perbuatan. Perbuatan
yang memang bermaksud baik tetapi tidak menghasilkan apa-apa adalah tidak
pantas disebut baik.42

37

Abdulkadir Muhammad, Etika Profesi Hukum, (Bandung: Citra Adtya Bakti,
1997), hal. 17.
38
Ibid.
39
Supriadi, Op.cit, hal. 7.
40
A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan, (Jakarta: Kompas, 2002), hal. 4-5.
41
Supriadi, Op.cit, hal. 19.
42
K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis (Seri Filsafat Atmajaya:2), (Yogyakarta:
Kanisius, 2000), hal. 67.

Universitas Sumatera Utara

2. Konsepsi
Tujuan digunakan landasan konsepsional dalam penelitian ini adalah
untuk memperoleh dasar konseptual, menghindari pemahaman dan penafsiran
yang berbeda serta memberikan pedoman dan arahan yang sama, antara lain:
a. Notaris adalah setiap orang yang memangku dan menjalankan tugas
jabatan sebagai pejabat umum sebagai mana yang dimaksud dalam revisi
Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004 pada Pasal 1
angka 1. 43
b. Akta otentik adalah akta notaris berupa dokumen penting dalam perkara ini
yaitu: Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggung (SKMHT) Nomor
103/2009 Tanggal 11 September 2009, Akta Pemberian Hak Tanggungan
(APHT) Nomor 1324/2009 Tanggal 12 September 2009, dan Sertifikat Hak
Tanggungan Nomor 663/2009 Tanggal 28 September 2009.
c. Jabatan publik adalah jabatan Notaris/PPAT sebagai Tergugat II karena
fungsinya memberikan pelayanan hukum terhadap masyarakat tanpa
membeda-bedakan pelayanan antara satu sama lainnya.
d. Profesi adalah pekerjaan Notaris/PPAT sebagai Tegugat II.
e. Kode Etik Notaris adalah seluruh kaedah moral yang ditentukan oleh
perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia (INI) yang selanjutnya disebutkan
“perkumpulan” berdasarkan keputusan kongres Perkumpulan yang
ditentukan atau diatur dalam peraturan Perundang-Undangan yang
43

Pasal 1 angka 4 Kode Etik Notaris

Universitas Sumatera Utara

mengatur tentang hal itu dan berlaku bagi serta wajib ditaatri oleh setiap
dan semua anggota perkumpulan dan semua orang yang menjalankan tugas
jabatan sebagai Notaris termasuk didalamnya Pejabat sementara Notaris,
Notaris Pengganti, dan Notaris Pengganti Khusus. 44 .
f. Kewajiban Notaris adalah segala ketentuan wajib yang ditentukan dalam
Undang-Undang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris yang dalam hal ini
adalah kewajiban notaris untuk membuat akta atau menandatangani minut
akta di hadapan Notaris/PPAT sebagai Tergugat II.
g. Akibat hukum adalah akibat yang ditimbulkan dari pelanggaran ketentuan
yang tidak membuat akta atau menandatangani minut akta di hadapan
Notaris/PPAT sebagai Tergugat II.
h. Perbuatan melawan hukum adalah perbuatan melawan ketentuan kewajiban
untuk membuat akta atau menandatangani minut akta di hadapan
Notaris/PPAT sebagai Tergugat II.

G. Metode Penelitian
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yaitu
penelitian yang mengacu pada teori-teori, doktrin-doktrin, norma-norma, asasasas (prinsip-prinsip), kaidah-kaidah yang terdapat dalam perundangundangan dan putusan pengadilan sehubungan dengan pelaksanaan jabatan
44

Pasal 1 angka 2 Kode Etik Notaris

Universitas Sumatera Utara

notaris dan kode etik notaris. Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis
yaitu menggambarkan atau mendeskripsikan fakta-fakta terkait dengan
gugatan perdata atas pembuatan SKMHT oleh notaris dalam kaitannya dengan
Putusan No.09/Pdt.G/2010/PN-Mbo melalui analisis yang tajam dan
tersistematis.45
2. Sumber Data
Sebagai data dalam penelitian ini digunakan data sekunder yang
meliputi:
a. Bahan hukum primer yaitu: KUH Perdata,Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 tentang revisi Undang-Undang Jabatan Notaris dan Kode Etik
Notaris serta Putusan Nomor: 09/Pdt.G/2010/PN-Mbo, tertanggal 26 April
2011 atas nama Penggugat dan Tergugat I, Tergugat II, dan Tergugat III,
serta Badan Pertanahan Nasional Cq Badan Pertanahan Nasional Wilayah
Nanggroe Aceh Darussalam Cq Badan Pertanahan Nasional Kabupaten
Aceh Barat (Turut Tergugat).
b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan dan
ulasan-ulasan terhadap bahan hukum primer, antara lain: buku-buku,
makalah, majalah, jurnal ilmiah, artikel, artikel bebas dari internet, dan
surat kabar, bahkan dokumen pribadi atau pendapat dari para pakar hukum
yang relevan dengan permasalahan dalam penelitian ini.
c. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum penunjang yang memberi
45

Bandingkan dengan pendapat Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum,
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), hal. 96.

Universitas Sumatera Utara

petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder dapat berupa Kamus Umum Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa
Hukum, dan Kamus Bahasa Inggris.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi pustaka
(library research) di perpustakaan terhadap bahan-bahan hukum tertulis yang
relevan. Baik terhadap bahan hukum primer, sekunder, maupun tersier,
diperoleh melalui membaca referensi, melihat, mendengar melalui seminar,
pertemuan-pertemuan ilmiah, mendownload data melalui internet dan
melakukan studi dokumen terhadap Putusan Nomor 09/Pdt.G/2010/PN-Mbo,
yang diperoleh dari Pengadilan Negeri Meulaboh. Data yang diperoleh
kemudian dipilah-pilah guna memperoleh data yang sesuai dengan
permasalahan dalam penelitian ini.
4. Analisis Data
Jenis analisis data yaitu kualitatif yakni menganalisis data berdasarkan
kualitasnya (tingkat keterkaitannya) dengan norma-norma, asas-asas, dan
kaidah-kaidah yang terdapat di dalam ketentuan perundang-udangan tentang
pelaksanaan jabatan notaris. Analisis data tidak didasarkan pada banyaknya
data yang dikumpulkan (kualitatif).
Data

dan

Putusan

Nomor:

09/Pdt.G/2010/PN-Mbo

dianalisis

berdasarkan teori-teori yang digunakan, doktrin-doktrin, asas-asas, normanorma, kaidah-kaidah yang terdapat Undang-Undang Jabatan Notaris dan

Universitas Sumatera Utara

Kode Etik Notaris serta peraturan lainnya yang terpenting dan relevan dengan
permasalahan, kemudian dikemukakan dengan memberikan argumentasiargumentasi yuridis atas hasil penelitian yang telah dilakukan.
Dari hasil analisis data kemudian ditarik kesimpulan secara deduktif
(penalaran logika dari umum ke khusus) dalam bentuk uraian secara sistematis
dengan menjelaskan hubungan antar berbagai jenis data. Memberikan
penilaian benar atau salah atau apa dan bagaimana yang semestinya menurut
asas, norma hukum, kaidah, dan doktrin sehingga permasalahan akan dapat
dijawab.

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Paradigma Grosse Akta Sesudah Berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris

1 20 196

ANALISIS YURIDIS TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN NOTARIS DALAM PEMBUATAN AKTA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS.

0 1 109

TINJAUAN YURIDIS TENTANG KEBATALAN DAN PEMBATALAN AKTA NOTARIS DALAM PRESPEKTIF UNDANG - UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS.

0 0 13

Analisis Hukum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Sebagaimana Diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Undang Jabatan Notaris - Ubaya Repository

2 3 1

Pelanggaran Undang-Undang Jabatan Notaris dalam Pembuatan Akta Otentik - Ubaya Repository

0 0 2

Akibat Hukum Terhdap Pembuatan Akta Otentik Yang Tidak Memenuhi Kewajiban Notaris Sebagaimana Diamanatkan Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris

1 2 12

Akibat Hukum Terhdap Pembuatan Akta Otentik Yang Tidak Memenuhi Kewajiban Notaris Sebagaimana Diamanatkan Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris

0 1 2

Akibat Hukum Terhdap Pembuatan Akta Otentik Yang Tidak Memenuhi Kewajiban Notaris Sebagaimana Diamanatkan Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris

0 0 44

Akibat Hukum Terhdap Pembuatan Akta Otentik Yang Tidak Memenuhi Kewajiban Notaris Sebagaimana Diamanatkan Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris

3 4 6

ANALISIS YURIDIS TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN NOTARIS DALAM PEMBUATAN AKTA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS

1 6 58