Pengaruh Pemaparan Asap Rokok Herbal Dan Asap Rokok Mild Terhadap Mikrostruktur Hati Mencit (Mus musculus L.)

DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Rokok
2.1.1 Asal Usul Rokok

Rokok pertama kali ditemukan oleh suku bangsa Indian di Amerika, untuk
keperluan ritual seperti memuja dewa atau roh. Pada abad 16, ketika bangsa Eropa
menemukan benua Amerika, sebagian dari para penjelajah Eropa mencoba
menghisap rokok dan kemudian membawa tembakau ke Eropa. Kebiasaan
merokok mulai muncul dikalangan bangsawan Eropa. Tapi berbeda dengan
bangsa Indian yang merokok untuk keperluan ritual, di Eropa orang yang
merokok untuk kesenangan. Abad 17 Masehi, para pedagang Spanyol masuk ke
negara Turki, dan pada saat itu kebiasaan untuk merokok mulai menyebar dan
meluas sampai ke negara Asia (Jaya, 2009).

Menurut Jaya (2009) rokok di Indonesia dibedakan berdasarkan bahan
pembungkus, bahan baku, proses pembuatannya, dan pengunaan filter pada rokok.

Berdasarkan bahan pembungkusnya rokok dibagi menjadi rokok klobot (daun
jagung), rokok kawung (daun aren), rokok sigaret (kertas), rokok cerutu (daun
tembakau). Berdasarkan bahan baku rokok dibagi menjadi rokok putih (bahan
bakunya daun tembakau), rokok kretek (bahan bakunya daun tembakau dan
cengkeh) dan rokok klembak (bahan bakunya daun tembakau, cengkeh dan
kemenyan). Berdasarkan proses pembuatannya rokok dibagi menjadi Sigaret
Kretek Tangan (SKT) yaitu rokok yang proses pembuatannya dengan cara
digiling atau dilinting dengan menggunakan tangan atau alat bantu sederhana,
Sigaret Kretek Mesin (SKM) yaitu rokok yang proses pembuatannya
menggunakan mesin. Sederhananya, material rokok dimasukkan ke dalam mesin
pembuat rokok. Keluaran yang dihasilkan mesin pembuat rokok berupa rokok
batangan. Sedangkan berdasarkan penggunaan filter pada rokok dibagi menjadi

5
Universitas Sumatera Utara

6

DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU


rokok filter (RF) yaitu rokok yang pada bagian pangkalnya terdapat gabus dan
rokok non filter (RNF) yaitu rokok pada bagian pangkalnya tidak terdapat gabus.

Bentuk rokok seperti kronus merupakan bentuk rokok yang dimiliki
Indonesia sejak zaman Mataram sampai zaman mulai diproduksi rokok kretek dan
hingga sekarang untuk kretek tangan dan jenis rokok lainnya. Bentuk ujung rokok
kronus yang dibakar sebagai dapur membesar, sedangkan ujung rokok yang diisap
menyempit, bahkan tidak berisi tembakau atau cengkeh yang digunakan sebagai
filter atau penyaring bahan yang berbahaya di dalam asap rokok yang diisap.
Akibat adanya penyempitan rokok maka dengan berbagai proses fisik dan kimia
terbentuk partikulat, semakin lama semakin tinggi sehingga dapat berbentuk
seperti filter penyaring (Sitepoe, 2000).

2.1.2 Kandungan dan Bahaya Rokok

Rokok mengandung kurang lebih 4000 elemen, 200 diantaranya berbahaya bagi
kesehatan. Setiap merek rokok memiliki kadar kandungan zat kimia yang
berbeda-beda. Beberapa jenis racun yang terkandung dalam sebatang rokok yaitu :
Aceton, Naftalene, Arsenik, Tar, Methanol, Vinil Chlorida, Fenol Butane,
Potassium Nitrat, Polonium-201, Ammonia, Hidrogen Sianida, Nikotin,

Cadmium, Karbon monoksida. Racun utama pada rokok adalah Tar, Nikotin, dan
Karbon Monoksida. Tar adalah substansi hidrokarbon yang bersifat menempel
pada paru-paru. Nikotin adalah zat adiktif yang mempengaruhi syaraf dan
peredaran darah. Zat ini bersifat karsinogen, dan mampu memicu kanker paruparu yang mematikan. Karbon monoksida adalah zat yang mengikat hemoglobin
dalam darah, membuat darah tidak mampu mengikat oksigen. Dampak negatif dan
bahaya rokok bagi kesehatan secara umum menyebabkan antibodi menurun dan
gangguan fungsi sel-sel pertahanan tubuh sehingga tubuh tidak peka lagi terhadap
perubahan disekitarnya, juga terhadap infeksi. Selain itu, racun yang terdapat pada
rokok terutama Nikotin juga menjadi ancaman pada organ tubuh yaitu pada otak,
mulut dan tenggorokan, jantung, paru-paru, hati, perut, ginjal dan kandung kemih,
dan reproduksi pada pria dan wanita (Jaya, 2009).

6
Universitas Sumatera Utara

7

DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU

Nikotin dalam asap rokok tidak hanya masuk ke dalam tubuh perokok

aktif tapi juga masuk ke dalam tubuh perokok pasif. Nikotin dalam asap rokok
dengan cepat diabsorpsi dari paru-paru ke dalam darah dan hampir sama
efisiensinya apabila diberikan secara intravena. Senyawa ini mencapai otak dalam
waktu 8 detik setelah inhalasi. Nikotin dalam jangka waktu lama terakumulasi
dalam pembuluh darah dan mengakibatkan terjadinya penyempitan pembuluh
darah. Selain itu, kemungkinan Nikotin sudah termetabolisme di dalam hati,
karena pembuluh darah saling berkaitan membawa darah yang terikat dengan
senyawa Nikotin masuk ke dalam pembuluh darah hati dan menetralisir senyawa
yang masuk ke dalam hati (Gilman et al., 1991).

2.1.3 Rokok Herbal

Rokok herbal terbuat dari ramuan herbal yang diolah menjadi campuran
tembakau. Campuran ini mampu menetralkan kandungan Tar dan Nikotin dalam
produk rokok herbal sehingga kandungan Tar dan Nikotin yang terdapat dalam
rokok herbal rendah. Namun perbandingan antara Tar dan Nikotin sangat berbeda,
kandungan Nikotin yang terdapat dalam rokok herbal hampir mencapai 0%
sedangkan nilai Tar menunjukkan nilai yang tinggi. Tingginya angka Tar dalam
produk bukan diukur berdasarkan berat material asap rokok serta kandungan
racun yang terdapat dalam rokok herbal seperti standar pengukuran internasional,

melainkan diukur dari kandungan herbal yang menjadi komposisi baku rokok
herbal itu sendiri. Adapun kandungan yang terdapat di rokok herbal ini adalah
daun sirih (Piper betle Lynn.), kayu siwak, madu, teh hijau (Green tea), jati
Belanda, bunga Rosella, dan Srigunggu / Sengugu (Anonimus, 2010).

2.1.4 Rokok Mild

Berdasarkan bahan baku atau isi rokok, rokok mild merupakan rokok putih
yang bahan bakunya adalah daun tembakau dan memiliki filter. Rokok mild
merupakan rokok jenis ‘light’ yang mengandung Tar dan Nikotin yang lebih

7
Universitas Sumatera Utara

8

DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU

rendah. Namun bukti-bukti penyelidikan dari berbagai institusi kesehatan
seperti National Cancer Institute dan Harvard School of Public Health, Amerika

Serikat menunjukkan bahwa kandungan Nikotin yang dihisap oleh perokok dari
rokok jenis ‘light’ tidak berbeda dibanding dengan rokok biasa (Razak, 2007).
2.1.5 Kandungan Rokok Herbal dan Rokok Mild

Rokok yang umum dikonsumsi memiliki campuran yang tidak dicantumkan,
namun komposisi pada rokok herbal dicantumkan dan campuran yang digunakan.
Berbeda halnya dengan rokok mild, yang dikatakan memiliki Nikotin yang rendah
namun pada dasarnya, Nikotin yang rendah merupakan hal yang berbahaya karena
dengan mengkonsumsi Nikotin dapat membawa kecanduan walau hanya dengan
mengkonsumsi dengan kadar yang rendah. Berdasarkan komposisi yang terdapat
pada bungkus rokok, perbedaan kandungan rokok dan asap rokok dapat dilihat
pada Tabel 2.1 di bawah ini:
Tabel 2.1 Kandungan Rokok Herbal dan Rokok Mild
No.
1.
2.

Komposisi

Sampel Yang Digunakan


Tar
45,6 mg
14 mg

Rokok Herbal
Rokok Mild

Nikotin
0,1 mg
0,8 mg

Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa kadar Tar dari rokok herbal lebih banyak
daripada rokok mild. Jika dibandingkan berdasarkan kadar Tar antara rokok
herbal dan rokok mild dapat disimpulkan bahwa rokok herbal merupakan rokok
yang berbahaya karena rokok yang mengandung tar lebih banyak, lebih
berbahaya. Hal ini dikarenakan di dalam Tar dijumpai kanserogenik: polisiklik
hidrokarbon aromatis yang memicu kanker paru. Tar ini berasal dari tembakau,
cengkeh, pembungkus rokok, dan bahan organik lain yang dibakar, sebab Tar
hanya dijumpai pada rokok yang dibakar (Sitepoe, 2000).


Namun pada rokok herbal, walaupun jumlah Tar yang dikandung lebih
banyak daripada rokok mild, tingginya angka Tar dalam produk rokok herbal ini
bukan diukur berdasarkan berat material asap rokok serta kandungan racun yang

8
Universitas Sumatera Utara

9

DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU

terdapat dalam rokok herbal, seperti standar pengukuran internasional,
melainkan diukur dari kandungan herbal yang menjadi komposisi baku rokok
herbal itu sendiri. Secara standar internasional, jika nilai Tar menunjukkan angka
yang tinggi maka akan menimbulkan efek nafas yang terasa berat, sesak dan sakit
di dada, sebaliknya dalam rokok herbal tingginya angka Tar justru memberikan
efek terapi kesehatan, yaitu dengan membantu mengurangi racun yang terdapat di
dalam paru-paru. Sedangkan kadar Nikotin pada rokok herbal lebih sedikit
daripada rokok mild, hal ini dikarenakan Nikotin rendah pada rokok herbal dibuat

untuk membantu mengurangi kecanduan merokok pada perokok (Aninomous,
2010). Jumlah Nikotin yang terdapat pada rokok dapat menyebabkan proses
ketergantungan (ketagihan) pada perokok, hal ini dikarenakan Nikotin bersifat
toksis terhadap jaringan syaraf, juga menyebabkan tekanan darah sistolik dan
diastolik mengalami peningkatan (Sitepoe, 2000).

2.2 Organ Hati
2.2.1 Anatomi Dan Histologi Hati

Hati terdiri dari sejumlah besar lobulus hepatika yang tampak berbentuk
heksagonal. Masing-masing berdiameter sekitar 1 mm dan mempunyai vena
intralobular sentral kecil. Di sekitar tepi lobulus terdapat kanal portal, masingmasing berisi satu cabang arteri hepatika, dan satu duktus empedu kecil. Ketiga
struktur ini bersatu dan disebut triad porta (Watson, 1995).

Komponen struktural utama hati adalah sel-sel hati, atau hepatosit. Sel-sel
epitelnya berkelompok membentuk lempeng-lempeng yang saling berhubungan.
Pada sediaan mikroskop cahaya, tampak satuan struktural yang disebut lobulus
hati. Pada daerah perifer tertentu, lobuli dipisahkan oleh jaringan ikat yang
mengandung duktus biliaris, pembuluh limfe, saraf, dan pembuluh darah. Daerah
ini, yaitu celah portal, dijumpai pada sudut-sudut lobulus. Hepatosit berbentuk

polihedral, dengan 6 atau lebih permukaan, dan berdiameter 20-30 µm.
Permukaan masing-masing hepatosit berkontak dengan dinding sinusoid, melalui

9
Universitas Sumatera Utara

DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU

10

celah Disse, dan dengan permukaan hepatosit lain. Permukaan hepatosit
yang menghadap celah Disse mengandung banyak mikrovili yang menonjol ke
dalam celah antara vili tersebut dengan sel-sel dinding sinusoid yang dapat dilihat
pada Gambar 2.1 (Junqueira dkk., 1997).

a
b
c
d
e

f
g

Gambar 2.1 Histologi Hati. Keterangan: a. Sel Kupffer, b. Sel hati, c. Sinusoid,
d. Bile kanalikuli, e. Hepatic artery perifer, f. Duktus biliaris, g.
Hepatic portal vein
Hepatosit memiliki banyak retikulum endoplasma kasar dan halus.
Retikulum endoplasma kasar yang terdapat di dalam hepatosit membentuk agregat
yang tersebar dalam sitoplasma, agregat ini seringkali disebut badan basofilik
yang mensintesis protein seperti albumin darah dan fibrinogen. Sedangkan
retikulum endoplasma halus dari hepatosit bertanggung jawab atas proses
oksidasi, metilasi, dan konjugasi yang diperlukan untuk menonaktifkan atau
mendetoksifikasi berbagai zat sebelum diekskresi tersebar secara difusi di dalam
sitoplasma dan memiliki sistem labil yang segera bereaksi terhadap perubahan
dalam lingkungan (Junqueira dkk., 1997).

Sitoplasma hepatosit bersifat eosinofilik, terutama karena banyaknya
mitokondria dan sejumlah retikulum endoplasma halus. Hepatosit yang terletak
pada jarak berbeda dari triad portal menampakkan ciri struktural, histokimia, dan
biokimia yang bervariasi. Permukaan setiap sel hati berkontak dengan dinding

10
Universitas Sumatera Utara

11

DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU

sinusoid melalui celah Disse, dan dengan permukaan hepatosit lain.
Tempat 2 hepatosit saling bertemu terbentuk celah tubular diantaranya yang
dikenal sebagai kanalikulus biliaris. Kanalikuli merupakan bagian pertama dari
sistem saluran empedu, yang dibatasi oleh membran plasma 2 hepatosit dan
memiliki sedikit mikrovili pada bagian dalamnya (Junqueira dkk., 1997).

Hati memiliki kemampuan regenerasi yang besar. Daya regenerasi hati
setelah mengalami luka sangat tinggi. Proses regenerasi tergantung pada sifat
luka, tetapi sel-sel hati yang masih ada mempunyai daya hipertrofi dan
hiperplasia. Duktus biliaris juga aktif berpoliferasi (Leeson dkk., 1996). Hilangnya
jaringan hati akibat tindakan bedah atau oleh kerja substansi toksik memicu
mekanisme yang merangsang sel-sel hati membelah, sampai massa jaringan
aslinya pulih kembali. Akan tetapi, apabila kerusakan tersebut terjadi berulangulang atau terus menerus akan terbentuk banyak jaringan ikat bersama regenerasi
sel hati. Kelebihan jaringan ikat berakibat kacaunya struktur hati, suatu keadaan
yang dikenal sebagai sirosis. Pada keadaan tersebut fungsi hati terganggu karena
jaringan parut (kolagen) tidak hanya mengambil tempat hepatosit fungsional tetapi
juga mengacaukan sistem vaskular hati dan sistem saluran empedu (Junqueira
dkk., 1997).

Struktur mikroskopis dari hepar meliputi lobulus hati, sinusoid hati,
parenkim hati, dan kanalikuli biliaris.

a. Lobulus hati
Pembagian lobulus hati sebagai unit fungsional dibagi menjadi tiga zona,
yaitu zona I merupakan zona aktif, sel-sel paling dekat pembuluh, akibatnya zona
ini yang pertama kali dipengaruhi oleh perubahan darah yang masuk. Zona I
merupakan daerah mikroanatomi fungsional di sekitar triad portal tempat darah
mengandung konsentrasi tertinggi dari nutrisi, oksigen, hormon, dan bahan kimia
yang tidak termetabolis dibawa dalam sirkulasi hepatik. Zona II merupakan zona
intermedia, sel-selnya memberi respons terhadap darah. Letak zona II ini berada
di antara zona I dan zona III. Deskripsi lama dari mikro anatomi hepatik

11
Universitas Sumatera Utara

12

DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU

didasarkan pada pola histologis non fungsional, sedangkan deskripsi zonal dari
acinus didasarkan pada struktur mikro fisiologis (Douidar et al., 1992). Zona III
merupakan zona pasif, aktivitas sel-selnya rendah dan tampak aktif bila kebutuhan
meningkat. Lobulus hati sebagai kesatuan histologis berbentuk prisma poligonal,
diameter 1-2 mm, penampang melintang tampak sebagai heksagonal dengan
pusatnya vena sentralis dan sudut-sudut luar lobuli terdapat kanalis porta (Gambar
2.2) (Leeson dkk., 1996 & Junqueira dkk., 1997). Zona III merupakan daerah
sekitar vena hepatik yang berisi sel-sel yang kurang aktif dalam sintesis protein
dan sintesis glikogen. Zona III ini mengandung konsentrasi tinggi dari enzim
biotransformasi dari sistem oksidase campuran (Douidar et al., 1992).

Gambar 2.2

Skema Lobulus Hati, Asini Hati, dan Lobulus Porta. Lobulus
hati terdiri dari vena sentralis (CV), dan memiliki garis yang
menghubungkan celah portal (PS). Zona-zona asinus hati diberi
angka Romawi I, II, dan III. (Junqueira dkk., 1997)

Darah pada zona I mengandung oksigen, nutrisi, dan hormon. Sel zona I
memiliki konsentrasi tinggi dari enzim sintesis glikogen yang sama tinggi dengan
konsentrasi mitokondria pada siklus Krebs. Lebih banyak sintesis protein pada
zona I. Sel zona III menerima darah dengan kadar tekanan oksigen yang rendah
dan sedikit aktif pada sintesis glikogen dan protein. Sistem glikogen dapat
berubah konsentrasi diantara zona I dan zona III dalam mempertahankan nutrisi,

12
Universitas Sumatera Utara

13

DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU

bentuk lemak, dan tingkat keracunan dengan tingginya konsentrasi dari sistem
enzim biotransformasi pada zona III (Douidar et al., 1992).

b. Sinusoid hati
Sinusoid hati merupakan pembuluh yang melebar secara tidak teratur,
terdiri atas sel-sel endotel bertingkat yang membentuk lapisan tidak utuh.
Diameter tingkat kira-kira 100 nm dan berkelompok membentuk lempeng
penyaring (Junqueira dkk., 1997).

c. Parenkim hati
Parenkim atau sel-sel hati tersusun dalam rangkaian lempeng-lempeng,
atau lembaran-lembaran bercabang-cabang dan beranastomosis membentuk
labirin dan diantaranya terdapat sinusoid. Lempeng-lempeng ini secara radial
bermula dari tepi lobulus menuju ke vena sentralis sebagai pusatnya. Sel hati
berbentuk poligonal dengan enam atau lebih permukaan, berukuran sekitar 20-35
µm. Inti bulat atau lonjong dengan permukaan teratur dan besarnya bervariasi dari
sel satu dengan lainnya. Masing-masing inti berbentuk vesikuler dengan granula
kromatin tampak jelas dan tersebar dengan satu atau lebih anak inti (Lesson dkk.,
1996).

d. Kanalikuli Biliaris
Kanalikuli biliaris kadang-kadang tampak pada sajian HE sebagai rongga
kecil di antara sel hati yang bersebelahan, tetapi dapat lebih baik diperlihatkan
dengan pulasan khusus, misalnya reaksi Gomori untuk fosfatase alkali atau
dengan impregnasi perak. Kanalikuli biliaris berbentuk jala-jala tiga dimensi di
antara sel-sel hati. Dinding kanalikuli biliaris terdiri atas sel-sel hati. Pada bagian
perifer lobulus, sel-sel parenkim yang membentuk dinding kanalikuli biliaris
secara bertahap diganti dengan sel kecil jernih dengan inti gelap dan organel yang
tidak sempurna. Sel ini disebut sel duktus (Lesson dkk., 1996).

Di dalam hati, vena porta membawa darah yang kaya dengan bahan
makanan dari saluran cerna, sedangkan arteri hepatika membawa darah yang kaya

13
Universitas Sumatera Utara

14

DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU

oksigen dari sistem arteri. Arteri dan vena hepatika ini bercabang menjadi
pembuluh-pembuluh yang lebih kecil membentuk jaringan kapiler di antara sel-sel
hati yang membentuk lamina hepatika. Jaringan kapiler tersebut kemudian
mengalir ke dalam vena kecil di bagian tengah lobulus, yang mempunyai vena
hepatik. Pembuluh ini membawa darah dari kapiler portal dan darah yang
mengalami dioksigenasi yang telah dibawa ke hati oleh arteri hepatika sebagai
darah yang telah dioksigenasi (Watson, 1995).

Selain dari sel-sel hati, sinusoid vena dilapisi oleh dua tipe sel yang lain
yaitu sel endotel khusus dan sel Kupffer besar, yang merupakan makrofag
jaringan, yang mampu memfagositosis bakteri dan benda asing lain dalam darah
sinus hepatikus. Lapisan endotel sinusoid vena mempunyai pori yang sangat
besar, beberapa diantaranya berdiameter hampir 1 µm. Di bawah lapisan ini,
terletak di antara sel endotel dan sel hati, terdapat ruang jaringan yang sangat
sempit yang disebut ruang Disse yang menghubungkan pembuluh limfe di dalam
septum interlobularis. Ruang Disse memiliki mikrovili dari hepatosit yang
mengakibatkan cairan darah dengan mudah mengalir dan menapis melalui dinding
endotel

dan

berkontak

langsung

dengan

permukaan

hepatosit

yang

memungkinkan pertukaran makromolekul dengan mudah dari lumen sinusoid ke
sel hati dan sebaliknya. Secara fisiologis banyak makromolekul yang dicurahkan
ke dalam hepatosit oleh darah dan mengkatabolisasi molekul tersebut (Guyton &
Hall 1997 dalam Dewi, 2010).

2.2.2 Metabolik Hati dan Kerusakannya

Hati terletak di tempat strategis di antara vena porta dan vena cava inferior. Darah
yang datang dari vena-vena usus halus yang penuh dengan sari makanan dan
adakalanya mengandung bahan toksik yang dibentuk oleh bakteri kolon dan
bahkan berisi bakteri yang sudah mati maupun masih hidup, dan semua darah dari
limpa yang berisi hasil pemecahan hemoglobin dan zat-zat beracun, harus melalui
hati sebelum mencapai sirkulasi vena cava inferior. Oleh karena itu hati
membersihkan darah sebelum zat-zat toksik tersebut mencapai organ tubuh yang

14
Universitas Sumatera Utara

15

DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU

peka misalnya otak, mengolah makanan melalui pemecahan karbohidrat yang
diabsorbsi sebagai glukosa dan disimpan dalam hati sebagai glikogen, dan
mensintesa protein untuk membuat protein khusus seperti albumin dan fibrinogen
yang berfungsi untuk pembekuan darah (Sibuea dkk., 1992).

Perubahan struktur yang terjadi pada kerusakan hati dapat berupa
inflamasi (hepatitis), degenerasi dan penimbunan intaseluler, nekrosis, fibrosis,
dan sirosis. Inflamasi merupakan jejas pada hepar karena masuknya sel radang
akut atau kronik. Reaksi granuloma dapat dicetuskan oleh benda asing, organisme,
atau akibat langsung toksin dari obat (Crawford 2005 dalam Amalina, 2009).

Degenerasi dan penimbunan intraseluler cedera karena toksik dapat
menyebabkan pembengkakan dan edema hepatosit. Pada degenerasi hidropik
tampak sel-sel yang sitoplasmanya pucat, bengkak dan timbul vakuola di dalam
sitoplasma, karena penimbunan cairan. Hepatotoksik dan obat juga dapat
menyebabkan penimbunan tetesan lipid (steatosis). Hati secara mikroskopis
terlihat gambaran vakuola lemak kecil dalam sitoplasma di sekitar inti
(mikrovesikular steatosis), yang dapat berlanjut membentuk vakuola besar yang
mendesak inti ke tepi sel (makrovesikular steatosis). Dalam hati, penimbunan
lemak ringan dapat tidak berpengaruh pada penampakan makro. Pada manusia
bila penimbunan progresif, hepar membesar dan bertambah kuning, pada keadaan
ekstrim, hati dapat seberat 3-6 kg dan berubah menjadi hepar yang kuning, lunak,
dan berminyak (Robins & Kumar 1995 dalam Amalina, 2009).

Steatosis atau perlemakan hati, sering merupakan tanda awal dari
hepatotoksisitas. Hal ini terkait dengan penurunan konsentrasi lipid plasma dan
lipoprotein plasma seperti yang ditunjukkan oleh studi dengan karbon tetraklorida.
Karbon tetraklorida dapat mengganggu sintesis protein untuk menyalurkan
trigliserida dari hati. Mekanisme yang sama seperti ini mungkin terlibat dalam
kerusakan lemak hati lainnya (Douidar et al., 1992).

15
Universitas Sumatera Utara

16

DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU

Nekrosis, adalah kematian sel atau jaringan pada organisme hidup. Inti
menjadi lebih padat (piknotik) yang dapat hancur bersegmen-segmen (karioreksis)
dan kemudian sel menjadi kariolisis. Lesi mungkin bersifat nekrosis fokal yaitu
kematian sebuah sel atau kelompok kecil sel dalam satu lobus; nekrosis zonal
yaitu kerusakan sel hepar pada satu lobus. Nekrosis zonal dapat dibedakan
menjadi nekrosis sentral, midzonal, dan perifer. Nekrosis masif, yaitu nekrosis
yang terjadi pada daerah yang luas. Nekrosis pembentukan jembatan (bridging
necrosis), yaitu dengan jejas inflamasi yang lebih berat, nekrosis hepatosit dapat
menjangkau lobus yang berdekatan dengan cara porta ke porta, porta ke sentral,
atau sentral ke sentral (Crawford 2005 dalam Amalina, 2009).

Fibrosis terjadi sebagai respon terhadap radang atau akibat langsung toksin
pada jaringan. Fibrosis yang berkepanjangan menyebabkan sirosis. Pada sirosis,
morfologi hati tampak makronoduler, mikronoduler, atau campuran. Bila
berlangsung progresif, hati menjadi berwarna coklat, tidak berlemak, mengecil,
terkadang berat hati kurang dari 1 kg (Crawford 2005 dalam Amalina, 2009).

Sirosis, jaringan hati yang diregenerasi umumnya serupa dengan jaringan
yang hilang. Tetapi bila kerusakan itu terjadi berulang-ulang atau terus-menerus
pada organ ini, maka terbentuk jaringan ikat bersama regenerasi sel hati.
Kelebihan jaringan ikat ini berakibat kacaunya struktur hati (Junqueira dkk.,
1997). Penyebab sirosis pada manusia antara lain adalah konsumsi minuman
beralkohol secara kronis. Sirosis hati ditandai oleh adanya septa kolagen yang
tersebar disebagian besar hati (Lu, 1995).

16
Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

PERBANDINGAN EFEK ASAP ROKOK KONVENSIONAL DAN ROKOK HERBAL TERHADAP MOTILITAS SPERMATOZOA MENCIT Perbandingan Efek Asap Rokok Konvensional Dan Rokok Herbal Terhadap Motilitas Spermatozoa Mencit (Mus Musculus).

0 4 15

PERBANDINGAN EFEK ASAP ROKOK KONVENSIONAL DAN ROKOK HERBAL TERHADAP MOTILITAS SPERMATOZOA MENCIT Perbandingan Efek Asap Rokok Konvensional Dan Rokok Herbal Terhadap Motilitas Spermatozoa Mencit (Mus Musculus).

0 3 13

NASKAH PUBLIKASI PERBANDINGAN EFEK ASAP ROKOK KONVENSIONAL Perbandingan Efek Asap Rokok Konvensional Dan Rokok Herbal Terhadap Kerusakan Histologis Paru Mencit(Mus Musculus).

0 4 18

PERBANDINGAN EFEK ASAP ROKOK KONVENSIONAL DAN ROKOK HERBAL TERHADAP KERUSAKAN HISTOLOGIS PARU Perbandingan Efek Asap Rokok Konvensional Dan Rokok Herbal Terhadap Kerusakan Histologis Paru Mencit(Mus Musculus).

0 2 12

PENDAHULUAN Perbandingan Efek Asap Rokok Konvensional Dan Rokok Herbal Terhadap Kerusakan Histologis Paru Mencit(Mus Musculus).

0 2 4

Pengaruh Pemaparan Asap Rokok Herbal Dan Asap Rokok Mild Terhadap Mikrostruktur Hati Mencit (Mus musculus L.)

0 0 12

Pengaruh Pemaparan Asap Rokok Herbal Dan Asap Rokok Mild Terhadap Mikrostruktur Hati Mencit (Mus musculus L.)

0 0 2

Pengaruh Pemaparan Asap Rokok Herbal Dan Asap Rokok Mild Terhadap Mikrostruktur Hati Mencit (Mus musculus L.)

0 0 4

Pengaruh Pemaparan Asap Rokok Herbal Dan Asap Rokok Mild Terhadap Mikrostruktur Hati Mencit (Mus musculus L.)

0 0 4

Pengaruh Pemaparan Asap Rokok Herbal Dan Asap Rokok Mild Terhadap Mikrostruktur Hati Mencit (Mus musculus L.)

0 0 15