Pemikiran Politik Haji Agus Salim Tentang Nasionalisme Islam

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Belanda mengakhiri penjajahannya di Indonesia pada tahun 1942,
tepatnya tanggal 9 Maret 1942 Pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa
syarat kepada Jepang. Sejak saat itu Indonesia diduduki oleh tentara Jepang.
Awalnya kedatangan tentara Jepang disambut dengan kelegaan, tetapi harapan
tersebut musnah dengan segala tindakan militer Jepang yang bertangan besi dan
sewenang-wenang. Namun Jepang tidak terlalu lama menduduki Indonesia,
sebab tahun 1944 tentara Jepang mulai kalah melawan tentara Sekutu. Untuk
menarik simpati bangsa Indonesia agar bersedia membantu Jepang dalam
melawan tentara Sekutu, Jepang memberikan janji kemerdekaan di kelak
kemudian hari.
Janji ini diucapkan oleh Perdana Menteri Kaiso pada tanggal 7 September
1944. Oleh karena terus menerus terdesak, maka pada tanggal 29 April 1945
Jepang memberikan janji kemerdekaan yang kedua kepada bangsa Indonesia,
yaitu janji kemerdekaan tanpa syarat yang dituangkan dalam Maklumat
Gunseikan (Pembesar Tertinggi Sipil dari Pemerintah Militer Jepang di Jawa dan
Madura) dalam maklumat tersebut sekaligus dimuat dasar pembentukan Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Tugas
badan ini adalah menyelidiki dan mengumpulkan usul-usul untuk selanjutnya

dikemukakan kepada pemerintah Jepang untuk dapat dipertimbangkan bagi
kemerdekaan Indonesia1.
Dalam proses awal pembentukan negara Indonesia, persoalan paling
krusial adalah menyepakati dasar negara. Dalam sidang BPUPKI permasalahan
pokok yang dibicarakan adalah persoalan bentuk negara, batas negara, dasar
filsafat negara dan hal-hal lain yang bertalian dengan pembuatan suatu konstitusi.
Perdebatan tentang masalah-masalah

di atas, kecuali tentang dasar filsafat

negara, berjalan dengan lancar. Satu dari faktor terpenting yang mendukung
pertumbuhan suatu nasionalisme terpadu adalah tingginya derajat homogenitas
1

Floriberta Aning, “Lahirnya Pancasila Kumpulan Pidato BPUPKI”, Yogyakarta: Media Pressindo,2006,
hal. 10

1
Universitas Sumatera Utara


agama di Indonesia (lebih dari 90 persen penduduknya beragama Islam). Dengan
menyebarnya gerakan nasionalisme dari tempat asal mulanya dan pangkalan
utamanya, Jawa, ke pulau-pulau lain di Indonesia yang berada di bawah
pengawasan Belanda, kecenderungan fisik yang sebaliknya mungkin telah
menjadi kuat di kalangan komunitas mereka, justru menjadi netral karena
solidaritas mereka terdesak oleh suatu agama yang sifatnya umum2.
Hal ini akhirnya menimbulkan pergulatan politik antara agama dan
negara, dasar negara dan agama, maupun antara agama dan dasar negara yang
terjadi di Indonesia telah berlangsung sejak lama dari mulai negara ini
dipersiapkan dalam suatu badan yang disebut dengan BPUPKI hingga pasca
reformasi ketika terjadi amandemen terhadap UUD 1945 sebanyak empat kali.
Polemik ini berlangsung lama sebab di antaranya diakibatkan oleh pertentangan
yang tajam dan tiada henti antara golongan Islam dan nasionalis yang ada baik di
DPR-MPR, maupun partai-partai politik peserta Pemilu di Indonesia.
Perbedaan inilah yang kemudian menjadikan adanya tarik ulur saat
mendefinisikan tentang nasionalisme. Termasuk perbedaan kelompok agamawan
dalam memahami konsep dari belenggu penjajahan dan kolonialisme yang tidak
sesuai dengan semangat dan nilai-nilai kemanusiaan universal. Semangat ini
menjadi modal dasar dan landasan kuat untuk menyatukan dan meleburkan diri
dengan penuh kerelaan dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Keinginan untuk bernegara ini tercermin secara nyata dalam Sumpah Pemuda
tahun 1928 yang melahirkan nasionalisme Indonesia yang sekaligus mampu
mendorong dalam proses pencapaian kemerdekaan Republik Indonesia3.
Isu antara agama, khususnya Islam dengan negara itu sendiri merupakan
isu yang sensitif. Mengingat meski mayoritas penduduk Indonesia beragama
Islam, namun konsentrasi penduduk di belahan timur justru berkebalikan. Satu
hal yang biasanya dikhawatirkan ketika terjadi dominasi mayoritas dalam
pembentukan dasar negara adalah terjadinya disintegrasi daerah sebagai bentuk
penolakannya terhadap dasar negara yang diambil dari ajaran agama tertentu
saja. Seperti yang diketahui, elit modern Indonesia sebelum kemerdekaan
2
3

George Mc Turnan Kahin, “Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia ”, Jakarta: UNS Press, 1995, hal. 50
Mohamad Sidky Daeng Materu, “Sejarah Pergerakan Nasional Bangsa Indonesia ”, Jakarta: PT. Gunung
Agung, 1985, hal. 112-115

2
Universitas Sumatera Utara


pemikirannya dipengaruhi oleh tiga ideologi besar yang hidup pada waktu itu,
yaitu Nasionalisme Islam atau kebangsaan dan ideologi barat modern-sekuler
(seperti liberalisme, kapitalisme, dan komunisme). Tapi apa yang terjadi di
Indonesia pada awal-awal menjelang kemerdekannya setidaknya hanya
menunjukan dua kutub pemikiran saja, Nasionalis Islam dan Nasionalis Sekuler.
Diawali sejak tahun 1930an ketika PNI dengan tokoh terkenalnya
Soekarno mewakili kelompok nasionalis sekuler, dan kalangan Islam dengan
tokohnya Haji Agus Salim, HOS Tjokroaminoto, Ahmad Hasan dan M. Natsir.
Maka kemudian jelas apa saja yang menjadi cita-cita dan tujuan masing-masing
kelompok. Kelompok Nasionalis Sekuler menghendaki agar Indonesia yang akan
dibangun kelak berdasarkan kebangsaan tanpa kaitan khusus pada ideologi
keagamaan. Sedangkan kelompok lain Nasionalis Islam menginginkan agar
negara Indonesia berdasarkan Islam.
Memang disini terlihat dua paham yang menonjol ialah paham dari
anggota-anggota ahli agama yang menganjurkan supaya Indonesia didirikan
sebagai negara Islam. Negara Islam dalam artian negara tidak bisa dipisahkan
dari agama. Negara dan agama ialah satu, bersatu padu. Islam ialah suatu sistem
agama, sosial, dan politik, yang bersandar atas Quran sebagai pusat dan sumber
dari segala susunan hidup manusia Islam. Sedangkan menurut orang-orang dari
golongan paham nasionalis sekuler dengan mendirikan negara Islam di Indonesia

berarti tidak akan mendirikan negara persatuan.
Mendirikan negara Islam di Indonesia berarti mendirikan negara yang
akan mempersatukan diri dengan golongan yang besar, yaitu golongan Islam.
Jikalau di Indonesia didirikan negara Islam, maka tentu akan timbul persoalanpersoalan golongan agama kristen maupun golongan-golongan agama kecil
lainnya. Meskipun negara Islam akan menjamin dengan sebaik-baiknya
kepentingan golongan-golongan lain itu, akan tetapi golongan-golongan agama
lain tersebut tidak bisa mempersatukan dirinya dengan negara. Oleh karena itu,
cita-cita negara Islam itu tidak sesuai dengan cita-cita negara persatuan4.

4

Floriberta Aning, op.cit.; hal. 73

3
Universitas Sumatera Utara

Sementara itu dalam masalah Nasionalisme, Soekarno menyatakan
bahwa Nasionalisme harus tetap dinomor satukan sebagai pegangan untuk
persatuan dan persatuan bangsa Indonesia. Paham-paham lainnya harus tunduk
pada tuntutan ini, jika perlu nasionalisme Islam dan Marxis harus bekerja sama

demi terwujudnya persatuan bangsa. Pernyataan Soekarno ini mendorong Haji
Agus Salim untuk lebih meluruskan arah perjuangan bangsa Indonesia yang
semestinya yaitu menuju kepada masyarakat bangsa tanpa terkecuali. Haji Agus
Salim beranggapan paham Soekarno yang terlalu memuliakan tanah air di atas
segalanya akan melunturkan keyakinan Tauhid seseorang dan akan mengurangi
bakti seseorang kepada Tuhan. Bagi Agus Salim urusan kenegaraan pada
pokoknya merupakan bagian integral risalah Islam.
Haji Agus Salim merupakan menteri luar negeri Indonesia yang dinilai
memiliki kapasitas dan kapabilitas baik level nasional maupun internasional.
Pengakuan itu terutama terkait pemikirannya tentang berbagai isu dan problema
yang dinilai berbakat dan istimewa. Prestasinya yang sangat penting adalah
kemampuannya sebagai ketua tim delegasi misi diplomatik untuk mendapatkan
pengakuan dunia internasional bagi Indonesia di tengah perjuangan revolusi fisik
saat itu. Pemikiran tersebut kemudian dalam penelitian ini dikaji untuk melihat
pandangannya terkait relasi Islam dan politik. Adapun beberapa pemikiranpemikiran yang diangkat oleh Agus Salim, yaitu:


Pertama, pandangannya terkait Islam dan politik (negara). Dalam konteks
ini pandangannya mengenai politik terlihat dinamis sekaligus unik.
Nasionalisme merupakan wujud cinta negara dalam balutan agama

(Islam) yang membedakannya dengan nasionalisme versi Soekarno.
Menurut Agus Salim nasionalisme harusnya berlandaskan pada kerangka
ibadah kepada Allah SWT yang dilandasi dengan rasa tulus ikhlas
semata-mata hanya untuk mencari ridho Allah SWT. Nasionalisme yang
dicetuskan Haji Agus Salim berdasarkan ketauhidan bukan berdasarkan
fanatisme terhadap cinta bangsa dan negara. Menurut Haji Agus Salim,
nasionalisme

seharusnya

mengandung

perasaan

kemanusiaan,

persaudaraan, kemuliaan bangsa demi kemerdekaan dan berdasarkan
kepada niat Lillahi Ta'ala, tidak mengangkat kebangsaan sebagai berhala
tempat menyembah.


4
Universitas Sumatera Utara



Kedua, tentang makna jihad atau perang suci (holy war) yaitu
menekankan makna ijtihad (bersungguh-sungguh segala daya dalam
berusaha)5. Dalam mengartikan jihad yang berspirit keadilan, dengan
syarat yang tinggi yakni niat karena menjalankan perintah agama bukan
faktor pribadi, adanya dendam atau pengkhianatan dan dilarang
menyerang wanita, anak-anak, orang tua dan tempat ibadah beserta orang
yang berada di dalamnya6.



Ketiga, mengenai persatuan dunia Islam yang menekankan pada
kerjasama non-politis daripada yang bersifat politis. Baginya ide Pan
Islamisme tak harus berbentuk khilafah Islamiyah tetapi lebih pada
kedekatan emosional religius sebagai faktor pemersatu. Terakhir, tentang
tabir (batas pemisah antara pria dan wanita) hal ini bermula dari rapatrapat yang diadakan Jong Islamieten Bond (J.I.B) Himpunan Pemuda

Islam. Beliau menyingkirkan tabir yang diadakan dalam ruang rapat
untuk memisahkan para hadirin wanita dari para hadirin pria. Kaum
wanita disembunyikan di belakang sebuah tabir. Betapa janggalnya
perilaku yang meniru-niru adat Arab ini terlebih lagi, bila diingat bahwa
wanita-wanita tersebut berpakaian bebas, bahkan tanpa berkerudung
kepala seperti yang diwajibkan. Disini Haji Agus Salim menegaskan
bahwa pemisahan atau pengucilan kaum wanita bukanlah suatu perintah
agama Islam, melainkan hanyalah suatu adat di kalangan bangsa Arab7.
Mengemukakan pentingnya emansipasi wanita merupakan hal yang baru

dalam di kalangan pemikir Islam pada saat itu. Namun sebenarnya emansipasi
wanita di kalangan umat muslim sangatlah penting. Apabila di Barat kesetaraan
Pria dan Wanita berlaku secara total, maka dalam masyarakat Islam harus
didudukan secara proporsional. Para wanita harus melepaskan tradisi lama yang
dan diberikan kesempatan untuk berkreasi dan memilih pendidikan yang akan
ditekuni. Butiran tersebut di atas, tersirat adanya petunjuk bahwa Agus Salim
Prof. H. Mohammad Daud Ali, S.H, “Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum di
Indonesia ”. Jakarta: PT. Rajagrafindo. 2012, hal. 116.
6
Jeffrie Geovanie, “Civil Religion Dimensi Sosial Politik Islam”, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,

2013, hal. 48.
7
Panitia Buku Peringatan, “Seratus Tahun Haji Agus Salim”, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1984.
5

5
Universitas Sumatera Utara

menghendaki adanya perubahan kerangka berpikir di kalangan umat Islam di
Indonesia. Oleh karena itu dari hal-hal diatas penulis tertarik untuk meneliti apa
yang melatarbelakangi pemikiran Haji Agus Salim terkait Nasionalisme yang
berdasarkan Islam.
1.2. Perumusan Masalah
Dalam sejarah Indonesia, perdebatan antara kelompok nasionalis sekuler
dengan nasionalis Islam tidak pernah selesai. Keduanya terus bertarung
memperebutkan hegemoni dalam kekuasaan. Para sejarawan Indonesia
cenderung menelusuri pertarungan tersebut sejak perdebatan piagam Jakarta,
tetapi ada juga yang mengambil klaim lebih jauh lagi hingga pertarungan dalam
tubuh Sarekat Islam di tahun 1910-an. Beberapa studi sejarah mengenai hal
diatas, memunculkan anggapan bahwa dalam pertarungan itu, kelompok

nasionalis sekuler senantiasa selalu menjadi kelompok pemenang. Klaim ini
mungkin benar, tetapi pada beberapa kasus, kemenangan kelompok sekuler
bukannya tanpa syarat.
Terdapat banyak contoh dimana pergumulan politik di Indonesia telah
menghasilkan kultur politik hibrida, yang mencampurbaurkan ide-ide yang
mungkin secara prinsip memiliki perbedaan. Dengan bahasa lain, kepentingan

“kelompok Islam” juga sudah membaur di dalamnya. Adanya kultur hibrida ini,
menyiratkan bahwa kontruksi religiusitas/keberagamaan di Indonesia mengalami
proses modifikasi. Dalam arti agama yang datang tidak pernah taken for granted
(diambil untuk diberikan), melainkan mengalami adaptasi dalam bentuk
akulturasi (percampuran dengan budaya setempat). Dalam konteks politik, hal ini
sangat tampak terjadi ketika munculnya pergerakan nasional. Ide-ide
nasionalisme, demokrasi dan keadilan sosial yang menjadi wabah di seantero
dunia, mulai dipikirkan oleh para pemikir Islam di Indonesia. Hasilnya, lahirlah
pemikiran yang menyebutkan bahwa nasionalisme dan Islam adalah suatu hal
yang memiliki kepentingan yang sama, tidak bertentangan.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, tokoh yang bernama Haji Agus
Salim ikut terlibat dalam proses pembangunan serta pertarungan pemikiran
dalam pembentukan negara yang berlandaskan Islam di antara elit bangsa saat
itu. Agus Salim mengatakan bahwa cinta tanah air diperbolehkan asalkan tidak

6
Universitas Sumatera Utara

menghancurkan kemanusiaan itu sendiri. Nasionalisme memang merupakan
modal spirit yang sangat penting, namun jangan sampai menyimpang dari nilainilai kemanusiaan. Agus Salim ingin meletakkan nasionalisme pada porsinya.
Artinya, nasionalisme memang perlu digunakan untuk mengembangkan rasa
cinta tanah air, namun juga perlu diorientasikan untuk tujuan-tujuan perjuangan
kemerdekaan dan pembentukan negara yang besar dan maju.
Perjuangan semacam ini tentunya juga merupakan bentuk pengabdian
dan ibadah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian, Agus Salim
bermaksud mengabungkan antara nasionalisme sejati dengan nilai-nilai
ketuhanan yang sifatnya lebih substanstif. Atas dasar ini, ketika menjadi anggota
Panitia 19, Agus Salim pernah menyarankan bahwa "Republik Indonesia berdiri
atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa" perlu dicantumkan dalam
Pembukaan UUD 1945 sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan setelah meraih
kemerdekaan Indonesia.
Dari uraian permasalahan yang telah disampaikan di sebelumnya, maka
fokus penelitian pada studi ini adalah terkait latar belakang yang mempengaruhi
pemikiran politik Haji Agus Salim tentang Nasionalisme yang berdasarkan
Islam.
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:


Mengetahui latar belakang yang mempengaruhi Pemikiran Haji Agus
Salim tentang Nasionalisme Islam.

1.4. Manfaat Penelitian
1. Menambah khasanah dan dapat menjadi rujukan dasar dan pertimbangan
bagi studi politik Islam khususnya tentang konsep nasionalisme Islam
menurut pemikiran Haji Agus Salim.
2. Dapat dijadikan sebagai bahan acuan dalam mengembangkan wacana
berpikir bagi pembaca dan dapat dijadikan sebagai landasan penelitian
ilmiah lebih lanjut.

7
Universitas Sumatera Utara

1.5. Kerangka Teori
Kerangka teori merupakan sebuah landasan atas cara pandang atau
berpikir dalam menjelaskan hubungan-hubungan antara gejala-gejala sosial
dengan observasi yang dilakukan.8 Teori merupakan analisis hubungan antara
fakta yang satu dengan fakta yang lain pada sekumpulan fakta-fakta. Adapun
kerangka teori yang menjadi landasan berpikir penulis dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut :
5.1 Nasionalisme
Nasionalisme berasal dari kata Nation (bangsa) and Isme (aliran) yang
berarti paham kebangsaan. Paham nasionalisme dipandang sebagai wacana
penting, karena ia menjadi representasi kemampuan untuk menghargai perbedaan
di dalam berbangsa dan ber-negara9. Nasionalisme berpotensi untuk menjadi alat
untuk menyatukan keragaman dalam sebuah negara. Dewasa ini, nasionalisme
menjadi signifikan untuk diperbincangkan karena pada kenyataannya, dalam
sebuah negara banyak terdapat berbagai kelompok yang berbeda. Dan yang
paling utama sekaligus sensitif adalah suku dan agama. Nasionalisme dipandang
sebagai kekuatan perekat agar negara tidak bercerai berai.
Nasionalisme adalah paham yang pada mulanya unsur-unsur pokok
nasionalisme terdiri atas persaudaraan, keturunan, suku bangsa, tempat tinggal,
agama, bahasa dan budaya. Aspek mendasar timbulnya nasionalisme adalah
aspek sejarah. Melalui aspek sejarah biasanya suatu bangsa memiliki rasa senasib
sepenanggungan serta harapan untuk menggapai masa depan yang lebih baik.
Dengan demikian nasionalisme adalah sikap politik dan sikap sosial suatu
kelompok masyarakat yang memiliki kesamaan budaya, wilayah, tujuan dan citacita.

8
9

Inu Kencana, “Ilmu Negara Kajian Ilmiah dan Keagamaan ”, Bandung: Pustaka Reka Cipta, 2013, hal 114
Mangadar Situmorang, “Nasionalisme Berarti Membebaskan ”, Kompas, 20 Mei 2005

8
Universitas Sumatera Utara

Menurut Ernest Renan, Nasionalisme merupakan unsur yang dominan
dalam kehidupan sosial-politik sekelompok manusia dan telah mendorong
terbentuknya suatu bangsa guna menyatukan kehendak untuk bersatu. Persepsi
ini paralel dengan pandangan Islam sebagaimana termaktub dalam ayat Al-Quran
surat al-Hujurat ayat 13 berikut ini:
“Wahai manusia, kami menciptakanmu dari laki-laki dan
perempuan, dan menjadikanmu berbangsa-bangsa dan bersukusuku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling
mulia

diantara

kalian

adalah

yang

paling

bertakwah.

Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengenal”.
(QS. Al-Hujurat ayat 13)10.
Ernest Renan menyebut nasionalisme sebagai le desire d’entre ensemble
(kehendak untuk bersatu). Nasionalisme ini membentuk persepsi dan konsepsi
identitas sosial kaum pergerakan di seluruh negara-negara jajahan sebagai suatu
kekuatan politik untuk melawan penguasa kolonial. Tujuan nasionalisme ini
adalah pembebasan dari penjajahan dan menciptakan masyarakat/negara yang
adil, dimana tidak ada lagi penindasan manusia oleh manusia11.
Hubungan negara dengan nasionalisme bukanlah suatu istilah atau
fenomena yang lahir secara sendiri, akan tetapi sangat terkait dengan konsep
negara atau bangsa, dan merupakan produk dari kolonialisme. Ini terkait dengan
penyataan Safroedin Bahar, bahwa negara tidaklah berdiri sendiri, tapi terkait
dengan nasionalisme. Sedangkan sasaran nasionalisme itu sendiri adalah lebih
sekedar perluasan dan penyebaran kesadaran berbangsa atau terbentuknya suatu

negara. Menurut Mohtar Mas’oed, nasionalisme berada dalam dua sisi, yaitu sisi
gagasan/ideasional dan sisi kebijakan/struktural. Pada sisi gagasan/ideasional,
nasionalisme dianalisis sebagai state of mind atau sebagai perwujudan kesadaran
nasional dari para individu sebagai suatu anggota bangsa. Sedangkan dalam sisi
kebijakan/struktural, nasionalisme dipahami sebagai suatu strategi politik, atau
fenomena politik. Pada sisi ini, dikaitkan dengan kekuasaan, dimana
10
11

QS. Al-Hujurat: 13
Adhyaksa Dault, “Islam dan Nasionalisme”, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005, hal. 3.

9
Universitas Sumatera Utara

nasionalisme didefenisikan sebagai gerakan politik yang berusaha memperoleh
atau menerapkan kekuasaan negara dan memberi pembenaran terhadap tindakan
tersebut dengan argumen-argumen nasionalis12.
Singkatnya, nasionalisme merupakan produk dan sejarah bangsa itu
sendiri. Nasionalisme merupakan fenomena historis, timbul sebagai jawaban
terhadap kondisi-kondisi historis, politik ekonomi dan sosial tertentu. Kondisikondisi yang dimaksudkan adalah munculnya kolonialisme dari suatu negara
terhadap negara lainnya. Hal ini terjadi sebab nasionalisme itu sendiri muncul
sebagai suatu reaksi terhadap kolonialisme, reaksi yang berasal dari sistem
eklploitasi yang selalu menimbulkan pertentangan kepentingan secara terus
menerus. Dan hal ini tidak hanya terjadi dalam bidang politik, tapi juga dalam
bidang ekonomi, sosial dan kultural13. Oleh sebab itu, suatu gerakan-gerakan
yang bersifat nasional yang muncul menentang kolonialisme dan berusaha untuk
melepaskan diri dari belenggu tersebut didorong oleh semangat nasionalisme.
1.5.2 Hubungan antara Negara dengan Agama
Negara adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah yang memiliki
kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya14. Negara merupakan
organisasi yang dalam suatu wilayah dapat memaksakan kekuasaannya secara
sah terhadap semua golongan kekuasaan lainnya dan yang dapat menetapkan
tujuan-tujuan dari kehidupan bersama itu. Negara menetapkan cara-cara dan
batas-batas sampai dimana kekuasaan dapat digunakan dalam kehidupan
bersama, baik individu, golongan atau asosiasi, maupun oleh negara sendiri.
Negara berkewajiban untuk melindungi setiap warga negaranya baik itu dalam
hal untuk mendapatkan haknya.
Dengan demikian negara dapat mengintegrasikan dan membimbing
kegiatan-kegiatan sosial dari penduduknya ke arah tujuan bersama. Dalam
rangka ini boleh dikatakan bahwa negara mempunyai dua tugas:
Mas’oed Mohtar dan Safroedin Bahar, ”Nasionalisme dan Tantangan Global Masa Kini dalam
Regionalisme, Nasionalisme, dan Ketahanan Nasional ” Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
1998, hal. 161.
13
Sartono Kartodirjo, “Kolonialisme dan Nasionalisme di Indonesia pada Abad 19 dan Abad 20 ”,
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1972, hal. 56-57.
14
Miriam Budiardjo, “Dasar-dasar Ilmu Politik” Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008, hal. 17.
12

10
Universitas Sumatera Utara

1. Mengendalikan dan mengatur gejala-gejala kekuasaan yang asosial, yakni
yang bertentangan satu sama lain, supaya tidak menjadi antagonis yang
membahayakan.
2. Mengorganisir dan mengintegrasikan kegiatan manusia dan golongangolongan ke arah tercapainya tujuan-tujuan dari masyarakat seluruhnya.
Negara menentukan bagaimana kegiatan-kegiatan asosiasi-asosiasi
kemasyarakatan disesuaikan satu sama lain dan diarahkan kepada tujuan
nasional.
Menurut Harold J. Laski, Negara adalah suatu masyarakat yang
diintegrasikan karena memiliki wewenang yang bersifat memaksa dan yang
secara sah lebih agung daripada individu atau kelompok yang merupakan bagian
dari masyarakat (The state is a society which is integrated by possessing a
coercive authority legally supreme over any individual or group which is part of
the society. A society is a group of human beings living together and working
together for the satisfaction of their mutual wants. Such a society is a state when
the way of life to which both individuals and associations must conform is
defined by a coercive authority binding upon them all)15.

Menurut Max Weber, Negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai
monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam sesuatu wilayah
(The state is a human society that (succesfully) claims the monopoli of the
legitimate use of physical force within a given territory)16.

Hubungan antara negara dan agama erat kaitannya dengan keyakinan atau
kepercayaan mayoritas masyarakat didalam suatu negara itu sendiri. Negara
merupakan suatu bentuk wilayah atau kawasan dimana mayoritas masyarakat itu
bertempat tinggal dan memiliki identitas sosial yang berkaitan dengan aliran
kepercayaan ataupun agama. Agama merupakan bentuk kepercayaan dari umat
yang meyakininya bahwa didalam aliran yang mereka percayai terdapat wujud
kebaikan untuk pribadi, golongan, maupun orang lain.

15
16

Harold J. Laski, “The State in Theory and Practice” New York: The Viking Press, 1947, hal. 8-9.
H.H Gerth and C. Wright Mills, trans, eds and introduction, From Max Weber: “ Essay in Sociology”
New York: Oxford University Press, 1958, hal. 78.

11
Universitas Sumatera Utara

Holyoake memandang sekularisme sebagai sebuah tatanan sosial yang
memisahkan hubungan agama dengan pemerintahan tanpa merendahkan
kepercayaan dari seseorang. Agama dinilai sebagai sebuah hal yang pribadi di
dalam setiap insan manusia. Pemerintah selayaknya tidak mencampuri urusan
keyakinan seseorang apalagi sampai mempolitisasi agama. Sekularisme dianggap
sebagai sebuah solusi dalam menjamin kebebasan beragama.
Berkembangnya pemahaman mengenai sekularisme diikuti dengan
kemunculan negara sekular. Negara sekular merupakan negara yang memisahkan
urusan agama dengan urusan negara. Ada tiga model negara sekular yaitu
pertama, negara sekular yang sama sekali anti dengan agama dalam kehidupan
sosial, ekonomi dan politik. Kedua, negara sekular yang melakukan upaya tegas
dalam pemisahan agama dengan negara dan terakhir adalah negara sekular yang
memiliki kepentingan terhadap agama dengan menjadikan negara religious.
Tak hanya cukup mengurai sekularisme dan negara sekular, hubungan
negara dan agama menjadi poin penting dalam penelitian ini. Negara dan agama
diyakini dua hal yang berkaitan erat dan sulit untuk dipisahkan, disebutkan juga
sebagai negara Teokrasi. Modelnya ada dua yakni yang langsung dimana percaya
bahwa pemerintahan suatu negara merupakan otoritas dari Tuhan, sedangkan
tidak langsung mempercayai bahwa pemimpin di satu negara memerintah atas
kehendak dari Tuhan.
Negara dan agama merupakan dua hal yang saling berkaitan satu dengan
yang lainnya. Akan tetapi antara negara dan agama sering terjadi perselisihan.
Pihak agama sering merasa memiliki hak dalam urusan keputusan pemerintah.
Sehingga negara seringkali dikuasai oleh agama mayoritas di suatu negara.
Upaya negara dalam mengelola kelompok-kelompok lain merupakan sebuah cara
yang dilakukan oleh negara untuk dapat mengantisipasi dan menyelesaikan
konflik yang akan maupun sudah timbul akibat dari keberagaman. Negara
memiliki kewenangan untuk mengatur dan memaksa rakyat agar mematuhi
upaya yang dilakukan khususnya dalam mengelolah kelompok minoritas yang
cenderung mengalami pergesekan sosial dan berpotensi menimbulkan konflik.

12
Universitas Sumatera Utara

1.6. Metode Penelitian
Salah satu jenis penelitian pemikiran politik (penelitian biografi atau studi
tokoh) yaitu penelitian terhadap kehidupan seseorang tokoh dalam hubungannya
dengan masyarakat, watak, pemikiran dan ide serta pengaruh pemikirannya dan
idenya dalam perkembangan sejarah. Sementara dalam bidang pemikiran Islam,
studi tokoh ialah pengkajian secara sistematis terhadap pemikiran atau gagasan
seorang pemikir muslim, keseluruhannya atau sebahagiannya. Pengkajian
meliputi latar belakang internal, eksternal, perkembangan pemikiran, hal-hal
yang diperhatikan dan kurang diperhatikan, serta kontribusi bagi zamannya, dan
masa sesudahnya17.
1.6.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif, yang menekankan
pada deskriptif dan analitis. Metode kualitatif dapat digunakan untuk
mengungkap dan memahami sesuatu dibalik fenomena atau fakta yang
sedikitpun belum diketahui18. Fakta atau data yang ada dikumpulkan,
diklasifikasikan dan kemudian akan dianalisa19.

Penelitian kualitatif tidak

berusaha untuk menguji hipotesis, dan penelitian ini bersifat alamiah, artinya
peneliti tidak berusaha untuk memanipulasi penelitian ataupun melakukan
intervensi terhadap aktivitas subjek penelitian dengan memberikan perlakuan
tertentu namun peneliti berusaha untuk memahami fenomena yang dirasakan
subjek sebagaimana adanya20.

Prof. Dr. Syahrin Harahap, MA, “Metodologi Studi Tokoh Pemikiran Islam”, Medan: Istiqamah Mulya
Press, 2006, hal. 7.
18
Ansem Strauss dan Juliet Corbin, “Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif, Tata Langkah dan Teknik-Teknik
Teorisasi Data ”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hal 5.
19
Hadari Nawawi dan H. Matini, “Penelitian Terapan ”, Yogyakarta : Gadjha Mada University Press, 2000,
hal 73.
20
Muhammad Idrus, “Metode Penelitian Ilmu Sosial”. Yogyakarta: Penerbit Erlangga. 2002, hal 24.
17

13
Universitas Sumatera Utara

1.6.2 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, antara
lain yaitu data sekunder. Penelitian ini diperoleh melalui studi pustaka, makalah,
majalah,

koran,

media

online

yang

berhubungan

dengan

kehidupan,

perjuangannya dalam pergerakan nasional hingga pemikiran politik Haji Agus
Salim tentang Nasionalisme Islam.
1.6.3 Teknik Analisa Data
Pada penelitian ini teknik analisa data yang digunakan adalah teknik
kualitatif yaitu teknik tanpa menggunakan alat bantu atau rumus statistik.
Adapun langkah-langkah yang ditempuh sebagai berikut: Pertama, pengumpulan
data dari berbagai buku, makalah, majalah, koran jurnal, kliping dan media
online yang memuat tentang pemikiran Haji Agus Salim mengenai Nasionalisme
Islam. Kedua, penilaian atau menganalisis data. Pada tahap ini setelah peneliti
mengumpulkan dan mendapatkan semua data yang mendukung, maka penulis
akan memisahkan bahan-bahan dan data-data yang diperoleh sesuai dengan
sifatnya

masing-masing.

Kemudian

penulis

melakukan

penilaian

dan

menganalisis data dari bahan yang tersedia. Ketiga, penyimpulan data yang
diperoleh. Tahap ini merupakan tahap terakhir dalam penelitian ini. Dari hasil
penilaian dan analisis yang penulis lakukan maka penulis mengambil kesimpulan
yang dapat membantu dalam memahami penelitian ini.

14
Universitas Sumatera Utara

1.7. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan gambaran yang terperinci dalam pembahasan skripsi ini,
maka penulis membagi sistematika penulisan sebagai berikut :
BAB I

: PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan Latar Belakang Masalah, Perumusan
Masalah, Pembatasan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian,
Kerangka

Teori,

Metodologi

Penelitian

dan

Sistematika

Penelitian.
BAB II

: BIOGRAFI HAJI AGUS SALIM
Pada bab ini akan diuraikan tentang gambaran perjalanan hidup
Haji Agus Salim. Diawali dari masa kanak-kanak, masa dewasa,
hingga perjuangan Haji Agus Salim dalam pergerakan nasional,
perjuangannya dalam bidang agama serta perjuangannya pada
zaman revolusi.

BAB III

: PEMIKIRAN POLITIK HAJI AGUS SALIM TENTANG
NASIONALISME YANG BERDASARKAN ISLAM
Pada bab III dalam penulisan penelitian ini nantinya akan
berisikan data-data dan juga fakta yang diperoleh dari buku-buku,
majalah, koran, media online dan juga akan menyajikan
pembahasan dan analisis data pemikiran Haji Agus Salim, apa
yang melatarbelakangi pemikiran Haji Agus Salim, serta apa yang
menjadi ide atau gagasan penting pemikiran Agus Salim.

BAB IV

: PENUTUP
Bab ini merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan yang
diperoleh dari hasil analisis data pada bab-bab sebelumnya serta
berisikan tentang saran-saran yang peneliti tuliskan setelah
melakukan penelitian.

15
Universitas Sumatera Utara