Pemikiran Politik Haji Agus Salim Tentang Nasionalisme Islam

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrachman Surjomihardjo, “Pola-Pola Pemikiran Menuju Kemerdekaan

Indonesia”, Jakarta: Prisma, 1976.

Ahmad Suhelmi, “Polemik Negara Islam”, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI Press), 2001.

Alfian, “Politik, Kebudayaan dan Manusia Indonesia” Jakarta: LP3ES, 1980. Daniel Dhakidae, “Ideologi”, Jakarta: Prisma, 1979.

Kamal Hasan, “Muslim Intelectual Respone to New Order Modernization In

Indonesia” Kuala Lumpur: Dewan Pustaka dan Pustaka Kementerian Pelajaran Malaysia, 1980.

Panitia Buku peringatan, ”Seratus Tahun Haji Agus Salim”, Jakarta: Pustaka

Sinar Harapan, 1996.

Suhatno, dkk, “Tokoh-Tokoh Pemikir Paham Kebangsaan: Haji Agus Salim dan Mohammad Husni Thamrin”, Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1995.

Sutrisno Kutoyo, “Haji Agus Salim”, Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1986. TEMPO, “Agus Salim, Diplomat Jenaka Penopang Republik”, Jakarta: PT.

Gramedia, 2013.

Al-Qur’an

Al-Qur’an, Surah Al-Hujurat, ayat 9 Al-Qur’an, Surah Al-Hujurat, ayat 13

Buku

Aning, Floriberta. “Lahirnya Pancasila Kumpulan Pidato BPUPKI”, Yogyakarta: Media Pressindo, 2006.

Budiardjo, Miriam. “Dasar-Dasar Ilmu Politik”, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008.

Dault, Adhyaksa. “Islam dan Nasionalisme”, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005. Geovanie, Jeffrie. “Civil Religion Dimensi Sosial Politik Islam”, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2013.


(2)

Harold J. Laski. “The State in Theory and Practice”, New York: The Viking Press, 1947.

H.H Gerth and C. Wright Mills, trans, eds and introduction, From Max Weber:

“Essay in Sociology”, New York: Oxford University Press, 1958.

Idrus, Muhammad. “Metode Penelitian Ilmu Sosial”, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2002.

Kahin, George Mc Turnan, Nationalism and Revolution in Indonesia, terj. Nin Bakdi Soemanto, “Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik: Nasionalisme dan

Revolusi di Indonesia”, Solo: UNS Press dan Pustaka Sinar Harapan, 1995. Kartodirjo, Sartono, “Kolonialisme dan Nasionalisme di Indonesia pada Abad

19 dan Abad 20”, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1972.

Kencana, Inu, “Ilmu Negara Kajian Ilmiah dan Keagamaan”, Bandung: Pustaka Reka Cipta, 2013.

Mas’oed, Mohtar dan Bahar, Safroedin, “Nasionalisme dan Tantangan Global

Masa Kini dalam Regionalisme, Nasionalisme, dan Ketahanan Nasional”.

Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1998.

Materu, Mohamad Sidky Daeng, “Sejarah Pergerakan Nasional Bangsa

Indonesia”, Jakarta: PT. Gunung Agung, 1985.

Nawawi dan H. Matini, “Penelitian Terapan”, Yogyakarta: Gadjha Mada University Press, 2000.

Nawawi, Hadawi. “Metodologi Penelitian Sosial”, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2000.

Noer, Delier, “Pengantar Kepemikiran Politik”, Jakarta: Rajawali, 1983.

__________, The Moderniat Muslim Movemen in Indonesia, Kuala Lumpur: Oxfood University Prees, 1973.

Panitia Buku Peringatan, “Seratus Tahun Haji Agus Salim”, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1984.

Prof. H. Mohammad Daud Ali, S.H, “Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan

Tata Hukum di Indonesia”. Jakarta: PT. Rajagrafindo, 2012.

Prof. Dr. Syahrin Harahap, MA, “Metodologi Studi Tokoh Pemikiran Islam”, Medan: Istiqamah Mulya Press, 2006.

Situmorang, Mangadar, “Nasionalisme berarti Membebaskan”, Kompas, 20 Mei 2005.


(3)

BAB III

PEMIKIRAN POLITIK HAJI AGUS SALIM TENTANG NASIONALISME YANG BERDASARKAN ISLAM

3.1 Latar Belakang Terbentuknya Pemikiran Kebangsaan yang bercorak Islam

Perkembangan Islam di Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan para penganut atau para pelakunya. Karena itu, perkembangan Islam sangat tergantung kepada para pemeluk Islam itu sendiri. Pada pergantian abad ini, keadaan umat Islam Indonesia secara umum adalah dalam suasana proses perubahan. Antara lain timbulnya gejala-gejala untuk keluar dari suasana sedih yang telah lama dialami, baik dalam kehidupan ekonomi, pendidikan, sosial politik, budaya, agama, dan lain-lain. Usaha perubahan tersebut dipelopori oleh para ulama, usahawan dan kaum intelektual. Di antara perwujudannya ialah berdirinya organisasi, baik yang bercorak agama maupun yang bercorak kebangsaan. Demikian pula bidangnya, ada yang menangani masalah-masalah ekonomi, sosial, politik, pendidikan dan agama.

Usaha yang dilakukan oleh para perintis pergerakan dewasa itu ialah melakukan adanya pembaharuan sikap mentalitas, alam pikiran dan tingkah laku kehidupan dan penghidupan masyarakat. Oleh karena itu sangat berbeda pola pemikiran dalam perjuangan generasi itu dari generasi sebelumnya. Seperti dikemukakan oleh Onghokham bahwa dalam abad ke 20 keterangan yang ada dalam masyarakat tidak mengakibatkan pemberontakan tetapi menimbulkan gerakan-gerakan politik dan partai-partai politik modern, seperti Sarekat Islam dan gerakan-gerakan nasionalis lainnya. Sekaligus dapat mengintegrasikan masyarakat dengan tujuan-tujuan modern.

Meskipun gerakan-gerakan tersebut di atas berkembang secara cepat dan pesat, tetapi pada 20 tahun pertama dari perjalanannya, polarisasi pemikiran yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat nampak secara jelas, bahkan membawa pengaruh menuju timbulnya pertentangan ideologi yang tidak pernah berhenti yaitu antara Nasionalisme dan Islam. Di antara nama tokoh yang terlibat dalam proses tumbuhan polarisasi pemikiran dari gerakan tersebut di atas antara lain H.O.S Tjokroaminoto, Haji Agus Salim, Cipto Mangunkusumo, Soekarno,


(4)

Semaun dan lain-lain. Sedangkan yang menjadi pusat pembicaraan berikut ini ialah pemikiran Haji Agus Salim, terutama di bidang agama, dan kebangsaan.

Agus Salim menamatkan pendidikannya di HBS, Jakarta pada tahun 1903, beliau tidak lagi melanjutkan sekolahnya keperguruan tinggi apapun. Demikian pula tidak memasuki organisasi atau gerakan sosial politik, pergerakan nasional dan tidak mau bekerja pada pemerintah kolonial Belanda. Di tahun-tahun itu Agus Salim sedang dilanda suatu kekecewaan yang amat sangat, karena minatnya untuk melanjutkan pendidikannya ke sekolah yang lebih tinggi kandas di tengah jalan. Usahanya untuk mendapatkan beasiswa ke negeri Belanda gagal karena ia adalah orang pribumi. Hal tersebut akhirnya menimbulkan rasa benci terhadap kolonial Belanda. Dalam hal ini, orang tuanya mengharapkan ia menjadi orang kantoran, sebagaimana yang dilakukan orang tuanya.

Walaupun Agus Salim memiliki sikap demikian, beliau mau juga bekerja di pertambangan di Indragiri Riau. Sebelumnya beliau bekerja sebagai penterjemah bebas di Jakarta, kemudian sempat menjadi pembantu notaris. Pada tahun 1906, Agus Salim meninggalkan Indragiri sekaligus melepaskan pekerjaannya sebagai pegawai pertambangan. Oleh desakan orang tuanya, Agus Salim menerima tawaran kolonial Belanda sebagai konsul di Jeddah. Sewaktu Agus Salim belum menerima tawaran tersebut, ibunya telah meninggal dunia, hal ini akhirnya yang menyebabkan Agus Salim menyerah dan menerima pekerjaan tersebut.

Selama 5 tahun Agus Salim bekerja di Jeddah, kesempatan ini juga dimanfaatkannya untuk memperdalam agama Islam, juga bahasa Arabnya. Selama di Jeddah beliau juga telah menunaikan ibadah haji sebanyak 5 kali. Pengalaman ini sangat mengesankan hatinya, terutama dalam kehidupan agamanya, Agus Salim mengalami konversi yaitu peralihan dalam agama, dari ragu-ragu hingga menjadi yakin seyakinnya. Peristiwa ini kelak yang memunculkan beliau ke gelanggang percaturan politik di Indonesia dengan membawa bendera Islam.

Sekembalinya beliau dari Jeddah membuatnya menetap di Jakarta. Tetapi beberapa waktu kemudian beliau kembali ke kampong halaman dan mendirikan sebuah sekolah. Setelah hampir 3 tahun beliau menjalani ini, ia kembali dan menetap lagi di Jakarta. Di saat itu pula telah banyak bermunculan berbagai


(5)

macam organisasi pergerakan sosial, politik, pendidikan dan lain-lainnya, tetapi Agus Salim belum juga memasuki salah satu dari sekian banyak organisasi pergerakan yang ada. Oleh karena itu nama beliau belum lagi mencuat dan dikenal dalam dunia pergerakan politik maupun sosial lainnya.

Sejak dari Jeddah Agus Salim mengalami banyak perubahan, terutama kehidupan beragamanya dan rasa keagamaannya yang dihayatinya secara sungguh-sungguh, kemudian dilanjutkannya dengan berbagai usaha yang dilakukan dikalangan masyarakat Islam. Salah satunya adalah mengadakan usaha pembaharuan pemikiran di bidang agama. Menurut Agus Salim, bahwa kemunduran umat Islam Indonesia ialah lantaran salah satu dan kekeliruan didalam menafsirkan ajaran-ajaran Islam. Itulah yang menjadi salah satu sebab adanya kebekuan dan kemandegan serta kekolotan di dalam masyarakat Islam Indonesia. Dengan kata lain bahwa dinamika masyarakat Islam tidak menghiraukan kedudukan akan sebagai pembanding antara ajaran Al-Quran dan realitas yang ada, baik membandingkan dengan kemajuan-kemajuan yang telah dicapai oleh Barat maupun membandingkan dengan kenyataan yang ada dan masih berlaku di masyakat sekitarnya. Di bagian lain Agus Salim mengatakan sebagai berikut:33

“Islam bukanlah agama yang statis tapi dinamis. Tidak beku,

tetapi dapat mengikuti zaman sesuai dengan perkembangan zaman. Dasar agama Islam tidak boleh berubah, tetapi pelaksanaan dalam masyarakat harus disesuaikan dengan

kemajuan zaman”.

Di kalangan umat Islam Indonesia, banyak yang mulai menyadari bahwa tantangan yang sedang dihadapi adalah sebuah kekuatan yang tangguh dalam menghadapi tantangan baik dari Barat, yaitu orang-orang Belanda dan dari agama Kristen maupun dari bangsanya sendiri. Orang-orang Belanda, melalui

33

Suhatno, dkk, “Tokoh-Tokoh Pemikir Paham Kebangsaan: Haji Agus Salim dan Mohammad Husni Thamrin”, Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1995.


(6)

penguasa kolonialnya, ikut serta menyebarkan agama Kristen di tengah-tengah masyarakat Islam Indonesia, terutama mengawali dengan mengemansipasikan kalangan Islam melalui pendidikan yang berorientasi kebudayaan Barat, sekaligus menjauhkan Islam sebagai agama yang dipeluknya.

Sedangkan umat Islam pada umumnya belum siap didalam menghadapi usaha yang sistematis dari pihak penguasa colonial Belanda. Antara lain, karena keadaan umat Islam Indonesia dalam kehidupan sehari-hari belum dapat mencerminkan ketinggian dan keluhuran Islam, lembaga-lembaga pendidikan Islam ataupun pesantren sama sekali tidak dapat mencetak ahli-ahli piker dalam soal-soal keduniaan setaraf dengan ahli-ahli piker yang dihasilkan oleh sekolah Barat. Oleh karena itu kehadiran Agus Salim yang memiliki watak ulama dan berintelek, sangat bermanfaat bagi masa depan Islam. Seperti pada waktu itu beliau mengatakan sebagai berikut:34

“Agama Islam tidak akan dipandang lagi sebagai pusaka yang

menghalang-halangi kemajuan, tidak lagi sebagai tempat lari, karena kita takut ancaman akhirat. Tapi Islam dijunjung tinggi sebagai panji yang kita banggakan karena ajaran-ajarannya sudah 13 abad tidak saja tahan uji terhadap pemilihan yang jujur, menang kalau dibandingkan dengan agama apapun, juga tahan terhadap perlakuan yang tidak wajar dari ilmu pengetahuan Barat malah karena ilmu pengetahuan Barat

dibenarkan”.

Adapun butiran-butiran pemikirannya yang lain, sekaligus merupakan upaya Agus Salim didalam menjawab tantangan dari kalangan masyarakat yang mempunyai kesan kolot atau kurang sesuai dengan kehidupan modern terhadap Islam, ialah sebagai berikut: 35

34

Ibid Hal 23 35


(7)

“Islam tahan terhadap penyelidikan kritis, maka mengharapkan diselidiki yang sungguh-sungguh, Islam memberikan pengertian yang terang tentang penghidupan dunia, tentang penghidupan kemanusiaan pada umumnya dan manusia sendiri. Ia memberikan sarana-sarananya untuk meningkatkan penghidupan

yang mungkin dicapai”.

Menurut Agus Salim, agama Islam tidaklah menjadikan pemeluknya bodoh, baku dan kolot, tetapi sebaliknya yaitu akan menjadikan para pemeluknya dinamis, maju dan terampil bahkan lebih dari itu yakni selamat di dunia dan di akhirat. Sebagaimana yang dia kemukakan, bahwa:36

“Agama Islam mendidik akal dan hati, supaya jangan bergantung kepada keduniaan, akan tetapi tidak dengan jalan menjauhkan diri daripada ikhtiar dan usaha. Agama Islam adalah pedoman dan petunjuk yang sempurna bagi manusia untuk kehidupannya di dalam dunia. Supaya siap ia pada tiap-tiap waktu akan menjalani jalan akhiratnya”.

Karena itu menurut pandangan Agus Salim, bahwa manusia didalam melakukan seluruh usaha kegiatan hidupnya sekali-kali jangan melupakan Allah. Hidup manusia harus dilandasi tauhid yang teguh, kemudian bertawakal kepada Allah, dan yang demikianlah yang akan memeliharakan hidup manusia. Jika dikaitkan dengan perkembangan yang terjadi dari akibat-akibat pendidikan Belanda, bagi mereka yang memandang agama dari segi realitas yang ada pada waktu itu, maka sangatlah berbahaya dan mengkaburkan pengertian agama yang sebenarnya. Lebih dari itu mengandung makna penolakan terhadap segala macam isme-isme yang dijadikan dasar berfikir, berpijak dan bergerak untuk menuju terciptanya masyarakat yang sejahtera, bahagia lahir dan batin. Sedangkan menurut beliau, bahwa untuk menuju terwujudnya masyarakat yang sejahtera, bahagia lahir batin hanyalah dengan pemahaman ajaran Islam.

Oleh karena itu umat Islam Indonesia mulai melakukan perubahan-perubahan penting dan pembenahan guna mendapatkan sistem dan metode

36


(8)

perjuangan yang lebih baik dan lebih teratur, sehingga diharapkan mampu menandingi gerakan dari lawan. Sejarah telah mencatat bahwa peristiwa di awal abad 20 seperti tersebut adalah sebagai tolak ukur adanya gerakan modern bagi kaum muslimin di Indonesia. Antara lain ditandai dengan berdirinya organisasi-organisasi Islam, yang sekaligus merupakan sistem dan metode baru perjuangan umat Islam Indonesia. Sejak itu pula kekuatan umat Islam dapat dihimpun kembali yang kemudian diarahkan guna membenahi kembali kehidupan beragama Islam secara benar, disamping juga diusahakan untuk mengusir penjajah Belanda serta untuk membendung gerakan misi Kristennya, dan lain sebagainya.

Gelombang baru yang merupakan era kebangkitan kaum muslimin Indonesia itu telah melahirkan tokoh-tokoh nasionalis yang berkualitas, sekaligus sebagai pemimpin Islam Indonesia yang besar perjuangan dan jasanya, seperti Haji Agus Salim. Agus Salim adalah salah satu tokoh pemimpin Indonesia yang dapat diterima oleh berbagai golongan sosial politik yang ada. Memang terlihat Agus Salim, telah mengabdikan dirinya untuk kepentingan agama, bangsa dan tanah airnya.

Memasuki periode pertengahan tahun 1915, gerakan perubahan masyarakat Islam semakin terus berkembang, sehingga timbul kekhawatiran bagi pemerintah Belanda. Perubahan ini terutama terlihat pada banyaknya jumlah anggota organisasi-organisasi seperti Sarekat Islam, Muhammadiyah dan yang lainnya. Oleh karena itu pemerintah semakin memperketat pengawasannya terhadap organisasi yang ada. Ketakutan pemerintah semakin terasa, terbukti dengan dilontarkannya isu politik serta usaha-usaha memecah belah orang-orang dikalangan pergerakan.

Hal ini terlihat dari pengakuan Agus Salim yang diungkapkannya melalui surat kabar Bendera Islam pada 2 Mei 1927, sebagai berikut:37

37


(9)

“Permulaan saya berkenalan dengan perhimpunan itu adalah didalam jabatan pada politik. Saya diminta orang (pihak polisi) bagi keperluan pemeriksaan berhubungan dengan kabar-kabar angin yang mengandung gugatan bahwa Tjokroaminoto telah menjual pergerakan SI kepada Jerman yaitu dengan bayaran dia menyanggupi akan membangunkan pemberontakan besar di Jawa, yang akan mendapat senjata dan lain-lain kelengkapan perang dari orang Jerman. Dari bermula saya yakin akan dua perkara, pertama bahwa kabar itu adalah kabar angin belaka, tak ada isinya dan yang kedua bahwa pekerjaan itu apabila sampai betul-betul dicoba orang, mesti menjadi bala yang besar atas negeri dan rakyat. Saya menerima pekerjaan itu, tetapi tidak ketinggalan saya memberitahukan keyakinan saya itu kepada pembesar polisi yang berunding dengan saya. Oleh penyelidikan itu saya menjadi berkenalan betul dengan pergerakan SI, istimewa dengan pimpinannya Tjokroaminoto, dan kenal sampai menyebabkan saya akhirnya masuk dalam SI. Sesudah itu saya berhenti berhubungan dengan polisi ”.

Sejak peristiwa tersebut di atas, bagi Agus Salim merupakan langkah awalnya di medan pergerakan rakyat yang telah membawa namanya ke kancah perjuangan yang sedang dirintis Tjokroaminoto bersama kawan-kawan seperjuangan. Pada mulanya Agus Salim hanya tercatat sebagai anggota biasa saja, tetapi beberapa tahun kemudian namanya telah naik dan disebut-sebut sebagai orang muda yang berbobot serta sangat cekatan. Rekan-rekan seperjuangannya tidak ragu-ragu lagi memilih beliau untuk duduk dalam pengurus besar Central Sarekat Islam, sekaligus masuk dalam deretan pemimpin SI yang disejajarkan dengan tokoh-tokoh lain yang lebih dulu, seperti Abdul Muis, dan Tjokroaminoto. Kecakapan Agus Salim baik dibidang agama maupun ilmu pengetahuan dan pengalamannya sulit dicari tandingannya. Oleh karena itu kehadiran Agus Salim di SI, yang ada pada waktu itu anggotanya telah mencapai jumlah ratusan ribu orang.

Sebagaimana yang terlihat dalam peristiwa terpentalnya paham komunisme dari tubuh SI di tahun 1921 adalah hasil usaha Agus Salim dan kawan-kawannya di dalam memperjuangkan dasar Islam sebagai warna serta landasan perjuangan SI. Demikian pula tentang cita-cita dan tujuan yang akan


(10)

dicapai oleh SI sebagai pergerakan rakyat Indonesia, Agus Salim adalah orang yang meletakkan garis Islam secara tegas dan jelas. Hal ini terlihat dalam keterangan asas SI, yang disusun oleh beliau dalam rangka mempertegas garis perjuangan SI. Apalagi pada waktu itu SI sedang dilanda kegoncangan akibat masuknya pengaruh-pengaruh sosialisme marxis melalui anggota SI Semarang yang sekaligus sebagai pengurusnya.

Tidak sedikit anggota lain yang terkecoh mengikuti jalan pikiran yang dikembangkan oleh SI Semarang. Di samping itu faktor lain seperti akibat pendidikan kolonial Belanda yang bersifat mengemansipasikan pemuda Islam dari ajaran Islamnya sangat membantu adanya perubahan sikap di dalam memandang dan memahami ajaran Islam sebagai agamanya. Di kalangan penyiar dan guru-guru agama Islam belum banyak yang mampu menterjemahkan Islam secara integral dan sistematik, seperti lebih banyak menerangkan secara sepihak, sehingga menimbulkan rasa tidak puas dan kurang memahami ajaran agama Islam dengan sebenar-benarnya.

Tersirat adanya petunjuk bahwa Agus Salim menghendaki adanya perubahan kerangka berpikir di kalangan umat Islam di Indonesia, agar supaya tidak hanyut dengan sistem pendidikan kolonial Belanda. Dengan kata lain pendidikan kolonial Belanda bukan satu-satunya tempat untuk menjadikan bangsa Indonesia memiliki pribadi yang mulia sekaligus pandai dan mampu tampil sebagai pemimpin bangsanya. Oleh karena itu beliau menghendaki perubahan sikap yang radikal, agar supaya tidak tergantung dengan pola pendidikan yang berorientasi pada kebudayaan dan peradaban Barat. Tetapi harus kembali kepada pola dan sikap Islami, demikian pula cita-cita hidup dan perjuangannya juga harus Islami. Selanjutnya beliau mengatakan:38

38


(11)

“Bibit kebangsaan perlu ditanamkan kepada anak-anak di

samping pelajaran-pelajaran lainnya. Anak-anak yang

bersekolah di sini dipersiapkan untuk menjadi pemimpin yang akan menggantikan pemimpin yang lebih tua. Pemuda-pemuda Islam harus mengajukan pengetahuannya dan hidup secara agama. Kebangsaan hendaknya dijiwai cita-cita keagamaan”.

Di samping Agus Salim menekankan Islam sebagai dasar perjuangan bangsa Indonesia, terutama di SI, Agus Salim juga menekankan perlunya persatuan para petani dan pekerja untuk secara bersama-sama berjuang menghapuskan segala kejahatan dari perbudakan politik dan ekonomi. Selanjutnya Agus Salim mengemukakan pula tentang cita-cita perjuangannya yang harus dicapai yaitu kemerdekaan yang berasas keislaman bagi bangsa Indonesia.

Jalan yang ditempuh Agus Salim untuk mendekatkan cita-cita kepada perjuangannya antara lain menyebarkan ide-idenya melalui berbagai surat kabar, seperti melalui Neratja, Suara Bumi Putera, Dunia Islam, Hindia Baru, Fadjar Asia, Mustika dan lain-lainnya. Demikian pula melalui pidato dan ceramahnya di Volksraad, dalam forum-forum pertemuan dengan pemuda terpelajar, di radio dan majalah serta media lainnya. Sebagaimana ucapan pidato Agus Salim yang disampaikan di tengah-tengah pertemuan pemuda pelajar pada tahun 1926, di antaranya sebagai berikut:39

“Pendirian JIB merupakan terlaksananya idaman hati yang menyebabkan saya sewaktu dan sesudah perserikatan berdiri

memberikan bantuan dan dukungan yang diharapkan

daripadanya. Hal itu saya jalankan semata-mata sebagai kewajiban orang Islam, yang saya juga sanggup memberikan seterusnya”.


(12)

Setelah itu usaha yang dilakukan Agus Salim di dalam memperjuangkan Islam di kalangan pemuda tidak ada hentinya. Hal ini terlihat dari lontaran kata-katanya sebagai berikut:40

“Ketahuilah, masa muda saya sama saja dengan masa muda anda. Meskipun dilahirkan dari keluarga yang beragama dan dibesarkan dengan mendapat didikan agama, dalam waktu singkat saya kehilangan kepercayaan. Kepandaian sekolah mengganti kepandaian hidup. Penghidupan pelajar, tanpa tanggung jawab sungguh-sungguuh memudahkan pergantian itu, dan keadaan itu akan berlangsung selama waktu singkat sesudah kita meninggalkan bangku sekolah. Anda sudah mempersatukan diri untuk mempelajari agama Islam. Menurut keyakinan saya, Islam tahan uji terhadap penyelidikan yang kritis, maka mengharapkan diselidiki sungguh-sungguh. Islam memberikan pengertian yang terang tentang penghidupan dunia, tentang penghidupan kemanusiaan pada umumnya dan manusia sendiri. Ia memberikan sarana-sarananya untuk meningkatkan penghidupan yang mungkin dicapai. Ada sebab lain yang membuat saya sangat bersyukur dengan lahirnya Jong Islaminten Bond. Pendirian itu terlepas dari hasil-hasil yang diharapkan, sudah menjadi buku kemajuan kebebasan dari pendukungnya”.

Dari apa yang disampaikannya pada kalangan intelektual muslim yang bergabung di JIB, tampak bahwa Agus Salim tidak saja memperjuangkan Islam lewat SI saja. Usaha ini merupakan petunjuk yang jelas tentang wawasan Agus Salim yang sangat luas dan jauh ke depan. Demikian pula sebaliknya bahwa usaha Agus Salim memiliki petunjuk lain tentang adanya pembelokan arah kehidupan di kalangan pemuda pelajar pada masa itu. Dalam hubungan ini perlu diketahui secara jelas dengan melihat faktor lain yang erat kaitannya dengan proses perubahan yang terjadi. Antara lain ialah sistem politik dan penguasanya, keberagamannya serta pengaruh agama terhadap dirinya dan lain sebagainya. Dari sini dapat secara jelas dikatakan bawah sistem politik yang berlaku adalah diskriminasi kolonial, di samping itu ditunggangi oleh gerakan missi dan


(13)

zending. Seperti terlihat dalam pernyataan Belanda di tahun 1901, pada waktu diberlakukannya politik etis, yaitu sebagai berikut:41

“Sebagai bangsa Kristen, Belanda mempunyai kewajiban untuk memperbaiki keadaan orang-orang Kristen pribumi di daerah Nusantara, memberikan bantuan lebih banyak kepada kegiatan missi Kristen, dan memberikan penerangan kepada segenap petugas bahwa Belanda mempunyai kewajiban moral terhadap penduduk wilayah ini”.

Demikian pula kaitannya dengan saran-saran politik penasehat pemerintah kolonial yaitu Snouck Hurgronje, antara lain bahwa pemerintah harus bertindak netral terhadap Islam sebagaimana agama. Dalam perkembangan selanjutnya ternyata usaha pemerintah kolonial Belanda menunjukkan hasil. Diantaranya banyak dari kalangan pemuda pelajar muslim menjadi sinis dan acuh tak acuh terhadap ajaran agamanya sendiri. Malah timbul anggapan bahwa agama Islam adalah kolot, menghambat kemajuan bangsa, dan lain sebagainya.

Oleh karena itu kelahiran generasi yang melepaskan agama Islam sebagai agamanya diganti dengan pola hidup kebudayaan Barat tidak dapat dicegah lagi. Meskipun demikian, tidaklah semua anak didikan sekolah Belanda terhanyut, terbukti dengan timbulnya kelompok JIB yang mendapat pengarahan langsung tentang ajaran agama Islam dari Agus Salim, sedangkan bagi beliau hal ini suatu kesempatan untuk berusaha menegakkan kembali Islam sebagai agama yang telah sirna dari pandangan hidup para pemuda pelajar muslim dewasa itu. Selain itu dari sisi lain terlihat keterlibatan Agus Salim dalam kegiatannya di lingkungan pemuda pelajar Muslim tersebut merupakan pewarisan nilai-nilai Islam dalam rangka menjemput dan menghantar serta melestarikan gerak perjuangan kaum Muslim di Indonesia, sekaligus sebagai bentuk adanya proses regenerasi di kalangan umat Islam.

41


(14)

Sebagaimana yang terlihat dalam peristiwa terpentalnya paham komunis dari tubuh SI tahun 1921 adalah hasil usaha Agus Salim dan kawan-kawannya di dalam memperjuangkan dasar Islam sebagai landasan perjuangan SI. Demikian pula tentang cita-citta dan tujuan yang akan dicapai oleh SI sebagai pergerakan rakyat Indonesia, Agus Salim adalah orangnya yang meletakkan garis Islam secara tegas dan jelas. Agus Salim dalam usaha memperjuangkan Islam saat menghadapi Belanda kadang bersikap kooperasi (1918-1924), juga bersikap non kooperasi (sejak dilakukannya politik Hijrah tahun 1924). Akan tetapi dalam tahun 1936 beliau cenderung bersikap kooperasi meskipun menurut beliau istilahnya beralih parlementer.

Hal ini merupakan kelanjutan dari sikapnya sebelum keluar dari PSII, melalui gerakan Penyadar bersama Mohammad Roem dan lain-lainnya. Dalam periode ini pula beliau mengusahakan terciptanya sebuah masyarakat yang memiliki pandangan hidup universal, dalam arti Islamis. Baik itu sebagai dasar nasionalisme yang sedang diperjuangkan bangsa Indonesia menentang pemerintahan penjajah Belanda maupun sebagai sistem nilai yang mendasari seluruh aspek kehidupan masyarakat sehari-hari. Sehingga suasana kehidupan ekonomi, sosial, budaya, politik, pendidikan serta lain bukan lagi sekuler (terpisah-pisah) dengan agama, melainkan suasananya adalah Islami atau agamis. Oleh karena itu disamping beliau telah menggunakan berbagai media untuk kepentingan menyebarkan ideologi Islam, sejak tahun 1934 beliau dengan melalui radio telah mendapatkan sambutan baik.

Sesudah Agus Salim keluar dari PSSI, aktifitas perjuangan beliau disalurkan melalui gerakan Penyadar. Di samping itu melalui radio Nirom, media lain seperti surat kabar dan majalah dilakukannya sejak tahun 1917. Oleh karena itu pengaruhnya terhadap masyarakat secara luas terjadi sangat cepat, sehingga menambah semangat untuk bergerak menuju cita-cita Indonesia merdeka. Ini merupakan salah satu faktor tersebarnya dan meluasnya gerakan bangsa Indonesia ke seluruh penjuru nusantara, karena adanya fasilitas surat kabar dan radio sebagai media untuk menyampaikan ide dan mengajak seluruh elemen bangsa Indonesia dalam menggalang persatuan untuk menuju cita-cita Indonesia merdeka.


(15)

Peran Agus Salim dalam periode tahun 1937-1942, bukan lagi naik terus melainkan menurun. Hal ini akibat dari hilangnya minat Agus Salim dalam kegiatan politik, apalagi semakin sering terjadi pertikaian dan perpecahan terutama di PSII, sedangkan di pihak lain di luar Islam semakin menonjol dalam gerakan-gerakannya. Sementara Agus Salim disibukkan oleh kegiatan menulis dan menyampaikan ceramah-ceramah melalui radio, dalam kalangan kaum Muslimin pada umumnya telah terjadi suatu peristiwa penting, yaitu terbentuknya federasi Islam baru bernama Majlisul Islamil A’laa Indonesia (MIAI), atas sponsor dari Muhammadiyah dan Nadlatul Ulama serta PSII pada tahun 1937 yang didirikan di Surabaya. Pada tahun 1939 terbentuk lagi sebuah federasi gerakan social, politik yang meliputi kalangan Islam dan nasionalis sekuler, yaitu bernama Gabungan Politik Indonesia (GAPI).

Di tahun ini pula suasana politik di Indonesia sedang mengalami kegoncangan, antara lain akibat pengaruh dari adanya ancaman pihak Jepang yang terlibat dengan Perang Dunia II. Oleh karenanya pemerintah kolonial Belanda sadar bahwa untuk menghadapi ancaman Jepang diperlukan adanya sahabat terutama di kalangan pemimpin Islam, meskipun tidak ada usaha yang dilakukan untuk memperbaiki satu dari tindakan-tindakan yang merusak Islam. Tetapi waktu berjalan terlalu cepat sehingga usaha-usaha pendekatan terhadap pemimpin-pemimpin Islam terasa sangat lambat. Oleh karena itu masuknya Jepang tidak dapat dicegah lagi dan sangat terpaksa Belanda harus menyerahkan Indonesia ke tangan Jepang.

Dengan datangnya Jepang ke Indonesia yang menggantikan Belanda, maka terjadilah banyak sekali perubahan di bidang sosial, ekonomi dan terutama politik. Meskipun Jepang menguasai Indonesia hanya selama tiga setengah tahun, tetapi pengaruhnya terhadap kehidupan bangsa Indonesia sangat besar. Seperti dibekukannya kegiatan politik bagi bangsa Indonesia. Ini sangat mempengaruhi terhadap patriotisme dan aktifitas bangsa Indonesia. Ketidakjelasan situasi telah menyebabkan banyak orang yang menunggu dan menanti bahkan banyak juga yang mengalihkan kegiatannya ke bidang yang tidak pernah digeluti. Keadaan ekonomi yang sangat buruk telah mengakibatkan terjadinya pergeseran prioritas. Demikian pula terjadi pergeseran di bidang politik ketika posisi militer Jepang semakin memburuk. Beberapa konsesi telah


(16)

terjadi, terutama di bidang politik dan petunjuk-petunjuk mengenai diberikannya suatu kesempatan untuk mempersiapkan sebagai negara merdeka semakin jelas. Bermula dengan diberikannya kebebasan politik, bahkan banyak dari orang-orang Indonesia dididik kemiliteran oleh Jepang.

Pada periode ini Agus Salim sama sekali tidak kelihatan dalam kegiatan-kegiatan politik. Beliau bersama anaknya berusaha mempertahankan hidup dengan berjualan arang. Meskipun demikian beliau tetap memberikan ceramah tentang soal-soal ke Islaman terhadap kawan juga murid dan sahabat-sahabatnya. Tetapi menjelang hari kemerdekaan Indonesia, beliau dihubungi oleh Soekarno dan Hatta supaya turut serta dalam gerakan Poetera. Sejak itu beliau kembali aktif ke dunia pergerakan, meskipun peranan beliau tidak seperti di waktu masih aktif dalam SI.

Pada saat terakhir kedudukan Jepang atas Indonesia, Agus Salim diangkat sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), yang selanjutnya menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Salah satu tugas Agus Salim ialah menghaluskan susunan bahasa Indonesia dari rencana Undang-undang Dasar Negara dan sekaligus ikut serta memikirkan dasar negara dan Undang-undang Dasar Republik Indonesia. Pada tanggal 22 Juni 1945, untuk pertama kalinya yang digunakan sebagai Dasar Negara adalah Pancasila dengan rumusannya yang lengkap terdapat dalam satu dokumen yang disusun dan ditandatangani oleh sebuah panitia yang terdiri dari Sembilan orang anggota Badan Penyelidik yaitu Ir.Soekarno, Moh Hatta, Maramis, Abikoesno Tjokroakoesoemo, Abdul Kahar, Haji Agus Salim, Ahmad Subardjo, Wahid Hasjim, dan Moh Jamin.

Perumusan pancasila yang pertama kali ini kemudian menjadi terkenal dengan nama Piagam Jakarta (Jakarta Charter). Adapun peristiwa ini salah satunya adalah merupakan daya penarik untuk dapat mempersatukan gagasan ketatanegaraan dengan tekad bulat atas persatuan nasional dalam rangka menyongsong datangnya negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Sesudah Indonesia merdeka, Agus Salim terpilih sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Kemudian secara berturut-turut Agus Salim duduk dalam kabinet pemerintah Republik Indonesia, sebagai Menteri Muda Luar Negeri dalam kabinet Syahrir II (1946) dan kabinet Syahrir III (1947) menjadi Menteri Luar


(17)

Negeri dalam Kabinet Syarifuddin (1947), dan Menteri Luar Negeri Kabinet Hatta I dan II (1948 dan 1949).

Pada waktu Agus Salim menjabat sebagai Menteri Muda Luar Negeri, adapun tugas yang dipikulnya ialah berusaha agar kemerdekaan Indonesia dapat segera diakui oleh dunia Internasional. Hal ini dimaksudkan agar Belanda tidak lagi mempunyai kesempatan untuk menguasai dan menjajah Indonesia. Oleh sebab itu dalam kesempatan mengikuti konfrensi antar Asia di New Delhi pada bulan maret 1947, Agus Salim sebagai pimpinan delegasi diplomat RI telah memanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Selanjutnya beliau bersama rombongan meneruskan perjalanannya menuju ke negara-negara Arab, seperti Mesir, Siria, Yaman, Irak, Libanon, Arab Saudi, Afganistan, dan negara-negara lainnya. Usaha missi diplomatiknya sangat berhasil, terbukti dengan munculnya pengakuan dari negara-negara yang dikunjunginya.

Dengan keberhasilan missi diplomatik Republik Indonesia yang dipimpin oleh Agus Salim, maka posisi Indonesia semakin kuat dan diakui oleh negara-negara besar lainnya di dunia. Meskipun demikian pihak Belanda masih juga mengadakan agresi militernya, bahkan agresi yang kedua telah berhasil menawan Agus Salim, Soekarno, Moh Roem, Ali Sastroamidjojo, Syahrir dan yang lainnya. Mereka diasingkan ke Brastagi kemudian dipindahkan ke Prapat dan akhirnya dipindahkan lagi ke Pulau Bangka. Setelah suasana dianggap kondusif mereka semua kembali ke ibukota RI yang dulu di Yogyakarta.

Pada tahun 1950, di usia Agus Salim yang telah lanjut maka jabatannya sebagai Menteri Luar Negeri diletakkan dan beliau diangkat sebagai ahli Menteri Luar Negeri. Sampai pada tahun 1953, beliau sudah banyak mengurangi kegiatan politiknya maupun pemerintahan. Tetapi karena beliau mendapatkan undangan pemerintah dari Amerika Serikat untuk memberikan kuliah di Cornell University dan Princeton University, maka tahun 1953 beliau bersama istrinya berangkat ke Amerika Serikat. Disana beliau memberikan mata kuliah tentang “Pergerakan dan Cita Islam Indonesia”.

Sepulangnya dari Amerika Serikat, di Indonesia para sahabat dan muridnya telah menyiapkan peringatan 70 tahun usianya. Dengan rasa bangsa dan hormat mereka menerbitkan buah karya pikiran, pendapat dan ucapan Agus Salim dalam sebuah buku yang berjudul “Djejak Langkah Haji Agus Salim”,


(18)

yang dipersembahkan kepada beliau. Sebelumnya Agus Salim dalam usianya yang sudah tidak muda lagi sedang berusaha melanjutkan tulisan beliau tentang tafsir Al-Quran yang sudah dimulai sejak tahun 1918. Tetapi belum sempat beliau merampungkan penulisannya, Allah SWT sudah memanggilnya kembali ke PangkuanNya. Tepat pada tanggal 4 November 1954, belum sampai sebulan setelah diadakannya peringatan usia 70 tahunnya.

Umat Islam Indonesia merasa kehilangan seorang pejuang yang luar biasa, demikian pula bangsa dan negara Indonesia telah kehilangan putra terbaik yang kembali ke Hadirat Allah SWT selama-lamanya. Beliau tidak meninggalkan harta dan benda, melainkan amal perbuatan serta pelajaran yang luar biasa bagi bangsa Indonesia. Kesungguhannya di dalam memperjuangkan cita-citanya telah dilukiskan dalam sejarah umat Islam Indonesia. Maka benar apa yang dikatakan George Mc Turnan Kahin bahwa gerakan nasional yang dipimpin oleh para ulama telah berhasil menciptakan integritas nasional, bahwa Islam bukan saja ajaran tentang hubungan manusia dengan Allah SWT semata, melainkan sebagai agama perjuangan. Agus Salim bersama para sahabatnya mencerminkan sikap baik sebagai kaum muslimin Indonesia yang tidak mau menyerah ataupun kalah terhadap Belanda. Agus Salim telah membuktikan terhadap dunia, bahwa mereka mampu memberikan sesuatu yang pantas untuk dikenang dan diberikan penghargaan oleh bangsa dan negara maupun orang lain.


(19)

3.2 Pemikiran Politik Haji Agus Salim

Berkaitan dengan dalam sejarah perjalanan nasionalisme Islam yang diterapkan Agus Salim, hubungan semangat nasionalisme islam menjadi dasar negara menimbulkan polemik tersendiri antara tokoh politik pada waktu itu. Yaitu antara Agus Salim dan Soekarno. Polemik hubungan agama dan negara antara Agus Salim dan Soekarno, memiliki makna historis sangat penting. Pertama, secara substansial, polemik Agus Salim dan Soekarno ini mewakili perbedaan pandangan dua golongan terkemuka di Indonesia, yaitu golongan nasionalis Islami dan nasionalis sekuler.

Polemik mereka juga mereflesikan pertarungan ideologis kedua golongan yang tak terujukkan sekitar tahun 1920 sampai akhir pengujung 1930. Gagasan-gagasan yang dipolemikkan itu mendasar dan aktual, seperti masalah apakah agama harus disatukan atau dipisahkan dari politik, masalah prinsip kenegaraan yang bagaimana yang harus dijadikan dasar negara dan sekulerisasi politik dalam masyarakat berpenduduk mayoritas muslim. Masalah-masalah ini menjadi perdebatan sengit antara golongan nasionalis islam dan nasionalis sekuler, baik menjelang Indonesia merdeka (perumusan Piagam Jakarta 1945), demokrasi parlementer (perdebatan di bawah konstituante 1957-1959) masa Orde Baru, dan era reformasi pasca Soeharto sekarang ini.

Polemik yang menyangkut berbagai ide dan tujuan ini mewarnai corak perkembangan politik, yang berkisar pada peranan Islam, hubungan antara agama dan negara, corak nasionalisme, serta ideologi yang diperlukan dalam menata suatu negara kebangsaan (nation state). Kedua, berkaitan dengan kedua tokoh polemik, antara Agus Salim dan Soekarno. Keduanya tokoh politik paling legendaris dalam sejarah Indonesia kontemporer. Agus Salim, ulama intelek yang memiliki ketajaman otak dan dalamnya kehidupan keagamaannya. Sedangkan Soekarno, ideologi dan politikus Indonesia telah memberikan banyak kontribusi intelektual.

Ketiga, polemik yang dilakukan secara demokratis itu, telah memberikan kesadaran di kalangan umat Islam saat itu, bahwa Islam tidaklah hanya sekedar sebagai suatu sistem teologi, ajaran-ajaran yang hanya mengatur masalah ketuhanan dan akhirat, tetapi juga mencakup misi kehidupan pribadi, sosial-budaya dan kenegaraan. Polemik antara Agus Salim dan Soekarno adalah salah


(20)

satu letupan pertarungan-pertarungan ideologis yang terjadi sekitar tahun 1940an, yaitu pertarungan antara golongan nasionalis Islami dengan nasionalis sekuler. Golongan nasionalis sekuler adalah mereka yang berprinsip bahwa dalam kehidupan politik kenegaraan harus ada pemisahan tegas antara agama dan politik.

Pada umumnya, golongan ini menyakini bahwa agama hanyalah merupakan ajaran-ajaran yang menyangkut masalah akhirat dan urusan pribadi, sedangkan politik kenegaraan merupakan masalah duniawi. Sedangkan golongan nasionalis Islam berprinsip bahwa agama (Islam) tidak dapat dipisah dari urusan kenegaraan. Golongan ini yakin dan mempunyai komitmen pada pandangan bahwa negara dan masyarakat harus diatur oleh Islam sebagai agama, yang dalam arti luas, yaitu agama yang bukan hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan saja, melainkan juga hubungan antara sesama manusia, sikap manusia terhadap lingkungannya, alam, dan lain sebagainya.

Indikasi pertarungan ideologis antara kedua golongan yang menganut prinsip berbeda ini dapat dilihat dari kasus retaknya hubungan Sarekat Islam (SI) dengan Partai Nasionalis Indonesia (PNI), kasus Jawi Hisworo, kasus majalah Timboel dan Swara Oemoem, kasus perdebatan dan polemik sengit dan berkepanjangan antara tokoh-tokoh nasionalis Islam seperti Haji Agus Salim dengan tokoh-tokoh nasionalis sekuler yang diwakili oleh Soekarno. Polemik ini bermula dari terbitnya artikel Soekarno, “Memudahkan Pengertian Islam”, yang isinya mencerminkan agar dalam Islam ada keharusan pembaharuan pemikiran dan melakukan “reorientasi ajaran-ajaran Islam”. Menurut Soekarno, dasar pembaharuan ini melandasi setiap perubahan dalam sejarah. Ia merupakan keharusan sejarah yang pasti dialami setiap kepercayaan, ideologi atau agama, termasuk Islam. Dengan demikian, hendaknya dalam Islam ada usaha rasionalisasi, misalnya dalam menafsirkan Al-Quran dan Hadis, agar kedua sumber hukum Islam itu lebih rasional dan mampu menjamah realitas.

Dengan kemunculan dan lajunya pola pemikiran nasionalis sekuler, maka Agus Salim yang berada di pihak Islamis, yang diketahui sebagai orang yang gigih mempertemukan antara kaum intelektual muslim dengan Islam sebagai agamanya, mengeritiknya dengan tajam. Antara lain beliau mengatakan bahwa gagasan-gagasan yang disampaikan oleh kaum nasionalis sekuler tersebut


(21)

mengandung unsur-unsur yang menyesatkan terhadap pemahaman tentang agama, bahwa agama itu bersifat pribadi atau individual. Oleh karena itu Agus Salim mengatakan bahwa nasionalisme yang keterlaluan bisa jatuh pada chauvinisme, imperalisme dan kolonialisme, karena nasionalisme semacam itu dapat pula mengabaikan rasa sosial, bukan saja terhadap bangsa lain tetapi juga dalam kalangan bangsa sendiri.

Agus Salim dan kawan-kawannya yang sepaham memandang bahwa nasionalisme dan apapun juga ajaran atau paham yang timbul dalam benak kepala manusia, hendaklah diletakkan di bawah niat pengabdian kepada Allah SWT. Atas kritikan yang disampaikan tersebut, Soekarno dari kaum nasionalis sekuler yang menanggapi bahwa nasionalisme sebagai pedoman yang harus dinomorsatukan karena inilah pegangan untuk persatuan dan kesatuan Indonesia. Paham-paham lain hendaklah tunduk pada tuntutan ini. Malah menurutnya nasionalisme, Islam dan Marxisme harus dapat bekerja sama dalam rangka kesatuan itu. Di tahun 1927 pula lahir suatu federasi partai-partai yang beranggotakan semua organisasi, meliputi PNI, PSI, BU, Pasundan, Kaum Betawi, Sumatranen Bond dan beberapa klub-klub studi dengan nama Permufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI). Tujuannya ialah mendatangkan persatuan di dalam aksi perjuangannya menghadapi kolonial Belanda bagi semua perhimpunan yang ada, dan berdaya upaya aksi itu bisa lebih teratur.

Tetapi harapan terciptanya persatuan dan kesatuan langkah perjuangan tersebut tidaklah segampang dengan kenyataannya. Terbukti hanya beberapa saat terjadilah perpecahan yaitu dengan keluarnya SI dari PPPKI. Di antara sebabnya ialah adanya perbedaan yang mendasar antara organisasi yang satu dengan yang lainnya. Di satu pihak ada yang menganut garis koorperatis, dan lain pihak ada yang menganut garis non-kooperasi. Di samping itu bagi SI adalah suatu langkah yang sangat merugikan organisasi. SI adalah organisasi terbesar (jumlah anggotanya paling banyak), dan Islam merupakan dasar perjuangannya di samping bertujuan membangun masyarakat Islam yang adil, makmur dan diridhoi Allah SWT. Organisasi lainnya lebih banyak mengedepankan nasionalisme yang lepas dari pengaruh agama.


(22)

Oleh karena itu menurut kalangan dari SI, tujuan federasi yang telah dibentuk ini tidak mungkin dapat dicapai, sebab perbedaannya sangat fundamental. Perencanaan dan penyusun konsep bahan federasi ini adalah Soekarno. Pokok-pokok pikirannya antara lain sebagai berikut: Bahwa ide persatuan itu terlepas dari dan tidak peduli terhadap prinsip lain yang berbeda. Bahwa untuk membangkitkan perasaan dan semangat rakyat ada pertaliannya dengan keindahan dan kekayaan Ibu Indonesia yang melahirkan Pahlawan-pahlawan seperti Gajah Mada serta tokoh-tokoh lain dari masa Hindu. Untuk menciptakan dan mempertahankan persatuan ini, maka penting artinya akan cinta kepada tanah air, kesediaan yang tulus dalam membangkitkan diri kepada tanah air serta kesediaan untuk mengesampingkan kepentingan yang sempit.

Gagasan Soekarno tersebut telah mendorong Agus Salim untuk berusaha meningkatkan dan membetulkan arah perjuangan yang seharusnya kepada masyarakat umum (bangsa Indonesia) tanpa kecuali, beserta tokoh-tokoh pergerakan. Beliau mengatakan bahwa ide Soekarno yang memuliakan tanah air di atas segalanya, akan mencairkan keyakinan Tauhid seseorang dan akan mungkin mengurangi bakti seseorang kepada Tuhan. Beliau juga setuju dengan dipentingkannya ide persatuan dan cinta tanah air, tetapi hendaklah cinta ini jangan sekedar slogan kosong yang tidak akan berarti bagi rakyat.

Selanjutnya Agus Salim mengatakan bahwa cinta tanah air yang berlebihan dapat membahayakan rakyat sendiri dan rakyat lain diluar. Sebagaimana yang terjadi dalam sejarah Eropa, dimana negeri yang satu memerangi negeri yang lain atas nama tanah air, dan menekan serta merendakan derajat bangsa-bangsa lain diluar Eropa. Lebih dari itu dapat menjadi berhala agama.

Agus Salim juga menerangkan bahwa agama yang menghambakan manusia kepada tanah air mendekatkan kepada persaingan berebut-rebutan kekayaan, kemegahan dan kebesaran, memperhinakan dan merusakkan tanah air orang lain dengan tidak mengingati hak dan keadilan. Inilah bahayanya apabila kita menghamba dan membudak kepada Ibu Pertiwi yang menjadi tanah air kita itu karenanya sendiri saja; karena eloknya dan cantiknya; karena kayanya dan baiknya, karena airnya kita minum, karena nasinya kita makan. Atas dasar


(23)

perhubungan yang karena benda dunia dan rupa dunia belaka tidaklah akan dapat ditumbuhkan sifat-sifat keutamaan yang perlu untuk mencapai kesempurnaan.

Agus Salim menganjurkan dan mengajak kepada seluruh bangsa Indonesia, terutama di kalangan tokoh-tokoh pergerakan nasionalis sekuler, agar di dalam mencintai tanah air itu hendaklah dirinya menempatkan cinta rohaniahnya diatas tujuan kebendaan. Cinta tanah air mestinya menunjukkan cita-cita yang lebih tinggi daripada segala benda dan rupa dunia, yaitu kepada hak keadilan dan keutamaan yang batasnya dan ukurannya dalam pengabdian kepada Allah sebagai cermin iman kita kepadaNya.

Akan tetapi bagi Soekarno, gagasan pemikiran mengenai nasionalisme lain baginya. Nasionalisme yang ia perjuangkan dan kemukakan tidak sama dengan yang berkembang di Barat. Hal itu timbul dari kesombongan belaka. Seterusnya Soekarno menegaskan:42

“Nasionalisme ketimuran ini telah memberi inspirasi kepada berbagai pemimpin Asia, seperti Mahatma Gandhi, CR Das dan Arabindo Ghose dari India, Mustofa Kamil dari Mesir, dan Sun Yat Sen dari Cina. Bahwa nasionalisme kita ini membuat kita jadi perkakas Tuhan dan membuat kita hidup dalam roh.”

Di samping itu Soekarno juga mengatakan, bahwa nasionalismenya itu bukanlah chauvinisme, bukan pula suatu penjiplakan daripada nasionalisme Barat. Tetapi nasionalisme itu timbul daripada pengetahuan atas susunan dunia dan riwayat. Nasionalisme yang sedemikian itu menimbulkan keinsyafan kepada kita bahwa negeri dan rakyat kita adalah sebagian dari dunia dan rakyat dunia. Oleh karena itu bukan saja menjadi hamba tumpah darah kita, tetapi juga menjadi hamba Asia, juga menjadi hamba kaum sengsara dan hamba dunia.

42


(24)

Atas cap dari Agus Salim tentang nasionalismenya dengan berhala agama, Soekarno menantangnya sebagai berikut:43

“Jikalau memang harus disebutkan begitu, jikalau itu yang disebutkan menyembah berhala, jikalau itu yang disebutkan membudak kepada benda, jikalau itu yang mendasarkan diri atas keduniaan, maka kita kaum nasionalis Indonesia, dengan segala kesenangan hati bernama mendasarkan diri atas keduniaan itu, sebab kita yakin bahwa nasionalisme pendekar itu, yang dalam hakikatnya tidak beda asal dan tidak beda sifat dengan nasionalisme kita, adalah nasionalisme yang luhur.”

Gagasan Soekarno tersebut sangat penting artinya dalam kaitannya dengan perkembangan politik di Indonesia, sebab gagasan diatas menjadi lawan yang tangguh bagi gagasan-gagasan yang dikemukakan oleh Agus Salim dan yang sepaham, yaitu yang mengajukan tentang nasionalisme Islam. Sebagai jawaban Agus Salim atas tantangan Soekarno tersebut, beliau mengatakan sebagai berikut: Tidak ada perbedaan dalam hal maksud, tujuan dan bidang kerja, hanya saja berbeda dalam dasar dan niat masing-masing. Asas kita agama, yaitu Islam. Niat kita Lillahi Ta’ala. Rela menerima tewas pada jalan (Allah) perintahNya, syukur jika mendapat kemenangan di jalan itu. Tetapi tetap dalam kalah menang, menyerahkan nasib bagaimanapun akan jatuh keputusannya Subhanahu wa Ta’ala.

Sekali lagi Agus Salim mengingatkan mereka, bahwa pemimpin-pemimpin tersebut (Mahatma Gandhi dan lain-lain) tidak bisa lepas dari berbuat salah. Oleh sebab itu tidak patut dijadikan ukuran, apalagi dijadikan pedoman. Cukup mengambil teladan dari Ibrahim A.S yang kemurnian perjuangannya telah dijamin oleh Tuhan. Apabila pujian itu untuk mereka manusia biasa saja, mudah sekali berubah menjadi caci makian. Lebih lanjut Agus Salim mengatakan bahwa hanya Allah SWT semata yang dapat menjaga kesucian perjuangan. Perjuangan kita tidak bersandar kepada persatuan, melainkan semata-mata bersandar kepada

43


(25)

Allah SWT. Manusia itu timbul keserakahannya apabila mendapat keuntungan. Di sinilah diperlukannya sikap dan niat Lillahi Ta’ala, agar tidak jatuh pada sikap yang demikian.

Nasionalisme menurut Haji Agus Salim ditinjau dari Islam menunjukkan bahwa ide dasar pemikirannya berlandaskan ajaran-ajaran Islam yaitu arti pentingnya mempertahankan kedaulatan suatu bangsa dan negara dari tangan penjajah. Ini menunjukkan bahwa ideologi yang dipegang Haji Agus Salim adalah nasionalisme atau cinta tanah air, karena Haji Agus Salim ingin membebaskan warga negara dari ketertindasan yang merupakan masalah yang paling krusial dalam masyarakat untuk diperangi agar terciptanya suatu keadaan atau suasana yang tenteram dan damai, ini sesuai dengan Al-Qur’an dalam surat al-Hujurat ayat 9 yang berbunyi: 44

“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu

berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau dia Telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Hujurat ayat 9).

Haji Agus Salim sangat menyakini kebenaran Islam sebagai suatu ideology kenegaraan. Sebagai suatu ideology, Islam dalam pandangan Haji Agus Salim mempunyai cakupan pengertian yang sangat luas. Cakupan kehidupan ini tidak hanya meliputi kehidupan dunia, tetapi juga kehidupan akhirat. Segala aspek yang terdapat dalam kehidupan dunia dan akhirat itu diatur oleh ajaran-ajaran Islam. Oleh karena itu Islam merupakan suatu ajaran-ajaran yang serba mencakup. Dalam hal ini Haji Agus Salim mengikuti prinsip Al-Quran agar setiap orang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, hendaknya mengatur seluruh aspek kehidupannya secara Islami.

44


(26)

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya”.

Konsekuensi dari firman Allah ini adalah bahwa seorang manusia itu tidak lebih hanya merupakan seorang hamba Allah yang harus mematuhi segala perintah dan menjauhi larangan-Nya. Yang namanya seorang hamba adalah manusia yang jauh lebih banyak berusaha untuk menunaikan kewajibannya daripada menuntut hak yang dimilikinya. Sikap seorang hamba lainnya adalah selalu berusaha menerjemahkan perintah-perintah Tuhannya yang seringkali tanpa diikuti oleh keinginan untuk mempertanyakan perintah-perintah tersebut. Oleh karena ia yakin bahwa segala perintah itu benar. Prinsip penghambaan diri kepada Allah seperti inilah yang tampaknya dijadikan dasar ideologis Haji Agus Salim dalam meneropong persoalan-persoalan kehidupan yang terjadi di sekitarnya.

Dari gagasan-gagasan polemiknya dengan Soekarno, terkesan bahwa Haji Agus Salim memandang ajaran Islam bukan semata-mata sebagai agama yang hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya (hablun minallah), tetapi juga antara manusia dengan sesamanya (hablun minannas). Islam adalah sebuah ideology yang mampu membimbing manusia dalam hidupnya di dunia guna mencapai kebahagiaan di akhirat kelak. Dalam kehidupan politik, manusia membutuhkan dasar ideologi ini. Dengan demikian seorang Muslim tidak mungkin melepaskan keterlibatannya dalam politik tanpa member perhatian kepada Islam. Berdasarkan pemikiran ideologinya itu, Haji Agus Salim menolak segala bentuk pemikiran sekular, sebab pemikiran tersebut mengabaikan nilai-nilai transedental Islam. Ini sekaligus merupakan bahaya tersendiri bagi umat Islam.

Haji Agus Salim menegaskan bahwa paham sekularisme mengandung bahaya-bahaya. Ia juga mengemukakan bahwa sekularisme adalah suatu pandangan hidup, opini-opini, tujuan-tujuan dan sifat-sifat yang dibatasi oleh batas-batas keberadaan duniawi. Dalam kehidupan seorang sekularis tidak terdapat tujuan-tujuan apa pun yang akhirnya kehilangan makna hidup dan mengalami spiritual degeneration (kemerosotan spiritual). Pemahaman Haji


(27)

Agus Salim tentang bahaya sekularisme dan Islam sebagai ideologi perlu dikemukakan dalam hubungan ini karena pemahamannya itu mempunyai kaitan yang erat dengan pandangannya tentang masalah persatuan agama dan negara. Keyakinan Haji Agus Salim akan kebenaran Islam sebagai ideologi inilah yang membuatnya gigih memperjuangkan Islam sebagai dasar negara dan gagasan persatuan agama dengan negara. Keyakinannya itu juga membuatnya begitu peka terhadap nilai-nilai sekular yang dianggapnya bertentangan dengan Islam.

Haji Agus Salim mengemukakan salah satu sebab mengapa orang tidak sependapat dengan gagasan persatuan agama dan negara adalah karena terdapatnya gambaran keliru mengenai negara Islam. Haji Agus Salim menganggap kekeliruan tersebut karena ketidaktahuan mengenai gambaran negara Islam yang sesungguhnya. Kekhalifahan Usmaniah terakhir di Turki yang menurut Soekarno dianggap sebagai negara Islam, oleh Agus Salim dinilai tidak mencerminkan cirri-ciri negara Islam. Kekhalifahan ini penuh penyimpangan-penyimpangan Islam dalam praktik kenegaraannya. Haji Agus Salim mencoba menjernihkan gambaran negara Islam sebagaimana yang dipahami Soekarno maupun kalangan nasionalis yang antipersatuan agama dan negara.

Seperangkat hukum-hukum saja, bagaimanapun kelebihan yang dimilikinya, tidak akan mampu menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera, atau meminjam istilah Al-Quran “baldatun thayyibatun wa rabbun ghaffur (negeri yang baik, aman, dan memperoleh ampunan Tuhan)”. Agar hukum -hukum tersebut mampu menjamin dan membentuk masyarakat yang diidam-idamkan, maka mutlak diperlukan adanya kekuatan eksekutif atau pelaksana. Kekuatan eksekutif tersebut adalah negara. Di sinilah arti pentingnya lembaga negara sebagai alat untuk menerapkan hukum-hukum yang telah ada. Tanpa adanya negara sulit diharapkan adanya ketaatan pada hukum-hukum itu.

Bagi Agus Salim, oleh karena negara itu hanya merupakan alat untuk merealisasikan hukum-hukum Allah, maka hal ini dapat diartikan bahwa negara itu sifatnya bisa saja sementara. Sebab manakala tujuan yang dikehendaki Islam telah tercapai, dengan sendirinya ada kemungkinan negara tidak diperlakukan lagi. Sifat dan watak asli hukum-hukum Allah (syariah Islam) memberikan bukti lain tentang keharusan menegakkan negara sebagai alat untuk menerapkan hukum tersebut. Yaitu dengan terdapatnya petunjuk kuat bahwa


(28)

hukum-hukum itu diwahyukan demi menciptakan negara dan mengorganisasikan berbagai aspek kehidupan sosial, politik, ekonomi maupun budaya dalam masyarakat umat manusia.

Yang menjadi sifat dan watak asli hukum-hukum Allah itu, pertama, bahwa hukum-hukum itu meliputi sejumlah hukum dan aturan, yang dalam tingkatan tertentu, membentuk suatu sistem sosial. Oleh karena di dalam sistem hukum ini aturan pokok yang berkenaan dengan kehidupan manusia sebagai makhluk sosiokultural dapat ditemukan. Kedua, yaitu bahwa pelaksanaan semua hukum-hukum itu mempunyai tingkat ketergantungan yang besar dengan keberadaan negara yang akan dijadikan alat untuk melaksanakannya. Dalam polemiknya dengan Soekarno, terlihat bahwa Agus Salim mencari dasar suatu pemerintahan negara. Dasar pemerintahan negara, menurut Agus Salim telah jelas dan pasti (qath’i), yaitu Islam.

Jadi prinsip pemerintahan negara ini tidak boleh yang lain, sekalipun ditentukan melalui musyawarah parlemen atau meminta persetujuan mayoritas warga negara. Dalam hubungan inilah Agus Salim pernah menyatakan bahwa untuk dasar negara, Indonesia hanya mempunyai dua pilihan pada saat itu, yaitu sekularisme atau paham agama. Maka negara yang dikehendaki Agus Salim adalah negara yang pada prinsipnya diatur oleh syariat Islam. Pandangan Agus Salim urusan kenegaraan pada pokoknya merupakan bagian integral risalah Islam. Ia menegaskan bahwa dalam Islam mustahil memisahkan agama dari politik. Islam, menurutnya adalah ideologi komprehensif yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia di dunia ini.


(29)

BAB 4 PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Awal abad 20 merupakan sebuah tolak ukur dari gerakan pembaharuan Islam di Indonesia, terutama di bidang politik. Diantaranya ialah bahwa dewasa ini umat Islam di Indonesia secara politisi dikuasai penjajah Belanda. Tetapi di lain segi telah terjadi suatu benturan nilai-nilai budaya antara Barat yang dibawa oleh Belanda dengan nilai-nilai budaya yang hidup di Indonesia. Gerakan pembaharuan yang berlandaskan agama diwakili oleh Haji Agus Salim. Dalam sejarah bangsa Indonesia kita mengenal Haji Agus Salim, tidak saja sebagai seorang pahlawan, politikus, wartawan dan pengarang, melainkan juga ulama dan diplomat. Jenjang kariernya dicapai tidak dengan mudah begitu saja, melainkan melalui aneka kesulitan dan pengorbanan. Kejeniusan otaknya dan watak kepribadiannya diakui kawan maupun lawan. Agus Salim adalah seorang cendikiawan yang luas ilmu pengetahuannya. Dia juga seorang pejuang kemerdekaan yang rela berkorban dan hidup menderita demi prinsip perjuangan yang diyakininya. Agus Salim dikenal sebagai pemimpin yang hidupnya diwarnai kesederhanaan.

Agus Salim dalam gerakan pembaharuan Islam di Indonesia terlihat dalam usaha yang dilakukannya sejak masa mudanya sampai meninggal, yaitu berupaya mewujudkan cita-cita politiknya, sekaligus berkaitan dengan agama yang dijadikan sebagai sumber insipirasi gerakannya. Pada awalnya beliau mendapatkan pendidikan sekolah kolonial Belanda selama 12 tahun di ELS dan HBS, kemudian selama 5 tahun beliau memperdalam agama Islam di Mekah. Latar belakang kepribadian dan kecerdasan otaknya serta kehidupan sosial politik yang mengitari dirinya, memberikan kesempatan bagi Agus Salim untuk tampil sebagai pemikir dan penggerak kebangkitan umat Islam Indonesia melalui jalan politik.

Suka duka dalam hidupnya diawali sejak masa penjajahan Belanda, kemudian masa pendudukan Jepang dan diakhiri masa kemerdekaan bangsa dan negaranya. Selama tiga masa tersebut Agus Salim pernah menjadi guru, wartawan, tokoh pergerakan, penerjemah, pedagang, perumus undang-undang


(30)

Dasar dan penandatanganan Piagam Jakarta, serta sebagai diplomat bagi Republik Indonesia dan lain sebagainya. Adapun pemikirannya dibidang politik, Agus Salim dengan tegas menolak konsep-konsep kapitalisme, sosialisme marxis atau komunis, juga nasionalisme sekuler. Beliau cenderung pada nasionalisme Islam, yang berusaha kearah persatuan umat, kesatuan moral sekaligus kesatuan aqidah. Agus

Salim mempunyai cita-cita kebangsaan berdasarkan agama Islam (memajukan negeri berdasarkan cita-cita Islam). Ini terlihat dalam proses menyepakati dasar negara Indonesia. Saat itu terjadi perdebatan antara golongan nasionalisme Islam dan sekuler, keduanya memiliki pandangan yang berbeda mengenai dasar negara yang pantas untuk Republik ini. Dari golongan Islam, Agus Salim sebagai salah satu tokohnya menganjurkan agar Indonesia didirikan sebagai negara yang berladaskan Islam. Nasionalisme Islam yang merupakan apresiasi kecintaan terhadap negara dalam balutan agama Islam yang berlandaskan kerangka ibadah semata-mata hanya kepada Allah SWT. Nasionalisme Islam menurut Agus Salim seharusnya berkaitan dengan rasa kemanusiaan, persaudaraan, kemuliaan bangsa demi kemerdekaan dan berdasarkan kepada niat Lillahi Ta’ala.

Percikan pemikiran dan langkah perjuangannya mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi bangsanya, terutama kebangkitan umat Islam Indonesia. Keberhasilannya di bidang penggarapan dan pembinaan terhadap kaum intelektual muslim, tampak pada sikap Islamismenya di kalangan pemuda pelajar Islam yang terkandung dalam JIB. Demikian pula terlihat dalam gigihnya memperjuangkan Islam di Indonesia, beliau juga berhasil mendapatkan kemerdekaan bangsanya, melalui usaha diplomasinya di dunia internasional. Menyinggung jasa dan perjuangan Agus Salim di bidang diplomasi sesudah Indonesia merdeka, Negara Belanda, Inggris dan Amerika Serikat baru mengakui de facto Republik Indonesia berdasarkan perjanjian Linggarjati. Atas usahanya negara-negara Arab juga memandang Republik Indonesia sebagai Negara yang merdeka sempurna dan berdaulat. Pengakuan secara penuh oleh negara-negara di dunia atas kemerdekaan dan kedaulatan rakyat Indonesia adalah salah satu jerih payah atas usah Haji Agus Salim.


(31)

Dalam menelusuri jejak langkah pemikiran dan perjuangan Agus Salim, maka ada beberapa hal yang penting untuk diperhatikan. Diantaranya ialah bahwa usaha yang dilakukannya telah melahirkan generasi yang tangguh dan teguh terhadap ajaran Islam, lebih dari itu prestasi yang hebat. Baik di bidang pemikiran, sikap mentalitas, moral serta pengabdiannya terhadap agama Islam, bangsa dan negara. Kemunculannya merupakan perwujudan dari sebuah proses regenerasi, sekaligus sebagai jembatan generasi yang terdahulu dan generasi kini. Oleh Karena itu perlu segera dilahirkan kembali sebuah generasi yang mempunyai bekal yang komplit, yaitu perpaduan antara ilmu pengetahuan dan ajaran agama Islam secara mendalam.

Demikian juga kemerdekaan dan keserasian hubungan antara generasi tua dengan generasi muda, sekaligus dipersiapkan sebagai jembatan bagi generasi berikutnya, dengan tanpa memandang siapa, dari mana asal generasi itu datang. Demikian pula sikap bebas dan keterbukaan dalam batas-batas tertentu perlu ditumbuhkan. Agus Salim juga menanamkan sifat-sifat terpuji dalam usaha mewariskan nilai kepribadian muslim adalah sangat penting, karena merupakan suatu keharusan dalam usaha mempelopori suatu perbuatan yang akan dijadikan teladan dan panutan dari generasi ke generasi.


(32)

4.2 Saran

Kajian singkat yang sudah penulis lakukan, tentu hanya ikhtiar untuk mengembangkan diskusi tentang pemikiran Haji Agus Salim, dan karena keterbatasan pembahasan maka sebenarnya masih banyak hal yang bisa dijadikan sebagai bahan kajian. Didalam penulis skripsi ini penulis memberikan Saran :

1. Sikap nasionalisme masih dibutuhkan hingga sekarang, karena dengan adanya sikap nasionalisme dapat merubah negara Indonesia menjadi negara yang adil dan makmur serta dapat menentukan arah pemerintahannya sendiri tanpa adanya campur tangan dari negara lain. 2. Nasionalisme harus selalu ditanamkan dalam diri kita sebagai warga

negara, karena dapat memberikan motivasi bagi kita didalam membangun bangsa lebih maju dan lebih modern.

3. Nasionalisme merupakan manivestasi dari perubahan sosial yang paling spektakuler, nasionalisme menengarai guncangan fundamental dalam proses sejarah, membentuk masyarakat dari dalam dan merancang lagi keutuhan bangsa.

4. Agama dan negara merupakan suatu unsur yang saling mengikat antara satu dengan lainnya. Ini merupakan suatu bentuk gabungan aliran kepercayaan yang dianut oleh masyarakat dalam suatu negara untuk kemudian diterapkan dalam tatanan hidup bersosial dan bernegara. Sifat toleransi dalam kehidupan antar umat beragama didalam ruang lingkup wilayah suatu negara hendaknya memiliki kemurnian yang luhur yaitu menanamkan jiwa keluhuran kepada Allah Yang Maha Esa sang pencipta segala dan umatnya untuk mewujudkan kehidupan yang damai sesuai dengan ajaran kebaikan dari tiap agama yang ada.


(33)

BAB II

BIOGRAFI HAJI AGUS SALIM

2.1 Den Bagus dari Koto Gadang

Perjalanan sejarah suatu bangsa kadang-kadang mampu melahirkan pemimpin-pemimpin besar yang penuh pesona dan membawa gelora bangsa di jamannya, atau disebut juga melahirkan pemikir, pejuang yang ingin membawa bangsanya keluar dari kemelut kehidupannya dengan memberikan alternatif lain sebagai tandingan terhadap sistem yang dianut dalam hidup dan kehidupan bangsanya. Menurut catatan sejarah bangsa Indonesia, sejak dahulu sampai sekarang, nama-nama dari para pemimpin, pemikir, pejuang yang terkenal jumlahnya cukup besar di bumi Indonesia, antara lain: Imam Bonjol, Teuku Umar, Diponegoro, dan lain-lain yang tampil sebagai tokoh jauh sebelum pergerakan Belanda yang dilakukannya, menunjukkan bahwa kesadaran untuk mengubah keadaan menuju yang lebih baik, bagi kehidupan masa depan bangsanya telah ada sejak akhir abad ke 19. 21

Demikian juga nama-nama seperti, Haji Agus Salim, HOS Cokroaminoto, Tan Malaka, Sutan Syahrir, Soekarno dan lain-lainnya adalah sederatan nama yang pernah hadir dan mengisi sejarah bangsa Indonesia di awal abad ke 20, yang dikenal sebagai awal dari periode pergerakan nasional. Tokoh-tokoh tersebut sekaligus sebagai generasi yang menjadi cikal bakal adanya berbagai corak ideologi yang mewarnai sejarah perjuangan bangsa Indonesia22.

Adanya berbagai corak ideologi tersebut, sangat berkaitan dengan latar belakang pengalaman, pendidikan serta pribadi tokoh yang melahirkan gagasan tersebut. Demikian juga erat hubungannya dengan kondisi sosial, budaya, politik dan agama. Di samping itu juga pengaruh bangsanya dewasa ini. beberapa faktor yang ada tersebut, menimbulkan kesadaran terhadap keadaan yang sebenarnya, yang sedang dialaminya sendiri serta bangsanya. Sehingga lahirlah gagasan-gagasan baru sebagai produk dari proses berpikir antara dirinya dengan persoalan yang sedang dihadapi bangsanya. Berkaitan dengan hal tersebut di atas tokoh

21Abdurrachman Surjomihardjo, “Pola

-Pola Pemikiran Menuju Kemerdekaan Indonesia”, Jakarta: Prisma, 1976, hal. 17.


(34)

yang bernama Haji Agus Salim memang sangat penting artinya bagi sejarah kebangkitan kaum Muslimin di Indonesia, bahkan sebagai tolak ukur dari generasi di kalangan kaum Muslimin modern di Indonesia.

Pada tanggal 8 Oktober 1884, di sebuah kampung kecil yang dikenal dengan Koto Gadang, Kabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat, lahirlah putera Minangkabau dari keluarga Sutan Mohammad Salim dengan isterinya Sitti Zainab. Putera itu semula diberi nama Masyhudul Haq. Tentu selalu ada cerita di balik nama. Masyudul anak keempat dari 15 bersaudara. Ayahnya, Sutan Mohammad Salim, menikah tiga kali setelah dua istrinya meninggal berturut-turut. Sang ayah terkesan oleh nama Masyudul Haq, tokoh utama buku yang sedang dia baca. Ketika Mohammad Salim sedang di surau beberapa hari kemudian, datang kabar gembira. Istrinya, Siti Zainab, baru saja melahirkan seorang bayi laki-laki. Maka dinamakanlah bayi itu Masyudul Haq23.

Tak disangka, nama yang bermakna luhur itu di kemudian hari tenggelam ditelan oleh gelombang kebiasaan dan bayi Masyudul Haq yang tumbuh dewasa serta benar menjadi tokoh pembela umatnya itu, dikenal secara luas baik di

tingkat nasional maupun internasional hanya dengan nama “Agus Salim”. Ketika

Masyudul Haq masih kecil, ia diasuh oleh seorang pembantu asal dari Jawa. Sebagaimana diketahui seorang pembantu dari Jawa mempunyai kebiasaan untuk

memanggil momongannya, anak majikannya dengan sebutan “den bagus” atau secara pendek “gus”. Panggilan kesayangan yang mengandung unsur

menghormati ini tanpa terasa diikuti oleh keluarga dan kemudian ditiru pula oleh kalangan lebih luas, yaitu di lingkungan teman sekolah dan guru-gurunya24.

Sutan Mohammad Salim menjabat sebagai seorang Jaksa Kepala. Ia pernah bertugas di Riau dan Medan. Ayah dan Ibu Agus Salim juga berasal dari koto Gadang. Agus Salim adalah campuran dari keturunan ulama dan pegawai negeri. Kakek Agus Salim bergelar Tuanku Abdul Rahman. Beliau juga mempunyai sepupu yang bernama Akhmad Khatib, yang bermukim di Saudi Arabia, ia menjadi ulama terkenal di negara Arab dengan gelar Syekh Akhmad Khatib.

23TEMPO, “Agus Salim, Diplomat Jenaka Penopang Republik”, Jakarta: PT. Gra

media, 2013, hal. 119. 24Panitia Buku peringatan,”Seratus Tahun Haji Agus Salim”, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996, hal. 36.


(35)

Masa kanak-kanak Agus Salim diliputi suasana bahagia. Walaupun mempunyai banyak saudara, namun semuanya dapat bersekolah. Tambahan lagi masyarakat Koto Gadang mempunyai tradisi yang baik. Kalau ada anak yang cerdas, dari keluarga tidak mampu, maka masyarakat akan bergotong royong menyekolahkannya sampai berhasil. Setelah itu, anak tersebut mempunyai kewajiban untuk berbakti bagi desanya. Misalnya dengan menyekolahkan anak-anak dari keluarga tidak mampu. Kebiasaan baik ini berlangsung terus sehingga hampir tidak ada anak cerdas di Koto Gadang yang tidak selesai sekolahnya. Masyarakat Koto Gadang merupakan masyarakat yang maju waktu itu di Sumatera Barat.

Agus Salim termasuk anak yang cerdas dalam keluarganya. Beliau juga terkenal pandai bergaul dengan teman-temannya, dan orang kampungnya. Agus Salim anak yang jenaka, inilah yang menyebabkan ia disenangi oleh kawan-kawannya. Dalam pergaulannya sehari-hari, Agus Salim menjadi pemimpin dari teman-temannya karena kecerdasannya. Lagi pula, ia tidak sombong walaupun anak seorang jaksa. Agus Salim bergaul dengan anak-anak kampung, tanpa membeda-bedakan kedudukan orang tuanya.

Agus Salim bisa bersekolah di ELS (Europeesche Lagere School) lantaran posisi ayahnya sebagai pegawai pemerintah. Bagi orang Hindia Belanda, posisi hoofd djaksa (Jaksa Kepala) termasuk tinggi dan terhormat. Di sekolah, bintang Agus Salim mulai berkilau. Agus Salim mulai menunjukkan ciri-cirinya sebagai anak cerdas, suka berdebat dan berpikir kritis. Hobinya main bulu tangkis, hoki, tenis, dan bridge. Meski tegolong nakal, suka bertengkar, dan keras dalam pendirian, dia disukai guru dan teman-temannya karena pintar. Agus Salim pun menonjol dan menunjukkan punya kecerdesan di atas rata-rata, termasuk untuk pelajaran bahasa Belanda.

Aktivitas pergaulannya yang luas itu tak menyurutkan prestasinya. Agus Salim tetap cakap di berbagai mata pelajaran, bukan hanya bahasa, melainkan juga dalam hal berhitung dan sejarah. Saat itu, sempat beredar kabar Agus Salim anak yang istimewa, pandai tanpa belajar. Namun dalam kenyatannya tidak demikian. Semua prestasinya merupakan buah dari ketekunannya. Agus Salim belajar keras di rumah, meski lingkungan kurang mendukung karena dia kerap menerima tugas rumah dan ajakan bermain dari teman-temannya.


(36)

Untuk menyiasati kondisi ini dan menghindari gangguan dari luar, Agus Salim punya jalan keluar. Pada siang hari setelah makan, dia mengendap-endap naik ke loteng. Disana dia menekuni pelajaran yang baru didapat sekaligus mempersiapkan untuk esok harinya. Karena di atas plafon itu gelap, dia selalu membuka beberapa genting agar cahaya dengan leluasa masuk. Selesai belajar, sebelum turun dia membereskan kembali genting-genting itu. Aksi belajar diam-diam ini baru terbongkar setelah terjadi “kecelakaan”. Suatu hari sehabis belajar, Agus Salim lupa menutup genting tersebut. Naas hujan turun tak lama kemudian.

Air pun masuk membajiri rumah, dan Agus Salim sebagai “si biang kerok”

muncul sambil cengar-cengir.

Kecerdasannya menarik perhatian Jan Brouwer, guru Belanda yang berjiwa revolusioner. Melihat bakat potensial Agus Salim, Brouwer meminta kepada Sutan Mohammad Salim agar Agus Salim boleh tinggal bersamanya.

Brouwer ingin memberi bimbingan langsung kepada “bibit unggul” itu sambil

memberinya makanan bergizi yang dibutuhkan anak dalam pertumbuhan. Ayah Agus Salim tertarik, tapi memilih jalan kompromi. Sesekali Agus Salim boleh tinggal pada keluarga Brouwer sepulang sekolah sampai sehabis makan malam. Sesudah itu, dia harus pulang. Masa ini menjadi salah satu fragmen berharga dalam kehidupan Agus Salim, yang akhirnya membuat dia semakin percaya diri berhadapan dengan bangsa asing.

Agus Salim juga belajar mengaji Al Quran. Ini membuat keseimbangan antara ilmu dunia dan ilmu akhirat. Keduanya harus dicapai untuk mendapatkan kesempurnaan hidup. Apalagi Agus Salim berasal dari keluarga berketurunan ulama terkenal. Ia harus matang dalam pengetahuan agama, sebagai bekal hidupnya kelak. Agus Salim juga belajar silat, karena silat berguna untuk membela diri. Agus Salim mempunyai keyakinan dan kepribadian sendiri agar tidak terpengaruh oleh adat kebiasaan orang Barat. Agus Salim mempunyai dasar agama yang kuat. Sebelum menamatkan pelajarannya di sekolah dasar, Agus Salim telah khatam mengaji Al Quran. Ilmu silatnya juga bisa diandalkan. Pada tahun 1897, Agus Salim menyelesaikan sekolah dasarnya di ELS dengan hasil yang memuaskan.


(37)

Dalam usia 13 tahun, sesudah tamat dari ELS dengan baik, Agus Salim berangkat menuju Jakarta untuk melanjutkan sekolahnya. Dengan kapal laut Agus Salim berangkat ke Jakarta, ia meninggalkan kampung halaman, ayah ibunya, dan sanak familinya. Sesampai di Jakarta Agus Salim masuk ke HBS (Hogere Burgerschool), yaitu sekolah menengah Belanda. Dalam kurun waktu lima tahun, Agus Salim selesai dan berhasil menempuh ujian di HBS (1903) dengan nilai terbaik sekaligus menjadi juara. Pada saat itu, dapat dikatakan hampir tidak anak pribumi yang dapat duduk di bangku sekolah HBS, terkecuali Agus Salim dan P.A. Hoesein Djajadiningrat, dan sisanya adalah anak-anak bangsa Eropa. Kecerdasaan yang dimiliki oleh Agus Salim sudah pernah diramalkan oleh gurunya, bahwa kelak Agus Salim akan menjadi orang penting di Indonesia.

Sebenarnya Agus Salim memiliki minat yang besar terhadap pendidikan tingkat selanjutnya. Oleh karena itu ia berusaha mendapatkan beasiswa ke negeri Belanda, bahkan ada yang mengajurkan supaya ia melanjutkan pendidikannya di Stovia. Tetapi semua usaha yang dilakukan itu mengalami kegagalan. Sehingga beritanya terdengar oleh R.A. Kartini, yang dirinya ditawari beasiswa ke negeri Belanda oleh pemerintah. Pada saat itu, menurut Kartini dirinya tidak mungkin pergi sejauh itu, meskipun untuk melajutkan pendidikan. Dibalik itu juga keadaan adat budaya saat itu belum memberikan keleluasaan terhadap kaum wanita.

Begitu pula Kartini tidak lama lagi akan melangsungkan pernikahannya. Oleh karena itu Kartini memberikan saran kepada pemerintah agar beasiswa tersebut diberikan kepada Agus Salim. Usul tersebut diterima oleh pemerintah yang selanjutnya ditawarkan kepada Agus Salim. Tetapi Agus Salim menganggap cara yang dilakukan oleh pemerintah merupakan sebuah penghinaan terhadap dirinya. Agus Salim tidak ingin mendapatkan beasiswa tersebut karena anjuran Kartini, menurutnya pemerintah harus memberikan beasiswa kepadanya karena kemauan pemerintah sendiri, bukan karena Kartini. Sejak peristiwa itu, Agus Salim mengurungkan niat untuk melanjutkan pendidikannya.


(38)

Di usia menginjak 19 tahun, Agus Salim dihadapkan pada kenyataan yang tidak diharapkan sebelumnya. Sementara dirinya menganggur, datanglah permintaan orang tuanya agar Agus Salim segera bekerja di pemerintah. Minat membaca yang dimilikinya merupakan modal yang sangat baik untuk menjadi pegawai pemerintah. Akan tetapi beliau merasa enggan, bahkan mulai timbul rasa bencinya terhadap Belanda. Itulah sebabnya harapan orangtuanya tidak dapat dipenuhinya. Dari sikap Agus Salim yang seperti itu, kemudian timbul suasana tegang antara dirinya dengan orangtuanya. Sementara itu Agus Salim mulai bekerja sebagai penterjemah, kemudian bekerja lagi sebagai pembantu notaris.

Memasuki usia 21 tahun, Agus Salim meninggalkan Jakarta merantau ke Indragiri untuk bekerja pada sebuah pertambangan. Di saat yang sama, pemerintah menawarkan kerja sebagai konsul Belanda di Jeddah untuk mengurus jamaah haji Indonesia di Arab. Awalnya tawaran pemerintah itu ditolaknya, tetapi karena sikap tersebut menambah beban penyakit yang diderita ibunya, bahkan ibunya kemudian meninggal dunia, maka akhirnya Agus Salim menerima tawaran tersebut. Dengan catatan bahwa beliau bekerja di Jeddah hanya untuk memenuhi pesan terakhir dari ibunya tercinta.


(39)

2.2 Islam dalam Pergulatan Encik Salim

Haji Agus Salim mempunyai pengetahuan yang luas tentang agama Islam karena gemar membaca buku agama. Ketika bekerja pada Konsulat Belanda di Jeddah, Agus Salim menggunakan kesempatan itu untuk mendalami agama Islam. Selama 5 tahun ia belajar pada saudara sepupunya, Syekh Akhmad Khatib, seorang ulama Islam terkemuka di Mekah. Ia membaca buku Islam modern, yang dikarang oleh Jamaluddin Al Afghani. Pembaharuan dalam ajaran agama Islam menarik perhatian Agus Salim, beliau berkata “Islam bukanlah agama yang statis, tapi dinamis. Tidak beku, tetapi dapat mengikuti zaman sesuai dengan perkembangan zaman. Dasar agama Islam tidak boleh berubah, tetapi pelaksanaan dalam masyarakat harus disesuaikan dengan kemajuan

zaman”.

Agus Salim juga mempelajari berbagai agama lain sebagai bahan perbandingan dan untuk memperkuat keyakinan agamanya. Dengan memperbandingan agama Islam dengan agama-agama lain, kita akan semakin mantap melaksanakan syariat Islam. Agus Salim juga mempelajari bahasa Arab dengan sempurna dan mendalam. Pengetahuan tentang bahasa Arab diperlukan untuk mendalami agama Islam. Pengetahuannya bertambah luas tentang agama. Ia selalu mendapat bimbingan dari saudar sepupunya, Syekh Akhmad Khatib yang bermukim di Mekah. Setelah lima tahun di Arab, akhirnya Agus Salim fasih berbahasa Arab. Pada tahun 1911, Agus Salim kembali ke Indonesia dengan membawa titel Haji.

Agus Salim segera pulang kampung untuk mendirikan sekolah. Ia mendirikan Hollands Inlandse School (HIS) atau sekolah dasar bumi putra. Di sekolah ini berlaku aturan yang istimewa, anak-anak yang cerdas namun tidak mampu akan dibebaskan dari uang sekolah. Pendidikan kebangsaan amat

dipentingkan di sekolah ini. Agus Salim selalu berkata “Bibit kebangsaan perlu

ditanamkan kepada anak-anak di samping pelajaran lainnya. Anak-anak yang bersekolah disini dipersiapkan untuk menjadi pemimpin, yang akan

menggantikan pemimpin yang sudah tua”.

Di tahun 1915 ia memasuki Sarekat Islam dan kemudian dipilih menjadi pemimpin bersama-sama dengan H.O.S Tjokroaminoto dan Abdul Muis, Agus Salim juga giat memimpin Kongres Al Islam I di Cirebon pada tahun 1921.


(1)

v

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Halaman Persetujuan

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan dan diperbanyak oleh

Nama : Sarah Nadjib Bamhemod Nim : 090906061

Departemen : Ilmu Politik

Judul : Pemikiran Politik Haji Agus Salim tentang Nasionalisme Islam

Menyetujui :

Ketua Departemen Ilmu Politik, ,Dosen Pembimbing

(Dra. T. Irmayani, M. Si) (Dr. Muryanto Amin, S.Sos, M.Si) NIP. 196806301994032001 NIP. 197409302005011002

Mengetahui:

Dekan FISIP USU,

(Prof.Dr.Badaruddin, M.Si) NIP. 196805251992031002


(2)

vi

Karya ini dipersembahkan untuk

Mama dan Abah , Serta Adik Saya Tercinta


(3)

vii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, penulis ucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW atas segala limpahan rezeki dan rahmatNya, sehingga penulis mendapat kesempatan untuk menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun sebagai tugas akhir untuk meraih gelar sarjana Ilmu Politik dengan judul

“PEMIKIRAN POLITIK HAJI AGUS SALIM TENTANG NASIONALISME

ISLAM”. Adapun isi dari skripsi ini membahas tentang Nasionalisme menurut

Haji Agus Salim ditinjau dari Islam yang menunjukkan bahwa dasar pemikiran beliau berlandaskan ajaran-ajaran Islam yaitu arti pentingnya mempertahankan kedaulatan suatu bangsa dengan memasukkan aliran kepercayaan khususnya ajaran agama Islam kedalam ideologi negara yang bersifat nasional.

Dalam penyelesaian skripsi ini penulis mendapat banyak bantuan yang diberikan baik itu moril ataupun materil sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada 3 orang terbaik dalam hidup penulis, kepada Abah, Alm. H. Nadjib Abdullah Bamhemod terima kasih untuk semua cinta dan kasih sayangnya, setiap hari sarah selalu berdoa dan merindukan abah, sarah percaya kita akan bertemu dan berkumpul lagi nanti. Kepada Mama, Nuridawaty terima kasih untuk doa, cinta, dan kasih sayangnya dan untuk adik satu-satunya, Naufal Nadjib Bamhemod yang jadi kawan berantem sepanjang hari, terima kasih untuk dukungan dan kasih sayangnya. Kalian adalah semangat hidup ku.

Penulis juga mengucapkan rasa terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya yang ditujukan kepada:

1. Bapak Prof. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dra. T. Irmayani, M,Si selaku Ketua Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Dr. Muryanto Amin, M.Si selaku dosen pembimbing sekaligus dosen wali/pembimbing akademik yang sangat baik bagi penulis, terimakasih atas kesabaran, kepedulian, perhatian, arahan, masukan, saran dan bimbingannya pada saat penulisan skripsi ini dan selama peneliti menjadi anak didiknya. Terimakasih banyak pak.


(4)

viii

4. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada sahabat sepanjang masa Hilda Agustin Girsang, terima kasih sudah menjadi pendengar yang baik dan selalu memberikan semangat untuk penulis, I love you.

5. Kepada sahabat seperjuangan angkatan 2009 Ira Afrianty, Kafi Geumala, Rian Indah, Putra Alam Rahmad, Maya Thiarawati, Ingrace Sirait, Elisa Laura, Yudith, Hansen Gunawan Gultom, Andromeda dan Harry Ferdy, terima kasih atas candaannya selama ini, semoga kita semua bisa menjadi orang-orang yang sukses di masa depan.

6. Bapak dan Ibu Dosen dan Staf pegawainya yang banyak membantu penulis selama menjalankan pendidikan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa dalam penyajian skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfat bagi kita semua, terima kasih.

Medan, 12 Agustus 2014


(5)

ix DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul……… i

Abstrak……… ii

Abstract………... iii

Halaman Pengesahan………. iv

Halaman Persetujuan………. v

Lembar Persembahan……… vi

Kata Pengantar……….. vii

Daftar Isi………. ix

BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang……… 1

1.2 Perumusan Masalah……… 7

1.3 Tujuan Penelitian………... 8

1.4 Manfaat Penelitian……… 8

1.5 Kerangka Teori……….. 9

1.5.1 Nasionalisme... 9

1.5.2 Hubungan Antara Negara dan Agama... 11

1.6 Metode Penelitian………...14

1.6.1 Jenis Penelitian………...14

1.6.2 Teknik Pengumpulan Data………... 15

1.6.3 Teknik Analisis Data………...15

1.7 Sistematika Penulisan………..…….. 16


(6)

x Bab II Biografi Haji Agus Salim

2.1 Den Bagus Dari Koto Gadang……….………..17 2.2 Islam Dalam Pergulatan Encik Salim..……….23 2.3 Perjuangan dalam pergerakan Nasional Hingga………....27 Akhir Perjalanan Hidupnya

2.4 Karya-karya The Grand Old Man of Indonesia………...41 BAB III Pemikiran Politik Haji Agus Salim Tentang Nasionalisme Yang Berdasarkan Islam

3.1 Latar Belakang Terbentuknya Pemikiran Kebangsaan... 45 yang bercorak Islam

3.2 Pemikiran Politik Haji Agus Salim ……….. 62 BAB IV Penutup

4.1 Kesimpulan……… 73 4.2 Saran……….. 76 Daftar Pustaka……… 77 Daftar Lampiran :

Lampiran 1. Pengajuan Usul Judul Proposal Skripsi

Lampiran 2. Surat Pengajuan Usulan Judul Proposal Skripsi Kepada Dosen Pembimbing akademik

Lampiran 3. Surat Kesediaan Dosen Pembimbing

Lampiran 4. Daftar Hadir Peserta Seminar Proposal