Isolasi Senyawa Flavonoida Dari Daun Tumbuhan Benalu Nangka (Macrosolen Cochinchinensis (Lour). Van Tiegh)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tumbuhan Benalu
Benalu (Loranthus) merupakan jenis tumbuhan yang hidupnya tidak memerlukan
media tanah. Ia hidup sebagai parasit (parasiet=Belanda), menempel pada dahandahan pohon kayu lain dan menghisap mineral yang larut dalam pohon kayu yang
ditempelinya sehingga bisa mati. Bunga benalu berkelamin tunggal biji buahnya
mengandung getah. Pengembangbiakannya melalui binatang atau burung yang
memakan biji buah benalu tersebut. Proses pengembangbiakannya sangat sederhana,
biji benalu yang bergetah itu dimakan binatang atau burung. Kemudian biji benalu
tersebut melekat di dahan bersama dengan kotoran burung yang memakannya, dan
tumbuh di dahan tersebut. (Arisandi, 2008).

Benalu yang telah lama dikenal orang belum diketahui dengan pasti daerah
asalnya. Beberapa literatur yang ada tidak jelas mengungkap daerah asal tumbuhan
tersebut, apakah dari daerah tropis atau subtropis. Menurut catatan dalam buku Journal
of the Asiatic Society of Bengal vol. LVI part 2 (1887) dijelaskan bahwa sebelum
tahun 1887 telah ditemukan tumbuhan benalu di Indonesia, antara lain di Sumatera,
Jawa, dan Kalimantan. Benalu yang ditemukan di berbagai daerah tersebut
kebanyakan termasuk jenis Loranthus. Spesies benalu yang banyak terdapat di

lapangan pada umumnya termasuk dalam familia Loranthaceae. Benalu acapkali diberi
nama berdasarkan nama tanaman yang ditumpanginya. Pemberian nama ini tidak baku
karena ciri-ciri dan sifat benalu tersebut diabaikan.

Universitas Sumatera Utara

Tanaman benalu selama ini telah digunakan sebagai tanaman obat, seperti obat
batuk, kanker, diuretik, dan pengobatan setelah melahirkan. Bagian dari benalu yang
berkhasiat sebagai tanaman obat adalah bagian daun benalu, seperti pada benalu teh,
mangga, dan duku. Potensi benalu sebagai tanaman obat apabila terus dikembangkan
maka akan menghasilkan manfaat yang besar, yaitu mengurangi biaya pengobatan
sekaligus meningkatkan devisa negara (Handayani, 2011).

Aktivitas benalu dikarenakan adanya senyawa marker keluarga Loranthaceae
berupa flavonoid kuersetin (Ikawati et al. 2008). Kuersetin merupakan suatu aglikon
flavonoid yang mempunyai gugus polifenol, sehingga komponen fenoliknya yang
sangat reaktif dapat menstabilkan senyawa dan sebagai antioksidan.
Senyawa aktif dalam daun benalu mengandung quersetin, alkaloida,saponin,
flavonoid, dan tanin. Setiap kandungan ini memang sangat bergantung dari jenis
pohon induk yang dia tumpangi.


Senyawa flavonoida merupakan senyawa yang dapat mencegah tumbuhnya sel
kanker, sedangkan senyawa antioksidan dapat menangkal adanya radikal bebas dan
mencegah penuaan dini (Tyas, 2011).

Penggunaan benalu teh banyak dibicarakan orang, pada umumnya ditujukan
untuk mengobati tumor atau kanker. Mardisiwoyo S., dkk. (1968) mengatakan bahwa
sejenis benalu dapat dipakai sebagai obat penyakit cacar air, cacar sapi, diare, cacing
tambang, dan tumor atau kanker. Menurut catatan S. Sutanti B.R.N. dkk. (1982) dalam
Kartini (1978) menjelaskan bahwa penderita kanker rahim dapat sembuh setelah
minum air seduhan benalu teh kering. Daun Macrosolen cochinchinensis digunakan
untuk menyiapkan minuman seperti teh, dan buahnya digunakan untuk obat gangguan
dari pilek atau kedinginan. Beberapa jenis benalu telah lama dijual sebagai obat
tradisional (Pitojo, 1996). Ketika menggunakan daun benalu untuk obat, sebaiknya
daun benalu direndam dahulu dengan menggunakan wadah gerabah atau wadah dari
tanah liat. Hal itu supaya dapat menyerap racun yang ada di dalam daun benalu
tersebut sehingga aman untuk dikonsumsi dan tidak membahayakan (Winasis, 2013).

Universitas Sumatera Utara


2.2 Tumbuhan Benalu Nangka
Macrosolen cochinchinensis(benalu nangka) berbentuk perdu bercabang banyak.
Ranting dengan buku-buku yang membesar. Daun seperti kulit, mengkilat. Pada
pangkal setiap bunga terdapat tiga daun kecil. Mahkota berlima. Buah bulat peluru,
yang masak coklat lembayung tua (Semangun, 1996).

Sistematika tumbuhan benalu nangkamenurut Herbarium Medanense USU
adalah sebagai berikut :
Kingdom

: Plantae

Divisi

: Spermatophyta

Class

: Dycotyledoneae


Ordo

: Santalales

Famili

: Loranthaceae

Genus

: Macrosolen

Spesies

: (Macrosolen cochinchinensis
(Lour). Van Tiegh)

Nama Lokal

: Benalu Nangka


2.3 Senyawa Flavonoida
Flavonoid merupakan senyawa fenolik yang paling melimpah dan ditemukan pada
tumbuhan. Flavonoid banyak terkonsentrasi pada episdermis daun dan kulit buah dan
mempunyai peranan yang penting dan beragam sebagai metabolit sekunder. Pada
tanaman, flavonoid terlibat dalam berbagai proses, misalnya sebagai pelindung dari
sinar UV, pigmentasi, stimulasi nitrogen, dan perlawanan terhadap penyakit (Crozieret
al. 2006).

Universitas Sumatera Utara

Flavonoid mencakup banyak pigmen yang paling umum dan terdapat pada
seluruh dunia tumbuhan mulai dari fungus sampai angiospermae. Pada tumbuhan
tinggi, flavonoid terdapat baik dalam bagian vegetatif maupun dalam bunga. Sebagai
pigmen bunga, flavonoid berperan jelas dalam menarik burung dan serangga
penyerbuk bunga. Efek flavonoid terhadap macam-macam organisme sangat banyak
macamnya dan dapat menjelaskan mengapa tumbuhan yang mengandung flavonoid
dipakai dalam pengobatan tradisional. Flavonoid dapat bekerja sebagai inhibitor kuat
pernapasan juga bertindak sebagai penangkal yang baik terhadap radikal hidroksi dan
superoksida, maka dengan demikian dapat melindungi lipid membran terhadap reaksireaksi yang merusak. Beberapa flavonoid dapat menghambat fosfodiesterase. Aktivitas

antioksidannya mungkin dapat menjelaskan mengapa flavonoid tertentu merupakan
komponen aktif tumbuhan yang digunakan secara tradisional untuk mengobati fungsi
hati (Robinson, 1995).

2.3.1 Struktur Dasar Senyawa Flavonoida

Golongan flavonoid dapat digambarkan sebagai deretan senyawa C 6 -C 3 -C 6 (Gambar
2.1). Artinya, kerangka karbonnya terdiri atas dua gugus C 6 (cincin benzena
tersubstitusi) yang disambungkan oleh rantai alifatik tiga-karbon: (Robinson, 1995).

B
C

A
C

C

Gambar 2.1 Struktur Dasar Flavonoid(Manitto, 1981)


Sistem penomoran untuk turunan flavonoid diberikan di bawah:
8

2'

1

O

7

2

1'

B

A
3


6
5

3'

6'

4'
5'

4
O

Gambar 2.2 Sistem Penomoran untuk Turunan Flavonoid(Markham, 1988)

Universitas Sumatera Utara

2.3.2 Klasifikasi Senyawa Flavonoida

a. Flavonoid O-glikosida

Flavonoid biasanya terdapat sebagai flavonoid O-glikosida; pada senyawa tersebut
satu gugus hidroksil flavonoid (atau lebih) terikat pada satu gula (atau lebih) dengan
ikatan hemiasetal yang tak tahan asam. Pengaruh glikosilasi menyebabkan flavonoid
menjadi kurang reaktif dan lebih mudah larut dalam air (cairan); sifat terakhir ini
memungkinkan penyimpanan flavonoid di dalam vakuol sel (di sinilah biasanya
flavonoid berada).
Glukosa merupakan gula yang paling umum terlibat, walaupun galaktosa, ramnosa,
xilosa, dan arabinosa sering juga terdapat.

b. Flavonoid C-glikosida
Gula dapat juga terikat pada atom karbon flavonoid dan dalam hal ini gula tersebut
terikat langsung pada inti benzena dengan suatu ikatan karbon-karbon yang tahan
asam (bandingkan dengan O-glikosida). Glikosida yang demikian disebut Cglikosida.
Sekarang gula yang terikat pada atom C hanya ditemukan pada atom C nomor 6 dan
8 dalam inti flavonoid. Jenis gula yang terlibat jauh lebih sedikit ketimbang jenis
gula pada O-glikosida, biasanya dari jenis glukosa yang paling umum (misalnya
viteksin, orientin), dan juga galaktosa, ramnosa, xilosa, dan arabonisa. Jenis aglikon
flavonoid yang terlibat pun sangat terbatas. Jadi, walaupun isoflavon, flavanon, dan
flavonol kadang-kadang terdapat dalam bentuk C-glikosida, sebegitu jauh hanya
flavon C-glikosida yang paling lazim ditemukan (Markham, 1988).

Ikatan karbon-karbon sangat tahan terhadap hidrolisis asam sehingga membedakan
C-glikosida dengan O-glikosida yang lebih mudah terhidrolisis menjadi nisbi mudah
(Harborne, 1973).

Universitas Sumatera Utara

c. Flavonoid Sulfat
Golongan flavonoid lain yang mudah larut dalam air yang mungkin ditemukan
hanya flavonoid sulfat. Senyawa ini mengandung satu ion sulfat, atau lebih, yang
terikat pada hidroksil fenol atau gula. Secara teknis senyawa ini sebenarnya bisulfat
karena terdapat sebagai garam, yaitu flavon-O-SO 3 K.

d. Biflavonoid
Biflavonoid adalah flavonoid dimer, walapun prosianidin dimer (satuannya katekin)
biasanya tidak dimasukkan ke dalam golongan ini. Flavonoid yang biasanya terlibat
ialah flavon dan flavanon yang secara biosintesis mempunyai pola oksigenasi yang
sederhana 5,7,4’ atau kadang-kadang 5,7,3’ , 4’) dan ikatan antar-flavonoid berupa
ikatan karbon-karbon atau (kadang-kadang) ikatan eter. Monomer flavonoid yang
digabungkan menjadi biflavonoid dapat berjenis sama atau berbeda, dan letak
ikatannya berbeda-beda. Banyak sifat fisika dan kimia biflavonoid menyerupai sifat

monomer pembentuknya dan akibatnya, kadang-kadang biflavonoid sukar dikenali.
Biflavonoid jarang ditemukan sebagai glikosida, dan penyebarannya terbatas,
terdapat terutama pada gimnospermae.

e. Aglikon flavonoid yang optis-aktif
Aglikon flavonoid mempunyai atom karbon asimetrik dan dengan demikian
menunjukkan keaktifan optik (yaitu memutar cahaya terpolarisasi-datar).

Yang

termasuk dalam golongan flavonoid ini ialah flavanon, dihidroflavonol, katekin,
pterokarpan, rotenoid, dan beberapa biflavonoid(Markham, 1988).

Universitas Sumatera Utara

Robinson (1995)menggolongkanflavonoida berdasarkan tahanan oksidasi dan
keragaman lain pada rantai C 3 yaitu :
1. Flavonol
Flavonol (Gambar 2.3) sangat tersebar luas dalam tumbuhan, baik sebagai
kopigmen antosianin dalam daun bunga maupun dalam daun tumbuhan tinggi.
Seperti antosianin, mereka paling sering terdapat sebagai glikosida. Walaupun
telah dikenal dua atau tiga ratus aglikon flavonol, yang umumnya hanya tiga
saja: kamferol, kuersetin, dan mirisetin (Harborne, 1973).

O

OH
O

Gambar 2.3Struktur Flavonol (Crozier et al. 2006)

2. Flavon (Dihidroflavonol)
Flavon memiliki struktur (Gambar 2.4) yang sangat mirip dengan flavonol.
Namun flavon tidak tersebar secara luas seperti flavonol. Hanya ada dua flavon
umum, yaitu apigenin dan luteolin (Crozier et al. 2006). Flavon terdapat juga
sebagai glikosida tetapi jenis glikosidanya lebih sedikit daripada jenis glikosida
flavonol. Tidak seperti flavonol, pada flavon sungguh ajaib, terdapat juga terikat
pada gula melalui ikatan karbon-karbon (Harborne, 1987).

O

O

Gambar 2.4 Struktur Flavon (Crozier et al. 2006)

Universitas Sumatera Utara

3. Isoflavon
Senyawa-senyawa isoflavon berlainan dengan flavonoid pada kedudukan dari
cincin aromatik B pada rantai propana sentral (Manitto, 1981). Isoflavon tidak
begitu menonjol, tetapi senyawa ini penting sebagai fitoaleksin (Robinson,
1995). Fitoaleksin yaitu senyawa pelindung yang terbentuk dalam tumbuhan
sebagai tanggapan terhadap serangan penyakit (Harborne, 1978). Isoflavon lebih
baik dikarakterisasi melalui cincin B yang terikat pada C3 daripada posisi C2
(Gambar 2.5). Isoflavon ditemukan hanya pada tanaman Legumonasae, dengan
konsentrasi tertinggi pada kacang kedelai (Glycine max) (Crozier et al. 2006).
O

O

Gambar 2.5 Struktur Isoflavon (Crozier et al. 2006)
4. Flavanon (Dihidroflavon)
Flavanon dikarakterisasi dengan tidak adanya ikatan rangkap pada C2 dan C3
dan dengan adanya pusat atom kiral pada C2 (strukturnya dapat dilihat pada
Gambar 2.6) (Crozier et al. 2006). Flavanon sering ditemukan sebagai aglikon,
tetapi ada beberapa glikosidanya yang terkenal, misalnya hesperidin dan naringin
dari kulit buah jeruk (aglikonnya hesperitin dan naringenin).
Semua senyawa flavanon yang ditemukan di alam mempunyai konfigurasi (2S)
dan

memutar

bidang

polarisasi

ke

kiri

(Manitto,

1981).

Flavanon

terkonsentrasitinggi dalam buah jeruk (Crozier et al. 2006).

O

O

Gambar 2.6 Struktur Flavanon (Crozier et al. 2006)

Universitas Sumatera Utara

5. Flavanonol
Flavanonol (atau dihidroflavonol) (Gambar 2.7) barangkali merupakan flavonoid
yang paling kurang dikenal, dan tidak diketahui apakah senyawa ini terdapat
sebagai glikosida. Beberapa senyawa yang diasetilasi dikenal karena rasanya
yang sangat manis. Tidak seperti leukoantosianidin, senyawa ini stabil dalam
asam klorida panas, tetapi terurai oleh basa hangat menjadi kalkon. Satuan jenis
barangkali terdapat dalam lignin ampas. Satuan monomer lignin ini disebut
‘flavonolignan’ (Robinson, 1995).

O

OH
O

Gambar 2.7 Struktur Flavanonol (Robinson, 1995)

6. Antosianin
Antosianin ialah pigmen daun merupakan pewarna yang paling penting dan
paling tersebar luas dalam tumbuhan. Pigmen yang berwarna kuat dan larut
dalam air ini adalah penyebab hampir semua warna merah jambu, merah marak,
merah, merah senduduk, ungu, dan biru dalam daun, bunga, dan buah pada
tumbuhan tinggi (Harborne, 1973).Tidak seperti golongan flavonoid lainnya,
antosianin selalu terdapat sebagai glikosida, seperti yang terlihat pada Gambar
2.8 (Robinson, 1995).

O+

Glikosida
O

Gambar 2.8 Struktur Antosianin (Robinson, 1995)

Universitas Sumatera Utara

7. Antosianidin
Antosianidin (Gambar 2.9) merupakan aglikon antosianin yang terbentuk bila
antosianin dihidrolisis dengan asam (Harborne, 1987). Seperti halnya turunan
terkonjugasinya, antosianin, antosianidin tersebar luas pada tumbuhan, secara
khusus pada jaringan bunga dan buah, yang merupakan pemberi warna merah,
ungu dan biru jaringan tersebut. Senyawa ini juga ditemukan pada jaringan daun,
batang, biji dan akar. Antosianidin terlibat dalam melindungi tanaman dari
cahaya yang berlebihan dengan ‘meneduhkan’ sel mesofil daun dan juga
berperan penting dalam menarik serangga dalam penyerbukan (Crozier et al.
1995). Antosianidin yang paling umum sampai saat ini ialah sianidin, yang
berwarna merah lembayung (Harborne, 1987).

O+

OH

Gambar 2.9Struktur Antosianidin (Crozier et al. 2006)
8. Auron
Auron (atau 2-benzilidena-kumaran-3-on) (Manitto, 1981) berupa pigmen
kuning emas terdapat dalam bunga tertentu dan bryofita. Dikenal hanya lima
aglikon, tetapi pola hidroksilasi senyawa ini umumnya serupa dengan pola pada
flavonoid lain begitu pula dengan bentuk yang dijumpai ialah bentuk glikosida
dan eter metil. Dalam larutan basa senyawa ini menjadi merah ros. Beberapa
contoh auron dan glikosidanya adalah leptosin, aureusidin, sernosida, dan
sulfuretin (Robinson, 1995). Struktur umum auron dapat dilihat pada Gambar
2.10 dibawah:
7

1

2'

O

6

2

CH

3'

1'

4'

3

5

6'

4

5'

O

Gambar 2.10 Struktur Auron (Robinson, 1995)

Universitas Sumatera Utara

9. Kalkon dan Dihidrokalkon
Kalkon (Gambar 2.11) merupakan ‘antoklor’ yaitu pigmen kuning yang dapat
dideteksi bila daun bunga yang berwarna kuning diasapi dengan asap basa dari
sebatang cerutu, atau diuapi dengan uap amonia, warnanya berubah mejadi
jingga atau merah. Senyawa ini khasnya terdapat pada Compositae (terutama
Corcopsis) dan lebih dari 10 suku lain. Salah satu contoh kalkon adalah lutein,
yang terdapat di alam sebagai glikosida.
Pola penyebaran dihidrokalkon berbeda dengan pola penyebaran kalkon, yaitu
terbatas hanya pada Rosaceae dan Ericaceae. Floridzin, senyawa dihidrokalkon
yang diisolasi dari apel, berperan dalam ketahanan tumbuhan tersebut terhadap
penyakit (Harbone, 1987).
2'

3

5

3'

1'

2

4

1

4'

6'

6

5'
O

Gambar 2.11 Struktur Kalkon (Robinson, 1995)
10. Leukoantosianidin (Flavan-3,4-diol)
Tidak seperti flavon, flaovonol, isoflavon dan antosianidin yang molekulnya
planar,

leukoantosianidin mempunyai C3 yang tak jenuh pada cincin

heterosikliknya, yang menyebabkannya tidak planar (Gambar 2.12). Dua atom
pusat kiral pada C2 dan C3-nya menghasilkan empat isomer untuk tiap tingkatan
hidroksilasi cincin-B, dua diantaranya (+)-katekin dan (-)-epikatekin, yang
tersebar luas di alam, sedangkan (-)-katekin dan (+)-epikatekin cenderung jarang
(Heinrich et al.2006).
O

OH
HO

OH

Gambar 2.12 Struktur Leukoantosianidin (Robinson, 1995)

Universitas Sumatera Utara

2.3.3 Sifat Kelarutan Flavonoid

Aglikon flavonoid adalah polifenol dan karena itu mempunyai sifat kimia senyawa
fenol, yaitu bersifat agak asam sehingga dapat larut dalam basa. Tetapi harus diingat,
bila dibiarkan dalam larutan basa, dan disamping itu terdapat oksigen, banyak yang
akan terurai. Karena mempunyai sejumlah gugus hidroksil yang tak tersulih, atau
suatu gula, flavonoid merupakan senyawa polar, dan sepetri kata pepatah lama ‘suatu
golongan akan melarutkan golongannya sendiri’ , maka umumnya flavonoid larut
cukupan dalam pelarut polar seperti etanol, metanol, butanol, aseton, dimetilsulfoksida
(DMSO), dimetilformamida (DMF), air dan lain-lain. Adanya gula yang terikat pada
flavonoid (bentuk umum yang ditemukan) cenderung menyebabkan flavonoid lebih
mudah larut dalam air dan dengan demikian campuran pelarut di atas dengan air
merupakan pelarut yang lebih baik untuk glikosida. Sebaliknya, aglikon yang kurang
polar seperti isoflavon, flavanon, dan flavon serta flavonol yang termetoksilasi
cenderung lebih mudah larut dalam pelarut seperti eter dan kloroform (Markham,
1988).

2.4 Hidrolisa
Glikosida merupakan senyawa organik yang ada dalam dunia tumbuhan. Glikosida
terdiri atas dua bagian yaitu molekul gula (sakarida) dan aglikon. Gugus gula bisa
berikatan dengan gugus aglikon dengan berbagai cara. Yang paling umum dijembatani
oleh atom oksigen (O-glikon), tetapi bisa juga sulfur (S-glikosida), Nitrogen (Nglikosida) atau karbon (C-glikosida). Glikosida umumnya berupa padatan. Cukup larut
dalam air dan alkohol tetapi sedikit larut dalam eter. Ikatan glikosidik resisten terhadap
hidrolisis oleh alkali tetapi mudah pecah oleh reaksi enzimatik glikosida atau asam
mineral encer (Supriyatna dkk, 2014).

Waktu yang diperlukan untuk memutuskan ikatan suatu gula dari suatu flavonoid
O-glikosida dengan hidrolisis asam tidak ditentukan hanya oleh kekuatan asam, tetapi
juga oleh sifat gula yang terikat dan tempat gula itu terikat pada inti flavonoid
(misalnya 7-O-glikosida > 4’-O-glikosida > 3-O-glikosida) (Markham, 1988).

Universitas Sumatera Utara

2.5 Teknik Pemisahan
2.5.1 Ekstraksi

Ekstraksi adalah suatu proses pemisahan dari bahan padat maupun cair dengan
bantuan pelarut. Pelarut yang digunakan harus dapat mengekstraksi substansi yang
diinginkan tanpa melarutkan material lainnya (Bintang, 2010).

Sampel (biomassa) tanaman, setelah diidentifikasi dan digolongkan oleh ahli
botani lapangan menjadi spesies dan famili, kemudian dikumpulkan dari bagian
aerialnya (daun, batang, dan kulit kayu pada batang), kulit batang dan akar, atau jika
dari pohon besar, galihnya (kayu), dikeringkan dengan cara diangin-anginkan. Jika
telah dikeringkan, biomassa digiling menjadi partikel-partikel kecil menggunakan
blender atau penggilingan. Proses penggilingan ini penting karena ekstraksi yang
efektif tergantung pada ukuran partikel biomassa; partikel besar akan sulit diekstraksi,
sedangkan partikel kecil memiliki luas permukaan yang lebih besar sehingga dapat
diekstraksi secara lebih efisien. Pemilihan pelarut ekstraksi sangat penting. Kegagalan
mengekstraksi biomassa dapat menyebabkan kehilangan akses untuk mendapatkan zat
aktif. Selain itu, penggunaan metode ekstraksi yang tidak tepat, seperti pemanasan
kuat terhadap biomassa dengan suatu pelarut, dapat menyebabkan penguraian bahan
alam yang berakibat aktivitas biologisnya menjadi hilang (Heinrich et al. 2005).
2.5.2 Partisi
Metode pemisahan yang mungkin paling sederhana adalah partisi, yang banyak
digunakan sebagai tahap awal pemurnian ekstrak. Partisi dapat dilakukan secara terusmenerus dengan menggunakan dua pelarut tak bercampur yang kepolarannya
meningkat. Ini merupakan metode pemisahan yang mudah dan mengandalkan
kelarutan bahan alam dan bukan interaksi fisik dengan medium lain (misalnya
adsorpsi pada silika gel dalam KLT). Partisi dapat memberikan pemisahan yang sangat
baik, terutama untuk senyawa-senyawa yang memiliki kelarutan yang sangat
berbeda;sebagai contoh, monoterpen mudah dipisahkan dari senyawa fenol seperti
tanin (Heinrich et al. 2005).

Universitas Sumatera Utara

2.5.3 Kromatografi

Kromatografi

adalah kaedah pemisahan

yang

sangat

penting.

Penggunaan

kromatografi pertama kali telah dilakukan oleh seorang ahli botani Rusia bernama M.
Tswett, pada 1903 ia telah melaporkan pemisahan sampel pigmen berwarna dengan
pori-pori padat dengan butir-butir kalsium karbonat yang halus (Sanagi, 2001).

Dengan menggunakan metode kromatografi, dalam banyak kasus pemisahan
dituntaskan jauh lebih cepat dan lebih efektif daripada sebelumnya, dan banyak
pemisahan-pemisahan yang tak pernah dilakukan dengan teknik-teknik lainnya telah
berhasil (Underwood, 2002).

Kromatografi didefinisikan sebagai prosedur pemisahan zat terlarut oleh suatu
proses migrasi diferensial dinamis dalam sistem yang terdiri atas dua fase atau lebih.
Salah satu fase bergerak secara bersinambungan dalam arah tertentu dan didalamnya,
zat-zat terlarut menunjukkan perbedaan mobilitas yang disebabkan oleh perbedaan
adsorpsi, partisi, kelarutan, tekanan uap, ukuran molekul, atau kerapatan muatan ion.
Dengan demikian, masing-masing zat dapat diidentifikasi atau ditetapkan dengan
metode analitik.

2.5.3.1 Kromatografi Lapis Tipis

KLT merupakan metode pemisahan komponen-komponen atas dasar perbedaan
adsorpsi atau partisi oleh fase diam di bawah gerakan pelarut pengembang atau pelarut
pengembang campur.

Pemilihan pelarut pengembangan atau pelarut pengembangan campur sangat
dipengaruhi oleh macam dan polaritas zat-zat kimia yang dipisahkan.Pada umumnya
perbandingan pelarut pengembangan campur memakai perbandingan volume (v/v),
akan tetapi perbandingan berat (b/b) akan lebih menguntungkan sebab perbandingan
berat akan tetap, baik pada fase cair atau uap dan dapat dipakai berulangkali dengan
perbandingan tetap seperti semula.

Universitas Sumatera Utara

Perlu diperhatikan bahwa ukuran partikel dibuat pada rentang kehalusan tertentu
1-25 μ dalam keadaan uniform. Keadaan uniform fase diam ini untuk tujuan
didapatnya pemisahan yang baik, laju aliran pelarut pengembangan yang cepat dan
merata.

Kromatogram pada KLT merupakan noda-noda yang terpisah setelah visualisasi
dengan cara fisika atau kimia. Visualisasi cara fisika yaitu dengan melihat noda
kromatogram yang mengabsorpsi radiasi ultraviolet atau berfluoresensi dengan radiasi
ultraviolet pada π = 254 nm atau π = 365 nm.
Pada adsorban yang berfluoresensi dengan radiasi ultra violet karena telah
dicampur dengan zat kimia yang befluoresensi maka noda akan tampak sebagai
pemadainan fluoresensi (quenching fluorescensi).

Pada kromatogram KLT dikenal istilah atau pengertian faktor retardasi (R F )
untuk tiap-tiap noda kromatogram yang didefinisikan sebagai :
RF =

����� ������� ��������

����� � ������ ���� �����

=

��

��

=

ℎ��
100

Untuk pemisahan komponen sampel non polar atau hidrofobik (tidak larut dalam
air) pada proses pemisahan adsorpsi diusahakan pelarut pengembangan atau pelarut
pengembang campur yang bersifat non polar. Sebaliknya pada proses pemisahan
partisi sampel yang polar atau hidrofilik (larut dalam air) dipakai pelarut
pengembangan atau pelarut pengembang campur yang bersifat polar.Pada prinsipnya
diusahakan pemisahan dengan KLT dilakukan dalam keadaan netral (Muldja, 1995).

Universitas Sumatera Utara

2.5.3.2 Kromatografi Kolom

Kromatografi kolom klasik merupakan yang tertua dari cara kromatografi yang banyak
itu, dan seperti yang dipraktekkan secara tradisional, merupakan bentuk kromatografi
cair. Fase diam, baik bahkan yang jerap (KCP) atau film zat cair pada penyangga
(KCC), ditempatkan di dalam tabung kaca berbentuk silinder, pada bagian bawah
tertutup dengan

katup atau keran, dan fase gerak dibiarkan mengalir ke bawah

melaluinya karena gaya berat (Gritter, 1991).

Pada kromatografi kolom, fase diam yang digunakan berupa padatan dengan
permukaan yang aktif (misalnya alumina, silika gel atau arang aktif) yang dikemas ke
dalam sebuah kolom, dan fase geraknya berupa pelarut yang tersusun dari satu atau
lebih pelarut organik. Interaksi molekul yang terjadi dalam adsorpsi dapat tergantung
pada sifat (polaritas) permukaan, penyerapan solut, dan pelarut : gaya dispersi London,
ikatan hidrogen, gaya elektrostatis, dan gaya transfer muatan (Adnan, 1997).

Pada kromatografi kolom, campuran yang akan dipisahkan diletakkan berupa
pita pada bagian atas kolom penjerap yang berada dalam tabung kaca, tabung logam
atau bahkan tabung plastik. Pelarut (fase gerak) dibiarkan mengalir melalui kolom
karena aliran yang disebabkan oleh gaya berat atau didorong dengan tekanan. Pita
senyawa linarut bergerak melalui kolom dengan laju yang berbeda, memisah, dan
dikumpulkan berupa fraksi ketika keluar dari alas kolom. Metode ini merupakan
contoh kromatografi elusi karena linarut dielusi dari kolom (Gritter, 1991) .

Prosedur yang dilakukan dalam kromatografi kolom yaitu
1. Penyiapan kolom
Kolom diisi homogen dengan adsorben yaitu dengan mencampurkan adsorben dengan
pelarut hingga membentuk bubur, kemudian dituangkan ke dalam kolom yang berisi
pelarut. Campuran diaduk didalam kolom untuk membantu homogenitas dan
menghilangkan gelembung-gelembung udara. Sebelum dan selama proses pemisahan,
permukaan kolom harus tetap terendam dalam pelarut dan ketinggian pelarut ± 1 cm
diatas permukaan kolom.

Universitas Sumatera Utara

2. Pemasukan sampel ke dalam kolom
Kolom dicuci dengan eluen, kemudian sampel yang telah dilarutkan dengan sejumlah
kecil volume eluen dimasukkan, kemudian kran dibuka dengan hati-hati.
Perbandingan berat adsorben dengan sampel yaitu 30:1 dan perbandingan panjang dan
diameter kolom yaitu 10-15:1.
3. Elusi atau pemisahan komponen-komponen sampel
Elusi diteruskan hingga komponen-komponen terpisah atau hingga tiap-tiap komponen
keluar dari kolom. Untuk senyawa yang tidak berwarna, eluat dipisahkan dalam
beberapa fraksi, yang masing-masing dengan volume yang kecil dan penetapan tiaptiap fraksi.
4. Deteksi atau penetapan kadar masing-masing komponen
Senyawa kemudian ditetapkan dan ditimbang setelah fraksi diuapkan dengan uji
bercak, KKt atau KLT atau dengan spektrofotometri (Harmita, 2009).

2.5.3.3 Kromatografi Lapis Tipis Preparatif

Kromatografi lapis tipis preparatif digunakan untuk memisahkan dan mengisolasi
sejumlah material yang lebih besar daripada pada KLT analitik. Kuantitas yang dapat
diproses berkisar dari 10 mg sampai lebih besar dari 1 gram. Pada KLTP, material
yang akan dipisahkan biasanya ditotolkan sebagai garis yang panjang pada daearah
penotolan sampel. Setelah pengembangan, komponen-komponen tertentu dapat
diperoleh kembali dengan mengorek lapisan adsorben dari plat pada zona yang
diinginkan dan mengelusi material yang telah dipisahkan dari penjerap menggunakan
pelarut yang kuat. Material yang diperoleh kembali ini mungkin memerlukan
pemurnian lebih lanjut dengan KLT maupun teknik kromatografi lainnya, atau
pemurnian yang cukup untuk identifikasi dan penentuan struktur dengan analisa unsurunsur atau spektrometri, untuk penggunaan dalam ilmu aktivitas biologis atau sintesis
secara kimia, atau untuk digunakan sebagai refrensi material untuk dibandingkan
dengan sampel yang tidak diketahui.

Universitas Sumatera Utara

KLTP pada lapisan setebal 1 mm telah dilaporkan oleh Ritter dan Meyer pada
1962.Tebal lapisan KLTP yang paling umum adalah 0,5-2,0 mm (500-2000μm), dan
ukuran plat umumnya 5×20, 10×20, 20×20, 20×40, atau bahkan 20×100 cm. Faktorfaktor keberhasilan pemisahan pada KLTP meliputi kehomogenan plat, penotolan
sampel, dan penjenuhan chamber dengan baik. Faktor yang terakhir ini penting karena
zat berpindah pada plat dengan perubahan kecepatan berdasarkan laju penguapan
pelarut. Zat berpindah lebih cepat pada permukaan plat dan lebih lambat pada bagian
plat yang dekat dengan plat penyangga. Efek ini dapat diminimalisir pada chamber
yang dijenuhkan dengan baik.

Prosedur KLTP umumnya sama dengan KLT analitik, perbedaan terbesarnya
adalah pada KLTP digunakan lapisan yang lebih tebal. KLTP lebih cepat dan lebih
baik daripada kromatografi kolom klasik, juga jauh lebih murah dan lebih sederhana
daripada KCKT. Peralatan dan keahlian mengoperasikannya mudah dipahami dan
dijalankan. Penggunaan pelarut dalam jumlah yang kecil; kemudahan memperkirakan
parameter dengan KLT analitik; kemungkinan pengembangan berganda untuk
mencapai pemisahan yang lebih tajam; deteksi langsung pada lapisan; mudahnya
pemisahan zona-zona yang dinginkan dari lapisan, dan kemampuan untuk
menjalankan senyawa-senyawa yang mirip secara serempak pada kondisi yang mirip
untuk bantuan pada lokasi material yang diinginkan merupakan keuntungankeuntungan pemakaian KLTP dari KLT. Kerugian yang mungkin pada KLTP adalah
terurainya senyawa-senyawa yang tidak stabil ketika kontak dengan udara dan cahaya
pada permukaan lapisan yang dipapar dan adanya pengotor lapisan yang diekstraksi
atau partikel-partikel penjerap dengan senyawa yang direcovery (Bidlingmeyer, 1987).

Universitas Sumatera Utara

2.6 Teknik Spektroskopi
Metode spektroskopi merupakan cara yang terbaik saat ini untuk penentuan struktur
senyawa organik karena dapat dilakukan dalam waktu singkat dan jumlah sampel yang
sedikit (mg atau μg).
Penentuan struktur kimia senyawa organik secara spektroskopi dapat dilakukan
jika senyawa organik tersebut diperoleh dalam keadaan murni, adanya pengotor akan
menyebabkan dihasilkannya spektra yang lebih kompleks sehingga akan menyulitkan
dalam interpretasi spektra. Selanjutnya dari spektra massa dan NMR akan diperoleh
formula (C x H y O z) dan derajat ketidakjenuhan (degrees of unsaturation) atau juga
dikenal dengan ekivalanesi ikatan rangkap (double bond equivalent). Spektra NMR,
infra merah dan UV/Vis akan memberikan informasi adanya gugus fungsional, selain
itu dari spektra NMR akan memberikan informasi adanya bagian-bagian struktur
pembentuk senyawa tersebut. Dengan demikian berdasarkan data-data spektroskopi di
atas dapat didefinisikan dengan senyawa yang telah diperoleh sebelumnya (known
compound). Untuk senyawa organik yang belum diketahui struktur kimia sebelumnya
(new compound) data-data spektroskopi tersebut belum cukup untuk menjelaskan
struktur kimianya, dengan demikian diperlukan data-data spektra tambahan meliputi
spektra 2D-NMR (meliputi COSY, HMQC, NOESY, dan HMBC), optical rotation
density (ORD), dan pembuktian dengan sintesis total. Jika suatu senyawa berupa
kristalin, penentuan struktur kimia dapat dilakukan dengan difraksi sinar-X.

Spektroskopi adalah studi mengenai antaraksi energi cahaya elektromagnetik
dengan senyawa organik yang dikenal dengan metoda fisiko-kimia. Absorpsi energi
elektromagnetik menimbulkan perubahan molekul pada senyawa organik tersebut.
Warna-warna yang terlihat adalah akibat absorpsi energi gelombang elektromagenetik
oleh senyawa organik atau anorganik. Setiap senyawa organik akan menyerap energi
gelombang elektromagnetik yang berbeda, oleh karena itu teknik-teknik spektroskopi
dapat digunakan untuk menentukan struktur senyawa organik yang tak diketahui atau
untuk mempelajari karakteristik ikatan dari senyawa organik yang diketahui
(Supratman, 2010).

Universitas Sumatera Utara

Spektroskopi molekuler adalah ilmu yang mempelajari interaksi antara
gelombang elektromagnetik dan benda. Gelombang elektromagnetik atau sering pula
disebut radiasi elektromagnetik (REM) adalah sejenis energi yang disebarkan oleh
suatu sumber cahaya dan bergerak lurus ke depan (kecuali jika dibiaskan atau
dipantulkan) dengan kecepatan yang sangat tinggi. Gelombang elektromagnetik dapat
berupa cahaya tampak, panas radiasi, sinar X, sinar UV, gelombang mikro, dan
gelombang radio (Harmita, 2009).

2.6.1 Spektroskopi Inframerah (FT-IR)

Spektrum inframerah suatu molekul adalah hasil transisi antara tingkatan energi
getaran (vibrasi) yang berlainan. Inti-inti atom yang terikat oleh ikatan kovalen
mengalami getaran (vibrasi) atau osilasi (oscillation), dengan cara serupa dengan dua
bandul yang terikat oleh suatu pegas.

Bila molekul menyerap radiasi inframerah, energi yang diserap menyebabkan
kenaikan dalam amplitudo getaran atom-atom yang terikat itu. Jadi molekul ini berada
dalam keadaan vibrasi tereksitasi(excited vibrational state); energi yang diserap akan
dibuang dalam bentuk panas bila molekul itu kembali ke keadaan dasar. Panjang
gelombang eksak dari absorpsi oleh suatu jenis ikatan bergantung pada macam getaran
dari ikatan tersebut. Oleh karena itu, jenis ikatan yang berlainan (C-H, C-C, C=O,
C=C, O-H, dan sebagainya) menyerap radiasi inframerah pada panjang gelombang
yang berlainan. Dengan demikian spektrometri infarmerah dapat digunakan untuk
mengidentifikasi gugus fungsi dalam suatu molekul.

Banyaknya energi yang diserap juga beraneka ragam dari ikatan ke ikatan
disebabkan sebagian oleh perubahan dalam momen dipol (μ ≠ 0) pada saat energi
diserap. Ikatan nonpolar (seperti C-H atau C-C) menyebabkan absorpsi lemah,
sedangkan ikatan polar (seperti misalnya O-H, N-H, dan C=O) menunjukkan absoprsi
yang lebih kuat. (Supratman, 2010).

Universitas Sumatera Utara

Intensitas absorpsi infamerah jarang dijelaskan secara kuantitatif, kecuali untuk
klasifikasi umum s (kuat), m (medium), atau w (lemah).
Transisi bertanggungjawab untuk pita IR berdasarkan vibrasi molekul, misalnya gerak
periodik yang melibatkan ikatan streching atau bending. Ikatan polar berhubungan
kuat dengan absorpsi IR sedangkan ikatan simetris mungkin tidak diserap seluruhnya.

Jelasnya, frekuensi vibrasi, misalnya posisi pita IR dalam spektrum, bergantung
pada sifat ikatan. Ikatan yang lebih pendek dan panjang memiliki vibrasi strechingnya
pada energi akhir yang lebih tinggi (panjang gelombang lebih pendek) daripada ikatan
yang lebih lemah dan kuat. Sama halnya dengan ikatan dengan atom-atom yang lebih
ringan (misalnya hidrogen), bervibrasi pada energi yang lebih tinggi daripada ikatan
dengan atom-atom yang lebih berat (Field et al. 2008).

2.6.2 Spektroskopi Ultraviolet

Spektrum UV-Visibel merupakan hasil interaksi antara radiasi elektromagnetik (REM)
dan molekul. REM merupakan bentuk energi radiasi yang mempunyai sifat gelombang
dan partikel (foton) (Harmita, 2009).

Istilah “spektroskopi UV” umumnya ditujukan untuk transisi elektronik yang
terjadi pada wilayah spektrum elektromagnetik (λ = 200-380 nm). Transisi elektronik
juga bertanggungjawab pada absorpsi dalam daerah tampak (sekitar 380-800 nm) yang
mudah diakses secara instrumen tetapi yang kurang penting dalam pemecahan masalah
struktur, karena kebanyakan senyawa organik merupakan tidak berwarna.

Spektra UV digunakan dalam penentuan struktur yang beragam selalu dapat
diselesaikan (Field et al. 2008).

Spektroskopi serapan ultraviolet dan serapan tampak barangkali merupakan cara
tunggal yang paling berguna untuk menganalisis struktur flavonoid. Cara tersebut
digunakan untuk membantu mengidentifikasi jenis flavonoid dan menentukan pola
oksigenasi.

Universitas Sumatera Utara

Spektrum khas flavonoid terdiri atas dua maksima, pada rentang 240-285 nm
(pita II) dan 300-550 (pita I). Kedudukan yang tepat dan kekuatan nisbi maksima
tersebut memberikan informasi yang berharga mengenai sifat flavonoid dan pola
oksigenasinya (Markham, 1988).

2.6.3 Spektroskopi Resonansi Magnet Inti Proton (1H-NMR)

Spektroskopi resonansi magnet proton dapat digunakan untuk menentukan jenis
lingkungan atom yang berbeda yang ada dalam molekul; jumlah atom hidrogen pada
masing-masing jenis lingkungan hidrogen; dan jumlah atom hidrogen pada atom
karbon tetangga.

Sinyal-sinyal resonansi muncul dengan

letak yang terpisah karena adanya

geseran kimia (chemical shift). Tidak semua sinyal berpola sederhana (berupa garis
tunggal atau singlet), beberapa sinyal mengikuti pola pemecahan (splitting) yang
karakteristik,

seperti

doublet,

triplet,

kuartet.

Pemecahan

disebabkan

oleh

penggandengan spin-spin (spin-spin coupling), yaitu interaksi magentik suatu inti
dengan inti yang lain.

Jenis lingkungan kimia proton dapat diketahui dari geseran kimia. Dengan
integrasi, dapat diketahui jumlah relatif proton dapat diketahui dari geseran kimia dan
jumlah relatif proton yang ada. Hubungan posisi antara inti-inti yang saling
berintegrasi dapat diketahui dari penggandengan spin-spin karena besarnya interaksi,
yang disebut konstanta penggandengan atau couplingconstant (J), bergantung pada
jumlah dan jenis ikatan yang memisahkan inti-inti tersebut. Fenomena 1H-NMR
terjadi jika inti yang searah dengan medan magnet eksternal dibuat mengabsorpsi
energi (berupa radiasi elektromagnetik) sehingga orientasi spinnya berubah.

Universitas Sumatera Utara

Untuk

1

H-NMR,

standar

pembanding

yang

direkomendasikan

tetrametilsilan [(CH3) 4 Si/TMS)]. TMS juga dapat digunakan untuk

adalah

13

C-NMR.

Mengapa TMS dipilih sebagai senyawa pembanding? Berikut ini alasannya.
1. Stabil secara kimia, simetris, dan beresonansi pada medan atas (upper field).
2. Proton pada gugus metil senyawa ini lebih terperisai dibandingkan proton
senyawa lain.
3. TMS memberikan sinyal yang tajam (singlet), 12 proton.
4. Bersifat inert.
5. Titik didih rendah sehingga mudah dihilangkan.
6. Larut dalam sebagian besar pelarut organik.
7. Tidak larut dalam air atau D 2 O (Harmita, 2015).

Universitas Sumatera Utara