Gambaran Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Pertolongan Persalinan pada Masyarakat Suku Melayu di Kecamatan Medang Deras Kabupaten Batu Bara Tahun 2015

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perilaku Kesehatan
Dari segi biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme
(makhluk hidup) yang bersangkutan. Oleh sebab itu, dari sudut pandang biologis semua
makhluk hidup mulai dari tumbuh-tumbuhan, binatang, sampai dengan manusia itu
berperilaku, karena mereka mempunyai aktivitas masing-masing. Perilaku manusia
merupakan hasil dari segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan
lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Dengan
kata lain, perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus yang
berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Respon ini bersifat pasif (tanpa tindakan:
berfikir, berpendapat, bersikap) maupun aktif (melakukan tindakan). Sesuai dengan
batasannya perilaku kesehatan dapat dirumuskan sebagai segala bentuk pengalaman dan
interaksi individu dan lingkungannya, khususnya yang menyakut pengetahuan, sikap
tentang kesehatannya dan tindakan yang berhubungan dengan kesehatan.
Menurut L.W. Green, faktor penyebab masalah kesehatan adalah faktor perilaku
dan non perilaku. Faktor perilaku khususnya perilaku kesehatan dipengaruhi oleh 3
faktor, yaitu:
1. Faktor predisposisi (predisposing factors), adalah faktor yang terwujud dalam
pengetahuan, sikap, tindakan, keyakinan, nilai-nilai dan kepercayaan serta variasi

demografi seperti status ekonomi, umur, jenis kelamin, dan susunan keluarga.
Faktor ini lebih bersifat dari dalam diri individu tersebut.

8
Universitas Sumatera Utara

9

2. Faktor pemungkin (enabling factors), adalah faktor pendukung yang terwujud
dalam lingkungan fisik, yang termasuk di dalamnya adalah berbagai macam sarana
dan prasarana, misal: dana, trasportasi, fasilitas, kebijakan, pemerintah dan
sebagainya.
3. Faktor pendorong (reinforcing factors), adalah faktor yang meliputi faktor sikap
dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama, sikap dan perilaku petugas termasuk
petugas kesehatan, termasuk juga disini undang-undang, peraturan-peraturan baik
dari pusat maupun pemerintah daerah yang terkait dengan kesehatan.
Perilaku dapat dibatasi sebagian jiwa (berpendapat, berfikir, bersikap dan
sebagainya) (Notoadmodjo, 1999). Untuk memberikan respon terhadap situasi diluar
objek tersebut. Respon ini dapat bersifat pasif (tanpa tindakan).
Bentuk operasional dari perilaku menjadi tiga jenis, yaitu:

1. Perilaku dalam bentuk pengetahuan, yaitu dengan mengetahui situasi dan
rangsangan.
2. Perilaku dalam bentuk sikap, yaitu tanggapan perasaan terhadap keadaan atau
rangsangan dari luar diri si subjek sehingga alam itu sendiri akan mencetak
perilaku yang hidup di dalamnya, sesuai dengan sifat keadaan alam tersebut
(lingkungan fisik) dan keadaan lingkungan sosial budaya yang bersifat non fisik
tetapi mempunyai pengaruh kuat terhadap pembentukan perilaku manusia.
Lingkungan ini merupakan keadaan manusia dan segala budi daya masyarakat
itu lahir dan mengembangkan perilakunya.

Universitas Sumatera Utara

10

3. Perilaku dalam bentuk tindakan yang sudah konkrit berupa perbuatan terhadap
situasi dan rangsangan dari luar.
2.1.1. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan ini terjadi melalui panca
indera manusia yakni penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian

besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.
Penginderaan terjadi melalui panca indra manusia, yaitu indra penglihatan,
penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan merupakan domain yang sangat
penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (ever behavior). Pada dasarnya
pengetahuan terdiri dari sejumlah fakta dan teori yang memungkinkan seseorang dapat
memahami sesuatu gejala dan memecahkan masalah yang dihadapi.
Pengetahuan dapat diperoleh dari pengalaman langsung ataupun melalui
pengalaman orang lain. Pengetahuan dapat ditingkatkan melalui penyuluhan baik secara
individu maupun kelompok untuk meningkatkan pengetahuan kesehatan yang bertujuan
untuk tercapainya perubahan perilaku individu, keluarga dan masyarakat dalam upaya
mewujudkan derajat kesehatan optimal.
Menurut Notoatmodjo (2010), pengetahuan mempunyai enam tingkatan, yaitu:

1. Tahu (know)
Diartikan sebagai pengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya,
termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali terhadap sesuatu

Universitas Sumatera Utara

11


yang spesifik dari seluruh bagian yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.
Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain :
menyebutkan, mendefenisikan, mengatakan.
2. Pemahaman (Comprehension)
Diartikan sebagai kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek
yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang telah
memahami terhadap objek atau materi atau harus dapat menjelaskan, menyebutkan
contoh, menyampaikan, meramalkan terhadap objek yang dipelajari.
3. Aplikasi (Aplication)
Aplikasi diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menggunakan materi yang
telah dipelajari pada situasi dan kondisi yang sebenarnya. Aplikasi disini dapat diartikan
sebagai aplikasi atau penggunaan buku, rumus, metode, prinsip dalam konteks, atau
situasi lain. Misalnya adalah dapat menggunakan rumus statistik dalam perhitunganperhitungan hasil penelitian dan dapat menggunakan prinsip-prinsip siklus pemecahan
masalah kesehatan dari kasus-kasus yang diberikan.
4. Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek
dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam struktur organisasi, dan masih ada
kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata
kerja seperti dapat menggambarkan, membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan

sebagainya.

Universitas Sumatera Utara

12

5. Sintesis (Synthesis)
Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk menghubungkan bagianbagian kedalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sistesis adalah
suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dan formulasi-formulasi yang ada.
Misalnya: dapat menyusun, merencanakan, meringkas, menyesuaikan dan sebagainya
terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.
6. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan-kemampuan untuk melakukan
justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian ini
berdasarkan kriteria yang telah ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria-kriteria
yang ada.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang
menanyakan isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden.
Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan
dengan tingkatan-tingkatan di atas.

2.1.2. Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap
suatu stimulus atau objek. Sikap tidak langsung dilihat tetapi hanya dapat ditafsirkan
terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi
adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari
adalah merupakan reaksi yang

bersifat

emosional terhadap

stimulus sosial

(Notoadmojo, 2010).

Universitas Sumatera Utara

13

Secara umum sikap dapat dirumuskan sebagai kecenderungan untuk merespon

(secara positif atau negatif) terhadap orang, objek atau situasi tertentu. Sikap
mengandung suatu penelitian emosional/afektif (senang, benci, sedih dan sebagainya).
Selain bersifat positif dan negatif, sikap memiliki tingkat kedalaman yang berbeda-beda
(sangat benci, agak benci, dan sebagainya). Sikap itu tidaklah sama dengan perilaku dan
perilaku tidaklah selalu mencerminkan sikap seseorang. Sebab sering kali terjadi bahwa
seseorang dapat berubah dengan memperlihatkan tindakan yang bertentangan dengan
sikapnya. Sikap sesorang dapat berubah dengan diperolehnya tambahan informasi
tentang objek tersebut melalui persuasi serta tekanan dari kelompok sosialnya.
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap
suatu stimulus atau obyek. Manifestasi sikap itu tidak langsung dapat dilihat, tetapi
dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup.
Allport dalam Notoatmodjo (2010), menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai
tiga komponen pokok yaitu :
a.

Kepercayaan (kenyakinan), ide dan konsep terhadap suatu obyek.

b.

Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu obyek.


c.

Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave)

Sikap ini terdiri dari 4 (empat) tingkatan yaitu :
1. Menerima (receiving)

Universitas Sumatera Utara

14

Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperlihatkan stimulus
yang diberikan (objek). Misalnya sikap orang terhadap gizi dapat dilihat dari kesediaan
dan perhatian orang itu terhadap ceramah-ceramah tentang gizi.
2. Merespon (responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya. Mengerjakan dan menyelesaikan tugas
yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk
menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas dari pekerjaan
itu benar atau salah, adalah berarti orang menerima ide tersebut.

3. Menghargai (Valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah
adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. Misalnya: seorang ibu yang mengajak ibu yang
lain untuk pergi menimbangkan anaknya ke posyandu, atau mendiskusikan tentang gizi,
adalah suatu bukti bahwa si ibu tersebut telah mempunyai sikap positif terhadap gizi
anak.
4. Bertanggung jawab (responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala
resiko merupakan sikap yang paling tinggi.
Ciri-ciri sikap adalah :
1. Sikap bukan dibawa sejak lahir melainkan dibentuk atau dipelajari sepanjang
perkembangan

orang

itu

dalam

hubungan


dengan

objeknya.

Sifat

ini

membedakannya dengan sifat motif-motif biogenetis seperti lapar, haus atau
kebutuhan akan istirahat.

Universitas Sumatera Utara

15

2. Sikap dapat berubah-ubah karena sikap dapat dipelajari dan karena itu pula sikap
dapat berubah-ubah pada orang bila terdapat keadaan-keadaan dan syarat-syarat
tertentu yang mempermudah sikap pada orang itu.
3. Sikap tidak berdiri sendiri, tetapi senantiasa mempunyai hubungan tertentu terhadap

suatu objek. Dengan kata lain sikap itu terbentuk, dipelajari atau berubah
senantiasa.
4. Objek sikap itu dapat merupakan satu hal tertentu tetapi dapat juga merupakan
kumpulan dari hal-hal tersebut.
5. Sikap mempunyai segi motivasi dari segi-segi perasaan. Sifat ilmiah yang
membedakan sikap dan kecakapan-kecakapan atau pengetahuan-pengetahuan yang
dimiliki orang (Saifudin, 2010).
Fungsi sikap dibagi menjadi empat golongan, yakni :
a.

Sebagai alat untuk menyesuaikan diri. Sikap adalah sesuatu yang bersifat
communicable artinya sesuatu yang mudah menjalar sehingga mudah pula menjadi
milik bersama.

b.

Sebagai alat pengatur tingkah laku. Kita tahu bahwa tingkah laku anak kecil atau
binatang umumnya merupakan aksi-aksi yang spontan terhadap sekitarnya. Antara
perangsang dan reaksi tidak ada pertimbangan tetapi pada orang dewasa dan yang
sudah lanjut usianya, perangsang itu pada umumnya tidak diberi reaksi secara
spontan akan tetapi terdapat adanya proses secara sadar untuk menilai perangsangperangsang itu. Jadi antara perangsang dan reaksi terhadap sesuatu yang
disisipkannya yaitu sesuatu yang berwujud pertimbangan-pertimbangan atau

Universitas Sumatera Utara

16

penilaian-penilaian terhadap perangsang itu. Jadi antara perangsang dan reaksi
terhadap sesuatu yang disisipkannya yaitu sesuatu yang berwujud pertimbanganpertimbangan atau penilaian-penilaian terhadap perangsang itu sebenarnya bukan
hal yang berdiri sendiri tetapi merupakan sesuatu yang erat hubungannya dengan
cita-cita orang, tujuan hidup orang, peraturan-peraturan kesusilaan yang ada dalam
bendera, keinginan-keinginan pada orang itu dan sebagainya.
c.

Sebagai alat pengatur pengalaman-pengalaman. Dalam hal ini perlu dikemukakan
bahwa manusia di dalam menerima pengalaman-pengalaman dari dunia luar
sikapnya tidak pasif tetapi diterima secara aktif artinya semua pengalaman yang
berasal dari luar itu tidak semuanya dilayani oleh manusia tetapi juga manusia
memilih mana-mana yang perlu dan mana yang tidak perlu dilayani. Jadi semua
pengalaman ini diberi penilaian lalu dipilih.

d.

Sebagai pernyataan kepribadian. Sikap sering mencerminkan kepribadian
seseorang. Ini sebabnya karena sikap tidak pernah terpisah dari pribadi yang
mendukungnya. Oleh karena itu dengan melihat sikap-sikap pada obyek-obyek
tertentu, sedikit banyak orang bisa mengetahui pribadi orang tersebut. Jadi sikap
sebagai pernyataan pribadi. Apabila kita akan mengubah sikap sesorang kita harus
mengetahui keadaan sesungguhnya dari sikap orang tersebut dengan mengetahui
keadaan sikap itu kita akan mengetahui pula mungkin tidaknya sikap tersebut dapat
diubah dan bagaimana cara mengubah sikap-sikap tersebut (Saifudin, 2010).

Universitas Sumatera Utara

17

2.1.3. Tindakan
Suatu sikap belum optimis terwujud dalam suatu tindakan. Untuk terwijudnya
sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung/suatu kondisi yang
memungkinkan (Notoadmodjo, 1993).
Tindakan terdiri dari empat tindakan, yaitu:
1. Persepsi (perception)
Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan
diambil adalah merupakan prakek tingkat pertama.
2. Respon dan terpimpin (guided response)
Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan
contoh adalah merupakan indikator praktek tingkat dua.
3. Mekanisme (mechanism)
Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara optimis,
atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktek
tingkat tiga.
4. Adopsi (adoption)
Adopsi adalah praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik.
Artinya tindakan itu sudah dimodifikasinya tanpa mengurangi kebenaran tindakan
tersebut.
2.2 Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan
Pemanfaatan pelayanan kesehatan merupakan proses pendayafungsian layanan
kesehatan oleh masyarakat. Menurut Levey dan Loomba (1973), yang dimaksud dengan

Universitas Sumatera Utara

18

pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang dilaksanakan secara sendiri atau
bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan,
mencegah, mengobati penyakit serta memulihkan kesehatan seseorang, keluarga,
kelompok dan masyarakat (Ilyas, 2003). Menurut Notoatmodjo (2003), respons
seseorang apabila sakit adalah sebagai berikut:
1.

Tidak bertindak atau tidak melakukan kegiatan apa-apa (no action). Dengan
alasan antara lain; (a) Bahwa kondisi yang demikian tidak akan mengganggu
kegiatan atau kerja mereka sehari-hari. (b) Bahwa tanpa bertindak apapun
simptom atau gejala yang dideritanya akan lenyap dengan sendirinya. Hal ini
menunjukkan bahwa kesehatan belum merupakan prioritas di dalam hidup dan
kehidupannya. (c) Fasilitas kesehatan yang dibutuhkan tempatnya sangat jauh,
petugasnya tidak simpatik, judes dan tidak ramah. (d) Takut dokter, takut
disuntik jarum dan karena biaya mahal.

2.

Tindakan mengobati sendiri (self treatment), dengan alasan yang sama seperti
telah diuraikan. Alasan tambahan dari tindakan ini adalah karena orang atau
masyarakat tersebut sudah percaya dengan diri sendiri, dan merasa bahwa
berdasarkan pengalaman yang lalu usaha pengobatan sendiri sudah dpat
mendatangkan kesembuhan. Hal ini mengakibatkan pencarian obat keluar tidak
diperlukan.

3.

Mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan tradisional (traditional
remedy), seperti dukun.

Universitas Sumatera Utara

19

4.

Mencari pengobatan dengan membeli obat-obat ke warung-warung obat
(chemist shop) dan sejenisnya, termasuk tukang-tukang jamu.

5.

Mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas modern yang diadakan oleh pemerintah
atau lembaga-lembaga kesehatan swasta, yang dikategorikan ke dalam balai
pengobatan, puskesmas, dan rumah sakit.

6.

Mencari pengobatan ke fasilitas pengobatan modern yang diselenggarkan oleh
dokter praktek (private medicine). (Notoatmodjo, 2007).
Menurut Alan Dever dalam “Determinants of Healthy Service Utilization”,

faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan pelayanan kesehatan adalah :

a. Faktor Sosiokultural yang terdiri dari : (1) norma dan nilai social yang ada di
masyarakat, dan (2) teknologi yang digunakan dalam pelayanan kesehatan.
b. Faktor Organisasi yang terdiri dari : (1) ketersediaan sumber daya. Yaitu sumber
daya yang mencakupi baik dari segi kuantitas dan kualitas, sangat
mempengaruhi penggunaan pelayanan kesehatan. (2) keterjangkauan lokasi.
Keterjangkauan lokasi berkaitan dengan keterjangkauan tempat dan waktu.
Keterjangkauan tempat diukur dengan jarak tempuh, waktu tempuh dan biaya
perjalanan. (3)keterjangkauan social. Dimana konsumen memperhitungkan
sikap petugas kesehatan terhadap konsumen. (4) karakteristik struktur organisasi
formal dan cara pemberian pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan ada yang
mempunyai struktur organisasi yang formal misalnya rumah sakit.
c. Faktor Interaksi Konsumen-Petugas Kesehatan
1. Faktor yang berhubungan dengan konsumen

Universitas Sumatera Utara

20

Tingkat kesakitan atau kebutuhan yang dirasakan oleh konsumen
berhubungan langsung dengan penggunaan atau permintaan pelayanan
kesehatan. Kebutuhan dipengaruhi oleh : (1)fator sosiodemografi,yaitu
umur, sex, ras, bangsa, status perkawinan, jumlah keluarga dan status sosial
ekonomi, (2) faktor sosio psikologis, yaitu presepsi sakit, gejala sakit, dan
keyakinan terhadap perawatan medis atau dokter, (3) faktor epidemiologis,
yaitu mortalitas, mordibitas, dan faktor resiko.
2. Faktor yang berhubungan dengan petugas kesehatan yang terdiri dari : (1)
faktor ekonomi, yaitu adanya barang substitusi, serta adanya keterbatasan
pengetahuan konsumen tentang penyakit yang di deritanya, (2) karakteristik
dari petugas kesehatan yaitu tipe pelayanan kesehatan, sikap petugas,
keahlian petugas dan fasilitas yang dipunyai pelayanan kesehatan tersebut.
Menurut Anderson (2009), ada tiga faktor-faktor penting dalam mencari
pelayanan kesehatan yaitu:
1.

Mudahnya menggunakan pelayanan kesehatan yang tersedia.

2.

Adanya faktor-faktor yang menjamin terhadap pelayanan kesehatan yang ada.

3.

Adanya kebutuhan pelayanan kesehatan.

2.2.1 Model Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan
Andersen (1975) mendeskripsikan model sistem kesehatan merupakan suatu
model kepercayaan kesehatan yang disebut sebagai model perilaku pemanfaatan
pelayanan kesehatan (behaviour model of health service utilization). Andersen

Universitas Sumatera Utara

21

mengelompokkan faktor determinan dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan ke dalam
tiga kategori utama, yaitu :
1. Karakteristik predisposisi (Predisposing Characteristics)
Karakteristik ini digunakan untuk menggambarkan fakta bahwa setiap individu
mempunyai kecenderungan menggunakan pelayanan kesehatan yang berbedabeda yang disebabkan karena adanya ciri-ciri individu yang digolongkan ke
dalam tiga kelompok :
a. Ciri-ciri demografi, seperti : jenis kelamin, umur, dan status perkawinan.
b. Struktur sosial, seperti : tingkat pendidikan, pekerjaan, hobi, ras, agama, dan
sebagainya.
c. Kepercayaan kesehatan (health belief), seperti keyakinan penyembuhan
penyakit.
2. Karakteristik kemampuan (Enabling Characteristics
Karakteristik kemampuan adalah sebagai keadaan atau kondisi yang membuat
seseorang mampu untuk melakukan tindakan untuk memenuhi kebutuhannya
terhadap pelayanan kesehatan. Andersen (1975)
membaginya ke dalam 2 golongan, yaitu :
a. Sumber daya keluarga, seperti : penghasilan keluarga, keikutsertaan dalam
asuransi kesehatan, kemampuan membeli jasa, dan pengetahuan tentang
informasi pelayanan kesehatan yang dibutuhkan.

Universitas Sumatera Utara

22

b. Sumber daya masyarakat, seperti : jumlah sarana pelayanan kesehatan yang
ada, jumlah tenaga kesehatan yang tersedia dalam wilayah tersebut, rasio
penduduk terhadap tenaga kesehatan, dan lokasi pemukiman penduduk.
Menurut Andersen semakin banyak sarana dan jumlah tenaga kesehatan
maka tingkat pemanfaatan pelayanan kesehatan suatu masyarakat akan
semakin bertambah.
2. Kebutuhan (Need Characteristics)
Karakteristik kebutuhan merupakan komponen yang paling langsung berhubungan
dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Andersen (1975) menggunakan istilah
kesakitan untuk mewakili kebutuhan pelayanan kesehatan. Penilaian terhadap suatu
penyakit merupakan bagian dari kebutuhan. Penilaian individu ini dapat diperoleh
dari dua sumber, yaitu :
a. Individu (perceived need), merupakan penilaian keadaan kesehatan
yang paling dirasakan oleh individu, besarnya ketakutan terhadap
penyakit dan hebatnya rasa sakit yang diderita.
b. Penilaian klinik (Evaluated need), merupakan penilaian beratnya
penyakit dari dokter yang merawatnya, yang tercermin antara lain
dari hasil pemeriksaan dan penentuan diagnosis penyakit oleh dokter
(Ilyas, 2003)

c.

Universitas Sumatera Utara

23

2.2.2. Faktor yang Berhubungan dengan Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan
Telah dilakukan beberapa penelitian yang berhubungan dengan pemanfaatan
pelayanan kesehatan. Adapun faktor-faktor yang berhubungan dengan pemanfaatan
pelayanan kesehatan antara lain sebagai berikut :

1. Pengetahuan
Di dalam menggunakan pelayanan kesehatan, seseorang dipengaruhi oleh
perilakunya yang terbentuk dari pengetahuannya. Seseorang cenderung untuk
bersikap tidak menggunakan jasa pelayanan kesehatan disebabkan karena
adanya kepercayaan dan keyakinan bahwa jasa pelayanan kesehatan tidak dapat
menyembuhkan penyakitnya, demikian juga sebaliknya. Wibowo

juga

menyebutkan bahwa pengetahuan ibu tentang pelayanan antenatal berhubungan
dengan pemanfaatan antenatal pada bidan (Silitonga, 2001).
2. Jarak
Andersen berasumsi bahwa semakin banyak sarana dan tenaga kesehatan,
semakin kecil jarak jangkau masyarakat terhadap tempat pelayanan kesehatan
seharusnya tingkat penggunaan pelayanan kesehatan akan bertambah. Smith
(1983) membuktikan bahwa menempatkan fasilitas pelayanan kesehatan lebih
dekat kepada masyarakat golongan sosial ekonomi rendah secara langsung
menyebabkan pelayanan tersebut diterima oleh masyarakat. Hasil penelitiannya
menyebutkan bahwa masyarakat segan berpergian jauh ke sarana pengobatan
hanya untuk pengobatan ringan. Lama berpergian dan jarak juga mempengaruhi

Universitas Sumatera Utara

24

pencarian pengobatan (Hediyati, 2001). Hal serupa juga dijelaskan oleh
Mechanic (1996) bahwa dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan faktor.
3. Persepsi Sakit
Rendahnya pemanfaatan pelayanan kesehatan seperti Puskesmas, Rumah Sakit
dan fasilitas pelayanan kesehatan yang lain juga disebabkan persepsi dan konsep
masyarakat sendiri tentang sakit (Notoatmodjo, 2003). Persepsi sakit merupakan
pengalaman yang dihasilkan melalui pancaindra. Setiap orang mempunyai
persepsi yang berbeda meskipun mengamati objek yang sama. Green (1980)
dalam Notoatmodjo (2003) menyebutkan bahwa persepsi berhubungan dengan
motivasi individu untuk melakukan kegiatan, bila persepsi seseorang telah benar
tentang sakit maka ia cenderung memanfaatkan pelayanan kesehtan bila
mengalami sakit. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wibowo (1992)
menunjukkan bahwa makin banyak ibu yang mempunyai keluhan/gangguan
kesehatan sebelum hamil akan makin sering memanfaatkan pelayanan antenatal.
(Hediyati, 2001).
4. Kualitas Pelayanan
Kualitas pelayanan akan mempengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan. Hal
ini dibuktikan dengan hasil penelitian Fachran (1998) tentang pemanfaatan
laboratorium di RSUD Budhi Asih. Hasil penelitian tersebut menunjukkan
bahwa kualitas fisik, kualitas pelayanan, dan kualitas informasi yang diberikan
oleh petugas laboratorium berhubungan dengan pemanfaatan laboratorium

Universitas Sumatera Utara

25

tersebut. Hasil penelitian Bintang (1989) menyebutkan bahwa sikap petugas
berpengaruh terhadap pemanfaatan poliklinik Depkeu RI (Hediyati, 2001).

2.3. Persalinan
2.3.1. Defenisi Persalinan
Persalinan normal adalah proses pengeluaran hasil konsepsi yang dapat
hidup dari dalam uterus melalui vagina ke dunia luar dengan presentasi belakang
kepala tanpa memakai alat-alat atau pertolongan istimewa serta tidak melukai ibu dan
bayi, dan pada umumnyaberlangsung dalam waktu kurang dari 24 jam (Prawirohardjo,
1997)
Persalinan normal adalah proses pengeluaran janin yang terjadi pada kehamilan
cukup bulan (37-42 minggu), lahir spontan dengan presentasi belakang kepala yang
berlangsung dalam 18 jam, tanpa komplikasi baik pada ibu maupun pada janin
(Saifuddin,2006).
Persalinan adalah proses dimana bayi, plasenta dan selaput ketuban keluar dari
uterus ibu. Persalinan dianggap normal jika prosesnya terjadi pada usia kehamilan
cukup bulan (setelah 37 minggu) tanpa disertai adanya penyulit. Persalinan di mulai
(inpartu) sejak uterus berkontraksi dan menyebabkan perubahan pada serviks
(membuka dan menipis) dan berakhir dengan lahirnya plasenta secara lengkap. Ibu
belum inpartu jika kontraksi uterus tidak mengakibatkan perubahan serviks (JNPK-KR,
2007)

Universitas Sumatera Utara

26

Persalinan adalah suatu proses yang dimulai dengan adanya kontraksi uterus
yang menyebabkan terjadinya dilatasi progresif dari serviks, kelahiran bayi, dan
kelahiran plasenta, dan proses tersebut merupakan proses alamiah. (Rohani, 2011)

2.3.2. Permasalahan dalam Persalinan
Memasuki masa persalinan merupakan suatu periode yang kritis bagi para ibu
hamil karena segala kemungkinan dapat terjadi sebelum berakhir dengan selamat atau
dengan kematian. Sejumlah faktor memandirikan peranan dalam proses ini, mulai dari
ada

tidaknya

faktor

resiko

kesehatan

ibu,

pemilihan

penolong

persalinan,

keterjangkauan dan ketersediaan pelayanan kesehatan, kemampuan penolong persalinan
sampai sikap keluarga dalam menghadapi keadaan gawat.
Penelitian

Iskandar,

dkk

(1996)

Faktor-faktor

menunjukkan

beberapa

tindakan/praktek yang membawa resiko infeksi seperti "ngolesi" (membasahi vagina
dengan rninyak kelapa untuk memperlancar persalinan), "kodok" (memasukkan tangan
ke dalam vagina dan uterus untuk rnengeluarkan placenta) atau "nyanda" (setelah
persalinan, ibu duduk dengan posisi bersandar dan kaki diluruskan ke depan selama
berjam-jam yang dapat menyebabkan perdarahan dan pembengkakan).
lnteraksi antara kondisi kesehatan ibu hamil dengan kemampuan penolong
persalinan sangat menentukan hasil persalinan yaitu kematian atau bertahan hidup.
Secara medis, penyebab klasik kematian ibu akibat melahirkan adalah perdarahan,
infeksi dan eklamsia (keracunan kehamilan). Kondisi-kondisi tersebut bila tidak
ditangani secara tepat dan profesional dapat berakibat fatal bagi ibu dalam proses

Universitas Sumatera Utara

27

persalinan. Namun, kefatalan ini sering terjadi tidak hanya karena penanganan yang
kurang baik tepat tetapi juga karena ada faktor keterlambatan pengambilan keputusan
dalam keluarga.
Umumnya, terutama di daerah pedesaan, keputusan terhadap perawatan medis
apa yang akan dipilih harus dengan persetujuan kerabat yang lebih tua; atau keputusan
berada di tangan suami yang seringkali menjadi panik melihat keadaan krisis yang
terjadi.
Kepanikan dan ketidaktahuan akan gejala-gejala tertentu saat persalinan dapat
menghambat tindakan yang seharusnya dilakukan dengan cepat. Tidak jarang pula
nasehat-nasehat yang diberikan oleh teman atau tetangga mempengaruhi keputusan
yang diambil. Keadaan ini seringkali pula diperberat oleh faktor geografis, dimana jarak
rumah si ibu dengan tempat pelayanan kesehatan cukup jauh, tidak tersedianya
transportasi, atau oleh faktor kendala ekonomi dimana ada anggapan bahwa membawa
si ibu ke rumah sakit akan memakan biaya yang mahal. Selain dari faktor keterlambatan
dalam pengambilan keputusan, faktor geografis dan kendala ekonomi, keterlambatan
mencari pertolongan disebabkan juga oleh adanya suatu keyakinan dan sikap pasrah
dari masyarakat bahwa segala sesuatu yang terjadi merupakan takdir yang tak dapat.
Menurut Darwizar (2002) tidak jarang ibu hamil yang kritis meninggal sesampai
di rumah sakit, artinya si ibu terlambat mendapat pertolongan. Kejadian ini dapat berupa
kasus kelainan letak janin, hipertensi, pendarahan (ruptura uteri) karena dukun bayi
mendorong janin ke luar rahim. Dalam keadaan kritis di tangan dukun bayi barulah si
ibu dirujuk ke rumah sakit. Dalam keadaan seperti itu, fasilitas lengkap di rumah sakit

Universitas Sumatera Utara

28

tidak menjamin menurunkan kesakitan dan kematian ibu. Sementara itu ibu hamil yang
membutuhkan operasi seringkali harus menunggu waktu, bahkan terkadang operasi
untuk menyelamatkan si ibu tidak bisa dilakukan karena tidak mendapat izin keluarga.
Kasus-kasus yang dirujuk banyak yang tidak tertolong karena sangat buruk pronosisnya.
Pada kasus persalinan normal, bantuan bidan sudah memadai. Pada persalinan yang
tidak normal diperlukan ketrampilan lebih tinggi semacam operasi yang harus ditangani
dokter kebidanan dan kandungan.
Menurut Ketua Umum Ikatan Bidan Indonesia (IBI) Koesno (2003), bidan yang
bertugas di desa-desa jumlahnya semakin sedikit karena beberapa hal, diantaranya
adalah gaji yang tidak dibayarkan secara tetap. Jumlah bidan desa saat ini hanya sekitar
20.000 dari 80.000 bidan di Indonesia. Kekurangan bidan desa mengurangi kemampuan
untuk memperoleh pelayanan kesehatan reproduksi.
Angka kematian ibu dan juga bayi berkait dengan sejumlah indikator, yaitu
penyelenggaraan pelayanan kesehatan, sarana dan prasarana kesehatan, maupun sistem
pengelolaan kesehatan bersama. Apabila kinerja seluruh indikator diperbaiki dan
pelayanan kesehatan bisa ditingkatkan. Masalah ini juga diperngaruhi kondisi sosial
budaya dari sisi kesehatan reproduksi yaitu persoalan tingkat kesuburan, serta
pengelolaan dan penanganan ibu hamil dab melahirkan. Faktor lainnya adalah kondisi
dan kualitas pelayanan kesehatan dan pendidikan ibu. Pada masa yang lalu berbagai
pendekatan untuk menekan angka kematian ibu dan bayi, misalnya dengan pendidikan
dukun bayi yang pernah dibantu WHO (Anwar, 2003).
2.3.3. Tenaga Penolong Persalinan

Universitas Sumatera Utara

29

Dalam Kesehatan Ibu dan Anak (Depkes RI, 2002), tenaga penolong persalinan
dibedakan dalam dua tipe, yaitu :
1. Tenaga profesional, meliputi : dokter spesialis kebidanan, dokter umum, bidan dan
perawat kebidanan.
a. Dokter spesialis kebidanan, berperan dalam memberikan pelayanan kebidanan
spesialistik, juga berperan sebagai pembina terhadap jaminan kualitas pelayanan dan
tenaga pelatih, karena keahliannya dibidang kebidanan dan kandungan, mereka juga
berperan sebagai tenaga advokasi kepada sektor terkait di daerahnya. (Depkes RI,
2002). Keberadaan dokter spesialis sangat diharapkan, karena tanpa mereka rumah
sakit sulit untuk dapat memberikan pelayanan kegawatdaruratan obstetrik dan
neonatal secara komprehensif (PONEK), sehingga perlu upaya pemerataan
penempatannya di rumah sakit kabupaten/kota, juga diharapkan lebih berperan dalam
pembinaan kualitas pelayanan dan tenaga advokasi. (Depkes RI,2002).
b. Jumlah dokter umum cukup banyak, rata rata setiap puskesmas mempunyai lebih dari
satu dokter umum (Tidak merata). Dokter umum di puskesmas mempunyai peran
dalam memberikan pelayanan kebidanan dan juga sebagai pembina peningkatan
kualitas pelayanan (Depkes RI, 2002). Selain masalah penempatan dokter umum
tidak merata, masalah lainnya adalah belum semua dokter umum di puskesmas
mempunyai keterampilan untuk memberikan pelayanan kegawatdaruratan obstetri
dan neonatal, sehingga puskesmas yang semula diharapkan dapat berfungsi sebagai
fasilitas kesehatan yang mampu PONED tidak tercapai (Depkes RI,2002).

Universitas Sumatera Utara

30

c. Bidan dalam SK Menteri Kesehatan Nomor 900 Tahun 2002, bidan adalah seorang
wanita yang telah mengikuti program pendidikan bidan dan lulus ujian sesuai dengan
persyaratan yang berlaku (Depkes,2002). Bidan merupakan tenaga andalan dalam
upaya menurunkan AKI di Indonesia, untuk mempercepat penurunan AKI maka
ditempatkan 54.120 bidan di desa, sehingga diharapkan semua desa mempunyai
seorang bidan, untuk menjalankan tugasnya sesuai dengan tugas pokok dan fungsiya
secara baik, dalam menjalankan tugasnya, bidan diberikan kewenangan yang cukup
besar untuk memberikan pelayanan KIA, termasuk pertolongan kegawatdaruratan
obstetri dan neonatal (Depkes RI, 2002). Dalam menjalankan tugasnya bidan di desa
sering mendapatkan hambatan baik berupa hambatan teknis ataupun bukan teknis,
yang diakibatkan kurangnya pengalaman dalam memberikan pelayanan KIA dan
kurangnya kemampuan dalam memberikan Komunikasi Informasi dan Edukasi
(KIE) terhadap dukun, untuk hambatan bukan dari sisi teknis adalah dikarenakan
usia bidan desa yang relatif muda (19-21 tahun) yang secara psikologis belum
matang yang terkadang dianggap kurang mampu oleh masyarakat. Selain itu citra
bidan di desa dianggap komersial karena tarif bidan lebih tinggi dan datang ke rumah
ibu bila di panggil, dengan cara pendekatan hanya sesaat. Ini merupakan kendala
yang cukup besar terhadap pemanfaatan pertolongan oleh tenaga kesehatan.

2. Tenaga bukan Profesional penolong persalinan tradisional
Menurut WHO (2008), tenaga penolong persalinan tradisional yang dikenal
dengan dukun bayi, adalah seorang wanita yang membantu kelahiran, yang

Universitas Sumatera Utara

31

keterampilannya didapat secara turun-temurun dari ibu ke anak atau dari keluarga dekat
lainnya, cara mendapatkan keterampilan melalui magang atau pengalaman sendiri saat
melahirkan.
Dukun bayi adalah seseorang dengan jenis kelamin wanita yang dapat dan
mampu membantu persalinan dan merawat bayi yang telah mendapatkan pelatihan
sehingga memilikipengetahuan dan ketrampilan dalam menolong persalinan secara
normal, minimal tentang kebersihan dalam menolong persalinan (Koesno, 2003).
Peran dukun bayi tidak berbeda jauh dengan peran bidan dalam kehidupan
masyarakat, yang membedakan hanya latar belakang dan jenis pendidikan formal yang
pernah diperoleh, disamping itu dukun bayi berada langsung dibawah pengawasan
pimpinan puskesmasatau bidan koordinator di puskesmas, dengan demikian seluruh
tugas dan kegiatan yang dilakukannya langsung dilaporkan dan dipertanggungjawabkan
kepada pimpinan puskesmas atau bidan koordinator di puskesmas (Koesno, 2003)
Pada saat fasilitas pelayanan kesehatan belum mampu menjangkau masyarakat
secara luas seperti saat seperti saat ini yang dilakukan melalui program pembangunan di
bidang kesehatan. Masyarakat di daerah pedesaan umumnya memanfaatkan pelayanan
kesehatan yang bersifat tradisional, pelayanan kesehatan tersebut tidak terbatas pada
penyembuhan penyakit tetapi juga pertolongan persalinan (Suprihatini, 2003).
Sampai saat ini keberadaan dukun bayi masih menjadi pilihan yang utama bagi
masyarakat yang tidak mampu untuk menjangkau pelayanan persalinan yang disediakan
oleh pemerintah seperti Bidan Desa maupun Puskesmas, atau masyarakat itu sendiri
yang tidak mampu untuk menjangkau pelayanan persalinan akibat keterbatasan tingkat

Universitas Sumatera Utara

32

ekonomi, masalah sosial budaya yang ditradisikan oleh nenek moyang, maupun faktor
lainnya (Suprihatini, 2003).
Oleh mayarakat dukun bayi dipercaya memiliki keterampilan secara turuntemurun dalam menolong persalinan. Dukun bayi memiliki kelebihan-kelebihan yang
sering kali tidak dimiliki oleh bidan, misalnya mengerjakan rumah tangga seperti
memasak, mencuci pakaian, memijat, mengurut ibu hamil dan bersalin, sebagai warga
setempat yang sudah “dianggap tokoh “ dukun bayi lebih komunikatif, berwibawa,
telaten, sabar dan biayanya relatif murah.
Keuntungan lain ditolong oleh dukun bayi yaitu pasien bersalin di rumahnya
sendiri dalam suasana yang sudah di kenal dengan biaya yang sangat murah . Pada
umumnya upah yang diberikan kepada dukun bayi tergantung pada kemampuan
melahirkan, di kota upah itu dapat lebih tinggi daripada di desa, dimana kemampuan
orang lebih rendah, maka dukun rela diberikan apa saja, kadang-kadang hanya untuk
membeli kapur sirih, kalau pasiennya tidak mampu sama sekali, dan membutuhkan
pertolongan, maka dukun rela memberikan kainnya sendiri. (Sapoerna,dkk, 1997).
Di Indonesia setiap daerah memiliki dukun bayi, persamaan antara masingmasing dukun bayi terletak pada anggapan bahwa menolong persalinan bukan
merupakan profesi secara ekonomi, namun lebih merupakan kegiatan kemanusiaan.
dukun selain memberikan pearawatan sesudah persalinan kadang-kadang membantu
pekerjaan rumah tangga selama ibu tersebut belum dapat melakukan tugasnya karena
persalinan (Bangsu 1995 : 19).
2.3.4. Upaya Pemerintah dalam Penanganan Masalah Kesehatan Ibu dan Anak

Universitas Sumatera Utara

33

1. Keluarga Berencana
Keluarga berencana (famili planning) adalah gerakan untuk mewujudkan
keluarga kecil sejahtera dan bahagia melalui penurunan tingkat kelahiran secara
bermakna. keluarga berencana merupakan upaya meningkatkan kepedulian masyarakat
dalam mewujudkan keluarga kecil yang bahagia sejahtera (undang- undang No. 10/
1992)
Keluarga berencana adalah tindakan yang membantu individu atau pasangan
suami istri untuk menghindari kelahiran yang tidak diinginkan, mendapatkan kelahiran
yang diinginkan, mengatur interval diantara kehamilan dan menentukan jumlah anak
dalam keluarga.(WHO, Expert Committe, 1970)
2. Safe Motherhood (Gerakan Sayang Ibu)
Pada dasawarsa terakhir ini, dunia internasional nampaknya benar- benar
terguncang. Bagaimana tidak jika setiap tahun hampir sekitar setengah juta warga
didunia harus menemui ajalnya karena persalinan. Dan nampaknya hal ini menarik
perhatian yang cukup besar sehingga di lakukannya berbagai usaha untuk
menanggulangi masalah kematian ibu ini.
Usaha tersebut terlihat dari beberapa program yang dilaksanakan oleh organisasi
internsional misalnya program menciptkan kehamilan yang lebih aman (making
pregnanci safer program) yang dilksanakn oleh WHO (World Health Organisation),
atau program gerakan sayang ibu (Safe Motherhood Program) yang dilaksanakan di
Indonesia sebagai salah satu rekomendasi dari konferensi internasional di Mesir, Kairo
tahun 1994. Selain usaha- usaha tersebut, ada pula beberapa konferensi internasional

Universitas Sumatera Utara

34

yang juga bertujuan untuk menurunkan angka kematian ibu seperti Internasional
Conference on Population and Development, di Cairo, 1994 dan the World Conference
on Women, di Beijing, 1995. (Rahima; Pusat Pendidikan dan Informasi Islam dan Hakhak perempuan, 2001).
Pemerintah Indonesia dan UNICEF telah membuat kesepakatan untuk
menurunkan tingkat kematian ibu di indonesia yang merupakan prioritas nomer satu
dalam persetujuan kerjasamanya. Aus AID mendanai program Safe Motherhood di
empat provinsi dengan tingkat kematian ibu yang tinggi dan tidak dapet ditolerir, yaitu
Jawa Barat, Banten, Sumatera Utara, Maluku, dan Papua.
Menaggapi tingginya tingkat kematan ibu melahirkan di provinsi- provinsi
tersebut, program safe motherhood ditujukan untuk memperkuat kapasitas masyarakat
dan dinas- dinas pemerintah di tingkat kabupaten dan yang lebih rendah, sehingga dapat
mengurangi tingkat kematian ibu, bayi dan balita.
3. Making Pregnancy Safer (MPS)
Di Indonesia angka kematian maternal dan neonatal saat ini masih tinggi maka
dicanangkan making pregnancy safer (MPS) dan menigkatkan dalam pelayanan dalam
pemeriksaan kehamilan. Pemeriksan kehamilan sangat penting untuk memantau
kehamilan dan mendeteksi secar dini adanya resiko dalam kehamilan, sehingga di
harapkan adaya pengetahuan dalam pemeriksaan kehamilan.
MPS bertujuan untuk menjamin agar Safe Motherhood tetap merupakan
prioritas dalam agenda kesehatan dan pembangunan. Secara luas tujuan pragram safe
motherhood

sama

dengan

making

pregnancy saver,

yaitu

melindungi

dan

Universitas Sumatera Utara

35

mempromosikan hak reproduksi dan hak asasi manusia dengan cara mengurangi beban
global dari kesakitan, kecatatan dan kematian sebagai akibat dari kehamilan,persalinan
dan nifas. Namun making pregnancy safer WHO mengutamakan upaya sektor
kesehatan, dengan memfokus pada intervensi yang efektif berdasarkan bukti- bukti
ilmiah.
Making pregnancy safer merupakan program pemerintah dalam peningkatan
jumlah kelahiran yang dibantu oleh tenaga kesehatan, penyiapan sistem rujukan dalam
penanganan komplikasi kehamilan, persiapan keluarga dan suami siaga dalam
menyongsong kelahiran yang semuanya itu bertujuan untuk mengurangi angka
kematian ibu (AKI) dan meningkatkan derajat kesehatan reproduksi. Peningkatan
kesehatan ibu dan bayi di Indonesia adalah salah satu komitmen Departemen Kesehatan
melalui penerapan Rencana Pengurangan Angka Kematian dan Kesakitan Ibu dan Bayi.
4. PIK KRR (Pusat Informasi dan Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja)
Yaitu suatu wadah yang dikelola dari.oleh untuk remaja dalam memeperoleh
informasi dan pelayanan konseli KRR . PIK KIR ini merupakan langkahlangkah operasional menuju tegar remaja ,yaitu remaja yang berperilaku sehat
,terhindar dari resiko TRIAD KRR (seksualitas ,HIV/AIDS,NAPZA), mau menunda
usia pernikahan hingga memasuki usia ideal perkawinan (20 bagi wanita dan 25 bagi
pria), bercita-cita mewujudkan keluarga kcil bahagia sejahtera ,serta mau menjadi
contoh, model, idola, dan sumber informasi bagi teman sbayanya. Dengan demikian ,
PIK KRR yang menggunakan pendekatan kelompok sebaya (per group) ini diyakini
mampu secara efektif mencegah seks bebas pada remaja

Universitas Sumatera Utara

36

2.4 Suku Melayu
Suku melayu di Sumatera Utara berdomisili di pesisir timur Provinsi Sumatera
Utara. Di pesisir timur Sumatera Utara daerah hunian masyarakat melayu adalah
sepanjang daerah pantai sehingga pada zaman dahulu orang Belanda menyebutnya
dengan “de Doskusters”. Kawasan hunian merupakan daerah-daerah yang pada sejarah
lampau terdapat kerajaan-kerajaan (Sinar, 2002)
Suku melayu mempunyai beragam budaya. Kebudayaan itu adalah segala
sesuatu yang dipelajari dari pola-pola perilaku yang normatif, artinya mencakup segala
cara-cara atau pola-pola berfikir, merasakan, dan bertindak yang membentuk pola
perilaku dan struktur sosial masyarakat. Bahasa merupakan hasil dari kebudayaan,
karena bahasa merupakan hasil karya manusia, karya tersebut dipakai terus-menerus
sampai sekarang dan akhirnya menjadi suatu kebiasaan.
Pada umumnya masyarakat melayu banyak mendiami daerah pesisir pantai, dan
mata pencaharian penduduknya sebagian besar adalah nelayan. Masyarakat melayu
selalu hidup tolong-menolong, bekerja berkelompok, dan bekerja sama. Hidup saling
membantu masih menjadi budaya dalam kehidupan mereka. Dari kehidupan mereka
yang seperti itu, muncul satu pepatah “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”,
relevan dengan pepatah Dayak Ngaju “Beberat sama metue, mahiang sama mimbing”
(Iper, 1997).
Masyarakat Melayu Serdang adalah masyarakat yang beradat. Adat dilakukan
oleh orang yang dituakan dan dihormati. Orang yang dituakan adalah orang yang dinilai
adil, jujur, bijaksana, berani, sabar, pandai, cerdik dan dapat menghargai pendapat orang

Universitas Sumatera Utara

37

lain. Semua kegiatan dilakukan berdasarkan adat yang sudah lama ada di kehidupan
masyarakat melayu (Sinar, 2002).

Universitas Sumatera Utara

38

2.6. Kerangka Teori
Dalam penelitian ini mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Lawrence Green
(1980) bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh 3 (tiga) faktor utama yaitu, faktor
predisposisi, faktor pendukung dan faktor pendorong. Faktor predisposisi (predisposing
factor) meliputi: pengetahuan, sikap, keyakinan, nilai dan lain-lain. Faktor pemungkin
(enabling factor) meliputi: ketersediaan sumber daya kesehatan, keterjangkauan sumber
daya kesehatan, dan lain-lain. Faktor penguat (reinforcing factor) meliputi: sikap dan
perilaku petugas kesehatan, keluarga, teman, tokoh masyarakat yang berkaitan dengan
mendorong atau melemahnya perilaku kesehatan.
FAKTOR PREDISPOSISI
Pengetahuan, sikap,
kepercayaan, nilai, dll

FAKTOR PEMUNGKIN
Ketersediaan sumber daya
kesehatan,
keterjangkauan
sumber daya
kesehatan

Perilaku Manusia

FAKTOR PENDORONG
Sikap dan perilaku petugas
kesehatan, keluarga,
teman, tokoh
masyarakat yang
berkaitan dengan
mendorong atau
Gambar 2.1. Kerangka Teori Perilaku Green

Universitas Sumatera Utara

39

2.7. Kerangka Konsep
Adapun kerangka konsep dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Variabel Independen
PREDISPOSISI



Umur



Pendidikan



Pekerjaan



Paritas



Pengetahuan



Sikap



Nilai-nilai



PEMUNGKIN
Keberadaan Tenaga
Penolong Persalinan



Variabel Dependen

Pertolongan
Persalinan

Akses Palayanan
Kesehatan



PENDORONG
Keluarga



Teman

Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian

Universitas Sumatera Utara

40

Keterangan :
Untuk mengungkap gambaran perilaku ibu bersalin dalam memilih pertolongan
persalinan, maka kerangka konsep yang digunakan adalah teori Green (1980), bahwa
faktor predisposisi yang meliputi pengetahuan, sikap, dan nilai-nilai, umur, pendidikan,
pekerjaan dan paritas, faktor pemungkin meliputi keberadaan tenaga penolong
persalinan dan akses pelayanan kesehatan serta faktor penguat dimana keluarga dan
teman akan dapat mempengaruhi ibu dalam memilih tenaga penolong persalinannya.

Universitas Sumatera Utara