Persepsi Perempuan Minang Pariaman Tentang Tradisi Uang Jemputan Dalam Adat Perkawinan (Studi Kasus Pada Perempuan Minang Pariaman Yang Lahir Dan Besar Di Kota Medan)

GLOSARI

1. Mamak: paman atau saudara laki-laki dari ibu.
2. Anak Daro: mempelai wanita.
3. Marapulai: mempelai pria.
4. Urang Sumando: orang semenda atau orang yang datang ke keluarga istri.
5. Manjapuik Marapulai: tradisi penjemputan mempelai pria untuk dibawa ke
tempat mempelai wanita yang sedang melaksanakan pesta perkawinan.
6. Baralek Gadang: perhelatan atau pesta perkawinan.
7. Uang jemputan atau uang japuik: pemberian sejumlah uang dari pihak
keluarga perempuan, kepada pihak keluarga laki-laki sebagai syarat
terjadinya perkawinan.
8. Panibo: Pembalasan atau pengembalian uang jemputan oleh pihak keluarga
laki-laki, dengan memberikan emas atau benda berharga lainnya kepada
mempelai wanita, pada saat mengunjungi mertua (manjalang mintuo) untuk
pertama kalinya.
9. Manjalang Mintuo: mengunjungi mertua (orang tua dari pengantin pria).

Universitas Sumatera Utara

LAMPIRAN 2

DAFTAR PEDOMAN WAWANCARA
Persepsi Perempuan Minang Pariaman Tentang Tradisi Uang
Jemputan Dalam Adat Perkawinan
(Studi Kasus pada perempuan Minang Pariaman yang Lahir dan
Besar Di Kota Medan)
A. Karakteristik Umum
1. Nama

:

2. Nama Panggilan

:

3. Usia

:

4. Suku Pasangan


:

5. Pendidikan

:

6. Pekerjaan

:

7. Alamat

:

B. Daftar Pedoman Wawancara
1. Pandangan Dunia.
1.1.Agama/Sistem Kepercayaan.
1.1.(a).Pandangan mengenai unsur agama/kepercayaan yang terkandung
dalam tradisi uang jemputan.
1.1.(b).Pandangan mengenai pelaksanaan tradisi uang jemputan sebagai

syarat terjadinya perkawinan dalam adat Pariaman.
1.2.Nilai-nilai.
1.2.(a).Pandangan mengenai nilai-nilai budaya yang diwariskan generasi
terdahulu dalam tradisi uang jemputan.

Universitas Sumatera Utara

1.2.(b).Pandangan

mengenai

penerapan

nilai-nilai

budaya

dalam

pelaksanaan tradisi uang jemputan saat ini.

1.3. Sikap
1.3.(a).Sumber pemahaman tentang tradisi uang jemputan.
1.3.(b).Sikap tentang tradisi uang jemputan dalam urusan perjodohan.
1.3.(c).Keputusan dalam memilih jodoh.
2. Sistem Lambang (pesan verbal dan non verbal).
2.1.Proses komunikasi dalam upaya transmisi nilai-nilai budaya pada tradisi
uang jemputan melalui percakapan di dalam keluarga.
2.2. Penggunaan bahasa Minang dalam keluarga.
2.3. Alasan menolak atau menerima perjodohan dengan laki-laki dari sesama
suku Minang Pariaman.
3. Organisasi Sosial.
3.1.Peranan keluarga (mamak atau orang tua) dalam mentransmisikan nilainilai tradisi uang jemputan dan menyangkut urusan pemilihan jodoh.
3.2.Peranan lingkungan sekitar dalam pemahaman tradisi uang jemputan.

Universitas Sumatera Utara

LAMPIRAN 3
BIODATA INFORMAN UTAMA
Informan 1
1. Nama


: Dian Aggraini (Dian)

2. Tempat/Tanggal Lahir

: Medan, 26 Juni 1980

3. Status

: Menikah

4. Pendidikan

: S1

5. Pekerjaan

: Wirausaha

6. Alamat


: Jl. Sutrisno Gg. Dame No. 15 Medan

7. No. HP

: 0813616321xx

Informan 2
1. Nama

: Leni Muhafida (Leni)

2. Tempat/Tanggal Lahir

: Medan, 24 Oktober 1985

3. Suku Pasangan

: Minang Pariaman


4. Pendidikan

: S1

5. Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

6. Alamat

: Jl. Denai Gg. Mesjid No. 1 Medan

7. No. HP

: 0852701432xx

Informan 3
1. Nama

: Rinawati (Rina)


2. Tempat/Tanggal Lahir

: Medan, 27 Juli 1981

3. Status

: Menikah

4. Pendidikan

: Mahasiswa Pasca Sarjana Keperawatan USU

5. Pekerjaan

: Dosen

6. Alamat

: Jl. Denai/Jl. Rawa Gg. Durian No. – Medan


7. No. HP

: 0813626664xx.

Universitas Sumatera Utara

Informan 4
1. Nama

: Syarmawati (Netty)

2. Tempat/Tanggal Lahir

: Medan, 02 Juni 1959

3. Status

: Menikah


4. Pendidikan

: D3

5. Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

6. Alamat

: Jl. Pintu Air IV Perum. Poltek No. 27 Medan

7. No. HP

: 0813756768xx

Informan 5
1. Nama

: Yunita Handayani (Ita)


2. Tempat/Tanggal Lahir

: Medan, 05 Juni 1995

3. Status

: Menikah

4. Pendidikan

: SMP

5. Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

6. Alamat

: Jl. Pertiwi Gg. Ayahanda No. 12/A Medan

7. No. HP

: 0813619186xx

Informan 6
1. Nama

: Dedek Karmila (Dedek)

2. Tempat/Tanggal Lahir

: Medan, 04 November 1982

3. Status

: Menikah

4. Pendidikan

: D3

5. Pekerjaan

: Karyawan BPDSU (Bank SUMUT)

6. Alamat

: Jl. Tangguk Bongkar No. 68 Mandala by Pass

7. No. Hp

: 0813612784xx

Universitas Sumatera Utara

Informan 7
1. Nama

: Nurhayati (Nur)

2. Tempat/Tanggal Lahir

: Medan, 25 Juli 1962

3. Status

: Menikah

4. Pendidikan

: SMP

5. Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

6. Alamat

: Jl. Pertiwi Gg. Ayahanda No. 12/A Medan

7. No. HP

:-

Informan 8
1. Nama

: Shanti Nazir

2. Tempat/Tanggal Lahir

: Medan, 03 Januari 1982

3. Status

: Menikah

4. Pendidikan

: S1

5. Pekerjaan

: Karyawan Swasta

6. Alamat

: Jl. Bromo Gg. Panjang No. 2 Medan

7. No. HP

: 0812692150xx

Universitas Sumatera Utara

LAMPIRAN 4
BIODATA INFORMAN TAMBAHAN
Informan Tambahan 1
1. Nama

: H.M. Ridwan

2. Tempat/Tanggal Lahir

: Siantar, 17 Januari 1955

3. Jenis Kelamin

: Laki-laki

4. Suku Pasangan

: Minang bukan Pariaman

5. Pendidikan

: S2

6. Pekerjaan

: Dosen FKIP UMSU

7. Alamat

: Jl. Mantri No. 34/A Kel. Kp. Aur Medan

8. No. HP

: 081263906111

Informan Tambahan 2
1. Nama

: Sutan Alamsyah Guci

2. Tempat/Tanggal Lahir

: Pariaman, 15 Februari 1948

3. Suku Pasangan

: Minang Pariaman

4. Pendidikan

: SD

5. Pekerjaan

: Wiraswasta

6. Alamat

: Jl. Suka Budi No. 4 Simp. Limun Medan

7. No. HP

: 081376947223

Informan Tambahan 3
1. Nama

: Chalida Fachruddin

2. Tempat/Tanggal Lahir

: Pematang Siantar, 24 Oktober 1941

3. Suku Pasangan

: Minang bukan Pariaman

4. Pendidikan

: S3

5. Pekerjaan

: Pensiunan Guru Besar Antropolgi FISIP USU

6. Alamat

: Jl. Setia Budi No. 74/D Kel. Tg. Rejo Medan.

7. No. HP

: 081375451355

Universitas Sumatera Utara

Informan Tambahan 4
1. Nama

: Usman Pelly

2. Tempat/Tanggal Lahir

: Lhokseumawe, 12 Juli 1938

3. Suku Pasangan

: Mandailing

4. Pendidikan

: S3

5. Pekerjaan

: Guru Besar Antropolgi UNIMED

6. Alamat

: Jl. Pelajar Ujung Komplek Perumahan Dosen

UNIMED
7. No. HP

: 0811612685

Universitas Sumatera Utara

LAMPIRAN 5
TRANSKRIP HASIL WAWANCARA INFORMAN
Informan 1: Dian Anggraini (35 Tahun)
1. Bagaimana pandangan Dian mengenai unsur agama dan sistem kepercayaan
dalam tradisi uang jemputan?
“Uang jemputan itu udah tradisi atau kebiasaan aja. Aku tanya sama
mamakku...mak kenapa kayak gitu, ya...kayak gitu juga yang terdahulu, kayak
gitu jugalah kita buat. Tapi yang pasti nggak bertentangan dia dengan
agama...tetap syariat Islam juga dijalankan dalam pernikahan. Uang jemputan
itu kan faktor kebiasaan aja. Enggak sia-sia kayak yang dibilang pepatah, adat
basandi syara', syara' basandi kitabullah...jadi sejalan dia. Istilahnya seperti
kita melamang, kita masak lemang berartikan kita bersedekah, bulan baik kita
bersedekah, manggil orang ke rumah...ngajak makan-makan".
2. Bagaimana menurut pandangan Dian mengenai nilai-nilai budaya yang ada
dalam tradisi uang jemputan?
“Untuk laki-laki aja kita kasi uang. Dian nggak tau uang itu balik sama kita
lagi. Bahkan bisa lebih...dikasi sama kita. Kalau suku lain itu cukup nggak
cukup, dicukup-cukupkan aja. Kalau orang Minang ini saling mendukung,
saling menutupi kekurangan. Istilahnya indak cukuik di ateh, cukuik di bawah
(tidak cukup diatas....cukup di bawah). Artinya saling menutupi...saling
membantulah”.
3. Jadi apakah Dian memahami bahwa tradisi tersebut berbalasan dan apa
pandangan Dian tentang nilai-nilai yang terkandung dalam pengembalian uang
jemputan tersebut?
“Makanya orang Pariaman bilang tau dek caro, tau dek adaik (tahu cara, tahu
adat). Kalau ke rumah mertua bawa buah tangan. Bicara itu nggak bisa asal
keluar aja, ada batasannya. Itu adab kepada mertua, soal balasan itu...misalnya
kita ngasi sama dia Rp 10 juta, pestalah di tempat laki-laki, dapatlah untung
paling banyak Rp. 5 juta misalnya, itu dibagi dua...dikasihlah kita Rp. 2,5 juta.
Kita kalau manjalang mintuo kan nginap 1 hari, habis tu kita pulang...pas kita
pulang itulah dikasi Rp. 2,5 Juta, tapi kita nanti di sana tau-tau udah dapat
cincin dari ipar-ipar kita, dapat gelang, kalung. Uang jemputan itu dibalas lagi
oleh keluarga laki-laki. Istilahnya semua itu hanya untuk mengisi adat ajanya
itu”.
4. Apakah tradisi uang jemputan yang berbalasan tersebut dilaksanakan hanya
pada pasangan yang dijodohkan dan bagaimana bila pasangan tersebut
berpacaran atau telah saling mengenal sebelum menikah?
“Istilahnya gini...kalau kita pacaran podo-podo, masing-masing aja gitu. Tapi
kalau dijodohkan enggaklah....harus ngikut adat. Udah diatur sama mamak
(paman) kita. Selama ini di Pariaman, mamak yang berkuasa atas
kemenakannya. Dulu pengantin nggak saling kenal, cuma kenal dipelaminan.
Sekarang harus lihat dulu orangnya, kalau nggak mau...kita bisa menolak.
1
Universitas Sumatera Utara

Kalau di Medan, banyak yang bermain dibalik layar. Ada kan gini...masih
ortodok lah orang tuanya, apalagi orang Pariaman sana. Kapan lagi kau balas
budi sama orang tua, kata orang tuanya. Jadi si laki-laki bilang sama pacarnya,
inilah abang kasih uang sama adek, adek kasihlah uang ini sama mamak abang.
Dibalik layar gitu.....untuk mengisi adat aja. Padahal uang itu dari laki-laki
juga, tapi kalau di kampung masih murni. Enggak usah jauh-jauh....aku sama
suamiku aja kayak gitu, makanya aku bisa cerita. Aku bukan dari keluarga
yang banyak duit juga, aku bilang aku begini....begini, sama suamiku. Jadinya
dia yang ngasi uang jemputan itu, terus dikasih aku duit untuk isi kamar sama
suamiku, orang Padang kan ngisi kamar harusnya kan orang tua kita yang
belikan”.
5. Bisa Dian menceritakan bagaimana Dian dan suami akhirnya menikah dan
diterpa tradisi uang jemputan?
“Dulu pernah beberapa kali pacaran dengan suku lain, nggak jodoh. Kalau
namanya orang Minang ini, orang tua sudah warning kan, oh...anakku udah
umur sekian. Ada pula orang Pariaman yang nanya Dian, jadi keluarga abang
(suami Dian) bilang sama mamak (ibu)...untuk apa capek-capek kali cari jodoh
mak tuo...ini ada ini, anak awak. Jadi orang tua menjodohkan Dian dengan
suami, kalau cocok silahkan, kalau nggak ya nggak apa-apa...kan tetap saudara.
Setelah menjalani, Dian tengok ada iuran...sebenarnya yang dirugikan itu
nggak ada, sebenarnya kembali lagi sama yang memberi uang jemputan itu”.
6. Seperti apa iuran yang Dian maksud dalam pelaksanaan tradisi uang jemputan
tersebut?
“Kalau di Medan ini, adanya tradisi baetong itulah yang meringankan, bahkan
ada dikutip dari rumah ke rumah, jadi datang nggak datang waktu pesta tetap
dikutip.....ada buku catatannya itu, makanya kalau mau pesta nggak boleh
bentrok dengan tujuan saling membantu, makanya orang Pariaman itu pestanya
jarang rugi”.
7. Apakah kesepakatan Dian dan suami tentang pemberian uang jemputan dan
perlengkapan kamar yang dilakukan oleh suami Dian tidak menyebabkan
konflik dalam keluarga?
“Taunya keluarga semua, nggak ada masalah. Mertuaku...ipar-iparku juga baik
kok sampai sekarang. Mungkin karena kami ada tutur saudara....jadi orang itu
udah kenal aku kayak mana orangnya. Akupun menilai suamiku itu baik
orangnya, makanya aku terima perjodohan keluarga itu kan. Buat apa kita
terima, kalau calonnya nggak bagus. Jadi semua itu tergantung sama pasangan
yang dinikahkan itu, kalau cocok jadikan. Iya kan....hehehee”.
8. Bagaimana pandangan Dian mengenai tradisi uang jemputan, sebelum
akhirnya Dian menikah dan menjalani tradisi tersebut?
“Dulu memang nggak suka, gini pikiran Dian kan...kalau uang jemputan untuk
sekarang ini, sempatlah posisi kita lagi susah gitu, berarti nggak kawinkawinlah kita. Kalau sempat orang tuanya minta uang jemputan banyak. Awak
nggak mau kawin sama orang Minang, eh...rupanya kawin sama orang Minang
juga, berarti kan kita nggak taulah kalau jodoh. Dulu sempat down juga karena

2
Universitas Sumatera Utara

pemikiran suku lain tentang uang jemputan, tapi setelah dijalani, rupanya adat
ini saling menghargai dan saling mendukung antarkeluarga”.
9. Apakah dalam perjodohan Dian dengan suami dahulu juga diprakarsai oleh
mamak (paman) dan bagaimana akhirnya Dian dijodohkan dengan suami yang
masih memiliki hubungan kerabat?
“Istilahnya udah ada perubahan...kalau dulu di kampung, paman yang berkuasa
mencarikan jodoh. Kalau di Medan, orang tualah yang berperan, mamak itu
hanya pelengkap aja. Saudara-saudaraku juga orang Pariaman....istilahnya dari
pada membesarkan kabau (kerbau) orang, lebih bagus kabau awak yang
dibesarkan. Saudara sendiri dinikahi...jadi uang jemputan itu nggak ke manamana. Dari pada anak orang, lebih bagus anak sendiri. Sama kayak orang
Batak pulang ke impal atau pariban gitulah...jadi harta tu, nggak ke manamana. Untuk keponakan akunya itu nanti, nggak apa-apalah dikasi berlebih”.
10. Apakah di dalam keluarga Dian, orang tua menganggap perlu mengajarkan
bahasa Minang kepada anak-anaknya?
“Perlu kalilah kita paham bahasa Minang tu, tengok orang China...di antara
orang pribumi aja nggak malu dia ngomong-ngomong pakai bahasa China
sama keluarganya, nggak peduli dia. Ini kita malu pula pakai bahasa
Minang...takut dibilang etek-eteklah. Kalau di keluarga Dian nggak ada itu,
orang tua selalu berbahasa Minang kalau di rumah, jadi terbiasa kami kan.
Kadang kami pakai bahasa Minang...kadang bahasa Indonesia, tapi kami
ngertilah bahasa Minang itu”.
11. Apakah menurut Dian memahami bahasa Minang, mempermudah kita dalam
mempelajari nilai-nilai budaya Minang?
“Tergantunglah....kalau orang tuanya mau ngasi pemahaman tentang adat itu,
bisalah anak-anaknya ngerti. Apalagi kalau anaknya aktif bertanya tentang adat
istiadat sukunya. Tapi biasanya kalau bahasa daerah aja nggak mau diajarkan
di rumah, apalagi untuk memberi tahu soal adat Minang itu, ya...anak-anak
juga nggak open lah (tidak mau peduli) dengan adatnya. Kan banyak juga
istilah-istilah adat itu pakai bahasa Minang, harus paham kita itu. Misalnya
uang japuik...baetong, manjalang mintuo banyak lagi istilah-istilahnya itu”.
12. Bagaimana menurut pandangan Dian mengenai transmisi nilai-nilai budaya
pada tradisi uang jemputan perlu dilakukan kepada generasi muda mendatang?
“Dian rasa nilai-nilai budaya dari tradisi uang jemputan itu perlu diwariskan
kepada generasi-generasi muda, supaya bertahan adat istiadat Pariaman itukan,
jangan sampai punah. Kalau Dian sama suami sama-sama orang Pariaman,
anak kami juga perempuan...itu tergantung jodohnya, nggak adalah lagi
memang jamannya dijodoh-jodohkan. Tapi kalau dapat orang Pariaman,
ya....kita lihatlah kayak mana orangnya, pantas nggak dikasi uang jemputan.
Kalau mapan dia, terus baik pula keluarganya....cocoklah itu dikasi uang
jemputan. Tapi kalau pacaran orang itu, biasanya lebih longgar
adatnya...biasanya si laki-laki yang memberi uang jemputan itu”.

3
Universitas Sumatera Utara

13. Adakah proses transmisi nilai-nilai budaya dalam tradisi uang jemputan
tersebut dikomunikasikan dalam keluarga?
“Karena kita nggak tau apa makna sebenarnya...makanya kita memandang
negatif. Kawan-kawan sekolah dulu bilang, enaklah kau Dian ya...banyak duit,
nanti kalau kawin beli laki-laki. Malu awak dengarkannya ya kan. Jadi Dian
berfikir, memberatkan kali uang japuik itu. Orang tua Dian dulu...memang
nggak ngerti menjelaskan makna-makna tradisi ini kayak mana...tradisi ini
kayak mana, jadi awak pahamnya setelah menjalaninya ya kan”.
Informan 2 : Leni Muhafida (30 Tahun)
1. Bagaimana menurut Leni mengenai unsur agama dan sistem kepercayaan yang
terkandung dalam tradisi uang jemputan?
“Kalau secara agama, sebenarnya perempuan itu yang di pinang di kasih
mahar....tapi ku tengok orang Pariaman ini, laki-laki pula yang dipinangnya.
Secara agama kayaknya udah menyalah juga itu....adatnya udah bertentangan.
Soalnya lebih dimuliakan perempuan dalam pernikah itu ya kan...di beri mahar,
di beri uang pinangan”.
2. Menurut pandangan Leni mengapa tradisi uang jemputan itu masih
dipertahankan hingga saat ini?
“Kalau jaman dulu dengan adanya tradisi uang japuik itu, sistem kita kan
matrilineal, garis keturunan dari pihak ibu, kalau anak laki-laki itu merasa
bangga, merasa di hargai kalau di japuik itu. Tapi kalau nggak di japuik merasa
kayak nggak ada harga dirilah gitu. Sekarang ini masih ada juga kutenggok
yang memakai adat itu”.
3. Jadi menurut pandangan Leni nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi uang
jemputan adalah untuk menghargai posisi laki-laki?
“Mungkin laki-laki itu kepala rumah tangga, jadi nanti dialah yang memimpin
keluarga, anak istrinya. Jadi apabila dia di japuik ya kan, istilahnya uang japuik
itulah modalnya untuk memulai perkawinan. Itu udah bisa untuk sewa rumah
iya kan, mungkin kayak gitulah”.
4. Pernahkan Leni menyaksikan pelaksanaan tradisi uang jemputan pada pesta
pernikahan orang Minang Pariaman, sehingga menambah referensi Leni
tentang tradisi tersebut?
“Pamanku....Pak Adir namanya, dia itu kan.....diam-diam menambah uang
jemputan yang diminta keluarga sama keluarga istrinya. Waktu keluarga
tahu...mereka kurang suka. Kenapa Pak Adir itu pula yang ngasi uang japuik
itu, sebenarnya nggak gitu. Dulu itu wajib kali itu....kalau jaman sekarang
iyalah. Rumah tangganya sempat bermasalah juga, banyak keluarga yang
nggak senang, kenapa adat itu nggak dijalankan. Di balik itu separuh uang itu,
Pak Adir yang membantu.....jadi ketahuan sama keluarga. Harusnya perempuan
itu yang ngasi, menghargai paman kami itukan. Tapi ku dengar, karena
perempuan itu orang susah juga”.

4
Universitas Sumatera Utara

5. Kenapa rumah tangga mereka bermasalah dan apa alasan keluarga merasa
kurang suka dengan hal tersebut?
“Dulu itukan wajib ada tradisi uang jemputan itu...keluarga merasa Pak Adir
itu nggak dihargai keluarga istrinya. Jadi mereka merasa keluarga istrinya itu
nggak tau adatlah....masak nggak ada dihargai Pak Adir kami. Padahal yang
aku tahu keluarga perempuan itu orang susah jugalah. Tapi harusnya ada
kesepakatan keluarga....Pak Adir itu harus melunakkan keluarga, jadi nggak
ada masalah kan”.
“Pengalaman adikku menikah di kampung dulu. Adikku lulus Pegawai Negeri
Sipil (PNS) di Pariaman sebagai guru. Ada laki-laki...kerjanya wiraswasta gitu,
mau sama adikku si Zahra ini. Adikku bilang....aku orang susah katanya, nanti
orang tua abang minta uang japuik banyak-banyak pula. Karena si laki-laki itu
memang mau sama si Zahra, dia yang ngasi uang jemputan itu setengahnya.
Kalau dia cerita sama mamak (ibu)nya, dibilangnya gini, mak....orang tua si
Zahra sanggupnya cuma Rp. 5 juta, keluarga kita mintanya Rp. 10 juta. Mamak
si laki-laki bilang, ya udah tambahlah sama kau...kata mamaknya, kalau
mamak menambah nggak mungkin. Jadi nggak apa-apa sama mamak si lakilaki itu, karena keluarga laki-lakinya suka juga melihat si Zahra itu. Orang
tuanya guru Pegawai Negeri Sipil (PNS) juga disana, jadi sikap si laki-laki itu
menghormati adat”.
6. Bagaimana menurut pandangan Leni pelaksanaan tradisi uang jemputan pada
masa sekarang ini?
“Kalau jaman sekarang....kayaknya ini ya kan, udah nggak sesuai lagi. Orang
sekarang pun...kayaknya udah banyak yang nggak mengikuti tradisi Minang
ini....udah banyak bergeser. Mungkin dari segi agama, orang udah tau dalam
agama yang dipinang itu perempuan. Jaman sekarang udah modern...orang
udah banyak pengetahuannya, ilmu orang udah bertambah. Nilai-nilai budaya
lama itu udah banyak yang ditinggalkan. Kenapa harus ada uang japuik....awak
susah manjapuik pula. Kalau bisa nggak usah nyari orang yang bajapuik itu.
Kita kan maunya kayak gitu ya kan....pasti kebanyakan orang kayak gitu”.
7. Leni menikah dengan sesama orang Minang Pariaman dan menjalani tradisi
uang jemputan. Kalau sebelumnya sikap Leni menolak tradisi tersebut,
mengapa akhirnya Leni menerima untuk menjalani tradisi tersebut?
“Mungkin udah jodoh ya, kalau bisa jangan menikah sama orang yang di
japuik, ternyata...dapat jodohnya gitu. Aku memang nggak pandai pacarpacaran, terakhir ya udah....dijodohin orang tua jadinya. Karena kutengok
orangnya baik, jadi aku terima, apalagi mamak udah resah anak gadisnya
nggak kawin-kawin. Karena memang kami ada tutur saudaranya, makanya
keluarga suamiku tahu keadaan kami...nggak minta banyak-banyak orang itu.
Kalau katanya uang japuik itu ada di balas keluarga laki-laki....siap aku nikah
dulu, ada juga ke rumah saudara-saudara suami....tapi mana ada di kasi-kasi
gitu, malah kita yang wajib bawa buah tangan ke rumah orang itu”.
8. Apakah Leni memahami bahwa tradisi uang jemputan itu berbalasan, di mana
pemberian uang jemputan itu nanti dibalikkan lagi oleh mertua kepada

5
Universitas Sumatera Utara

perempuan berupa perhiasan atau benda-benda berharga lainnya yang disebut
panibo. Leni memutuskan menikah dengan laki-laki dari sesama suku,
harusnya menerima pengembalian itu?
“Mungkin udah jodoh ya, kalau bisa jangan menikah sama orang yang di japuik,
ternyata...dapat jodohnya itu. Aku memang nggak pandai pacar-pacaran, terakhir
ya udah....dijodohin orang tua jadinya. Karena ku tengok orangnya baik, jadi aku
terima, apalagi mamak udah resah aku nggak kawin-kawin. Siap aku nikah dulu,
ada juga aku ke rumah saudara-saudara suami....tapi nggak ada di kasi-kasi gitu,
malah kita yang wajib bawa buah tangan ke rumah orang itu, keluar uang lagi
jadinya kan”.
9. Apakah saat menikah dan menjalani tradisi uang jemputan itu, Leni merasa
dipaksa oleh keluarga?
“Paksaan keluarga memang nggak ada soal jodoh, kalau orang tua maunya
sesama orang Minang juga, karena sama-sama satu budaya. Kalau sama orang
luar kan kurang ngerti kita adatnya. Suamiku itu ada tutur saudara dengan aku,
dia anak dari ungku (kakek) sama kami. Jadi tuturnya dia itu pamanku...tapi
saudara jauhlah gitu. Kami dikenalkan dulu, terus merasa cocok.....akhirnya
menikah. Waktu pernikahanku itu, sebenarnya aku nggak mau ada uang japuik,
masing-masing aja. Aku pesta, keluargaku yang keluar biaya. Dia pesta, dia
juga yang keluar biaya. Tapi waktu itu sempat berdebat juga iya kan...dari
mana dicari uang japuik itu, sementara ayahku udah meninggal tahun 2005,
aku menikah akhir tahun 2011. Keluarganya tetap minta ada juga uang japuik,
itulah mungkin merasa nggak dihargai orang itu kalau nggak dijapuik.
Makanya keluargaku ngasi juga...cuma mereka ngerti keadaan kami, mereka
minta nggak banyak-banyak...sebagai syarat ngisi adat aja. Waktu itu diminta
merekalah Rp. 1 Juta uang japuiknya”.
10. Apakah ada peranan mamak (paman) Leni dalam perjodohan dengan uang
jemputan tersebut?
“Karena ayahku udah meninggal, jadi kami kan dua perempuan lagi yang
belum menikah, aku sama adikku si May yang masih kuliah dulu, tapi sekarang
udah nikah juga dia. Makanya mamak-mamak (paman) akulah yang diminta
bantuannya sama mamakku (ibuku) untuk ngurusin pernikahan kami. Tapi adat
itu nggak terlalu dipakai kali....nggak terlalu ketat”.
11. Setelah menikah dan menjalani tradisi tersebut, apakah Leni mengalami
perubahan sikap dalam mempersepsikan tradisi uang jemputan?
“Sebenarnya mengisi adat ajanya itu....kalau boleh nggak usahlah pake-pake
uang jempuatan itu. Aku fikir...memang abang itu jodoh aku, udah cocok pula
sama dia. Apalagi aku nggak ada pilihan lain...karena nggak minta banyakbanyak orang itu, ya udahlah....dikasi. Kalau perubahan sikap nggak ada
ya....aku anggap untuk ngisi adat ajanya itu”.
12. Bagaimana pandangan Leni mengenai transmisi nilai-nilai budaya dalam
tradisi uang jemputan oleh keluarga kepada generasi muda Minang saat ini dan
apakah Leni nantinya akan melestarikan tradisi tersebut pada perjodohan anakanak Leni kelak?

6
Universitas Sumatera Utara

”Kalau mamak (ibu) aku dulu, nggak ada itu....secara khusus ngasi tahu tentang
makna uang japuik. Makanya dulu waktu kuliah, kawan-kawan bilang....kayak
gitulah kalian ya Len, kalau kawin ngasi duit sama laki-lakinya. Aku jadi
nggak suka dengarnya....malu aja. Kalau laki-laki ngasi uang pinangan itu kan,
kayak menunjukkan tanggung jawabnya sama kita. Kalau nanti aku punya
anakpun...misalnya dapat orang Pariaman, nggak usahlah pakai uang japuik
itu”.
13. Apakah orang tua Leni membiasakan berbahasa Minang di dalam
berkomunikasi sehari-hari?
“Oooh...selalu, apalagi kalau merepet...lancarlah bahasa Minangnya itu. Aku
pandai juga sedikit-sedikit bahasa Minang, tapi nggak terlalu lancar. Tapi kalau
dengar orang ngomong pakai bahasa Minang...aku ngertilah”,
14. Jadi, menurut pandangan Leni yang lebih berperan dalam perjodohan adalah
mamak atau paman?
“Karena ayahku udah meninggal, jadi kami kan dua perempuan lagi yang
belum menikah, aku sama adikku si May yang masih kuliah dulu, tapi sekarang
udah nikah juga dia. Makanya mamak-mamak (paman) aku lah yang diminta
bantuannya sama mamakku (ibuku) untuk ngurusin pernikahan kami. Tapi adat
itu nggak terlalu dipakai kali....nggak terlalu ketat. Uang japuik itu juga
mamakku kok yang menyediakan...paman-paman itu cuma membantu pesta
aja”.
Informan 3: Rinawati (34 Tahun)
1. Bagaimana menurut pandangan Rina mengenai unsur agama dan sistem
kepercayaan dalam tradisi uang jemputan?
“Kalau menurut persepsi Rina, tradisi uang jemputan itu nggak ada
masalah...karena kan di dalam tradisi itu tidak ada bertentangan dengan agama.
Istilahnya itu kesepakatan dari kedua belah pihak aja. Jadi nggak ada yang
dirugikan kalau kedua belah pihak sepakat, yang jadi masalah mungkin
kan..kalau udah memberatkan bagi satu pihak. Sama kayak suku Batak, anak
perempuan menjadi tanggung jawab suaminya, makanya harta untuk anak lakilakinya. Sebaliknya suku Minang, anak laki-laki dianggap mampu menghidupi
dirinya sendiri, kalau perempuan itu kan makhluk yang lemah, jadi perempuan
itu yang harus dikasi persediaan gitu. Nggak usahlah dulu masalah perceraian,
misalnya ditinggal mati oleh suaminya....terus banyak pula anaknya, sama apa
mau dihidupinya anaknya itu”.
2. Menurut pandangan Rina nilai-nilai apa yang ingin diwariskan generasi
terdahulu dalam tradisi uang jemputan tersebut?
“Istilahnya uang jemputan itu menunjukkan harkat atau martabat dari si pihak
laki-laki. Suatu kebanggaan bagi orang tuanya kalau anaknya itu diberikan
uang, jadi itu sebagai pengganti untuk menjaga anak perempuannya juga. Uang
jemputan itu dapat dijadikan modal usaha dalam kehidupan rumah tangganya”.

7
Universitas Sumatera Utara

“Kalau menikah itu kan perempuan itu memberi uang jemputan, biaya pesta
semuanya dia yang persiapkan. Jadi di akhir pesta nanti ada acara di mana
pihak keluarga perempuan semacam mendonor gitu...itu yang dimaksud malam
baetong itu. Itu dilaksanakan di tempat perempuan, kalau di tempat laki-laki
nggak ada lagi tradisi baetong itu, paling cuma meresepsikan
aja...memperkenalkan menantu baru dalam keluarga”.
3. Apakah Rina juga mengetahui kalau tradisi uang jemputan tersebut dibalas
oleh pihak laki-laki dalam bentuk panibo?
“Setahu Rina....perempuan itu ngasi uang jemputan, ada lah dikasi lagi sama
pihak laki-laki, itulah yang sering disebut panibo. Kalau siap nikah...kita pergi
ke tempat mertua, itu biasanya mertua itu ngasi lagi tu....berupa perhiasan atau
pakaian baru. Tapi kalau uang hilang itu salah...itulah yang sering dibilang
orang bara uang ilangnyo? (berapa uang hilangnya?). Uang itu untuk laki-laki
atau keluarganya semua, nggak ada dibalikkan lagi sama perempuan. Tapi
orang lebih sering mengatakannya uang hilang, bukan uang jemputan. Kalau di
kampung mamak (ibu) Rina, orang sering itu bilang....oh enaklah anaknya
dikasi uang hilang Rp. 40 juta, gitu misalnya ”.
4. Menurut Rina apakah tradisi uang jemputan saat ini masih dilaksanakan sesuai
makna yang sebenarnya?
“Tapi sekarang udah jarang terjadilah uang jemputan itu, kalau yang Rina lihat
dari segi pendidikan, orang sekarang udah semakin berfikir...udah berbaur
sama suku-suku lain. Kalau soal uang jemputan itu...dikaitkan lagi dengan
unsur agama tadi kan...bukan menjadi wajib dalam agama kita uang jemputan
itu. Kalau Rina aja...menurut Rina yang penting kita hidup inikan agama yang
kita perhatikan. Kalau nggak melanggar agama, kenapa nggak.....gitu. Tapi
yang pentingkan saling mencintai, apa salahnya nggak ada uang jemputan”.
5. Pernahkan Rina memiliki pengalaman mengenai perjodohan dengan tradisi
uang jemputan?
“Di Padang dulu...Rina pernah dijodohkan sama mamak (paman) Rina dengan
polisi militer. Tapi kurang suka Rina lihatnya....Rina tolak, karena kurang suka
sama orang militer gitu. Akhirnya dijodohkanlah laki-laki itu sama saudara
Rina, dia tamat SMA cuma....tapi keluarganya kaya, bisa ngasi uang jemputan
banyak...padahal waktu sama Rina, dia nggak minta banyak-banyak. Sama
keluarga saudara Rina tadi...mereka rela ngasi uang jemputan banyak, karena
senang dapat menantu orang militer. Waktu tahun 2000 itu...dijemputlah lakilaki itu Rp. 40 juta, udah banyak kali itu....waktu itu”.
6. Mengapa Rina menolak dijodohkan keluarga?
“Kayak mana ya....polisi ini kan kebanyakan bangga dia jadi polisi, jadi bukan
lagi mengayomi masyarakat, tapi malah menakut-nakuti masyarakat kerjanya.
Apalagi orang Pariaman pula abang itu....Rina juga belum siap aja untuk
menikah waktu itu, masih pengen kuliah. Itulah makanya Rina ke
Medan....melanjutkan kuliah”.

8
Universitas Sumatera Utara

7. Apa penilaian Rina tentang laki-laki Pariaman dan apakah Rina akan menerima
nilai-nilai luhur yang terkandung pada tradisi uang jemputan dalam pernikahan
Rina?
“Rina memilih jodoh nggak ada hubungannya dengan uang hilang atau uang
jemputan itu, memang sih ada stigma yang nggak suka Rina melihat laki-laki
Pariaman ini. Ketidaksukaan Rina karena kebanyakan yang Rina lihat, nggak
di kota.....nggak di kampung, laki-laki Pariaman ini suka kali duduk-duduk di
lapau atau kedai kopi gitu...nggak suka aja nengoknya. Macamnya malas kerja
jadinya....walaupun dia kerja gitu, tetap aja mesti kali nongkrong-nongkrong di
kedai kopi, nanti pulangnya malam-malam...gedor-gedor pintu, kan capeklah
istrinya itu bukakan pintu, ganggu tetangga lagi. Kalau mau bersosialisasi sama
kawan-kawannya, kan...nggak harus di kedai kopi. Kalau udah di kedai kopi
taulah...ngomongnya ngawur aja, memang belum tentu dia mabukmabukkan...tapi nggak bermanfaat aja menurut Rina”.
8. Sebenarnya bagaimana pandangan Rina tentang nilai-nilai yang terkandung
dalam tradisi uang jemputan?
“Kalau tradisi uang jemputan itu......Rina nilainya positif kali.
Lantaran...perempuan itu dalam agama kan harus dilindungi, yang salah itu
kalau dipaksa, padahal mereka nggak mampu. Kalaupun dikasi uang
jemputan...bukan untuk modal mereka, malah sama orang tuanya. Nah...itu
yang menjadi kurang enaknya. Tapi Rina menganggap memanglah semua suku
itu kalau dilihat-lihat punya kekurangan, cuma mungkin karena Rina berbaur
sama orang Minang, sering lihat kayak gitu...menurut Rina kalau nanti kita
menikah sama orang Minang atau sama suku lain, kita harus memikirkan bisa
nggak kita menerima sesuatu yang nggak kita sukai dari suami kita itu
nantinya. Rina memang nggak siap menerima laki-laki yang suka duduk-duduk
di kedai kopi, kesannya kayak pemalas aja gitu...karena kebanyakan Rina
temui itu seperti itu”.
9. Rina menikah dengan orang Melayu, pernah nggak Rina tahu bahwa ada
stigma negatif tentang suku Melayu dan bagaimana akhirnya Rina memilih
menikah dengan laki-laki dari suku Melayu tersebut?
“Karena udah jodohnya....selama ini Rina tau bahwa stigma orang juga negatif
tentang suku Melayu, katanya orang Melayu itu pemalas. Tapi Rina belum
pernah pula lihat langsung kayak gitu...kalau kebiasaan laki-laki Pariaman itu
memang Rina lihat sendiri. Sebenarnya orang itu nggak bisa dilihat prilakunya
dari sukunya, tergantung kepribadian orangnya juga. Waktu kenal sama suami,
kami nggak ada pacaran-pacaran, Rina berteman sama dia...sering main ke
rumahnya. Dari situ Rina menilai kayak mana keluarganya, kepribadiaannya
juga. Terus yang paling Rina suka....ayahnya itu penyayang, udah nampak
sebelum kami menikahpun, apalagi setelah menikah ini.....kalau Rina senang
mertua itu sayang sama kita. Sifat malas itu juga nggak Rina temukan sama
suami”.
10. Tadi Rina menilai tradisi uang jemputan itu positif, bagaimana pandangan Rina
mengenai transmisi nilai-nilai luhur pada tradisi uang jemputan perlu

9
Universitas Sumatera Utara

dilestarikan kepada generasi muda Minang Pariaman, sedangkan Rina sendiri
menikah dengan laki-laki di luar suku Minang Pariaman?
“Kayak yang Rina bilang, tradisi uang jemputan Rina menilainya bagus kali
kalau betul-betul dilaksanakan sesuai makna yang sebenarnya ya. Sebagai
bentuk melindungi perempuan...ngasi modal berumah tangga buat mereka yang
dinikahkan. Kalau mungkin Rina kenal laki-laki Pariaman yang berbeda dari
laki-laki Pariaman kebanyakan yang Rina tengok, mungkin bisa jadi Rina sama
dia, tapi jodohnya ya...sama orang Melayu pula, iya kan. Memang Rina akui
stigma negatif tentang kebiasaan laki-laki Pariaman itu cukup membuat apa
ya...iya nggak suka aja. Nggak ada hubungannya dengan tradisi uang
jemputan...tapi kalau nggak ikut melestarikan adat itu, karena menikah dengan
suku lain....iya lah Rina akui”.
11. Bagaimana pandangan Rina tentang pewarisan nilai-nilai luhur dalam tradisi
uang jemputan tersebut kepada anak-anak Rina nanti?
“Makin tinggi pendidikan anak kan...makin berubah pola fikirnya, menikah itu
kan yang penting hukum agama yang dijalankan, nggak harus ada uang
jemputan kan. Tapi Rina juga akan menjelaskan sama anak-anak Rina nanti
apa makna tradisi uang jemputan dalam adat perkawinan Pariaman itu. Cuma
nggak ikut campurlah orang tua kalau urusan jodoh anak-anaknya. Kalau
misalnya ketemu pula jodoh orang Pariaman, misalnya mintalah mereka adat
itu dijalankan....kalau sesuai makna yang sebenarnya, dan yang paling penting
bagus pula calon menantu itu kenapa nggak dilaksanakan. Itu tergantung
situasional juganya itu”.
12. Apakah bahasa Minang diajarkan oleh orang tua Rina dirumah dan apakah ada
pengaruhnya memahami bahasa Minang dengan kemudahan memahami
budaya Minang?
“Nggak ada pengaruhnya menurut Rina, intinya bukan masalah bahasa, yang
penting...kayak mana keluarga mengkomunikasikannya. Salah satu fungsi
keluarga kan.....mentransmisikan nilai-nilai budaya kepada anak-anaknya,
contohnya...kalau tiap hari berbahasa daerah pun di rumah, tapi kalau anakanaknya nggak mau tau dan orang tuanya juga nggak ngasi tau....nggak bisa
juga kan. Ayah Rina nggak pernah bahasa Minang sama anak-anaknya, tapi
kalau mamak iya....kalau Rina, nggak nanya-nanya dan ayahpun nggak
menjelaskan makna tradisi uang jemputan, nggak ngerti juga kan.
Lihatlah...orang-orang dari kampung itu....merantau ke Medan dia, malah malu
dia berbahasa Minang, sok bahasa Indonesia pula dia, kalau orang Minang
bilang....ongeh (sombong)lah gitu, belum tentu juga mereka paham betul
tentang tradisi itu kan...yang penting ada komunikasi dalam keluarga”.
13. Bagaimana peranan mamak atau paman menurut pandangan Rina dalam urusan
perjodohan?
”Tapi memang istilahnya paman ini, kalau di suku Minang itu ucapannya
didengarkan kali. Apapun urusannya...bukan hanya dalam tradisi uang hilang,
paman itu sangat dihargai. Kadang sering terjadi perselisihan keluarga, anakanak sekarang ini udah berfikir, kenapa kok paman pula...harusnya orang tua
kitalah”.

10
Universitas Sumatera Utara

14. Bagaimanakah perenan orang tua Rina dalam urusan perjodohan dan apaka
orang tua mewajibkan anaknya menikah dengan sesama suku Minang
Pariaman untuk melestarikan tradisi uang jemputan?
“Orang tua dari suku manapun...pasti ingin anaknya menikah dengan yang
satu suku gitu. Istilahnya satu budaya...mereka kan ingin nggak mati
keturunan.....berkembang dia, jangan sampai adat itu nggak ada lagi.
Termasuklah orang tua Rina.....tapi kalau jodohnya sama suku lain nggak
masalah, yang penting anaknya bahagia. Kalau Rina nggak menjalankan tradisi
uang jemputan itu...karena memang jodohnya di luar suku Minang”.
Informan 4: Syarmawati (56 Tahun)
1. Bagaimana pandangan Ibu mengenai unsur agama dan kepercayaan yang
terkandung dalam tradisi uang jemputan?
“Tidak ada permasalahannya dengan agama, karena itu hanya merupakan
tradisi semata. Uang jemputan berbeda dengan mahar, mahar harus si laki-laki
yang memberikan kepada si perempuan, tetap yang dijalani syariat Islam itu,
sah nikah itu memang harus lelaki yang memberi mahar. Saya kebetulan
diterpa adat ini, tapi uang mahar tetap suami saya yang memberi”.
2. Menurut Ibu, apakah uang jemputan tersebut tetap harus diberikan oleh pihak
keluarga perempuan?
“Kalau seandainya tidak memberatkan bagi keluarganya, itu sangat baik. Uang
jemputan ya, bukan uang hilang.....itu berbeda. Hanya istilah saja, itu akan
dikembalikan lagi kepada si perempuan. Malah dikembalikannnya lebih
banyak lagi. Tapi kalau si perempuan ngunduh istilahnya, atau istilah orang
Minang manjalang....itu akan dikembalikan lebih banyak dari pada uang
jemputan yang diberikan kepada si laki-laki”.
3. Apa perbedaan uang hilang dan uang jemputan tersebut dan bagaimana
pandangan Ibu tentang uang jemputan tersebut dikembalikan lagi?
“Uang hilang itu begini...kalau si lelaki itu misalnya lepas dari pendidikan,
mungkin untuk masuk ke jenjang pekerjaan mungkin belum ada modal, uang
hilang itulah yang diperjuangkan, biasanya uang hilang itu untuk si anak lelaki
tersebut...tapi ada juga kalau anaknya sudah mapan untuk orangtuanya.
Berbeda dengan uang hilang, kalau uang hilang memang untuk si laki-laki,
kalau uang jemputan itu dikembalikan untuk wanita lagi, saya pikir nggak
bermasalah dengan agama kita. Uang jemputan menjadi syarat
perkawinan...karena memang itu tradisi orang Pariaman, dulunya seperti itu.
Kalau tidak ada uang jemputan, tidak ada uang hilang, dianggap mereka itu
tidak bermartabat...tidak dihargai, semacam perjuangan hidup laki-laki yang
sudah dewasa itu, karena si laki-laki ini adalah orang yang datang ke keluarga
istri”.
4. Bagaimana pandangan Ibu mengenai nilai-nilai budaya yang terkandung dalam
tradisi uang jemputan?

11
Universitas Sumatera Utara

“Karena kita kan di Minangkabau itu.....di Pariaman itu memakai sistem
matrilineal, kalau di suku lain patrilineal. Jadi memang ada saya rasa....segi
positifnya, karena kalau mencari jodoh tersebut orang tua tahu bibit, bebet,
bobot si calon menantu mereka, jadi tidak sembarangan memilihnya”.
5. Apakah penentuan jumlah uang jemputan tersebut dapat menjadi
permasalahan, apabila pihak si perempuan tidak memiliki kemampuan secara
ekonomi?
“Yang jadi masalah mungkin uang hilang itu, kalau uang jemputan itu saya
rasa nggak masalah. Jadi saat kedua belah pihak bertemu, atau membicaran
kelanjutan hubungan anaknya, mereka disitu membicarakan apakah pakai uang
jemputan atau pakai uang hilang, atau kedua-duanya. Biasa kalau si anak
lelakinya sudah berkedudukan atau berpendidikan atau segi sosialnya lebih
tinggi, itu biasa orang tua menjalani kedua-duanya. Kalau dari segi keluarga
pria minta uang hilang itu...istilahnya itu dia merasa sudah membesarkan
anaknya dengan jerih payahnya, jadi dia minta uang hilang itu. Saya pikir letak
keberatan itu...kesepakatannya, kalau seandainya orang tua lelaki tidak
mempertimbangkan kemampuan si perempuan, dia seolah-olah seperti menjual
anaknya. Kalau seandainya jumlah uang hilang itu wajar, ya tidak masalah.
Harusnya dilihat sesuai kemampuan pihak perempuan”.
6. Bagaimana sikap Ibu dalam memaknai tradisi uang jemputan sebagai syarat
terjadinya perkawinan dalam adat istiadat Pariaman?
“Tadinya saya kontra....karena saya merasakan dan mengalami uang jemputan
itu kembali kepada kami, jadi saya merasa oh....seperti ini, karena saya
dilahirkan di Medan, jadi saya nggak mengerti adat yang sebenarnya itu
gimana saat itu. Sesudah saya alami...saya pikir uang jemputan itu hanya untuk
menghormati atau memberi penghargaan terhadap keluarga si lelaki. Tapi
memang....saya lebih cenderung ke orang Minang, karena kita kan kalau
sesama etnis, mungkin adat bisa lebih pengertian dari pada berlainan etnis,
karena kalau lain etnis, kita harus mempelajari budaya suami kita tersebut...jadi
kita harus belajar lagi”.
7. Sebelum menikah dan menjalani tradisi uang jemputan, apakah sikap kontra
Ibu terhadap tradisi uang jemputan membuat Ibu tidak ingin menikah dengan
sesama suku atau karena mungkin Ibu memiliki pilihan dari suku yang
berbeda?
“Dan saya nggak ada pula berhubungan dengan di luar etnis gitu. Saya dulu
istilahnya menuruti orang tua saja. Kalau kita sudah di rantau, jodoh itu biasa
nggak pernah dipaksakan. Apalagi saat ini orang tua tidak bisa memaksakan
kehendaknya, orang tua saya lebih demokratis terhadap anaknya. Kalau dia
ingin...bermenantukan orang Minang juga, bisa dia memberitahukan kepada
anaknya, diperkenalkan terlebih dahulu....cocok apa tidaknya. Kalau
seandainya sudah kenal, baru ninik mamak yang berperan untuk proses adat.
Saya seperti itu....diperkenalkan dahulu, sesudah itu baru ninik mamak dan
orangtua saya yang berperan menjalankan adat”.

12
Universitas Sumatera Utara

8. Bagaimana dengan penggunaan bahasa Minang di dalam keluarga, apakah Ibu
juga mengajarkan bahasa Minnag kepada anak-anak Ibu?
“Berbahasa daerah sangat penting diterapkan dalam keluarga. Kedua orang tua
saya selalu menggunakan bahasa Minang dalam berkomunikasi dengan anakanaknya, sehingga saya memahami dan mahir berbahasa Minang. Namun saya
mengakui sulit menerapkan berbahasa Minang kepada anak-anak saya saat ini,
karena pengaruh budaya luar dari lingkungan pendidikan dan alat-alat
komunikasi yang semakin canggih membuat anak-anak saya lebih mengenal
dan lebih tertarik dengan budaya luar dari pada budaya asal mereka”.
9. Apakah proses sosialisasi tentang tradisi uang jemputan dilakukan oleh
keluarga kepada Ibu?
“Sebenarnya sosialisasi terhadap generasi baru mungkin....orang tua dan ninik
mamak kita agak kurang mensosialisasikan adat Pariaman itu. Ini lho....uang
jemputan itu begini, uang hilang itu begini, jadi kita bisa memahami”.
10. Sebelum Ibu memahami makna tradisi uang jemputan yang sebenarnya, faktor
apakah yang mempengaruhi persepsi Ibu tentang tradisi tersebut?
“Saya dan keluarga itu memang tinggal di lingkungan orang Pariaman juga.
Jadi tidak banyak untuk mempengaruhi itu...dulu saya pernah kuliah dan
pernah juga kerja. Di lingkungan kerja juga, pendidikan juga, kan pernah
dibahas sesama teman begitu, kok membeli pula perempuan Minang kalau mau
menikah. Jadi saya merasa....kita diberatkan, tapi sebenarnya kalau saya nilai
sekarang tidak diberatkan”.
11.Bagaimana Ibu memandang proses transmisi nilai-nilai tradisi uang jemputan
harus dilakukan kepada generasi muda Minang, dan bagaimana pula
keterlibatan Ibu sebagai orang tua dalam hal pencarian jodoh anak-anak Ibu?
“Kalau saya...pasti akan menjelaskan kepada anak-anak saya mengenai nilainilai luhur pada tradisi uang jemputan tersebut, karena saya selalu mengajak
anak-anak saya kalau ada saudara pesta....dan mereka melihat tradisi tersebut
dilaksanakan. Apalagi saya dan suami sama-sama suku Minang Pariaman, jadi
harus kita kenalkan itu budaya asal kita kepada anak. Cuma masalahnya
bagaimana pilihan anak kita...saat menikah nanti. Kalau sesama suku Minang
Pariaman, mungkin tradisi itu akan dipertahankan”.
12.Bagaimana sikap Ibu sebagai orang tua dalam pilihan calon menantu bagi
anak-anak Ibu, apakah harus menikah dengan sesama suku Minang Pariaman,
sehingga tradisi uang jemputan bisa dipertahankan?
“Anak gadis saya yang sulung sudah berusia 27 tahun....dia bekerja dan belum
menikah. Sebenarnya kami para orang tua resah juga. Namun saya rasa tidak
jaman “Siti Nurbaya” lagi sekarang ini...kebetulan dia belum ketemu jodoh
yang cocok saja. Saya tidak mau memaksakan kehendak ya....pastilah kalau
ditanya orang tua memiliki harapan punya menantu sesama suku. Namun
semua itu tergantung jodoh si anak ya.....sekarang ini ada keinginan untuk
mengenalkan dengan laki-laki yang menurut kita, orang tua ini....baik dan
layak untuk dijadikan menantu...tapi sampai saat ini kami juga belum

13
Universitas Sumatera Utara

mendapatkannya. Terus terang saya minta juga saudara-saudara saya
mencarikan....tapi belum jodohnya mungkin”.
Informan 5: Yunita Handayani (20 Tahun)
1. Bagaimana pandangan Ita mengenai unsur agama dan kepercayaan dalam
tradisi uang jemputan?
“Ya...kayak mana ya.....kalau menurut awak, salah juga sebenarnya. Suku lain
itu....laki-laki yang melamar, orang Minang kok perempuan pula. Kalau dari
segi agamanya....ntah lah nggak tau juga awak Kak”.
2. Kalau nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi uang jemputan tersebut,
bagaimana menurut pandangan Ita?
“Apa ya...orang tua berusaha dia....mencarikan jodoh yang baik untuk anaknya.
Orang tua itu beranggapan mungkin anaknya bisa salah pilih, jadi ikut juga dia
mencarikan”.
3. Menurut Ita apa alasan orang tua menikahkan Ita dengan suami yang sudah
berstatus duda?
“Awalnya awak nggak mau....udah duda pun abang itu. Kalau mamak, mau
menantunya orang Padang juga, karena lebih ngerti kita kalau adatnya sama
katanya. Cowok awak dulu orang Padang juganya....tapi menurut mamak
suami awak ini lebih baik dia orangnya. Lingkungan tempat tinggal awak
memang banyak orang Padang, makanya awak dapat cowokpun orang
Padang”.
4. Apakah Ita merasa terpaksa dinikahkan dengan laki-laki yang sudah berstatus
duda dan memberikan uang jemputan?
“Enggak tau juga lah Kak.....awak tenggok memang baik dia orangnya, mudahmudahan sampai selamanya. Kalau uang jemputan itu kan keluarga awaknya
yang ngasi. Nggak ngerti juga awak...katanya memang udah adat”.
5. Apakah orang tua Ita mengajarkan bahasa Minang dan pernah nggak orang tua
Ita ngasi tahu sebenarnya makna tradisi uang jemputan itu seperti apa?
“Mamak sama ayah...bahasa Minang aja di rumah Kak, awak enggak lancar
kali ngomongnya, tapi kalau dengar orang ngomong...awak taulah artinya.
Kalau masalah uang japuik itu, nggak tau-tau awak kenapa kayak gitu tu Kak,
mamak nggak pernah cerita-cerita sama kami, tapi banyak keluarga awak
kayak gitu kalau nikah”.
“Ya..itu pula adatnya, udah syaratnya pula kayak gitu. Sebenarnya awak nggak
ngerti-ngerti juga, tapi yang ngasi uang jemputan itu kan keluarga
awak.....katanya tradisi kita udah memang kayak gitu”.
6. Apakah Ita punya pengalaman sebelumnya tentang pelaksanaan tradisi uang
jemputan itu?
“Kalau saudara-saudara awak...banyak yang nikah pakai uang jemputan itu.
Kadang awak tanya juga berapa uang jemputannya, Rp. 10 juta...katanya. Ya

14
Universitas Sumatera Utara

Allah...banyaknya, awak bilang juga sama cowok awak yang dulu,
bang....jangan minta uang banyak-banyak nanti ya, nggak sanggup keluarga
awak. Eh...rupanya nggak jadi juga sama dia”.
7. Kalau transmisi nilai-nilai budaya pada tradisi uang jemputan tidak pernah
dilakukan orang tua, apa yang membuat Ita yakin menjalani perjodohan dengan
memberikan uang jemputan tersebut?
“Awak tengokkan, mamak suka dia sama abang (suaminya)...katanya bagus itu
orangnya. Akhirnya awak ikut pilihan orang tua aja kak...mungkin ini yang
terbaik. Padahal dulu awak tentang (bantah) juga mamak itu, masak sama duda
dikawinkan awak. Kata mamak....abang itu dulu ada juga yang mau sama dia,
jadi mamak ngasi aja uang jemputan yang diminta keluarga abang. Ada orang
lain juga mau menjadikan abang ini menantu, berarti nggak salah mamak
katanya...lihat dia itu baik orangnya”.
8. Bagaimana pandangan Ita tentang tradisi uang jemputan tersebut harus
dilaksanakan dalam pernikahan generasi muda Minang sebagai bentuk
pewarisan nilai-nilai budaya?
“Awak berfikir Kak, nggak usahlah ada lagi ngasi uang jemputan itu...karena
kadang-kadang orang tua ini maksa anaknya. Iya kalau pas...dapat jodoh yang
betul-betul baik, tapi kalau nggak....kasian anaknya. Alhamdulillah suami awak
ini baik....memang awak kan baru nikah, mudah-mudahan sampai selamanya
tetap baiklah”.
Informan 6: Dedek Karmila (33 Tahun)
1. Bagaimana pandangan Dedek mengenai unsur agama dan kepercayaan dalam
tradisi uang jemputan?
“Ya itulah dia....sanggup dan nggak sanggupnya itu Wi. Makanya kutanya
kayak mana?. Sah-sah aja kalau emang sanggup, tapi kalau nggak sanggup
dipaksakan kayak mana? Haram nggak? haramlah...kan gitu”.
2. Apakah menurut pandangan Dedek, perempuan yang melamar dalam adat
Pariaman itu juga menyimpang secara agama?
“Sebenarnya gini Wi...kalau pemahaman aku itu nggak ada perempuan yang
melamar. Sebenarnya yang melamar di Pariaman itu, kalau menurut aku tetap
si laki-laki, cuma jaman dahulu kalau yang aku tahu...uang jemputan itu kita
kasih untuk modal si laki-laki, tapi dalam ijab kabul...maharnya itu yang ngasi
tetap si laki-laki, apa yang kita minta. Jadi adat ajanya itu...kecuali mahar juga
dari si perempuan, itu udah menyimpanglah”.
3. Apakah Dedek mempunyai pengalaman mengenai pelaksanaan tradisi uang
jemputan, di mana pihak perempuan harus memberi sejumlah uang kepada
laki-laki sebagai syarat terjadinya perkawinan?
“Tapi kalau abang aku malah dia yang ngisi adat itu. Dia kan pacaran sama
ceweknya...ceweknya orang susahlah. Paman kami minta sekian, ya udah uang
dia....dikasikannya sama ceweknya itu, dibilanglah itu uang dari keluarga si
perempuan”.

15
Universitas Sumatera Utara

4. Apakah keputusan abang Dedek yang menggantikan posisi memberi uang
jemputan itu, membuat terjadinya konflik dalam keluarga?
“Iya....sempat ribut juga mamak, katanya nggak punya harga diri kau, kalau
nggak ada dijapuiknya. Ini malah kau pula yang ngasi uang japuik itu...kata
mamakku sama abangku. Tapi kayak mana, namanya udah saling cinta ya
kan....digantikannya posisi ngasi uang itu. Masalahnya kakak iparku
itu....orang susah juga. Kan...memberatkan itu kalau dipaksakan. Tapi pandaipandailah abangku mendekatkan mamak, kalau ayah setuju-setuju aja waktu
itu. Eh....payahlah mamakku ini orangnya, fanatik kali sama adat. Udah dua
anak abangku, barulah luluh juga dia lihat cucunya kan. Udah agak berubahlah
sikit (sedikit) mamakku itu”.
5. Bagaimana pandangan Dedek memahami nilai-nilai yang terkandung dalam
tradisi uang jemputan tersebut?
“Karenakan kebanyakan dulu, tahu lah orang Minangkan hobi merantau...iya
kan. Ke sana......ke sana......nanti balik, sukalah sama anak orang di kampung
itu, karena dia usaha nanti disana, itulah untuk modal dia. Intinya sih, untuk
memodalkan laki-laki dalam menghidupi anak istrinya nanti”.
6. Apa