Faktor-Faktor yang Memengaruhi terhadap Kejadian Hipertensi pada Lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Medan Johor tahun 2012

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hipertensi
2.1.1. Definisi Hipertensi
Tekanan darah tinggi atau hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik
lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg. Tekanan
darah tinggi merupakan suatu keadaan dimana terjadi peningkatan tekanan darah
sistolik 140 mmHg atau lebih dan tekanan darah diastolik 90 mmHg atau lebih.
Tekanan darah tinggi merupakan gangguan asimptomatik yang sering terjadi ditandai
dengan peningkatan tekanan darah secara persisten. Tekanan darah tinggi (hipertensi)
adalah peningkatan pada tekanan sistolik 140 mmHg atau lebih dan tekanan diastolik
120 mmHg (Potter & Perry, 2005).
Hipertensi masih menjadi masalah pada lanjut usia karena sering ditemukan
dan menjadi faktor utama payah jantung dan penyakit jantung koroner. Lebih dari
separuh kematian di atas 60 tahun disebabkan oleh penyakit jantung dan
serebrovaskular. Menurut Nugroho (2008), hipertensi pada lanjut usia dibedakan atas:
1. Hipertensi pada tekanan sistolik sama atau lebih besar dari 140 mmHg atau
tekanan diastolik sama atau lebih besar dari 90 mmHg.
2. Hipertensi sistolik terisolasi: tekanan sistolik lebih besar dari 160 mmHg dan
tekanan diastolik lebih rendah dari 90 mmHg.


Universitas Sumatera Utara

Pembuluh darah pada lansia lebih tebal dan kaku atau disebut arterosklerosis,
yang dapat menyebabkan tersumbatnya aliran darah sehingga jantung harus bekerja
ekstra kuat untuk memompa sejumlah darah. Keadaan ini menyebabkan jantung
menjadi lelah sehingga tekanan darah akan meningkat. Bila disertai adanya plak
disekitar dinding arteri, hal tersebut akan menyebabkan sumbatan pada pembuluh
darah yang dapat membuat terjadinya penyumbatan pada arteri koroner dan stroke,
bila terjadi pada otak dapat menyebabkan kelumpuhan dan kematian (Maryam,
2008).
Berdasarkan penyebab, hipertensi dapat dibagi menjadi 2 jenis (Palmer, A &
Wiliam, W., 2005), yaitu hipertensi primer dan hipertensi sekunder.
1. Hipertensi primer
Tipe ini terjadi pada sebagian besar kasus tekanan darah tinggi. Sekitar 95%
penyebabnya tidak diketahui, walaupun dikaitkan dengan kombinasi faktor gaya
hidup seperti kurang bergerak (inaktivitas) dan pola makan.
2. Hipertensi sekunder.
Tipe ini lebih jarang terjadi, hanya sekitar 5% dari seluruh kasus tekanan darah
tinggi. Tekanan darah tinggi tipe ini disebabkan oleh kondisi medis lain (misalnya

penyakit ginjal) atau reaksi terhadap obat-obatan tertentu (misalnya pil KB).
Dalam rangka menunjang pelaksanaan program pengendalian faktor risiko
penyakit hipertensi yang berbasis komunitas, upaya-upaya kesehatan perlu
dilaksanakan melalui pola-pola struktur organisasi. Besar atau kecilnya satu kesatuan
organisasi sangat berpengaruh terhadap kegiatan rutin dan pembangunan dari pokok

Universitas Sumatera Utara

program, sehingga suatu struktur organisasi akan selalu berubah. Pengorganisasian
dalam pelaksanaan pencegahan dan penanggulangan faktor risiko penyakit hipertensi
dimaksudkan agar program yang dilaksanakan dapat lebih efektif, efisien dan
berkualitas serta dapat memanfaatkan segala sumber daya atau potensi yang ada
diwilayah kerjanya. Gambaran pengorganisasian harus dapat menyerap aspirasi yang
berkembang dimasyarakat (Depkes, 2006).
2.1.2. Klasifikasi Tekanan Darah Tinggi
Berdasarkan penyebabnya, tekanan darah tinggi dapat digolongkan menjadi dua
yaitu: tekanan darah tinggi esensial, tekanan darah tinggi esensial adalah tekanan
darah tinggi yang tidak jelas atau belum diketahui pasti penyebabnya. Tekanan darah
tinggi esensial disebut juga tekanan darah tinggi primer atau idiopatik lebih dari 90%
kasus tekanan darah tinggi termasuk dalam kelompok tekanan darah tinggi esensial.

Penyebab tekanan darah tinggi esensial adalah multifaktor, antara lain faktor genetik,
faktor perilaku, faktor usia dan faktor psikis (Sobel & Bakris, 2005).
Tekanan darah tinggi skunder, tekanan darah tinggi skunder adalah tekanan
darah tinggi yang disebabkan oleh penyakit lain. Beberapa penyakit yang bisa
menyebabkan tekanan darah tinggi atau hipertensi adalah penyakit ginjal, kelainan
hormonal, dan penggunaan obat-obatan (Setiawati & Bustami, 2005).
Berdasarkan tekanan darah sistolik dan diastolik dalam satuan mmHg tekanan darah
dibagi menjadi beberapa kategori seperti yang tertera pada tabel 1 berikut ini:

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.1. Klasifikasi Hipertensi Menurut The Joint National Committee on
Detection, Evaluation, and Treatment of High Boold Preassure (JNC-VII)
tahun 2003.
Tekanan Sistolik
Tekanan Diastolik
Kategori
(mmHg)
(mmHg)
Normal

< 120
< 80
Pre-hipertensi
120-139
80-89
Hypertensi Stage 1
140-159
90-99
Hypertensi Stage 2
≥ 160
≥ 100
(Sumber : Lubis, H.R. 2008)
Menurut WHO, batasan tekanan darah normal dewasa adalah maksimum
140/90 mmHg. Apabila tekanan darah seseorang diatas angka tersebut pada beberapa
kali pengukuran di waktu yang berbeda, orang tersebut bisa dikatakan menderita
hipertensi. Pasien hipertensi memiliki risiko lebih besar untuk mendapatkan serangan
jantung dan stroke (Suwarsa, 2006).
2.1.3. Faktor Risiko Tekanan Darah Tinggi
Tekanan darah tinggi atau hipertensi disebabkan oleh beberapa faktor,
antara lain:

1.

Faktor Genetik
Menurut Muhummadun (2010), faktor genetik mempunyai hubungan dengan

terjadinya tekanan darah tinggi atau hipertensi pada orang-orang yang mempunyai
riwayat keluarga penderita hipertensi. Seseorang dengan orangtua yang menderita
hipertensi mempunyai resiko dua kali lebih besar untuk menderita hipertensi dari
pada yang tidak mempunyai riwayat keluarga hipertensi (Anggraini, 2009).

Universitas Sumatera Utara

2. Faktor Perilaku
Faktor perilaku yang dapat menyebabkan tekanan darah tinggi atau hipertensi
adalah gayahidup yang kurang baik misalnya: mengkonsumsi Makanan Tinggi
Lemak & Kolestrol, Jika seseorang mengkonsumsi makanan yang banyak
mengandung lemak dan kolesterol dapat menyebabkan penimbunan lemak
disepanjang pembuluh darah. Penimbunan lemak tersebut akan menyebabkan aliran
darah menjadi kurang lancar dan menyempitkan aliran pembuluh darah tersebut.
Penyempitan dan penyumbatan lemak ini memacu jantung untuk memompa darah

lebih kuat lagi agar dapat memasok kebutuhan darah ke jaringan.Akibatnya tekanan
darah menjadi meningkat (Muhummadun, 2010).
2.1.4. Epidemiologi
Peningkatan tekanan darah bukan merupakan bagian normal dari ketuaan,
insiden hipertensi pada usia lanjut adalah tinggi. Setelah umur 69 tahun, prevalensi
hipertensi meningkat sampai 50%. Pada tahun 1988-1991 National Health and
Nutrition Examination Survey menemukan prevalensi hipertensi pada kelompok umur
65-74 tahun sebagai berikut:
a.

Hipertensi Derajat 1; prevalensi keseluruhan 49% (tekanan darah 140-159/90-99
mmHg).

b.

Hipertensi Derajat 2; prevalensinya 18,2% (tekanan darah 160-179/100-109
mmHg)

c.


Hipertensi Derajat 3; prevalensinya 6,5% (tekanan darah 180-110 mmHg).
Prevalensi hipertensi sistolik terisolasi (HST) berdasarkan umur adalah sekitar

Universitas Sumatera Utara

7% (60-69 tahun), 11% (70-79 tahun), 18% (80-89 tahun dan 25% (diatas 90
tahun). HTS lebih sering ditemukan pada perempuan dari pada laki-laki (Rigaud,
2001 dalam Kuswardhani, 2006).
Pada penelitian di Rotterdam, Belanda ditemukan dari 7.983 penduduk
berusia diatas 55 tahun, prevalensi hipertensi≥ (160/95 mmHg) meningkat sesuai
dengan umur, lebih tinggi pada perempuan (39%) dari pada laki-laki (31%) (Rossum,
2000 dalam Kuswardhani, 2006).
Di Asia, penelitian di Kota Tainan, Taiwan menunjukkan hasil bahwa pada
usia diatas 65 tahun dengan kriteria hipertensi berdasarkan JNC-V ditemukan
prevalensi hipertensi sebesar 60,4% (laki-laki 59,1% dan perempuan 61,9%), yang
sebelumnya telah terdiagnosis hipertensi adalah 31,1% (laki-laki 29,4% dan
perempuan 33,1%), hipertensi yang baru terdiagnosis adalah 29,3% (laki-laki 29,7%
dan perempuan 28,8%). Pada kelompok ini, adanya riwayat keluarga dengan
hipertensi dan tingginya indeks masa tubuh merupakan faktor risiko hipertensi (Lu,
2000 dalam Kuswardhani, 2006).

2.1.4.1. Gejala / Keluhan Tekanan Darah Tinggi
Sebagian besar penderita tekanan darah tinggi tidak mengalami gejala spesifik
yang menunjukkan peningkatan tekanan darah. Jika hipertensinya berat dan tidak
segera diobati, maka timbul gejala seperti sakit kepala, kelelahan, mual, muntah,
sesak nafas, gelisah, pandangan kabur dan penurunan kesadaran (Ruhyanuddin,
2006).

Universitas Sumatera Utara

2.1.4.2. Faktor Risiko Hipertensi
Budisetio (2001) menyatakan bahwa faktor risiko (determinan) hipertensi
adalah faktor-faktor yang bila semakin banyak menyertai penderita akan
menyebabkan tekanan darah tinggi. Kamso (2000) menyatakan bahwa penyebab
hipertensi pada lansia antara lain : faktor konstitusi (jenis kelamin, umur, genetik),
intake nutrisi, status biokimia (hiperglikemia, dyslipidemia), komposisi tubuh
(obesitas), gaya hidup (merokok, aktifitas fisik, alkohol, stres), penyakit ginjal serta
faktor sosial ekonomi (pendidikan, pendapatan perkapita, status perkawinan, status
pekerjaan, dan hubungan sosial).
Menurut Palmer, A & William, B (2005), faktor risiko hipertensi adalah
kelebihan berat badan, kurang berolahraga, mengonsumsi makanan berkadar garam

tinggi, kurang mengonsumsi buah dan sayur dan terlalu banyak minum alkohol.
Meskipun makan terlalu banyak lemak (terutama lemak jenuh yang ditemukan pada
daging dan produk susu) tidak secara langsung dikaitkan dengan peningkatan tekanan
darah, namun tetap merupakan faktor risiko penyakit kardiovaskuler karena hal
tersebut terkait dengan tingginya kadar kolesterol dalam darah. Sementara itu Basha
(2004) menyatakan bahwa faktor risiko hipertensi adalah obesitas, stress, genetik,
jenis kelamin, usia, asupan garam, dan gaya hidup yang kurang sehat.
Secara teoritis, faktor risiko hipertensi terdiri dari 2 bagian yaitu faktor risiko
yang tidak dapatdi ubah dan faktor risiko yang dapat diubah. Faktor risiko yang tidak
dapat diubah adalah faktor risiko hipertensi yang tidak dapat dikendalikan atau

Universitas Sumatera Utara

dicegah, sedangkan faktor risiko yang dapat diubah adalah faktor risiko yang dapat
dikendalikan atau dicegah (Basha, 2004; Kamso, 2000).
1. Faktor risiko yang tidak dapat diubah
Ada beberapa faktor risiko yang tidak dapat diubah antara lain :
a. Usia lanjut
Tekanan darah cenderung meningkat seiring bertambahnya usia yakni orang
berusia lebih dari 60 tahun dan peningkatan tekanan darah ini terjadi secara alami

Peningkatan tekanan darah pada lanjut usia merupakan sesuatu yang umum terjadi
namun jika terjadi tetap memerlukan pengobatan lebih lanjut untuk mencegah
komplikasi lebih lanjut. Tekanan darah sistolik cenderung meningkat secara progresif
dengan mencapai nilai rata-rata 149 mmHg pada usia 70-an atau 80-an dan begitu
juga untuk tekanan darah diastolik tetapi dengan laju yang lebih rendah daripada
tekanan darah sistolik (Palmer, A & William, B., 2005).
b. Riwayat tekanan darah tinggi dalam keluarga.
Seseorang cenderung menderita tekanan darah tinggi bila kedua orangtuanya
juga menderita tekanan darah tinggi. Penelitian menunjukkan bahwa tekanan darah
seorang anak akan lebih mendekati tekanan darah orangtuanya bila mereka memiliki
hubungan darah. Hal ini menunjukkan bahwa gen yang diturunkan, dan bukan hanya
faktor lingkungan (seperti makanan atau status sosial), berperan besar dalam
menentukan tekanan darah. (Palmer, A & William, B., 2005). Riwayat keluarga yang
menunjukkan adanya tekanan darah yang meninggi merupakan faktor risiko paling
kuat bagi seseorang untuk mengidap hipertensi di masa datang (WHO, 2001).

Universitas Sumatera Utara

c. Faktor etnis
Orang berkulit hitam lebih sering menderita tekanan darah tinggi. Dalam

sebuah penelitian menunjukkan bahwa orang berkulit hitan 3 kali lebih sering
menderita tekanan darah tinggi dibandingkan orang berkulit putih. Hal ini
dikarenakan perbedaan genetik kedua populasi tersebut (Palmer, A & William, B.,
2005). Kecendrungan tekanan darah yang meninggi bersamaan dengan bertambahnya
umur secara progresif pada orang Amerika berkulit hitam keturunan Afrika
ketimbang pada orang Amerika berkulit putih. Perbedaan tekanan darah rata-rata
antara kedua golongan tersebut beragam, mulai dari lebih rendah 5 mmHg pada usia
20-an sampai hampir 20 mmHg pada usia 60-an (WHO, 2001).
d. Gender
Tekanan darah tinggi sedikit lebih sering terjadi pada pria dibandingkan pada
wanita (Palmer, A & William, B., 2005). Pada usia dini tidak terdapat bukti nyata
tentang adanya perbedaan antara pria dan wanita. Akan tetapi memasuki masa remaja
pria cenderung menunjukkan rata-rata tekanan darah lebih tinggi dan perbedaan ini
semakin jelas terlihat ketika memasuki masa usia lanjut (WHO, 2001)
e. Faktor risiko yang dapat diubah
Faktor risiko yang dapat diubah meliputi : obesitas, stress, merokok, olahraga,
pola makan, dan konsumsi alkohol berlebih (Basha 2004; Kamso 2000; Palmer, A &
William, B., 2005).

Universitas Sumatera Utara

f. Kegemukan (obesitas)
Obesitas diartikan sebagai suatu keadaan dimana terjadi penimbunan lemak
yang berlebihan dijaringan lemak tubuh dan dapat mengakibatkan terjadinya
beberapa penyakit. Obesitas merupakan ciri khas penderita hipertensi. Walaupun
belum diketahui secara pasti hubungan antara hipertensi dan obesitas, namun terbukti
bahwa daya pompa jantung dan sirkulasi volume darah penderita obesitas dengan
hipertensi lebih tinggi dari pada penderita hipertensi dengan berat badan normal
(Basha, 2004).
Pada penderita obesitas banyak diketahui terjadi resistensi insulin, akibatnya
terjadi produksi insulin berlebihan oleh sel beta pankreas sehingga insulin di dalam
darah menjadi berlebihan. Hal ini akan meningkatkan tekanan darah dengan cara
menahan pengeluaran natrium oleh ginjal dan meningkatkan kadar plasma
norepinephrin.
Hipertensi dan obesitas merupakan suatu keadaan yang sering dihubungkan
dengan peningkatan risiko penyakit kardiovaskular. Prevalensi kedua keadaan ini
adalah cukup tinggi dan makin meningkat dari tahun ke tahun. Swedish Obese Study
melaporkan angka kejadian hipertensi pada obesitas adalah sekitar 13,6 % dan angka
ini akan makin meningkat seiring dengan peningkatan indeks massa tubuh.
Framingham study mendapatkan peningkatan insidens hipertensi, diabetes mellitus
dan angina pektoris pada organ dengan obesitas dan resiko ini akan lebih tinggi lagi
pada obesitas tipe sentral (Kapojos, 2001).

Universitas Sumatera Utara

Kaitan erat antara kelebihan berat badan dan kenaikan tekanan darah telah
dilaporkan oleh beberapa studi. Berat badandan Indeks Masa Tubuh (IMT)
berkorelasi langsung dengan tekanan darah, terutama tekanan darah sistolik. Obesitas
bukanlah penyebab hipertensi. Akan tetapi prevalensi hipertensi pada obesitas jauh
lebih besar. Risiko relatif untuk menderita hipertensi pada orang gemuk 5 kali lebih
tinggi dibandingkan dengan orang yang badannya normal. Sedangkan, pada penderita
hipertensi ditemukan sekitar 20-33% memiliki berat badan lebih (overweight).
Nilai Indeks Massa Tubuh (IMT) dihitung dengan menggunakan rumus
menurut Waspadji (2003):
Berat Badan (kg)
Indeks Massa Tubuh (IMT) = ----------------------Tinggi Badan (m)2

g. Stress
Stress atau ketegangan jiwa (rasa tertekan, murung, rasa marah, dendam, rasa
takut, dan rasa bersalah) dapat merangsang kelenjar anak ginjal melepaskan hormon
adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih cepat serta lebih kuat, sehingga
tekanan darah akan meningkat. Jika stress berlangsung lama, tubuh akan berusaha
mengadakan penyesuaian sehingga timbul kelainan atau perubahan patologis. Gejala
yang muncul dapat berupa hipertensi atau penyakit maag (Depkes, 2006).
Basha (2004) menyatakan, diduga melalui aktivasi saraf simpatis (saraf yang
bekerja pada saat kita beraktifitas). Peningkatan aktivitas saraf simpatis
mengakibatkan meningkatnya tekanan darah secara intermitten (tidak menentu).

Universitas Sumatera Utara

h. Merokok
Zat-zat kimia beracun seperti nikotin dan karbon monoksida yang dihisap
melalui rokok yang masuk ke dalam aliran darah dapat merusak lapisan endotel
pembuluh darah arteri, dan mengakibatkan proses arterosklerosis, dan tekanan darah
tinggi. Merokok juga meningkatkan denyut jantung dan kebutuhan oksigen untuk
disuplai ke otot-otot jantung. Merokok pada penderita tekanan darah tinggi semakin
meningkatkan risiko kerusakan pada permbuluh darah arteri.
Risiko merokok terbesar tergantung pada jumlah rokok yang diisap per hari.
Seseorang lebih dari satu pak rokok sehari menjadi 2 kali lebih rentan hipertensi dari
pada mereka yang tidak merokok. Nikotin dalam tembakau merupakan penyebab
meningkatnya tekanan darah segera setelah isapan pertama. Seperti zat-zat kimia lain
dalam asap rokok, nikotin diserap oleh pembuluh-pembuluh darah amat kecil didalam
paru-paru dan diedarkan ke aliran darah. Hanya dalam beberapa detik nikotin sudah
mencapai otak. Otak bereaksi terhadap nikotin dengan memberi sinyal pada kelenjar
adrenal untuk melepas epinefrin (adrenalin). Hormon yang kuat ini akan
menyempitkan pembuluh darah dan memaksa jantung untuk bekerja lebih berat
karena tekanan yang lebih tinggi. Setelah merokok dua batang saja maka baik tekanan
sistolik maupun diastolik akan meningkat 10 mmHg. Tekanan darah akan tetap pada
ketinggian ini sampai 30 menit setelah berhenti mengisap rokok. Sementara efek
nikotin perlahan-lahan menghilang, tekanan darah juga akan menurun dengan
perlahan. Namun pada perokok berat tekanan darah akan berada pada level tinggi
sepanjang hari. Berdasarkan hasil penelitian Sugiharto (2007), menunjukkan bahwa

Universitas Sumatera Utara

odd ratio hipertensi pada responden perokok berat (>20 batang/hari) jika
dibandingkan dengan yang bukan perokok adalah 2,47.
i. Aktifitas olah raga
Orang dengan gaya hidup yang tidak aktif akan lebih rentan terhadap tekanan
darah tinggi. Melakukan olahraga secara teratur tidak hanya menjaga bentuk tubuh
dan berat badan, tetapi juga dapat menurunkan tekanan darah. Latihan aerobik sedang
selama 30 menit sehari selama beberapa hari setiap minggu dapat menurunkan
tekanan darah. Jenis latihan yang dapat mengontrol tekanan darah adalah berjalan
kaki, bersepeda, berenang, dan aerobik (Palmer, A & William, B., 2004).
Hasil latihan intensitas sedang selama 30-60 menit lebih efektif dibandingkan dengan
10-15 menit. Latihan fisik intensitas tinggi dapat menyebabkan injuri otot, sehingga
tidak dianjurkan untuk melakukan latihan fisik intensitas tinggi jangka waktu singkat.
Durasi latihan fisik yang dianjurkan paling sedikit selama 20 menit, dan akan lebih
efektif bila dilakukan selama 30-60 menit (Casaburi, 1992).
j. Pola makan
Menurut Palmer, A.& William, B. (2005), hipertensi ada kaitannya dengan
kombinasi faktor gaya hidup seperti kurang bergerak (inaktivitas) dan pola makan.
Pola makan merupakan faktor penting yang menentukan tekanan darah.
Meningkatkan asupan buah dan sayuran segar dapat menurunkan tekanan darah.
Menerapkan pola makan yang rendah lemak jenuh, kolesterol, dan total lemak, serta
kaya akan buah, sayur, serta produk susu rendah lemak telah terbukti secara klinis
dapat menurunkan tekanan darah. Pola makan tersebut sebaiknya juga menyertakan

Universitas Sumatera Utara

produk gandum, ikan, unggas, dan kacang-kacangan serta mengurangi jumlah daging
merah, makanan manis, dan minuman yang mengandung gula.
Menurut Kuntaraf (1999), makanan yang berkontribusi meningkatkan
hipertensi adalah lobster, otak, jeroan, lemak hewani, keju, gorengan dan santan
kental. Makanan ini dapat meningkatkan risiko hipertensi karena makanan ini
mengandung kadar kolesterol tinggi yang dapat meningkatkan tekanan darah.
Dengan mengonsumsi makanan yang mengandung kolesterol, lambat laun
akan menyebabkan penyempitan pembuluh darah (arterosklerosis). Akibatnya,
pembuluh darah menjadi tidak elastis. Kondisi ini akan mengakibatkan tahanan aliran
darah dalam pembuluh menjadi naik (Wirakusumah, 2001).
Selain

konsumsi

makanan

berlemak,

konsumsi

garam

juga

dapat

meningkatkan tekanan darah. Garam menyebabkan penumpukan cairan dalam tubuh
karena menarik cairan di luar sel agar tidak dikeluarkan, sehingga akan meningkatkan
volume dan tekanan darah. Pada sekitar 60% kasus hipertensi primer (essensial)
terjadi penurunan tekanan darah dengan mengurangi asupan garam. Pada masyarakat
yang mengonsumsi garam≤3 gram biasanya tekanan darahnya rata -rata rendah,
sedangkan pada masyarakat asupan garam sekitar 7-8 gram tekanan darah rata-rata
lebih tinggi (Depkes, 2006).
Menurut Basha (2004), melalui peningkatan volume plasma (cairan tubuh)
dan tekanan darah yang akan diikuti oleh peningkatan ekskresi kelebihan garam
sehingga kembali pada keadaan hemodinamik (sistem perdarahan) yang normal. Pada
hipertensi essensial mekanisme inilah yang terganggu.

Universitas Sumatera Utara

Asupan garam dapat meningkatkan tekanan darah. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa rata-rata penurunan asupan natrium ±1,8 gram/hari dapat
menurunkan tekanan darah sistolik 4 mmHg dan diastolik 2 mmHg pada penderita
hipertensi, penurunan lebih sedikit pada individu dengan tekanan darah normal.
Respons perubahan asupan garam terhadap tekanan darah bervariasi diantara individu
dan dipengaruhi oleh faktor genetik dan juga faktor usia. (Kurniawan, 2002).
Garam natrium terdapat secara alamiah dalam bahan makanan atau
ditambahkan pada waktu memasak dan mengolah makanan. Makanan yang berasal
dari hewan biasanya lebih banyak mengandung garam natrium dari pada makanan
yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Sebagian besar makanan yang diproses
termasuk roti dan sereal, makanan siap saji dan saus mengandung kadar garam yang
tinggi (Palmer, A & William, B., 2004).
Dianjurkan untuk mengonsumsi garam tidak lebih dari 6 gram (1 sendok teh)
per hari. Konsumsi natrium yang berlebih terutama yang berasal dari garam dan
sumber lain seperti produk susu dan bahan makanan yang diawetkan dengan garam
merupakan pemicu timbulnya penyakit tekanan darah tinggi yang merupakan risiko
untuk penyakit jantung (Nurlita, 2010).
k. Konsumsi alkohol berlebih
Alkohol adalah zat psikoatif yang bersifat adiktif. Bahan psikoaktif yang
terdapat dalam alkohol adalah etil alkohol yang diperoleh dari proses fermentasi
madu, gula sari buah atau umbi-umbian.

Universitas Sumatera Utara

Mekanisme peningkatan tekanan darah akibat alkohol masih belum jelas.
Tetapi diduga peningkatan kadar kortisol dan peningkatan volume sel darah merah
serta kekentalan darah berperan dalam menaikan tekanan darah. Beberapa studi
menunjukkan hubungan langsung antara tekanan darah dan asupan alkohol dan
diantaranya melaporkan bahwa efek terhadap tekanan darah baru nampak apabila
mengkonsumsi alkohol sekitar 2-3 gelas ukuran standar setiap harinya (Depkes RI,
2006).
Berdasarkan penelitian Roche dan Watt (1999) bahwa tubuh tidak dapat
mentolerensi konsumsi alkohol diatas standart sebesar 150 cc perhari. Menurut
penelitian National Health and Medical Research Council Australia (2001) bahwa
alkohol meningkatkan resiko penyempitan pembuluh darah. Mengkonsumsi alkohol
mempengaruhi denyut jantung, tekanan darah, kontraksi otot jantung dalam
memompakan darah. Menurut Palmer, A & William, B (2004), minum alkohol terlalu
banyak dapat meningkatkan tekanan darah dan risiko komplikasi kardiovaskuler.
Salah satu minuman yang mengandung alkohol adalah tuak. Tuak merupakan
sadapan yang diambil dari mayang enau atau aren/nira (rasanya manis). Ada dua jenis
tuak sesuai dengan resepnya, yaitu yang manis dan yang pahit (mengandung alkohol).
Tuak yang pahit berasal nira yang dimasukkan kedalam bak tuak sejenis kulit kayu
yang disebut raru, raru inilah yang mengakibatkan peragian. Tuak pahit mengandung
alkohol dan bisa membuat mabuk jika diminum dalam jumlah yang banyak.
Biasanya tuak digunakan pada upacara-upacara adat batak. Tetapi ternyata
penggunaan tuak dalam upacara-upacara tersebut makin hilang, Karena tuak manis

Universitas Sumatera Utara

yang tidak bercampur dengan raru susah didapat. Pada saat sekarang ini, fungsi tuak
dalam masyarakat Batak Toba sebagai minuman sehari-hari lebih menonjol daripada
fungsi dalam upacara adat (Shigehiro, 1997).
2.1.5. Komplikasi Tekanan Darah Tinggi
Beberapa komplikasi yang dapat ditimbulkan akibat dari semakin lamanya
tekanan yang berlebihan pada dinding arteri antara lain pada organ-organ vital
seperti: (a) sistem kardiovaskuler; (b) arteriosklerosis. Kata arteriosklerosis berasal
dari bahasa Yunani yang berarti pengerasan arteri. Tingginya tekanan pada dinding
pembuluh darah akan mengakibatkan pembuluh darah menjadi tebal dan kaku. Pada
penderita hipertensi hal ini akan berlangsung lama sehingga terjadi pengerasan
pembuluh darah atau arteriosklerosis. Kata aterosklerosis berasal dari bahasa Yunani
yang berarti bubur. Arterosklerosis merupakan timbunan lemak di dalam pembuluh
darah. Hipertensi dapat mempercepat penumpukan lemak di dalam dan di bawah
lapisan dinding arteri. Hal ini dapat terjadi karena pada penderita tekanan darah tinggi
volume dan tekanan darah meningkat. Meningkatnya volume dan tekanan darah akan
membanyak lemak dan kolestrol yang melekat pada dinding pembuluh darah. Pada
penderita hipertensi hal ini akan berlangsung lama sehingga menimbulkan timbunan
lemak di dalam darah yang disebut dengan aterosklerosis.
Gagal jantung, menurut Suryadipraja (1999), pada penderita hipertensi,
volume dan tekanan darah meningkat sehingga kerja otot-otot jantung semakin berat.
Jantung berusaha menormalkan beban pada sel otot jantung. Hal ini merupakan suatu
mekanisme adaptasi jantung sehingga terjadi hiperteropi otot-otot jantung.

Universitas Sumatera Utara

Hiperteropi otot-otot jantung yang cukup luas akan menyebabkan takikardia,
pengisian ventrikel memanjang dan kekuatan kontraksi ventrikel berkurang, curah
jantung yang rendah dan penumpukan cairan atau edema.
Stroke Iskemik, menurut Sheps (2002), tekanan darah tinggi juga bisa
mengakibatkan aterosklerosis yaitu penumpukan lemak (plak) di dinding pembuluh
darah seperti yang dijelaskan sebelumnya.Plak ini membuat permukaan dalam arteri
menjadi kasar sehingga terjadi pusaran aliran darah di sekitar

plak.

Hal

ini

merangsang terjadinya pembentukan gumpalan darah. Gumpalan darah ini
berjalan mengikuti aliran darah dari pembuluh darah yang lebih besar ke yang
lebih kecil di dalam otak. Gumpalan tersebut akan tersangkut dalam pembuluh
darah yang tidak bisa dilaluinya lagi. Penyumbatan tersebut akan menghambat
suplai darah ke sebagian otak dan menyebabkan stroke iskemik.
Stroke

Hemoragis, menurut

Sheps

(2002),

tekanan

darah

tinggi

menyebabkan aneurisma yaitu robek atau bocornya pembuluh darah. Jika
pembuluh darah robek atau pecah di dalam otak, darah akan mengalir keluar
dari pembuluh darah dan mengenai jaringan otak dan sekitarnya. Jaringanjaringan

otak

akan

rusak

karena

kekurangan

darah

dan

mengakibatkan

terjadinya stroke hemoragis.
Ginjal, lesi arteriosklerotik dari arteriole afferent dan efferent dan jumbai
kapiler

glomerulus adalah lesi

vaskuler renal

yang paling

sering

pada

hipertensi. Keadaan seperti ini akan mengakibatkan turunnya tingkat filtrasi
glomerulus dan disfungsi tubulus. Aliran darah ke nefron juga akan menurun

Universitas Sumatera Utara

sehingga ginjal tidak dapat membuang semua produksi sisa dari dalam darah.
Lama-kelamaan produk sisa akan menumpuk dalam darah, ginjal akan mengecil
dan berhenti berfungsi (Muhummadun, 2000).
Mata, hipertensi mempercepat penuaan pembuluh darah halus dalam
mata. Arteri-arteri kecil ini akan menebal dan sempit. Pembuluh-pembuluh
darah akan membentuk sumbatan yang menekan vena di sekitarnya dan
mengganggu

aliran

darah

di

dalam

vena. Hipertensi

juga

menyebabkan

pembuluh darah halus dalam retina robek. Darah menembus jaringan disekitar
retina. Syaraf-syaraf yang membawa sinyal-sinyal dari mata ke otak akan mulai
membengkak hingga menyebabkan kebutaan (Sheps, 2002).
2.1.6. Pencegahan
Dalam pencegahan dan penanggulangan hipertensi berbagai upaya telah
dilakukan, yaitu penyusunan berbagai kebijakan berupa pedoman pengendalian
hipertensi. Pencegahan dan penanggulangan hipertensi sesuai dengan kemajuan
teknologi dan kondisi daerah (local area specific). Memperkuat logistik dan
distribusi untuk deteksi dini faktor risiko penyakit jantung dan pembuluh darah
termasuk hipertensi. Meningkatkan surveilans epidemiologi dan sistem informasi
pengendalian hipertensi, mengembangkan SDM dan sistem pembiayaan serta
memperkuat jejaring serta monitoring dan evaluasi pelaksanaan. Pencegahan terdiri
dari pencegahan bagi yang belum menderita hipertensi dan pencegahan bagi yang
sudah menderita hipertensi, sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara

2.1.6.1. Pencegahan primordial
Pencegahan Primordial adalah usaha pencegahan predisposisi terhadap
hipertensi, belum terlihat faktor yang menjadi risiko penyakit hipertensi. Contoh :
adanya peraturan pemerintah membuat peringatan agar tidak mengonsumsi rokok,
dan melakukan senam kesegaran jasmani untuk menghindari terjadinya hipertensi
(Bustan, 1997).
2.1.6.1.2. Pencegahan primer
Pencegahan primer pada penderita hipertensi adalah pencegahan dini pada
penderita yang belum menderita hipertensi. Tujuan pencegahan primer adalah untuk
menghindari terjadinya penyakit. Pencegahan primer dapat dilakukan dengan
mengadakan

penyuluhan

dan

promosi

kesehatan,

menjelaskan

dan

melibatkanindividu untuk mencegah terjadinya penyakit melalui usaha tindakan
kesehatan gizi seperti melakukan pengendalian berat badan,pengendalian asupan
natrium dan alkohol serta penghilangan stres (Gowan, 2001).
Promosi kesehatan diharapkan dapat memelihara, meningkatkan dan
melindungi kesehatan diri serta kondisi lingkungan sosial, diintervensi dengan
kebijakan publik, serta dengan meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat
mengenai perilaku hidup sehat dalam pengendalian hipertensi (Depkes, 2006).
Menurut Kurniawan (2002), faktor penyebab utama terjadinya hipertensi adalah
arteroklerosis yang didasari dengan konsumsi lemak berlebih. Untuk mencegah
timbulnya hipertensi adalah dengan mengurangi konsumsi lemak yang berlebih,
disamping pemberian obat-obatan yang diperlukan. Pembatasan konsumsi lemak

Universitas Sumatera Utara

sebaiknya dimulai sejak dini sebelum hipertensi muncul, terutama pada orang-orang
yang mempunyai riwayat keturunan hipertensi dan pada orang menjelang lanjut usia.
2.1.6.1.3. Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder ditujukan kepada individu yang memiliki risiko untuk
terjadinya hipertensi. Pencegahan sekunder dilakukan dengan pemeriksaan dini untuk
mendeteksi adanya hipertensi dan melakukan terapi bukan obat dan terapi obat.
Terapi bukan obat dilakukan dengan pengurangan berat badan pasien hipertensi
(Gowan, 2001).
Pencegahan sekunder dilakukan melalui pengobatan farmakologis dan
tindakan yang diperlukan. Kematian mendadak yang menjadi kasus utama diharapkan
berkurang dengan dilakukannya pengembangan manajemen kasus dan penanganan
kegawatdaruratan disemua tingkat pelayanan dengan melibatkan organisasi profesi,
pengelola program dan pelaksana pelayanan yang dibutuhkan dalam pengendalian
hipertensi (Depkes RI, 2006).
Hipertensi terjadi pada lebih dari 2/3 individu yang berumur> 65 tahun.
Populasi ini sering menunjukkan kurangnya pengontrolan tekanan darah. Terapi
hipertensi

pada

lansia,

termasuk

pada

lansia

dengan

isolated

systolic

hypertensionsama dengan terapi hipertensi secara umum. Pada kebanyakan individu,
dosis awal yang lebih rendah disarankan untuk menghindari gejala (Muchid, 2006).
Pada umumnya pasien hipertensi memerlukan dua atau lebih obat
antihipertensi untuk mencapai target tekanan darah yang diinginkan. Penambahan
obat kedua dari kelas yang bebeda dimulai apabila pemakaian obat tunggal dengan

Universitas Sumatera Utara

dosis lazim gagal mencapai target tekanan darah. Hal yang harus diperhatikan adalah
risiko untuk hipertensi ortostatik, terutama pada pasien-pasien dengan diabetes,
disfungsi autonomik, dan lansia (Ayu, 2008).
Golongan obat yang digunakan untuk pengobatan hipertensi adalah : diuretik,
penghambat adrenergik, Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACE-Inhibitor),
angiotensin II-blocker, antagonis kalsium, dan vasodilator (Ayu, 2008).
Pada penderita hipertensi yang pengukuran tekanan darahnya >160 mmHg, selain
diberikan obat-obatan anti hipertensi, perlu juga diberikan terapi dietetik dan merubah
gaya hidup. Tujuan dari penatalaksanaan diet adalah untuk membantu menurunkan
tekanan darah dan mempertahankan tekanan darah menjadi normal. Disamping itu,
diet juga ditujukan untuk menurunkan faktor risiko lain seperti berat badan yang
berlebih serta tingginya kadar lemak kolesterol dan asam urat dalam darah
(Kurniawan, 2002).
2.1.6.1.4. Pencegahan tersier
Pencegahan tersier adalah tindakan yang dilakukan untuk mengurangi
kecacatan yang ditimbulkan oleh suatu penyakit. Pencegahan tersier pada hipertensi
ditujukan pada pasien yang telah terkena hipertensi. Tindakan yang dilakukan dalam
pencegahan tersier adalah untuk mengurangi akibat komplikasi yang di timbulkan
penyakit hipertensi, seperti : stroke, gangguan ginjal, penyakit jantung koroner dan
gangguan penglihatan.

Universitas Sumatera Utara

2.1.6.1.5. Pencegahan agar tidak terjadi komplikasi
Tindakan dilakukan agar penderita tidak jatuh pada keadaan yang lebih buruk
dengan melakukan kontrol teratur dan fisioterapi (Depkes, 2006). Biasanya akan
dilakukan pengukuran dengan menggunakan alat sphygmomanometer merkuri atau
dengan alat elektronik yang lebih modern setiap kali klien datang untuk
berkonsultasi. Selain itu dapat juga melakukan pemantauan sendiri tekanan darah di
rumah dan akan disusun program penanganan tekanan darah (Palmer, 2007)
2.1.6.1.6. Pencegahan untuk mengurangi komplikasi
Komplikasi serangan hipertensi yang fatal dapat diturunkan dengan
mengembangkan manajemen rehabilitasi kasus kronis dengan melibatkan unsur
organisasi profesi, pengelola program dan pelaksana pelayanan di berbagai tingkatan
(Depkes RI, 2006).

2.2.

Lansia

2.2.1. Definisi Lansia
Menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut
usia menyatakan bahwa lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60
tahun ke atas. Sementara itu WHO menyatakan bahwa lanjut usia meliputi usia 60-74
tahun. Selain itu lansia adalah seseorang yang karena usianya mengalami perubahan
biologi dan fisik serta kejiwaan dan sosial. Menua (manjadi tua) adalah suatu proses
menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki

Universitas Sumatera Utara

diri/mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan
terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Nugroho, 2008).
Menua (menjadi tua) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan
lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan
mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi
dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Constantinides 1994). Proses menua
merupakan proses yang terus menerus (berlanjut) secara alamiah dimulai sejak lahir
dan umumnya dialami pada semua makhluk hidup (Nugroho, 2008).
2.2.2. Batasan-Batasan Lansia
Menurut Depkes RI (2006) batasan lansia terbagi dalam empat kelompok
yaitu pertengahan umur usia lanjut/virilitas yaitu masa persiapan usia lanjut yang
menampakkan keperkasaan fisik dan kematangan jiwa antara 45–54 tahun, usia lanjut
dini/prasenium yaitu kelompok yang mulai memasuki usia lanjut antara 55–64 tahun,
kelompok usia lanjut/senium usia 65 tahun keatas dan usia lanjut dengan resiko tinggi
yaitu kelompok yang berusia lebih dari 70 tahun atau kelompok usia lanjut yang
hidup sendiri, terpencil, tinggal di panti, menderita penyakit berat, atau cacat.
Terdapat beberapa pendapat dari berbagai sumber tentang klasifikasi lansia,
diantaranya menurut Siti (2008) yang menklasifikasikan lansia dalam lima kelompok
yaitu pralansia, lansia, lansia resiko tinggi, lansia potensial, dan lansia tidak potensial.
Pralansia yaitu seseorang yang berusia antara 45–59 tahun. Lansia yaitu seseorang
yang berusia 60 tahun atau lebih. Lansia resiko tinggi yaitu seseorang yang berusia 70
tahun atau lebih. Lansia produktif yaitu lansia yang masih mampu melakukan

Universitas Sumatera Utara

pekerjaan atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang/jasa. Lansia kurang
produktif yaitu lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga bergantung pada
bantuan orang lain/keluarga.
Selain itu, World Health Organitation (WHO) menggolongkan lansia menjadi
empat kelompok yaitu usia pertengahan (middle age) 45-59 tahun, lanjut usia
(elderly) 60-74 tahun, lanjut usia tua (old) 75-90 tahun, dan usia sangat tua (very old)
di atas 90 tahun (Nugroho, 2008).
Menurut Hurlock (1980), lansia dibagi dalam 2 tahap, yaitu early old age
(usia 60-70 tahun), advanced old age (usia 70 tahun ke atas). Burnside (1979, dalam
Nugroho, 2000) membagi lansia menjadi 4 tahap, yaitu: young old (usia 60-69 tahun),
middle age old (usia 70-79 tahun), old-old (usia 80-89 tahun), dan veryold-old (usia
90 tahun ke atas).
Depkes RI (2003) disebutkan ada lima klasifikasi pada lansia, sebagai berikut:
1. Pralansia, seseorang yang berusia antara 45-59 tahun.
2. Lansia, seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih.
3. Lansia risiko tinggi, seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih dengan masalah
kesehatan.
4. Lansia potensial, lansia yang mampu melakukan pekerjaan atau kegiatan yang
dapat menghasilkan barang/jasa.
5. Lansia tidak potensial, lansia yang tidak mencari nafkah, sehingga hidupnya
bergantung pada bantuan orang lain.

Universitas Sumatera Utara

2.2.3. Perkembangan Lansia
Perkembangan pada lansia adalah: beradaptasi terhadap penurunan kesehatan
dan kekuatan fisik, beradaptasi terhadap masa pensiun dan penurunan pendapatan,
beradaptasi terhadap kematian pasangan, menerima diri sebagai individu yang menua,
mempertahankan kehidupan yang memuaskan, menetapkan kembali hubungan
dengan anak yang telah dewasa, menemukan cara mempertahankan kualitas hidup
(Potter & Perry, 2005).

2.3. Landasan Teori
Menurut Basha 2004; Kamso 2000; Palmer, A & William, B., 2005, bahwa
faktor-faktor risiko yang dapat diubah meliputi: obesitas, merokok, olahraga, pola
makan, dan konsumsi alkohol.
2.3.1. Obesitas
Diartikan sebagai suatu keadaan dimana terjadi penimbunan lemak yang
berlebihan dijaringan lemak tubuh dan dapat mengakibatkan terjadinya beberapa
penyakit (Basha, 2004). Kaitan erat antara kelebihan berat badan dan kenaikan
tekanan darah. Berat badan dan Indeks Masa Tubuh (IMT) berkorelasi langsung
dengan tekanan darah, terutama tekanan darah sistolik. Risiko relatif untuk menderita
hipertensi pada orang gemuk 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang
badannya normal (Kapojos, 2001). Sehingga secara umum semakin bertambah berat
badan maka semakin tinggi pula tekanan darah (Palmer, A & William, B., 2005)

Universitas Sumatera Utara

2.3.2 Merokok
Zat-zat kimia beracun seperti nikotin dan karbon monoksida yang dihisap
melalui rokok yang masuk ke dalam aliran darah dapat merusak lapisan endotel
pembuluh darah arteri, dan mengakibatkan proses arterosklerosis, dan tekanan darah
tinggi. Merokok pada penderita tekanan darah tinggi semakin meningkatkan risiko
kerusakan pada permbuluh darah arteri dan pada perokok berat tekanan darah akan
berada pada level tinggi sepanjang hari (Sugiharto, 2007).
2.3.3. Olah Raga
Orang dengan gaya hidup yang tidak aktif akan lebih rentan terhadap tekanan
darah tinggi. Melakukan olahraga secara teratur tidak hanya menjaga bentuk tubuh
dan berat badan, tetapi juga dapat menurunkan tekanan darah. Latihan aerobik sedang
selama 30 menit sehari selama beberapa hari setiap minggu dapat menurunkan
tekanan darah. Jenis latihan yang dapat mengontrol tekanan darah adalah berjalan
kaki, bersepeda, berenang, dan aerobik (Palmer, A & William, B., 2005).
2.3.4. Pola Makan
Pola makan merupakan faktor penting yang menentukan tekanan darah.
Menerapkan pola makan yang rendah lemak jenuh, kolesterol, dan total lemak, serta
kaya akan buah, sayur, serta produk susu rendah lemak telah terbukti secara klinis
dapat menurunkan tekanan darah. Makanan yang berkontribusi meningkatkan
hipertensi adalah lobster, otak, jeroan, lemak hewani, keju, gorengan dan santan
kental. Makanan ini dapat meningkatkan risiko hipertensi karena makanan ini
mengandung kadar kolesterol tinggi yang dapat meningkatkan tekanan darah. Selain
konsumsi makanan berlemak, konsumsi garam juga dapat meningkatkan tekanan

Universitas Sumatera Utara

darah. Garam menyebabkan penumpukan cairan dalam tubuh karena menarik cairan
di luar sel agar tidak dikeluarkan, sehingga akan meningkatkan volume dan tekanan
darah (Palmer, A & William, B., 2005).
2.3.5. Konsumsi Alkohol
Alkohol adalah zat psikoatif yang bersifat adiktif. Bahan psikoaktif yang
terdapat dalam alkohol adalah etil alkohol yang diperoleh dari proses fermentasi
madu, gula sari buah atau umbi umbian. Mekanisme peningkatan tekanan darah
akibat alkohol masih belum jelas. Tetapi diduga peningkatan kadar kortisol dan
peningkatan volume sel darah merah serta kekentalan darah berperan dalam
menaikkan tekanan darah (Depkes, 2006). Menurut Palmer, A & William, B (2004),
minum alkohol terlalu banyak dapat meningkatkan tekanan darah dan risiko
komplikasi kardiovaskuler.

Universitas Sumatera Utara

Hipertensi

Jumlah darah yang
dipompakan jantung

Kecepatan
denyut jantung











Tahanan perifer

Usia
Jenis kelamin
Genetik
Suku/ras
Obesitas
Merokok
Aktifitas olahraga
Pola makan
Konsumsi alkohol

Gambar 2.1 Kerangka Teori
Sumber : Basha (2004), Palmer (2005).
2.4.Kerangka Konsep
Berdasarkan landasan teori tersebut, maka penulis merumuskan kerangka
konsep penelitian sebagai berikut:
Variabel Independen

Variabel Dependen

Faktor-faktor yang memengaruhi
hipertensi:
1. Obesitas
2. Merokok
3. Olah Raga
Variabel Dependen
4. Pola Makan
5. Konsumsi Alkohol

Kejadian
Hipertensi

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian

Universitas Sumatera Utara