Pengaruh Faktor Host Dan Environment Terhadap Kejadian Penyakit Tb Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Tomuan Kota Pematangsiantar Tahun 2015

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Tuberkulosis paru merupakan salah satu penyakit infeksi yang telah lama
dikenal dan sampai saat ini masih menjadi penyebab utama kematian di dunia.
Penyakit yang sudah cukup lama ini merupakan masalah global di dunia dan
diperkirakan sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh bakteri ini. Pada tahun
2013, ditemukan sekitar 9 juta orang penderita TB dan sekitar 1,5 juta orang
meninggal akibat penyakit tersebut, 360.000 diantaranya yang HIV positif. Infeksi
baru dalam jumlah banyak terdapat di Asia Tenggara (3 juta) dan Afrika (2 juta).
Sepertiga pasien dengan tuberkulosis di Afrika juga menjadi pembunuh utama pada
orang-orang yang terinfeksi HIV (Friskarini, 2014 & WHO, 2014).
Meningkatnya kasus Tuberkulosis paru di dunia merupakan salah satu
masalah kesehatan yang serius. Insiden TB di Amerika Serikat adalah 9,4 per
100.000 penduduk pada tahun 1994 (lebih dari 24 kasus dilaporkan). Di Afrika
diperkirakan mencapai 165 kasus baru di antara 100.000 penduduk, dan di Asia 110
di antara 100.000 penduduk. Namun mengingat penduduk Asia lebih besar dibanding
Afrika, jumlah Absolut yang terkena TBC di Benua Asia 3,7 kali lebih banyak
daripada Afrika (Achmadi, 2008).
WHO dalam Annual Report on Global TB Control 2011 menyatakan terdapat

22 negara dikategorikan sebagai high burden countries terhadap TB, termasuk

Indonesia, karena jumlah penduduknya yang cukup besar. Pada tahun 2010
diperkirakan terdapat 8,8 juta kasus TB, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil
Tahan Asam) positif serta 1,4 juta orang meninggal di seluruh dunia akibat TB
termasuk 0,35 juta manusia dengan penyakit HIV (WHO, 2011).
Menurut WHO tahun 2009 Indonesia merupakan negara dengan pasien TB
terbanyak ke-5 di dunia setelah India, Cina, Afrika Selatan dan Nigeria dengan
jumlah kasus baru 429.730 jiwa dan kematian 62.246 jiwa per tahun. Insidensi kasus
TB BTA positif sekitar 102 per 100.000 penduduk (Kemenkes RI, 2011). Namun
pada tahun 2010 Indonesia naik menjadi peringkat ke-4 negara dengan insidensi TB
tertinggi di dunia sebanyak 0,37 - 0,54 juta setelah India (2,0 - 2,5 juta), Cina (0,9 1,2 juta), Afrika Selatan (0,40 - 0,59 juta). Pada tahun 2004, diperkirakan angka
prevalensi kasus TB di Indonesia 130/100.000 penduduk, setiap tahun ada 539.000
kasus baru dan jumlah kematian sekitar 101.000 orang pertahun serta angka insidensi
kasus TB BTA positif sekitar 110/100.000 penduduk (Kemenkes RI, 2013).
Menurut Depkes (2007) penyakit TB merupakan penyebab kematian nomor
tiga (3) setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan pada semua
kelompok usia, dan nomor satu (1) terbesar dari golongan penyakit infeksi (Depkes,
2007). Pada tahun 2013 diperkirakan angka prevalensi TB di Indonesia adalah 297
per 100.000 penduduk dengan kasus baru setiap tahun mencapai 460.000 kasus.

Dengan demikian, total kasus hingga 2013 mencapai sekitar 800.000-900.000 kasus
(Kemenkes, 2013). Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013

ditemukan bahwa prevalensi TB Nasional dengan pemeriksaan BTA mikroskopis
pagi-sewaktu dengan dua slide BTA positif adalah 289/100.000 penduduk, sedangkan
prevalensi TB Nasional dengan satu slide BTA positif adalah 415/100.000 penduduk.
Lima provinsi dengan TB tertinggi adalah Jawa Barat, Papua, DKI Jakarta,
Gorontalo, Banten, dan Papua Barat. Penduduk yang didiagnosis TB oleh tenaga
kesehatan, 44,4 persen diobati (Balitbangkes Depkes RI, 2013).
Adapun sumber penularan penyakit TB paru yaitu lewat percikan ludah/dahak
dan batuk penderita TB paru yang tersembur dan terhisap saat bernapas ke dalam
paru orang yang sehat melalui udara (droplet nuclei) (Widoyono, 2008). Diperkirakan
satu orang menderita TB paru BTA positif yang tidak diobati akan menulari 10-15
orang setiap tahunnya (Aditama, 2006). Tetapi faktor risiko yang dapat
mempengaruhi penularan penyakit TB paru diantaranya faktor host (kependudukan)
dan environment (lingkungan). Faktor host (pejamu) yaitu faktor keadaan manusia
yang menyebabkan risiko terjadinya penyakit (Budiarto, 2001). Menurut Achmadi
(2008), faktor host terhadap risiko kejadian TB paru meliputi karakteristik
kependudukan seperti faktor jenis kelamin, umur, status gizi dan kondisi sosialekonomi. Sedangkan faktor lingkungan meliputi kepadatan penghuni, lantai rumah,
ventilasi, pencahayaan, kelembaban dan suhu (Achmadi, 2008). Faktor lingkungan

yang berpengaruh terhadap risiko kejadian TB paru adalah lingkungan rumah,
disebabkan rumah merupakan tempat berhubungan dengan lamanya kontak dan
kualitas pemaparan dengan penderita TB. Setiap satu BTA positif menularkan kepada

10-15 orang lainnya, sehingga kemungkinan kontak untuk tertular TB adalah 17%.
Hasil study lain juga mengatakan bahwa kontak terdekat (keluarga serumah) akan
dua kali lipat lebih beresiko dengan kontak biasa (tidak serumah) (Widoyono, 2008).
Ronal Bayer, seorang ahli kesehatan dari Amerika Serikat menyatakan bahwa
peningkatan status ekonomi mampu menurunkan kasus TB secara signifikan. Risiko
berkembangnya penyakit juga disebabkan faktor umur, risiko tertinggi yaitu pada
usia di bawah 3 tahun, rendah pada masa kanak-kanak dan meningkat lagi pada masa
remaja dan dewasa muda berusia 15-50 tahun (usia produktif) dan pada usia lanjut
(Widoyono, 2008).
Di negara-negara yang memiliki status gizi buruk, angka kasus TB paru jauh
lebuh tinggi. Oleh sebab itu untuk mencegah terjadinya penularan TB paru diperlukan
salah satu kekuatan daya tangkal yaitu status gizi yang baik, baik pada wanita, lakilaki, anak-anak maupun dewasa (Achmadi, 2008).
Menurut Hiswani (2001), pendapatan keluarga sangat erat dengan penularan
TBC, karena pendapatan yang kecil membuat orang tidak dapat layak dengan
memenuhi syarat-syarat kesehatan. Namun berbeda dengan hasil penelitian Ruswanto
(2010) menunjukkan bahwa tingkat pendapatan bukan merupakan faktor risiko

terhadap kejadian TB paru di Kabupaten Pekalongan.
Penularan TB paru melalui udara lebih tinggi pada udara dalam ruangan
tertutup seperti udara dalam rumah yang pengap dan lembab. Sanitasi lingkungan
rumah sangat mempengaruhi keberadaan bakteri Mycobacterium tuberculosis,

dimana bakteri Mycobacterium tuberculosis dapat hidup selama 1-2 jam bahkan
sampai beberapa hari hingga berminggu-minggu tergantung ada tidaknya sinar
matahari, ventilasi, kelembaban, suhu, lantai dan kepadatan penghuni rumah
(Achmadi, 2008). Kuman tuberkulosis akan mati oleh sinar matahari terutama sinar
ultraviolet tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam ditempat yang gelap dan lembab
(Depkes, 2005).
Menurut Widoyono (2008), bakteri tuberkulosis tahan selama 1-2 jam di
udara terutama di tempat yang lembab dan gelap (bisa berbulan-bulan), namun tidak
tahan terhadap cahaya/sinar dan aliran udara/ventilasi udara. Data pada tahun 1993
melaporkan bahwa untuk mendapatkan 90% udara bersih dari kontaminasi bakteri
memerlukan 40 kali pertukaran udara per jam.
Penelitian Darwel (2012) di Sumatera menemukan adanya hubungan antara
ventilasi rumah dan kepadatan hunian dengan kejadian TB paru namun hasil
penelitian Dewi Sakinah (2012) tidak menemukan adanya hubungan antara kepadatan
hunian dengan kejadian penyakit TB paru di Kabupaten Deli Serdang.

Menurut Kementrian Kesehatan RI penyebab meningkatnya masalah penyakit
TB antara lain adalah karena kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat, seperti
pada negara-negara yang sedang berkembang, kegagalan program TB selama ini. Hal
ini diakibatkan oleh: tidak memadainya komitmen politik dan pendanaan, tidak
memadainya organisasi pelayanan TB (kurang terakses oleh masyarakat, penemuan
kasus/diagnosis yang tidak standar, obat tidak terjamin penyediaannya, tidak

dilakukan pemantauan, pencatatan dan pelaporan yang standar, dan sebagainya),
tidak memadainya tatalaksana kasus (diagnosis dan paduan obat yang tidak standar,
gagal menyembuhkan kasus yang telah didiagnosis), salah persepsi terhadap manfaat
dan efektifitas BCG, infrastruktur kesehatan yang buruk pada negara-negara yang
mengalami krisis ekonomi atau pergolakan masyarakat. perubahan demografik
karena meningkatnya penduduk dunia dan perubahan struktur umur kependudukan,
serta dampak pandemi HIV (Kemenkes RI, 2011).
Di Propinsi Sumatera Utara, TB paru merupakan penyakit lama yang masih
tetap ada. Jumlah penderita TB Paru klinis di Sumatera Utara pada tahun 2014
sebanyak 104.992 orang, yang positif setelah dilakukan pemeriksaan dan yang diobati
sebanyak 13.744 orang serta yang sembuh sebanyak 9.390 orang

atau sekitar


68,32%. Angka penemuan TB Paru BTA (+) di atas angka nasional di antaranya
Padang Lawas (144,9 persen), Pakpak Barat (130,9 persen), Tapanuli Tengah (130
persen), dan Pematang Siantar (122,7 persen). (Dinkes Prov. Sumatera Utara, 2014).
Di Kota Medan, jumlah penderita klinis TB Paru tahun 2014 sebanyak 10.653
orang, yang positif setelah dilakukan pemeriksaan dan yang diobati sebanyak 1.960
orang yang sembuh sebanyak 790 orang (52,11%). Proporsi penderita penyakit TB
Paru di Kota Medan dari seluruh penderita di Provinsi Sumatera Utara sebesar
10,15%, merupakan wilayah dengan penderita tertinggi ketiga setelah Kabupaten
Langkat (15,21%)

dan Kabupaten Deli Serdang (11,75%). Namun tingkat

kesembuhan hanya 52,11% merupakan paling rendah dibandingkan kabupaten/kota

lain di Provinsi Sumatera Utara, sedangkan target nasional sebesar 80% (Dinkes Kota
Medan, 2014).
Di Kota Pematangsiantar, jumlah penderita klinis TB Paru tahun 2014
sebanyak 5.335 orang, yang positif setelah dilakukan pemeriksaan dan yang diobati
sebanyak 542 orang yang sembuh sebanyak 527 orang (97,23%). Dari jumlah kasus

tersebut, wilayah kerja Puskesmas Tomuan merupakan peringkat kedua dari seluruh
jumlah kasus dan angka penemuan kasus TB paru dengan BTA positif yaitu sebanyak
45 kasus setelah Puskesmas Martoba sebanyak 52 kasus (Dinkes Kota
Pematangsiantar, 2015).
Wilayah Kerja Puskesmas Tomuan Kota Pematangsiantar merupakan daerah
endemi TB paru yaitu pada tahun 2012 dengan jumlah 32 kasus, pada tahun 2013
dengan jumlah 35 kasus dan terjadi peningkatan pada tahun 2014 yaitu sebanyak 45
kasus dan pada bulan Januari 2015 tedapat 7 kasus baru.
Berdasarkan hasil survei lapangan yang telah peneliti lakukan pada bulan
Januari 2015 di Puskesmas Tomuan terhadap 14 rumah penderita TB paru diketahui
bahwa 10 rumah kondisinya tidak memenuhi syarat kesehatan. Sebagian besar
masyarakat menyatakan bahwa yang berpengaruh terhadap kesembuhan penyakit TB
paru yaitu dengan minum obat secara teratur dan penghasilan keluarga yang baik.
Tetapi kondisi rumah yang sehat, tidak begitu berpengaruh terhadap kesembuhan
mereka.

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka peneliti ingin mengetahui
“Pengaruh Faktor Host dan Environment terhadap Kejadian Penyakit TB Paru di
Wilayah Kerja Puskesmas Tomuan Kota Pematangsiantar Tahun 2015”.


1.2. Permasalahan
Penyakit Tuberkulosis Paru masih merupakan masalah kesehatan yang serius.
Di Kota Pematangsiantar, khususnya wilayah kerja Puskesmas Tomuan masih
ditemukan angka kesakitan penyakit TB Paru dengan hasil BTA (+). Dari survei
lapangan ditemukan masalah penyakit TB Paru disebabkan oleh beberapa faktor,
yaitu faktor host meliputi karakteristik kependudukan seperti faktor jenis kelamin,
umur, status gizi dan kondisi sosial-ekonomi dan faktor lingkungan yang tidak
memenuhi syarat kesehatan meliputi kepadatan hunian, lantai rumah, ventilasi,
pencahayaan, kelembaban dan suhu. Berdasarkan hal tersebut diatas maka perlu
diteliti pengaruh faktor host dan environment terhadap kejadian penyakit TB Paru di
wilayah kerja Puskesmas Tomuan Pematangsiantar.
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis Pengaruh Faktor Host dan
Environment terhadap Kejadian Penyakit TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas
Tomuan Kota Pematangsiantar Tahun 2015.
1.4. Hipotesis

Berdasarkan variabel penelitian yang dilakukan, maka hipotesis pada
penelitian ini yaitu: “Ada Pengaruh Faktor Host dan Environment terhadap Kejadian
Penyakit TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Tomuan Kota Pematangsiantar Tahun

2015”.

1.5. Manfaat Penelitian
1.5.1. Dinas Kesehatan
Sebagai bahan masukan dan informasi kepada Dinas Kesehatan Kota
Pematangsiantar dalam pengendalian dan pencegahan penyakit TB paru
khususnya pada masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Tomuan Kota
Pematangsiantar.
1.5.2. Puskesmas
Sebagai bahan masukan dan pertimbangan dalam merencanakan program
pencegahan penyakit TB paru khususnya pada petugas kesehatan Puskesmas
Tomuan.
1.5.3. Ilmu Pengetahuan
Sebagai pengembangan keilmuan dalam bidang kesehatan masyarakat yang
berkaitan dengan penyakit TB paru.