Faktor Risiko Yang Mempengaruhi Kejadian Acne Vulgaris Pada Siswa I Di 3 Sma Kecamatan Medan Baru, Medan
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Acne adalah penyakit kulit yang terjadi akibat peradangan menahun folikel
pilosebacea yang ditandai dengan adanya comedone, papul, pustul, nodus, dan
kista pada tempat predileksinya (Wasitaatmadja, 2010). Plewig dan Kligman
(1975) dalam Wasitaatmadja (2010) mengatakan bahwa terdapat tiga klasifikasi
acne, yaitu : acne vulgaris dan varietasnya, acne venenata akibat kontaktan
eksternal dan varietasnya, dan acne comedonal akibat agen fisik dan varietasnya.
Masa remaja dibagi menjadi 3 tahap, yaitu masa remaja awal (10-14
tahun), masa remaja pertengahan (15-16 tahun), dan masa remaja akhir (17-20
tahun) (Dhamayanti, 2013). Remaja di Indonesia (usia 10-19 tahun) berjumlah
sekitar 43 juta jiwa atau 19,61% dari total jumlah penduduk (Dhamayanti, 2013).
Pada tahun 2008, jumlah remaja di Indonesia diperkirakan telah mencapai 62 juta
jiwa (Jamela, 2008 dalam Dhamayanti, 2013).
Umumnya acne vulgaris paling banyak terjadi pada masa remaja serta
dapat sembuh sendiri (Wasitaatmadja, 2010). Hampir 85-100% orang pernah
mengalami penyakit ini dalam kehidupannya. Insiden acne pada remaja bervariasi
antara 30-60% dengan insiden terbanyak pada usia 14-17 tahun pada perempuan
dan 16-19 tahun pada laki-laki (Pindha, 2007 dalam Dhamayanti, 2013). Di
United States, mengenai 40 juta dari 50 juta penduduk Amerika (AAD, 2013).
Pada perempuan ras Afrika Amerika dan Hispanik mempunyai prevalensi acne
tinggi, yaitu 37% dan 32%, sedangkan perempuan ras Asia 30%, Kaukasia 24%,
dan India 23%. Acne dapat bertahan hingga usia 30 tahun (AL-Kubaisy et al,
2014).
Walaupun acne merupakan masalah yang banyak terjadi di masyarakat
terutama pada remaja, data epidemiologi yang ada masih sangat terbatas (Bhate,
2013). Di Indonesia sendiri, belum ada data angka kejadian dan faktor resiko yang
mempengaruhi acne vulgaris (Tjekyan, 2008).
Universitas Sumatera Utara
2
Berdasarkan data rekam medis Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) H.
Adam Malik Medan selama bulan periode bulan Januari – Desember 2008, 107
pasien (1,91%) dari 5.573 pasien yang berobat ke Poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit
dan Kelamin adalah pasien yang didiagnosis acne vulgaris, dimana 8,41% berusia
0-12 tahun, 90,6% berusia 13-35 tahun, dan 0,93% berusia 36-65 tahun. Hal
tersebut menandakan bahwa penderita acne vulgaris terbanyak terdapat pada usia
remaja dan dewasa muda (Anggrenni, 2014).
Riwayat acne pada keluarga, khususnya pada ayah atau ibu, meningkatkan
resiko kejadian acne pada anak. Pada studi epidemiologi yang dilakukan di
Perancis, diantara 913 remaja yang berusia diantara 11-18 tahun, pada kelompok
penderita yang mengalami acne, terdapat riwayat acne sebesar 16% pada ayah,
25% pada ibu, dan 68% pada saudara kandung. Sedangkan, pada kelompok
remaja yang tidak menderita acne, terdapat riwayat acne sebesar 8% pada ayah,
14% pada ibu, dan 57% pada saudara kandung. Adanya riwayat keluarga juga
dikaitkan dengan derajat keparahan acne serta meningkatkan sensitivitas kulit
terhadap obat yang mempunyai sedikit efek menimbulkan acne (D.Daniel et al.,
2000 dan V.Goulden et al., 1999 dalam Dreno et al., 2003). Banyak penelitian
yang menyatakan bahwa faktor keturunan merupakan faktor prognostik acne yang
penting. Riwayat keluarga juga dihubungkan dengan lebih awalnya kejadian acne
pada remaja, peningkatan jumlah lesi, dan kesulitan dalam proses terapi
(F.Ballanger et al., 2006 dalam Munawar et al., 2009)
Biasanya, acne vulgaris lebih sering terjadi pada laki-laki daripada
perempuan dengan rentang usia 15-44 tahun sebesar 34% pada laki-laki dan 27%
pada perempuan. Pada laki-laki, acne vulgaris biasanya lebih cepat berkurang,
walaupun gejala yang berat sering terjadi biasanya disebabkan oleh tingginya
sekresi sebum (Orkin, 1991 dalam Tjekyan, 2008). Androgen diketahui berperan
sebagai perangsang sekresi sebum. Tanpa adanya androgen, kelenjar sebacea akan
tetap kecil. Munculnya serangan acne secara mendadak yang disertai hirsutisme
atau kelainan menstruasi mungkin menunjukkan terdapat gangguan endokrin pada
perempuan (Stawiski, 2003).
Universitas Sumatera Utara
3
Hubungan antara makanan dan acne vulgaris masih diperdebatkan
(Tjekyan, 2008). Walaupun belum ada data yang cukup mendukung bahwa
konsumsi lemak ataupun asam lemak dapat meningkatkan resiko terjadinya acne,
asam lemak omega-6 merupakan pro-inflamasi dan mediator pro-inflamasinya
dihubungkan dengan kejadian acne. Sebaliknya, asam lemak omega-3 mempunyai
efek anti-inflamasi dan dihubungkan dengan efek penurunan resiko kejadian acne
(Ferdowsian et al, 2010). Begitu pula coklat, susu, seafood atau makanan lainnya.
Hingga saat ini belum ada bukti yang mencukupi untuk mendukung makanan
tersebut dapat langsung menyebabkan acne (Tjekyan, 2008).
Merokok merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan acne serta
bertambah parahnya penyakit tergantung dari banyaknya frekuensi merokok dan
jumlah batang yang dikonsumsi per hari (Knutsen-Larson et al, 2012). Perokok
pasif memungkinkan menghisap racun sama seperti perokok aktif (Trisnawati et
al, 2013). Penelitian yang dilakukan oleh Soldin et al. (2011) pada wanita
perokok aktif dan pasif untuk memeriksa konsentrasi serum hormon steroid,
didapatkan data tingginya kadar serum DHEA dan DHEAS berhubungan dengan
cotinine-defined passive smoker. Telah diketahui bahwa hormon tesebut dapat
memicu peningkatan produksi sebum (Savage et al., 2010).
Bukti mengenai hubungan kebersihan wajah dalam patogenesis acne
masih terbatas. Sebuah penelitian mengatakan bahwa mencuci muka dapat
menyebabkan traumatisasi dan eksaserbasi acne (Magin et al, 2005). Sedangkan,
penelitian lain mengatakan bahwa frekuensi membersihkan wajah berhubungan
linier dengan acne vulgaris, dimana makin sering membersihkan wajah makin
rendah angka kejadian acne vulgaris. Membersihkan wajah lebih dari 3 kali per
hari didapatkan angka kejadian acne hanya 2% (Tjekyan, 2008).
Perubahan siklus tidur merupakan kejadian yang normal pada remaja
dalam masa perkembangannya. Banyak remaja yang kekurangan kuantitas tidur,
dan hal ini tentu saja berpengaruh terhadap kualitas belajarnya di sekolah. Masa
remaja akhir cenderung lebih sering kekurangan tidur dibandingkan dengan masa
remaja awal, dikarenakan beban tugas akademik, sosial, dan ekstrakurikuler
(Colrain et al, 2011). Salah satu akibat dari berkurangnya kuantitas tidur pada
Universitas Sumatera Utara
4
hypothalamus-pituitary-adrenal (HPA) aksis adalah meningkatnya hormon
cortisol di plasma darah, yang akan menimbulkan respon stres (Reynolds et al,
2012). Derajat stres dihubungkan dengan pembentukan acne (Al-Kubaisy et al,
2014).
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di atas, maka peneliti
berkeinginan untuk melakukan penelitian tentang faktor risiko yang dapat
mempengaruhi kejadian acne vulgaris pada remaja siswa/i di 3 SMA Kecamatan
Medan Baru, Medan.
1.2.
Rumusan Masalah
Dengan memerhatikan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di
atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
Apakah faktor-faktor risiko yang dapat menyebabkan kejadian acne vulgaris pada
remaja siswa/i di 3 SMA Kecamatan Medan Baru, Medan?
1.3.
Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor risiko yang dapat
menyebabkan kejadian acne vulgaris pada remaja siswa/i SMA Swasta Kemala
Bhayangkari 1, SMA Swasta Nurul Hasanah, dan SMA Swasta Terpadu AlBukhari Muslim di Kecamatan Medan Baru, Medan.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Mengetahui angka kejadian acne vulgaris pada remaja siswa/i SMA
Swasta Kemala Bhayangkari 1, SMA Swasta Nurul Hasanah, dan
SMA Swasta Terpadu Al-Bukhari Muslim di Kecamatan Medan Baru,
Medan
2. Mengetahui distribusi frekuensi kejadian acne vulgaris pada remaja
SMA berdasarkan riwayat keluarga yang pernah menderita acne
vulgaris
Universitas Sumatera Utara
5
3. Mengetahui distribusi frekuensi kejadian acne vulgaris pada remaja
SMA berdasarkan jenis kelamin
4. Mengetahui distribusi frekuensi kejadian acne vulgaris pada remaja
SMA berdasarkan makanan yang dikonsumsi (coklat)
5. Mengetahui distribusi frekuensi kejadian acne vulgaris pada remaja
SMA berdasarkan status perokok pasif
6. Mengetahui distribusi frekuensi kejadian acne vulgaris pada remaja
SMA berdasarkan kuantitas tidur
7. Mengetahui distribusi frekuensi kejadian acne vulgaris pada remaja
SMA berdasarkan frekuensi mencuci wajah
1.4.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai :
1. Menambah pengetahuan peneliti tentang proses melakukan penelitian
2. Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan di bidang dermatologi,
terutama mengenai faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kejadian
acne vulgaris pada remaja
3. Hasil penelitian menjadi informasi tambahan bagi petugas kesehatan,
orang tua dan masyarakat, terutama para remaja tentang faktor-faktor
yang dapat mempengaruhi kejadian acne vulgaris sehingga diharapkan
membantu dalam menanggulangi kejadian acne vulgaris
4. Memberi data bagi peneliti lain di bidang dermatologi tentang faktorfaktor yang dapat mempengaruhi kejadian acne vulgaris pada remaja
Universitas Sumatera Utara
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Acne adalah penyakit kulit yang terjadi akibat peradangan menahun folikel
pilosebacea yang ditandai dengan adanya comedone, papul, pustul, nodus, dan
kista pada tempat predileksinya (Wasitaatmadja, 2010). Plewig dan Kligman
(1975) dalam Wasitaatmadja (2010) mengatakan bahwa terdapat tiga klasifikasi
acne, yaitu : acne vulgaris dan varietasnya, acne venenata akibat kontaktan
eksternal dan varietasnya, dan acne comedonal akibat agen fisik dan varietasnya.
Masa remaja dibagi menjadi 3 tahap, yaitu masa remaja awal (10-14
tahun), masa remaja pertengahan (15-16 tahun), dan masa remaja akhir (17-20
tahun) (Dhamayanti, 2013). Remaja di Indonesia (usia 10-19 tahun) berjumlah
sekitar 43 juta jiwa atau 19,61% dari total jumlah penduduk (Dhamayanti, 2013).
Pada tahun 2008, jumlah remaja di Indonesia diperkirakan telah mencapai 62 juta
jiwa (Jamela, 2008 dalam Dhamayanti, 2013).
Umumnya acne vulgaris paling banyak terjadi pada masa remaja serta
dapat sembuh sendiri (Wasitaatmadja, 2010). Hampir 85-100% orang pernah
mengalami penyakit ini dalam kehidupannya. Insiden acne pada remaja bervariasi
antara 30-60% dengan insiden terbanyak pada usia 14-17 tahun pada perempuan
dan 16-19 tahun pada laki-laki (Pindha, 2007 dalam Dhamayanti, 2013). Di
United States, mengenai 40 juta dari 50 juta penduduk Amerika (AAD, 2013).
Pada perempuan ras Afrika Amerika dan Hispanik mempunyai prevalensi acne
tinggi, yaitu 37% dan 32%, sedangkan perempuan ras Asia 30%, Kaukasia 24%,
dan India 23%. Acne dapat bertahan hingga usia 30 tahun (AL-Kubaisy et al,
2014).
Walaupun acne merupakan masalah yang banyak terjadi di masyarakat
terutama pada remaja, data epidemiologi yang ada masih sangat terbatas (Bhate,
2013). Di Indonesia sendiri, belum ada data angka kejadian dan faktor resiko yang
mempengaruhi acne vulgaris (Tjekyan, 2008).
Universitas Sumatera Utara
2
Berdasarkan data rekam medis Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) H.
Adam Malik Medan selama bulan periode bulan Januari – Desember 2008, 107
pasien (1,91%) dari 5.573 pasien yang berobat ke Poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit
dan Kelamin adalah pasien yang didiagnosis acne vulgaris, dimana 8,41% berusia
0-12 tahun, 90,6% berusia 13-35 tahun, dan 0,93% berusia 36-65 tahun. Hal
tersebut menandakan bahwa penderita acne vulgaris terbanyak terdapat pada usia
remaja dan dewasa muda (Anggrenni, 2014).
Riwayat acne pada keluarga, khususnya pada ayah atau ibu, meningkatkan
resiko kejadian acne pada anak. Pada studi epidemiologi yang dilakukan di
Perancis, diantara 913 remaja yang berusia diantara 11-18 tahun, pada kelompok
penderita yang mengalami acne, terdapat riwayat acne sebesar 16% pada ayah,
25% pada ibu, dan 68% pada saudara kandung. Sedangkan, pada kelompok
remaja yang tidak menderita acne, terdapat riwayat acne sebesar 8% pada ayah,
14% pada ibu, dan 57% pada saudara kandung. Adanya riwayat keluarga juga
dikaitkan dengan derajat keparahan acne serta meningkatkan sensitivitas kulit
terhadap obat yang mempunyai sedikit efek menimbulkan acne (D.Daniel et al.,
2000 dan V.Goulden et al., 1999 dalam Dreno et al., 2003). Banyak penelitian
yang menyatakan bahwa faktor keturunan merupakan faktor prognostik acne yang
penting. Riwayat keluarga juga dihubungkan dengan lebih awalnya kejadian acne
pada remaja, peningkatan jumlah lesi, dan kesulitan dalam proses terapi
(F.Ballanger et al., 2006 dalam Munawar et al., 2009)
Biasanya, acne vulgaris lebih sering terjadi pada laki-laki daripada
perempuan dengan rentang usia 15-44 tahun sebesar 34% pada laki-laki dan 27%
pada perempuan. Pada laki-laki, acne vulgaris biasanya lebih cepat berkurang,
walaupun gejala yang berat sering terjadi biasanya disebabkan oleh tingginya
sekresi sebum (Orkin, 1991 dalam Tjekyan, 2008). Androgen diketahui berperan
sebagai perangsang sekresi sebum. Tanpa adanya androgen, kelenjar sebacea akan
tetap kecil. Munculnya serangan acne secara mendadak yang disertai hirsutisme
atau kelainan menstruasi mungkin menunjukkan terdapat gangguan endokrin pada
perempuan (Stawiski, 2003).
Universitas Sumatera Utara
3
Hubungan antara makanan dan acne vulgaris masih diperdebatkan
(Tjekyan, 2008). Walaupun belum ada data yang cukup mendukung bahwa
konsumsi lemak ataupun asam lemak dapat meningkatkan resiko terjadinya acne,
asam lemak omega-6 merupakan pro-inflamasi dan mediator pro-inflamasinya
dihubungkan dengan kejadian acne. Sebaliknya, asam lemak omega-3 mempunyai
efek anti-inflamasi dan dihubungkan dengan efek penurunan resiko kejadian acne
(Ferdowsian et al, 2010). Begitu pula coklat, susu, seafood atau makanan lainnya.
Hingga saat ini belum ada bukti yang mencukupi untuk mendukung makanan
tersebut dapat langsung menyebabkan acne (Tjekyan, 2008).
Merokok merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan acne serta
bertambah parahnya penyakit tergantung dari banyaknya frekuensi merokok dan
jumlah batang yang dikonsumsi per hari (Knutsen-Larson et al, 2012). Perokok
pasif memungkinkan menghisap racun sama seperti perokok aktif (Trisnawati et
al, 2013). Penelitian yang dilakukan oleh Soldin et al. (2011) pada wanita
perokok aktif dan pasif untuk memeriksa konsentrasi serum hormon steroid,
didapatkan data tingginya kadar serum DHEA dan DHEAS berhubungan dengan
cotinine-defined passive smoker. Telah diketahui bahwa hormon tesebut dapat
memicu peningkatan produksi sebum (Savage et al., 2010).
Bukti mengenai hubungan kebersihan wajah dalam patogenesis acne
masih terbatas. Sebuah penelitian mengatakan bahwa mencuci muka dapat
menyebabkan traumatisasi dan eksaserbasi acne (Magin et al, 2005). Sedangkan,
penelitian lain mengatakan bahwa frekuensi membersihkan wajah berhubungan
linier dengan acne vulgaris, dimana makin sering membersihkan wajah makin
rendah angka kejadian acne vulgaris. Membersihkan wajah lebih dari 3 kali per
hari didapatkan angka kejadian acne hanya 2% (Tjekyan, 2008).
Perubahan siklus tidur merupakan kejadian yang normal pada remaja
dalam masa perkembangannya. Banyak remaja yang kekurangan kuantitas tidur,
dan hal ini tentu saja berpengaruh terhadap kualitas belajarnya di sekolah. Masa
remaja akhir cenderung lebih sering kekurangan tidur dibandingkan dengan masa
remaja awal, dikarenakan beban tugas akademik, sosial, dan ekstrakurikuler
(Colrain et al, 2011). Salah satu akibat dari berkurangnya kuantitas tidur pada
Universitas Sumatera Utara
4
hypothalamus-pituitary-adrenal (HPA) aksis adalah meningkatnya hormon
cortisol di plasma darah, yang akan menimbulkan respon stres (Reynolds et al,
2012). Derajat stres dihubungkan dengan pembentukan acne (Al-Kubaisy et al,
2014).
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di atas, maka peneliti
berkeinginan untuk melakukan penelitian tentang faktor risiko yang dapat
mempengaruhi kejadian acne vulgaris pada remaja siswa/i di 3 SMA Kecamatan
Medan Baru, Medan.
1.2.
Rumusan Masalah
Dengan memerhatikan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di
atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
Apakah faktor-faktor risiko yang dapat menyebabkan kejadian acne vulgaris pada
remaja siswa/i di 3 SMA Kecamatan Medan Baru, Medan?
1.3.
Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor risiko yang dapat
menyebabkan kejadian acne vulgaris pada remaja siswa/i SMA Swasta Kemala
Bhayangkari 1, SMA Swasta Nurul Hasanah, dan SMA Swasta Terpadu AlBukhari Muslim di Kecamatan Medan Baru, Medan.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Mengetahui angka kejadian acne vulgaris pada remaja siswa/i SMA
Swasta Kemala Bhayangkari 1, SMA Swasta Nurul Hasanah, dan
SMA Swasta Terpadu Al-Bukhari Muslim di Kecamatan Medan Baru,
Medan
2. Mengetahui distribusi frekuensi kejadian acne vulgaris pada remaja
SMA berdasarkan riwayat keluarga yang pernah menderita acne
vulgaris
Universitas Sumatera Utara
5
3. Mengetahui distribusi frekuensi kejadian acne vulgaris pada remaja
SMA berdasarkan jenis kelamin
4. Mengetahui distribusi frekuensi kejadian acne vulgaris pada remaja
SMA berdasarkan makanan yang dikonsumsi (coklat)
5. Mengetahui distribusi frekuensi kejadian acne vulgaris pada remaja
SMA berdasarkan status perokok pasif
6. Mengetahui distribusi frekuensi kejadian acne vulgaris pada remaja
SMA berdasarkan kuantitas tidur
7. Mengetahui distribusi frekuensi kejadian acne vulgaris pada remaja
SMA berdasarkan frekuensi mencuci wajah
1.4.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai :
1. Menambah pengetahuan peneliti tentang proses melakukan penelitian
2. Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan di bidang dermatologi,
terutama mengenai faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kejadian
acne vulgaris pada remaja
3. Hasil penelitian menjadi informasi tambahan bagi petugas kesehatan,
orang tua dan masyarakat, terutama para remaja tentang faktor-faktor
yang dapat mempengaruhi kejadian acne vulgaris sehingga diharapkan
membantu dalam menanggulangi kejadian acne vulgaris
4. Memberi data bagi peneliti lain di bidang dermatologi tentang faktorfaktor yang dapat mempengaruhi kejadian acne vulgaris pada remaja
Universitas Sumatera Utara