Faktor Risiko Yang Mempengaruhi Kejadian Acne Vulgaris Pada Siswa/I Di 3 Sma Kecamatan Medan Baru, Medan

(1)

FAKTOR RISIKO YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN

ACNE VULGARIS PADA SISWA/I DI 3 SMA KECAMATAN

MEDAN BARU, MEDAN

Oleh:

SARAH CHAIRANI ZAKIRAH .P

110100169

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2014


(2)

FAKTOR RISIKO YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN

ACNE VULGARIS PADA SISWA/I DI 3 SMA KECAMATAN

MEDAN BARU, MEDAN

KARYA TULIS ILMIAH

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh

Kelulusan Sarjana Kedokteran

Oleh :

SARAH CHAIRANI ZAKIRAH .P

110100169

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2014


(3)

(4)

ABSTRAK

Acne merupakan penyakit kulit yang sering terjadi pada hampir 85% masyarakat berumur 12-24 tahun, pada kondisi ketika sedang terjadi perubahan maksimum psikologis, sosial, dan fisik. Walaupun acne merupakan masalah yang banyak terjadi di masyarakat terutama pada remaja, data epidemiologi yang ada masih sangat terbatas.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor risiko yang dapat menyebabkan kejadian acne vulgaris pada remaja siswa/i beberapa SMA di Kecamatan Medan Baru, Kota Medan. Penelitian cross-sectional dilakukan terhadap 100 responden yang dipilih secara probability proportional to size untuk melihat hubungan antara acne dan faktor risiko. Analisis data menggunakan regresi logistik.

Dari 100 responden, didapatkan 72% mengalami acne vulgaris, sedangkan 28% tidak mengalami acne. Hasil analisis multivariat menunjukkan hanya riwayat keluarga, khususnya orang tua, yang menunjukkan hubungan yang signifikan dengan kejadian acne vulgaris pada responden (p<0,05). Sedangkan, pada variabel jenis kelamin, kekerapan mengkonsumsi coklat, status perokok pasif, kuantitas tidur, dan frekuensi mencuci wajah menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan dengan kejadian acne vulgaris (p>0,05). Sehingga, dapat disimpulkan dari penelitian ini bahwa riwayat keluarga merupakan faktor risiko yang paling berpengaruh terhadap kejadian acne vulgaris serta dapat dijadikan salah satu kriteria diagnosis acne vulgaris.


(5)

ABSTRACT

Acne is a skin disease that usually occurs in almost 85% in the community aged 12-24 years old, a condition when there was maximum changes in psychology, social, and physic. Although acne is a problem that often occurs in the community especially in adolescences, epidemiology data of acne is still limited.

A cross-sectionals was done to determine risk factors that affect the prevalence of acne vulgaris in adolescences among 100 students of several high schools. The samples was taken using probability proportional to size technique then followed by systematic sampling technique. The data was analysed by using logistic regression test.

Out of 100 respondents, 72% suffered from acne vulgaris, whereas 28% were not. The result of multivariate analysis showed that only family history, especially parents, that showed significant relationship with acne vulgaris (p<0,05). Whereas, other variables, such as gender, frequency of consuming chocolate, state of passive smoker, quantity of sleeping, and frequency of face washing showed no significant relationship with acne vulgaris (p>0,05). Based on these results, it can be concluded that family history is the most influential risk factor towards acne vulgaris and may be used as one of the diagnosis criteria for acne vulgaris.


(6)

PRAKATA

Puji dan syukur kepada Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmat, karunia serta hidayah-Nya, sehingga peneliti dapat menyelesaikan penelitian ini. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW, semoga kita adalah umatnya yang akan mendapatkan syafaatnya di hari akhir kelak.

Peneliti mengucapkan banyak terima kasih kepada kedua orang tua, Drs. Chairil Anwar Pohan, M.Si., MBA dan Sri Herlina Lubis, S.Ag serta keluarga yang selalu memberikan semangat selama proses pembuatan karya tulis ilmiah ini. Peneliti juga mengucapkan banyak terima kasih kepada dr. Putri Chairani Eyanoer, MS.Epi, PhD., selaku dosen pembimbing yang telah membimbing peneliti selama proses penyusunan proposal penelitian ini. Peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada Dr. dr. Oke Rina Ramayani, Sp.A dan dr. Remenda Siregar, Sp.KK selaku dosen penguji, dan para senior, khususnya Rizky Ramdhani, S.Ked., dr. Widya Deli Satuti dan teman-teman yang selalu memberikan semangat dan bantuannya, serta pihak – pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Proposal penelitian dengan judul “Faktor Risiko yang Mempengaruhi Kejadian Acne Vulgaris pada Siswa/i di 3 SMA Kecamatan Medan Baru, Medan” ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara serta sebagai langkah awal peneliti untuk melakukan berbagai penelitian selanjutnya.

Peneliti menyadari bahwa dalam penelitian ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu peneliti sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca agar peneliti dapat menyempurnakan penelitian yang akan dilakukan pada masa yang akan datang.

Medan, 2 Juni 2014


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PENGESAHAN... i

ABSTRAK... ii

ABSTRACT... iii

PRAKATA... iv

DAFTAR ISI... v

DAFTAR TABEL... vi

DAFTAR GAMBAR... vii

DAFTAR SINGKATAN... viii

DAFTAR LAMPIRAN... x

BAB 1 PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Rumusan Masalah... 4

1.3. Tujuan Penelitian... 4

1.3.1. Tujuan Umum... 4

1.3.2. Tujuan Khusus... 4

1.4. Manfaat Penelitian... 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA... 6

2.1. Definisi Acne Vulgaris... 6

2.2. Klasifikasi dan Grading Acne... 6

2.3. Faktor Risiko Acne Vulgaris... 7

2.3.1. Faktor Genetik... 8

2.3.2. Usia... 8

2.3.3. Jenis Kelamin... 9

2.3.4. Diet... 10

2.3.5. Merokok... 12

2.3.6. Kebersihan Wajah... 14

2.3.7. Kuantitas Tidur... 14

2.4. Etiopatogenesis... 16

2.4.1 Peningkatan Produksi Sebum oleh Kelenjar Sebaceous... 17

2.4.2. Keratinisasi Abnormal dari Epitel Folikular.... 21

2.4.3. Proliferasi dan Kolonisasi Bakteri Propionibacterium acnes di Dalam Folikel... 22

2.4.4. Proses Inflamasi dan Perubahan Adaptasi Respon Imun... 23

2.5. Manifestasi Klinis... 28

2.6. Diagnosis Banding Acne Vulgaris... 29

2.7. Diagnosis Acne Vulgaris... 30

2.8. Penatalaksanaan... 30

2.9. Komplikasi Acne Vulgaris... 31

2.9.1. Scar Atrofi... 32

2.9.2. Scar Hipertrofi dan Keloid... 32 BAB 3 KERANGKAKONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL 33


(8)

3.1. Kerangka Konsep... 33

3.2. Variabel dan Definisi Operasional... 34

3.2.1. Variabel Independen... 34

3.2.2 Variabel Dependen... 34

3.2.3. Definisi Operasional... 34

BAB 4 METODE PENELITIAN... 37

4.1. Jenis Penelitian... 37

4.2. Tempat dan Waktu Penelitian... 37

4.3. Popoulasi dan Sampel... 37

4.3.1. Populasi... 37

4.3.2. Sampel... 38

4.3.3. Kriteria Inklusi... 40

4.3.4. Kriteria Eksklusi... 40

4.4. Metode Pengumpulan Data... 40

4.4.1. Cara Pengambilan Sampel... 40

4.4.2. Peralatan untuk Pemeriksaan Sampel... 41

4.4.3. Pelaksanaan Pemeriksaan Sampel... 41

4.5. Metode Pengolahan dan Analisis Data... 41

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 43

5.1. Hasil Penelitian... 43

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian... 43

5.1.2. Karakteristik Responden ... 43

5.1.3. Hasil Analisis Data... 46

5.2. Pembahasan... 49

5.2.1. Jenis Kelamin... 50

5.2.2. Riwayat Keluarga... 51

5.2.3. Kekerapan Mengkonsumsi Coklat... 53

5.2.4. Status Perokok Pasif... 55

5.2.5. Kuantitas Tidur... 56

5.2.6. Frekuensi Mencuci Wajah... 57

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN... 59

6.1. Kesimpulan... 59

6.2 Saran ... 60

DAFTAR PUSTAKA... 63 LAMPIRAN


(9)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1. Diagnosis Banding Acne Vulgaris 29

3.1. Definisi Operasional 34

4.1. Besar Sampel Penelitian 39

4.2. Besar Sampel Setiap Sekolah 39

4.3. Besar Sampel Setiap Kelas SMA Swasta Kemala

Bhayangkari 1 Medan 39

4.4. Besar Sampel Setiap Kelas SMA Swasta Nurul Hasanah 39 4.5. Besar Sampel Setiap Kelas Sma Swasta Terpadu Al-Bukhari

Muslim 39

5.1. Karakteristik Responden Penelitian 44

5.2. Distribusi Frekuensi Acne Berdasarkan Karakteristik Responden

45 5.3. Distribusi Frekuensi Acne Berdasarkan Faktor-Faktor Risiko

di 3 SMA Kecamatan Medan Baru

46 5.4. Analisis Regresi Logistik Metode Backward 49


(10)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar 2.1. The steroidogenic pathway 21

Gambar 2.2. Mekanisme keterlibatan P. acnes dalam proses inflamasi 26 Gambar 2.3. Etipatogenesis acne vulgaris yang berhubungan dengan P.

acnes

27

Gambar 2.4. Tipe-tipe lesi acne comedonal 28

Gambar 2.5. Tipe-tipe lesi acne 29


(11)

DAFTAR SINGKATAN

AChR Acethylcoline receptor ACTH Adenocorticotropin hormone bp base pair

BPO Benzoyl peroxide CA Cytosine Adenosine

CRH Cortisol Releasing Hormone DHEAs Dehydroepiandrosterone sulfate DHT Dyhdrotestosterone

ECM Extracelluler matrix

FGFR Fibroblast growth factor receptor FSH Follicle stimulating hormone GH Growth Hormone

HPA aksis Hypothalamus-pituitary-adrenal aksis hβD Human β defensin

IGF Insulin-like growth factor

IL-1 Interleukin-1

K Keratin

LH Luteinizing hormone MC-1Rs Melanocortin 1 receptor MMPs Metalloproteinases

mRNA Messenger RNA

MUFA Monounsaturated fatty acid NPs Neuropeptides

PCOS Policystic Ovary Syndrome

PIH Postinflammatory hyperpigmentation

POMC Propiomelanocortin

PPARs Peroxisome proliferator-activated receptors ROS Reactive Oxygen Species

SGH Sebaceous gland hypertrophy SP Substance P

SREBP Sterol response-element binding protein T Testosterone

TIMPs Tissue inhibitors of metalloproteinases TNF-α Tumor Necroting Factor-α


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup Lampiran 2 Lembar Penjelasan

Lampiran 3 Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan (Informed Consent) Lampiran 4 Kuesioner untuk Responden

Lampiran 5 Surat Ethical Clearance

Lampiran 6 Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian di SMA Swasta Kemala Bhayangkari 1 Medan

Lampiran 7 Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian di SMA Swasta Nurul Hasanah

Lampiran 8 Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian di SMA Swasta Al-Bukhari Muslim

Lampiran 9 Tabel Hasil Perhitungan dengan Menggunakan Program Komputer SPSS


(13)

ABSTRAK

Acne merupakan penyakit kulit yang sering terjadi pada hampir 85% masyarakat berumur 12-24 tahun, pada kondisi ketika sedang terjadi perubahan maksimum psikologis, sosial, dan fisik. Walaupun acne merupakan masalah yang banyak terjadi di masyarakat terutama pada remaja, data epidemiologi yang ada masih sangat terbatas.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor risiko yang dapat menyebabkan kejadian acne vulgaris pada remaja siswa/i beberapa SMA di Kecamatan Medan Baru, Kota Medan. Penelitian cross-sectional dilakukan terhadap 100 responden yang dipilih secara probability proportional to size untuk melihat hubungan antara acne dan faktor risiko. Analisis data menggunakan regresi logistik.

Dari 100 responden, didapatkan 72% mengalami acne vulgaris, sedangkan 28% tidak mengalami acne. Hasil analisis multivariat menunjukkan hanya riwayat keluarga, khususnya orang tua, yang menunjukkan hubungan yang signifikan dengan kejadian acne vulgaris pada responden (p<0,05). Sedangkan, pada variabel jenis kelamin, kekerapan mengkonsumsi coklat, status perokok pasif, kuantitas tidur, dan frekuensi mencuci wajah menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan dengan kejadian acne vulgaris (p>0,05). Sehingga, dapat disimpulkan dari penelitian ini bahwa riwayat keluarga merupakan faktor risiko yang paling berpengaruh terhadap kejadian acne vulgaris serta dapat dijadikan salah satu kriteria diagnosis acne vulgaris.


(14)

ABSTRACT

Acne is a skin disease that usually occurs in almost 85% in the community aged 12-24 years old, a condition when there was maximum changes in psychology, social, and physic. Although acne is a problem that often occurs in the community especially in adolescences, epidemiology data of acne is still limited.

A cross-sectionals was done to determine risk factors that affect the prevalence of acne vulgaris in adolescences among 100 students of several high schools. The samples was taken using probability proportional to size technique then followed by systematic sampling technique. The data was analysed by using logistic regression test.

Out of 100 respondents, 72% suffered from acne vulgaris, whereas 28% were not. The result of multivariate analysis showed that only family history, especially parents, that showed significant relationship with acne vulgaris (p<0,05). Whereas, other variables, such as gender, frequency of consuming chocolate, state of passive smoker, quantity of sleeping, and frequency of face washing showed no significant relationship with acne vulgaris (p>0,05). Based on these results, it can be concluded that family history is the most influential risk factor towards acne vulgaris and may be used as one of the diagnosis criteria for acne vulgaris.


(15)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Acne adalah penyakit kulit yang terjadi akibat peradangan menahun folikel pilosebacea yang ditandai dengan adanya comedone, papul, pustul, nodus, dan kista pada tempat predileksinya (Wasitaatmadja, 2010). Plewig dan Kligman (1975) dalam Wasitaatmadja (2010) mengatakan bahwa terdapat tiga klasifikasi acne, yaitu : acne vulgaris dan varietasnya, acne venenata akibat kontaktan eksternal dan varietasnya, dan acne comedonal akibat agen fisik dan varietasnya.

Masa remaja dibagi menjadi 3 tahap, yaitu masa remaja awal (10-14 tahun), masa remaja pertengahan (15-16 tahun), dan masa remaja akhir (17-20 tahun) (Dhamayanti, 2013). Remaja di Indonesia (usia 10-19 tahun) berjumlah sekitar 43 juta jiwa atau 19,61% dari total jumlah penduduk (Dhamayanti, 2013). Pada tahun 2008, jumlah remaja di Indonesia diperkirakan telah mencapai 62 juta jiwa (Jamela, 2008 dalam Dhamayanti, 2013).

Umumnya acne vulgaris paling banyak terjadi pada masa remaja serta dapat sembuh sendiri (Wasitaatmadja, 2010). Hampir 85-100% orang pernah mengalami penyakit ini dalam kehidupannya. Insiden acne pada remaja bervariasi antara 30-60% dengan insiden terbanyak pada usia 14-17 tahun pada perempuan dan 16-19 tahun pada laki-laki (Pindha, 2007 dalam Dhamayanti, 2013). Di United States, mengenai 40 juta dari 50 juta penduduk Amerika (AAD, 2013). Pada perempuan ras Afrika Amerika dan Hispanik mempunyai prevalensi acne tinggi, yaitu 37% dan 32%, sedangkan perempuan ras Asia 30%, Kaukasia 24%, dan India 23%. Acne dapat bertahan hingga usia 30 tahun (AL-Kubaisy et al, 2014).

Walaupun acne merupakan masalah yang banyak terjadi di masyarakat terutama pada remaja, data epidemiologi yang ada masih sangat terbatas (Bhate, 2013). Di Indonesia sendiri, belum ada data angka kejadian dan faktor resiko yang mempengaruhi acne vulgaris (Tjekyan, 2008).


(16)

Berdasarkan data rekam medis Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) H. Adam Malik Medan selama bulan periode bulan Januari – Desember 2008, 107 pasien (1,91%) dari 5.573 pasien yang berobat ke Poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin adalah pasien yang didiagnosis acne vulgaris, dimana 8,41% berusia 0-12 tahun, 90,6% berusia 13-35 tahun, dan 0,93% berusia 36-65 tahun. Hal tersebut menandakan bahwa penderita acne vulgaris terbanyak terdapat pada usia remaja dan dewasa muda (Anggrenni, 2014).

Riwayat acne pada keluarga, khususnya pada ayah atau ibu, meningkatkan resiko kejadian acne pada anak. Pada studi epidemiologi yang dilakukan di Perancis, diantara 913 remaja yang berusia diantara 11-18 tahun, pada kelompok penderita yang mengalami acne, terdapat riwayat acne sebesar 16% pada ayah, 25% pada ibu, dan 68% pada saudara kandung. Sedangkan, pada kelompok remaja yang tidak menderita acne, terdapat riwayat acne sebesar 8% pada ayah, 14% pada ibu, dan 57% pada saudara kandung. Adanya riwayat keluarga juga dikaitkan dengan derajat keparahan acne serta meningkatkan sensitivitas kulit terhadap obat yang mempunyai sedikit efek menimbulkan acne (D.Daniel et al., 2000 dan V.Goulden et al., 1999 dalam Dreno et al., 2003). Banyak penelitian yang menyatakan bahwa faktor keturunan merupakan faktor prognostik acne yang penting. Riwayat keluarga juga dihubungkan dengan lebih awalnya kejadian acne pada remaja, peningkatan jumlah lesi, dan kesulitan dalam proses terapi (F.Ballanger et al., 2006 dalam Munawar et al., 2009)

Biasanya, acne vulgaris lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan dengan rentang usia 15-44 tahun sebesar 34% pada laki-laki dan 27% pada perempuan. Pada laki-laki, acne vulgaris biasanya lebih cepat berkurang, walaupun gejala yang berat sering terjadi biasanya disebabkan oleh tingginya sekresi sebum (Orkin, 1991 dalam Tjekyan, 2008). Androgen diketahui berperan sebagai perangsang sekresi sebum. Tanpa adanya androgen, kelenjar sebacea akan tetap kecil. Munculnya serangan acne secara mendadak yang disertai hirsutisme atau kelainan menstruasi mungkin menunjukkan terdapat gangguan endokrin pada perempuan (Stawiski, 2003).


(17)

Hubungan antara makanan dan acne vulgaris masih diperdebatkan (Tjekyan, 2008). Walaupun belum ada data yang cukup mendukung bahwa konsumsi lemak ataupun asam lemak dapat meningkatkan resiko terjadinya acne, asam lemak omega-6 merupakan pro-inflamasi dan mediator pro-inflamasinya dihubungkan dengan kejadian acne. Sebaliknya, asam lemak omega-3 mempunyai efek anti-inflamasi dan dihubungkan dengan efek penurunan resiko kejadian acne (Ferdowsian et al, 2010). Begitu pula coklat, susu, seafood atau makanan lainnya. Hingga saat ini belum ada bukti yang mencukupi untuk mendukung makanan tersebut dapat langsung menyebabkan acne (Tjekyan, 2008).

Merokok merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan acne serta bertambah parahnya penyakit tergantung dari banyaknya frekuensi merokok dan jumlah batang yang dikonsumsi per hari (Knutsen-Larson et al, 2012). Perokok pasif memungkinkan menghisap racun sama seperti perokok aktif (Trisnawati et al, 2013). Penelitian yang dilakukan oleh Soldin et al. (2011) pada wanita perokok aktif dan pasif untuk memeriksa konsentrasi serum hormon steroid, didapatkan data tingginya kadar serum DHEA dan DHEAS berhubungan dengan cotinine-defined passive smoker. Telah diketahui bahwa hormon tesebut dapat memicu peningkatan produksi sebum (Savage et al., 2010).

Bukti mengenai hubungan kebersihan wajah dalam patogenesis acne masih terbatas. Sebuah penelitian mengatakan bahwa mencuci muka dapat menyebabkan traumatisasi dan eksaserbasi acne (Magin et al, 2005). Sedangkan, penelitian lain mengatakan bahwa frekuensi membersihkan wajah berhubungan linier dengan acne vulgaris, dimana makin sering membersihkan wajah makin rendah angka kejadian acne vulgaris. Membersihkan wajah lebih dari 3 kali per hari didapatkan angka kejadian acne hanya 2% (Tjekyan, 2008).

Perubahan siklus tidur merupakan kejadian yang normal pada remaja dalam masa perkembangannya. Banyak remaja yang kekurangan kuantitas tidur, dan hal ini tentu saja berpengaruh terhadap kualitas belajarnya di sekolah. Masa remaja akhir cenderung lebih sering kekurangan tidur dibandingkan dengan masa remaja awal, dikarenakan beban tugas akademik, sosial, dan ekstrakurikuler (Colrain et al, 2011). Salah satu akibat dari berkurangnya kuantitas tidur pada


(18)

hypothalamus-pituitary-adrenal (HPA) aksis adalah meningkatnya hormon cortisol di plasma darah, yang akan menimbulkan respon stres (Reynolds et al, 2012). Derajat stres dihubungkan dengan pembentukan acne (Al-Kubaisy et al, 2014).

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di atas, maka peneliti berkeinginan untuk melakukan penelitian tentang faktor risiko yang dapat mempengaruhi kejadian acne vulgaris pada remaja siswa/i di 3 SMA Kecamatan Medan Baru, Medan.

1.2. Rumusan Masalah

Dengan memerhatikan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

Apakah faktor-faktor risiko yang dapat menyebabkan kejadian acne vulgaris pada remaja siswa/i di 3 SMA Kecamatan Medan Baru, Medan?

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor risiko yang dapat menyebabkan kejadian acne vulgaris pada remaja siswa/i SMA Swasta Kemala Bhayangkari 1, SMA Swasta Nurul Hasanah, dan SMA Swasta Terpadu Al-Bukhari Muslim di Kecamatan Medan Baru, Medan.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Mengetahui angka kejadian acne vulgaris pada remaja siswa/i SMA Swasta Kemala Bhayangkari 1, SMA Swasta Nurul Hasanah, dan SMA Swasta Terpadu Al-Bukhari Muslim di Kecamatan Medan Baru, Medan

2. Mengetahui distribusi frekuensi kejadian acne vulgaris pada remaja SMA berdasarkan riwayat keluarga yang pernah menderita acne vulgaris


(19)

3. Mengetahui distribusi frekuensi kejadian acne vulgaris pada remaja SMA berdasarkan jenis kelamin

4. Mengetahui distribusi frekuensi kejadian acne vulgaris pada remaja SMA berdasarkan makanan yang dikonsumsi (coklat)

5. Mengetahui distribusi frekuensi kejadian acne vulgaris pada remaja SMA berdasarkan status perokok pasif

6. Mengetahui distribusi frekuensi kejadian acne vulgaris pada remaja SMA berdasarkan kuantitas tidur

7. Mengetahui distribusi frekuensi kejadian acne vulgaris pada remaja SMA berdasarkan frekuensi mencuci wajah

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai : 1. Menambah pengetahuan peneliti tentang proses melakukan penelitian 2. Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan di bidang dermatologi,

terutama mengenai faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kejadian acne vulgaris pada remaja

3. Hasil penelitian menjadi informasi tambahan bagi petugas kesehatan, orang tua dan masyarakat, terutama para remaja tentang faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kejadian acne vulgaris sehingga diharapkan membantu dalam menanggulangi kejadian acne vulgaris

4. Memberi data bagi peneliti lain di bidang dermatologi tentang faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kejadian acne vulgaris pada remaja


(20)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Acne Vulgaris

Menurut Harahap (1998), Acne vulgaris merupakan peradangan kronik folikel pilosebacea yang ditandai dengan adanya comedone, papula, pustula, dan kista pada lokasi predileksinya, misalnya wajah, bahu, ekstremitas superior bagian atas, dada, dan punggung. Sekitar 85% remaja mengalami mengalami acne minor atau suatu bentuk acne yang ringan; sisanya menderita acne major atau bentuk acne yang cukup hebat sehingga menyebabkan mereka berobat ke dokter.

Umumnya, penyakit ini dapat sembuh sendiri (Wasitaatmadja, 2010) dan dapat menghilang sendiri pada usia sekitar 20-30 tahun (Stawiski, 2003). Kendati demikian, banyak pula orang setengah baya yang mengalami acne (Stawiski, 2005). Biasanya, insidens pada wanita terjadi pada sekitar usia 14-17 tahun, sedangkan pada pria sekitar usia 16-19 tahun (Wasitaatmadja, 2010).

Gambaran klinis acne vulgaris sering polimorfik, dimana dapat dapat terjadi berbagai kelainan kulit seperti komedo, papul, pustul, nodus, serta jaringan parut yang terjadi karena kelainan aktif tersebut, baik jaringan parut yang hipertrofik maupun yang hipotrofik (Wasitaatmadja, 2010).

Acne dan bentuk acne yang lain (acnelike atau acneiform) terjadi pada usia yang berbeda-beda, termasuk pada neonatus, bayi, anak-anak, dan dapat dikaitkan dengan diagnosis banding ataupun kelainan patologis sistemik lainnya diluar kategori usia remaja (Eichenfield et al., 2013).

2.2. Klasifikasi dan Grading Acne

Walaupun terdapat beberapa sistem untuk menilai tingkat keparahan acne, hingga saat ini belum ada standard yang dipakai secara universal. Terdapat beberapa pengelompokkan jenis klasifikasi, yaitu berdasarkan tingkat keseluruhan (overall grading), penghitungan lesi, dan fotografi (Harahap, 1998).

Untuk tujuan klinis, lebih direkomendasikan menggunakan klasifikasi yang sederhana. Menurut S.Strauss (2007), American Academy of Dermatology


(21)

(AAD) menganut sistem klasifikasi acne vulgaris menjadi 3 derajat dan merupakan sistem yang paling mudah digunakan, yaitu :

1. Derajat ringan : kasus yang terdapat sedikit atau beberapa papul dan pustul, tetapi tidak terdapat nodul

2. Derajat sedang : kasus yang dominan papul dan pustul, dengan sedikit nodul

3. Derajat berat : kasus yang mempunyai papul dalam jumlah banyak, pustul, dan nodul.

2.3. Faktor Risiko Acne Vulgaris

Beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian acne vulgaris adalah sebagai berikut :

1. Genetik 2. Usia

3. Jenis kelamin 4. Diet

5. Iklim 6. Merokok 7. Stres

8. Kebersihan wajah (Pindha, 2004)

2.3.1. Faktor Genetik

Pada patogenesis acne, perangsangan fibroblast growth factor receptor (FGFR) 2 tampak berperan (Kurokawa et al., 2009). Stimulasi androgen-dependent FGFR2b dikaitkan dengan terjadinya pembentukan acne (Melnik et al., 2008). Mutasi dari Ser252Trp-FGFR2 dengan peningkatan stimulasi FGFR2 juga dikaitkan dengan peningkatan ekspresi IL-1α (Lomri et al., 2001). Pada penderita acne didapatkan tingginya IL-1α, dimana IL-1α dilaporkan menyebabkan hiperkornifikasi infundibulum folikular (Ingham et al, 1992; Guy et al., 1996).

Mayoritas IGF -1 yang berada di sirkulasi berasal dari hati, tetapi aktivitas IGF di jaringan tidak hanya dipengaruhi IGF dan IGF-binding protein, tetapi juga dipengaruhi genetik dan produksi lokal. Polimorfisme promoter gen IGF-1 terdiri


(22)

dari mikrosatelit polimorfik yang tersusun atas pengulangan variabel cytosine adenosine (CA) yang terletak pada regio promoter 1-kb upstream dari tempat transkripsi IGF-1. Terdapat hubungan antara polimorfisme IGF-1 (CA) dengan IGF-1 yang berada di sirkulasi. Genotipe polimorfisme IGF-1 (CA) menghasilkan 3 kemungkinan genotipe, yaitu lebih rendah dari 192 bp, 192-194 bp, dan lebih tinggi dari 194 bp (Tasli et al., 2013). Carrier alel 192bp dan/atau 194bp dari promoter IGF-1 mempunyai IGF-1 sirkulasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang non-carrier (Kursunluoglu et al., 2009).

IGF-1 meningkatkan lipogenesis di SEB-1 sebocyte (Smith T. et al., 2008). Berdasarkan penelitian Tasli et al. (2013), didapatkan data bahwa carrier 192-194 lebih tinggi pada grup acne daripada grup kontrol, juga lebih tinggi frekuensinya pada penderita acne derajat berat daripada acne derajat ringan-sedang. Hal ini dapat disimpulkan bahwa polimorfisme IGF-1 berperan pada pembentukan acne dan derajat keparahan acne.

Salah satu mediator inflamasi yang mencetuskan terjadinya acne adalah metalloproteinases (MMPs). MMPs adalah zinc-dependent extracellular proteinases. MMPs terlibat dalam fungsi biologis normal, termasuk morfogenesis, penyembuhan luka, dan angiogenesis. Aktivitas MMPs diregulasi oleh tissue inhibitors of metalloproteinases (TIMPs) (Yaykasli et al., 2013). MMPs dan TIMPs berperan penting dalam remodelling matriks ekstraseluler (ECM) dan penyakit inflamasi, misalnya acne, yang menunjukkan adanya ketidakseimbangan antara MMPs dan TIMPs (Philips et al., 2011).

Adanya riwayat keluarga yang mengalami acne meningkatkan resiko dua kali lipat (Ghodsi et al., 2009). Acne dapat terjadi pada usia yang lebih muda dan lebih comedonal pada anak berkulit hitam daripada berkulit putih, kemungkinan karena onset pubertas yang lebih cepat (Do et al., 2009).

2.3.2. Usia

Hampir semua usia pernah mengalami acne, khususnya pada usia 15-17 tahun, serta berderajat sedang-berat pada 15-20% populasi (Williams et al., 2011). Dua belas persen perempuan dan 5 % laki-laki pada usia 25 tahun pernah


(23)

mengalami acne. Saat usia 45 tahun, hanya 5% perempuan dan laki-laki yang masih mengalami acne. Acne vulgaris dapat terjadi pada beberapa minggu dan bulan pertama kehidupan, karena neonatus masih dipengaruhi hormon maternal dan ketika androgen-producing portion terdapat secara disproporsional dalam jumlah besar di kelenjar adrenal (Raza et al., 2012).

Acne biasanya mulai terjadi pada awal pubertas dengan peningkatan produksi minyak di wajah dan comedones di pertengahan wajah, yang diikut i dengan lesi inflamasi. Onset awal acne, khususnya sebelum usia 12 tahun, biasanya lebih comedonal daripada inflamasi, mungkin karena pada usia tersebut belum terbentuk cukup sebum untuk mendukung P. acnes dalam jumlah besar (Williams et al., 2011). Pada usia diatas 20 tahun, terdapat penurunan acne secara bertahap. Acne inflamasi derajat ringan menurun atau bahkan menghilang saat usia remaja. Cytokines yang menginduksi perubahan comedogenic di infundibulum folikular juga dapat berperan dalam inhibisi sekresi lipid pada kelenjar sebaceous, yang mengakibatkan remisi pada lesi acne (Downie et al., 2002).

2.3.3. Jenis Kelamin

Acne vulgaris sering terjadi pada wanita usia dibawah 14 tahun dan laki-laki diatas 14 tahun. Pada wanita, keparahannya semakin meningkat seiring meningkatnya usia (Wu et al., 2007 dalam Munawar et al., 2009). Pada wanita, menstruasi dapat mempengaruhi acne, sekitar 60-70% acne yang diderita menjadi lebih parah beberpa hari sebelum menstruasi dan menetap hingga seminggu setelah menstruasi (Pindha, 2004). Pada usia remaja, acne lebih sering terjadi pada wanita terutama setelah onset pubertas dimulai. Sedangkan, pada usia diatas 20 tahun, acne pada wanita semakin berkurang. Gambaran klinis acne bervariasi tergantung pada umur dan jenis kelamin penderita (E.Xhauflaire-Uhoda et al., 2006 dalam Munawar et al., 2009).

Sedangkan, pada penelitian yang dilakukan oleh Hanisah et al. (2009), dikatakan bahwa acne lebih sering terjadi pada remaja laki-laki daripada perempuan. Hal ini mungkin dikarenakan peningkatan produksi sebum akibat


(24)

hormon androgen yang meningkat selama masa pubertas. Pada penelitian yang dilakukan oleh Raza et al. (2012) juga dikatakan bahwa acne vulgaris lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan selama masa remaja dan saat dewasa lebih sering terjadi pada perempuan.

2.3.4. Diet

Berbagai kontroversi mengenai makanan yang dapat menyebabkan acne, hingga saat ini masih dalam penelitian. Seringnya konsumsi makanan yang kaya akan karbohidrat dengan indeks glikemik yang tinggi pada remaja dapat menimbulkan risiko hiperinsulinemia akut sehingga mempengaruhi pertumbuhan epitel folikular, keratinisasi dan sekresi sebaceous (Costa et al., 2010).

Makanan barat yang dikaitkan dengan peningkatan beban glikemik, dapat memodulasi lesi acne dengan mengubah konsentrasi insulin di serum dan melalui aktivitas IGF-1, myogen stimulating proliferatin of cells di duktus ekskretori kelenjar sebaceous, IGF-binding protein-3, dan retinoid signalling pathway. Hiperinsulinemia dapat menyebabkan kenaikan kadar IGF-1 dan bersamaan dengan penurunan IGF-1-binding protein, yang mengkontribusi hiperproliferasi keratinocyte. Telah dibukt ikan bahwa IGF-1 meningkatkan konsentrasi androgen, dan androgen meningkatkan kadar IGF-1, yang menghasilkan lingkaran setan dan menstimulasi produksi sebum secara konstan (Wyrzykowska et al., 2013).

Penelitian telah menunjukkan bahwa terdapat hubungan susu dan acne (Knutsen-Larson et al., 2012). Hal ini didasarkan pada tingginya kadar IGF-1 di susu yang menyebabkan peningkatan androgen di sirkulasi (Bowe et al., 2010). Produk susu berisi molekul 5α-reduced steroid yang merupakan prekursor DHT yang akan menstimulasi unit pilosebaceous sehingga terjadi hiperkeratinisasi dan produksi sebum, sehingga blokade enzim 5α-reductase bukan menjadi tujuan manajemen acne (A.Darling et al., 1974 dalam Bowe et al., 2010).

Susu meningkatkan comedogenicity melaui interaksi IGF-1 pathway. Susu, khususnya susu skim, mempunyai korelasi positif dengan lebih tingginya kadar IGF-1. IGF-1 menstimulasi sintesis androgen di ovarium dan testis serta menginhibisi sintesis sex hormone-binding globulin di hepar, yang mengakibatkan


(25)

kenaikan bioavailabilitas androgen. Baik IGF-1 maupun androgen sama-sama meningkatkan produksi sebum yang terlibat dalam patogenesis acne (Bowe et al., 2010).

Produk susu mengandung progesteron plasenta dan prekursor hormon dihydrotestosterone, misalnya 5α-pregnanedione dan 5α-androstenedione, yang merupakan faktor acnegenic. Berbagai hormon dan zat kimia lain terdapat dalam susu, tetapi IGF-1 dan hormon steroid mempunyai pengaruh terbesar dalam patogenesis acne, khususnya disfungsi unit pilosebaceous (Wyrzykowska et al., 2013). Keseluruhan substansi yang terdapat dalam susu merupakan zat yang memicu pertumbuhan dan meningkatkan produksi sebum (Raza et al., 2012).

Pada penelitian yang dilakukan pada 1200 orang, termasuk 300 orang berusia 15-25 tahun, di Pulau Kitava di New Guinea dan 115 orang di Paraguay tidak didapatkan adanya kasus acne. Masyarakat Pulau Kitava mengkonsumsi makanan kebanyakan hanya buah, ikan, dan kelapa. Masyarakat Paraguay umumnya mengkonsumsi hasil pertanian mereka, jagung, dan nasi. Sehingga dapat diasumsikan bahwa rendahnya insiden acne di daerah tersebut, tidak hanya berhubungan dengan faktor genetik, tetapi juga dengan lingkungan, khususnya makanan dengan indeks glikemik yang rendah (Wyrzykowska et al., 2013).

Efek coklat terhadap produksi cytokine diinduksi oleh P. acnes, dan S.aureus, dua organisme yang terlibat dalam patogenesis dan komplikasi acne. Coklat mempunyai efek stimulasi cytokines proinflamasi, misalnya TNF-α dan IL-1b, yang diinduksi oleh P. acnes. Coklat meningkatkan produksi cytokine anti-inflamasi IL-10 dan menurunkan produksi IL-22, yang diinduksi oleh S.aureus (Witte et al., 2010). IL-10 berfungsi memodulasi cytokine yang dapat menurunkan pertahanan tubuh melawan S. aureus, sedangkan IL-22 menginduksi produksi defensins dari sel epitel. Konsumsi coklat dapat memfasilitasi suprainfeksi lesi acne akibat S. aureus, yang kemudian akan memperberat lesi di kulit dan memperlambat proses penyembuhan (Netea et al., 2013).

Pada penelitian yang dilakukan oleh kelompok peneliti Australia yang membandingkan profil plasma pasien setelah mengkonsumsi makanan berbahan coklat dan non-coklat, didapatkan peningkatan post-prandial insulinemia pada


(26)

dewasa muda yang mengkonsumsi produk coklat (rata-rata 28% lebih tinggi). Kadar tertinggi didapatkan pada pasien yang mengkonsumsi coklat susu (rata-rata 48% lebih tinggi dibandingkan dengan susu murni), dan susu yang mengandung coklat hitam dibandingkan dengan coklat putih didapatkan 13% lebih tinggi. Hal tersebut mungkin terjadi karena coklat mengandung bahan-bahan yang secara biologis aktif, seperti kafein, teobromine, serotonin, phenylethylamine, trigliserida, dan cannabinoid-like fatty acids, yang meningkatkan sekresi dan resistensi perifer dari insulin. Terlebih lagi, coklat mengandung asam amino (misalnya, arginine, leucine, dan phenylalanine) yang mempunyai sifat insulinotropic ketika dimakan bersama karbohidrat. Asam amino lain, seperti valine, lysine, dan isoleucine juga terdapat pada makanan lain khususnya makanan yang kaya akan laktosa, juga mempunyai sifat tersebut (Costa et al., 2010).

Mengkonsumsi ikan dan makanan laut lainnya dapat menurunkan insiden acne karena makanan tersebut kaya akan asam lemak omega-3. Asam lemak omega-3 terbukti merupakan leukotriene B4-inhibitor, yang kemudian menurunkan produksi sebum dan memperbaiki konsisi inflamasi acne. Makanan tersebut juga kaya akan asam lemak polyunsaturated. Kedua asam lemak tersebut telah diketahui menurunkan kadar androgen (Raza et al., 2012).

Makanan yang kaya akan serat dan rendah lemak juga mengkontribusi penurunan produksi sebum. Konsumsi makanan yang mengandung 30% serat per hari dilaporkan terjadi penurunan acne, dan hal ini mungkin terjadi karena rendahnya beban glikemik yang terkandung di dalamnya (Raza et al., 2012). 2.3.5. Merokok

Sebocytes yang matang maupun yang belum berdiferensiasi mengkspresikan subunit AChR yang berbeda (Kurzen et al., 2004). Hal tersebut mengimplikasikan diferensiasi sebocyte, produksi ataupun komposisi sebum dapat diubah secara endogen melalui ACh yang bekerja secara parakrin atau distimulasi secara eksogen oleh nikotin. Adanya AChR dan aktivitas nikotinik juga ditemukan pada hiperplasia infundibular epitelial dan sumbatan pada folikel. Hal


(27)

tersebut menandakan peran penting dari sistem kolinergik pada acne vulgaris (A.Hana et al., 2007 dalam Kurokawa et al., 2009).

Nikotin dan komponen lain dari rokok dapat menginduksi perubahan mikrosirkulasi akibat terjadinya vasokonstriksi dan hipoksemia, serta adanya efek inhibisi kemotaksis neutrofil dan limfosit yang berperan penting dalam perubahan komposisi sebum (Capitanio et al., 2009). Tetapi, merokok dapat meningkatkan stres oksidatif dan menurunkan kadar α-tocopherol dalam plasma (Handelman et al., 1994). Stres oksidatif tersebut juga mengakibatkan rendahnya kadar α -tocopherol dalam sebum, yang berfungsi sebagai antioksidan utama di permukaan kulit (Passi et al., 2002) . Penderita yang mengalami acne, memiliki peroksidasi lipid yang lebih tinggi (Zouboulis et al., 2003). Diantara lipid yang telah mengalami proses peroksidasi, squalene merupakan lipid yang paling penting, karena mempunyai efek hiperproliferasi pada keratinocyte. Semakin rendahnya α -tocopherol, semakin meningkat squalene peroxide pada sebum perokok. Sehingga, merokok dapat mengakibatkan produksi reactive oxygen species (ROS) (Capitanio et al., 2009).

Beberapa peneliti menyatakan bahwa merokok mempunyai efek anti-inflamasi dalam patogenesis acne dan tembakau mempunyai peran protektif terhadap munculnya penyakit ini. Tetapi, pada penelitian lain mengatakan merokok meningkatkan risiko kejadian acne vulgaris (Mannocci et al., 2012). Petrou (2009) dalam Mannocci (2010) mengatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara durasi merokok dan dan derajat keparahan acne. Perbedaan perokok berat dan ringan dikaitkan dengan efek nikotin pada nicotinic cholinergic receptors. Pada dosis rendah, nikotin menstimulasi reseptor acethylcholine, sedangkan pada dosis tinggi nikotin memblok reseptor tersebut secara selektif. Nikotin meningkatkan adhesi, diferensiasi, dan apoptosis keratinocyte, serta menginhibisi migrasi keratinocyte. Nikotin juga mengubah respon imun melalui interaksi dengan sel T. Di sisi lain, nikotin memperparah keadaan inflamasi buccal, tetapi memperbaiki inflamasi di usus halus dan kolon (Klaz et al., 2006).


(28)

2.3.6. Kebersihan Wajah

Mencuci wajah berlebihan dapat menyebabkan hilangnya minyak di permukaan wajah yang akan menyebabkan kekeringan pada wajah, sehingga menstimulasi produksi minyak lebih banyak (Magin et al., 2005). Membersihkan wajah dua kali sehari dengan pembersih yang ringan dan dengan PH yang seimbang direkomendasikan untuk kulit yang memiliki acne (Ray et al., 2013; Eichenfield et al., 2013). Membersihkan wajah berlebihan, menggunakan scrub, atau menggunakan pembersih yang kuat atau produk astringent (toner dengan alkohol) dapat mengiritasi kulit sehingga dapat memperparah kejadian acne (Ray et al., 2013). Tetapi, pada penelitian yang dilakukan oleh Al-Kubaisy et al. (2014), didapatkan prevalensi yang rendah pada responden yang mencuci muka lebih dari lima kali sehari.

2.3.7. Kuantitas Tidur

Kortisol merupakan hormon stres yang dihasilkan oleh aksis adrenal (Khani et al., 2001). Beberapa penelitian menunjukkan pembatasan jumlah jam tidur dapat meningkatkan kadar kortisol plasma selama sore dan menjelang pagi hari. Efek kurang tidur pada aksis adrenal, khususnya sebagai respon stres dapat mengakibatkan perubahan metabolisme glukosa yang langsung bekerja pada kelenjar adrenal ataupun secara tidak langsung melalui perubahan hormon pituitari, misalnya ACTH. Leptin merupakan adipokine yang bekerja sebagai sinyal kenyang (Mantzoros et al., 2011). Kurang tidur dapat menurunkan kadar leptin dan meningkatkan rasa lapar dan nafsu makan. Penurunan kadar leptin dapat memperburuk sensitivitas insulin, meningkatkan lipid di sirkulasi, sehingga dapat mengakibatkan obesitas dan obesitas abdominal melalui ketidakseimbangan energi dan meningkatnya keinginan untuk memakan makanan kaya karbohidrat (Reynolds et al., 2012).

Adanya kelebihan jaringan adiposa dapat menginduksi peroksidasi lipid, yang akan mempengaruhi proses inflamasi dari innate immunity yang merupakan bagian dari patogenesis acne vulgaris (Rohr., 2002). Wanita obesitas yang mengalami acne menunjukkan kadar IL-1 yang lebih tinggi dibandingkan dengan


(29)

yang tidak mengalami acne (Abulnaja, 2009). Hal ini terjadi karena efek dari leptin dan resistensi insulin terhadap mekanisme inflamasi. Produksi IL-1 mempengaruhi kelenjar sebaceous dan sebocyte dalam memproduksi dan mengekskresi sebum. Peningkatan ekskresi sebum berhubungan dengan pembentukan lesi acne (Zouboulis, 2003).

Pada penelitian yang dilakukan Leproult et al. (2011), dikatakan bahwa tidak terdapat penurunan kadar testosteron pada pembatasan jam tidur, yaitu 4 jam dalam sehari selama 5 malam (04:00–08:00). Sedangkan, pada penelitian lain dikatakan bahwa terdapat penurunan kadar testosteron pada pembatasan jam tidur, yaitu 5 jam dalam sehari selama 8 malam (12:30–05:30). Hal ini mungkin dapat berpengaruh akibat perbedaan waktu dan durasi jam tidur. Penelitian menunjukkan pembatasan jam tidur hingga 4.5 jam dapat menurunkan kadar testosteron pada paruh pertama malam jika dibandingkan pada paruh kedua malam (Wittert, 2014; Schmid et al., 2012). Kadar testosteron semakin menurun dengan lebih awalnya jam bangun tidur (Axelsson et al., 2005).

Sedangkan, teori lain mengatakan bahwa pada kurang tidur dapat menyebabkan stres fisiologis yang akan menyebabkan aktivasi HPA aksis, sehingga meningkatkan kortisol di sirkulasi (Reynolds et al., 2012). Selama respon stress akut, nukleus paraventrikular hipotalamus mengeluarkan CRH yang kemudian bekerja di kelenjar pituitari dengan menginduksi ACTH, sehingga menyebabkan korteks adrenal mengeluarkan kortisol. (Pavlovsky et al., 2007). Teori lain juga mengatakan bahwa pada penderita acne, mungkin terdapat peningkatan kortisol dan androgen adrenal. Kedua hormon tersebut dapat memperberat acne dan menginduksi hiperplasia kelenjar sebaceous selama penderita mengalami stres emosional (Huynh et al., 2013).

Tetapi, stres menginduksi perubahan sistem kolinergik lokal yang kemudian akan mengubah respon inflamasi. Stimulasi vagal dapat menginhibisi respon inflamasi melalui aktivasi nicotinic acethylcholine receptors. Stres juga dapat menginduksi perubahan homeostasis barrier permeabilitas epidermis yang dimediasi oleh glukokortikoid endogen. Mekanismenya melibatkan inhibisi sintesis lipid epidermis yang kemudian akan menurunkan sekresi dan


(30)

pembentukan badan lamelar, serta adanya penurunan corneodesmosomes, sehingga keseluruhannya dapat menurunkan homeostasis barrier permeabilitas epidermis dan menurunkan integritas stratum korneum (Pavlovsky et al., 2007).

Prevalensi mental distress paling sering terjadi pada remaja tahap lanjut dimana acne merupakan kondisi yang sering terjadi (Halvorsen et al., 2009). Hal ini dapat terjadi karena adanya faktor neurogenik yang dapat mengkontribusi eksaserbasi pembentukan acne, yang kemungkinan mekanismenya adalah melalui neuropeptida substansi P dan peningkatan jumlah serat saraf di sekitar kelenjar sebaceous pada pasien acne. Stres dapat mempengaruhi pengeluaran substansi P dari saraf perifer yang kemudian dapat meningkatkan lipogenesis di kelenjar sebaceous. Peningkatan serat saraf pada kulit yang mengalami acne dapat disebabkan karena ekspresi nerve growth factor pada kelenjar sebaceous yang mekanisme kerjanya adalah sebagai molekul neurotropik yang menstimulasi pembentukan jaringan saraf di kulit (Toyoda et al., 2003).

Penelitian yang dilakukan oleh Ganceviciene et al. (2008), mengatakan bahwa tingginya ekspresi CRH terdapat dalam sebocytes kulit yang mempunyai acne, pada seluruh tahapan diferensiasi sebocyte. Sedangkan, pada kulit yang tidak mempunyai acne, misalnya di paha ataupun pada responden yang mempunyai kulit wajah yang bersih dari acne, timbulnya acne bergantung pada tahapan diferensiasi dari sebocyte. Ekspresi CRHBP cukup kuat dalam diferensiasi sebocyte pada kulit yang mempunyai acne, yang merupakan akibat dari reaksi stres lokal pada acne. Sehingga, disimpulkan bahwa CRH berperan sebagai central director, melalui CRHR-1, sebagai respon neuroendokrin terhadap eksaserbasi acne yang diinduksi oleh stres.

2.4. Etiopatogenesis

Terdapat empat faktor yang paling berpengaruh terhadap patogenesis acne vulgaris, yaitu peningkatan produksi sebum oleh kelenjar sebaceous, keratinisasi abnormal dari epitel folikular, proliferasi dan kolonisasi bakteri Propionibacterium acnes di dalam folikel, serta proses inflamasi dan perubahan


(31)

adaptasi respon imun (Pindha, 2004; Thielitz et al., 2013; Dawson et al., 2013; Behrman et al, 2003).

2.4.1 Peningkatan Produksi Sebum oleh Kelenjar Sebaceous

Acne sering terjadi pada remaja saat growth hormone (GH) disekresi maksimal dan kadar serum IGF-1 mencapai puncaknya. IGF-1 juga diproduksi secara lokal di kulit yang akan yang akan berinteraksi dengan reseptor sehingga menstimulasi pertumbuhannya (Thiboutot et al, 2003) . Efek stimulasi T dan DHT terlihat dengan adanya proliferasi sebocyte pada kultur sebocyte manusia dan hamster. Pemberian DHT pada kelenjar sebaceous telinga hamster secara in vivo menunjukkan adanya proliferasi kelenjar sebocyte, diferensiasi, dan induksi lipogenesis yang melibatkan upregulation dari sterol response-element binding protein (SREBP) pathway, yang merupakan regulator kunci dari dari lipogenesis (Kurokawa et al., 2009). SREBP juga terdapat pada sebocytes manusia (Harrison et al., 2007). Pembentukan microcomedone disebabkan karena hiperproliferasi atau hiperkeratinisasi dari infrainfundibulum kanal folikel. Hal tersebut ditentukan oleh tingginya aktivitas 5α-reductase tipe 1 yang terdapat pada infrainfundibulum folikel yang dihubungkan dengan adanya abnormalitas diferensiasi keratinocytes (Thiboutot et al., 1997).

Adanya peningkatan produksi sebum pada orang yang mengalami acne bukan merupakan satu-satunya faktor yang mengkontribusi munculnya acne (Youn et al., 2005). Umumnya, remaja mengalami peningkatan ekskresi sebum, tetapi hanya beberapa kasus yang berkaitan dengan regulasi metabolisme lipid yang abnormal, misalnya penurunan kadar asam linoleat (T.Downing et al., 1986 dalam Kurokawa et al, 2009). Adanya desaturasi asam lemak kelenjar sebaceous juga merupakan salah satu faktor yang dapat mengkontribusi munculnya acne. Peningkatan perbandingan antara saturated dengan monounsaturated bersamaan dengan adanya penurunan desaturasi enzimatik dari C16 dapat berhubungan

dengan jumlah lesi akibat acne dan juga perbaikan secara klinisnya (Smith R. et al., 2008). Penanda adanya sebum pada orang yang mengalami acne adalah adanya lipoperoxides, terutama karena adanya peroxidasi squalene dan penurunan


(32)

kadar vitamin E, yang merupakan antioksidan sebum utama (Ottaviani et al., 2006).

Lipoperoxides dan MUFA dalam hal ini dapat merangsang perubahan proliferasi dan diferensiasi keratinocyte, sedangkan peroksida dapat merangsang produksi sitokin proinflamasi dan mengaktivasi peroxisome proliferator-activated receptors (PPARs) (Kurokawa et al., 2009).

Distribusi acne sesuai dengan tingginya kerapatan dari unit pilosebaceous di tubuh, yaitu di wajah, leher, dada bagian atas, bahu, dan punggung (Williams et al., 2011). Pada saat masa pubertas, kelenjar sebaceous membesar dan produksi sebum meningkat sebagai respon terhadap meningkatnya aktivitas dari hormon androgen yang terutama berasal dari kelenjar adrenal. Prevalensi dan keparahan acne mempunyai korelasi dengan perkembangan saat masa pubertas dan jumlah produksi sebum (Behrman et al, 2003).

Munculnya acne saat masa prepubertas yang berkisar antara umur 7-10 tahun, berhubungan erat dengan jumlah wax esters pada lipid di permukaan kulit dan konsentrasi serum androgenic steroid dehydroepiandrosterone sulfate (DHEAS) yang disekresikan terutama oleh kelenjar adrenal (Behrman et al, 2003).

Banyak orang yang mengalami acne tetapi mempunyai kadar androgen sirkulasi yang normal, yang menunjukkan bahwa tingkat keparahan acne tidak berhubungan dengan kadar serum androgen. Androgen mungkin berperan hanya untuk memulai munculnya acne. Produksi androgen lokal di kulit ataupun tingginya ekspresi dan respon reseptor androgen yang berlebihan mungkin juga dapat berperan dalam pembentukan acne (Kurokawa et al., 2009).

Androgen menstimulasi produksi sebum dan menyebabkan hipertrofi kelenjar sebaceous (SGH) serta acne pada saat adrenarche dan pubertas. Walaupun androgen dikaitkan dengan produksi sebum yang berperan dalam patogenesis acne, hubungan antara kadar androgen di sirkulasi dengan tingkat keparahan acne masih sulit untuk dibuktikan baik pada remaja maupun pada dewasa (Kuiri-Hänninen et al., 2013). Peningkatan kadar serum DHEAS selama adrenarche dikaitkan dengan produksi sebum pada kedua jenis kelamin (Stewart


(33)

et al., 1992). Androgen atau prekursor utama dari androgen adalah dehydroepiandosterone (DHEA) dihasilkan oleh korteks adrenal. Kemudian, DHEA akan diubah menjadi androgen yang lebih poten yaitu androstenedione oleh enzim 3β-OHSD dan ∆5,4-isomerase. Reduksi androstenedione di posisi C17

menyebabkan terbentuknya androgen yang paling poten yaitu testosteron (T) yang sebagian besar konversi ini berlangsung di testis. Testosteron dimetabolisme di banyak jaringan termasuk hati, yang akan menghasilkan 17-ketosteroid yang umumnya inaktif ataupun kurang aktif dibandingkan dengan senyawa utama. Jalur metabolisme yang lain kurang efisien, terutama terjadi di jaringan target dan menghasilkan metabolit poten dihydrotestosterone (DHT). DHT merupakan produk metabolik yang paling signifikan dari testosteron karena merupakan bentuk hormon yang aktif di banyak jaringan, misalnya prostat, genitalia eksterna, dan beberapa bagian kulit (Granner, 2006). Kulit mempunyai semua enzim yang dibutuhkan untuk mengubah DHEAS menjadi androgen yang lebih poten. Jika dibandingkan, pada bagian kulit yang mempunyai acne terdapat peningkatan aktivitas enzim 5α-reductase (SRD5A) tipe 1 yang mengkonversi T menjadi DHT di kelenjar sebaceous daripada bagian kulit yang tidak mempunyai acne (Thiboutot et al., 1995). Pada penelitian yang dilakukan dalam mengevaluasi hubungan kadar postnatal androgen dengan sebaceous gland hypertrophy (SGH) dan acne pada bayi, didapatkan data bahwa SGH dan acne berhubungan dengan penigkatan kadar hormon androgen pada bayi selama bulan pertama kehidupan. Kadar T dalam urin tidak semata-mata berasal dari sirkulasi tetapi juga berasal dari perifer yang merupakan konversi prekursornya di jaringan, misalnya hati dan kulit. Hal ini dapat dikaitkan dengan produksi sebum selama masa remaja, dan setidaknya hampir semua individu pernah mengalami acne ringan yang berhubungan dengan kenaikan kadar androgen (Kuiri-Hänninen et al., 2013).

Produksi sebum oleh kelenjar sebacea diatur oleh hormon androgen, baik yang terdapat dalam sirkulasi maupun yang dihasilkan oleh jaringan (Pindha, 2004). Peningkatan androgen di sirkulasi mengakibatkan peningkatan produksi sebum yang kemudian menyebabkan obstruksi folikel akibat dari penumpukan


(34)

substansi yang kaya akan lemak, sehingga membentuk komedo tipe terbuka dan tertutup (Brown et al., 1996; Thielitz et al, 2008; Dawson et al, 2013).

Kelenjar sebaceous manusia telah terbukti mempunyai reseptor NPs, misalnya CRH, melanocortins, β-endorphin, vasoactive intestinal polipeptida, NP Y, dan calcitonin gene-related peptida (Kurokawa et al, 2009). Juga telah terbukti adanya Adanya CRH, CRHBP dan reseptornya CRH-R1 dan R2 pada kelenjar sebaceous manusia secara in vivo dan sebocyte SZ95 (Kurokawa et al., 2009). HPA aksis mempunyai peranan respon neuroendokrin kelenjar sebaceous terhadap stres (Ziegler et al., 2007). CRH dapat menginhibisi proliferasi dan menginduksi sintesis lipid netral pada sebocytes SZ95, dan testosteron antagonis terhadap CRH dengan downregulating reseptor CRH-R pada sebocyte manusia secara in vitro. GH yang juga meningkatkan sistesis kelenjar sebaceous, memodifikasi CRH-R dengan menurunkan level mRNA dari CRH-R1 serta meningkatkan level mRNA dari CRH-R2, meningkatkan pelepasan IL-6 dan IL-8 pada SZ95 sebocytes secara in vitro melalui IL--independent pathway (Bohm et al., 2002). CRH juga meningkatkan ekpresi mRNA dari ∆5-3β-hydroxysteroid dehydrogenase pada sebocytes manusia secara in vitro, yang merupakan enzim yang bertanggung jawab dalam aktivasi androgen dan mengubah DHEA menjadi T (Zouboulis et al., 2002). Sistem propiomelanocortin (POMC) juga mempunyai peranan penting sebagai sistem neuromediator dalam mengatur kelenjar sebaceous. α-melanocyte stimulating hormone (α-MSH) dapat menstimulasi diferensiasi sebocyte dan lipogenesis. Sebocyte manusia mempunyai MC-1Rs dan MC-5Rs secara in vivo dan in vitro (Kurokawa et al., 2009). MC-1Rs terdapat pada sebocytes yang belum berdiferensiasi dan telah berdiferensiasi. Sedangkan, MC-5Rs hanya terdapat pada sebocytes yang telah berdiferensiasi, yang menunjukkan bahwa MC-1Rs tidak bertanggung jawab terhadap proses diferensiasi dan lipogenesis dari sel sebaceous (Li, et al., 2006). Sebuah penelitian juga menunjukkan bahwa kelenjar sebaceous yang terlibat acne mengekspresikan kadar yang lebih tinggi dari MC-1Rs daripada kelenjar sebocytes yang sehat (Ganceviciene et al., 2007).


(35)

Pada kulit terdapat gen yang yang mengatur propiomelanocortin, CRH, dan corticotropin-releasing hormone receptor (CRHR) (Slominski et al., 1995, dalam Bhambri et al, 2009). Kelenjar sebaceous mempunyai peranan penting dalam innate immune system, memproduksi berbagai peptida antimikrobial, neuropeptida, dan lipid antibakterial, misalnya sapienic acid (C.Zouboulis et al., 2002 dalam Bhambri et al., 2009). Kelenjar sebaceous berfungsi sebagai organ endokrin yang independen yang dipengaruhi oleh corticotropin-releasing hormone (CRH) (C.Zouboulis et al., 2004 dalam Williams et al., 2011). CRH dilaporkan menyebabkan lipogenesis dan meningkatkan ekspresi mRNA dari 5-3-β-hydroxysteroid dehidrogenases, enzim yang mengkonversi dehydroepiandrosterone menjadi testosteron di sebocytes manusia (Zouboulis et al., 2002).

Gambar 2.1. The steroidogenic pathway (Ewadh et al., 2011)

2.4.2. Keratinisasi Abnormal dari Epitel Folikular

Hiperkeratinisasi di folikular infundibulum dan duktus sebaceous menghasilkan microcomedone. Pada mikroskop elektron, pola hiperkeratinisasi menunjukkan retensi hiperkeratosis dengan peningkatan jumlah dan ukuran granul keratohyalin serta akumulasi droplet lipid dan pelipatan dari sel epitel yang


(36)

merupakan efek dari penekanan (D.Knutson., 1974 dalam Kurokawa, I. et al., 2009).

IL-1α diketahui menginduksi hiperkeratinisasi pada infundibulum

folikular secara in vivo dan in vivo (Guy et al., 1996).Keratinisasi infundibulum yang abnormal dikaitkan dengan kelainan pada difernsiasi terminal dari keratinosit infundibulum yang berhubungan dengan ekspresi filaggrin (filament aggregating protein) (L.Kurokawa et al., 1988 dalam Kurokawa, I. et al., 2009). Pada keratinosit terdapat hiperkeratinisasi dan hiperproliferasi, dengan ekspresi marker hiperproliferasi keratin (K) 6 dan K16 (Hughes et al., 1996). Il-1α mengaktivasi keratinosit basal melalui produksi secara autokrin termasuk ekspresi K16 di sel suprabasal pada keadaan aktif (Freedberg et al., 2001).

Penumpukan keratin dalam folikel dapat disebabkan oleh bertambahnya produksi korneosit pada duktus pilosebacea, pelepasan korneosit yang tidak sempurna, ataupun kombinasi dari keduanya. Meningkatnya sebum pada penderita acne dapat mengakibatkan penurunan konsentrasi asam linoleat setempat pada epitel folikel, yang selanjutnya akan mengakibatkan hiperkeratosis folikuler serta menurunnya fungsi barrier dari epitel. Pada komedo juga dijumpai penurunan sterol bebas, dimana terjadi ketidakseimbangan antara kolesterol bebas dengan kolesterol sulfat, yang mengakibatkan bertambahnya adhesi korneosit pada infundibulum serta terjadi retensi keratin akibat hiperkeratosis folikular (Harahap, 1998).

2.4.3. Proliferasi dan Kolonisasi Bakteri Propionibacterium acnes di Dalam Folikel

Terdapat tiga macam mikroba yang terlibat dalam patogenesis acne, yaitu Propionibacterium acnes, Staphylococcus epidermidis, dan Pityrosporum ovale (Malassezia furfur). Tampaknya, ketiga mikroorganisme ini bukan penyebab utama terjadinya acne, melainkan proses awal penumpukan sebum dan oksidasi squalene yang dapat menyebabkan kolonisasi P.acnes akibat penurunan kadar oksigen di dalam folikel (Harahap, 1998). Kelenjar sebaceous memproduksi sebum dan ini akan meningkatkan tingkat regenerasi serta tingkat kematian sel


(37)

kulit. Peningkatan jumlah sel kulit yang mati akan terdeposit di dalam folikel rambut. Kulit juga memproduksi minyak lebih banyak sehingga akan semakin memperparah proses deposit. Lingkungan tersebut akan mendukung bakteri untuk menetap (Ewadh et al., 2011).

P. acnes menginduksi ekspresi peptida antimikrobial dan cytokines/chemokines proinflamasi dari berbagai tipe sel (Kurokawa et al., 2009). P. acnes strain tertentu dapat menyebabkan infeksi oportunistik yang dapat memperberat lesi acne. Kelompok filogenetik P. acnes tidak hanya mensekret protein, tetapi juga dapat menginduksi berbagai respon imun di keratinocyte dan sebocyte (Mcdowell et al, 2005). Total aktivitas antimikrobial di unit pilosebaceous dikarenakan beberapa peptida antimikrobial dan juga lipid antibakterial. Berbagai peptida antimikrobial diekspresikan oleh kulit individu yang sehat tanpa ada terlihat tanda-tanda inflamasi (Schroder et al, 2006).

P. acnes menghasilkan lipase yang akan menyebabkan produksi asam lemak bebas. P.acnes juga mengeluarkan faktor kemotaktik dan meningkatkan cytokine proinflamasi (TNF-α, IL-1β, dan IL-8) dari sel mononuklear dan keratinocyte. P. acnes juga menginduksi aktivasi Toll-like receptors-2 dan -4 di keratinocyte (Isard et al., 2011). Bakteri ini memodulasi proliferasi dan diferensiasi keratinocyte melalui induksi ekspresi filaggrin dan integrin (Jarrousse et al., 2007).

IGF-1 dan IGF-1R telah diketahui merupakan target P.acnes yang berperan dalam pembentukan lesi acne. IGF-1/IGF-1R pathway mempunyai peran utama dalam comedogenesis dan diaktivasi dengan dua mekanisme. Pertama, diet kaya glukosa akan meningkatkan IGF-1 dan serum insulin. Kedua, P.acnes dapat mengaktivasi sistem IGF-1/IGF1R keratinocyte. Hal tersebut menunjukkan bahwa P. acnes berperan tidak hanya pada tahap inflamasi tetapi juga pada tahap retensi (Isard et al., 2011).

2.4.4. Proses Inflamasi dan Perubahan Adaptasi Respon Imun

Pada awalnya pembentukan komedo dimulai dari bagian tengah folikel akibat masuknya bahan keratin yang menyebabkan dinding folikel menjadi tipis


(38)

dan menggelembung. Secara bertahap terjadi penumpukan keratin sehingga dinding folikel bertambah tipis dan dilatasi. Kemudian, lemak keluar melalui dinding komedo yang oedem sehingga timbul reaksi selular pada dermis. Saat pecah, seluruh isi komedo masuk ke dermis, menimbulkan reaksi yang lebih hebat, dan terdapat sel raksasa akibat keluarnya bahan keratin. Selanjutnya, lesi yang pecah tampak sebagai pustul, nodul, atau nodul dengan pustul diatasnya, tergantung letak dan luasnya inflamasi (Pindha, 2004).

P. acnes di dalam folikel mengeluarkan mediator inflamasi yang akan memicu proses terjadinya inflamasi. P. acnes mengeluarkan lipase yang akan mengubah trigliserida menjadi asam lemak bebas yang bersifat iritatif dan comedogenic. P. acnes juga mengeluarkan faktor kemotaktik yang akan menarik leukosit ke daerah lesi. Leukosit akan mengeluarkan enzim hidrolisis yang akan merusak dinding folikel, yang kemudian isi folikel tersebut seperti sebum, epitel yang mengalami keratinisasi, rambut, dan P.acnes masuk ke dermis. Reaksi nonimun akan dimulai dengan sel mononuklear, selanjutnya sel makrofag dan sel raksasa, sehingga akhirnya akan timbul reaksi inflamasi. P. acnes mengaktivasi komplemen melalui jalur klasik dan alternatif. Reaksi imun ini menghasilkan C5a yang bersifat neutropjhilic chemotactic factor sehingga akan menimbulkan reaksi inflamasi lanjutan. Leukosit yang ditarik oleh C5a akan menangkap P. acnes, kemudian menghasilkan enzim hidrolitik yang merusak jaringan, sehingga akan menimbulkan reaksi inflamasi (Pindha, 2004).

Selain itu, pasien dengan acne dapat mengalami peningkatan stres oksidatif di kulit dan sistemik (G.Sarici et al., 2010). P. acnes mengeluarkan faktor kemotaktik yang akan menyebabkan akumulasi neutrofil. Hal ini mengakibatkan iritasi kerusakan epitel folikular setelah pelepasan beberapa faktor inflamasi, misalnya enzim lisosom karena adanya fagositosis. ROS dihasilkan oleh neutrofil di jaringan yang mengalami inflamasi. Oksidan tersebut merusak lapisan lipid membran dan menyebabkan kerusakan molekul apapun termasuk jaringan yang normal (Akamatsu et al., 2003 dalam Sahib et al., 2013). Asam linoleat mempunyai efek inhibisi pada beberapa tipe ROS yang dihasilkan oleh neutrofil (superoxide radical, hydrogen peroxide, dan hydroxyl radical).


(39)

Akibatnya, pada lesi comedo yang mengalami penurunan asam linoleat, ROS menjadi berlebihan (Portugal et al., 2007). Squalene spesifik terhadap sebum manusia, mempunyai efek protektif pada permukaan kulit terhadap peroksidasi lipid. Tetapi, peroxidated squalene mempunyai efek comedogenic (Ottaviani et al., 2006). Paparan peroxidated squalene pada keratinocyte dapat menstimulasi cytokines inflamasi dan upregulates aktivitas lipoxygenase (Zouboulis et al., 2009). Leukotriene B4 mempunyai peran dalam inflamasi acne walaupun tidak ada P. acnes. Leukotriene B4 adalah chemoattractant yang dapat mendatangkan ROS-generating neutrophils (Zouboulis et al., 2010).


(40)

Gambar 2.2. Mekanisme keterlibatan P. acnes dalam proses inflamasi (Shaheen dan Gonzalez, 2013)

Propionibacterium acnes

Aktivasi komplemen (classical and alternative

pathways)

Cell mediated and humoral immunity

Produksi cytokines/chemokines dari keratinocytes, sel mononuklear dan sebocytes

Induksi dan stimulasi

toll-like receptors 2 dan 4

Enzim ekstraseluler

Produksi substansi kemotaktik untuk monocytes dan neutrofil

Produksi hβD-2 dari

sebocytes dan keratinocytes

Christie-Atkins-Munch-Peterson factor

Produksi ROS oleh

keratinocytes


(41)

(+) (+) + + (+)

Gambar 2.3. Etipatogenesis acne vulgaris yang berhubungan dengan P. acnes (Shaheen dan Gonzalez., 2013)

Faktor genetik

Peningkatan sensitivitas androgen (Peningkatan aktivitas enzim 5α-reductase tipe

1/peningkatan densitas reseptor androgen) Ligan PPAR

Kelenjar sebaceous

Peningkatan produksi sebum yang mengakibatkan rendahnya kadar asam linoleat yang akan menyebabkan kerusakan

permeabilitas barrier kulit

Microcomedones

Microenvironment

yang disukai (PH, ketersediaan air, suplai nutrisi, CO2,

dan tekanan O2)

dan/atau defek pada mekanisme pertahanan innate

immune yang akan

mengakibatkan peningkatan

kolonisasi

microcomedones

oleh P. acnes (?) DHT

menginduksi produksi cytokines dari sebocytes

(IL-6, TNF-α)

Inflamasi spesifik subklinis (kebanyakan dimediasi oleh produksi IL-1α di epidermis

dan dermis) Androgen (terutama

DHT) mempengaruhi regulasi epitel di

infundibulum folikular melalui produksi IGF-1 oleh

sel papila dermis. IGF-1 juga menstimulasi lipogenesis melalui peningkatan ekspresi sterol response element binding protein-1

CRH hβD-2 SP

Melalui peningkatan produksi

IL-1α oleh keratinocyte

Produksi ACTH menyebabkan

stereidogenesis di

kulit

α-MSH Degranulasi sel mast

Ketidakseimbangan antara proinflamasi dan anti-inflamasi pathways


(42)

2.5. Manifestasi Klinis

Acne dapat terjadi di wajah, punggung, dada, dan bahu. Pada tubuh, acne cenderung terkonstrasi di dekat garis tengah tubuh. Lesi acne dapat berupa lesi noninflamasi dan inflamasi. Lesi noninflamasi dapat berupa komedo terbuka (blackhead comedones) dan komedo tertutup (whitehead comedones). Lesi inflamasi dapat berupa papul, pustul, nodus, dan kista. Dapat pula terjadi scar (jarigan parut), yang merupakan komplikasi dari acne (Movita, 2013).

Komedo terbuka terjadi karena oksidasi melanin (Movita, 2013). Komedo terbuka muncul dengan lesi yang datar dan sedikit meninggi, berwarna gelap, berisi keratin dan lipid, mempunyai lubang patulous serta jarang terjadi inflamasi karena bahan keratin terlepas, kecuali bila trauma. Sedangkan, komedo tertutup berwarna pucat, mempunyai keratin yang tidak padat, folikelnya sempit dan berpotensi lebih besar untuk mengalami inflamasi (Pindha, 2004).

Papul adalah komedo yang mengalami inflamasi akibat rupturnya dinding folikel yang mengakibatkan respon inflamasi. Pustul adalah lesi yang berisi pus, dan biasanya akan membaik pada hari kelima, atau lebih bila jaringan yang terkena lebih dalam. Nodul adalah lesi yang diameternya lebih besar dari 5 mm. Biasanya, lesi acne berupa nodul mengakibatkan nyeri, dan penyembuhannya dapat memakan waktu beberapa bulan, serta dapat menyebabkan scar. Kista adalah lubang tertutup yang berisi pus atau keratin (J.McWilliam., 2009).


(43)

A B

C D

Gambar 2.5. Tipe-tipe lesi acne

Keterangan : A = papul, B = pustul, C = scar atrofi, D = scar keloid (J.McWilliam, 2009)

2.6. Diagnosis Banding Acne Vulgaris

Banyak kondisi lain yang dapat menyerupai acne dan bahkan istilah acne masuk ke dalam nomenklaturnya, tetapi yang menjadi pembeda dan patognomonik dengan acne adalah kurangnya penampakan klinis nerupa comedones (Titus et al., 2012).


(44)

Tabel 2.1. Diagnosis banding acne vulgaris (K.Wolff et al., 2009 dalam Titus et al., 2012)

Diagnosis Perbedaan Manifestasi Klinis atau Faktor Pembeda Folikulitis bakterial Erupsi mendadak; menyebar jika digaruk atau bercukur;

distribusinya bervariasi

Drug-induced acne Pada penggunaan androgen, ACTH, bromida,

kortikosteroid, kontrasepsi oral, iodida, isoniazid, litium, fenitoin (Dilantin)

Hidradenitis suppurativa

Double comedo; muncul awalnya seperti painful boil; traktus sinus

Miliaria “Heat rash” sebagai respon terhadap adanya paparan panas; papul, pustul, dan vesikel nonfolikular

Dermatitis perioral Papul dan pustul yang terbatas di daerah dagu dan lipatan nasolabial; clear zone disekitar vermilion border

Pseudofolliculitis barbae

Terjadi pada orang berambut keriting yang secara teratur memangkas rambutnya sangat pendek

Rosacea Eritema dan telangiektasis; tidak ada comedone Seborrheic

dermatitis

Sisik yang berminyak dan makula atau berwarna kuning kemerahan yang menyatu

2.7. Diagnosis Acne Vulgaris

Umumnya, keluhan penderita acne vulgaris adalah mengenai kosmetik, tetapi dapat pula penderita mengeluhkan sakit ataupun gatal. Pada pemeriksaan kulit didapati erupsi kulit yang bersifat polimorfik, dapat berupa komedo (tanda patognomonik acne vulgaris), papul, pustul, dan nodul. Salah satu dari tipe lesi ini biasanya menonjol dan diagnosis ditegakkan berdasarkan lesi yang dominan berdasarkan klasifikasi yang dipakai (Pindha, 2004).

Karena acne sering ditegakkan diagnosis secara klinis, umumnya tidak diperlukan pemeriksaan lain seperti pemeriksaan laboratorium. Tetapi, jika pasien mengeluhkan tanda dan gejala yang dicurigai mengarah ke kelainan endokrin, misalnya infertilitas, PCOS, atau hirsutisme, maka sebaiknya dilakukan pemeriksaan lebih lanjut misalnya, kadar testosteron, DHEA, LH/FSH, 17-α -progesteron, ACTH, dan/atau dexamethasone suppression. Indikasi lain yang membutuhkan pemeriksaan endokrin, misalnya alopesia, siklus menstruasi yang abnormal, dan obesitas trunkus (Nguyen, 2013).


(1)

Tabel Jumlah Responden yang Diikutsertakan dalam Penelitian

Case Processing Summary

Unweighted Casesa N Percent

Selected Cases

Included in Analysis 100 100,0

Missing Cases 0 ,0

Total 100 100,0

Unselected Cases 0 ,0

Total 100 100,0

a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.

Dependent Variable Encoding Original Value Internal Value

tidak 0

ya 1

Categorical Variables Codings

Frequency Parameter coding

(1) status perokok pasif tidak 28 ,000

ya 72 1,000

riwayat keluarga (orang tua) tidak 38 ,000

ya 62 1,000

jenis kelamin pria 43 ,000

wanita 57 1,000

Block 1: Method = Backward Stepwise (Likelihood Ratio)

Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.

Step 1

Step 17,415 3 ,001

Block 17,415 3 ,001

Model 17,415 3 ,001

Model Summary Step -2 Log likelihood Cox & Snell R

Square

Nagelkerke R Square

1 101,176a ,160 ,230

a. Estimation terminated at iteration number 5 because parameter estimates changed by less than ,001.


(2)

Hosmer and Lemeshow Test Step Chi-square df Sig.

1 7,444 6 ,282

Contingency Table for Hosmer and Lemeshow Test

acne saat ini = tidak acne saat ini = ya Total Observed Expected Observed Expected

Step 1

1 3 3,583 2 1,417 5

2 11 9,021 7 8,979 18

3 4 2,926 2 3,074 6

4 3 3,368 7 6,632 10

5 0 2,469 9 6,531 9

6 3 4,028 21 19,972 24

7 1 1,123 6 5,877 7

8 3 1,481 18 19,519 21

Classification Tablea

Observed Predicted

acne saat ini Percentage Correct tidak ya

Step 1

acne saat ini tidak 14 14 50,0

ya 9 63 87,5

Overall Percentage 77,0

a. The cut value is ,500

Tabel Analisis Regresi Logistik Metode Backward

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B) 95% C.I.for EXP(B) Lower Upper

Step 1a

JK(1) -,977 ,526 3,450 1 ,063 ,376 ,134 1,055 RK_ortu(1) 1,606 ,496 10,466 1 ,001 4,982 1,883 13,179 rokok_pasif(1) ,923 ,526 3,076 1 ,079 2,518 ,897 7,064 Constant ,049 ,570 ,007 1 ,931 1,050


(3)

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B) 95% C.I.for EXP(B) Lower Upper

Step 1a

JK(1) -1,077 ,551 3,815 1 ,051 ,341 ,116 1,004 RK_ortu(1) 1,583 ,534 8,783 1 ,003 4,870 1,709 13,876

cuci_muka 3,639 3 ,303

cuci_muka(1) ,444 ,816 ,297 1 ,586 1,560 ,315 7,720 cuci_muka(2) 1,135 ,808 1,974 1 ,160 3,112 ,639 15,163 cuci_muka(3) 1,991 1,303 2,337 1 ,126 7,325 ,570 94,121 K_tidur(1) ,018 ,568 ,001 1 ,975 1,018 ,335 3,096 rokok_pasif(1) 1,292 ,587 4,840 1 ,028 3,640 1,151 11,505 kons_coklat(1) -,383 ,561 ,467 1 ,495 ,681 ,227 2,048 Constant -,806 ,939 ,737 1 ,391 ,447

Step 2a

JK(1) -1,078 ,551 3,828 1 ,050 ,340 ,116 1,002 RK_ortu(1) 1,582 ,534 8,795 1 ,003 4,867 1,710 13,851

cuci_muka 3,663 3 ,300

cuci_muka(1) ,442 ,812 ,296 1 ,586 1,556 ,317 7,648 cuci_muka(2) 1,135 ,808 1,972 1 ,160 3,111 ,638 15,158 cuci_muka(3) 1,993 1,302 2,343 1 ,126 7,336 ,572 94,132 rokok_pasif(1) 1,290 ,585 4,865 1 ,027 3,634 1,155 11,436 kons_coklat(1) -,386 ,554 ,487 1 ,485 ,680 ,230 2,012 Constant -,797 ,890 ,802 1 ,371 ,451

Step 3a

JK(1) -1,099 ,545 4,064 1 ,044 ,333 ,114 ,970 RK_ortu(1) 1,523 ,523 8,491 1 ,004 4,585 1,646 12,768

cuci_muka 3,958 3 ,266

cuci_muka(1) ,399 ,814 ,241 1 ,624 1,491 ,302 7,346 cuci_muka(2) 1,146 ,812 1,989 1 ,158 3,145 ,640 15,457 cuci_muka(3) 2,036 1,309 2,420 1 ,120 7,656 ,589 99,498 rokok_pasif(1) 1,241 ,576 4,643 1 ,031 3,459 1,119 10,693 Constant -,839 ,892 ,884 1 ,347 ,432

Step 4a

JK(1) -,977 ,526 3,450 1 ,063 ,376 ,134 1,055 RK_ortu(1) 1,606 ,496 10,466 1 ,001 4,982 1,883 13,179 rokok_pasif(1) ,923 ,526 3,076 1 ,079 2,518 ,897 7,064 Constant ,049 ,570 ,007 1 ,931 1,050


(4)

LAMPIRAN 10

DATA INDUK PENELITIAN

nama

umur

kelas

acne

JK

RK

CM

tidur

rokok coklat

A

15

10

1

1

1

3

1

1

2

B

15

10

1

1

1

1

1

1

1

C

15

10

1

2

2

3

1

1

1

D

16

10

2

1

2

4

2

2

2

E

15

10

1

1

1

3

1

1

2

F

15

10

1

2

1

4

1

1

1

G

15

10

1

2

1

3

1

1

2

H

15

10

1

1

1

2

1

1

2

I

15

10

1

1

1

2

2

1

2

J

15

10

1

2

1

4

1

1

1

K

15

10

1

2

2

2

2

1

2

L

15

10

1

2

1

2

1

1

1

M

15

10

1

2

1

3

2

2

2

N

15

10

1

2

2

2

1

1

1

O

15

10

2

2

1

1

2

2

2

P

17

10

1

1

1

2

2

1

2

Q

15

10

1

2

1

2

2

1

1

R

15

10

1

1

1

2

1

1

2

S

15

10

1

1

2

2

1

1

1

T

15

10

1

2

1

3

1

1

1

U

16

10

1

1

1

3

2

1

2

V

15

10

1

1

2

2

1

2

2

W

15

10

1

2

1

3

1

1

2

X

15

10

1

2

1

3

1

2

1

Y

17

10

1

2

1

4

1

2

2

Z

15

10

1

2

1

3

1

1

1

AA

15

10

1

2

1

2

1

2

2

BB

15

10

1

2

1

2

2

1

2

CC

15

10

2

2

2

2

1

1

2

DD

15

11

1

2

1

2

1

1

1

EE

15

11

1

2

1

4

1

2

2

FF

16

11

1

1

1

1

2

2

2

GG

16

11

1

2

1

4

2

1

2

HH

15

11

1

1

1

3

1

1

2


(5)

JJ

16

12

1

1

1

3

1

2

2

KK

17

12

1

2

1

3

1

1

1

LL

17

12

2

2

2

2

1

1

2

MM

17

12

1

2

1

3

1

2

2

NN

16

12

1

2

2

3

1

1

2

OO

15

12

2

2

2

2

2

2

1

PP

16

12

1

2

1

2

2

1

2

QQ

16

12

2

2

1

3

1

2

2

RR

16

12

1

2

2

3

2

2

2

SS

17

12

1

2

1

4

2

2

2

TT

17

12

2

2

1

3

1

2

1

UU

16

12

2

2

2

3

1

1

2

VV

17

12

1

2

1

2

1

1

1

WW

17

12

2

2

1

3

1

1

2

XX

17

12

1

1

1

3

2

1

2

YY

17

12

1

1

2

3

2

1

2

ZZ

16

12

2

2

1

2

1

1

2

AAA

16

12

1

1

1

3

2

1

1

BBB

17

12

1

2

2

3

2

2

2

CCC

16

12

1

2

2

3

2

1

2

DDD

16

12

1

2

1

2

2

1

1

XXXX

15

12

1

1

1

3

2

1

2

FFF

17

12

2

1

2

3

2

2

1

GGG

16

12

1

1

1

4

1

1

2

HHH

16

12

1

2

1

4

2

1

1

III

17

12

1

1

1

3

1

1

1

JJJ

17

12

1

1

2

2

1

1

2

KKK

16

12

1

1

1

3

1

2

1

LLL

16

12

1

2

1

3

1

1

1

MMM

18

11

2

2

2

1

2

1

2

NNN

16

11

2

2

2

2

1

1

1

YYYY

15

10

2

1

1

1

1

1

1

PPP

15

11

2

2

2

3

1

2

2

QQQ

16

11

1

2

2

1

1

1

2

RRR

18

11

2

2

2

2

1

1

2

SSS

18

12

2

2

2

2

1

1

2

TTT

16

11

2

2

2

3

1

2

2

UUU

17

11

2

1

2

3

2

2

2

VVV

16

11

2

2

2

3

1

1

2

WWW

16

11

1

2

1

3

2

1

2


(6)

YYY

15

11

1

1

1

2

2

1

2

ZZZ

16

12

2

2

2

2

1

1

1

AAAA

17

12

2

2

1

2

1

1

1

BBBB

16

12

1

2

1

3

1

1

2

CCCC

16

12

2

2

2

2

1

1

1

DDDD

18

12

1

2

1

1

1

1

2

EEEE

16

11

1

1

2

3

2

2

2

FFFF

16

11

1

1

1

3

1

2

2

GGGG

15

11

1

1

2

2

1

1

2

HHHH

15

11

1

1

2

2

1

1

2

IIII

16

11

2

1

1

2

1

2

2

JJJJ

16

10

2

1

1

3

2

1

1

KKKK

15

10

1

1

2

2

1

1

2

LLLL

15

10

2

1

1

1

2

1

2

MMMM

16

11

1

2

2

3

1

1

2

NNNN

17

12

2

2

2

3

2

1

2

OOOO

17

12

1

2

1

1

1

1

1

ZZZZ

17

12

1

1

1

3

1

1

2

QQQQ

17

11

1

1

2

3

2

1

2

RRRR

16

11

2

1

2

2

1

2

1

SSSS

16

10

1

1

1

1

1

2

2

TTTT

15

10

1

1

2

1

1

1

1

UUUU

16

11

1

1

2

3

1

1

2