Peranan Lembaga Adat Dalam Menyelesaikan Perkara Pidana (Studi Di Desa Huraba Kecamatan Siabu Kabupaten Mandailing Natal)
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Setiap kejahatan yang timbul dalam masyarakat dapat mengganggu
keseimbangan tatanan 1masyarakat. Oleh karena itu, perlu diupayakan agar setiap kejahatan dapat diselesaikan agar keseimbangan tatanan masyarakat dapat
dipulihkan. Pada dasarnya, kejahatan menurut Menurut Badan Pusat Statistik
BPS pada tahun 2011 sampai tahun 2013
Berdasarkan data yang di peroleh dari Pusata Data Statistika tingkat
kejahtan yang terjadi di Indonesia pada tahun 2011, tindak pidana (tindak
kriminal) yang terjadi di Indonesia sebanyak 347.605 kasus. Kemudian pada
tahun 2012, turun sekitar 1,85 persen, tetapi terlihat naik pada tahun 2013 kemarin
sebesar 0,27 persen. Sejauh ini, memang kenaikan dan penurunan tindak pidana
cenderung kecil, tetapi rata-rata jumlah tindak pidana di Indonesia masih sangat
tinggi.2 Situasi tersebut jika dideteksi dengan kondisi kemiskinan Indonesia masih belum tampak. Data menyebutkan, jumlah penduduk yang tergolong miskin di
Indonesia pada tahun 2011 sebanyak 30 juta penduduk. Dan terus menurun
menjadi 29,1 juta penduduk pada tahun 2012 dan kembali turun menjadi 28,07
juta penduduk pada tahun 2013 kemarin. Sejauh ini, fenomena adanya korelasi
yang masuk akal mengenai hubungan tindak pidana dan kemiskinan di Indonesia
masih belum tampak dan dapat disimpulkan. Sebab, antara data kemiskinan dan
1
Sudarto, Hukum Dan Hukuman Pidana,1997
2
(2)
data jumlah tindak pidana memang dari segi metodologi dan sumber datanya juga
berbeda.
Berkaca dari hal tersebut, maka dalam penegakan hukum pun, kesadaran
hukum masyarakat dan nilai-nilai yang tumbuh di masyarakat sangatlah penting.
Sebagaimana diungkapkan oleh Mochtar Kusuma-Atmadja, bahwa hukum yang
di buat harus sesuai atau memperhatikan kesadaraan hukum masyarakat.
Penyimpangan dari hal tersebut menimbulkan kodisi penegakan hukum (law
enforcement) menjadi stangna keberadaan cara penyelesaian sengketa sama
tuanya dengan keberadaan manusia itu sendiri. Dalam setiap masyarakat telah
berkembang berbagai tradisi mengenai bagaimana sengketa ditangani. Sengketa
dapat diselesaikan melalui berbagai cara, baik melalui forum formal yang
disediakan oleh Negara, maupun melalui forum-forum lain yang tidak resmi
disediakan oleh negara.3
Penyelesaian sengketa melalui pengadilan sebagaimana yang diatur oleh
pasal 10 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dapat dilakukan
dalam empat lingkungan peradilan, yaitu peradilan umum, peradilan agama,
peradilan militer dan peradilan tata usaha Negara. Setiap lingkungan peradilan
menyelesaikan sengketa sesuai yurisdiksinya masing-masing. Keberadaan
pengadilan sebagai forum formal penyelesaian sengketa merupakan aplikasi dari
ajaran Trias Politica, dimana badan-badan peradilan diberi wewenang dan otoritas
untuk mengadili suatu perkara. Melalui lembaga peradilan, setiap sengketa harus
diselesaikan menurut tata cara formal yang diatur dalam hukum acara serta
3
Enam suparma, 2004,pilhan forum arbitase dalan sengketakomersial untuk penegakan keadilan,jakarta, tata nusa ,h.18
(3)
memberi hak kepada para pihak untuk mempergunakan upaya hukum. Dalam
beberapa masyarakat ada kecenderungan untuk menyelesaikan sengketa melalui
pengadilan, namun adapula masyarakat yang lebih suka menyelesaikan sengketa
melalui forum forum lain diluar pengadilan.
Alasan-alasan kebudayaan menyebabkan beberapa masyarakat cenderung
mengenyampingkan pengadilan sebagai tempat penyelesaian sengketa yang
timbul diantara mereka. Pada awalnya pengadilan dijadikan sebagai pilihan
pertama dan terakhir dalam penyelesaian sengketa. Selama beberapa dekade
masyarakat di berbagai negara memberikan kepercayaan kepada lembaga
peradilan untuk mengelola sengketa yang mereka hadapi, dengan harapan akan
memperoleh keadilan sebagaimana secara normatif dan eksplisit disebutkan dalam
ketentuan perundang-undangan. Akan tetapi faktanya lembaga peradilan telah
terbukti tidak mampu memenuhi harapan masyarakat pencari keadilan.
Banyak keluhan yang timbul terhadap kinerja pengadilan yang dinilai
formalistic, teknis dan biaya mahal. Dengan munculnya penyelesaian sengketa
alternatif ini, pengadilan hanya dijadikan sebagai pilihan terakhir oleh para pihak
untuk menyelesaikan sengketa. Para pihak yang bersengketa baru akan
mengajukan sengketanya ke pengadilan apabila mekanisme penyelesaian sengketa
alternatif tidak mampu menyelesaikannya. Di Indonesia sendiri, disamping
pengadilan sebagai forum penyelesaian sengketa yang keberadaannya diakomodir
oleh Negara melalui UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,
terdapat juga forum penyelesaian sengketa lain yang lain mengacu pada pranata
(4)
yang berlaku di Indonesia, dimana hukum yang berlaku bukan hanya hukum yang
berasal dari pemerintah atau negara (hukum negara), tapi juga hukum yang
berasal dari adat kebiasaan masyarakat (hukum adat) serta hukum yang berasal
dari ajaran-ajaran agama (hukum agama).
Dalam hal ini di samping samping peradilan sebagai lembaga formal
penyelesaian sengketa, terdapat juga lembaga alternatif penyelesaian sengketa
nonformal yang keberadaannya mengacu kepada hukum adat. Hukum adat yang
umumnya berlaku dalam masyarakat yang diliputi semangat komunal memandang
manusia atau individu sebagai bagian integral dari masyarakat. Setiap individu
harus berupaya mencegah timbulnya disharmoni, dalam arti membina hubungan
yang seimbang antara pasangan-pasangan dalam kehidupan, baik antar individu
dalam masyarakat atau sebaliknya, atau antara dunia nyata dengan dunia gaib.
Tetapi dalam kenyataannya selalu terbuka kemungkinan munculnya sengketa
yang terjadi diantara para individu (warga masyarakat).
Keadaan ini dapat mengakibatkan terganggunya system keseimbangan
hubungan dalam masyarakat. Dalam masyarakat hukum adat sudah sejak lama
sengketa-sengketa yang terjadi diselesaikan secara musyawarah dan mufakat
melalui lembaga-lembaga adat seperti peradilan desa atau yang disebut dengan
peradilan adat. Biasanya yang bertindak sebagai hakim dalam lembaga tersebut
adalah tokoh-tokoh adat (kepala adat) dan ulama. Kewenangan dari hakim
peradilan adat ini tidak semata-mata terbatas pada perdamaian saja, tetapi juga
(5)
dalam pengertian pidana, perdata, publik,4dan lain-lain. Dalam hal ini proses penyelesaian sengketa dilakukan berdasarkan tiga asas kerja untuk menghadapi
perkara-perkara adat, yaitu asas rukun, patut dan keselarasan.5
Keberadaan peradilan adat atau peradilan desa ini dapat menjadi alternatif
penyelesaian sengketa bagi masyarakat yang sistem kerjanya kurang lebih mirip
dengan penyelesaian sengketa alternatif modern yang sekarang berkembang
dimana musyawarah menjadi model umum dan utama dalam proses penyelesaian
sengketa. Ini berarti, lembaga peradilan adat tidak berperan sebagai sarana
pemaksa, tetapi memainkan peran sebagai mediator dalam rangka rekonsiliasi dan
konsolidasi para pihak melalui proses penemuan putusan yang melegakan semua
pihak, karena pada dasarnya keputusan diambil secara sukarela oleh para pihak.
Hampir diseluruh Indonesia terdapat lembaga peradilan ini, walaupun dengan
nama yang berbeda-beda, seperti di Tapanuli, Minangkabau, Sulawesi Selatan,
Bali, dan lain-lain. Di Tapanuli, pada masyarakat Batak Karo terdapat lembaga
musyawarah desa yang disebut runggun adat yang berfungsi memeriksa dan
menyelesaikan sengketa yang timbul dalam masyarakat. Lembaga ini
beranggotakan anak beru, senina, dan kalimbubu. Di daerah Toraja, masyarakat
biasanya mengajukan sengketa mereka kepada suatu dewan yang berfungsi
menyelesaikan masalah dalam lingkungan adat.
Hilman Hadikusuma, , pengantar ilmu hukum adat indonesia, (Bandung ,Mandar maju,1992) h
40
5
Moh. Koesno 1974,catatan terhadap hukum Adat dewasa ini ,( surabaya, Erlangga
(6)
B. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi permasalah di dalam penulisan skripsi adalah
1. Bagaimana Kedudukan Lembaga Adat di Indonesia menurut
peraturan per UU?
2. Bagaimana Peranan Lembaga Adat Dalian Natolu Dalam
Menyelesaiakan Terjadinya Suatu Peristiwa Pidana?
3. Tindak Pidana Apa Saja Yang Dapat Di Selesaikan Melalui Lembaga
Adat Dalian Natolu?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Adapun tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui kedudukan lembaga adat di indonesia
2. Untuk mengetahui peranan lembaga adat dalian natolu dalam
menyelesaiakan terjadinya suatu tindak pidana
3. Untuk mengetahui tindak pidana apa saja yang dapat di selesaikan
melalui Lembaga Adat Dalihan Natolu di Desa Huraba Kecamatan
Siabu Kabupaten Mandailing Natal
Disamping tujuan yang akan di capai sebagai mana di kemukan di atas maka
(7)
1. Manfaat teoritis penulisan ini dapat menjadi bahan kajian terhadap perkembangan ilmu pengetahuan serta menambah wawasan khususnya
mengenai cara penyelesaian perkara atau pristiwa pidana di selesaikan
melalui hukum adat mandailing
2. Manfaat secara praktis dapat menjadi subangsih bagi pemerintah, peradilan, dalam pelaksaan penyelesaian perkara pidana yang di selesaian
di lingkungan adat, juga sebagai kajian akademisi untuk menambah
wawasan ilmu pengetahuan khususnya hukum pidana dalam penyelesaian
perkara di lingkungan adat mandailing.
D . Keaslian Penulisan
Penulisan skripsi yang berjudul peranan lembaga adat dalam
menyelesaikan perkara pidana (studi kasus di desa huraba kecematan siabu
mandailing natal) adalah merupakan hasil pemikiran penulis sendiri.
Sepengetatahuan penulis belum ada penulis lain yang mengemukakannya,
klaupun ada penulis yakin substansi pembahasannya berbeda. Dengan demikian
keaslian penulisan skripsi ini dapat di pertanggung jawabkan secara ilmiah.
E Tinjauan Pustaka
1. Pengertian Tindak Pidana
Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(8)
tentang hukum pidana sering mempergunakan istilah delik, 6sedangkan
pembuat undang-undang merumuskan suatu undang-undang
mempergunakan istilah peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau tindak
pidana Tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu
pengertian dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang dibentuk dengan
kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana.
Tindak pidana mempunyai pengertian7 yang abstrak dari peristiwa-peristiwa yang kongkrit dalam lapangan hukum pidana, sehingga tindak
pidana haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan
jelas untuk dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari
dalam kehidupan masyarakat. Seperti yang diungkapkan oleh seorang ahli
hukum pidana yaitu Prof. Moeljatno, SH, yang berpendapat bahwa
8
pengertian tindak pidana yang menurut istilah beliau yakni perbuatan
pidana adalah:
”Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai
ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa
melanggar larangan tersebut Jadi berdasarkan pendapat tersebut di atas
pengertian dari tindak pidana yang dimaksud adalah bahwa perbuatan
pidana atau tindak pidana senantiasa merupakan suatu perbuatan yang
6
Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana Edisi 2,( Medan: USU Press ,2010)
hal. 73.
7
. Kartonegoro, Diktat Kuliah Hukum Pidana,( Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa), hal. 62
8
(9)
tidak sesuai atau melanggar suatu aturan hukum atau perbuatan yang
dilarang oleh aturan hukum yang disertai dengan sanksi pidana yang mana
aturan tersebut ditujukan kepada perbuatan sedangkan ancamannya atau
sanksi pidananya ditujukan kepada orang yang melakukan atau orang yang
menimbulkan kejadian tersebut. Dalam hal ini maka terhadap setiap orang
yang melanggar aturan-aturan hukum yang berlaku, dengan demikian
dapat dikatakan terhadap orang tersebut sebagai pelaku perbuatan pidana
atau pelaku tindak pidana. Akan tetapi haruslah diingat bahwa aturan
larangan dan ancaman mempunyai hubungan yang erat, oleh karenanya
antara kejadian dengan orang yang menimbulkan kejadian juga
mempunyai hubungan yang erat pula. Sehubungan dengan hal pengertian
tindak pidana ini Prof. DR. Bambang Poernomo, SH,9 berpendapat bahwa perumusan mengenai perbuatan pidana akan lebih lengkap apabila
tersusun sebagai berikut: “Bahwa perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang oleh suatu aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana
bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.” Adapun perumusan
tersebut yang mengandung kalimat “Aturan hukum pidana” dimaksudkan
akan memenuhi keadaan hukum di Indonesia yang masih mengenal
kehidupan hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis, Prof.
DR. Bambang Poernomo, SH, juga berpendapat mengenai kesimpulan dari
9
Poernomo, Bambang. Asas-asas Hukum Pidana,( Jakarta: Ghalia Indonesia, 1992), hal
(10)
perbuatan pidana yang dinyatakan hanya menunjukan sifat perbuatan
terlarang dengan diancam pidana. 10 Maksud dan tujuan diadakannya istilah tindak pidana, perbuatan pidana, maupun peristiwa hukum dan
sebagainya itu adalah untuk mengalihkan bahasa dari istilah asing stafbaar
feit namun belum jelas apakah disamping mengalihkan bahasa dari istilah
sratfbaar feit dimaksudkan untuk mengalihkan makna dan pengertiannya,
juga oleh karena sebagian besar kalangan ahli hukum belum jelas dan
terperinci menerangkan pengertian istilah, ataukah sekedar mengalihkan
bahasanya, hal ini yang merupakan pokok perbedaan pandangan, selain itu
juga ditengan-tengan masyarakat juga dikenal istilah kejahatan yang
menunjukan pengertian perbuatan melanggar morma dengan mendapat
reaksi masyarakat melalui putusan hakim agar dijatuhi pidana. (Diktat
Kuliah Asas-asas Hukum Pidana ).
Tindak pidana adalah merupakan suatu dasar yang pokok dalam
menjatuhi pidana pada orang yang telah melakukan perbuatan pidana atas
dasar pertanggung jawaban seseorang atas perbuatan yang telah
dilakukannya, tapi sebelum itu mengenai dilarang dan diancamnya suatu
perbuatan yaitu mengenai perbuatan pidanya sendiri, yaitu berdasarkan
azas legalitas (Principle of legality) asas yang menentukan bahwa tidak
ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak
ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan, biasanya ini lebih
dikenal dalam bahasa latin sebagai Nullum delictum nulla poena sine
10
(11)
praevia lege (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih
dahulu), ucapan ini berasal dari von feurbach, sarjana hukum pidana
Jerman. Asas legalitas ini dimaksud mengandung tiga pengertian yaitu:
Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal
itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.
Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan
analogi. Aturan-aturan hukum pidana tidak boleh berlaku surut.
Tindak pidana merupakan bagian dasar dari pada suatu kesalahan
yang dilakukan terhadap seseorang dalam melakukan suatu kejahatan. Jadi
untuk adanya kesalahan hubungan antara keadaan dengan perbuatannya
yang menimbulkan celaan harus berupa kesengajaan atau kelapaan.
Dikatakan bahwa kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa) adalah
bentuk-bentuk kesalahan sedangkan istilah dari pengertian kesalahan (schuld)
yang dapat menyebabkan terjadinya suatu tindak pidana adalah karena
seseorang tersebut telah melakukan suatu perbuatan yang bersifat melawan
hukum sehingga atas`perbuatannya tersebut maka dia harus bertanggung
jawabkan segala bentuk tindak 11pidana yang telah dilakukannya untuk dapat diadili dan bilamana telah terbukti benar bahwa telah terjadinya
suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh seseorang maka dengan
begitu dapat dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan pasal yang
11
(12)
mengaturnya. Adapun yang menjadi unsur – unsur dari tindak pidana, yaitu :
Unsur formal :
Perbuatan manusia, yaitu perbuatan dalam arti luas, artinya tidak
berbuat yang termasuk perbuatan dan dilakukan oleh manusia. Melanggar
peraturan pidana. dalam artian bahwa sesuatu akan dihukum apabila sudah
ada peraturan pidana sebelumnya yang telah mengatur perbuatan tersebut,
jadi hakim tidak dapat menuduh suatu kejahatan yang telah dilakukan
dengan suatu peraturan pidana, maka tidak ada tindak pidana. Diancam
dengan hukuman, hal ini bermaksud bahwa KUHP mengatur tentang
hukuman yang berbeda berdasarkan tindak pidana yang telah dilakukan.
Dilakukan oleh orang yang bersalah, dimana unsur-unsur
kesalahan yaitu harus ada kehendak, keinginan atau kemauan dari orang
yang melakukan tindak pidana serta Orang tersebut berbuat sesuatu
dengan sengaja, mengetahui dan sadar sebelumnya terhadap akibat
perbuatannya. Kesalahan dalam arti sempit dapat diartikan kesalahan yang
disebabkan karena si pembuat kurang memperhatikan akibat yang tidak
dikehendaki oleh undang-undang. Pertanggungjawaban yang menentukan
bahwa orang yang tidak sehat ingatannya tidak dapat diminta
pertanggungjawabannya. Dasar dari pertanggungjawaban seseorang
(13)
Unsur material :
Dalam hal ini tindak pidana bersifat bertentangan dengan hukum,
yaitu harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sehingga perbuatan
yang tidak patut dilakukan. Jadi meskipun perbuatan itu memenuhi
rumusan undang-undang, tetapi apabila tidak bersifat melawan hukum,
maka perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana. Unsur-unsur
tindak pidana dalam ilmu hukum pidana dibedakan dalam dua macam,
yaitu unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur objektif adalah unsur yang
terdapat di luar diri pelaku tindak pidana. Perbuatan atau kelakuan
manusia, dimana perbuatan atau kelakuan manusia itu ada yang aktif
(berbuat sesuatu), misal membunuh (Pasal 338 KUHP), menganiaya (Pasal
351 KUHP). Akibat yang menjadi syarat mutlak dari delik. Hal ini
terdapat dalam delik material atau delik yang dirumuskan secara material,
misalnya pembunuhan (Pasal 338 KUHP), penganiayaan (Pasal 351
KUHP), dan lain-lain.
Setiap perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh
peraturan perundang-undangan hukum pidana itu harus bersifat melawan
hukum, meskipun unsur ini tidak dinyatakan dengan tegas dalam
perumusan. Unsur lain yang menentukan sifat tindak pidana Ada beberapa
tindak pidana yang untuk mendapat sifat tindak pidanya itu memerlukan
hal-hal objektif yang menyertainya, seperti penghasutan (Pasal 160
(14)
KUHP), mabuk (Pasal 561 KUHP). Tindak pidana tersebut harus
dilakukan di muka umum.
Unsur yang memberatkan tindak pidana, yaitu terdapat dalam
delik-delik yang dikualifikasikan oleh akibatnya, yaitu karena timbulnya
akibat tertentu, maka ancaman pidana diperberat, contohnya merampas
kemerdekaan seseorang (Pasal 333 KUHP) diancam dengan pidana
penjara paling lama 8 (delapan) tahun, jika perbuatan itu mengakibatkan
luka-luka berat ancaman pidana diperberat lagi menjadi pidana penjara
paling lama 12 (dua belas) tahun.
Unsur tambahan yang menentukan tindak pidana misalnya dengan
sukarela masuk tentara asing, padahal negara itu akan berperang dengan
Indonesia, pelakunya hanya dapat dipidana jika terjadi pecah perang (Pasal
123 KUHP). Tindak pidana juga mengenal adanya unsur subjektif, unsur
ini meliputi : Kesengajaan (dolus), dimana hal ini terdapat di dalam
pelanggaran kesusilaan (Pasal 281 KUHP), perampasan kemerdekaan
(Pasal 333 KUHP), pembunuhan (Pasal 338). Kealpaan (culpa), dimana
hal ini terdapat di dalam perampasan kemerdekaan (Pasal 334 KUHP), dan
menyebabkan kematian (Pasal 359 KUHP), dan lain-lain. Niat
(voornemen), dimana hal ini terdapat di dalam percobaan
atau poging(Pasal 53 KUHP) Maksud (oogmerk), dimana hal ini terdapat
dalam pencurian (Pasal 362 KUHP), pemerasan (Pasal 368 KUHP),
penipuan (Pasal 378 KUHP), dan lain-lain. Dengan rencana lebih dahulu
(15)
sendiri (Pasal 308 KUHP), membunuh anak sendiri (Pasal 341 KUHP),
membunuh anak sendiri dengan rencana (Pasal 342 KUHP).
2. Pengertian Lembaga Adat
Lembaga adat merupakan kata yang berasal dari gabungan antara kata
lembaga 12dan kata adat. Kata lembaga dalam bahasa Inggris disebut dengan institution yang berarti pendirian, lembaga, adat dan kebiasaan. Dari pengertian
literatur tersebut, lembaga dapat diartikan sebagai sebuah istilah yang
menunjukkan kepada pola perilaku manusia yang mapan terdiri dari interaksi
sosial yang memiliki struktur dalam suatu kerangka nilai yang relevan. Sehingga
lembaga adat adalah pola perilaku masyarakat adat yang mapan yang terdiri dari
interaksi sosial yang memiliki struktur dalam suatu kerangka nilai adat yang
relevan.
Menurut ilmu budaya, lembaga adat diartikan sebagai suatu bentuk
organisasi adat yang tersusun relative tetap atas pola-pola kelakuan,
peranan-peranan, dan relasi-relasi yang terarah dan mengikat individu, mempunyai otoritas
formal dan sanksi hukum adat guna tercapainya kebutuhan-kebutuhan dasar.
Sedangkan menurut pengertian lainnya, lembaga adat adalah suatu organisasi
kemasyarakatan adapt yang dibentuk oleh suatu masyarakat hukum adat tertentu
mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak dan
12
(16)
berwenang untuk mengatur dan mengurus serta menyelesaikan hal-hal yang
berkaitan dengan adat. Kemudian yang dimaksud dengan lembaga adat menurut
Peraturan Daerah Kabupaten Sumbawa Nomor 23 Tahun 2007 tentang lembaga
adat ialah lembaga kemasyarakatan yang dibentuk untuk membantu Pemerintah
Daerah dan merupakan mitra dalam memberdayakan, melestarikan dan
mengembangkan adat istiadat yang dapat mendukung pembangunan.
Pengertian lembaga adat menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
5 Tahun 2007 tentang Pedoman Penataan Lembaga Kemasyarakatan, Lembaga
Adat adalah Lembaga Kemasyarakatan baik yang sengaja dibentuk maupun yang
secara wajar telah tumbuh dan berkembang di dalam sejarah masyarakat atau
dalam suatu masyarakat hukum adat tertentu dengan wilayah hukum dan hak atas
harta kekayaan di dalam hukum adat tersebut, serta berhak dan berwenang untuk
mengatur, mengurus dan menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan yang
berkaitan dengan dan mengacu pada adat istiadat dan hukum adat yang berlaku.
Dari beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa lembaga adat
adalah suatu organisasi atau lembaga masyarakat yang dibentuk oleh suatu
masyarakat hukum adat tertentu yang dimaksudkan untuk membantu pemerintah
daerah dan menjadi mitra pemerintah daerah dalam memberdayakan, melestarikan
dan mengembangkan adat istiadat yang dapat membangun pembangunan suatu
daerah tersebut.
(17)
Lembaga Adat berfungsi bersama 13pemerintah merencanakan,mengarahkan, mensinergikan program pembangunan agar sesuai dengan tata nilai adat istiadat
dan kebiasaan-kebiasaan yang berkembang dalam masyarakat demi terwujudnya
keselarasan, keserasian, keseimbangan, keadilan dan kesejahteraan masyarakat.
Selain itu, Lembaga adat berfungsi sebagai alat kontrol keamanan,ketenteraman,
kerukunan, dan ketertiban masyarakat, baik preventif maupun represif, antara lain:
1) Menyelesaikan masalah sosial kemasyarakatan;
2) Penengah (Hakim Perdamaian) mendamaikan sengketa yang
timbul di masyarakat. Kemudian, lembaga adat juga memiliki
fungsi lain yaitu :
3) Membantu pemerintah dalam kelancaran dan pelaksanaan
pembangunan di segala bidang terutama dalam bidang keagamaan,
kebudayaan dan kemasyarakatan.
4) Melaksanakan hukum adat dan istiadat dalam desa adatnya
5) Memberikan kedudukan hukum menurut adat terhadap hal-hal
yang berhubungan dengan kepentingan hubungan sosial kepadatan
dan keagamaan.
6) Membina dan mengembangkan nilai-nilai adat dalam rangka
memperkaya, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan
nasional pada umumnya dan kebudayaan adat khususnya,
Menjaga, memelihara dan memanfaatkan kekayaan desa adat untuk
kesejahteraan masyarakat desa adat
13
(18)
b. Wewenang Lembaga Adat
Lembaga adat memiliki wewenang yang meliputi :
1) Mewakili masyarakat adat dalam pengurusan kepentingan masyarakat adat
tersebut.
2) Mengelola hak-hak dan/aau harta kekayaan adat untuk meningkatkan
kemajuan dan taraf hidup masyarakat ke arah yang lebih baik.
3) Menyelesaikan perselisihan yang menyangkut perkara adat istiadat dan
kebiasaan-kebiasaan masyarakat sepanjang penyelesaiannya tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4) Memusyawarahkan berbagai hal yang menyangkut masalah-masalah adat
dan agama untuk kepentingan desa adat.
5) Sebagai penengah dalam kasus-kasus adat yang tidak dapat di selesaikan
pada tingkat desa
6) Membantu penyelenggaraan upacara keagamaan di kecamatan,
kabupaten/kota desa adat tersebut berada.
c. Tugas dan Kewajiban Lembaga Adat Lembaga Adat mempunyai tugas dan kewajiban yaitu :
1) Menjadi fasilitator dan mediator dalam penyelesaian perselisihan yang
menyangkut adat istiadat dan kebiasaan masyarakat.
2) Memberdayakan, mengembangkan, dan melestarikan adat istiadat dan
kebiasaan-kebiasaan masyarakat dalam rangka memperkaya budaya
(19)
3) Menciptakan hubungan yang demokratis dan harmonis serta obyektif
antara Ketua Adat, Pemangku Adat, Pemuka Adat dengan Aparat
Pemerintah pada semua tingkatan pemerintahan di Kabupaten daerah
adat tersebut.
4) Membantu kelancaran roda pemerintahan, pelaksanaan pembangunan
dan/atau harta kekayaan lembaga adat dengan tetap memperhatikan
kepentingan masyarakat hukum adat setempat.
5) Memelihara stabilitas nasional yang sehat dan dinamis yang dapat
memberikan peluang yang luas kepada aparat pemerintah terutama
pemerintah desa/kelurahan dalam pelaksanaan pembangunan yang
lebih berkualitas dan pembinaan masyarakat yang adil dan demokratis.
6) Menciptakan suasana yang dapat menjamin terpeliharanya kebinekaan
masyarakat adat dalam rangka memperkokoh persatuan dan kesatuan
bangsa.
7) Membina dan melestarikan budaya dan adat istiadat serta hubungan
antar tokoh adat dengan Pemerintah Desa dan Lurah.
8) Mengayomi adat istiadat
9) Memberikan saran usul dan pendapat ke berbagai pihak perorangan,
kelompok/lembaga maupun pemerintah tentang masalah adat
10)Melaksanakan keputusan-keputusan paruman dengan aturan yang di
tetapkan
11)Membantu penyuratan awig-awig
(20)
E. Pembinaan Lembaga Adat
Pembinaan desa adat dapat dilaksanakan dengan pola melaksanakan
ceramah-ceramah pembinaan desa adat, penyuluhan, penyuratan awig-awig desa
adat pada setiap tahunnya, yang pada dasarnya bertujuan untuk mencapai ,
melestarikan kesejahteraan masyarakat, dan mewujudkan hubungan manusia
dengan manusia sesama makhluk ciptaan Tuhan. Selain itu pembinaan lembaga
adat sebagai usaha melestarikan adat istiadat serta memperkaya khasanah
kebudayaan masyarakat, Aparat Pemerintah pada semua tingkatan mempunyai
kewajiban untuk membina dan mengembangkan adat istiadat yang hidup dan
bermanfaat dalampembangunan dan ketahanan nasional.
F. Pembiayaan Lembaga Adat
Dana pembinaan terhadap Lembaga Adat pada semua tingkatan,
disediakan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Propinsi, Anggaran Pendapatan Belanja
Daerah (APBD) Kabupaten/Kota, Berta sumber-sumber lainnya yang tidak
mengikat.
(21)
a. Persekutuan hokum adat/persekutuan yang 14berdasarkan hubungan darah (keluarga, marga, paruik) dapat dimintai pertanggung jawaban pidana
yang dilakukan oleh warganya.
b. Seseorang sudah dapat dihukum karena peristiwa yang menimpa dirinya tanpa
disengaja atau tanpa adanya kelalaianya.
c. Terdapat delik yang hanya menjadi persoalan person / hanya menjadi
persoalan keluarga korban, ada pula yang menjadi persoalan desanya.
d. Orang yang tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya tetap dapat
dijatuhi hukuman, keadaan demikian menentukan berat ringannya hukuman.
e. Di daerah tertentu mengenal tingkatan manusia. Semakin tinggi kedudukan
atau kasta orang yang terkena perbuatan pidana makin berat hukuman yang
dapat dijatuhkan kepada orang yang melakukan delik, dan lebih berat jika
dibadingkan dengan delik yang ditujukan kepada orang yang lebih rendah
derajatnya.
f. Terdapat keadaan yang mengijinkan orang yang terkena delik menjadi hakim
sendiri
g. Siapa saja yang turut melanggar peraturan hukum harus turut memulihkan
kembali keseimbangan yang terganggu.
h. Tidak ada orang yang dapat dipidana hanya karena melakukan percobaan saja,
karena dalam sistem hukum adat suatu adatreactie hanya akan dilaksanaka
kalau keseimbangan hukum dalam masyarakat terganggu.
14
(22)
i. Hakim dalam mengadili perbuatan pidana memperhatikan pula apakah si
pelanggar itu merasa menyesal.
Sistem peradilan sederhana, cepat dan murah dari dahulu hingga sekarang
tidak pernah terwujud.15 Salah satu sebabnya adalah hambatan yang terdapat dalam hukum hasional yang merupakan warisan Kolonial Belanda. Agenda politik
negara kolonial dalam hukum nasional telah mewarnai berbagai peraturan
perundang-undangan di Indonesia. Bahkan praktek pengadilan seolah mengikuti
jalur pendekatan politik birokrasi nasional, yaitu membangun jaringan korporasi
dengan elit lokal.Sehingga struktur birokrasi menjadi struktur pembagian
keuntungan yang bermakna politik maupun ekonomi. Dan sebagian kasus yang
diputuskan sering tidak menjawab rasa keadilan ditingkat masyarakat. Untuk
diperlukan sebuah peradilan alternatif untuk menjawab persoalan yang dihadapi
oleh peradilan negara, salah satunya adalah dengan melihat kembali peradilan
adat.
Keberadaan peradilan adat di Indonesia sudah berlangsung untuk kurun
waktu yang cukup lama. Menurur Prof Hilman Hadikusuma, jauh sebelum agama
Islam masuk di Indonesia, negri yang serba ragam penduduknya ini sudah lama
melaksanakan tata tertib peradilan menurut hukum adat (Hadikusuma,
1989;“orang Indonesia asli“ berhadap dengan apa yang dinamakan“gouvernement rechtsspraak“ (peradilan gouvernement) terutama didaerah-daerah yang dikuasai oleh belanda.
15
(23)
Secara historis hukum adat dipandang sangat demokratis karena is lahir
melalui proses dan seleksi yang panjang. Kemakmuran dan kepentingan serta
kelangsungan hidup masyarakat adalah prioritas utama dalam hukum adat.
Hukum adat memberikan keadilan dan rasa keamanan pada siapapun, selagi
mentaati clan mematuhi ketentuan yang berlakudalam masyarakat hukum adat.
Persoalanya, kenapa sekarang diantara masyarakat mulai meninggalkan hukum
adat dan memilih kukum negara dalam menyelesaikan persoalan yang mereka
hadapi. Padahal kewenangan untuk menyelesaikan perkara, apakah itu pada
tingkat peradilan adat atau peradilan negara, merupakan menjadi tanggung jawab
pihak yang bersengketa. Pertanyaan ini semangkin penting, bahwa pada
kenyataannya peradilan negara juga bukan merupakan jaminan bagi
menyelesaikan substansi persoalan yang mereka hadapi.
Problematika yang dihadapi oleh peradilan adat pada saat sekarang adalah
di satu pihak masyarakat adat memaknai peradilan adat sebagai satu bagian yang
terintegrasi utuh dengan sistem nilai dan sistem sosiall yang mereka anut. Pada
bagian lain, negara hadir dengan sistem nilai dan sistem sosialnya sendiri yang
seringkali mengatasi, mendominasi, bahkan merepresi keberadaan masyarakat
adat beserta sistem-sistem kehidupan mereka. Ini yang dikenal sebagai
peminggiran atau penghancuran sistemis terhadap komunitas-komunitas
masyarakat adat.Sebagai bagian dari masyarakat global, masyarakat adatpun tidak
lepas dari pengaruh interaksa dengan dunia luarnya. Implikasi dari interaksi ini
(24)
luar. Dalam hubungannya dengan sistem peradilan negara,16 peradilan adat menghadapi tantangan upaya penyeragaman sistem hukum, termasuk sistem
peradilan, jurang pengetahuan dan kepedulian yang dalam antar generasi tua dan
generasi muda masyarakat adat tentang berbagai sistem sosial, budaya, politik,
hukum dan peradilan adat, ekonomi dan kepercayaan yang menyertai keberadaan
masyarakat adat, sebagian dari masyarakatnya dan tidak lagi mempercayai
keputusan dari peradilan adat yang sudah diputuskan melalui peradilan adat, dan
tingkat kepercayaan masyarakat terhadap orang yang memutuskan perkara
tersebut, sehingga sebagian dari masyarakatnya yang tetap membawa kasusnya
diselesaikan ditingkatkan peradilan negara.
Dalam kehidupan masyarakat hukum adat, tidak semua adat itiadat dapat
disentuh oleh para petugas hukum dalam bentuk penetapan-penetapan. ( lihat Ter
Haar – teori Beslissingen). Para warga masyarakat pada umumnya bersedia melakukan sesuatu ketentuan yang berlaku dalam kehidupan masyarakatnya,
bukan hanya karena ketentuan itu ditetapkan oleh para penguasa atau para petugas
hukum, tetapi karena kesadaran bahwa ketentuan-ketentuan itu memang sudah
sepantasnya ditaati oleh segenap warga masyarakat.
Di samping penetapan para petugas hukum adat ada beberapa faktor lain
yang menentukan agar adat istiadat berkekuatan mengikat secara materiil yang
sempurna, ialah:
16
(25)
1) Adat istiadat itu sesuai dengan sistem hukum yang berlaku pada
masyarakat ;
2) Sesuai dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan yang dijunjung tinggi;
3) Sesuai dengan perkembangan masyarakat ;
4) Sesuai dengan rasa keadilan yang tumbuh dalam masyarakat.
Hakim adat yang bertugas pada peradilan adat, dalam melaksanakan tugasnya
harus :
1) Sesuai dengan rasa keadilan yang tumbuh dalam masyarakat. berpegangan
pada hukum tertulis yang telah disiapkan sebelumnya ;
2) Berdasarkan adat istiadat yang sudah pernah diputuskan oleh para petugas
hukum sebelumnya ;
3) Harus menggali hukum yang hidup dalam masyarakat, yang sesuai dengan
kesadaran hukum masyarakat;
Berdasarkan uraian diatas hakim adat harus memberi bentuk kepada apa yang
dibutuhkan sebagai kaidah hukum yang berlaku menurut rasa keadilan
masyarakat, karena 17kesadaran hukum masyarakat itu harus dapat mempengaruhi kesadaran hakim dalam mengambil keputusan mengenai masalah yang timbul
dalam masyarakat.
Dalam melaksanakan tugas tersebut hakim adat terikat pada :
1) Nilai-nilai yang berlaku secara obyektif dalam masyarakat ;
17
(26)
2) Sistem hukum adat yang telah berbentuk dan berkembang dalam
masyarakat ;
3) Syarat-syarat dan nilai-nilai kemanusiaan ;
4) Putusan-putusannya sendiri yang pernah diputuskannya ;
5) Putusan-putusan hakim lainnya dalam masalah yang serupa yang masih
dapat dipertahankan karena masih sesuai dengan rasa keadilan masyarakat.
Hukum adat kita tak kenal sistem precedent. Bilamana hakim tidak
mendapatkan putusan yang lampau mengenai masalah yang sama atau bilamana
putusan yang lampau itu tidak mungkin lagi dipertahankan, maka hakim harus
mencarinya dalam kenyataan yang hidup dalam masyarakat, dengan
memperhatikan beberapa pedoman penting, yaitu (Prof.Djojodigoeno) :
1) Azas-azas dan peragaan hukum di masa lampau yang merupakan
ukuran statis, guna mengabdi tujuan hukum yang bernama taat;
2) Keadaan masyarakat pada waktu sekarang, yang merupakan
ukuran dinamik, guna mengejar “tata masyarakat yang adi; dan 3) Individualita masing-masing kasus yang merupakan ukuran plastis.
Dengan demikian, maka wujud dari putusan hakim yang sedang mengadili suatu
perkara menurut hukum adat dapat berupa :
1) Melaksanakan aturan hukum adat yang telah ada, sepanjang masih
mencerminkan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat;
2) Tidak melaksanakan aturan hukum adat yang ada, melainkan memberi
(27)
aturan hukum adat yang lama itu tidak sesuai lagi dengan perasaan
keadilan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat
3) Hakim dapat pula mengambil keputusan jalan tengah, kalau terjadi hal-hal
sebagai berikut;
4) Peristiwa/faktanya tidak terang (siapa yang salah)
5) Hukum yang menguasai perkara itu tidak jelas;
6) Kalau penerapan aturan hukum adat yang ada akan dapat menimbulkan
rasa tidak puas masyarakat.
Sejak zaman Hindia Belanda s/d lahirnya UU No.1/drt/1951 (11-1-1951)
belum ada unifikasi dalam kekuasaan peradilan, karena masih ada 5 macam
tatanan peradilan yang berlaku yakni18 :
1) Tatanan Peradilan Gubernemen (Gouvernement rechtspraak);
2) Peradilan Pribumi (Inheemsche rechtspraak), yang ada di daerah-daerah
yang mendapat kebebasan untuk menyelenggarakan peradilannya sendiri
dengan hakim-hakim pribumi.
3) Berwenang untuk mengadili perkara yang terjadi antara orang-orang
bumiputera yang tidak termasuk wewenang Peradilan Gubernemen (Ps.
130 IS).
4) Peradilan Swapradja (Zelfbestuursrechtspraak), terdapat di daerah-daerah
swapradja;
18
(28)
Pada zaman Hindia Belanda pengadilan-pengadilan swapradja di Jawa
(Kasultanan Yogjakarta, Pakualaman Yogyakarta, Kasunanan Surakarta,
Mangkunegaran Surakarta) mempunyai kekuasaan mengadili keluarga sedarah
dan keluarga karena perkawinan sampai derajat ke-4 dari raja-raja jawa dan
terhadap pegawai-pegawai tinggi kerajaan (kaula swapradja di luar itu menjadi
wewenang peradilan gubernemen).Dapat mengadili perkara pidana yang
mengenai ketertiban umum dan harta kekayaan negara / kerajaan, disamping
perkara perdata yang tergugatnya berdiam di daerah swapradja.
Peradilan Agama (Raad Agama) yang ada di daerah-daerah HINDIA BELANDA,
baik yang di daerahnya terdapat Peradilan Gubernemen maupun yang menetapkan
PA sebagai bagian dari Peradilan Pribumi/Peradilan Swapradja dan Peradilan
Desa (Dorps rechtspraak), yang terdapat dalam masyarakat desa, yang biasanya
juga merupakan Peradilan Adat. Dilakukan secara majlis oleh para kepala
desa/kepala masyarakat hukum adat setempat, wewenangnya hanya mengenai
perkara-perkara perdata yang kecil-kecil dan perkara pidana adat yang ringan.
Dari 4 macam tatanan peradilan tersebut yang melaksanakan tugasnya
selalu berpedoman pada hukum dat sebagai landasan mengadili perkara ialah (2,3
dan 4). Pluralisme dalam sistem peradilan tersebut dapat menimbulkan
kerancuan dalam kewenangan badan-badan peradilan dan perbedaan perlakuan
hukum terhadap WNI. Berdasarkan UU No.1/drt/1951 diadakan unifikasi susunan
dan kekuasaan pengadilan dengan menghapuskan semua peradilan adat, sehingga
(29)
F METODE PENELITIAN
1. Berdasarkan permasalahan yang diteliti oleh penulis, maka metode
penelitian hukum normatif. Metode penelitian hukum normatif atau
metode penelitian hukum kepustakaan adalah metode atau cara
yang dipergunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan
dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada.19 Tahapan pertama penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk
mendapatkan hukum obyektif (norma hukum), yaitu dengan
mengadakan penelitian terhadap masalah hukum. Tahapan kedua
penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk
mendapatkan hukum subjektif (hak dan kewajiban20
2. Penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif yaitu
menggambarkan gejala-gejala di lingkungan masyarakat terhadap
suatu kasus yang diteliti, pendekatan yang dilakukan yaitu
pendekatan kualitatif yang merupakan tata cara penelitian yang
menghasilkan data deskriptif. Digunakan pendekatan kualitatif
oleh penulis bertujuan untuk mengerti atau memahami gejala yang
diteliti. Penulis melakukan penelitian dengan tujuan untuk menarik
19
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Cetakan ke – 11. (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2009), hal. 13–14.
20
Hardijan Rusli, “Metode Penelitian Hukum Normatif:( Law Review Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Volume V No. 3 Tahun 2006), hal. 50
(30)
azas-azas hukum (“rechsbeginselen”) yang dapat dilakukan terhadap hukum positif tertulis maupun hukum positif tidak tertulis
3. Sumber data
a) Data primer Bahan hukum primer merupakan bahan
hukum yang mengikat atau yang membuat orang taat
pada hukum seperti peraturan perundang–undangan, dan putusan hakim. Bahan hukum primer yang penulis
gunakan di dalam penulisan ini yakni Undang Undang
Dasar 1945, Undang Undang darurat no. 1 tahun 1951
b) Data skunder Bahan hukum sekunder itu diartikan
sebagai bahan hukum yang tidak mengikat tetapi
menjelaskan mengenai bahan hukum primer yang
merupakan hasil olahan pendapat atau pikiran para pakar
atau ahli yang mempelajari 21suatu bidang tertentu secara khusus yang akan memberikan petunjuk ke mana peneliti
akan mengarah. Yang dimaksud dengan bahan sekunder
disini oleh penulis adalah doktrin–doktrin yang ada di dalam buku, jurnal hukum dan internet.
c) Data tersier Bahan hukum tersier 22adalah bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder dengan memberikan pemahaman dan pengertian
atas bahan hukum lainnya. Bahan hukum yang
21
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI Press, 1986), hal. 32.
22
(31)
dipergunakan oleh penulis adalah Kamus Besar Bahasa
Indonesia dan Kamus Hukum
4. Teknik pengumpulan data
a) Dengan study pustakan dengan buku buku yang ada
b) Dengan wawancara dengan pemungka adat yaitu
dengan bapak karya adat selaku salah satu tokoh
atau salah satu ketua adat yang ada di desa Huraba,
kecamatan Siabu, kabupaten Mandailing Natal
4. Analisis data 23
analisis kualitatif Tahap akhir adalah analisis data dalam rangka
menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian yang dilakukan
dengan pendekatan.
G. SITEMATIKA PENULISAN
Penulisan skripsi ini dibuat secara terperinci dan sistematis agar
memberikan kemudahan bagi pembacanya dalam memahami makna dan dapat
pula memperoleh manfaatnya. Keseluruhan sistematika ini merupakan satu
kesatuan yang sangat berhubungan antara yang satu dengan yang lainnya yang
dapat dilihat sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan
23
Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group,
(32)
Bab ini merupakan bab yang menguraikan latar belakang penulisan skripsi
ini, permasalahan dalam skripsi ini, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian
penulisan dan menguraikan tentang tinjauan kepustakaan yang membahas
mengenai pengertian tindak pidana dan pengertian lembaga adat serta hukum
pidana adat. Dalam skripsi ini juga terdapat metode penelitian serta sistematika
penulisan.
BAB II Kedudukan Lembaga Adat Di Indonesia
Bab ini akan memberikan pemaparan tentang kedudukan lembaga adat
dalam per undang undangan , kedudukan lembaga adat dalam perspektif undang
undang dasar 1945, hukum adat dalam undang undang no 1 tahun 1951 dan
hukum adat dalam undang undang no 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok
agraria serta bentuk bentuk masyarakat hukum adat
BAB III Peranan Lembaga Adat Dalain Natolu Dalam Menyelesaikan Suatau Pristiwa Pidana
Pada bab ini penulis akan membahas tentang unsur unsur lembaga adat
dalain natolu , fungsi dalian natolu dalam hukum adat , faktor faktor penyebab
masyarakat memilih dalian natolu sebagai lembaga adat dalam menyelesaikan
suatu pristiwa pidana. Mekanisme kerja lembaga adat dalian natolu dalam
menyelesaikan suatu pristiwa pidana
BAB IV Tindak Pidana Apa Saja Yang Di Selesaikan Melalui Lembaga Adat Dalian Natolu
(33)
Pada bab ini macam macam tindak pidana apa saja yang di lemabag adat
dalian natolu di desa huraba kec. Siabu kab. Mandailing natal , tata cara
penyelesaian pristiwa pidana pidana di lembaga adat adat dalian natolu di desa
huraba kec.siabu.kab . mandailing natal
Bab V Penutup
Bab ini merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan dari masalah – masalah yang telah dibahas pada bab – bab terdahulu dan saran yang berguna bagi semua pihak .
(1)
Pada zaman Hindia Belanda pengadilan-pengadilan swapradja di Jawa (Kasultanan Yogjakarta, Pakualaman Yogyakarta, Kasunanan Surakarta, Mangkunegaran Surakarta) mempunyai kekuasaan mengadili keluarga sedarah dan keluarga karena perkawinan sampai derajat ke-4 dari raja-raja jawa dan terhadap pegawai-pegawai tinggi kerajaan (kaula swapradja di luar itu menjadi wewenang peradilan gubernemen).Dapat mengadili perkara pidana yang mengenai ketertiban umum dan harta kekayaan negara / kerajaan, disamping perkara perdata yang tergugatnya berdiam di daerah swapradja.
Peradilan Agama (Raad Agama) yang ada di daerah-daerah HINDIA BELANDA, baik yang di daerahnya terdapat Peradilan Gubernemen maupun yang menetapkan PA sebagai bagian dari Peradilan Pribumi/Peradilan Swapradja dan Peradilan Desa (Dorps rechtspraak), yang terdapat dalam masyarakat desa, yang biasanya juga merupakan Peradilan Adat. Dilakukan secara majlis oleh para kepala desa/kepala masyarakat hukum adat setempat, wewenangnya hanya mengenai perkara-perkara perdata yang kecil-kecil dan perkara pidana adat yang ringan.
Dari 4 macam tatanan peradilan tersebut yang melaksanakan tugasnya selalu berpedoman pada hukum dat sebagai landasan mengadili perkara ialah (2,3 dan 4). Pluralisme dalam sistem peradilan tersebut dapat menimbulkan kerancuan dalam kewenangan badan-badan peradilan dan perbedaan perlakuan hukum terhadap WNI. Berdasarkan UU No.1/drt/1951 diadakan unifikasi susunan dan kekuasaan pengadilan dengan menghapuskan semua peradilan adat, sehingga wewenang mengadili perkara pelanggaran hukum adat diserahkan kepada PN.
(2)
F METODE PENELITIAN
1. Berdasarkan permasalahan yang diteliti oleh penulis, maka metode penelitian hukum normatif. Metode penelitian hukum normatif atau metode penelitian hukum kepustakaan adalah metode atau cara yang dipergunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada.19 Tahapan pertama penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum obyektif (norma hukum), yaitu dengan mengadakan penelitian terhadap masalah hukum. Tahapan kedua penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum subjektif (hak dan kewajiban20
2. Penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif yaitu menggambarkan gejala-gejala di lingkungan masyarakat terhadap suatu kasus yang diteliti, pendekatan yang dilakukan yaitu pendekatan kualitatif yang merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif. Digunakan pendekatan kualitatif oleh penulis bertujuan untuk mengerti atau memahami gejala yang diteliti. Penulis melakukan penelitian dengan tujuan untuk menarik
19
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan ke – 11. (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2009), hal. 13–14.
20
Hardijan Rusli, “Metode Penelitian Hukum Normatif:( Law Review Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Volume V No. 3 Tahun 2006), hal. 50
(3)
azas-azas hukum (“rechsbeginselen”) yang dapat dilakukan terhadap hukum positif tertulis maupun hukum positif tidak tertulis 3. Sumber data
a) Data primer Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang mengikat atau yang membuat orang taat pada hukum seperti peraturan perundang–undangan, dan putusan hakim. Bahan hukum primer yang penulis gunakan di dalam penulisan ini yakni Undang Undang Dasar 1945, Undang Undang darurat no. 1 tahun 1951 b) Data skunder Bahan hukum sekunder itu diartikan
sebagai bahan hukum yang tidak mengikat tetapi menjelaskan mengenai bahan hukum primer yang merupakan hasil olahan pendapat atau pikiran para pakar atau ahli yang mempelajari 21suatu bidang tertentu secara khusus yang akan memberikan petunjuk ke mana peneliti akan mengarah. Yang dimaksud dengan bahan sekunder disini oleh penulis adalah doktrin–doktrin yang ada di dalam buku, jurnal hukum dan internet.
c) Data tersier Bahan hukum tersier 22adalah bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman dan pengertian atas bahan hukum lainnya. Bahan hukum yang
21
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI Press, 1986), hal. 32. 22
(4)
dipergunakan oleh penulis adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum
4. Teknik pengumpulan data
a) Dengan study pustakan dengan buku buku yang ada b) Dengan wawancara dengan pemungka adat yaitu
dengan bapak karya adat selaku salah satu tokoh atau salah satu ketua adat yang ada di desa Huraba, kecamatan Siabu, kabupaten Mandailing Natal 4. Analisis data 23
analisis kualitatif Tahap akhir adalah analisis data dalam rangka menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian yang dilakukan dengan pendekatan.
G. SITEMATIKA PENULISAN
Penulisan skripsi ini dibuat secara terperinci dan sistematis agar memberikan kemudahan bagi pembacanya dalam memahami makna dan dapat pula memperoleh manfaatnya. Keseluruhan sistematika ini merupakan satu kesatuan yang sangat berhubungan antara yang satu dengan yang lainnya yang dapat dilihat sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan
23
Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2009), hal. 93.
(5)
Bab ini merupakan bab yang menguraikan latar belakang penulisan skripsi ini, permasalahan dalam skripsi ini, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan dan menguraikan tentang tinjauan kepustakaan yang membahas mengenai pengertian tindak pidana dan pengertian lembaga adat serta hukum pidana adat. Dalam skripsi ini juga terdapat metode penelitian serta sistematika penulisan.
BAB II Kedudukan Lembaga Adat Di Indonesia
Bab ini akan memberikan pemaparan tentang kedudukan lembaga adat dalam per undang undangan , kedudukan lembaga adat dalam perspektif undang undang dasar 1945, hukum adat dalam undang undang no 1 tahun 1951 dan hukum adat dalam undang undang no 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok agraria serta bentuk bentuk masyarakat hukum adat
BAB III Peranan Lembaga Adat Dalain Natolu Dalam Menyelesaikan Suatau Pristiwa Pidana
Pada bab ini penulis akan membahas tentang unsur unsur lembaga adat dalain natolu , fungsi dalian natolu dalam hukum adat , faktor faktor penyebab masyarakat memilih dalian natolu sebagai lembaga adat dalam menyelesaikan suatu pristiwa pidana. Mekanisme kerja lembaga adat dalian natolu dalam menyelesaikan suatu pristiwa pidana
BAB IV Tindak Pidana Apa Saja Yang Di Selesaikan Melalui Lembaga Adat Dalian Natolu
(6)
Pada bab ini macam macam tindak pidana apa saja yang di lemabag adat dalian natolu di desa huraba kec. Siabu kab. Mandailing natal , tata cara penyelesaian pristiwa pidana pidana di lembaga adat adat dalian natolu di desa huraba kec.siabu.kab . mandailing natal
Bab V Penutup
Bab ini merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan dari masalah – masalah yang telah dibahas pada bab – bab terdahulu dan saran yang berguna bagi semua pihak .