Makalah Hukum Perdata Islam di indonesia

MAKALAH
HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA (HPII)

Tentang
KETENTUAN UMUM KEWARISAN

DI SUSUN OLEH

:

GUFRANIL ‘ALIMI : 312.057

DOSEN PEMBIMBING
Prof. Dr. H. Makmur Syarif, S.H,M.Ag

Jurna Petri Roszi, M.A

JURUSAN MUAMALAH FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
IMAM BONJOL PADANG
1436 H/2014 M


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum Kewarisan merupakan salah satu syariat yang harus dilaksanakan oleh
umat islam. Pembagian warisan sesuai dengan hukum waris islam adalah
pembagian yang paling adil sebagaimana dikehendaki oleh Allah swt. Selain
memenuhi ketentuan Allah swt, membagi warisan dengan hakim waris islam akan
memenuhi rasa keadilan umat islam. Oleh sebab itu, jika warisan dibagi dengan
tidak memenuhi ketentuan hukum waris, hal itu akan memunculkan permasalahan
di kemudian hari.
Dari permasalahan di atas, penulis tertarik untuk membuat makalah tentang
Ketentuan Umum tentang Hukum Kewarisan. Makalah ini akan membahas
mengenai ilmu waris, berupa pengertiannya, dasar hukum pewarisan dan wacana
kesejarahan, serta rukun dan syarat pewarisan.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang diangkat dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1) Apakah itu ilmu waris ?
2) Apa sajakah dasar hukum dan wacana kesejarahan pewarisan itu ?
3) Apa sajakah rukun dan syarat dari pewarisan ?


C. Tujuan
Dengan ditulisnya makalah ini, penulis bertujuan untuk :
1) Memberikan informasi mengenai ilmu waris.
2) Meningkatkan pengetahuan mahasiswa mengenai dasar hukum pewarisan,
serta rukun dan syaratnya.

D. Manfaat
Adapun manfaat dari pembuatan makalah ini, adalah sebagai berikut:
1) Semakin pahamnya mahasiswa mengenai ilmu waris .
2)

Meningkatnnya pengetahuan mahasiswa tentang dasar hukum pewarisan,

serta rukum dan syarat pewarisan.

PEMBAHASAN
KETENTUAN UMUM TENTANG KEWARISAN
A.Pengertian Hukum Kewarisan
Secara bahasa kata Waratsa asal kata dari kewarisan.

Didalam Al-Qur’an memiliki beberapa arti1 :
1 Lihat Al -Qur’an dan Terjemahannya, Depag RI, 1989, CV. Toha Semarang.
Q.s An-Naml 16, Q.s Az-Zumar 74, Q.s Maryam 74.

pertama, mengganti
  

. Dan Sulaiman telah menggantikan Daud (Q.s Al-Naml :16)

Kedua, memberi
    

  

Dan telah (memberi) kepada Kami tempat ini sedang Kami (diperkenankan) menempati tempat
dalam syurga di mana saja yang Kami kehendaki (Q.s Azzumar :74).

Ketiga, mewarisi
     
Yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya'qub (Q.s Maryam :6)


Kompilasi Hukum Islam2 mendefenisikan Hukum Kewarisan adalah
hukum yang mengatur tentang pemindahan hak kepemilikan harta peninggalan
pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan beberapa
bagiannya masing-masing. (Ps.171 huruf a KHI).
Fiqh Mawaris kadang disebut juga istilah Al-Faraidh bentuk jamak dari
kata Fardh, artinya kewajiban dan bagian tertentu. Apabila dihubungkan dengan
ilmu, menjadi ilmu Faraidh, maksudnya ialah : Ilmu untuk mengetahui cara
membagi harta peninggalan seseorang yang telah meninggal dunia kepada yang
berhak menerimanya.3
Prof. Amir Syarifuddin memberikan pemahaman bahwa hukum ini
dinamai Faraidh karena didalam ketentuan kewarisan islam yang terdapat dalam

2 Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Citra Umbara 2013, cet. ke-IV hlm 323.
3 Fathurrahman, Ilmu Waris, Bandung : Al Ma’arif 1975 : 31.

Al-Qur’an lebih banyak ditentukan bagiannya dibandingkan yang tidak di
tentukan bagiannnya.4
Hukum kewarisan ini mendapat perhatian besar, karena soal warisan
sering menimbulkan akibat-akibat yang tidak menguntungkan bagi keluarga yang

ditinggal pewarisnya, hal ini dikarenakan pada diri manusia terdapat dua naluri:
naluri mempertahankan hidup dan naluri melanjutkan hidup.
Untuk terpenuhi kedua naluri tersebut Allah menciptakan dalam setiap diri
manusia dua nafsu : nafsu syahwat dan nafsu makan. Nafsu makan berpotensi
untuk memenuhi naluri mempertahankan hidup, karena ia memerlukan sesuatu
yang dapat dimakannnya. Dari sinilah muncul kecendrungan manusia untuk
mendapatkan dan memiliki harta. Nafsu syahwat berpotensi untuk memenuhi
naluri melanjutkan hidup, untuk itu manusia memerlukan lawan jenisnya dalam
menyalurkan nafsu syahwatnya.
Sebagai Mahkluk yang berakal, manusia memerlukan sesuatu untuk
mempertahankan dan meningkatkan daya akalnya. Sebagai mahkluk beragama,
manusia membutuhkan sesuatu untuk mempertahankan dan menyempurnakan
agamanya.5
Dengan demikian, terdapat lima hal yang merupakan syarat bagi
kehidupan manusia yaitu agama, jiwa, akal, nasab (keturunan), harta, . Kelima hal
ini disebut dengan daruriyat al-khamsah (lima kebutuhan dasar) pada diri
manusia.6
Turunnya Ayat-ayat Alqur’an yang mengatur pembagian warisan yang
penunjukannya bersifat pasti (qath’iy-dalalah) adalah merupakan refleks sejarah
dari adanya kecendrungan matrealistis umat manusia, misalkan Q.s An-nisa 11-12

diturunkan untuk menjawab tindakan kesewenangan-wenangan saudara Sa’ad ibn
4 Prof. Dr. Amir Syariffudin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta:Kencana. 2004: 5.
5 Ibid ., hal 2
6 Wahbah Al-Zuhayli, Al-Wajiz Fii Ushul Al-Fiqh, Damaskus: Darul Fikr. 2002 : 92.

al-Rabi’ yang ingin menguasai kekayaan peninggalannya ketika sa’ad tewas di
medan peperangan.
Atha’ meriwayatkan:
“Sa’ad ibn al-Rabi’ tewas (dimedan peperangan sebagai syahid) meninggalkan dua 2
anak perempuan dan seorang istri serta seorang saudara laki-laki. Kemudian saudara lakilakinya itu mengambil harta peninggalan sa’ad seluruhnya. Maka datanglah istri(janda)
sa’ad kepada Rasulullah Saw dan berkata Wahai Rasulullah Saw., ini adalah 2 anak
perempuan sa’ad dan sa’ad tewas dimedan peperangan, pamannya telah mengambil harta
kedua anak perempuan itu seluruhnya”. Maka Rasulullah Saw. Bersabda:”Kembalilah
kamu barangkali Allah akan memberi putusan dalam masalah ini. Maka setelah itu
kembalilah istri sa,ad tersebut,dan menangis maka turunlah ayat Q.s An-nisa 11-12, maka
Rasulullah Saw memanggil pamannya (anak-anak sa’ad) dan bersabda “Berilah kedua
anak perempuan sa’ad 2/3 ,ibunya 1/8 dan sisanya untuk kamu”.

B. Hukum kewarisan Islam dan wacana kesejarahan7
Islam diturunkan dalam rentang waktu 22 tahun 2 bulan 22 hari, dalam

upaya merevisi

atau memperbarui tatanan hukum yang berlaku khususnya

dibelahan Arab, dilakukan dengan bertahap dan bijaksana tanpa memberatkan
pemeluknya demikian juga dalam legislasi hukum kewarisan islam ia diturunkan
disaat yang tepat. Disaat ada masalah baru maka turun ayat baru untuk
menyelesaikannya ataupun untuk merevisi hukum yang telah ada.
Ilustrasi secara garis besar di bawah ini menunjukkan ‘kearifan sejarah’
ajaran Islam dalam merespon kenyataan sosial yang terjadi waktu itu.
1. Hukum Kewarisan Sebelum Islam
Sistem sosial yang berlaku pada masyarakat Arab sebelum Islam itu
diwarnai dengan kultur Badui yang sering disebut dengan Nomad Society, dimana
orang Badui dalam hal kewarisan anak-anak baik laki-laki terlebih perempuan
dilarang mewarisi peninggalan keluarganya. Kenyataan yang seperti inilah yang
nanti akan dihapus oleh Islam karena

mereka tidak mau menghargai

kesederajatan antara kaum perempuan dan laki-laki.

7 Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013.
Hal. 284-285

Dasar pewarisan yang berlaku pada masa awal islam adalah8 :
a.

Al-Qarabah atau pertalian kerabat
Pertalian kerabat di sini tidak berlaku mutlak seperti ketika Islam telah

diturunkan, ahli waris lelaki yang dewasa saja yang diberi hak kewarisan.
sehingga anak-anak dan wanita tidak menerima hak-haknya, karena dianggap
tidak cakap melakukan perbuatan hukum.
Adapun mereka yang mendapat hak mewarisi adalah :
- Anak laki-laki, Saudara laki-laki, Paman, Anak laki-laki paman .
b. Al-hilf wa al-mu’aqadah atau janji setia
Janji setia ditempuh dengan melakukan perjanjian kerja sama antara dua
orang atau lebih. Seseorang menyatakan dengan sungguh-sungguh kepada orang
lain, untuk saling mewarisi apabila salah satu pihak meninggal.
Tujuanya untuk kerja sama, saling menasehat dan memperoleh rasa aman.
Apabila salah satu pihak yang melakukan janji setia itu meninggal dunia maka

pihak lain mewarisi harta yang ditinggalkannya, dengan ketentuan menerima 1/6
bagian baru setelah itu dibagikan kepada ahli waris lainnya.
c. Al-Tabanni atau adopsi (Pengangkatan anak)
Pada masa jahiliyah kelahiran anak angkat dimasukkan sebagai keluarga
besar bapak angkatnya, yang status hukumnya sama dengan anak kandung, praktis
hubungan kekeluargaan dengan ayah kandungnya terputus. Dan apabila salah satu
dari keduanya meninggal dunia maka yang lain tidak dapat mewarisi harta
peninggalannya.
2. Hukum Kewarisan Masa Awal Islam9
Hukum kewarisan pada masa awal Islam belum mengalami perubahan. Ini
dapat dimengerti karena masa-masa awal Islam prioritas utama ajarannya adalah
membina akidah atau keyakinan pemeluknya, yaitu mentauhidkan Allah Yang
Esa. Ini maksud untuk mengkoreksi keyakinan mereka yang terseret kedalam
kepercayaan syirik atau menyekutukan allah.
Melihat kenyataan masyarakat yang belum siap itu, maka ayat-ayat yang
mengatur soal warisan belum cukup tepat untuk diturunkan dan ayat-ayat yang

8 Ibid., hlm. 286-287
9 Ahmad Rofiq, ibid., hlm. 290.


diturunkan adalah ayat yang menganjurkan dan memberi rangsangan agar
mengikuti hijrah Rasulullah SAW dari Makkah ke Madinah.
Sehingga dasar-dasar yang dijadikan sebab-sebab mewarisi pada masa
awal Islam ini antara lain :
a.
b.
c.
d.
e.

Al-Qarabah (pertalian kerabat)
Al-Hilf wa al-Mu’aqadah (janji setia)
Al-Tabanni (adopsi atau pengangkatan anak)
Hijrah (Makkah ke Madinah)
Muakhah (ikatan persaudaraan antara kaum muhajirn dan kaum anshor).

Hijrah dijadikan salah satu sebab mewarisi pada masa awal Islam didasari
oleh strategi dakwah dan untuk menambah motivasi juga agar mereka bersedia
ikut hijrah, juga demi memperbesar kekuatan komunitas Islam yang waktu itu
baru diikuti lebih kurang 200-an orang.

Muakhah (ikatan persaudaraan antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar
yang memberi pertolongan) adalah sebagai penghargaan terhadap sambutan dan
dukungan kaum anshar dan untuk lebih mempererat tali persaudaraan antara
mereka. Rasulullah SAW memutuskan bahwa ikatan persaudaraan diantara
mereka sebagai sebab saling mewarisi, apabila salah satu dari mereka meninggal
dunia.
C. Dasar-dasar Kewarisan Islam10
1. Al-Qur’an

a. Qs An-Nisa 11-12
      












    
      










     
10 Ibid., hlm. 295-300

       
    










      

    
      

      

  

Artinya: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu.
Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan;
dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga
dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia
memperoleh separoh harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika
orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja),
Maka ibunya mendapat sepertiga;
jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat
seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia
buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu,
kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya
bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi
Maha Bijaksana.

Kesimpulan atau intisari yang dapat kita diambil dari ayat ini adalah sebagai
berikut:
Bagian anak perempuan:1/2 jika seorang
-2/3 jika dua orang atau lebih
-'ushubah (sisa) jika bersama dengan anak laki-laki
Bagian anak laki-laki:'ushubah (sisa)
Bagian ibu:1/6 jika si mayit mempunyai anak atau dua orang saudara atau lebih
-1/3 jika si mayit tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai dua orang saudara
atau lebih

-1/3 dari sisa (dalam masalah gharrawain yang ahli warisnya terdiri dari suami
atau isteri, ibu, dan bapak)
Bagian bapak:1/6 jika si mayit mempunyai anak laki-laki
-'ushubah (sisa) jika si mayit tidak mempunyai anak laki-laki

       
       

      
      

      
      












      
     
     

     
       

      
       

   

Artinya: Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-

isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak,
Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi
wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya.
Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh

seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat
atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki
maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi
mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan
(seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta.
Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam
yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar
hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang
demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui
lagi Maha Penyantun.

Kesimpulan atau intisari yang dapat diambil dari ayat ini adalah sebagai berikut:
Bagian suami:1/2 jika si mayit tidak mempunyai anak
-1/4 jika si mayit mempunyai anak
Bagian isteri:1/4 jika si mayit tidak mempunyai anak
1/8 jika si mayit mempunyai anak
Bagian saudara laki-laki/perempuan seibu (kasus kalalah):1/6 jika seorang
1/3 dibagi rata jika dua orang atau lebih
(Catatan: kalalah adalah seseorang yang wafat tanpa meninggalkan bapak dan
anak)
b.Q.s An-Nisa 176







 



     
     

       
     

     








    

      
   

Artinya: Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah

memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia
tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang
perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya.
Dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia
tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi
keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal.
Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, Maka
bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan.
Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha
mengetahui segala sesuatu.

Bagian saudara perempuan kandung atau sebapak (kasus kalalah):1/2 jika
seorang
2/3 jika dua orang atau lebih
'ushubah (sisa) jika bersama saudara laki-laki kandung atau sebapak
Bagian saudara laki-laki kandung atau sebapak (kasus kalalah):'ushubah
(sisa)
2. Al-Sunnah
-“Berikanlah bagian-bagian tertentu kepada orang yang berhak, sesudah itu
sisanya untuk orang laki-laki yang lebih utama” (HR. Bukhari – Muslim).
-“Berikanlah 2/3 untuk dua anak Saad, 1/8 untuk jandanya, dan sisanya adalah
untukmu (paman)” (HR. Abu Daud At Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad)

3. Ijma’11
- Ahli hukum islam Sepakat Apabila ahli waris hanya anak dan kakek, kakek
dapat menggantikan kedudukan ayah dalam penerimaan warisan.
- Ahli hukum

islam Sepakat Saudara-saudara seibu-sebapak, baik laki-laki

ataupun perempuan (banu al-a’yan wa al- a’lat) terhalang dari menerima
warisan oleh bapak.
- Ahli hukum islam Sepakat tentang bagian seperenam bagi nenek seorang diri
atau lebih.
Selain Ketiga dasar hukum diatas. Didalam Kompilasi Hukum Islam pada
Buku II, yang berisi Enam Bab juga mengatur tentang kewarisan yakni12:
1) Bab I, berisi ketentuan umum dan terdiri dari 1 pasal, yaitu pasal 171.
2) Bab II, berisi tentang ahli waris dan terdiri dari 4 pasal, yaitu pasal 172-175.
3) Bab III, berisi tentang besarnya bagian ahli waris dan terdiri dari 16 pasal,
yaitu pasal 176-191.
4) Bab IV, berisi tentang ‘aul dan rad serta terdiri dari 2 pasal, yaitu pasal 192193.
5) Bab V, berisi tentang wasiat dab terdiri dari 16 pasal, yaitu pasal 194-209.
6) Bab VI, berisi tentang hibah dan terdiri dari 5 pasal, yaitu pasal 210-214.
Pembagian warisan umat muslim di Indonesia dilakukan oleh pengadilan
agama berdasarkan kompilasi Hukum Islam tersebut.
D. Rukun dan Syarat Kewarisan13
Rukun waris itu ada tiga macam, yaitu :

11 http://nidanabilah13.wordpress.com/2014/11/22/contoh-contoh-ijma/Jam 15:12.
12 Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Citra Umbara, 2013, cet. ke-IV hlm 323-387.
13 Moh Muhibbin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2009. Hal. 57-62

a. Mauruts atau (harta peninggalan)
Mauruts adalah harta benda yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia
yang akan pusakai atau dibagi oleh para ahli waris setelah diambil biaya-biaya
perawatan, melunasi hutang-hutang dan melaksanakan wasiat.
b. Muwarrist (yang meninggalkan harta waris)
Muwarist adalah orang yang meninggal dunia (mati hakiki, mati hukmy, mati
taqdiry) dan meninggalkan harta waris.
c.Waarits (ahli waris)
Waris adalah orang yang akan mewarisi harta peninggalan lantaran mempunyai
hubungan sebab-sebab untuk mewarisi seperti adanya ikatan perkawinan,
hubungan darah (keturunan) yang hubungan hak perwalian dengan si muwaris
Syarat-syarat mendapat warisan ada tiga macam, yaitu:
1. Kematian muwarrits baik hakiki,hukmy dan taqdiry.
2. Hidupnya warits setelah matinya muwarrits, walaupun hidupnya secara
hukum, seperti anak dalam kandungan, maka secara hukum ia dikatakan
hidup
3. Tidak adanya penghalang untuk saling mewarisi seperti perbudakan,
pembunuhan, dan perbedaan agama.

BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Pembagian harta warisan yang menggunakan ilmu faraidl islam atau yang
sering disebut ilmu waris merupakan pembagian harta yang tidak akan merugikan
pihak mana pun karena cara tersebut merupakan ketentuan dari Allah swt yang
telah di jelaskan didalam Al-Qur’an (Q.s an-Nisa ayat 7-8, surah an-Nisa ayat
11,12,13 dan 176, surah al-Anfal ayat 72 dan 75, serta surah al-Azhab ayat 6).
Selain itu karena pembagian harta dengan menggunakan ilmu faraidl,
dilaksanakan dengan cara yang seadil-adilnya. Sehingga tentu tidak akan
merugikan pihak manapun.
B. Saran
Setelah menarik kesimpulan sebagaimana tersebut di atas selanjutnya penulis
mengajukan beberapa saran, yaitu sebagai berikut.
1) Senatiasa menggunakan ilmu faraid atau ilmu waris apabila ingin melakukan
pembagian harta.
2) Menyebarkan ilmu waris ini, kepada masyarakat yang belum mengetahuinya.

DAFTAR PUSTAKA

Rofiq, Ahmad, Prof. Dr. M.A. 2013. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta.
Syarifuddin, Amir, Prof. Dr. 2004. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta.

Muhibbin, Muhammad, Dr. 2009. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta.
Al-Zuhayli, Wahbah. Al-Wajiz Fii Ushul Al-Fiqh, Damaskus.
Departemen Agama RI, Al -Qur’an dan Terjemahannya, Semarang.
Kompilasi Hukum Islam, Citra Umbara, cet. ke-IV.
http://nidanabilah13.wordpress.com