Selamat datang di Wikipedia bahasa Indon (4)
Selamat datang di Wikipedia bahasa Indonesia
[tutup]
Ajaran Samin
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Artikel ini sudah memiliki daftar referensi, bacaan terkait atau pranala luar, tapi
sumbernya masih belum jelas karena tak memiliki kutipan pada kalimat. Mohon
tingkatkan kualitas artikel ini dengan memasukkan rujukan yang lebih mendetil bila perlu.
Ajaran Samin (Saminisme) yang disebarkan oleh Samin Surosentiko (1859-1914), adalah
sebuah konsep penolakan terhadap budaya kolonial Belanda dan penolakan terhadap kapitalisme
yang muncul pada masa penjajahan Belanda abad ke-19 di Indonesia. Sebagai gerakan yang
cukup besar Saminisme tumbuh sebagai perjuangan melawan kesewenangan Belanda yang
merampas tanah-tanah dan digunakan untuk perluasan hutan jati.
Daftar isi
1 Asal ajaran Saminisme
2 Tokoh perintis ajaran Samin
3 Daerah penyebaran dan para pengikut ajaran Samin
4 Wong Sikep
5 Konsep ajaran Samin
6 Pokok-pokok ajaran Saminisme
7 Kitab Suci Orang Samin
8 Riwayat hidup Samin
9 Sikap Orang Samin
10 Bahasa Orang Samin
11 Pakaian Orang Samin
12 Sistem kekerabatan
13 Pernikahan bagi orang Samin
14 Sikap terhadap lingkungan
15 Pemukiman
16 Upacara dan tradisi
17 Masyarakat Samin saat ini
18 Referensi
19 Lihat pula
20 Pranala luar
Asal ajaran Saminisme
Ajaran Saminisme muncul sebagai akibat atau reaksi dari pemerintah kolonial Belanda yang
sewenang-wenang.Perlawanan dilakukan tidak secara fisik tetapi berwujud penentangan
terhadap segala peraturan dan kewajiban yang harus dilakukan rakyat terhadap Belanda misalnya
dengan tidak membayar pajak. Terbawa oleh sikapnya yang menentang tersebut mereka
membuat tatanan, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan tersendiri.
Tokoh perintis ajaran Samin
Tulisan ini merupakan salah satu dari teks historis-sosiologis yang mencoba disuguhkan untuk
mengenal suatu masyarakat secara komprehensif dan mendalam. Dalam tulisan ini akan
diuraikan tentang masyarakat Samin meliputi; ide terbentuknya masyarakat Samin, tiga unsur
gerakan Saminisme, masa kepemimpinannya, sumber ajaran Samin, daerah persebaran ajaran
Samin, sebab perlawanan orang Samin, pandangan orang Samin terhadap pemimpinnya, potret
pemuka masyarakat Samin saat ini, bahasa yang digunakan, kepribadian orang Samin, ritus
perkawinan orang Samin, pandangan orang Samin pada sebuah nasib, identitas pakaiannya,
perkembangan kepercayaannya, dan strategi politik orang Samin.
Tulisan ini diharapkan menjadi suguhan kepada pembaca secara berbeda, karena sampai saat ini
masih kentalnya pengetahuan masyarakat akan orang Samin tidak beda dengan masyarakat yang
terbelakang, terisolir, dan anti kemajuan. Karena penulis khawatir dari kesekian kalinya
kekerasan pada pemeluk aliran kepercayaan sering dipertontonkan, dan sangat mungkin terjadi
pada pada entitas masyarakat Samin.
Tulisan ini merujuk dari berbagai sumber, termasuk buah tangan Sastroatmodjo (2003), film
dokumenter mas Arto di Studio 12 Ungaran, dan hasil diskusi hasil KKL (Kuliah Kerja
Lapangan) pada saat duduk di bangku kuliah di Program Studi Pendidikan Sosiologi &
Antropologi Unnes.
Otak intelektual gerakan Saminisme adalah Raden Surowijoyo. Pengetahuan intelektual Kyai
Samin ini didapat dari ayah, yaitu anak dari pangeran Kusumaniayu (Bupati Sumoroto, yaitu
kawasan distrik pada kabupaten Tulungagung Jawatimur). Lelaki kelahiran tahun 1859 di Ploso
ini sejak dini dijejali dengan pandangan-pandangan viguratif pewayangan yang mengagungkan
tapabrata, gemar prihatin, suka mengalah (demi kemenangan akhir), dan mencintai keadilan.
Beranjak dewasa, dia terpukul melihat realitas yang terjadi, yaitu banyaknya nasib rakyat yang
sengsara, dimana Belanda pada saat itu sangat rajin melakukan privatisasi hutan jati dan
mewajibkan rakyat untuk membayar pajak. Pada saat itulah, Raden Surowijoyo melakukan
perampokan pada keluarga kaya dan hasilnya dibagi-bagi kepada fakir miskin. Dia juga
menghimpun para berandalan di Rajegwesi dan Kanner yang di kemudian hari menyusahkan
pihak Gupermen. Pada saat itulah, Kyai keturunan bangsawan ini dikenal oleh masyarakat kecil
dengan sebutan Kyai Samin yang berasal dari kata “sami-sami amin” yang artinya rakyat samasama setuju ketika Raden Surawijoyo melakukan langkah memberandalkan diri untuk
membiayai pembangunan unit masyarakat miskin. Kyai Samin Surosantiko tidak hanya
melakukan gerakan agresif revolusioner, dia juga melakukan ekspansi gagasan dan pengetahuan
sebagai bentuk pendekatan transintelektual kaum tertindas (petani rakyat jelata) dengan cara
ceramah di pendopo-pendopo pemerintahan desa. Isi ceramah ini yaitu keinginan membangun
kerajaan Amartapura. Adapun pesan substantif yang didengung-dengungkan yaitu meliputi;
jatmiko (bijaksana) dalam kehendak, ibadah, mawas diri, mengatasi bencana alam, dan jatmiko
selalu berpegangan akan budi pekerti.
Namun, akhir pergerakan dari Kyai Samin Surosantiko dicekal oleh Belanda dan ia dibuang ke
Tanah Lunto pada tahun 1914, yang belum sempat mengaktualisasikan seluruh ide-idenya.
Bukan hanya otak pergerakannya, bahkan kitab orang Samin yang ditulisnya juga disita yang
berjudul Serat Jamus Kalimasada, demikian pula dengan kitab-kitab pandom kehidupan orangorang Samin. Kyai Samin Surosantiko merupakan generasi Samin Anom yang melanjutkan
gerakan dari sang Ayah yang disebut sebagai Samin Sepuh. Sehingga masa kepemimpinannya,
ajaran Saminisme terbagai dalam dua sekte, yaitu sekte Samin Sepuh dan sekte Samin Anom.
Siklus kepemimpinan ini secara mati-matian berusaha menciptakan masyarakat yang bersahaja
lahir dan batin. Kyai Samin memiliki sikap puritan, dia bukanlah petani biasa, namun dia adalah
cucu dari seorang pangeran. Kyai Samin adalah orang yang gigih dalam menggoreskan kalam
untuk membagun insan kamil dengan latar belakang ekonomi yang mapan.
Masyarakat Samin memiliki tiga unsur gerakan Saminisme; pertama, gerakan yang mirip
organisasi proletariat kuno yang menentang sistem feodalisme dan kolonial dengan kekuatan
agraris terselubung; kedua, gerakan yang bersifat utopis tanpa perlawanan fisik yang mencolok;
dan ketiga, gerakan yang berdiam diri dengan cara tidak membayar pajak, tidak menyumbangkan
tenaga untuk negeri, menjegal peraturan agraria dan pengejawantahan diri sendiri sebagai dewa
suci. Menurut Kartodirjo, gerakan Samin adalah sebuah epos perjuangan rakyat yang berbentuk
“kraman brandalan” sebagai suatu babak sejarah nasional, yaitu sebagai gerakan ratu adil yang
menentang kekuasaan kulit putih.
Ajaran Samin bersumber dari agama Hindhu-Dharma. Beberapa sempalan ajaran Kyai Samin
yang ditulis dalam bahasa Jawa baru yaitu dalam bentuk puisi tradisional (tembang macapat) dan
prosa (gancaran). Secara historis ajaran Samin ini berlatar dari lembah Bengawan Solo (Boyolali
dan Surakarta). Ajaran Samin berhubungan dengan ajaran agama Syiwa-Budha sebagai
sinkretisme antara Hindhu Budha. Namun pada perjalanannya ajaran di atas dipengaruhi oleh
ajaran ke-Islaman yang berasal dari ajaran Syeh Siti Jenar yang dibawa oleh muridnya yaitu Ki
Ageng Pengging. Sehingga patut dicatat, orang Samin merupakan bagian masyarakat yang
berbudaya dan religius.
Daerah persebaran ajaran Samin menurut Sastroatmodjo (2003) di antaranya di Tapelan
(bojonegara), Nginggil dan Klopoduwur (Blora), Kutuk (Kudus), Gunngsegara (Brebes),
Kandangan (Pati), dan Tlaga Anyar (Lamongan). Ajaran di beberapa daerah ini merupakan
sebuah gerakan meditasi dan mengerahkan kekuatan batiniah guna menguasai hawa nafsu.
Sebab perlawanan orang Samin sebenarnya merefleksikan kejengkelan penguasa pribumi
setempat dalam menjalankan pemerintahan di Randublatung. Tindakan perlawanan ini dalam
bentuk gerakan mogok membayar pajak, mengambil pohon kayu di hutan semaunya, bepergian
tanpa membayar karcis kereta, dan sebagainya. Perbuatan di atas membuat Belanda geram dan
menyinggung banyak pihak yang menimbulkan kontradiksi yang tak kunjung padam dan
membara.
Pandangan orang Samin terhadap pemimpinnya sampai saat ini masih mengakui bahwa Kyai
Samin tidak pernah mati, Kyai Samin hanya mokhsa dan menjadi penghuni kaswargan. Tokoh
ini dimitoskan secara fanantik, bahkan pada momentum perayaan upacara rasulan dan mauludan
sebagai ajang untuk mengenang kepahlawanan Kyai Samin. Setiap pemuka masyarakat Samin
selalu berbegangan sejenis primbon (kepek) yang mengatur kehidupan luas, kebijaksanaan,
petunjuk dasar ketuhanan, tata pergaulan muda-mudi, remaja, dewasa, dan antarwarga Samin.
Bahasa yang digunakan oleh orang Samin yaitu bahasa Kawi yang ditambah dengan dialek
setempat, yaitu bahasa Kawi desa kasar. Orang Samin memiliki kepribadian yang polos dan
jujur, hal ini dapat dilihat setiap ada tamu yang datang, orang Samin selalu menyuguhkan
makanan yang dimiliki dan tidak pernah menyimpan makanan yang dimilikinya. Pengetahuan
orang Samin terhadap rites perkawinan adalah unik, mereka menganggap bahwa dengan melalui
rites perkawinan, mereka dapat belajar ilmu kasunyatan (kajian realistis) yang selalu
menekankan pada dalih kemanusiaan, rasa sosial, kekeluargaan dan tanggung jawab sosial.
Orang Samin percaya, dalam menuju kemajuan harus dilalui dengan marangkak lambat. Hal ini
dapat dilihat dengan perilaku menolak mesin seperti traktor, huller, dan lain-lain. Pakaian yang
digunakan orang Samin adalah kain dengan dominasi warna hitam dengan bahan yang terbuat
dari kain kasar.
Suku Samin juga mengalami perkembangan dalam hal kepercayaan dan tata cara hidup.
Kawasan daerah Pati dan Brebes, terdapat sempalan Samin yang disebut Samin Jaba dan Samin
Anyar yang telah meninggalkan tatacara hidup Samin dahulu. Selain itu, di Klapa Duwur
(Blora), Purwosari (Cepu), dan Mentora (Tuban) dikenal wong sikep, mereka ini dulunya
fanatik, tapi kini meninggalkan arahan dasar dan memilih agama formal, yakni Budha-Dharma.
Beberapa pikiran orang Samin di antaranya; menguasai adanya kekuasaan tertinggi (sang Hyang
Adi Budha), ramah dan belas kasih terhadap sesama mahluk, tidak terikat kepada barang-barang
dunia-kegembiraan-dan kesejahteraan, serta memelihara keseimbangan batin di kalangan antar
warga. Orang Samin dengan jelas mencita-citakan membangun negara asli pribumi, yang bebas
dari campur tangan orang kulit putih, tiada dominasi barat satupun. Ajaran politik yang
dikenakan pada suku Samin yaitu cinta dan setia kepada amanat leluhur, kearifan tua, cinta dan
hormat akan pemerintahan yang dianggap sebagai orang tua dan sesepuh rohani, hormat dan
setia pada dunia intelektual.
Dengan suguhan tulisan ini, diharapkan wawasan dan pengetahuan saya dan pembaca semuanya
lebih terbuka serta kemudian mampu bersikap bijak dan arif dalam memandang sebuah reailtas
yang ada.
Daerah penyebaran dan para pengikut ajaran Samin
Tersebar pertama kali di daerah Klopoduwur, Blora, Jawa Tengah. Pada 1890 pergerakan Samin
berkembang di dua desa hutan kawasan Randublatung, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur.
Gerakan ini lantas dengan cepat menjalar ke desa-desa lainnya. Mulai dari pantai utara Jawa
sampai ke seputar hutan di Pegunungan Kendeng Utara dan Kendeng Selatan. Atau di sekitar
perbatasan provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur menurut peta sekarang.
Dua tempat penting dalam pergerakan Samin adalah Desa Klopodhuwur di Blora dan Desa
Tapelan di Kecamatan Ngraho, Bojonegoro, yang memiliki jumlah terbanyak pengikut Samin.
Mengutip karya Harry J. Benda dan Lance Castles (1960), orang Samin di Tapelan memeluk
saminisme sejak tahun 1890. Dalam Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië (1919) diterangkan,
orang Samin seluruhnya berjumlah 2.300 orang (menurut Darmo Subekti dalam makalah Tradisi
Lisan Pergerakan Samin, Legitimasi Arus Bawah Menentang Penjajah, (1999), jumlahnya 2.305
keluarga sampai tahun 1917, tersebar di Blora, Bojonegoro, Pati, Rembang, Kudus, Madiun,
Sragen, dan Grobogan) dan yang terbanyak di Tapelan.
Wong Sikep
Wong Sikep dari bahasa Jawa, berarti 'Orang Sikep'.Ungkapan ini merupakan sebutan untuk
masyarakat penganut ajaran Samin sebagai alternatif Wong Samin.Masyarakat pengikut Samin
lebih menyukai disebut sebagai 'Wong Sikep' karena Wong Sikep berarti orang yang baik dan
jujur, sebagai alih-alih/pengganti atas sebutan 'Wong Samin' yang mempunyai citra jelek dimata
masyarakat Jawa pada abad 18 sebagai kelompok orang yang tidak jujur.
Wong Sikep adalah kelompok masyarakat penganut ajaran Samin yang disebarkan oleh Samin
Surontiko (Raden Kohar)(1859-1914).
Konsep ajaran Samin
Pengikut ajaran Samin mempunyai lima ajaran:
tidak bersekolah,
tidak memakai peci, tapi memakai "iket", yaitu semacam kain yang diikatkan di kepala
mirip orang Jawa dahulu,
tidak berpoligami,
tidak memakai celana panjang, dan hanya pakai celana selutut,
tidak berdagang.
penolakan terhadap kapitalisme.
Konsep Ajaran Masyarakat Samin masuk dalam kategori Budaya Masyarakat Samin :
Keseimbangan , Harmonisi , Kesetaraan Keadilan. Adalah prinsip dan falsafah hidup Masy
Samin tetap diyakini sampai saat ini Tahun 2006 . Dengan Tradisi Lisan menjaga Budaya dan
Tradisi Lisan kepada generasi dan keturunan tingkat ke 4 adalah suatu hal yang perlu
mendaatkan penelitian, yang berlanjut kepada pengakuan akan keberadaan Masayarakat Samin
yang mempunyai kekhasan dalam bersikap dan bertindak. Masyarakat statis menjaga tradisi
untuk kelanggengan keyakinan.
Pokok-pokok ajaran Saminisme
Pokok ajaran Samin adalah sebagai berikut:
Agama adalah senjata atau pegangan hidup. Paham Samin tidak membeda-bedakan
agama, oleh karena itu orang Samin tidak pernah mengingkari atau membenci agama.
Yang penting adalah tabiat dalam hidupnya.
Jangan mengganggu orang, jangan bertengkar, jangan suka iri hati, dan jangan suka
mengambil milik orang.
Bersikap sabar dan jangan sombong.
Manusia hidup harus memahami kehidupannya sebab hidup adalah sama dengan roh dan
hanya satu, dibawa abadi selamanya. Menurut orang Samin, roh orang yang meninggal
tidaklah meninggal, namun hanya menanggalkan pakaiannya.
Bila berbicara harus bisa menjaga mulut, jujur, dan saling menghormati. Berdagang bagi
orang Samin dilarang karena dalam perdagangan terdapat unsur “ketidakjujuran”. Juga
tidak boleh menerima sumbangan dalam bentuk uang.
Kitab Suci Orang Samin
Sebagaimana paham lain yang dianggap oleh pendukungnya sebagai agama, orang Samin juga
memiliki "kitab suci". "Kitab suci"' itu adalah Serat Jamus Kalimasada yang terdiri atas beberapa
buku, antara lain Serat Punjer Kawitan, Serat Pikukuh Kasajaten, Serat Uri-uri Pambudi, Serat
Jati Sawit, Serat Lampahing Urip, dan merupakan nama-nama kitab yang amat populer dan
dimuliakan oleh orang Samin.
Ajaran dalam buku Serat Pikukuh Kasajaten (pengukuhan kehidupan sejati) ditulis dalam bentuk
puisi tembang, yaitu suatu genre puisi tradisional kesusasteraan Jawa.
Dengan mempedomani kitab itulah, orang Samin hendak membangun sebuah negara batin yang
jauh dari sikap drengki srei, tukar padu, dahpen kemeren. Sebaliknya, mereka hendak
mewujudkan perintah "Lakonana sabar trokal. Sabare dieling-eling. Trokali dilakoni."
Riwayat hidup Samin
Samin Surosentiko lahir pada 1859 dengan nama Raden Kohar di Desa Ploso Kedhiren,
Randublatung, Kabupaten Blora. Ayahnya bernama Raden Surowijaya atau Samin Sepuh. Ia
mengubah namanya menjadi Samin Surosentiko sebab Samin adalah sebuah nama yang bernapas
wong cilik. Samin Surosentiko masih mempunyai pertalian darah dengan Kyai Keti di
Rajegwesi, Bojonegoro, dan Pangeran Kusumoningayu yang berkuasa di Kabupaten Sumoroto
(kini menjadi daerah kecil di Kabupaten Tulungagung) pada 1802-1826.
Pada 1890 Samin Surosentiko mulai mengembangkan ajarannya di daerah Klopoduwur, Blora.
Banyak yang tertarik dan dalam waktu singkat sudah banyak orang menjadi pengikutnya. Saat
itu pemerintah kolonial Belanda menganggap sepi ajaran tersebut, hanya dianggap sebagai ajaran
kebatinan atau agama baru yang remeh temeh belaka.
Pada 1903 residen Rembang melaporkan terdapat 722 orang pengikut Samin yang tersebar di 34
desa di Blora bagian selatan dan Bojonegoro. Mereka giat mengembangkan ajaran Samin. Pada
1907, pengikut Samin sudah berjumlah sekitar 5000 orang. Pemerintah mulai merasa was-was
sehingga banyak pengikut Samin yang ditangkap dan dipenjarakan.
Pada 8 November 1907, Samin Surosentiko diangkat oleh pengikutnya sebagai Ratu Adil dengan
gelar Prabu Panembahan Suryangalam. Kemudian 40 hari sesudah menjadi Ratu Adil itu, Samin
Surosentiko ditangkap oleh asisten Wedana Randublatung, Raden Pranolo. Beserta 8
pengikutnya, Samin lalu dibuang ke luar Jawa (ke kota Padang, Sumatera Barat), dan meninggal
di Padang pada 1914.
Tahun 1908, Penangkapan Samin Surosentiko tidak memadamkan gerakan Samin. Pada 1908,
Wongsorejo, salah satu pengikut Samin, menyebarkan ajarannya di Madiun, mengajak orangorang desa untuk tidak membayar pajak kepada pemerintah. Wongsorejo dengan sejumlah
pengikutnya ditangkap dan dibuang keluar Jawa.
Pada 1911 Surohidin, menantu Samin Surosentiko, dan Engkrak salah satu pengikutnya
menyebarkan ajaran Samin di Grobogan. Karsiyah menyebarkan ajaran Samin di kawasan
Kajen, Pati. Perkembangannya kemudian tidak jelas.
Tahun 1912, pengikut Samin mencoba menyebarkan ajarannya di daerah Jatirogo, Kabupaten
Tuban, namun gagal.
Puncak penyebaran gerakan Samin terjadi pada 1914. Pemerintah Belanda menaikkan pajak.
Disambut oleh para pengikut Samin dengan pembangkangan dan penolakan dengan cara-cara
unik. Misalnya, dengan cara menunjukkan uang kepada petugas pajak, "Iki duwite sopo?"
(bahasa Jawa: Ini uangnya siapa?), dan ketika sang petugas menjawab, "Yo duwitmu" (bahasa
Jawa: Ya uang kamu), maka pengikut Samin akan segera memasukkan uang itu ke sakunya
sendiri. Singkat kata, orang-orang Samin misalnya di daerah Purwodadi dan di Balerejo, Madiun,
sudah tidak lagi menghormati pamong Desa, polisi, dan aparat pemerintah lainnya.
Dalam masa itu, di Kajen Pati, Karsiyah tampil sebagai Pangeran Sendang Janur, mengimbau
kepada masyarakat untuk tidak membayar pajak. Di Desa Larangan, Pati orang-orang Samin
juga mengejek dan memandang para aparat desa dan polisi sebagai badut-badut belaka.
Di Desa Tapelan, Bojonegoro, juga terjadi perlawanan terhadap pemerintah, dengan tidak mau
membayar pajak. Karena itu, teror dan penangkapan makin gencar dilakukan pemerintah
Belanda terhadap para pengikut Samin.
Pada tahun 1914 akhirnya Samin meninggal dalam pengasingannya di Sumatera Barat. Namun
teror terus dilanjutkan oleh pemerintah Belanda terhadap pengikut Samin. Akibat teror ini,
sekitar tahun 1930-an, perlawanan gerakan Samin terhadap pemerintah kolonial menguap dan
terhenti.
Sikap Orang Samin
Walaupun masa penjajahan Belanda dan Jepang telah berakhir, orang Samin tetap menilai
pemerintah Indonesia saat itu tidak jujur. Oleh karenanya, ketika menikah mereka tidak
mencatatkan dirinya baik di Kantor Urusan Agama/(KUA) atau di catatan sipil.
Secara umum, perilaku orang Samin/ 'Sikep' sangat jujur dan polos tetapi kritis.
Bahasa Orang Samin
Mereka tidak mengenal tingkatan bahasa Jawa, jadi bahasa yang dipakai adalah bahasa Jawa
ngoko. Bagi mereka menghormati orang lain tidak dari bahasa yang digunakan tapi sikap dan
perbuatan yang ditunjukkan.
Pakaian Orang Samin
Pakaian orang Samin biasanya berupa baju lengan panjang tanpa kerah, berwarna hitam. Lakilaki memakai ikat kepala. Untuk pakaian wanita bentuknya kebaya lengan panjang, berkain
sebatas di bawah tempurung lutut atau di atas mata kaki.
Sistem kekerabatan
Dalam hal kekerabatan masyarakat Samin memiliki persamaan dengan kekerabatan Jawa pada
umumnya. Sebutan-sebutan dan cara penyebutannya sama. Hanya saja mereka tidak terlalu
mengenal hubungan darah atau generasi lebih ke atas setelah Kakek atau Nenek.
Hubungan ketetanggaan baik sesama Samin maupun masyarakat di luar Samin terjalin dengan
baik. Dalam menjaga dan melestarikan hubungan kekerabatan masyarakat Samin memiliki
tradisi untuk saling berkunjung terutama pada saat satu keluarga mempunyai hajat sekalipun
tempat tinggalnya jauh.
Pernikahan bagi orang Samin
Menurut Samin, perkawinan itu sangat penting. Dalam ajarannya perkawinan itu merupakan alat
untuk meraih keluhuran budi yang seterusnya untuk menciptakan “Atmaja (U)Tama” (anak yang
mulia).
Dalam ajaran Samin , dalam perkawinan seorang pengantin laki-laki diharuskan mengucapkan
syahadat, yang berbunyi kurang lebih demikian : “ Sejak Nabi Adam pekerjaan saya memang
kawin. (Kali ini) mengawini seorang perempuan bernama…… Saya berjanji setia kepadanya.
Hidup bersama telah kami jalani berdua.”
Demikian beberapa ajaran kepercayaan yang diajarkan Samin Surosentiko pada pengikutnya
yang sampai sekarang masih dipatuhi warga samin.
Menurut orang Samin perkawinan sudah dianggap sah walaupun yang menikahkan hanya orang
tua pengantin.
Ajaran perihal Perkawinan dalam tembang Pangkur orang Samin adalah sebagai berikut (dalam
Bahasa Jawa):
Basa Jawa
“Saha malih dadya garan,
anggegulang gelunganing pembudi,
palakrama nguwoh mangun,
memangun traping widya,
Terjemahan
"Maka yang dijadikan pedoman,
untuk melatih budi yang ditata,
pernikahan yang berhasilkan bentuk,
membangun penerapan ilmu,
terserempet, tersandung sampai kebajikan yang
kasampar kasandhung dugi prayogântuk,
dicapai,
ambudya atmaja 'tama,
bercita-cita menjadi anak yang mulia,
mugi-mugi dadi kanthi.”
mudah-mudahan menjadi tuntunan."
Sikap terhadap lingkungan
Pandangan masyarakat Samin terhadap lingkungan sangat positif, mereka memanfaatkan alam
(misalnya mengambil kayu) secukupnya saja dan tidak pernah mengeksploitasi. Hal ini sesuai
dengan pikiran masyarakat Samin yang cukup sederhana, tidak berlebihan dan apa adanya.
Tanah bagi mereka ibarat ibu sendiri, artinya tanah memberi penghidupan kepada mereka.
Sebagai petani tradisional maka tanah mereka perlakukan sebaik-baiknya.Dalam pengolahan
lahan (tumbuhan apa yang akan ditanam) mereka hanya berdasarkan musim saja yaitu penghujan
dan kemarau. Masyarakat Samin menyadari isi dan kekayaan alam habis atau tidak tergantung
pada pemakainya.
Pemukiman
Pemukiman masyarakat Samin biasanya mengelompok dalam satu deretan rumah-rumah agar
memudahkan untuk berkomunikasi. Rumah tersebut terbuat dari kayu terutama kayu jati dan
juga bambu, jarang ditemui rumah berdinding batu bata. Bangunan rumah relatif luas dengan
bentuk limasan, kampung, atau joglo. Penataan ruang sangat sederhana dan masih tradisional,
terdiri dari ruang tamu yang cukup luas, kamar tidur, dan dapur. Kamar mandi dan sumur terletak
agak jauh dan biasanya digunakan oleh beberapa keluarga. Kandang ternak berada di luar, di
samping rumah.
[tutup]
Ajaran Samin
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Artikel ini sudah memiliki daftar referensi, bacaan terkait atau pranala luar, tapi
sumbernya masih belum jelas karena tak memiliki kutipan pada kalimat. Mohon
tingkatkan kualitas artikel ini dengan memasukkan rujukan yang lebih mendetil bila perlu.
Ajaran Samin (Saminisme) yang disebarkan oleh Samin Surosentiko (1859-1914), adalah
sebuah konsep penolakan terhadap budaya kolonial Belanda dan penolakan terhadap kapitalisme
yang muncul pada masa penjajahan Belanda abad ke-19 di Indonesia. Sebagai gerakan yang
cukup besar Saminisme tumbuh sebagai perjuangan melawan kesewenangan Belanda yang
merampas tanah-tanah dan digunakan untuk perluasan hutan jati.
Daftar isi
1 Asal ajaran Saminisme
2 Tokoh perintis ajaran Samin
3 Daerah penyebaran dan para pengikut ajaran Samin
4 Wong Sikep
5 Konsep ajaran Samin
6 Pokok-pokok ajaran Saminisme
7 Kitab Suci Orang Samin
8 Riwayat hidup Samin
9 Sikap Orang Samin
10 Bahasa Orang Samin
11 Pakaian Orang Samin
12 Sistem kekerabatan
13 Pernikahan bagi orang Samin
14 Sikap terhadap lingkungan
15 Pemukiman
16 Upacara dan tradisi
17 Masyarakat Samin saat ini
18 Referensi
19 Lihat pula
20 Pranala luar
Asal ajaran Saminisme
Ajaran Saminisme muncul sebagai akibat atau reaksi dari pemerintah kolonial Belanda yang
sewenang-wenang.Perlawanan dilakukan tidak secara fisik tetapi berwujud penentangan
terhadap segala peraturan dan kewajiban yang harus dilakukan rakyat terhadap Belanda misalnya
dengan tidak membayar pajak. Terbawa oleh sikapnya yang menentang tersebut mereka
membuat tatanan, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan tersendiri.
Tokoh perintis ajaran Samin
Tulisan ini merupakan salah satu dari teks historis-sosiologis yang mencoba disuguhkan untuk
mengenal suatu masyarakat secara komprehensif dan mendalam. Dalam tulisan ini akan
diuraikan tentang masyarakat Samin meliputi; ide terbentuknya masyarakat Samin, tiga unsur
gerakan Saminisme, masa kepemimpinannya, sumber ajaran Samin, daerah persebaran ajaran
Samin, sebab perlawanan orang Samin, pandangan orang Samin terhadap pemimpinnya, potret
pemuka masyarakat Samin saat ini, bahasa yang digunakan, kepribadian orang Samin, ritus
perkawinan orang Samin, pandangan orang Samin pada sebuah nasib, identitas pakaiannya,
perkembangan kepercayaannya, dan strategi politik orang Samin.
Tulisan ini diharapkan menjadi suguhan kepada pembaca secara berbeda, karena sampai saat ini
masih kentalnya pengetahuan masyarakat akan orang Samin tidak beda dengan masyarakat yang
terbelakang, terisolir, dan anti kemajuan. Karena penulis khawatir dari kesekian kalinya
kekerasan pada pemeluk aliran kepercayaan sering dipertontonkan, dan sangat mungkin terjadi
pada pada entitas masyarakat Samin.
Tulisan ini merujuk dari berbagai sumber, termasuk buah tangan Sastroatmodjo (2003), film
dokumenter mas Arto di Studio 12 Ungaran, dan hasil diskusi hasil KKL (Kuliah Kerja
Lapangan) pada saat duduk di bangku kuliah di Program Studi Pendidikan Sosiologi &
Antropologi Unnes.
Otak intelektual gerakan Saminisme adalah Raden Surowijoyo. Pengetahuan intelektual Kyai
Samin ini didapat dari ayah, yaitu anak dari pangeran Kusumaniayu (Bupati Sumoroto, yaitu
kawasan distrik pada kabupaten Tulungagung Jawatimur). Lelaki kelahiran tahun 1859 di Ploso
ini sejak dini dijejali dengan pandangan-pandangan viguratif pewayangan yang mengagungkan
tapabrata, gemar prihatin, suka mengalah (demi kemenangan akhir), dan mencintai keadilan.
Beranjak dewasa, dia terpukul melihat realitas yang terjadi, yaitu banyaknya nasib rakyat yang
sengsara, dimana Belanda pada saat itu sangat rajin melakukan privatisasi hutan jati dan
mewajibkan rakyat untuk membayar pajak. Pada saat itulah, Raden Surowijoyo melakukan
perampokan pada keluarga kaya dan hasilnya dibagi-bagi kepada fakir miskin. Dia juga
menghimpun para berandalan di Rajegwesi dan Kanner yang di kemudian hari menyusahkan
pihak Gupermen. Pada saat itulah, Kyai keturunan bangsawan ini dikenal oleh masyarakat kecil
dengan sebutan Kyai Samin yang berasal dari kata “sami-sami amin” yang artinya rakyat samasama setuju ketika Raden Surawijoyo melakukan langkah memberandalkan diri untuk
membiayai pembangunan unit masyarakat miskin. Kyai Samin Surosantiko tidak hanya
melakukan gerakan agresif revolusioner, dia juga melakukan ekspansi gagasan dan pengetahuan
sebagai bentuk pendekatan transintelektual kaum tertindas (petani rakyat jelata) dengan cara
ceramah di pendopo-pendopo pemerintahan desa. Isi ceramah ini yaitu keinginan membangun
kerajaan Amartapura. Adapun pesan substantif yang didengung-dengungkan yaitu meliputi;
jatmiko (bijaksana) dalam kehendak, ibadah, mawas diri, mengatasi bencana alam, dan jatmiko
selalu berpegangan akan budi pekerti.
Namun, akhir pergerakan dari Kyai Samin Surosantiko dicekal oleh Belanda dan ia dibuang ke
Tanah Lunto pada tahun 1914, yang belum sempat mengaktualisasikan seluruh ide-idenya.
Bukan hanya otak pergerakannya, bahkan kitab orang Samin yang ditulisnya juga disita yang
berjudul Serat Jamus Kalimasada, demikian pula dengan kitab-kitab pandom kehidupan orangorang Samin. Kyai Samin Surosantiko merupakan generasi Samin Anom yang melanjutkan
gerakan dari sang Ayah yang disebut sebagai Samin Sepuh. Sehingga masa kepemimpinannya,
ajaran Saminisme terbagai dalam dua sekte, yaitu sekte Samin Sepuh dan sekte Samin Anom.
Siklus kepemimpinan ini secara mati-matian berusaha menciptakan masyarakat yang bersahaja
lahir dan batin. Kyai Samin memiliki sikap puritan, dia bukanlah petani biasa, namun dia adalah
cucu dari seorang pangeran. Kyai Samin adalah orang yang gigih dalam menggoreskan kalam
untuk membagun insan kamil dengan latar belakang ekonomi yang mapan.
Masyarakat Samin memiliki tiga unsur gerakan Saminisme; pertama, gerakan yang mirip
organisasi proletariat kuno yang menentang sistem feodalisme dan kolonial dengan kekuatan
agraris terselubung; kedua, gerakan yang bersifat utopis tanpa perlawanan fisik yang mencolok;
dan ketiga, gerakan yang berdiam diri dengan cara tidak membayar pajak, tidak menyumbangkan
tenaga untuk negeri, menjegal peraturan agraria dan pengejawantahan diri sendiri sebagai dewa
suci. Menurut Kartodirjo, gerakan Samin adalah sebuah epos perjuangan rakyat yang berbentuk
“kraman brandalan” sebagai suatu babak sejarah nasional, yaitu sebagai gerakan ratu adil yang
menentang kekuasaan kulit putih.
Ajaran Samin bersumber dari agama Hindhu-Dharma. Beberapa sempalan ajaran Kyai Samin
yang ditulis dalam bahasa Jawa baru yaitu dalam bentuk puisi tradisional (tembang macapat) dan
prosa (gancaran). Secara historis ajaran Samin ini berlatar dari lembah Bengawan Solo (Boyolali
dan Surakarta). Ajaran Samin berhubungan dengan ajaran agama Syiwa-Budha sebagai
sinkretisme antara Hindhu Budha. Namun pada perjalanannya ajaran di atas dipengaruhi oleh
ajaran ke-Islaman yang berasal dari ajaran Syeh Siti Jenar yang dibawa oleh muridnya yaitu Ki
Ageng Pengging. Sehingga patut dicatat, orang Samin merupakan bagian masyarakat yang
berbudaya dan religius.
Daerah persebaran ajaran Samin menurut Sastroatmodjo (2003) di antaranya di Tapelan
(bojonegara), Nginggil dan Klopoduwur (Blora), Kutuk (Kudus), Gunngsegara (Brebes),
Kandangan (Pati), dan Tlaga Anyar (Lamongan). Ajaran di beberapa daerah ini merupakan
sebuah gerakan meditasi dan mengerahkan kekuatan batiniah guna menguasai hawa nafsu.
Sebab perlawanan orang Samin sebenarnya merefleksikan kejengkelan penguasa pribumi
setempat dalam menjalankan pemerintahan di Randublatung. Tindakan perlawanan ini dalam
bentuk gerakan mogok membayar pajak, mengambil pohon kayu di hutan semaunya, bepergian
tanpa membayar karcis kereta, dan sebagainya. Perbuatan di atas membuat Belanda geram dan
menyinggung banyak pihak yang menimbulkan kontradiksi yang tak kunjung padam dan
membara.
Pandangan orang Samin terhadap pemimpinnya sampai saat ini masih mengakui bahwa Kyai
Samin tidak pernah mati, Kyai Samin hanya mokhsa dan menjadi penghuni kaswargan. Tokoh
ini dimitoskan secara fanantik, bahkan pada momentum perayaan upacara rasulan dan mauludan
sebagai ajang untuk mengenang kepahlawanan Kyai Samin. Setiap pemuka masyarakat Samin
selalu berbegangan sejenis primbon (kepek) yang mengatur kehidupan luas, kebijaksanaan,
petunjuk dasar ketuhanan, tata pergaulan muda-mudi, remaja, dewasa, dan antarwarga Samin.
Bahasa yang digunakan oleh orang Samin yaitu bahasa Kawi yang ditambah dengan dialek
setempat, yaitu bahasa Kawi desa kasar. Orang Samin memiliki kepribadian yang polos dan
jujur, hal ini dapat dilihat setiap ada tamu yang datang, orang Samin selalu menyuguhkan
makanan yang dimiliki dan tidak pernah menyimpan makanan yang dimilikinya. Pengetahuan
orang Samin terhadap rites perkawinan adalah unik, mereka menganggap bahwa dengan melalui
rites perkawinan, mereka dapat belajar ilmu kasunyatan (kajian realistis) yang selalu
menekankan pada dalih kemanusiaan, rasa sosial, kekeluargaan dan tanggung jawab sosial.
Orang Samin percaya, dalam menuju kemajuan harus dilalui dengan marangkak lambat. Hal ini
dapat dilihat dengan perilaku menolak mesin seperti traktor, huller, dan lain-lain. Pakaian yang
digunakan orang Samin adalah kain dengan dominasi warna hitam dengan bahan yang terbuat
dari kain kasar.
Suku Samin juga mengalami perkembangan dalam hal kepercayaan dan tata cara hidup.
Kawasan daerah Pati dan Brebes, terdapat sempalan Samin yang disebut Samin Jaba dan Samin
Anyar yang telah meninggalkan tatacara hidup Samin dahulu. Selain itu, di Klapa Duwur
(Blora), Purwosari (Cepu), dan Mentora (Tuban) dikenal wong sikep, mereka ini dulunya
fanatik, tapi kini meninggalkan arahan dasar dan memilih agama formal, yakni Budha-Dharma.
Beberapa pikiran orang Samin di antaranya; menguasai adanya kekuasaan tertinggi (sang Hyang
Adi Budha), ramah dan belas kasih terhadap sesama mahluk, tidak terikat kepada barang-barang
dunia-kegembiraan-dan kesejahteraan, serta memelihara keseimbangan batin di kalangan antar
warga. Orang Samin dengan jelas mencita-citakan membangun negara asli pribumi, yang bebas
dari campur tangan orang kulit putih, tiada dominasi barat satupun. Ajaran politik yang
dikenakan pada suku Samin yaitu cinta dan setia kepada amanat leluhur, kearifan tua, cinta dan
hormat akan pemerintahan yang dianggap sebagai orang tua dan sesepuh rohani, hormat dan
setia pada dunia intelektual.
Dengan suguhan tulisan ini, diharapkan wawasan dan pengetahuan saya dan pembaca semuanya
lebih terbuka serta kemudian mampu bersikap bijak dan arif dalam memandang sebuah reailtas
yang ada.
Daerah penyebaran dan para pengikut ajaran Samin
Tersebar pertama kali di daerah Klopoduwur, Blora, Jawa Tengah. Pada 1890 pergerakan Samin
berkembang di dua desa hutan kawasan Randublatung, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur.
Gerakan ini lantas dengan cepat menjalar ke desa-desa lainnya. Mulai dari pantai utara Jawa
sampai ke seputar hutan di Pegunungan Kendeng Utara dan Kendeng Selatan. Atau di sekitar
perbatasan provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur menurut peta sekarang.
Dua tempat penting dalam pergerakan Samin adalah Desa Klopodhuwur di Blora dan Desa
Tapelan di Kecamatan Ngraho, Bojonegoro, yang memiliki jumlah terbanyak pengikut Samin.
Mengutip karya Harry J. Benda dan Lance Castles (1960), orang Samin di Tapelan memeluk
saminisme sejak tahun 1890. Dalam Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië (1919) diterangkan,
orang Samin seluruhnya berjumlah 2.300 orang (menurut Darmo Subekti dalam makalah Tradisi
Lisan Pergerakan Samin, Legitimasi Arus Bawah Menentang Penjajah, (1999), jumlahnya 2.305
keluarga sampai tahun 1917, tersebar di Blora, Bojonegoro, Pati, Rembang, Kudus, Madiun,
Sragen, dan Grobogan) dan yang terbanyak di Tapelan.
Wong Sikep
Wong Sikep dari bahasa Jawa, berarti 'Orang Sikep'.Ungkapan ini merupakan sebutan untuk
masyarakat penganut ajaran Samin sebagai alternatif Wong Samin.Masyarakat pengikut Samin
lebih menyukai disebut sebagai 'Wong Sikep' karena Wong Sikep berarti orang yang baik dan
jujur, sebagai alih-alih/pengganti atas sebutan 'Wong Samin' yang mempunyai citra jelek dimata
masyarakat Jawa pada abad 18 sebagai kelompok orang yang tidak jujur.
Wong Sikep adalah kelompok masyarakat penganut ajaran Samin yang disebarkan oleh Samin
Surontiko (Raden Kohar)(1859-1914).
Konsep ajaran Samin
Pengikut ajaran Samin mempunyai lima ajaran:
tidak bersekolah,
tidak memakai peci, tapi memakai "iket", yaitu semacam kain yang diikatkan di kepala
mirip orang Jawa dahulu,
tidak berpoligami,
tidak memakai celana panjang, dan hanya pakai celana selutut,
tidak berdagang.
penolakan terhadap kapitalisme.
Konsep Ajaran Masyarakat Samin masuk dalam kategori Budaya Masyarakat Samin :
Keseimbangan , Harmonisi , Kesetaraan Keadilan. Adalah prinsip dan falsafah hidup Masy
Samin tetap diyakini sampai saat ini Tahun 2006 . Dengan Tradisi Lisan menjaga Budaya dan
Tradisi Lisan kepada generasi dan keturunan tingkat ke 4 adalah suatu hal yang perlu
mendaatkan penelitian, yang berlanjut kepada pengakuan akan keberadaan Masayarakat Samin
yang mempunyai kekhasan dalam bersikap dan bertindak. Masyarakat statis menjaga tradisi
untuk kelanggengan keyakinan.
Pokok-pokok ajaran Saminisme
Pokok ajaran Samin adalah sebagai berikut:
Agama adalah senjata atau pegangan hidup. Paham Samin tidak membeda-bedakan
agama, oleh karena itu orang Samin tidak pernah mengingkari atau membenci agama.
Yang penting adalah tabiat dalam hidupnya.
Jangan mengganggu orang, jangan bertengkar, jangan suka iri hati, dan jangan suka
mengambil milik orang.
Bersikap sabar dan jangan sombong.
Manusia hidup harus memahami kehidupannya sebab hidup adalah sama dengan roh dan
hanya satu, dibawa abadi selamanya. Menurut orang Samin, roh orang yang meninggal
tidaklah meninggal, namun hanya menanggalkan pakaiannya.
Bila berbicara harus bisa menjaga mulut, jujur, dan saling menghormati. Berdagang bagi
orang Samin dilarang karena dalam perdagangan terdapat unsur “ketidakjujuran”. Juga
tidak boleh menerima sumbangan dalam bentuk uang.
Kitab Suci Orang Samin
Sebagaimana paham lain yang dianggap oleh pendukungnya sebagai agama, orang Samin juga
memiliki "kitab suci". "Kitab suci"' itu adalah Serat Jamus Kalimasada yang terdiri atas beberapa
buku, antara lain Serat Punjer Kawitan, Serat Pikukuh Kasajaten, Serat Uri-uri Pambudi, Serat
Jati Sawit, Serat Lampahing Urip, dan merupakan nama-nama kitab yang amat populer dan
dimuliakan oleh orang Samin.
Ajaran dalam buku Serat Pikukuh Kasajaten (pengukuhan kehidupan sejati) ditulis dalam bentuk
puisi tembang, yaitu suatu genre puisi tradisional kesusasteraan Jawa.
Dengan mempedomani kitab itulah, orang Samin hendak membangun sebuah negara batin yang
jauh dari sikap drengki srei, tukar padu, dahpen kemeren. Sebaliknya, mereka hendak
mewujudkan perintah "Lakonana sabar trokal. Sabare dieling-eling. Trokali dilakoni."
Riwayat hidup Samin
Samin Surosentiko lahir pada 1859 dengan nama Raden Kohar di Desa Ploso Kedhiren,
Randublatung, Kabupaten Blora. Ayahnya bernama Raden Surowijaya atau Samin Sepuh. Ia
mengubah namanya menjadi Samin Surosentiko sebab Samin adalah sebuah nama yang bernapas
wong cilik. Samin Surosentiko masih mempunyai pertalian darah dengan Kyai Keti di
Rajegwesi, Bojonegoro, dan Pangeran Kusumoningayu yang berkuasa di Kabupaten Sumoroto
(kini menjadi daerah kecil di Kabupaten Tulungagung) pada 1802-1826.
Pada 1890 Samin Surosentiko mulai mengembangkan ajarannya di daerah Klopoduwur, Blora.
Banyak yang tertarik dan dalam waktu singkat sudah banyak orang menjadi pengikutnya. Saat
itu pemerintah kolonial Belanda menganggap sepi ajaran tersebut, hanya dianggap sebagai ajaran
kebatinan atau agama baru yang remeh temeh belaka.
Pada 1903 residen Rembang melaporkan terdapat 722 orang pengikut Samin yang tersebar di 34
desa di Blora bagian selatan dan Bojonegoro. Mereka giat mengembangkan ajaran Samin. Pada
1907, pengikut Samin sudah berjumlah sekitar 5000 orang. Pemerintah mulai merasa was-was
sehingga banyak pengikut Samin yang ditangkap dan dipenjarakan.
Pada 8 November 1907, Samin Surosentiko diangkat oleh pengikutnya sebagai Ratu Adil dengan
gelar Prabu Panembahan Suryangalam. Kemudian 40 hari sesudah menjadi Ratu Adil itu, Samin
Surosentiko ditangkap oleh asisten Wedana Randublatung, Raden Pranolo. Beserta 8
pengikutnya, Samin lalu dibuang ke luar Jawa (ke kota Padang, Sumatera Barat), dan meninggal
di Padang pada 1914.
Tahun 1908, Penangkapan Samin Surosentiko tidak memadamkan gerakan Samin. Pada 1908,
Wongsorejo, salah satu pengikut Samin, menyebarkan ajarannya di Madiun, mengajak orangorang desa untuk tidak membayar pajak kepada pemerintah. Wongsorejo dengan sejumlah
pengikutnya ditangkap dan dibuang keluar Jawa.
Pada 1911 Surohidin, menantu Samin Surosentiko, dan Engkrak salah satu pengikutnya
menyebarkan ajaran Samin di Grobogan. Karsiyah menyebarkan ajaran Samin di kawasan
Kajen, Pati. Perkembangannya kemudian tidak jelas.
Tahun 1912, pengikut Samin mencoba menyebarkan ajarannya di daerah Jatirogo, Kabupaten
Tuban, namun gagal.
Puncak penyebaran gerakan Samin terjadi pada 1914. Pemerintah Belanda menaikkan pajak.
Disambut oleh para pengikut Samin dengan pembangkangan dan penolakan dengan cara-cara
unik. Misalnya, dengan cara menunjukkan uang kepada petugas pajak, "Iki duwite sopo?"
(bahasa Jawa: Ini uangnya siapa?), dan ketika sang petugas menjawab, "Yo duwitmu" (bahasa
Jawa: Ya uang kamu), maka pengikut Samin akan segera memasukkan uang itu ke sakunya
sendiri. Singkat kata, orang-orang Samin misalnya di daerah Purwodadi dan di Balerejo, Madiun,
sudah tidak lagi menghormati pamong Desa, polisi, dan aparat pemerintah lainnya.
Dalam masa itu, di Kajen Pati, Karsiyah tampil sebagai Pangeran Sendang Janur, mengimbau
kepada masyarakat untuk tidak membayar pajak. Di Desa Larangan, Pati orang-orang Samin
juga mengejek dan memandang para aparat desa dan polisi sebagai badut-badut belaka.
Di Desa Tapelan, Bojonegoro, juga terjadi perlawanan terhadap pemerintah, dengan tidak mau
membayar pajak. Karena itu, teror dan penangkapan makin gencar dilakukan pemerintah
Belanda terhadap para pengikut Samin.
Pada tahun 1914 akhirnya Samin meninggal dalam pengasingannya di Sumatera Barat. Namun
teror terus dilanjutkan oleh pemerintah Belanda terhadap pengikut Samin. Akibat teror ini,
sekitar tahun 1930-an, perlawanan gerakan Samin terhadap pemerintah kolonial menguap dan
terhenti.
Sikap Orang Samin
Walaupun masa penjajahan Belanda dan Jepang telah berakhir, orang Samin tetap menilai
pemerintah Indonesia saat itu tidak jujur. Oleh karenanya, ketika menikah mereka tidak
mencatatkan dirinya baik di Kantor Urusan Agama/(KUA) atau di catatan sipil.
Secara umum, perilaku orang Samin/ 'Sikep' sangat jujur dan polos tetapi kritis.
Bahasa Orang Samin
Mereka tidak mengenal tingkatan bahasa Jawa, jadi bahasa yang dipakai adalah bahasa Jawa
ngoko. Bagi mereka menghormati orang lain tidak dari bahasa yang digunakan tapi sikap dan
perbuatan yang ditunjukkan.
Pakaian Orang Samin
Pakaian orang Samin biasanya berupa baju lengan panjang tanpa kerah, berwarna hitam. Lakilaki memakai ikat kepala. Untuk pakaian wanita bentuknya kebaya lengan panjang, berkain
sebatas di bawah tempurung lutut atau di atas mata kaki.
Sistem kekerabatan
Dalam hal kekerabatan masyarakat Samin memiliki persamaan dengan kekerabatan Jawa pada
umumnya. Sebutan-sebutan dan cara penyebutannya sama. Hanya saja mereka tidak terlalu
mengenal hubungan darah atau generasi lebih ke atas setelah Kakek atau Nenek.
Hubungan ketetanggaan baik sesama Samin maupun masyarakat di luar Samin terjalin dengan
baik. Dalam menjaga dan melestarikan hubungan kekerabatan masyarakat Samin memiliki
tradisi untuk saling berkunjung terutama pada saat satu keluarga mempunyai hajat sekalipun
tempat tinggalnya jauh.
Pernikahan bagi orang Samin
Menurut Samin, perkawinan itu sangat penting. Dalam ajarannya perkawinan itu merupakan alat
untuk meraih keluhuran budi yang seterusnya untuk menciptakan “Atmaja (U)Tama” (anak yang
mulia).
Dalam ajaran Samin , dalam perkawinan seorang pengantin laki-laki diharuskan mengucapkan
syahadat, yang berbunyi kurang lebih demikian : “ Sejak Nabi Adam pekerjaan saya memang
kawin. (Kali ini) mengawini seorang perempuan bernama…… Saya berjanji setia kepadanya.
Hidup bersama telah kami jalani berdua.”
Demikian beberapa ajaran kepercayaan yang diajarkan Samin Surosentiko pada pengikutnya
yang sampai sekarang masih dipatuhi warga samin.
Menurut orang Samin perkawinan sudah dianggap sah walaupun yang menikahkan hanya orang
tua pengantin.
Ajaran perihal Perkawinan dalam tembang Pangkur orang Samin adalah sebagai berikut (dalam
Bahasa Jawa):
Basa Jawa
“Saha malih dadya garan,
anggegulang gelunganing pembudi,
palakrama nguwoh mangun,
memangun traping widya,
Terjemahan
"Maka yang dijadikan pedoman,
untuk melatih budi yang ditata,
pernikahan yang berhasilkan bentuk,
membangun penerapan ilmu,
terserempet, tersandung sampai kebajikan yang
kasampar kasandhung dugi prayogântuk,
dicapai,
ambudya atmaja 'tama,
bercita-cita menjadi anak yang mulia,
mugi-mugi dadi kanthi.”
mudah-mudahan menjadi tuntunan."
Sikap terhadap lingkungan
Pandangan masyarakat Samin terhadap lingkungan sangat positif, mereka memanfaatkan alam
(misalnya mengambil kayu) secukupnya saja dan tidak pernah mengeksploitasi. Hal ini sesuai
dengan pikiran masyarakat Samin yang cukup sederhana, tidak berlebihan dan apa adanya.
Tanah bagi mereka ibarat ibu sendiri, artinya tanah memberi penghidupan kepada mereka.
Sebagai petani tradisional maka tanah mereka perlakukan sebaik-baiknya.Dalam pengolahan
lahan (tumbuhan apa yang akan ditanam) mereka hanya berdasarkan musim saja yaitu penghujan
dan kemarau. Masyarakat Samin menyadari isi dan kekayaan alam habis atau tidak tergantung
pada pemakainya.
Pemukiman
Pemukiman masyarakat Samin biasanya mengelompok dalam satu deretan rumah-rumah agar
memudahkan untuk berkomunikasi. Rumah tersebut terbuat dari kayu terutama kayu jati dan
juga bambu, jarang ditemui rumah berdinding batu bata. Bangunan rumah relatif luas dengan
bentuk limasan, kampung, atau joglo. Penataan ruang sangat sederhana dan masih tradisional,
terdiri dari ruang tamu yang cukup luas, kamar tidur, dan dapur. Kamar mandi dan sumur terletak
agak jauh dan biasanya digunakan oleh beberapa keluarga. Kandang ternak berada di luar, di
samping rumah.