KONSEP PENGELOLAAN RAJUNGAN BERBASIS SUA

MATA KULIAH
SUKSESI DAN ADAPTASI IKAN (MSP 733)
KONSEP PENGELOLAAN RAJUNGAN
BERBASIS SUAKA RAJUNGAN DAN TINJAUAN ADAPTASI PADA PERUBAHAN
IKLIM DI SULAWESI TENGGARA

DOSEN PENGAMPU
DR. IR. ISDRADJAD SETYOBUDIANDI, M.SC

OLEH
ABDUL HAMID
C 261110021

PROGRAM STUDI PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERAIRAN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012

1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Rajungan (Portunus pelagicus) merupakan salah satu komoditas perikanan bernilai

ekonomi dan permintaannya tinggi di dalam dan di luar negeri, dimana rajungan sebagai
komoditas ekspor utama perikanan Indonesia setelah udang dan ikan. Pada tahun 2011
volume dan nilai ekspor rajungan dan kepiting Indonesia masing-masing mencapai 156.993
ton dan US$ 208,424 juta

(Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2012). Pengelolaan

rajungan di Indonesia baru sampai pada menetapkan batas ukuran minium yang boleh
ditangkap dan diperdagangkan, yaitu 8 cm dan baru berencana menyusun draf rencana
pengelolaan rajungan untuk wilayah pengeloaan perikanan (WPP-NRI) 712, meliputi
Provinsi Banten, Jawa Barat, Jakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur (http://www.
sustainablefish.org/fisheries-improvement/crabs/indonesian-blue-swimming-crab.). Namun,
sejauhmana efektivitas penerapan pembatasan ukuran minimum penangkapan rajungan
tersebut di lapangan masih perlu dikaji.
Penangkapan rajungan di Provinsi Sulawesi Tenggara dilakukan oleh nelayan kecil
dengan menggunakan alat tangkap bubu rajungan dan jaring insang

dengan daerah

penangkapan pada perairan pantai yang dangkal. Produksi rajungan dan kepiting Provinsi

Sulawesi Tenggara pada tahun 2009 sekitar sekitar 1.500

ton (Dinas Kelautan dan

Perikanan Provinsi Sulawesi Tenggara, 2010). Hasil tangkapan rajungan di beberapa daerah
di Sulawesi Tenggara saat ini semakin menurun dibandingkan dengan beberapa tahun
sebelumnya. Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya menurunnya hasil tangkapan
rajungan tersebut antara lain tekanan penangkapan yang tinggi, degradasi habitat, dan
pencemaran perairan serta tidak adanya upaya pengelolaan rajungan. Disamping itu, kondisi
sosial ekonomi nelayan diduga berkontribusi pada penurunan hasil tangkapan rajungan di
perairan Sulawesi Tenggara. Akibat desakan untuk memenuhi kebutuhan hidup, sehingga
mendorong nelayan untuk menangkap rajungan yang berukuran kecil dengan tanpa
menyadari bahwa hal tersebut akan berdampak buruk pada kelestarian rajungan.
Salah satu

upaya untuk menekan laju penurunan populasi dan hasil tangkapan

rajungan tersebut maka perlu dilakukan pengelolaan. Model pengelolaan rajungan yang akan

dikembangkan di perairan Sulawesi Tenggara adalah pengelolaan berbasis suaka rajungan

skala kecil, dan akan diimplemnetasikan pada desa-desa pesisir dan pulau kecil penghasilan
rajungan di daerah ini. Konsep pengelolaan berbasis suaka ini merupakan model
pengelolaan yang diadopsi dari model pengelolaan terumbu karang skala kecil atau daerah
perlindungan laut (DPL) yang telah diterapkan pada beberapa perairan di Indonesia,
termasuk diperairan SulawesiTenggara.
Pendekatan pengelolaan rajungan berbasis suaka disamping melindungi rajungan
sebagai target sumberdaya yang dilindungi juga melindugi dan menjaga keutuhan ekosistem
perairan sebagai habitat rajungan yang terkait dengan siklus hidup rajungan. Disamping itu
juga memperhatikan kondisi sosial ekonomi nelayan atau masyarakat sehinga diharapkan
dapat berperan serta dalam pengelolaan. Pengelolaan berbasis suaka rajungan merupakan
suatu pendekatan pengelolaan yang mengintegrasikan tujuan konservasi yaitu melindungi
kelestarian rajungan dan ekosistem serta untuk mempertahankan dan meningkatkan produksi
rajungan

untuk kesejahateraan nelayan dan masyarakat pesisir di Provinsi Sulawesi

Tenggara.
Perubahan iklim yang sedang terjadi saat ini merupakan isu global akan menimbulkan
yang luas organisme air termasuk rajungan, keutuhan ekosistem perairan serta aspek soaisil
ekonomi masyarakat. Dalam pengelolaan rajungan di perairan Sulawesi Tenggara perlu

diperhitungkan dampak potensial yang kemungkinan akan terjadi sehingga dapat
memperkecil resiko yang ditimbulkan dan memperbesar peluang keberhasilan dalam
pengelolaan rajungan di perairan Sulawesi Tenggara. Keberadaan Kawasan konservasi laut
(KKL) di salah satu perairan merupakan suata upaya pengelolaan yang berperan penting
untuk menghadapi ancaman perubahan iklim terkait dengan mempertahankan produktivitas
ekosistem perairan laut pada umumnya (UNEP, 2009).
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka konsep pemikiran pengelolaan rajungan yang
akan dikaji dalam makalah ini difokuskan pada permasalahan yang dihadapi dalam
pengelolaan rajungan saat ini, dan mengembangkan konsep pemikiran pengelolaan rajungan
berbasis suaka rajungan dan adaptif pada perubahan iklim di perairan Sulawesi Tenggara.

1.2 Tujuan
Substansi makalah ini bertujuan untuk mengkaji konsep pemikiran pengelolaan
rajungan berbasis suaka rajungan dan kaitannya dengan adaptasi pada perubahan iklim di
perairan Sulawesi Tenggara.
2 PERMASALAHAN PENGELOLAAN RAJUNGAN DI SULWESI TENGGARA
Dalam makalah ini hanya tiga permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini
yang berhubungan dengan pengelolaan rajungan di Provinsi

Sulawesi Tenggara, yaitu


sebagai berikut :
2.1 Ketersediaan Data Terbatas
Pengelolaan sumberdaya yang baik perlu ditunjang dengan data dan informasi yang
akurat. Disadari bahwa data dan informasi yang berkaitan dengan rajungan di perairan
Sulawesi Tenggara masih sangat terbatas, sehingga hal ini menjadi persamalahan dalam
upaya pengelolan rajungan di Sulawesi Tenggara. Ketersediaan data dan informasi rajungan
perlu mendapat perhatian untuk mengoptimalkan pengelolaan rajungan di perairan Sulawesi
Tenggara berbasis suaka rajungan dan perubahan iklim.
Data dan informasi yang berkaitan data rajungan di Provinsi Sulawesi Tenggara juga
sangat terbatas. Dalam statisik perikanan data volume dan nilai rajungan masih disatukan
dengan kepiting bakau sehingga hal menyulitkan untuk mendapatkan data rajungan secara
aktual demikian juga data aspek biologi dan dinamika populasi rajungan di perairan ini
masih terbatas. Kondisi ini akan menjadi hambatan dalam mengembangkan pengelolaan
rajungan di perairan Sulawesi Tenggara.
Alternatif yang perlu dilakukan untuk meningaktkan kersediaan data dan informasi
rajungan diperairan Sulawesi Teggara antara lain perlu memperbaiki sistem pendataan
statistik perikanan yang memisahkan antara volume dan nilai produksi rajungan dan kepiting
bakau, serta perlu dilakukan penelitian untuk mendapatkan data aspek biologi, dinamika
populasi, keragaman genetik rajungan, dan kondisi ekosistem perairan sebagai habitat di

perairan Sulawesi Tenggara. Data dan informasi ini sangat dibutuhkan untuk mendukung

dan menetapkan langkah-langkah strategis dan menerapkan implementasi pengelolaan
rajungan berbasis konservasi dan adaptif pada perubahan iklim di Sulawesi Tenggara.
2.2 Pencemaran dan Degradasi Habitat Rajungan
Rajungan banyak ditemukan di perairan pesisir atau perairan dangkal yang ditumbuhi
padang lamun mulai tahap larva (Rangpratanangsungk, 2010) sampai yang telah matang
gonad (Hamid, 2011), dan juga dapat ditemukan di pulau berkarang dengan substrat pasir,
pasir berlumpur. Rajungan yang hidup di perairan estuaria akan bermigrasi ke perairan yang
bersalinitas lebih tinggi untuk menetaskan telurnya, dan setelah mencapai rajungan muda
akan kembali ke estuaria (de Lestang et al.,2003; Dixon, 2011).
Beberapa perairan pesisir Sulawesi Tenggara saat ini mengalami pencemaran yang
berasal dari akitivitas pertambangan nikel dan selain itu, adanya sedimentasi yang tinggi
menyebabkan terjadinya kerusakan ekosistem pesisir di daerah ini.

Padang lamun

merupakan ekosistem yang mengalami kerusakan akibat pencemaran tersebut. Kerusakan
dan degradasi padang lamun di perairan Sulawesi Tenggara juga dapat diakibatkan oleh
penggunaan bom dalam menangkap ikan, dan kegiatan reklamasi pantai pada beberapa kota

di daerah ini. Padang lamun sedapat ditemukan hampir di seluruh perairan dangkal dan pulaupulau kecil di perairan Sulawesi Tenggara. Ada beberapa perairan pesisir Sulawesi Tenggara
yang awalnya sebagai habitat lamun saat ini telah mengalami kerusakan berat akibat pencemaran
dan ada juga berubah menjadi daratan.

Ekosistem pesisir yang ikut mengalami kerusakan dan degradasi akibat beberapa
aktivitas yang merusak lingkungan tersebut adalah terumbu karang dan juga beberapa
perairan estuaria di Sulawesi Tenggara mengalami pendangkalan. Terumbu karang memiliki
nilai sangat penting bagi ekosistem dan lingkungan pesisir, karena di dalamnya hidup
berbagai hewan laut di antaranya adalah rajungan, dan juga berfungsi sebagai pelindung
pantai.
Dampak negatif yang timbul sebagai konsekuensi dari akivitas pertambangan, reklamasi,
sedimentasi, dan penggunaan bom yang terjadi di perairan Sulawesi Tenggara saat ini antara
lain adalah menurunnya fungsi perlindungan alami terhadap erosi pantai, menurunnya kualitas
perairan pesisir, rusaknya habitat rajungan dan biota laut lainnya, menurunnya hasil tangkapan

rajungan dan ikan secara signifikan. Kawasan suaka rajungan dilindungi berfungsi sebagai

buffer untuk meminimalkan dampak manusia yang berpotensi membahayakan, seperti polusi
dan efek dari penangkapan ikan berlebihan.
Alternatif pemecahan masalah tersebut antara mengendalikan aktivitas pertambangan dan

reklamasi pantai yang berpotensi menimbulkan pencemeran perairan pesisir dan merusak habitat
rajungan dan biota laut lainnya, menekan sumber-sumber sedimetnasi, dan melakukan
rehabilitasi padang lamun dan terumbu karang, serta meningkatkan kegiatan pembinaan dan
pengawasan. Untuk dapat mengimplementasikan beberapa alternatif untuk menjaga keutuhan
habitat rajungan tersebut, maka diperlukan kemauan politik dari pemerintah provinsi dan
kabupaten/kota di Sulawesi Tenggara dan dukungan dari lembaga legislatif di daerah ini.

2.3 Sosial Ekononi Masyarakat Pesisir dan Nelayan
Tingkat pendidikan nelayan dan masyarakat di Provinsi Sulawesi Tenggara yang
mendiami pesisir dan pulau-pulau kecil masih rendah, umumnya didominasi oleh hanya
tamatan sekolah dasar bahkan tidak tamat sekolah dasar. Kondisi tingkat pendidikan yang
demikian akan mempengaruhi tindakan mereka dalam memanfaatkan dan mengelola
sumberdaya laut, salah satu diantaranya adalah rajungan.
Kemiskinan yang dialami oleh nelayan dan masyarakat pesisir pada umumnya
merupakan salah satu masalah yang berkaitan dengan pengelolaan rajungan di Sulawesi
Tenggara. Tingkat pendapat masyarakat pesisir di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di
Provinsi SulawesinTenggara berkisar < 1 juta sampai >1,5 juta perbulan, dan umumnya
berkisar 0,5-1,0 juta bulan-1 (Bappeda Provinsi Sulawesi Tenggara, 2002).

Akibat


kemiskinan yang dialami oleh nelayan maka tidak jarang dijumpai mereka menggunakan
alat tangkap bom atau potas dalam menangkap ikan. Sedangkan untuk kasus penangkapan
rajungan masih banyak dijumpai menangkap rajungan dengan ukuran sekitar 4-5 cm demi
untuk memenuhi kebutuhan mereka sehar-hari. Masalah lain yang terkait dengan kebiasaan
nelayan yang bersifat boros dan konsumerisme sehingga dengan sifat ini akan mendorong
mereka untuk menangkap rajungan sebanyak-banyaknya tanpa memperhatikan kelestarian
sumberdaya rajungan demi memenuhi kebutuhan mereka.
Bagi nelayan, alat tangkap yang digunakan umumnya masih bersifat tradisional. Daerah
penangkapan masih terkosentrasi pada daerah pantai dan sebagian menggunakan bahan peledak

dan bahan beracun. Masalah perikanan tangkap yang berkembang selama ini untuk segera
dicarikan solusinya adalah: rendahnya kegiatan pembinaan dan pengawasan; tidak terkontrolnya
peningkatan jumlah dan jenis alat tangkap; adanya penggunaan alat tangkap ikan yang tidak
ramah lingkungan; belum memadainya sarana penampungan dan pengolahan hasil tangkap;
rendahnya kemampuan pengelolaan ekonomi rumah tangga nelayan; dan program pembangunan
sarana dan prasarana perikanan kurang sesuai dengan kebutuhan masyarakat nelayan; serta
belum tersedianya teknologi informasi dalam kegiatan penangkapan ikan.
Alternatif pemecahan masalah tersebut antara lain dilakukan pemberdayaan dan
peningkatan kapasitas bagi nelayan dan masyarakat pesisir di Sulawesi Tenggara melalui

program peningkatan pengelolaan ekonomi keluarga nelayan dan pendidikan formal bagi
nelayan dan masyarakat pesisir. Adanya program tersebut diharapkan dapat meningkatkan
pemahaman nelayan dan masyarakat pesisir pentingnya menjaga kelestarian rajungan dan
ekosistemnya demi menjaga keberlanjutan mata pencaharian nelayan. Disamping itu, juga
merubah pandangan dan perilaku nelayan dan masyarakat pesisir dalam pemanfaatan rajungan
secara bijaksana sesuai kaedah pengelolaan rajungan berbasis konservasi dan adpatif pada
perubahan ikim demi kesejahteraan nelayan dan msayarakat pesisir di Provinsi Sulawesi
Tenggara.

3. KONSEP PEMIKIRAN PENGELOLAAN RAJUNGAN BERBASIS SUAKA
RAJUNGAN DI SULAWESI TENGGARA
3.1 Konsep Pengembangan Suaka Rajungan
Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 60 Tahun 2007, disebutkan pengertian
konservasi sumberdaya ikan sebagai upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan
sumber daya ikan, termasuk ekosistem, jenis, dan genetik untuk menjamin keberadaan,
ketersediaan, dan kesinambungannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas
nilai dan keanekaragaman sumberdaya ikan. Berdasarkan pengertian tersebut ternyata
kegiatan konservasi tidak hanya menyangkut upaya perlindungan, namun dilaksanakan
secara seimbang antara upaya pelestarian dan pemanfaatan berkelanjutan sumberdaya ikan
untuk kesejahteraan masyarakat. Upaya Konservasi sumberdaya ikan ini meliputi

konservasi ekosistem, jenis dan genetik ikan, serta pengertian ikan ditujukkan pada semua
biota yang hidup dalam air, dalam hal ini termasuk rajungan. Jadi konservasi rajungan

merupakan upaya pelestarian dan pemanfaatan rajungan dan ekosistemnya secara
berkelanjutan untuk kesejahateraan nelayan dan masyarakat pesisir di Sulawesi Tenggara.
Pengelolaan rajungan berbasis konservasi (suaka rajungan) yang dimaksud dalam
makalah ini adalah kawasan konservasi dengan skala kecil. Model kawasan konservasi ini
diadopsi dari model pengelolaan kawasan terumbu karang (daerah perlindungan laut-DPL)
dan telah banyak diterapkan pada beberapa desa pesisir atau pulau kecil di Indonesia,
termasuk di perairan Sulawesi Tenggara. Prinsip pengelolaan rajungan berbasis konservasi
dapat melibatkan satu (1) desa pesisir atau lebih tergantung pada kondisi geografi dari
sebaran habitat rajungan (berbasis potensi kawasan dan sebaran habitat rajungan), dan dalam
implementasinya mulai dari tahap perencanan sampai tahap pengelolaan serta pengawasan
sepenuhnya melibatkan nelayan atau masyarakat setempat (berbasis masyarakat).
Kawasan suaka rajungan merupakan lokasi yang digunakan dalam upaya pengelolaan
sumberdaya rajungan untuk pelestarian rajungan dan peningkatan produksi rajungan (Pet
dan Mous, 2002). Oleh kerena itu dalam penetapan lokasi suaka perikanan berdasarkan
informasi dan data aspek biologi, dinamika populasi, genetika dan kondisi ekosistem padang
lamun serta perairan sekitarnya sebagai lokasi pemijahan rajungan sehingga diharapkan
dapat berfungsi sebagai tempat perlindungan rajungan dan juga dapat mengahasilkan benih
secara alami ke daerah sekitarnya, yaitu melalui spill-over dan produksi larva rajungan akan
meningkat.
Belum ada kajian khusus tentang luas suaka rajungan yang efektif seperti ketentuan
pada kawasan DPL terumbu karang (yaitu 10-15% hamparan terumbu karang bahkan
sampai 20-30% luasan habitat penting) untuk mendukung pengelolaan kawasan DPL yang
efektif untuk mencapai tujuan perlindungan dan peningkatan produksi rajungan. Untuk
pengelolaan kawasan suaka rajungan dapat berjalan efektif sesuai dengan tujuannya, maka
Penetapan lokasi dan luas kawasan suaka rajungan yang akan dikembangkan di perairan
Sulawesi Tenggara didasarkan pada

data dan informasi seperti tersebut di atas yang

diperoleh melalui penelitian. Disamping itu,

calon

lokasi dan luasan kawasan suaka

sebelum ditetapkan terlebih dahuku harus mendapat persetujuan dari masyarakat

atau

nelayan setempat dan diketahui oleh aparat desa dan instansi terkait. Hal ini dimaksudkan
untuk menghindari terjadi konflik dalam pemanfaatan ruang periaran antara lokasi suaka

rajungan dengan daerah penangkapan nelayan dan kepentingan lainnya, seperti alur
transportasi laut.
Para ahli yang mengategorikan terumbu karang dalam yang

berkaitan dengan

kawasan konservasi laut penyebaran larva organisme laut menjadi dua (2) kelompok, yaitu
terumbu “penampung” (sink) dan terumbu “sumber” (source) (Knight dan Tighe, 2003).
Dengan mengadopsi pendapat

tersebut

maka dapat dianalogikan pada padang lamun

sebagai lokasi kawasan konservasi atau suaka rajungan. Padang lamun sebagai lokasi
penyabaran larva rajungan, yaitu padang lamun sebagai lokasi ”penampung” adalah
hamparan padang lamun yang menerima atau memampung banyak larva rajungan yang
berasal dari padang lamun atau lokasi pemijahan rajungan letaknya jauh, lalu terbawa arus
sebagai efek dari spill-over dan produksi larva rajungan dan selanjutnya menetap dan
berkembang di padang lamun ini. Padang lamun “sumber” adalah padang lamun yang
menjadi sumber larva rajungan bagi padang lamun lainnya. Tidak semua larva rajungan
yang berasal dari padang lamun “sumber” atau lokasi pemijahan rajungan akan menetap
dan pindah ke hamparan padang lamun lainnya, karena sebagian terbawa ke laut lepas dan
mati, sementara yang lainnya dimakan oleh ikan dan organisme kecil lainnya.
Daerah Perlindungan Laut (DPL) seperti yang telah diamati oleh beberapa peneliti
membuktikan bahwa usaha ini efektif bagi pelestarian sumberdaya hayati dan non-hayati,
serta dapat digunakan meningkatkan produksi perikanan disekitarnya (Cote et al. 2001; Pet
dan Mous, 2002). Selain itu DPL juga berpotensi untuk dijadikan daerah tujuan wisata,
dengan dampak turunannya dapat membuka mata pencaharian baru bagi masyarakat
setempat. Diharapkan dengan adanya suaka rajungan di perairan Sulawesi Tenggara dapat
memberikan dampak positif pada pelestarian, peningkatan produksi

serta pemanfaatan

rajungan secara berkelanjutan di perairan Sulawesi Tenggara. Untuk mencapai hasil
diharapkan tersebut maka diantaranya perlu keterlibatan masyarakat setempat dalam
pengelolaan kawasan suaka rajungan.
3.2 Pengelolaan Suaka Rajungan dan Pelibatan Masyarakat
Pengelolaan suaka rajungan merupakan model pengelolaan yang mempertimbangkan
semua aspek ekologi yang terjadi dalam suatu ekosistem perairan laut dan aspek sosail,

ekonomi lingkungan desa pesisir atau pulau kecil dimana model pengelolaan ini diterapkan.
Pendekatan pengelolaan dengan suaka rajungan di perairan Sulawesi Tenggara pada tahap
awal akan diuji cobakan pada daerah atau desa-desa pesisir dan pulau kecil yang secara
potensial sebagai desa penghasil rajungan. Dalam menerapkan pengelolaan suaka rajungan
akan melibatkan stakeholder terkait, seperti tokoh masyarakat, aparat desa atau kecamatan
dan instansi terkait pada tingkat kabupaten. Pengelolaan suaka rajungan akan diterapkan
desa-desa pesisir dan pulau-pulau kecil yang merupakan daerah penghasil rajungan dan
memiliki berpotensi mendapat dukungan dilihat aspek sosial masyarakatnya.
Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa prinsip pengelolaan suaka rajungan di perairan
Sulawesi Tenggara adalah berbasis masyarakat, artinya

pengelolaan daerah suaka ini

dilakukan oleh sepenuhnya oleh masyarakat bersama-sama dengan aparat desa atau tokoh
masyarakat.

Disadari bahwa masyarakat pesisir, khususnya sangat besar kepentingan

mereka terhadap kelestarian sumberdaya rajungan karena berhubungan langsung degan mata
pencaharian mereka. Oleh karena itu dalam

pengelolaan suaka rajungan

di perairan

Sulawesi Tenggara sangat dibutuhkan keterlibatan masyarakat, khususnya nelayan dalam
desa lokasi suaka rajungan berada maupun nelayan pada desa tetangga (dari luar desa).
Implementasi pengembangan pengelolaan rajugan berbasis suaka rajungan di perairan
Sulawesi Tenggara dilakukan secara bertahap. Pada tahap awal pengembangan pengelolaan
rajungan berbasis suaka perikanan rajungan di perairan Sulawesi Tenggara pada desa-desa
pesisir tertentu seperti disebutkan di atas hanya merupakan media percontohan dan
pembelajaran bagi desa lain di daerah ini sebagai upaya melindungi dan meningkatkan
produksi rajungan. Selanjutnya diharapkan desa-desa pesisir lain yang ada di Sulawesi
Tenggara

juga dapat membentukan kawasan suaka rajungan berdasarkan insiatif dan

dukungan dari instansi terkait dalam memfasilitasi pembentukannya serta melakukan
pembinaan dan pendampingan kepada masyarakat sehingga pengelolaan suaka rajungan di
perairan Sulawesi Tenggara dapat berjalan secara eketif.
Kawasan suaka rajungan dikelola dengan sistem zonasi, yaitu terdiri dari zona inti dan
zona penyangga, dimana ilustrasi kedua zona ini tertera pada Gambar 1, serta pemanfaatan
atau penangkapan rajungan dilakukan di luar kedua zona tersebut. Zona inti (no take zone)
sebagai kawasan perairan selamanya tidak diperbolehkan untuk melakukan penangkapan

rajungan, zona ini ditujukan hanya untuk perindungan sumberdaya rajungan. Sedangkan
penyangga adalah merupakan zona yang mendukung keutuhan zona inti dan kawasan suka
rajungan secara keselurahnnya. Sedangkan pemanfaatan rajungan oleh nelayan atau
masyarakat pesisir dapat dilakukan dengan menggunakan alat tangkap yang bersifat tidak
merusak lingkungan dan ukuran rajungan dibatasi sesuai informasi kondisi biologi rajungan
dan ditetapkan secara bersama antara pengelola suaka rajungan dengan nelayan dan
disaksikan oleh tokoh masyarakat dan aparat desa atau kecamatan.

Gambar 1. Ilustrasi zona inti dan penyangga kawasan suaka rajungan diadopsi dari daerah
perlindungan laut terumbu karang
(Sumber : http://www.google.co.id/imgres?imgurl=http://2.bp.blogspot.com/)
Segala peraturan pemerintah dan perundang-undangan formal tidak akan efektif
diterapkan tanpa keterlibatan masyarakat.

Masyarakat lebih memahami pengelolaan dan

perlindungan alam, termasuk rajungan berdasarkan nilai-nilai budaya yang mereka dianut.
Untuk mendorong keterlibatan masyarakat secara penuh dalam pengelolaan suaka rajungan di
perairan Sulawesi Tenggara maka perlu ditumbuhkan kesadaran mereka tentang manfaat
pelestarian rajungan bagi kehidupan mereka, diantaranya melalui pendidikan (formal dan nonformal). Upaya ini akan berimplikasi kepada masyarakat untuk lebih memahami tentang hak
individu untuk hidup layak dan hak masyarakat umum serta kewajiban yang diemban oleh setiap

anggota masyarakat atau kelompok nelayan untuk melindungi dan memanfaatkan rajungan
secara lestari.

Pelibatan masyarakat dan nelayan sejak awal kegiatan pengelolaan suaka rajungan di
perairan Sulawesi Tenggara sehingga akan menciptakan kedasaran bagi masyarakat dan
rasa memiliki terhadap kawasan suaka rajungan yang akan di kembangkan di daerah ini dan
berdampak pada kepedulian mereka akan pentingnya untuk mendukung pengelolaan suaka
rajungan daerah ini. Untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat pesisir dan nelayan dalam
pengelolaan suaka rajungan di perairan Sulawesi Tenggara maka perlu dilakukan sosialisasi
secara luas kepada masyarakat.
3.3 Pengelolaan Suaka Rajungan dan Pemberdayaan Masyarakat
Pengelolaan suaka rajungan di perairan Sulawesi Tenggara sebaiknya terintegrasi
dengan kegiataan pemberdayaan bagi nelayan atau masyarakat pesisir pada setiap desa
lokasi sasaran program. Sasaran dari kegiatan pemberdayaan tersebut adalah untuk
meningkatkan kapasitas dan kelembagaan sosial ekonomi untuk menunjang perbaikan
kesejahteraan nelayan dan masyarakat pesisir. Diharapkan dengan adanya kegiatan
pemberdayaan tersebut dapat meningkatkan pengentahuan dan pemahaman tentang penting
menjaga kelestarian rajungan melalui pengelolaan berbasis suaka yang adaptif pada
perubahan iklim. Selain itu, juga kegiatan pemberdayaan dapat meningkatkan taraf hidup
masyarakat pesisir, khusus nelayan pada desa sasaran program pengelolaan suaka rajungan
di Sulawesi Tenggara.
Untuk mewujudkan hal tersebut di atas maka bidang kegiatan pemberdayaan
sebaiknya harus berbuhungan langsung dengan pengelolaan rajungan berbasis suaka dan
adaptif

pada perubahan iklim serta dibutuhkan masyarakat pesisir dan nelayan pada

khususnya untuk mendukung perbaikan usaha dan sistem kelembagaan ekonomi
masayarakat pesisir di Sulawesi

Tenggara. Secara umum program pemberdayaan bagi

masyarakat pesisir dan nelayan yang berkaitan pengembangan pengelolaan suaka rajungan
di Sulawesi Tenggara meliputi lima (5) bidang kegaitan, yaitu (1) peningkatan kapasitas
pengelolaan suaka rajungan, (2) akses terhadap pemanfaatan sumberdaya, (3) akses terhadap
teknologi yaitu suatu kegiatan dengan cara lebih baik dan lebih efisien, (4) akses terhadap

informasi pasar, termasuk penyediaan sarana produksi dan peningkatan sarana produksi serta
peningkatan keterampilan berusaha, dan (5) akses terhadap sumber pembiayaan.
Pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir dan nelayan di Sulawesi Tenggara yang
dianggap penting, yaitu mengembangkan mata pencaharian alternatif yang ramah
lingkungan terhadap masyarakat yang potensial melakukan kegiatan merusak sumberdaya
dan ekosistem laut, seperti penambang batu karang, serta pengguna bom dan potas dalam
menangkap ikan. Dalam jenis kegiatan mata pencaharian alternatif nelayan tersebut perlu
mempertimbangkan aspek sosial budaya dan kemampuan ekonomi nelayan sehingga dapat
berjalan dengan efektif dan diperoleh hasil optimal. Contoh jenis usaha yang mungkin dapat
dilakukan dalam alih mata pencaharian tersebut antara lain budidaya rumput laut atau biota
laut lainnya, kegiatan pengolahan (pasca panen) dan kegiatan penangkapan ikan lainnya.
Dalam pelaksanaan program alih pekerjaan harus disertai dengan pelatihan dan pemberian
bantuan sarana produksi.
Bila hal ini dapat dilakasanakan secara efektif maka akan terjadi keseimbangan antara
upaya pelestarian rajungan dan ekosistemnya dengan usaha perbaikan ekonomi nelayan
yang sebelumnya berpotensi merusak eksostem perairan. Untuk meningkatkan keterlibatan
masyarakat pengelolaan suaka rajungan dan terintegrasi dengan pemberdayaan masyarakat
pesisir dan nelayan maka perlu dilakukan sosialisasi secara terbuka terhadap masyarakat.
3.4 Pengelolaan Rajungan Suaka dan Adaptasi pada Perubahan Iklim
Perubahan iklim akan berdampak negatif pada kondisi lingkungan perairan dan biota
air, serta berpotensi menurunkan produktivitas ekosistem laut.

Beberapa berberhasilan

pembentukan dan pengelolaan kawasan konservasi laut dalam upaya untuk mendorong
pertumbuhan populasi ikan Adanya kawasan konservasi laut sebagai upaya menghadapi
ancaman perubahan iklim terkait dengan mempertahankan produktivitas ekosistem terumbu
karang dan lautan pada umumnya (UNEP, 2009).
Dalam pengelolaan sumberdaya perikanan telah dikenal paradigma baru, yaitu
berbasis ekosisitem, dan salah satu ‘alat’ pengelolaann adalah dengan pendekatan kawasan
konservasi laut karena didasari keberadaan kawasan konservasi laut merupakan gerbang
terakhir

perlindungan

dan

pemanfaatan

berkelanjutan

sumberdaya

kelautan

dan

ekosistemnya (UNEP, 2009). Suaka rajungan

merupakan kawasan lindung laut untuk

memperbaiki kondisi populasi rajungan dan pola pemanfaatannya berkaitan dengan
perubahan iklim, karena strategi pengelolaan dengan model ini

merupakan

pola

pengelolaan terbaik untuk melindungi populasi biota laut di seluruh dunia (Pet dan Mous,
2002; Roberts et al., 2005).
Rajungan merupakan jenis biota air yang memenuhi kriteria untuk dikembangkan
melalui kegiatan penangkapan dan budidaya yang adaptif terhadapt perubahan iklim karena
memiliki pertumbuhan cepat, reproduksi tinggi, tahan terhadap perubahan suhu, pH, dan
salinitas, rantai makanan pendek, kualitas daging baik, dan hasilnya tinggi (Hosseini et al.,
2012; Guo et al., 2012). Rajungan sebagai biota air berpotensi dikembangkan dalam pola
pengelolaan berbasis budidaya yang adaptif terhadap perubahan iklim.
Pengelolaan rajungan berbasis suaka yang adaptif pada perubahan iklim dapat
menerapkan berbagai bioteknologi untuk meningkatkan kebugaran populasi rajungan untuk
dipelihara melalui budidaya skala terkontrol maupun untuk perbaikan stok alami rajungan
melalui sea ranching, pemacuan stok, dan restoking yang dapat beradaptasi pada kondisi
perubahan iklim dan perubahan lingkungan perairan. Beberapa metode bioteknologi yang
dapat digunakan untuk menghasilkan benih rajungan unggul meliputi pembiakan selektif,
persilangan dan hibridisasi, manipulasi kromosom dan populasi monoseks, dan genomik,
penemuan gen dan transgenesis (Pullin dan White, 2011). Semua potensi tersebut tergantung
pada konservasi keragaman genetik seluas mungkin untuk sifat yang ditargetkan pada
spesies penting pada saat ini dan berpotensi untuk dikembangkan di masa depan (Pullin dan
White, 2011).
Seperti diuraikan sebelumnya bahwa salah satu data atau informasi untuk mendukung
pengelolaan rajungan di perairan Sulawesi Tenggara adalah aspek keragaman genetik. Hasil
penelitian keragaman genetik rajungan tersebut sangat berguna untuk mendukung kegiatan
pemuliaan dan perkembangbiakan rajungan sehingga pengelolaan stok alami dan berbasis
budidaya dapat dilakukan secara rasional berdasarkan peta genom individu rajungan
sehingga tidak hanya memanfaatkan sumber induk rajungan dari satu lokasi saja, tetapi
dapat disilangkan dari kantong induk lainnya berdasarkan informasi tingkat keragaman
genetik yang dimiliki oleh induk rajungan dari setiap di wilayah perairan (Sukoso, 2008),

dan suatu perairan dijumpai rajungan dengan keragaman tinggi maka perlu ditetapkan
ditetapkan sebagai kawasan suaka rajungan.
Kemungkinan dari hasil indentifikasi keragaman genetik rajungan di perairan Sulawesi
Tenggara dapat ditemukan suatu lokasi perairan tertentu dapat ditemukan induk rajungan
dan mampu memproduksi benih-benih (larva) rajungan unggul dengan keragaman genetik
tinggi dan tahaan terhadap perubahan kondisi lingkungan perairan yang ekstrim akibat
perubahan iklim. Selain itu, kemungkinan akan ditemukan kondisi keragaman genetik
rajungan yang kritis akibat tekanan penangkapan tinggi sehingga perlu segera dilakukan
restocking untuk memperbaiki keragaman genetik populasi rajungan untuk menghindari
ancaman tekanan perubahan iklim. Informasi keragaman genetik rajungan juga berguna
untuk menentukan luas kawasan perairan yang akan dijadikan sebagai lokasi sea ranching
rajungan.
Pengelolaan rajungan berbasis budidaya yang berhubungan dengan upaya pengelolaan
rajungan dan khususnya suaka perikanan dan adaptif pada perubahan iklim di perairan
Sulawesi Tenggara dapat dilakukan melalui domestikasi, sea ranching, pemacuan stok,
restoking, dan transplansi dengan tujuan untuk memperbaiki stok alami dan peningkatan
produksi rajungan. Salah satu kendala yang saat ini dihadapi dalam pendekatan pengelolaan
ini di Sulawesi Tenggara adalah sumber benih dibutuhkan jumlah besar

sehingga

dibutuhkan teknologi produksi benih rajungan yang diproduksi secara masal seperti
teknologi yang telah diterapkan pada pembenihan udang. Sementara produksi massal benih
rajungan di Indonesia sampai saat ini tingkat keberhasilannya

masih rendah, yaitu

kelangsungan hidup larva rajungan rata-rata sebesar 15% (Warta Penelitian Perikanan
Indonesia, 2004). Oleh karena itu, masih perlu dilakukan penelitian untuk mendapat
pemecahan masalah yang dihadapi

dalam teknologi pembenihan rajungan sehingga

kelangsungan hidup larva rajungan meningkat dan dapat mendukung keberhasilan produksi
larva rajungan secara masal di panti pembenihan (hatchery).
4 PENUTUP
Ada tiga (3) permasalahan yang dihadapi untuk mendukung pengelolaan rajungan
berbasis suaka rajungan di Sulawesi Tenggara, yaitu keterbatasan data, pencemaran dan

degradasi habitat rajungan, serta masalah sosial ekononi masyarakat pesisir dan nelayan.
Model suaka rajungan yang akan dikembangkan di perairan Sulawesi Tenggara diadopasi
dari model pengelolaan DPL terumbu karang telah dikembangkan di Sulawesi Tenggara.
Dalam pengelolaan suaka rajungan di perairan Sulawesi Tenggara melibatkan masyarakat
setempat dan implementasi model pengelolaan ini terintegrasi dengan pemberdayaan
masyarakat pesisir dan khususnya nelayan di daerah ini.
Pengembangan suaku rajungan mempunyai kaitan dengan adaptasi rajungan terhadap
perubahan iklim. Rajungan sangat pontesial untuk dikembangkan sebagai biota budidaya
terkontrol ataupun melalui sea ranching karena mampu beradaptasi terhadap kondisi
lingkungan ekstrim akibat perubahan iklim.
Perlu dukungan hasil penelitian aspek biologi, dinamika populasi, keragaman genetik,
dan kondisi ekosistem habitat rajungan, aspek sosial ekonomi dan teknologi pembenihan
atau domestikasi rajungan agar diperoleh hasil optimal dalam mengembangkan model
pengelolaan rajungan berbasis suaka yang adaptif pada perubahan iklim di Sulawesi
Tenggara.
DAFTAR PUSTAKA
Bappeda Provinsi Sulawesi Tenggara. 2002. Identifikasi aktivitas bagi peningkatan
masyarakat pesisir dan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut di lokasi MCMA
Provinsi Sulawesi Tenggara. Bappeda Provinsi Sulawesi Tenggara. Kendari
Cote IM, I Mosqueira and JD Reynolds. 2001. Effects of Marine Reserve Characteristics
On The Protection Of Fish Populations: a Meta-Analysis. Journal of Fish Biology.
59:178-189
de Lestang S, NG Hall, IC Potter. 2003. Reproductive biology of the blue swimmer crab
(Portunus pelagicus, Decapoda: Portunidae) in five bodies of water on the west coast
of Australia. Fishery Bulletin US, 101: 745-757
Dixon C. 2011. Blue swimmer crab Portunus pelagicus in pp: 63-75: Pecl GT, Doubleday
Z, Ward T, Clarke S, Day J, Dixon C, Frusher S, Gibbs P, Hobday A, Hutchinson N,
Jennings S, Jones K, Li X, Spooner D, and Stoklosa R. Risk Assessment of Impacts of
Climate Change for Key Marine Species in South Eastern Australia. Part 2: Species
profiles. Fisheries and Aquaculture Risk Assessment. Fisheries Research and
Development Corporation, Project 2009/070. Hobart, Tasmania
Guo E , Y Liu , Z Cui, X Li, Y Cheng, X Wu. 2012. Genetic variation and population
structure of swimming crab (Portunus trituberculatus) inferred from mitochondrial
control region. Molecular Biology Reproduction, 39: 1453-1463

Hamid A, La Sara, Halili. 2007. Identifikasi potensi sumberdaya Pulau Lara sebagai dasar
pengembangan kawasan konservasi laut daerah di Kabupaten Konawe Selatan.
Konsorsium Mitra Bahari Sulawesi Tenggara. Kendari
Hamid A. 2011. Kondisi kepiting rajungan di Teluk Lasonko Kabupaten Buton Provinsi
Sulawesi Tenggara. Jurnal Mitra Bahari, 5 (2) :75-86
Hosseini M, A Vazirizade, Y Parsa and A Mansori. 2012. Sex ratio, size distribution and
seasonal abundance of blue swimming crab, Portunus pelagicus (Linnaeus, 1758) in
Persian Gulf Coasts, Iran. World Applied Sciences Journal 17 (7): 919-925
http://www.sustainablefish.org/fisheries-improvement/crabs/indonesian-blue-swimmingcrab Diakses tanggal 14 September 2012
http://dunia-budidaya.blogspot.com/2009/08/pengamatan-aspek-biologi-rajungan.html.
Aspek Biologi Rajungan dalam Menunjang Teknik Perbenihannya. 2004. Warta
Penelitian Perikanan Indonesia, 10 (1). Diaksaes tanggal 22 Desember 2012.
http://www.google.co.id/imgres?imgurl=http://2.bp.blogspot.com/.
Desember 2012

Diakses

tanggal

25

Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2012. Statistik ekspor hasil perikanan, Buku 1.
Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Knight, M dan S. Tighe (editor). 2003. Panduan Pembentukan dan Pengelolaan Daerah
Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat. Koleksi Dokumen Proyek Pesisir 1997-2003.
Coastal Resources Center, University of Rhode Island, Narragansett, Rhode Island,
USA
Pet JJ dan PJ Mous, 2002. Kawasan konservasi laut dan manfaatnya bagi perikanan
(Diterjemahkan oleh S. Paramita B.U dan Hesti Widodo), The Nature Conservancy –
Southeast Asia Center for Marine Protected Areas, Sanur, Bali, Indonesia
Pullin R and P White. 2011. Climate change and aquatic genetic resources for food and
agriculture: State of knowledge, risks and opportunities. Commission On Genetic
Resources For Food And Agriculture, FAO, Roma
Roberts CM, PJ Hawkins and FR Gell. 2005. The role of marine reserves in achieving
sustainable fisheries Phil. Trans. R. Soc. B. 360, 123-132
Sukuso, 2008. Peran Bioteknologi Molekuler dalam Pembangunan Bidang Perikanan dan
Kelautan Indonesia. Makalah disampaikan dalam rangka Dies Natalis XXXIX
Universitas Brawijaya, Malang tanggal 20 Januari 2008
UNEP, 2009. Climate Change Science Compendium 2009 United Nation Enviromental
Program. http://www.unep.org/copendium.2009/. Diakses tanggal 9 Oktober 2011