Mekanisme Respon Imun pada Gagal Ginjal
Tugas Imunologi
Mekanisme Respon Imun pada Gagal Ginjal Kronik (GGK)
Penyusun :
Ketua
Anggota
Kelompok 9
: Arif Rahman
(1300023231)
: Rahmah Khoirun Nisa
(11023210)
Wahyu Tika Lestari
(1300023223)
Qanita Kamila
(1300023244)
Dhiya’ul Husna R.
(1300023249)
ABSTRAK
Hemodialisis merupakan tindakan invasif yang sering dilakukan pada pasien gagal ginjal
kronik untuk mempertahankan pasien dalam keadaan relatif sehat. Angka kesakitan dan
angka kematian pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis meningkat
sejalan dengan penurunan respons imun pada pasien terkait. Penurunan respons imun dapat
disebabkan keadaan uremia, defisiensi vitamin D, penimbunan besi yang berlebihan dan
akibat tindakan hemodialisis itu sendiri. Penurunan respons imun pada uremia disebabkan
oleh penurunan fungsi fagositosis leukosit polimorfonuklear (PMN) dan monosit, serta
penurunan aktivitas metabolik hexosemonophosphate shunt (HMS) yang diperlukan untuk
memproduksi reactive oxygen spesies (ROS) . Vitamin D berperan dalam perkembangan dan
fungsi makrofag. Penimbunan besi yang berlebihan akan merangsang pertumbuhan bakteri
dan meningkatkan virulensi bakteri. Tindakan hemodialisis menyebabkan penurunan respons
imun karena terjadinya neutropenia, limfositopenia dan hipokomplementemia yang terutama
disebabkan pengaruh jenis membran dialyzer.
A. LATAR BELAKANG
Pada pasien gagal ginjal kronik (GGK)
dengan kadar ureum dan kreatinin yang
sangat tinggi, selain transplantasi ginjal,
tindakan dialisis merupakan satu satunya
cara untuk mempertahankan kelangsungan
hidup pasien dengan tujuan menurunkan
kadar ureum, kreatinin dan zat-zat toksik
lainnya di dalam darah.
Tindakan dialisis pada pasien ini harus
dilakukan secara rutin satu sampai dua kali
per minggu. Pada tindakan dialisis,
hemodialisis lebih sering digunakan
dibandingkan peritoneal dialisis.
Pada hemodialisis darah pasien
dipompa keluar dari pembuluh darah,
masuk ke dalam suatu alat tempat
terjadinya proses difusi melalui membran
semipermeabel untuk membuang zat-zat
toksik dalam darah.
Tindakan hemodialisis merupakan suatu
tindakan invasif yang mempunyai risiko
untuk terjadinya infeksi. Pada pasien GGK
terjadi perubahan sistem imun yang
menyebabkan daya tahan tubuh menurun,
dan keadaan ini mempermudah terjadinya
infeksi.
Infeksi merupakan penyebab utama
meningkatnya angka kesakitan dan angka
kematian pada pasien hemodialisis.
Beberapa penelitian menunjukkan 12 %
sampai 20 % kematian pada pasien
hemodialisis disebabkan oleh infeksi.
Penyebab tingginya infeksi pada pasien
GGK selain menurunnya sistem imun, juga
disebabkan oleh adanya penyebab
sekunder seperti adanya diabetes dan
penyakit jantung paru pada GGK yang
akan
memperberat
risiko
infeksi.Penurunan sistem imun pada pasien
GGK didukung oleh ditemukannya reaksi
cutaneous anergy, menurunnya respons
terhadap vaksinasi, memanjangnya masa
penolakan allograft kulit dan ginjal, dan
delayed response leukosit pada tempat
inflamasi.
Pada makalah ini akan dibahas
mengenai sistem imun secara umum dan
perubahan respons imun pada penderita
GGK akibat keadaan uremia, defisiensi
vitamin D, penimbunan besi yang
berlebihan
dan
akibat
tindakan
hemodialisis itu sendiri, serta tindakan
pencegahan yang mungkin dilakukan.
Pengetahuan akan hal ini diharapkan dapat
memperbaiki penatalaksanaan pasien
GGK.
B. ISI DAN PEMBAHASAN
Pada respons imun humoral, antigen
akan ditangkap oleh makrofag atau
antigen presenting cell (APC), kemudian
masuk ke dalam sel dengan cara
endositosis atau pinositosis. Setelah diolah
oleh sel-sel itu maka antigen tersebut akan
dipaparkan di permukaan sel APC bersama
molekul
Major
Histocompatibility
Complex (MHC) kelas II. Sel T penolong
akan mengenali kompleks antigen MHC
kelas II tersebut melalui reseptor
permukaannya dan sel ini akan teraktivasi.
Sel T penolong yang sudah teraktivasi
akan
mengeluarkan
sitokin
dan
merangsang sel B untuk berproliferasi
menjadi
sel
plasma
yang
dapat
menghasilkan imunoglobulin.
(Gambar 1). Gambar 1. Gambaran
respons imun humoral dan seluler yang
diperantarai oleh kompleks APC-MHC
kelas II sel T penolong.
Defisiensi
imunoglobulin
dapat
merupakan kelainan bawaan atau didapat.
Hipogamaglobulinemia yang didapat,
umumnya disebabkan oleh kehilangan
protein berlebihan seperti pada sindroma
nefrotik, luka bakar atau limfangiektasia
intestinal. Pada keadaan ini penderita
mudah mengalami infeksi berulang oleh
bakteri berkapsul seperti Streptococcus
pneumoniae atau Hemophilus influenzae
karena untuk fagositosis dibutuhkan
opsonisasi oleh antibodi dalam jumlah
yang memadai. Respons imun seluler
didahului oleh interaksi antara sel T
penolong dengan antigen yang disajikan
oleh APC. Sel T penolong yang sudah
teraktivasi akan memacu sel efektor yaitu
sel T sitotoksik dan sel B. Selanjutnya
melalui limfokin yang dihasilkan, sel T
akan memicu sel natural killer (NK),
makrofag, granulosit dan antibody
dependent cytotoxic cell (ADCC) atau cell
killer (sel K) untuk menghancurkan
antigen. (Gambar 1)
PERUBAHAN RESPONS IMUN PADA
PENDERITA
GAGAL
GINJAL
KRONIK
Pada gagal ginjal kronik terbukti
adanya penurunan respons imun tubuh
terhadap infeksi. Perubahan respons imun
pada penderita gagal ginjal kronik dapat
dikelompokkan menjadi 4 yaitu akibat
uremia, akibat defisiensi vitamin D, akibat
penimbunan besi yang berlebihan dan
akibat tindakan hemodialisis.
Akibat uremia
Pada penderita GGK kemampuan ginjal
untuk membuang ureum dan sisa
metabolisme lainnya melalui urine
menurun sehingga menimbulkan keadaan
uremia.
Pada uremia, penurunan respons imun
disebabkan penurunan fungsi fagositosis
leukosit
polimorfonuklear
(PMN)
danmonosit. Fagositosis adalah suatu
proses dilapisinya partikel asing oleh
substansi opsonin terutama IgG. Fagosit
mempunyai reseptor spesifik diantaranya
Fc domain IgG. Aktivasi reseptor Fc oleh
partikel
yang
telah
diopsonisasi
menyebabkan partikel asing dapat ditelan
oleh fagosit dan memicu oxygen
dependent killing mechanisms.
Selain itu selama proses fagositosis
diperlukan serangkaian aktivitas jalur
metabolisme dan evaluasi aktivitas jalur
tersebut dapat mencerminkan kapasitas
fungsional proses fagositosis tersebut.
Salah satu jalur metabolisme tersebut
adalah metabolisme glukosa melalui jalur
hexosemonophosphate shunt (HMS) untuk
memproduksi reactive oxygen species
(ROS), termasuk ion superoksida dan
hidrogen peroksida (H2O2) melalui sistem
NADPH oksidase. Pembentukan ROS ini
diperlukan oleh leukosit sebagai respons
terhadap adanya mikroorganisme. Pada
uremia aktivitas metabolisme glukose
melalui jalur tersebut menurun.
Vanholder dkk melakukan penelitian
untuk mengetahui penggunaan glukose-1C
selama
proses
dialisis
oleh
polimorfonuklear (PMN) sebagai respons
terhadap
Staphylococcus
aureus.
Banyaknya
penggunaan
glukose-1-C
dihitung dengan mengukur kadar CO2
yang terbentuk. Dari penelitian ini
diketahui bahwa respons metabolik
terhadap fagositosis akan memburuk
sejalan dengan makin beratnya uremia.
Pada uremia ditemukan peptida yang
mirip dengan ubiquitin yang dapat
menghambat kemotaksis neutrofil dan
penurunan kemampuan PMN untuk
berikatan dengan C5a, suatu faktor
kemotaktik. Adanya hambatan kemotaksis
ini menyebabkan penurunan fungsi
fagositosis,
sehingga
menurunkan
kemampuan respons imun nonspesifik.
Selain itu penurunan respons imun pada
uremia disebabkan penekanan cell
mediated immunity yang disebabkan oleh
memendeknya umur limfosit, limfopenia,
hambatan pada transformasi limfosit, dan
penekanan aktivitas limfosit T.
Akibat defisiensi vitamin D
Peran 1,25 dihidroksi-vitamin D [1,25
(OH)2D3 = calcitriol = vitamin D] pada
respons imun telah dilaporkan walaupun
belum diketahui mekanismenya dengan
jelas. Pada pasien dengan GGK dapat
dijumpai penurunan kadar vitamin D
karena proses hidroksilasi dari 25 (OH) D3
menjadi 1,25 (OH)2D3 terjadi pada ginjal,
sehingga penurunan massa ginjal pada
pasien GGK menyebabkan rendahnya
kadar vitamin D.
Hasil penelitian yang dilakukan
terhadap 8 pasien uremia yang menjalani
hemodialisis menunjukkan peningkatan
aktivitas sel NK setelah pemberian
calcitriol selama 28 hari. Diperkirakan
defisiensi calcitriol merupakan faktor yang
berperan terhadap penurunan sel NK.
Penemuan ini menunjukkan calcitriol
merupakan suatu hormon imunostimulator
in vivo.
Di dalam tubuh vitamin D berperan
dalam merangsang perkembangan dan
pematangan
fungsi
makrofag,
meningkatkan ekspresi reseptor Fc dan C3
(yang menunjukkan adanya aktivasi sel
dan peningkatan fungsi respons imun), dan
meningkatkan kemotaksis dan fagositosis
leukosit PMN. Disamping itu vitamin D
juga berperan dalam produksi interleukin
2.
Pada pasien hemodialisis transformasi
limfosit berkurang dibanding pada orang
normal, tetapi pemberian prekursor
vitamin D secara oral selama 4 minggu
dapat memperbaiki fungsi transformasi
limfosit menjadi normal. Disamping itu
pemberian vitamin D pada pasien
hemodialisis akan meningkatkan rasio sel
T penolong / sel T sitotoksik yang akan
meningkatkan jumlah sel T CD4 + dan
penurunan jumlah sel T CD8 + sehingga
akan meningkatkan daya imunitas tubuh.
Vitamin D juga berperan meningkatkan
produksi interleukin 2 (IL-2), suatu sitokin
yang berperan merangsang pembelahan sel
T, pertumbuhan sel B dan merangsang
aktivitas monosit dan sel NK. Selain itu
vitamin D juga berperan pada produksi
gamma interferon yang berfungsi dalam
imunoregulasi terhadap pertumbuhan dan
diferensiasi sel B, aktivasi makrofag dan
peningkatan efek ekspresi antigen.
Akibat
penimbunan
besi
yang
berlebihan
Parameter yang dipergunakan untuk
mengetahui adanya penimbunan besi yang
berlebihan adalah bila kadar ferritin serum
> 1000 ug/L.
Mekanisme terjadinya
infeksi pada keadaan penimbunan besi
yang berlebihan kemungkinan disebabkan
adanya
kemampuan
besi
untuk
merangsang pertumbuhan bakteri dan
meningkatkan virulensi bakteri.
Penimbunan besi yang berlebihan juga
berperan terhadap fungsi fagositosis
neutrofil dan aktivitas mieloperoksidase.
Toksisitas
besi
terhadap
neutrofil
disebabkan terbentuknya oksidan radikal
yang berlebihan yang berpengaruh
terhadap fungsi fagositosis melalui
peroksidasi membran lipid neutrofil.
Kemampuan fagositosis neutrofil menjadi
normal kembali bila pada pasien
hemodialisis diberikan desferioksamin
sebagai chelating agent yang akan
mengikat kelebihan besi sehingga akan
menurunkan risiko infeksi. Saat ini dengan
makin
meningkatnya
penggunaan
eritropoietin maka pemberian transfusi
packed red cell dapat dikurangi sehingga
penimbunan besi yangberlebihan dapat
dihindari. Hoen dkk menemukan bahwa
lebih dari 10 % pasien dengan kadar
ferritin > 1000 ug/L menunjukkan
penurunan
kadar
ferritin
setelah
penggunaan eritropoietin dan hanya 5%
pasien yang tetap memiliki kadar ferritin >
1000 ug/L.
Akibat tindakan hemodialisis
Hemodialisis merupakan suatu proses
difusi melalui membran semipermiabel
untuk membuang substansi dalam darah
yang tidak diinginkan dengan penambahan
komponen tertentu. Tindakan hemodialisis
pada pasien dengan GGK yang bertujuan
untuk membuang ureum dan sisa
metabolisme lainnya di dalam tubuh
ternyata membawa dampak terjadinya
penurunan respons imun pada pasien
tersebut.
Penurunan respons imun yang terjadi
terutama disebabkan oleh jenis membran
dialisis yang dipakai. Membran dialisis ada
2 macam berdasarkan efek terhadap
respons imun yaitu pertama, membran
dialisis yang menyebabkan penurunan
respons imun misalnya cuprophan; kedua
membran dialisis yang tidak menyebabkan
penurunan respons imun / penurunan
minimal yaitu polymethylmetacrylate
(PMMA), poliakrilnitril dan polisulfon
sehingga dianjurkan untuk menggunakan
membran dialisis yang efek terhadap
penurunan respons imun seminimal
mungkin. Pada pasien uremia dengan
kadar kreatinin melampaui 6 mg/dL terjadi
penurunan bermakna kemampuan leukosit
untuk melakukan fagositosis. Hal ini
diperberat apabila digunakan membran
dialisis
yang mengaktifkan sistem
komplemen
misalnya
cuprophan.
Penggunaan cuprophan sebagai membran
dialisis akan menyebabkan penurunan
fungsi fagositosis yang jauh lebih besar
(60%).
Pada 15 menit awal hemodialisis
dijumpai penurunan jumlah neutrofil, yang
akan kembali normal setelah hemodialisis
selesai. Selama proses hemodialisis
neutrofil menghilang dari sirkulasi
disebabkan sekuestrasi melalui kapiler
pulmonar. Mekanismenya yaitu neutrofil
menempel pada dinding endotel kapiler
pulmonar, yang merupakan permukaan
pembuluh darah pertama yang mengalami
kontak setelah darah meninggalkan
dialyzer. Mekanisme ini disebabkan oleh
adanya peningkatan ekspresi reseptor CD
11b / CD 18 pada permukaan neutrofil
yang ada di dalam sirkulasi. Neutropenia
makin berat bila CD 11b / CD18 makin
banyak. CD 11b / CD18 makin banyak
dihubungkan dengan tipe dialyzer dan
penggunaan ulang dialyzer.
Hasil
penelitian
Gascon
dkk
memperlihatkan penurunan jumlah absolut
limfosit pada pasien hemodialisis dan
peningkatan jumlah subset limfosit natural
killer CD3 - /CD 56 + dan CD3 -/CD 16 +.
Peningkatan jumlah limfosit natural killer
dihubungkan dengan jenis membran
dialyzer yang dipakai. Pada pemakaian
membran dialyzer cuprophan dijumpai
peningkatan jumlah limfosit natural killer
meningkatkan pergerakan limfosit natural
killer dari jaringan limfoid, sedangkan
pada pemakaian membran dialyzer lainnya
(poliakrilnitril dan polisulfon) tidak
dijumpai keadaan demikian. Pada pasien
hemodialisis
dengan
menggunakan
membran cuprophan dijumpai penurunan
aktivitas sitotoksik limfosit natural killer.
Adanya peningkatan jumlah limfosit
natural killer dan penurunan aktivitas sel
tersebut merupakan hal yang kontradiktif.
Penjelasan dari hal tersebut di atas adalah
bahwa peningkatan jumlah limfosit
natural killer merupakan mekanisme
kompensasi
sistem
imun
untuk
meningkatkan produksi sel oleh karena
fungsinya yang menurun
D. KESIMPULAN
Penderita GGK merupakan penderita
yang rentan terhadap infeksi. Hal ini
disebabkan oleh terjadinya penurunan
respons imun yang diakibatkan antara lain
oleh keadaan uremia yang menyebabkan
penurunan fagositosis PMN dan monosit,
penekanan imunitas seluler, keadaan
defisiensi vitamin D yang berperan dalam
merangsang
perkembangan
dan
pematangan fungsi makrofag, peningkatan
ekspresi reseptor Fc dan C3, peningkatan
kemotaksis dan fagositosis PMN serta
penimbunan besi yang berlebihan dan
akibat tindakan hemodialisis. Dengan
penanganan penderita secara steril dan
penggunaan ulang alat dialisis sesuai
standar yang dianjurkan serta pemberian
vaksinasi, chelating agent dan calcitriol,
penderita
GGK
diharapkan
dapat
dipertahankan dalam kondisi yang relatif
sehat.
E. DAFTAR PUSTAKA
Pusparini. 2000. Perubahan Respon
Imun pada Penderita Gagal Ginjal Kronik
yang Menjalani Hemodialisis. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti.
Mekanisme Respon Imun pada Gagal Ginjal Kronik (GGK)
Penyusun :
Ketua
Anggota
Kelompok 9
: Arif Rahman
(1300023231)
: Rahmah Khoirun Nisa
(11023210)
Wahyu Tika Lestari
(1300023223)
Qanita Kamila
(1300023244)
Dhiya’ul Husna R.
(1300023249)
ABSTRAK
Hemodialisis merupakan tindakan invasif yang sering dilakukan pada pasien gagal ginjal
kronik untuk mempertahankan pasien dalam keadaan relatif sehat. Angka kesakitan dan
angka kematian pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis meningkat
sejalan dengan penurunan respons imun pada pasien terkait. Penurunan respons imun dapat
disebabkan keadaan uremia, defisiensi vitamin D, penimbunan besi yang berlebihan dan
akibat tindakan hemodialisis itu sendiri. Penurunan respons imun pada uremia disebabkan
oleh penurunan fungsi fagositosis leukosit polimorfonuklear (PMN) dan monosit, serta
penurunan aktivitas metabolik hexosemonophosphate shunt (HMS) yang diperlukan untuk
memproduksi reactive oxygen spesies (ROS) . Vitamin D berperan dalam perkembangan dan
fungsi makrofag. Penimbunan besi yang berlebihan akan merangsang pertumbuhan bakteri
dan meningkatkan virulensi bakteri. Tindakan hemodialisis menyebabkan penurunan respons
imun karena terjadinya neutropenia, limfositopenia dan hipokomplementemia yang terutama
disebabkan pengaruh jenis membran dialyzer.
A. LATAR BELAKANG
Pada pasien gagal ginjal kronik (GGK)
dengan kadar ureum dan kreatinin yang
sangat tinggi, selain transplantasi ginjal,
tindakan dialisis merupakan satu satunya
cara untuk mempertahankan kelangsungan
hidup pasien dengan tujuan menurunkan
kadar ureum, kreatinin dan zat-zat toksik
lainnya di dalam darah.
Tindakan dialisis pada pasien ini harus
dilakukan secara rutin satu sampai dua kali
per minggu. Pada tindakan dialisis,
hemodialisis lebih sering digunakan
dibandingkan peritoneal dialisis.
Pada hemodialisis darah pasien
dipompa keluar dari pembuluh darah,
masuk ke dalam suatu alat tempat
terjadinya proses difusi melalui membran
semipermeabel untuk membuang zat-zat
toksik dalam darah.
Tindakan hemodialisis merupakan suatu
tindakan invasif yang mempunyai risiko
untuk terjadinya infeksi. Pada pasien GGK
terjadi perubahan sistem imun yang
menyebabkan daya tahan tubuh menurun,
dan keadaan ini mempermudah terjadinya
infeksi.
Infeksi merupakan penyebab utama
meningkatnya angka kesakitan dan angka
kematian pada pasien hemodialisis.
Beberapa penelitian menunjukkan 12 %
sampai 20 % kematian pada pasien
hemodialisis disebabkan oleh infeksi.
Penyebab tingginya infeksi pada pasien
GGK selain menurunnya sistem imun, juga
disebabkan oleh adanya penyebab
sekunder seperti adanya diabetes dan
penyakit jantung paru pada GGK yang
akan
memperberat
risiko
infeksi.Penurunan sistem imun pada pasien
GGK didukung oleh ditemukannya reaksi
cutaneous anergy, menurunnya respons
terhadap vaksinasi, memanjangnya masa
penolakan allograft kulit dan ginjal, dan
delayed response leukosit pada tempat
inflamasi.
Pada makalah ini akan dibahas
mengenai sistem imun secara umum dan
perubahan respons imun pada penderita
GGK akibat keadaan uremia, defisiensi
vitamin D, penimbunan besi yang
berlebihan
dan
akibat
tindakan
hemodialisis itu sendiri, serta tindakan
pencegahan yang mungkin dilakukan.
Pengetahuan akan hal ini diharapkan dapat
memperbaiki penatalaksanaan pasien
GGK.
B. ISI DAN PEMBAHASAN
Pada respons imun humoral, antigen
akan ditangkap oleh makrofag atau
antigen presenting cell (APC), kemudian
masuk ke dalam sel dengan cara
endositosis atau pinositosis. Setelah diolah
oleh sel-sel itu maka antigen tersebut akan
dipaparkan di permukaan sel APC bersama
molekul
Major
Histocompatibility
Complex (MHC) kelas II. Sel T penolong
akan mengenali kompleks antigen MHC
kelas II tersebut melalui reseptor
permukaannya dan sel ini akan teraktivasi.
Sel T penolong yang sudah teraktivasi
akan
mengeluarkan
sitokin
dan
merangsang sel B untuk berproliferasi
menjadi
sel
plasma
yang
dapat
menghasilkan imunoglobulin.
(Gambar 1). Gambar 1. Gambaran
respons imun humoral dan seluler yang
diperantarai oleh kompleks APC-MHC
kelas II sel T penolong.
Defisiensi
imunoglobulin
dapat
merupakan kelainan bawaan atau didapat.
Hipogamaglobulinemia yang didapat,
umumnya disebabkan oleh kehilangan
protein berlebihan seperti pada sindroma
nefrotik, luka bakar atau limfangiektasia
intestinal. Pada keadaan ini penderita
mudah mengalami infeksi berulang oleh
bakteri berkapsul seperti Streptococcus
pneumoniae atau Hemophilus influenzae
karena untuk fagositosis dibutuhkan
opsonisasi oleh antibodi dalam jumlah
yang memadai. Respons imun seluler
didahului oleh interaksi antara sel T
penolong dengan antigen yang disajikan
oleh APC. Sel T penolong yang sudah
teraktivasi akan memacu sel efektor yaitu
sel T sitotoksik dan sel B. Selanjutnya
melalui limfokin yang dihasilkan, sel T
akan memicu sel natural killer (NK),
makrofag, granulosit dan antibody
dependent cytotoxic cell (ADCC) atau cell
killer (sel K) untuk menghancurkan
antigen. (Gambar 1)
PERUBAHAN RESPONS IMUN PADA
PENDERITA
GAGAL
GINJAL
KRONIK
Pada gagal ginjal kronik terbukti
adanya penurunan respons imun tubuh
terhadap infeksi. Perubahan respons imun
pada penderita gagal ginjal kronik dapat
dikelompokkan menjadi 4 yaitu akibat
uremia, akibat defisiensi vitamin D, akibat
penimbunan besi yang berlebihan dan
akibat tindakan hemodialisis.
Akibat uremia
Pada penderita GGK kemampuan ginjal
untuk membuang ureum dan sisa
metabolisme lainnya melalui urine
menurun sehingga menimbulkan keadaan
uremia.
Pada uremia, penurunan respons imun
disebabkan penurunan fungsi fagositosis
leukosit
polimorfonuklear
(PMN)
danmonosit. Fagositosis adalah suatu
proses dilapisinya partikel asing oleh
substansi opsonin terutama IgG. Fagosit
mempunyai reseptor spesifik diantaranya
Fc domain IgG. Aktivasi reseptor Fc oleh
partikel
yang
telah
diopsonisasi
menyebabkan partikel asing dapat ditelan
oleh fagosit dan memicu oxygen
dependent killing mechanisms.
Selain itu selama proses fagositosis
diperlukan serangkaian aktivitas jalur
metabolisme dan evaluasi aktivitas jalur
tersebut dapat mencerminkan kapasitas
fungsional proses fagositosis tersebut.
Salah satu jalur metabolisme tersebut
adalah metabolisme glukosa melalui jalur
hexosemonophosphate shunt (HMS) untuk
memproduksi reactive oxygen species
(ROS), termasuk ion superoksida dan
hidrogen peroksida (H2O2) melalui sistem
NADPH oksidase. Pembentukan ROS ini
diperlukan oleh leukosit sebagai respons
terhadap adanya mikroorganisme. Pada
uremia aktivitas metabolisme glukose
melalui jalur tersebut menurun.
Vanholder dkk melakukan penelitian
untuk mengetahui penggunaan glukose-1C
selama
proses
dialisis
oleh
polimorfonuklear (PMN) sebagai respons
terhadap
Staphylococcus
aureus.
Banyaknya
penggunaan
glukose-1-C
dihitung dengan mengukur kadar CO2
yang terbentuk. Dari penelitian ini
diketahui bahwa respons metabolik
terhadap fagositosis akan memburuk
sejalan dengan makin beratnya uremia.
Pada uremia ditemukan peptida yang
mirip dengan ubiquitin yang dapat
menghambat kemotaksis neutrofil dan
penurunan kemampuan PMN untuk
berikatan dengan C5a, suatu faktor
kemotaktik. Adanya hambatan kemotaksis
ini menyebabkan penurunan fungsi
fagositosis,
sehingga
menurunkan
kemampuan respons imun nonspesifik.
Selain itu penurunan respons imun pada
uremia disebabkan penekanan cell
mediated immunity yang disebabkan oleh
memendeknya umur limfosit, limfopenia,
hambatan pada transformasi limfosit, dan
penekanan aktivitas limfosit T.
Akibat defisiensi vitamin D
Peran 1,25 dihidroksi-vitamin D [1,25
(OH)2D3 = calcitriol = vitamin D] pada
respons imun telah dilaporkan walaupun
belum diketahui mekanismenya dengan
jelas. Pada pasien dengan GGK dapat
dijumpai penurunan kadar vitamin D
karena proses hidroksilasi dari 25 (OH) D3
menjadi 1,25 (OH)2D3 terjadi pada ginjal,
sehingga penurunan massa ginjal pada
pasien GGK menyebabkan rendahnya
kadar vitamin D.
Hasil penelitian yang dilakukan
terhadap 8 pasien uremia yang menjalani
hemodialisis menunjukkan peningkatan
aktivitas sel NK setelah pemberian
calcitriol selama 28 hari. Diperkirakan
defisiensi calcitriol merupakan faktor yang
berperan terhadap penurunan sel NK.
Penemuan ini menunjukkan calcitriol
merupakan suatu hormon imunostimulator
in vivo.
Di dalam tubuh vitamin D berperan
dalam merangsang perkembangan dan
pematangan
fungsi
makrofag,
meningkatkan ekspresi reseptor Fc dan C3
(yang menunjukkan adanya aktivasi sel
dan peningkatan fungsi respons imun), dan
meningkatkan kemotaksis dan fagositosis
leukosit PMN. Disamping itu vitamin D
juga berperan dalam produksi interleukin
2.
Pada pasien hemodialisis transformasi
limfosit berkurang dibanding pada orang
normal, tetapi pemberian prekursor
vitamin D secara oral selama 4 minggu
dapat memperbaiki fungsi transformasi
limfosit menjadi normal. Disamping itu
pemberian vitamin D pada pasien
hemodialisis akan meningkatkan rasio sel
T penolong / sel T sitotoksik yang akan
meningkatkan jumlah sel T CD4 + dan
penurunan jumlah sel T CD8 + sehingga
akan meningkatkan daya imunitas tubuh.
Vitamin D juga berperan meningkatkan
produksi interleukin 2 (IL-2), suatu sitokin
yang berperan merangsang pembelahan sel
T, pertumbuhan sel B dan merangsang
aktivitas monosit dan sel NK. Selain itu
vitamin D juga berperan pada produksi
gamma interferon yang berfungsi dalam
imunoregulasi terhadap pertumbuhan dan
diferensiasi sel B, aktivasi makrofag dan
peningkatan efek ekspresi antigen.
Akibat
penimbunan
besi
yang
berlebihan
Parameter yang dipergunakan untuk
mengetahui adanya penimbunan besi yang
berlebihan adalah bila kadar ferritin serum
> 1000 ug/L.
Mekanisme terjadinya
infeksi pada keadaan penimbunan besi
yang berlebihan kemungkinan disebabkan
adanya
kemampuan
besi
untuk
merangsang pertumbuhan bakteri dan
meningkatkan virulensi bakteri.
Penimbunan besi yang berlebihan juga
berperan terhadap fungsi fagositosis
neutrofil dan aktivitas mieloperoksidase.
Toksisitas
besi
terhadap
neutrofil
disebabkan terbentuknya oksidan radikal
yang berlebihan yang berpengaruh
terhadap fungsi fagositosis melalui
peroksidasi membran lipid neutrofil.
Kemampuan fagositosis neutrofil menjadi
normal kembali bila pada pasien
hemodialisis diberikan desferioksamin
sebagai chelating agent yang akan
mengikat kelebihan besi sehingga akan
menurunkan risiko infeksi. Saat ini dengan
makin
meningkatnya
penggunaan
eritropoietin maka pemberian transfusi
packed red cell dapat dikurangi sehingga
penimbunan besi yangberlebihan dapat
dihindari. Hoen dkk menemukan bahwa
lebih dari 10 % pasien dengan kadar
ferritin > 1000 ug/L menunjukkan
penurunan
kadar
ferritin
setelah
penggunaan eritropoietin dan hanya 5%
pasien yang tetap memiliki kadar ferritin >
1000 ug/L.
Akibat tindakan hemodialisis
Hemodialisis merupakan suatu proses
difusi melalui membran semipermiabel
untuk membuang substansi dalam darah
yang tidak diinginkan dengan penambahan
komponen tertentu. Tindakan hemodialisis
pada pasien dengan GGK yang bertujuan
untuk membuang ureum dan sisa
metabolisme lainnya di dalam tubuh
ternyata membawa dampak terjadinya
penurunan respons imun pada pasien
tersebut.
Penurunan respons imun yang terjadi
terutama disebabkan oleh jenis membran
dialisis yang dipakai. Membran dialisis ada
2 macam berdasarkan efek terhadap
respons imun yaitu pertama, membran
dialisis yang menyebabkan penurunan
respons imun misalnya cuprophan; kedua
membran dialisis yang tidak menyebabkan
penurunan respons imun / penurunan
minimal yaitu polymethylmetacrylate
(PMMA), poliakrilnitril dan polisulfon
sehingga dianjurkan untuk menggunakan
membran dialisis yang efek terhadap
penurunan respons imun seminimal
mungkin. Pada pasien uremia dengan
kadar kreatinin melampaui 6 mg/dL terjadi
penurunan bermakna kemampuan leukosit
untuk melakukan fagositosis. Hal ini
diperberat apabila digunakan membran
dialisis
yang mengaktifkan sistem
komplemen
misalnya
cuprophan.
Penggunaan cuprophan sebagai membran
dialisis akan menyebabkan penurunan
fungsi fagositosis yang jauh lebih besar
(60%).
Pada 15 menit awal hemodialisis
dijumpai penurunan jumlah neutrofil, yang
akan kembali normal setelah hemodialisis
selesai. Selama proses hemodialisis
neutrofil menghilang dari sirkulasi
disebabkan sekuestrasi melalui kapiler
pulmonar. Mekanismenya yaitu neutrofil
menempel pada dinding endotel kapiler
pulmonar, yang merupakan permukaan
pembuluh darah pertama yang mengalami
kontak setelah darah meninggalkan
dialyzer. Mekanisme ini disebabkan oleh
adanya peningkatan ekspresi reseptor CD
11b / CD 18 pada permukaan neutrofil
yang ada di dalam sirkulasi. Neutropenia
makin berat bila CD 11b / CD18 makin
banyak. CD 11b / CD18 makin banyak
dihubungkan dengan tipe dialyzer dan
penggunaan ulang dialyzer.
Hasil
penelitian
Gascon
dkk
memperlihatkan penurunan jumlah absolut
limfosit pada pasien hemodialisis dan
peningkatan jumlah subset limfosit natural
killer CD3 - /CD 56 + dan CD3 -/CD 16 +.
Peningkatan jumlah limfosit natural killer
dihubungkan dengan jenis membran
dialyzer yang dipakai. Pada pemakaian
membran dialyzer cuprophan dijumpai
peningkatan jumlah limfosit natural killer
meningkatkan pergerakan limfosit natural
killer dari jaringan limfoid, sedangkan
pada pemakaian membran dialyzer lainnya
(poliakrilnitril dan polisulfon) tidak
dijumpai keadaan demikian. Pada pasien
hemodialisis
dengan
menggunakan
membran cuprophan dijumpai penurunan
aktivitas sitotoksik limfosit natural killer.
Adanya peningkatan jumlah limfosit
natural killer dan penurunan aktivitas sel
tersebut merupakan hal yang kontradiktif.
Penjelasan dari hal tersebut di atas adalah
bahwa peningkatan jumlah limfosit
natural killer merupakan mekanisme
kompensasi
sistem
imun
untuk
meningkatkan produksi sel oleh karena
fungsinya yang menurun
D. KESIMPULAN
Penderita GGK merupakan penderita
yang rentan terhadap infeksi. Hal ini
disebabkan oleh terjadinya penurunan
respons imun yang diakibatkan antara lain
oleh keadaan uremia yang menyebabkan
penurunan fagositosis PMN dan monosit,
penekanan imunitas seluler, keadaan
defisiensi vitamin D yang berperan dalam
merangsang
perkembangan
dan
pematangan fungsi makrofag, peningkatan
ekspresi reseptor Fc dan C3, peningkatan
kemotaksis dan fagositosis PMN serta
penimbunan besi yang berlebihan dan
akibat tindakan hemodialisis. Dengan
penanganan penderita secara steril dan
penggunaan ulang alat dialisis sesuai
standar yang dianjurkan serta pemberian
vaksinasi, chelating agent dan calcitriol,
penderita
GGK
diharapkan
dapat
dipertahankan dalam kondisi yang relatif
sehat.
E. DAFTAR PUSTAKA
Pusparini. 2000. Perubahan Respon
Imun pada Penderita Gagal Ginjal Kronik
yang Menjalani Hemodialisis. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti.