Studi Parametrik Kekakuan, Daktilitas dan Kinerja Struktur Sistem Rangka Pemikul Momen (SRPM) Akibat Pengaruh Setback dan Dinding Pasangan Bata

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Pajak
Pajak merupakan pungutan yang dilakukan oleh pemerintah kepada
masyarakat, berdasarkan Undang-undang dapat dipaksakan yang mana balas
jasanya tidak secara langsung dinikmati oleh wajib pajak. Pajak yang dipungut
tersebut dipergunakan untuk membiayai pengeluaran umum pemerintah seperti
pembangunan sarana-sarana umum, pemeliharaan keamanan dan ketertiban yang
akhirnya dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat.
Menurut Undang-undang Perpajakan tahun 2000 : Pajak adalah kontribusi
wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat
memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara
langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
Sebagaimana yang tersebut dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004
dan Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004, bahwa untuk penyelenggaraan
otonomi daerah diperlukan wewenang dan kemampuan pemerintah menggali
sumber-sumber penerimaan daerah yang salah satunya adalah dari penerimaan
Pajak Bumi dan Bangunan. Menurut Soemitro (2001) yang dijadikan dasar untuk
pengenaan pajak atas bumi dan bangunan adalah nilai jual dari bumi dan

bangunan, nilai jual tersebut dihitung dengan cara tertentu.

Pajak sebagai salah satu penerimaan Negara yang sangat penting dalam
pembangunan. Dalam hal pengertian pajak ini, para ahli telah memberikan suatu
batasan. Darma Silen (2005) menyatakan : Pajak adalah iuran negara yang dapat
dipaksakan yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan
dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung, dapat ditunjuk dan
gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum yang
berhubungan dengan tugas negara dalam melaksanakan pemerintahan.
Adriani dalam buku Waluyo & Ilyas (2002) memberikan pengertian pajak
sebagai berikut : Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang
terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan
tidak mendapat prestasi-kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya
adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas
negara yang menyelenggarakan pemerintahan.
Salah satu usaha untuk mewujudkan kemandirian suatu bangsa atau negara
dalam pembiayaan pembangunan yaitu menggali sumber dana yang berasal dari
dalam negeri berupa pajak. Pajak digunakan untuk membiayai pembangunan yang
berguna bagi kepentingan bersama. Pajak sendiri adalah iuran kepada negara
(yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut

peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung
dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaranpengeluaran umum berhubung dengan tugas negara yang menyelenggarakan
pemerintah (Waluyo, 2005). Masyarakat enggan membayar pajak, dapat
disebabkan karena perkembangan intelektual dan moral dari masyarakat, sistem

perpajakan yang sulit dipahami masyarakat, dan sistem kontrol tidak dapat
dilaksanakan dengan baik (Mardiasmo, 2001).
Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui bahwa pajak disamping
sebagai iuran yang dapat dipaksakan maka pajak juga dipergunakan bagi Negara
untuk pembangunan. Semakin besar pajak yang diterima suatu Negara maka
semakin tinggi kesempatan negera tersebut untuk membangun dan memfasilitasi
berbagai kesempatan untuk mengembangkan Negara tersebut.

2.2. Kepatuhan Wajib Pajak Dalam Membayar PBB
Terdapat dua macam kepatuhan menurut Safri Nurmantu, yakni:
kepatuhan formal dan kepatuhan material. Kepatuhan formal adalah suatu
keadaan dimana wajib pajak memenuhi kewajiban perpajakan secara formal
sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang perpajakan. Misalnya ketentuan
batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan (SPT PPh)
Tahunan tanggal 31 Maret. Apabila wajib pajak telah melaporkan Surat

Pemberitahuan Pajak Penghasilan (SPT PPh) Tahunan sebelum atau pada tanggal
31 Maret maka wajib pajak telah memenuhi ketentuan formal, akan tetapi isinya
belum tentu memenuhi ketentuan material, yaitu suatu keadaan dimana wajib
pajak secara substantif memenuhi semua ketentuan material perpajakan, yakni
sesuai isi dan jiwa undangundang perpajakan. Kepatuhan material dapat meliputi
kepatuhan formal. Wajib pajak yang memenuhi kepatuhan material adalah wajib
pajak yang mengisi dengan jujur, lengkap, dan benar Surat Pemberitahuan (SPT)
sesuai ketentuan dan menyampaikannya ke KPP sebelum batas waktu berakhir.

Menurut Chaizi Nasucha, kepatuhan Wajib Pajak dapat diidentifikasi dari
kepatuhan Wajib Pajak dalam mendaftarkan diri, kepatuhan untuk menyetorkan
kembali Surat Pemberitahuan (SPT), kepatuhan dalam penghitungan dan
pembayaran pajak terutang, dan kepatuhan dalam pembayaran tunggakan. Teori
psikologi dalam kepatuhan wajib pajak, yaitu rasa bersalah dan rasa malu,
persepsi wajib pajak atas kewajaran dan keadilan beban pajak yang mereka
tanggung, dan pengaruh kepuasan terhadap pelayanan pemerintah.
Isu kepatuhan dan hal-hal yang menyebabkan ketidakpatuhan serta upaya
untuk meningkatkan kepatuhan menjadi agenda penting di negara-negara maju,
apalagi di negara-negara berkembang. Isu kepatuhan menjadi penting karena
ketidakpatuhan secara bersamaan menimbulkan upaya menghindarkan pajak, cara

yang dilakukan sering ketidakpatuhan dengan keterlambatan pembayaran dan
ketidaksesuaian nilai pajak yang dbayarkan. Pada akhirnya ketidakpatuhan dan
menghindari pembayaran pajak mempunyai akibat yang sama, yaitu berkurangnya
penyetoran pajak ke kas negara. Berapa besarnya jurang kepatuhan (tax gap),
yaitu selisih antara penerimaan yang sesungguhnya dengan pajak potensial dengan
tingkat kepatuhan dari masing-masing sektor perpajakan merupakan pengukuran
yang lebih akurat atas efektivitas administrasi perpajakan. Penyebab tax gap
terutama lemahnya administrasi perpajakan. Keberhasilan pengumpulan pajak
hanyalah merupakan akibat semakin sempitnya jurang kepatuhan. Semakin patuh
rakyat membayar pajak berarti jurang kepatuhan semakin sempit dan berarti
pemungutan pajak lebih berhasil. Sebaliknya, semakin lebar jurang kepatuhan
maka semakin sedikit pajak yang berhasil dikumpulkan. Upaya mengurangi

kesenjangan kepatuhan dilakukan melalui penyempurnaan sistem administrasi
perpajakan.
Rendahnya tax ratio menunjukkan terdapatnya kesenjangan yang tajam di
mana hal ini terkait erat dengan administrasi pajak. Masalah lemahnya
administrasi perpajakan dialami oleh banyak negara sedang berkembang.
Pada hakekatnya kepatuhan wajib pajak dipengaruhi oleh kondisi sistem
administrasi perpajakan yang meliputi pelayanan pajak dan peningkatan

pemahaman wajib pajak. Langkah-langkah perbaikan administrasi diharapkan
dapat mendorong kepatuhan wajib pajak melalui dua cara yaitu pertama, wajib
pajak patuh karena mendapatkan pelayanan yang baik, cepat, dan menyenangkan
serta pajak yang mereka bayar akan bermanfaat bagi pembangunan bangsa.
Kedua, wajib pajak akan patuh karena mereka berpikir bahwa mereka akan
mendapat sanksi berat akibat pajak yang tidak mereka laporkan terdeteksi sistem
informasi dan administrasi perpajakan serta kemampuan crosschecking informasi
dengan instansi lain.
Administrasi perpajakan harus dapat meningkatkan kepatuhan pembayar
pajak. Tiga strategi dalam meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak melalui
administrasi perpajakan, yaitu pertama dengan membuat program dan kegiatan
yang diharapkan dapat menyadarkan dan meningkatkan kepatuhan sukarela,
khususnya bagi Wajib Pajak yang belum patuh, kedua adalah meningkatkan
pelayanan terhadap Wajib Pajak yang relatif sudah patuh sehingga tingkat
kepatuhannya dapat dipertahankan atau ditingkatkan, ketiga meningkatkan
kepatuhan dengan program dan kegiatan yang dapat memerangi ketidakpatuhan
(combatting noncompliance).

Kewajiban perpajakaan adalah merupakan perwujudan dari pengabdian
dan sarana peran serta wajib pajak untuk secara langsung dan bersama-sama

melaksanakan perpajakan yang diperlukan untuk pembiayaan negara dan
pembangunan nasional dengan tanggung jawab atas kewajiban pelaksanaannya
dipercayakan sepenuhnya kepada anggota masyarakat (Kustadi Arianta, 2004:4).
Keseluruhan faktor-faktor yang mempengaruhi kesadaran wajib pajak
terhadap kewajiban perpajakannya, jelas bahwa jika semakin tinggi keseluruhan
faktor-faktor tersebut maka kesadaran wajib pajak akan kewajiban perpajakannya
akan terpenuhi. Hal ini berarti bahwa kesadaran wajib pajak akan terjadi apabila
didukung oleh kesemua faktor-faktor tersebut. Faktor tersebut yaitu keadaan,
peristiwa yang ikut menyebabkan atau mempengaruhi terjadinya sesuatu
(Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1999). Berdasarkan pengertian diatas,
hal-hal atau keadaan-keadaan yang dapat melatar belakangi Wajib Pajak
mematuhi dan menunaikan kewajibanya membayar pajak adalah :
a. Penerapan tarif pajak yang sesuai dengan kondisi objek dan subjek pajak
sangat penting sehingga memenuhi unsur keadilan dari segi ekonomi dan
tidak terlalu membebani atau memberatkan bagi masyarakat Wajib Pajak
dalam menunaikan kewajibannya untuk membayar Pajak Bumi dan
Bangunan.
b. Masyarakat Wajib Pajak akan semakin patuh melaksanakan kewajibannya
dibidang perpajakan apabila dilayani dengan sangat baik oleh aparat pajak,
oleh sebab itu diperlukan pelayanan yang berkualitas dalam melayani para

Wajib Pajak tersebut.

c. Penerapan sanksi yang tegas terhadap WP yang tidak melaksanakan
kewajiban perpajakannnya akan memberikan efek jera untuk tidak
mengulangi kesalahan tersebut dan juga menjadi contoh untuk WP yang lain
sehingga tidak melakukan hal yang sama.
d. Efektivitas sistem perpajakan sangat diperlukan sehingga WP pajak tidak
dihadapkan kepada birokrasi yang bertele-tele dalam mengurus segala
sesuatu yang berhubungan dengan perpajakannya.
e. Pengetahuan Wajib Pajak tentang pajak Pengetahuan Wajib Pajak tentang
pajak adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seorang Wajib Pajak
atau kelompok Wajib Pajak dalam usaha mempelajari, mengetahui dan
memahami segala hal mengenai perpajakan melalui upaya pengajaran dan
latihan. Diharapkan semakin tinggi pengetahuan seseorang tentang pajak
akan semakin meningkatkan kepatuhan orang tersebut dalam membayar
pajak.
f. Tingkat pendidikan sesorang akan menentukan cara seseorang mengetahui
dan memahami peraturan perpajakan, semakin tinggi tingkat pendidikan
seseorang akan semakin mudah untuk mengetahui dan memahami
pengetahuan


tentang

perpajakan

dan

diharapkan

akan

semakin

meningkatkan kepatuhan dalam membayar pajak.
g. Manfaat pajak yang dirasakan Wajib Pajak. Manfaat pajak yang dirasakan
Wajib Pajak adalah guna atau faedah atau baik dan buruknya pajak yang
dapat diterima atau dirasakan oleh Wajib Pajak.

h. Sikap Optimis Wajib Pajak terhadap pajak. Sikap optimis Wajib Pajak
terhadap pajak adalah pandangan yang mengandung harapan baik karena

tidak khawatir akan rugi atau tidak untung dari Wajib Pajak terhadap pajak.

2.3. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Sejarah asal mulanya Pajak Bumi dan Bangunan yang merupakan salah satu
pajak tertua di Indonesia, pada zaman kolonial Belanda pajak atas tanah
(landrent) diganti dengan nama Pajak Bumi. Kemudian setelah Indonesia
merdeka tahun 1959 diubah namanya menjadi Pajak Hasil Bumi berdasarkan UU
No.11 Prp tahun 1959. Pada masa itu obyek pajak yang dikenakan tidak lagi nilai
tanah melainkan hasil yang keluar dari tanah. Dengan pemberian Otonomi dan
Desentralisasi kepada Pemerintah Daerah, Pajak Hasil Bumi kemudian diubah
namanya menjadi Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA), hasilnya diserahkan pada
Pemerintah Daerah walaupun pajak tersebut masih merupakan pajak pusat. Hasil
IPEDA tersebut digunakan untuk membiayai Pembangunan Daerah.
Pada tahun 1983 pemerintah mengadakan reformasi pajak untuk pertama
kalinya dan menghasilkan salah satunya UU No.12 Tahun 1985 tentang Pajak
Bumi dan Bangunan dan mulai berlaku secara efektif sejak 1 Januari 1986, yang
merupakan landasan hukum dalam pengenaan pajak sehubungan dengan hak atas
bumi dan/atau bangunan, memperoleh manfaat atas bumi dan/atau bangunan,
memiliki dan menguasai atas bangunan.


Terakhir peraturan Pajak Bumi dan Bangunan berdasarkan UU No.12 tahun
1994 sebagai pengganti dari UU No. 12 tahun 1985, dengan berpegang teguh
pada prinsip kepastian hukum dan keadilan, maka arah dan tujuan penyempurnaan
undang-undang ini adalah sebagai berikut :
1. Menunjang kebijaksanaan pemerintah menuju kemandirian bangsa dalam
pembiayaan pembangunan yang sumber utamanya berasal dari penerimaan
pajak.
2. Lebih memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat untuk
berpartisipasi dalam pembiayaan pembangunan sesuai dengan kemampuannya.
Berlandaskan pada arah dan tujuan penyempurnaan tersebut, maka dalam
penyempurnaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985, diatur kembali
ketentuan-ketentuan mengenai Pajak Bumi dan Bangunan yang dituangkan dalam
Undang-undang tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985
tentang Pajak Bumi dan Bangunan, dengan pokok-pokok antara lain sebagai
berikut :
1. Untuk lebih memberikan keadilan dalam pengenaan pajak, diatur ketentuan
mengenai besarnya Nilai Jual Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP)
untuk setiap Wajib Pajak.
2. Memperjelas ketentuan mengenai upaya banding ke badan peradilan pajak.


2.4. Fungsi Pajak dalam Pembangunan
Pajak mempunyai dua fungsi utama, yaitu fungsi budgetair dan regulator.
Sebagai fungsi budgetair, pajak merupakan alat untuk mengumpulkan dana
melalui Kas Negara bagi pembiayaan pembangunan. Pemerintah sangat

mengharapkan penerimaan negara selalu meningkat karena pajak merupakan
sumber penerimaan negara yang utama. Sebagai fungsi regulator, pajak
dimaksudkan untuk mengatur perekonomian yang sesuai dengan kebijakan
pemerintah. Artinya, pajak dapat digunakan oleh pemerintah sebagai alat untuk
menjalankan peranannya. Peranan pemerintah dalam arti luas adalah mengatur
kegiatan-kegiatan produsen dan konsumen mencapai tujuan masing-masing.
Bohari (2004) menjelaskan : Pembangunan hanya dapat terlaksana dengan
biaya yang cukup tersedia pada kas Negara. Untuk itu pajak merupakan sumber
penerimaan terbesar dalam keuangan Negara. Pajak memegang peranan dalam
keuangan Negara lewat tabungan pemerintah atau saving yang disalurkan ke
sektor pembangunan. Tabungan pemerintah ini diperoleh melalui surflus
penerimaan rutin setelah dikurangi dengan pegeluaran rutin. Penerimaan rutin
seperti : penerimaan dari sektor pajak restribusi, Bea dan Cukai, hasil perusahaan
Negara, denda dan sitaan. Penerimaan rutin ini adalah untuk membiayai
pengeluaran rutin dari pemerintah seperti : gaji pegawai, pembelian alat-alat tulis
menulis, ongkos pemeliharaan gedung pemerintah, bunga dan angsuran
pembayaran hutang-hutang dari Negara lain, tunjangan sosial dan sebagainya.
Menurut Peraturan Pemerintah No.12 Tahun 2000 tentang Pajak Bumi dan
Bangunan dapat dijelaskan, diantaranya :
a. Bahwa pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang sangat
penting artinya bagi pelaksanaan dan peningkatan pembangunan nasional
sebagai

pengamalan

Pancasila

yang

bertujuan

untuk

meningkatkan

kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, dan oleh karena itu perlu dikelola
dengan meningkatkan peranserta masyarakat sesuai dengan kemampuannya.

b. Bahwa bumi dan bangunan memberikan keuntungan dan/atau kedudukan
sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai suatu
hak atasnya atau memperoleh manfaat dari padanya, dan oleh karena itu wajar
apabila mereka diwajibkan memberikan sebagian dari manfaat atau
kenikmatan yang diperolehnya kepada negara melalui pajak.
c. Bahwa sesuai dengan amanat yang terkandung dalam Garis-garis Besar Haluan
Negara (GBHN) tahun 1983 perlu diadakan pembaharuan sistem perpajakan,
sehingga dapat mewujudkan peranserta dan kegotongroyongan masyarakat
sebagai potensi yang sangat besar dalam pembangunan nasional.

2.5. Subyek dan Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
a. Subyek Pajak Bumi dan Bangunan
Pajak Bumi dan Bangunan dikenakan atas bumi dan atau bangunan. Subyek
Pajak Bumi dan Bangunan adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai
suatu hak atas bumi, dan atau memperoleh manfaat atas bumi, dan atau
memperoleh manfaat atas bangunan. Dengan demikian subyek pajak tersebut
diatas menjadi wajib pajak PBB.
Jika subyek pajak dalam waktu yang lama berada diluar wilayah letak obyek
pajak sedangkan perawatannya dikuasakan kepada orang atau badan, orang atau
badan yang diberi kuasa dapat ditunjuk sebagai wajib pajak oleh Direktur Jenderal
Pajak (DJP). Namun penunjukkan tersebut bukan merupakan bukti kepemilikan.
Subyek Pajak yang ditetapkan seperti pada contoh diatas dapat memberikan
keterangan secara tertulis kepada DJP bahwa kuasa tersebut bukan wajib pajak
terhadap obyek pajak yang dimaksud. Apabila keterangan wajib pajak disetujui,

maka DJP membatalkan penetapan sebagai wajib pajak dalam jangka waktu satu
bulan sejak diterimanya surat keterangan dimaksud. Namun bila tidak disetujui,
DJP mengeluarkan Surat Keputusan penolakan disertai dengan alasan-alasan.
Selanjutnya setelah jangka waktu satu bulan sejak diterima Surat Keterangan
ternyata DJP tidak memberi keputusan keterangan yang telah pernah diajukan
dianggap disetujui.
b. Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Sebagaimana penjelasan diatas bahwa obyek pajak pada paper ini adalah
PBB P2, yang mana obyek pajaknya adalah bumi dan atau bangunan yang
dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan kecuali
kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan dan
pertambangan. Pengertian bumi adalah permukaan bumi yang ada dibawahnya,
sedangkan bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan
secara tetap pada tanah, yang diperuntukkan sebagai tempat tinggal.
Termasuk dalam pengertian bangunan adalah :
1)

Jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti
hotel, pabrik, dan emplasemennya, dan lain-lain yang merupakan satu
kesatuan dengan kompleks bangunan tersebut;

2)

Jalan Tol

3)

Kolam renang

4)

Pagar mewah

5)

Tempat olahraga

6)

Galangan kapal, dermaga

7)

Taman mewah

8)

Tempat penampungan / kilang minyak, air dan gas, pipa minyak

9)

Fasilitas lain yang memberikan manfaat. (Waluyo,2004).
Menurut Perda Kota Medan No.3 Tahun 2011 tentang PBB Perkotaan dan

Pedesaan. Dijelaskan sebagai berikut : Pasal 2.
(1) Dengan nama Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan dipungut

pajak atas Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau
dimanfaat oleh orang pribadi atau Badan.
(2) Objek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah Bumi

dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang
pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha
perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
(3) Termasuk dalam pengertian bangunan adalah :

a. jalan lingkungan yang terletak dalam satu kompleks bangunan seperti
hotel, pabrik dan emplasemennya, yang merupakan satu kesatuan dengan
kompleks bangunan tersebut;
b. jalan tol;
c. kolam renang;
d. pagar mewah;
e. tempat olah raga;
f. galangan kapal, dermaga;
g. taman mewah;
h. tempat penampungan/kilang minyak,air dan gas, pipa minyak; dan i.
menara.

(4) Objek Pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan

Perkotaan adalah objek pajak yang :
a. digunakan

oleh

Pemerintah

dan

Daerah

untuk

penyelenggaraan

pemerintahan;
b. digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang
ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional yang
tidak dimaksud untuk memperoleh keuntungan;
c. digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis
dengan itu;
d. merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional
dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
e. digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas
perlakuan timbal balik; dan
f. digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang
ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.
(5) Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak disesuaikan sebesar

Rp.15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
Pasal 3
(1) Subjek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah orang
pribadi atau Badanyang secara nyata mempuyai suatu hak atas Bumi
dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi,dan/atau memiliki, menguasai,
dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
(2) Wajib Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah orang
pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi

dan/atau

memperoleh

manfaat

atas

Bumi,

dan/atau

memiliki,

menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
(3) Dalam hal Objek Pajak belum jelas diketahui Wajib Pajaknya, Kepala
Daerah dapat menetapkan Subjek Pajak sebagai Wajib Pajak.
(4) Subjek Pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat
memberikan keterangan secara tertulis kepada Kepala Daerah bahwa ia
bukan Wajib Pajak terhadap Objek Pajak dimaksud.
(5) Bila keterangan yang diajukan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) disetujui , maka Kepada Kepala Daerah membatalkan
penetapan sebagai Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dalam jangka waktu 1 (satu ) bulan sejak diterima surat keterangan
dimaksud.
(6) Bila keterangan yang diajukan itu tidak disetujui, maka Kepala Daerah
mengeluarkan keputusan penolakan dengan disertai alasan-alasannya.
(7) Apabila setelah jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya
keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) Kepala Daerah tidak
memberikan keputusan, maka keterangan yang diajukan itu dianggap
disetujui dan Kepala Daerah segera membatalkan penetapan sebagai
Wajib Pajak.
Pasal 4
(1) Dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
adalah NJOP.

(2) Besarnya NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (
tiga ) tahun, kecuali untuk Objek Pajak tertentu dapat ditetapkan setiap
tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya.
(3) Penetapan besarnya NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
oleh Kepala Daerah.
Pasal 5
Tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan ditetapkan
sebagai berikut :
a.

untuk NJOP sampai dengan Rp. 1.000.000.000,00 ( satu milyar rupiah )
ditetapkan sebesar 0,2 % ( nol koma dua persen ) pertahun;

b.

untuk NJOP diatas Rp. 1.000.000.000,00 ( satu milyar rupiah ) ditetapkan
sebesar 0,3 % ( nol koma tiga persen ) pertahun.
NJOPTKP terbaru tahun 2012 (Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak)

PMK no. 67/PMK.03/2011 tentang penyesuaian besarnya NJOPTKP Bumi dan
Bangunan Adalah batasan Nilai Jual Objek Pajak atas Bumi atau/dan Bangunan
yang berdasarkan PMK no. 67/PMK.03/2011 pasal 2 (2) adalah Rp. 24.000.000,untuk tahun 2012. Ketentuannya adalah sbb :
a. Setiap WP mendapatkan pengurangan NJOPTKP 1 kali dalam 1 tahun.
b. Jika WP memiliki beberapa objek pajak, akan tetapi hanya 1 objek pajak
tersebut yang nilainya paling besar yang memperoleh fasilitas pengurangan
NJOPTKP, serta tidak boleh digabung dengan objek-objek pajak yang
lainnya.

Penghitungan PBB terbaru tahun 2012
Dasar untuk menghitung PBB adalah NJKP / Nilai Jual Kena Pajak, Yaitu
Sbb :
a. 40 % untuk Perkebunan, Kehutanan, dan Pertambangan.
b. sedangkan untuk objek pajak yang lainnya / perkotaan dan pedesaan
adalah :
1. 40 % Jika NJOP > Rp. 1.000.000.000,dan
2. 20 % Jika NJOP < Rp. 1.000.000.000,Tarif untuk PBB adalah = 0,5 %
Tarif baru PBB adalah = 0,3%, kemudian direvisi berdasarkan revisi
Perda No. 3 Tahun 2011 tentang PBB pada tahun 2012 maka NJOP diberlakukan
tarif yaitu untuk NJOP Rp0-500 sebesar 0,115 persen, untuk Rp 500 juta – Rp 1
milyar sebesar 0,125 persen. Untuk NJOP Rp 1-2 milyar besarnya 0,215 persen.
NJOP Rp 2 milyar – Rp 4 milyar 0,225 persendan untuk di atas Rp 4 milyar
dikenakan sebesar 0,275 persen.
Rumus Perhitungan PBB
Rumus penghitungannya adalah :
PBB = NJOP x Tarif yang berlaku
- Contoh perhitungan Jika NJOP
0,125%
Misal :

Rp. 1.000.000.000,- maka tarifnya adalah

Tahun 2012 pada tanggal 1 Januari menjual sebidang tanah perkebunan
kepada Khaira dengan nominal sebesar Rp. 1.000.000.000,- maka perhitungannya
adalah sbb:
= 0,125% x 1.000.000.000 = 1.250.000
Maka PBB terutangnya adalah Rp.1.250.000
Tahun 2012 pada tanggal 1 Januari menjual sebidang tanah perkebunan
kepada Khaira dengan nominal sebesar Rp. 924.000.000,- maka perhitungannya
adalah sbb:
= 0,115 x 924.000.000
= Rp.1.062.600,Maka PBB terutang adalah Rp.1.062.600,Saat Terutangnya PBB
Berdasarkan Pasal 8 ayat 2 UU no. 12 tahun 1985 yang telah diubah
menjadi UU no. 12 tahun 1994 maka terutang nya PPB adalah pada tgl 1 Januari
tahun berjalan. Dengan begitu segala perubahan atau mutasi atas Objek-objek
Pajak yg terjadi setelah tgl 1 Januari maka akan dikenakan pajak ditahun
setelahnya/berikutnya.

2.6. Penelitian Terdahulu
Penelitian yang berkaitan dengan judul ini telah dilakukan oleh peneliti
sebelumnya adalah ;
1.

Penelitian yang dilakukan oleh Anton Sitanggang (2001) dengan judul
Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Penerimaan Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB) Daerah Istimewa Yokyakarta, penelitiannya menggunakan

analisis liniear berganda dengan metode OLS, menghasikan bahwa jumlah
surat penagihan, jumlah wajib pajak, Dana Prasarana pembangunan dan
PDRB perkapita secara keseluruhan berpengaruh signifikan terhadap
penerimaan PBB D.I Yokyakarta. Hasil penelitian mengenai surat penagihan
yaitu merupakan salah satu cara efektif untuk membuat wajib pajak ingat dan
sadar akan pajak. Sistem ini ternyata memberikan pengaruh positif dan
signifikan terhadap penerimaan PBB di Yogyakarta. Melalui surat ini, wajib
pajak akan sadar mengenai kewajiban pajaknya dan mengetahui secara pasti
jumlah pajak dan sanksi apa yang akan diterimanya jika tidak patuh dalam
membayar pajak.
2.

Penelitian yang dilakukan oleh Hadi (2005), dengan judul Analisis FaktorFaktor yang Mempengaruhi Penerimaan PBB Studi Kasus di Kabupaten
Banyumas, penelitiannya menggunakan analisis liniear berganda dengan
metode OLS, menghasilkan bahwa PDRB perkapita, wajib pajak, inflasi, luas
lahan, jumlah bangunan dan resesi ekonomi berpengaruh positif terhadap
penerimaan PBB dan krisis moneter berpengaruh negatif. Hasil penelitian
mengenai jumlah wajib pajak yang positif dan signifikan menjelaskan bahwa
kesadaran wajib pajak di Kabupaten Banyumas untuk membayar PBB
ternyata cukup tinggi dan berdampak positif dengan semakin meningkatnya
penerimaan PBB. Hal ini juga tidak terlepas dari pengaruh ketaatan
masyarakaat Kabupaten Banyumas yang lebih banyak tinggak di pedesaan
dalan membayar PBB.

3.

Penelitian yang dilakukan Haryoshi Utami (2011) dengan judul Analisis
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan PBB di Kota Bukit Tinggi,
penelitiannya menggunakan analisis liniear berganda dengan metode OLS,
menghasilkan bahwa faktor wajib pajak berpengaruh positif dan signifikan,
efektivitas pemungutan pajak yang mengatur hubungan antara hasi pungut
pajak dengan potensi pajaknya berpengaruh positif dan signifikan yang dan
faktor terakhir adalah efisiensi yang menunjukan hubungan negatif antara
realisasi pajak dengan penerimaan di Bukit Tinggi yang artinya semakin
tinggi efisiensi pajak maka semakin rendah realisasi penerimaannya.
Berdasarkan hasil penelitian ini, ketiga faktor di atas merupakan faktor atau
variabel yang sangat kuat dalam menentukan penerimaan PBB di kota Bukit
Tinggi.

4.

Penelitian yang dilakukan oleh Nastiti (2008) dengan judul penelitian FaktorFaktor yang Mempengaruhi Penerimaan PBB dan Dampaknya terhadap
Penerimaan Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kendal), penelitiannya
menggunakan analisis liniear berganda dengan metode OLS, menghasikan
bahwa berdasarkan hasil pengujian hipotesis secara parsial dengan uji-t hanya
PDRB perkapita, yang berpengaruh positif dan signifikan terhadap
penerimaan PBB sedangkan wajib pajak, luas lahan, jumlah penduduk
berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap penerimaan PBB. Faktor
wajib pajak dan jumlah penduduk berpengaruh negatif dikarenakan
Kabupaten Kendal masih merupakan pedesaan yang belum berkembang
sehingga jumlah penduduk dan wajib pajaknya tidak banyak. Lahan di
Kabupaten Kendal juga tidak luas sehingga tidak desa tidak bisa

dikembangkan maksimal untuk memberikan kontribusi PBB yang lebih
besar.
5.

Penelitian yang dilakukan Ade Viera Fransiska ( 2012) dengan judul Analisis
Pengaruh Pengetahuan Perpajakan, Tingkat Pedidikan, Akses Informasi,
Kualitas Pelayanan, Sosialisasi Peraturan, Perpajakan dan Akses Fasilitas
Terhadap Jumlah Tunggakan Pajak Penghasilan Orang Pribadi di KPP
Pratama Medan untuk Magister Ekonomi Pembangunan Universitas Sumatera
Utara, penelitiannya menggunakan analisis liniear berganda dengan metode
OLS, Menyimpulkan bahwa Pengetahuan perpajakan secara parsial memiliki
pengaruh negative terhadap tunggakan PPh Orang Pribadi, Tingkat
pendidikan secara parsial memiliki pengaruh positif terhadap tunggakan PPh
Orang Pribadi, Akses Informasi memiliki pengaruh positif terhadap
tunggakan PPh OP, Kualitas Pelayanan secara parsial memiliki pengaruh
positif terhadap tunggakan PPh OP, Sosialisasi Peraturan Perpajakan secara
parsial memiliki pengaruh positif terhadap tunggakan PPh OP, Akses
Fasilitas secara parsial memiliki pengaruh positif terhadap tunggakan PPh
OP.

2.7. Kerangka Konseptual
Penerapan tarif pajak yang sesuai dengan kondisi objek dan subjek pajak
sangat penting sehingga memenuhi unsur keadilan dari segi ekonomi dan tidak
terlalu membebani atau memberatkan bagi masyarakat Wajib Pajak dalam
menunaikan kewajibannya untuk membayar Pajak Bumi dan Bangunan. Seperti
yang dinyatakan Arthur Laffer (1974) kemudian dipopulerkan oleh Wanniski

melalui artikel yang ditulisnya pada The Public Interest (1978) bahwa Tarif pajak
yang diberlakukan adalah dalam bentuk persentase (%) dan dimulai dari titik
terendah 0% sampai dengan titik tertinggi 100%, artinya apabila diberlakukan
tarif 0% maka penerimaan pajak juga akan 0 jadi walaupun masyarakat akan
patuh membayar pajak tetapi tidak ada artinya apabila penerimaan pajak 0, dan
apabila diberlakukan tarif 100% maka secara rasional, akan memberikan
disinsentif kepada pembayar pajak untuk tidak bekerja, karena seberapa pun
hasilnya akan digunakan semuanya untuk membayar pajak. Akibatnya masyarakat
justru tidak akan patuh membayar pajak karena terlalu memberatkan dan
penerimaan pajak juga tidak akan tercapai. Jadi sangat diperlukan pengkajian
yang mendalam oleh pemerintah sebelum menetapkan tarif pajak. Karena apabila
tarif pajak yang ditetapkan sudah sesuai dan optimal maka akan mempengaruhi
kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak dan dengan sendirinya penerimaan
negara dari sektor pajak juga akan meningkat.
Dalam kondisi masyarakat puas dengan pelayanan yang diberikan
kepadanya, maka mereka cenderung melaksanakan kewajiban perpajakannya
dalam membayar pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku sehingga
berdampak pada meningkatnya penerimaan negara dari sektor pajak. Masyarakat
Wajib Pajak akan semakin patuh melaksanakan kewajibannya dibidang
perpajakan apabila dilayani dengan sangat baik oleh aparat pajak, oleh sebab itu
diperlukan pelayanan yang berkualitas dalam melayani para Wajib Pajak tersebut.
Penerapan sanksi yang tegas terhadap WP yang tidak melaksanakan
kewajiban perpajakannnya akan memberikan efek jera untuk tidak mengulangi
kesalahan tersebut dan juga menjadi contoh untuk WP yang lain sehingga tidak

melakukan hal yang sama. Jadi disamping pemerintah menetapkan tarif yang
sesuai, pelayanan yang berkualitas dan memberikan berbagai kemudahan dalam
pengurusan pajak, juga harus ditegakkan hukum bagi WP yang melanggar
ketentuan perpajakan, hal ini juga akan mempengaruhi kepatuhan WP dalam
membayar pajak.
Efektivitas sistem perpajakan sangat diperlukan sehingga WP tidak
dihadapkan kepada birokrasi yang bertele-tele dalam mengurus segala sesuatu
yang berhubungan dengan perpajakannya. Dalam kondisi sistem perpajakan
memberikan kemudahan, ketepatan waktu, kenyamanan dan tidak bertele-tele
dalam mengurus pajak maka WP akan dengan senang hati datang ke kantor pajak
untuk

menunaikan

kewjibannya

dibidang

perpajakan

sehingga

akan

meningkatkan kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak.
Sebagian besar wajib pajak memperoleh pengetahuan perpajakan dari petugas
pajak, selain itu juga ada yang diperoleh dari radio, televisi, majalah pajak, surat
kabar, internet, buku perpajakan, konsultan pajak, seminar pajak, dan ada pula yang
diperoleh dari pelatihan pajak. Pengetahuan tentang perpajakan belum secara
komprehensif menyentuh dunia pendidikan, kecuali mereka yang menempuh
pendidikan jurusan perpajakan.
Pada tahun-tahun terakhir ini Direktorat Jenderal Pajak telah menunjukkan
upaya melakukan sosialisasi baik langsung maupun tidak langsung. Langkah ini
tentunya diharapkan mampu meningkatkan pengetahuan wajib pajak. Bertambahnya
wawasan wajib pajak mampu memberikan kesadaran akan pentingnya pajak bagi
mereka, masyarakat, dan negara.

Semakin luas pengetahuan Wajib Pajak tentang peraturan dan ketentuan
perpajakan maka akan semakin meningkat kepatuhan Wajib Pajak sehingga akan
berpengaruh terhadap kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak.
Tingkat pendidikan adalah pendidikan formal yang dilakukan seseorang secara
berjenjang dan berkesinambungan dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi
(Nasution, 1999:10-11).
Pendidikan merupakan indikator yang dominan di dalam meningkatkan
kualitas sumber daya manusia. Sedangkan sumber daya manusia merupakan salah satu
variabel yang berpengaruh terhadap keberhasilan suatu negara di dalam mewujudkan
tujuan nasionalnya (Hutagaol, 2005).
Tingkat pendidikan Wajib Pajak dapat mempengaruhi pemahaman Wajib
Pajak akan peraturan dan ketentuan perpajakan karena pendidikan berfungsi sebagai
alat pentransfer pengetahuan. Lebih dari itu pendidikan mampu merubah mental
masyarakat khususnya pada masyarakat Wajib Pajak akan terbentuk mental yang
secara sadar memenuhi kewajiban perpajakannya sehingga hal ini akan berpengaruh
pada kepatuhan masyarakat Wajib Pajak dalam membayar pajak.

Tarif PBB
Kualitas Pelayanan

Sanksi PBB
Kepatuhan Membayar PBB
Efektivitas Sistem Perpajakan
PBB
Pengetahuan Wajib Pajak

Tingkat Pendidikan Wajib
Pajak

Gambar 2.1. Kerangka Konseptual Penelitian

2.8. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah :
1. Tarif PBB berpengaruh positif terhadap kepatuhan masyarakat dalam
membayar PBB di Kota Medan
2. Kualitas pelayanan berpengaruh positif terhadap kepatuhan masyarakat dalam
membayar PBB di Kota Medan di Kota Medan
3. Sanksi PBB berpengaruh positif terhadap kepatuhan masyarakat dalam
membayar PBB di Kota Medan
4. Efektivitas sistem perpajakan PBB berpengaruh positif terhadap kepatuhan
masyarakat dalam membayar PBB di Kota Medan

5. Pengetahuan Wajib Pajak berpengaruh positif terhadap kepatuhan masyarakat
dalam membayar PBB di Kota Medan
6. Tingat pendidikan Wajib Pajak berpengaruh positif
masyarakat dalam membayar PBB di Kota Medan.

terhadap kepatuhan