Korelasi Kadar Homosistein Paternal dan Fragmentasi DNA Sperma pada Pasangan dengan Keguguran Berulang Idiopatik Dini

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Keguguran berulang adalah suatu kondisi yang berbeda dengan infertilitas
yang didefinisikan sebagai dua atau lebih kegagalan kehamilan (ASRM, 2008).
Dari semua kehamilan klinis yang terdeteksi, 12-15% dari mereka akan berakhir
dengan keguguran, tapi hanya kurang dari 5% wanita akan mengalami dua
keguguran berturut-turut, dan kurang dari 1% mengalami tiga atau lebih
keguguran berturut turut (Fritz dan Speroff, 2005; Rai dan Regan, 2006). Bila
etiologinya tidak dapat diketahui, maka setiap keguguran memerlukan perhatian
evaluasi yang sistematis untuk menentukan apakah investigasi khusus
diperlukan. Keguguran lebih dari dua kali sudah dapat dipastikan membutuhkan
evaluasi menyeluruh. Keguguran berulang membawa stress psikologis yang
sangat besar dan kesedihan bagi pasangan dan keinginan untuk memiliki
keturunan adalah kebutuhan utama, khususnya dalam budaya timur kita dan
kondisi ini akan membawa masalah bagi keluarga. Sekumpulan pemeriksaan
medis menyeluruh dan dukungan psikologis akan memberikan manfaat bagi
pasangan yang mengalami keguguran berulang.
Keguguran berulang


dikaitkan dengan beberapa penyebab, seperti

kelainan kromosom, sindrom antifosfolipid, gangguan metabolisme, gangguan
hormonal, kelainan rahim, disfungsi kekebalan tubuh ibu, trombofilia, infeksi,
faktor lingkungan dan perilaku (Branch dan Heuser, 2010; Cristiansen et al,
2005). Namun lebih dari setengah dari penyebabnya tidak dapat dijelaskan dan
sebagian besar pendekatan terapi masih kontroversial (Brigham et al, 1999).
Seberapa besar pengaruh sperma abnormal berkontribusi terhadap
terjadinya keguguran berulang belum diketahui secara pasti dan hubungan
antara parameter analisa semen standar dan keguguran berulang masih menjadi
masalah yang kontroversial (Homonnai et al, 1980). Suami dari wanita dengan
keguguran berulang menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam aneuploidi
sperma kromosom, kondensasi kromatin yang abnormal, fragmentasi DNA
sperma,

peningkatan

apoptosis

dan


morfologi

sperma

yang

abnormal

dibandingkan dengan pria fertil (Gill Villa et al, 2007).
Universitas Sumatera Utara

1

2
Etiologi kerusakan DNA sperma hampir sama dengan infertilitas pria,
kebanyakan adalah multi-faktorial dan mungkin disebabkan karena faktor intrinsik
atau ekstrinsik. Faktor intrinsik yang dapat mempengaruhi kerusakan DNA sperma
antara lain defisiensi protamin (Cho et al, 2003), mutasi yang mempengaruhi
kompaksitas DNA (Zini et al, 2001) atau kerusakan proses penggabungan DNA

sperma lainnya (Sharma et al, 2004). Selain itu, usia paternal telah dikaitkan
dengan kerusakan DNA sperma (Singh et al, 2003). Sampai dengan 75%
spermatozoa potensial menyelesaikan proses kematian sel terprogram (apoptosis)
selama spermatogenesis (Hikim et al, 1999). Spermatozoa yang mulai mengalami
proses apoptosis tetapi kemudian terbebas dari proses (apoptosis gagal) juga
mungkin menderita peningkatan kerusakan DNA (Sakkas et al, 2003).
Kadar Reactive Oxygen Species (ROS) yang tinggi terdeteksi dalam cairan
semen 25% pria yang subur dan kerusakan DNA sperma telah dikaitkan dengan
kadar ROS tinggi pada cairan semen (Zini et al, 1993). Faktor eksternal seperti
panas (Bank et al, 2005), agen kemoterapi (Hales et al, 2005), radiasi (Brinkworth
dan Nieschlag, 2000) dan gonadotoksin lainnya (Bian et al, 2004) berhubungan
dengan peningkatan persentase ejakulasi spermatozoa dengan kerusakan DNA.
Meskipun mekanisme yang tepat yang terlibat belum digambarkan, merokok
(Kunzle et al, 2003), peradangan saluran genital (Kessopoulou et al, 1992),
varikokel (Saleh et al, 2003) dan kekurangan hormon (Xing et al, 2003) semua telah
dikaitkan dengan kerusakan DNA meningkat baik dalam binatang percobaan atau
manusia.
Kerusakan DNA sperma dapat diukur dan dinyatakan sebagai Indeks
Fragmentasi DNA sperma (DFI) dengan menghitung jumlah sperma yang
mengalami DNA fragmentasi dan dibandingkan dengan total sperma yang dihitung.

Ambang batas DFI untuk manusia pertama kali dibuat menggunakan data 200
pasangan usia subur diduga berusaha untuk hamil secara alami dalam "Studi
Faktor Infertilitas Pria Georgetown". Data Kesuburan dari studi ini digunakan untuk
menetapkan ambang statistik DFI > 30% untuk 'desiensi signifikan', DFI 15-30%
untuk 'ambang batas' dan DFI < 15% untuk 'status kesuburan tinggi' (Evenson et al,
2006).
Penanganan kerusakan DNA dari sperma dengan antioksidan (Gill Villa et al,
2008) mungkin bermanfaat tetapi tetap masih kontroversial. Homosistein adalah
molekul alami dalam tubuh dan diperlukan dalam tubuh dengan membentuk sistein

Universitas Sumatera Utara

3
dan metionin, yang selanjutnya akan digunakan oleh tubuh. Jika jalur siklus untuk
membentuk sistein atau metionin yang diblokir, maka homosistein dapat
ditingkatkan (Champe dan Harvey et al, 2008).
Beberapa
sianokobalamin

kondisi

dan

seperti

mutasi

defisiensi

Synthase

asam

Beta

folat,

piridoksin

Cystathionine


(CBS)

dan
atau

Methylenetetrahydrofolate Reduktase (MTHFR) mungkin menghambat sintesis
sistein dan metionin dari homosistein (Selhub, 1999). Kondisi dengan peningkatan
kadar homosistein dalam darah yang dikenal sebagai hiperhomosisteinemia. Ada
banyak nilai acuan yang berbeda untuk hiperhomosisteinemia. Kami merujuk pada
ambang di atas 12μmol/L sebagai definisi untuk hiperhomosisteinemia (Malinow,
1993). Peningkatan kadar homosistein telah dilaporkan menyebabkan masalah
tulang, mata (Kang et al, 1992), retardasi mental, keterlambatan perkembangan,
dan proses trombosis (Wilcken dan Dudman, 1989).
Peningkatan kadar homosistein mernyebabkan peningkatan kerusakan DNA
pada sel saraf (Inna et al, 2000) dan sel hati (Liu et al, 2009) dan meningkatkan
kadar ROS. Hubungan antara kerusakan DNA sperma dengan kadar homosistein
cairan semen belum diidentifikasi, apakah ini penyebab sebenarnya, bila kemudian
hal ini benar maka akan dapat dikoreksi dengan penambahan vitamin.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan latar belakang di atas, kami mengusulkan pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
1. Dapatkah fragmentasi DNA sperma menyebabkan keguguran berulang idiopatik
dini?
2. Apakah ada hubungan antara kadar homosistein paternal dengan fragmentasi
DNA sperma?

Universitas Sumatera Utara

4
1.3 Kerangka Theoritis
- FOLAT, B6, B12
- GENETIK
- STATUS GIZI BURUK
- KURANG OLAHRAGA
- USIA >60 TAHUN

- MEROKOK
- MINUM KOPI
- PSORIASIS

- KEGANASAN

- POST STROKE
- POST MCI
- OBAT-OBATAN

HOMOSISTEIN

EXTERNAL
-

USIA >60 TAHUN
PANAS
KEMOTERAPI
RADIASI
GONADOTOXIN
MEROKOK
INFEKSI GENITAL
CRYPTOCHIDISM
KEGANASAN

VARIKOKEL

REACTIVE
OXYGEN
SPECIES (ROS)

MENGGANGGU
PROSES
METILASI DNA

FRAGMENTASI
DNA SPERMA

OOSIT

INTERNAL
-

DEFISIENSI PROTAMIN
MUTASI

DEFEK DNA PACKAGING
ABORTIVE APOPTOSIS

PEMBUAHAN DAN
PEMBELAHAN

EMBRIO KUALITAS BURUK

KEGUGURAN

Universitas Sumatera Utara

5
1.4 Tujuan dari penelitian
1.4.1 Tujuan umum
Untuk melihat adanya korelasi kadar homosistein paternal dan fragmentasi DNA
sperma pada pasangan dengan keguguran berulang idiopatik dini .
1.4.2 Tujuan Khusus
a. Untuk menyelidiki korelasi fragmentasi DNA sperma dan keguguran berulang
idiopatik dini.

b. Untuk menemukan korelasi kadar homosistein paternal dalam serum dan cairan
semen dengan fragmentasi DNA sperma sebagai penyebab keguguran berulang
idiopatik dini.

Universitas Sumatera Utara

6
1.5 Kerangka Konseptual
Laki-laki dari pasangan dengan keguguran berulang idiopatik dini diambil
secara berurutan dari pasien yang mengunjungi klinik untuk pengobatan infertilitas
dilakukan pengujian DNA fragmentasi sperma untuk mengidentifikasi kelompok
dengan DFI tinggi dan DFI normal. Dari kelompok ini, kita lebih lanjut menguji
homosistein untuk mengidentifikasi kelompok yang memiliki tingkat homosistein
tinggi dan kelompok mana yang normal. Dari kelompok pria dengan keguguran
berulang idiopatik, kita akan mengidentifikasi berapa banyak dari mereka yang
termasuk kedalam kelompok dengan DFI tinggi. Selanjutnya, kita akan mencari
kelompok dengan DFI normal atau DFI tinggi yang mana yang mempunyai kadar
tinggi dari kadar homosistein.

Pasangan dengan
keguguran berulang idiopatik
dini

Pemeriksaan DNA
Fragmentation Index
(DFI) Sperma

DFI normal

DFI tinggi

Kadar homosistein

Normal

Meningkat

Kadar homosistein

Normal

Meningkat

Universitas Sumatera Utara

7
1.6 Hipotesis
Kadar homosistein paternal mempengaruhi terjadinya fragmentasi DNA sperma
sebagai penyebab keguguran berulang.

1.7 Manfaat Penelitian
1.7.1 Kontribusi ilmu pengetahuan
Hasil penelitian lebih lanjut akan meningkatkan pemahaman kita tentang hubungan
etiologi fragmentasi DNA sperma dengan keguguran berulang.
1.7.2 Menyediakan wawasan manajemen terapi yang potensial pada pasien.
Sebagian besar, penyelidikan keguguran berulang telah dilakukan pada wanita
tetapi sedikit pada pria. Penelitian seperti investigasi kerusakan sperma sebagai
penyebab keguguran berulang dapat membuka manajemen terapi baru untuk
mengurangi angka kejadian keguguran berulang.
1.7.3 Mengarah ke manajemen terapi baru yang dapat menyebabkan penurunan
tingkat

keguguran dan meningkatkan

kesempatan

untuk kelahiran hidup.

Universitas Sumatera Utara