Korelasi Kadar Homosistein Paternal dan Fragmentasi DNA Sperma pada Pasangan dengan Keguguran Berulang Idiopatik Dini

(1)

8

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Keguguran berulang

Keguguran berulang secara tradisional didefinisikan sebagai tiga atau lebih berturut-turut keguguran yang terjadi sebelum kehamilan 20 minggu paska menstruasi (Bricker dan Farquharsson, 2002). Tapi wawasan baru telah dimasukkan untuk mendefinisikan kembali keguguran berulang sebagai dua atau lebih keguguran karena alasan seperti di bawah ini.

1. Resiko keguguran berulang setelah 2 kali keguguran adalah tinggi sekitar 26% (Roman, 1984).

2. Dorongan dan tuntutan yang kuat dari pasangan untuk mencari penyebab lebih lanjut dan pengobatan.

3. Dalam era modern ini sebagian besar pasangan menikah pada usia lanjut.

Oleh karena itu, mereka tidak ingin menunggu sampai keguguran yang ketiga untuk mencari bantuan pengobatan.

Keguguran berulang dapat menyebabkan perasaan frustasi dan kecewa bagi kedua belah pihak, baik dokter maupun pasien. Berbagai tes diagnostik dan pengobatan telah direkomendasikan dan dipublikasikan secara luas baik dalam literatur medis maupun literatur awam. Namun, hanya sedikit yang telah cukup diuji dengan penelitian yang dirancang tepat. ASRM telah merevisi definisi keguguran berulang dengan mengacu sebagai dua atau lebih keguguran (ASRM, 2008).

2.1.1 Konsepsi dan Pertumbuhan

Memahami pertumbuhan konsepsi dan proses perkembangan kehamilan adalah sangat penting untuk mempelajari teori etiologi dan keguguran.

Ada tiga tahap pertumbuhan konsepsi sebagai berikut (Branch dan Heuser, 2010).

1. Tahap Preembrionik, dimulai dari hari pertama haid dan berlangsung sampai minggu ke-4 kehamilan. Oosit tumbuh menjadi oosit metafase 2 dan berovulasi kemudian dibuahi oleh sperma dan menjadi morulla. Selanjutnya mengalami proses blastulasi berubah menjadi blastokista dan berimplantasi


(2)

pada endometrium. Pra-embrio tumbuh menjadi lempeng bilaminar dan kemudian menjadi lempeng trilaminar.

2. Tahap embrio, dimulai dari minggu 5 sampai 10 minggu kehamilan. Selama tahap ini, lempeng trilaminar berubah menjadi bentuk silinder untuk membentuk kepala dan ekor. Semua proses organogenesis terjadi pada tahap ini.

3. Tahap janin mulai dari minggu 10 kehamilan sampai melahirkan. Tahap ini ditandai dengan pertumbuhan dan diferensiasi semua organ terbentuk pada tahap embrio.

Ada juga dua tahap yang berbeda dalam perkembangan plasenta dan sirkulasi janin ibu. Pada kehamilan normal, ditandai oleh invasi sel trofoblas oleh obstruksi arteri uteroplasenta. Pada 10 minggu pertama kehamilan, hal ini ditandai dengan aliran darah yang sangat terbatas ibu ke dalam jaringan intervili dan ruang intervili diisi dengan cairan acellular dan dalam keadaan hipoksia (Burton et al, 2002). Pada periode ini, oksigenasi ke jaringan embrionik sebagian besar terjadi melalui proses difusi antara jaringan yang berdekatan daripada melalui sistem peredaran darah (Jauniaux et al, 2006). Setelah 10 minggu kehamilan, regresi trofoblas dan dislokasi colokan arteriol dimulai dan memungkinkan inisiasi aliran darah intervili yang sebenarnya dan pada saat yang bersamaan terjadi peningkatan dalam tegangan oksigen intervili (Toth et al, 2010). Konsep dari sirkulasi plasenta dan plasentasi ini adalah penting dan relevan dengan keguguran berulang, yang mana menggarisbawahi kerentanan yang berbeda dari konseptus pada tahap yang berbeda dari konsepsi dan ditandai dengan perbedaan dua diagnosis yang berbeda: keguguran berulang dini (< 10 minggu) dan keguguran berulang lanjut (> 10 minggu). Terminologi lain sebagai keguguran preembrionik atau embrionik dan kematian janin (Harlap et al, 1980). Keguguran embrionik lebih umum daripada kematian janin (Bricker dan Farquharsson, 2002). Perbedaan ini telah menjadi isu penting karena etiologi dan tingkat rekurensi yang berbeda.


(3)

2.1.2 Klasifikasi

Klasifikasi keguguran menurut usia kehamilan acara adalah sebagai berikut: 1. Keguguran Preembrionik (keguguran biokimia) dengan usia kehamilan

0-4 minggu

2. Keguguran Embrionik (keguguran dini) dengan usia kehamilan 4-10 minggu

3. Kematian Janin (keguguran lanjut) dengan usia kehamilan 10-20 minggu

Tabel 1 Klasifikasi keguguran berulang sesuai dengan usia kehamilan

(Direproduksi dari Baziad et al., 2010)

Keguguran

Usia Kehamilan

(minggu)

Jantung Janin (tingkat aktivitas)

Hasil

USG ß-HCG

Preembrioni k/ Keguguran

Biokimia

< 6(0-6) Tidak ada Tidak dapat diidentifikasi +

Embrionik / Keguguran

dini

6-8 (4-10) Tidak ada

Tidak ada kantung kehamilan dengan atau

tanpa janin

+

Kematian janin / keguguran

lanjut

8-20(10-20) Hilang

CRL diidentifikasi dan aktivitas DJJ sebelumnya

diidentifikasi

+


(4)

Klasifikasi keguguran sesuai dengan urutan kejadian adalah sebagai berikut: 1. Abortus Primer adalah kondisi dengan 2 atau lebih keguguran berturut-turut 2. Abortus sekunder adalah kondisi dengan 2 atau lebih keguguran

berturut-turut setelah riwayat kehamilan dengan usia kehamilan di atas 20 minggu 3. Abortus Tersier adalah kondisi dengan keguguran sebelumnya diikuti oleh

kehamilan dengan usia kehamilan di atas 20 minggu dan kemudian diikuti dengan keguguran 2 atau lebih berturut-turut.

Resiko keguguran berturut-turut akan meningkat setelah ada riwayat keguguran sebelumnya. Ini adalah alasan mengapa kita perlu menggali lebih dalam etiologi keguguran berulang karena tingkat kekambuhannya yang tinggi.

Tabel 2 Resiko keguguran dini pada wanita muda (Roma, 1984)

Kelompok Jumlah keguguran % Resiko Abortus Sekunder 0

1 2 3 4 5

12 24 26 32 26 53 Abortus Primer 2 atau lebih 40-45

2.1.3 Insiden

Insidensi dua kali keguguran adalah sekitar 5% dan hanya 1% mengalami tiga atau lebih keguguran dari semua kehamilan (Rai dan Regan, 2006). Angka keguguran spontan di Indonesia adalah 10-15% dan ada sekitar 5 juta kehamilan per tahun di Indonesia yang mengalami keguguran spontan dan diperkirakan sekitar 500.000-7.500.000 per tahun (Azhari, 2002; Baziad et al, 2010). Angka keguguran per tahun adalah sekitar 37 per 1000 wanita usia reproduksi di Indonesia, angka ini cukup tinggi dibandingkan dengan Negara Negara lain di Asia secara keseluruhan: regional sekitar 29 per 1000 wanita usia reproduksi (Guttmacher, 2008). Keguguran berulang adalah sekitar 3-5% di Indonesia (Harijanto, 2010). Di RS Dr.Hasan Sadikin Bandung, kejadian 2 kali keguguran adalah 1,79% (Ningrum et al, 2004).


(5)

Sementara itu di HFC Medan, jumlah kasus keguguran berulang adalah 123 pasien dari seluruh 2876 pasien infertilitas yang berobat, diperkirakan sekitar 4,28% (HFC, 2011).

2.1.4 Etiologi

Banyak etiologi telah dipostulasikan terhadap keguguran berulang, namun kebanyakan masih tetap kontroversial dan diklasifikasikan sebagai idiopatik, di mana tidak ada penyebab yang dapat diidentifikasi pada pasangan. Secara umum diketahui bahwa dalam kelompok idiopatik masih terdapat heterogenitas yang cukup besar dan bahwa tidak mungkin hanya satu mekanisme patologis tunggal yang menyebabkan terjadinya keguguran berulang (Stirrat, 1990). Selain itu, ada perdebatan tentang penyebab dan asosiasi, sebagai mekanisme patofisiologi yang tepat dari etiologi kebanyakan dikenal belum tepat dijelaskan. Penelitian saat ini diarahkan pada teori tentang kegagalan dalam kontrol alamiah terhadap kualitas gamet, implantasi, invasi trofoblastik dan plasentasi, serta faktor-faktor lain yang mungkin seperti embriopatik (Brigham et al, 1999). Kebanyakan wanita, dengan keguguran berulang mungkin memiliki beberapa faktor risiko untuk keguguran (Jauniaux et al, 2006).

Walaupun manfaatnya telah dilaporkan untuk berbagai pengobatan endokrinologik dan imunologik, banyak pendekatan terapi masih kontroversial. Penelitian acak terkontrol terbaru dan meta-analisis yang baru-baru ini diterbitkan dalam literatur internasional menunjukkan beberapa faktor etiologi berdasarkan kedokteran berbasis bukti.

a. Genetik / kromosom penyebab.

Analisis kromosom yang dilakukan dari darah orang tua mengidentifikasi kelainan genetik yang diturunkan kurang dari 5% dari pasangan. Tampaknya kemungkinan etiologi ini akan meningkat pada kelompok dengan: pasangan dengan usia ibu yang rendah <35 tahun, riwayat tiga atau lebih keguguran dari garis keluarga tingkat satu (orang tua atau saudara kandung) (Toth et al, 2010). Translokasi adalah kelainan kromosom yang paling umum diwariskan. Meskipun orang tua dengan kromosom translokasi sering terlihat normal, embrio yang mereka hasilkan dapat menerima materi genetik terlalu banyak atau terlalu sedikit yang dapat mengakibatkan keguguran. Bertolak belakang dengan penemuan yang jarang terjadi dari penyebab genetik yang Universitas Sumatera Utara


(6)

diwariskan, banyak keguguran terjadi karena kelainan kromosom acak pada embrio (Franssen et al, 2005). Bahkan, 50-75% atau lebih dari keguguran dini disebabkan oleh kelainan kromosom secara acak, kelainan kromosom ini biasanya numerik (Fritz dan Speroff, 2005).

b. Usia ibu yang lanjut.

Pada usia 40, lebih dari sepertiga dari seluruh kehamilan, pada usia 43, setengah dari seluruh kehamilan dan setelah usia 45, hampir semua kehamilan akan mengalami keguguran. Sebagian besar embrio memiliki jumlah abnormal kromosom (Fritz dan Speroff, 2005; ASRM 2008).

c. Kelainan hormonal.

Progesteron diperlukan untuk kehamilan agar dapat berlanjut (Pritts dan Atwood, 2002). Masih ada kontroversi mengenai kondisi yang disebut dengan defek fase luteal dimana kadar progesteron rendah selama kehamilan dan ini dinyatakan dapat menyebabkan keguguran (Erdem et al, 2009).

d. Kelainan metabolik.

Diabetes yang tidak terkontrol meningkatkan risiko keguguran pada wanita. Obesitas (Clark et al, 1998) dan Sindrom Ovarium polikistik (PCOS), memiliki resiko yang lebih tinggi terjadinya keguguran karena adanya resistensi insulin (Wang et al, 2001) atau karena meningkatnya kadar androgen dan LH (Clifford, 1996). Pasien dengan gangguan tiroid yang tidak diobati juga dapat mengakibatkan keguguran berulang (Abalovich et al, 2002).

e. Kelainan uterus.

Distorsi rongga rahim dapat ditemukan pada sekitar 10% sampai 15% dari wanita dengan keguguran berulang. Kelainan bawaan seperti uterus didelphys, bicornis, unicornis, septum uterus, sedangkan sindrom ashermann, fibroid dan polip rahim yang merupakan kelainan yang didapat juga menyebabkan keguguran berulang (Salim et al, 2003).

f. Sindrom antifosfolipid.

Tes darah untuk antibodi anticardiolipin, β glicoprotein dan lupus antikoagulan dapat mengidentifikasi wanita dengan sindrom antifosfolipid, yang menyebabkan trombosis pasokan darah ke konsepsi. Sekitar 3% sampai 15% dari keguguran berulang disebabkan oleh kondisi ini (Empson, 2002).


(7)

Kelainan bawaan yang meningkatkan risiko pembekuan darah yang serius (trombosis) juga dapat meningkatkan risiko kematian janin pada semester kedua kehamilan. Namun, tidak ada manfaat yang terbukti untuk pemeriksaan atau pengobatan dengan trombofilia pada keguguran berulang semester pertama kehamilan (Mico dan D'uva, 2009).

h. Rhesus tidak cocok.

Sekarang diketahui bahwa tanpa profilaksis, ada kemungkinan 15% dari imunisasi rhesus menyebabkan konsekuensi bencana keguguran pada kehamilan berikutnya untuk wanita Rhesus negatif dengan suami Rhesus positif (ACOG, 1996).

i. Tidak diketahui

Pada 50-70% pasangan dengan keguguran berulang umumnya tidak diketahui penyebabnya (ASRM, 2008).

j. Infeksi bakteri, virus dan parasit semua bisa mengganggu perkembangan awal kehamilan, tetapi tidak ada yang tampaknya menjadi penyebab signifikan keguguran berulang. Penapisan Toksoplasmosis - Rubella - Cytomegalovirus - Herpes (TORCH) oleh karenanya mempunyai nilai terbatas dalam penyelidikan keguguran berulang, di luar sebuah episode infeksi akut (Charles dan Larsen, 1990).

k. Lingkungan yang mengandung racun seperti pestisida, logam berat seperti air raksa dan timah, pelarut organik, dan konsumsi alkohol yang berlebihan, radiasi pengion (Korrick et al, 2001). Perokok berat, kafein, dan hipertermi juga diduga menyebabkan keguguran berulang (Gardella dan Hill, 2000). l. Faktor laki-laki.

Ada penemuan dari studi yang kontroversial bahwa kerusakan DNA sperma dapat mempengaruhi perkembangan embrio dan kemungkinan dapat menyebabkan keguguran. Namun, data ini masih awal dan tidak diketahui seberapa sering cacat sperma berkontribusi pada keguguran berulang (Hankel et al, 2004).


(8)

2.1.5 Pemeriksaan

Berdasarkan Evidence Based Medicine maka pemeriksaan yang dianjurkan untuk pasangan dengan keguguran berulang adalah berikut:

a. Pemeriksaan status Koagulasi darah.

Wanita dengan riwayat tiga atau lebih keguguran sebelum 10 minggu, atau kematian janin ≥ 10 minggu yang tidak dapat dijelaskan dengan janin morfologis normal, atau lahir prematur ≤ γ4 minggu dengan preeklamsia berat atau insufisiensi plasenta, harus ditawarkan tes Lupus Antikoagulan, antibodi anticardiolipin, antibodi ß2 glycoprotein-1 untuk memastikan

diagnosa sindroma antifosfolipid (Micco and D’uva ,β009; Empson et al, 2002) . Hubungan wanita yang mengalami keguguran <10 minggu dengan trombofilia yang diturunkan, termasuk Faktor V Leiden, defisiensi resistensi protein C teraktivasi, prothrombin G20210A dan defisiensi protein S masih simpang siur. Studi epidemiologi yang lebih besar jelas diperlukan untuk membenarkan pengujian penapisan trombofilia diwariskan dalam praktek klinis rutin (Dawood et al 2003; Bohlmann et al, 2004).

b. Pemeriksaan endokrinologis.

Data-data epidemiologi awal telah menunjukkan hubungan antara keguguran berulang dengan hipotiroidisme atau diabetes mellitus. Meskipun bukti saat ini menunjukkan bahwa hipotiroidisme dan diabetes yang terkendali tidak berkaitan dengan keguguran berulang, tes fungsi tiroid dan pengukuran HbA1c yang akurat dan murah masih dapat dianggap sebagai bagian dari evaluasi keguguran berulang (Mills, dkk, 1994; Abalovich et al, 2002). Obesitas dikaitkan dengan peningkatan risiko yang signifikan secara statistik dengan keguguran berulang semester pertama. Hubungan Sindrom Ovarium Polikistik (PCOS) dan keguguran berulang telah ditunjukkan, dan dapat merupakan akibat dari hubungan antara obesitas dan keguguran (Clark et al, 1998). Gangguan endokrinologi lainnya seperti hipersekresi LH (Regan et al, 1990), resistensi insulin tinggi, hiperandrogenemia (Rai et al, 2000), hiperprolaktinemia (Hukum, 2005) dan defek fase luteal telah dikaitkan dengan keguguran berulang (Karamadian dan Grimes, 1994).


(9)

c. Pemeriksaan imunologis .

Respon imun yang berlebihan terhadap antigen ayah sehingga menghasilkan sel-sel imun yang abnormal dan produksi sitokin telah dan masih dianggap sebagai salah satu penyebab keguguran berulang. Secara khusus, perhatian saat ini difokuskan pada hubungan antara keguguran berulang dan sel Natural Killer (NK). Meskipun banyak bukti-bukti yang bertentangan, studi ini menunjukkan perbedaan kadar darah perifer-sel NK pada wanita dengan keguguran berulang (Tang et al, 2011). Perbedaan fenotipik dan fungsional antara sel-sel darah perifer NK, dan tes untuk mengukur sel-sel NK dalam darah perifer tidak memberikan informasi yang berguna mengenai jumlah sel NK uterus . Dalam konteks ini, pengujian sel darah perifer NK tidak boleh dilakukan secara rutin dalam evaluasi keguguran pada keguguran spontan secara umum dan keguguran berulang pada khususnya (Jauniaux et al, 2006). Keseimbangan antara sitokin Th1 dan sitokin Th2 adalah penting untuk menunjang berlanjutnya kehamilan. Sitokin Th1 membantu penolakan allograft dan sitokin Th2 menghambat respon Th1 (Piccinni, 2006).

d. Pemeriksaan sitogenetika orang tua.

Insiden kelainan struktur kromosom, biasanya berupa translokasi seimbang meningkat pada pasangan dengan keguguran berulang. Semua empat faktor, yaitu usia ibu muda pada keguguran kedua, riwayat tiga atau lebih keguguran, riwayat dari dua atau lebih keguguran pada seorang saudara atau saudari, dan sejarah dari dua atau lebih keguguran pada orangtua pasangan baik dari istri maupun suami akan meningkatkan probabilitas status karier bila ada empat faktor yang digabungkan. Setelah satu keguguran, secara umum masih dapat diterima untuk menahan diri dari pemeriksaan analisa kromosom. Insiden status karier setelah satu keguguran adalah 2,2%. Dengan demikian disarankan untuk merujuk untuk kariotipe orangtua hanya bila probabilitas status carrier ≥ β,β% (Franssen et al, 2005).

e. Pemeriksaan histopatologi dan sitogenetika.

Sementara ini merupakan praktik rutin mengirim produk dari konsepsi untuk pemeriksaan histologis, terutama untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit trophoblastik gestasional, kegunaan pemeriksaan histopatologi Universitas Sumatera Utara


(10)

jaringan plasenta dan / atau janin pada kasus keguguran berulang untuk kepentingan penanganan kehamilan di masa yang akan datang masih harus dipelajari . Secara keseluruhan, tidak tepatnya dalam laporan morfologi vili dan keterbatasan klinis yang bermakna dari temuan tentang adanya aneuploidi pada keguguran sporadis telah membuat banyak penulis menyimpulkan bahwa klasifikasi histologis adalah pemeriksaan klinis yang tidak berharga (Fox et al, 1993).

f. Pemeriksaan kelainan anatomi.

Prevalensi dan dampak malformasi uterus terhadap fungsi reproduksi pada populasi umum belum jelas dapat dipastikan. Secara tradisional, laparoskopi, Histerosalpingografi (HSG) dan / atau histeroskopi telah digunakan untuk mendiagnosa malformasi uterus pada wanita dengan keguguran berulang. USG, USG 3D khususnya, cukup akurat,hasilnya terpercaya , non-invasif, dengan basis rawat jalan untuk diagnosis kelainan kongenital rahim. Telah dilaporkan bahwa wanita dengan rahim ber septum memiliki insiden yang lebih tinggi keguguran trimester pertama, sedangkan wanita dengan rahim arkuata lebih sering terjadi keguguran pada trimester kedua dan kelahiran prematur (Salim et al, 2003).

g. Pemeriksaan infeksi.

Sangat kecil kemungkinan infeksi pada ibu dapat menyebabkan keguguran berulang. Tidak ada hasil positif dan korelasi keguguran berulang dengan TORCH (Toxoplasmosis - Rubella - Cytomegolavirus - Herpes) dan pemeriksaan klamidia. Di Inggris, sebagian besar unit di rumah sakit telah berhenti melakukan tes ini (Li et al, 2002).

Vaginosis bakterial adalah infeksi vagina yang dapat menyebabkan kelahiran prematur dan kematian janin tetapi tidak terkait dengan keguguran dini (Hay et al, 1994; Trabert dan Misra, 2007; Waters et al, 2008).

2.1.6 Pemeriksaan keguguran berulang dini

Yang diusulkan pemeriksaan untuk keguguran berulang dini untuk menemukan penyebabnya adalah sebagai berikut:

a. Pemeriksaan sitogenetika orangtua

Semua empat faktor, yaitu usia ibu yang masih muda pada keguguran kedua (<35 tahun), riwayat tiga atau lebih keguguran, riwayat dari dua atau lebih Universitas Sumatera Utara


(11)

keguguran pada seorang saudara atau saudari, dan sejarah dari dua atau lebih keguguran pada orangtua dari istri maupun suami dapat meningkatkan kemungkinan status karier yang diperoleh saat ini bila empat faktor digabungkan. Setelah satu keguguran, secara umum diterima untuk menahan diri dari pemeriksaan analisa kromosom. Insiden status karier setelah satu keguguran adalah 2,2%. Dengan demikian disarankan untuk melakukan pemeriksaan untuk kariotipe orangtua hanya bila probabilitas status carrier ≥ β,β% (Franssen et al, β005).

b. Gangguan metabolik

Hanya diabetes yang tidak terkontrol dapat menyebabkan keguguran berulang. Kadar gula darah puasa atau HBA1c cukup untuk penapisan diabetes (Mills et al,1994)

Hipotiroidisme sebagai penyebab keguguran dapat disaring dengan pengujian kadar TSH (Abalovich et al, 2002).

c. Gangguan endokrin reproduksi

Beberapa gangguan endokrin reproduksi adalah:

1. PCOS dapat didiagnosis dari kriteria Rotterdam yang memenuhi setidaknya 2 dari berikut: oligo / anovulasi, tanda biokimia dan / atau klinis hiperandrogenisme; ovarium Polikistik setelah eksklusi gangguan terkait (Wang et al, 2001).

2. Hiperprolakinemia dapat didiagnosis dari tes kadar prolaktin jika> 25 mIU / Ml diidentifikasi sebagai hiperprolaktinemia (UU, 2005).

3. Defek Fase luteal ini dapat didiagnosis dari riwayat menstruasi yang singkat di mana periode menstruasi kurang dari 26 hari atau dengan uji progesteron mid luteal yang <10 ng / dl dianggap sebagai tanda defek fase luteal (Karamadian dan Grimes, 1994).

d. Gangguan imunologi

Wanita dengan riwayat tiga atau lebih keguguran dengan usia kehamilan sebelum 10 minggu, atau kematian konsepsi yang tidak dapat dijelaskan pada ≥ 10 minggu dengan janin morfologis normal, atau lahir prematur ≤ γ4 minggu dengan preeklampsia berat atau insufisiensi plasenta, harus ditawarkan tes Antibodi LupusAnti-koagulan (LAC) dan Anti-cardiolipin (ACL), anti β glikoprotein-1 antibodi untuk mengkonfirmasi diagnose sindrom antifosfolipid (APS) (Micco dan D'Uva, 2009). Universitas Sumatera Utara


(12)

e. Idiopatik

Ketika semua pemeriksaan di atas dinyatakan normal.

Gambar 1 Bagan pemeriksaan Keguguran berulang dini (Dimodifikasi dan direproduksi dari Baziad et al, 2010)

Keguguran berulang

Analisa

Kromosomal

Hormonal

Metabolik Tiroid

DM

Reproduktif PCOS

Hiperprolaktinemia Defek Fase

Luteal

Imunologi

LINGKUNGAN

- Pestisida - Logam berat - Suhu - Radiasi

LIFESTYLE

- Alkohol - Kopi - Merokok


(13)

2.1.7 Pemeriksaan pada kematian janin

Pemeriksaan pada kematian janin meliputi seluruh pemeriksaan pada keguguran berulang dini ditambah dengan pemeriksaan tambahan sebagai berikut:

1 Gangguan hematologi

a. Wanita dengan keturunan trombofilia, termasuk Factor V Leiden defisiensi, resistensi protein C teraktivasi, prothrombin G20210A, dan defisiensi protein S dapat diselidiki dengan pemeriksaan waktu prothrombin, activated prothrombin time (aPTT), protein C, protein S, resitensi protein C teraktivasi, fungsi trombosit (Dawood et al, 2003; Bohlmann et al, 2004). b. Ketidakcocokan rhesus akan menyebabkan keguguran setelah kehamilan

berikutnya dari ibu dengan golongan darah rhesus negatif yang mengandung bayi dari suami dengan golongan darah rhesus positif dengan kemungkinan sebanyak 15% (ACOG, 1996).

2. Kelainan Anatomi

a. Kelainan kongenital rahim seperti rahim unikornuat, septum, didelfis, bikornuat, dan arkuata.

b. Kelainan rahim yang didapat seperti mioma, polip, dan Sindrom Ashermann itu.

c. Serviks inkompeten (Salim et al, 2003).

3. Infeksi cervicitis dan vaginitis yang disebabkan oleh vaginosis bakterial (Waters et al, 2008).


(14)

(15)

2.1.8 Pengelolaan keguguran berulang

Manajemen keguguran berulang berdasarkan pada etiologi nya (Baziad et al, 2010):

A. Kelainan kromosom

Pasien harus diberitahu dan ditawarkan untuk skrining prenatal. Tidak ada pengobatan khusus untuk kelainan genetik yang diturunkan kecuali dengan donor embrio atau sel gamet.

a. Gangguan metabolik

1. Diabetes mellitus, gula darah harus dikontrol dengan menggunakan obat antidiabetik oral seperti kelompok sulfonilurea atau metformin.

2. Hipotiroidisme dapat diobati dengan suplemen tiroksin. b. Gangguan endokrin reproduksi

1. PCOS dan defek fase luteal dapat diobati dengan induksi ovulasi dan obat penyokong fase luteal.

2. Hiperprolaktinemia dapat diobati dengan dopamine agonis seperti bromokriptin.

c. Gangguan imunologi

Sindrom antifosfolipid dapat diobati dengan kombinasi antikoagulan seperti heparin dan agen anti trombotik seperti aspirin dosis rendah.

d. Gangguan hematologi

Trombofilia dapat diobati dengan antikoagulan seperti heparin. e. Kelainan Anatomi

Kelainan rahim dapat dikelola dengan operasi khusus seperti septum dapat diobati dengan reseksi histeroskopi.rahim bikornuat dapat diobati dengan metroplasti. Mioma dapat diobati dengan miomektomi, Sindrom Ashermann bisa diobati dengan histeroskopi adhesiolisis.

Serviks inkompeten dapat dikelola dengan circlage serviks

f. Infeksi bakteri vaginosis dapat diobati dengan antibiotik tertentu seperti metronidazol atau klindamisin.

g. Gaya hidup

Gaya hidup seperti perokok berat, peminum alkohol berlebihan atau peminum


(16)

kopi yang berlebihan harus mengurangi atau berhenti dari kebiasaan itu. Bagi mereka yang bekerja dengan pestisida, logam berat atau lingkungan panas

yang berlebihan harus diubah dan menghindari lingkungan seperti itu. i. Idiopathik

Tidak ada pengobatan spesifik.


(17)

(18)

2.2 Faktor Pria faktor dan keguguran berulang

Banyak aspek wanita telah diteliti untuk mencari berbagai faktor penyebab terjadinya keguguran berulang, tetapi sangat sedikit yang dilakukan terhadap faktor laki-laki. Gamet jantan memberikan kontribusi 50% dari bahan genom untuk embrio dan berkontribusi untuk perkembangan plasenta dan embrio (Sutovsky et al, 2000). Perubahan genetik dan epigenetik sperma oleh karena itu mungkin memiliki konsekuensi penting pada awal kehamilan. Perubahan epigenetik dalam sperma, seperti pengepakan kromatin yang berubah, kesalahan pencetakan, ketiadaan atau perubahan pemendekan, Sentrosom telomer, dan tidak adanya RNA sperma, dapat mempengaruhi beberapa karakteristik fungsional yang menyebabkan keguguran embrio dini(Gill Villa dkk, 2007 ).

Ada standar penilaian faktor pria dengan menggunakan analisis semen standar untuk menilai jumlah, motilitas dan indeks morfologi sperma. Tidak ada asosiasi yang kuat antara keberhasilan fertilisasi dan pembelahan embrio pada program fertilisasi in vitro dengan morfologi sperma berdasarkan Kriteria Kruger, yang menunjukkan bila sperma dengan morfologi yang abnormal akan menghasilkan embrio kualitas buruk . Embrio dengan kualitas yang jelek ini kemudian mungkin akan menyebabkan keguguran berulang, tetapi korelasi keguguran berulang dengan indeks morfologi sperma yang buruk masih belum signifikan (Kazerooni et al, 2009). Semua parameter dalam analisis semen gagal tampil sebagai faktor etiologi yang penting dalam keguguran (Hommonai et al, 1980; Sbracia et al, 1996). Tes fungsi sperma lain seperti uji Hypoosmotik (HOS) , status acrosomal dan dekondensasi kromatin nukleus juga diselidiki dalam kaitan dengan keguguran, tetapi hasilnya masih kontroversial (Saxena et al, 2008; Gill Villa et al, 2010).

Sebuah petanda yang lebih baik dan dapat berkorelasi dengan kelainan sperma diperlukan dalam konteks ini. Salah satu tes yang tersedia adalah tes DNA sperma fragmentasi untuk melihat integritas kromatin sperma . Hasil berkorelasi baik dengan potensi sperma untuk menghasilkan embrio yang akan cukup "kompeten untuk menghasilkan kelahiran hidup". Tingkat kelainan pada materi genetik sperma dinyatakan secara numerik sebagai Fragmentasi DNA Index (DFI) (Evenson et al, 2006). Kerusakan DNA mungkin ada dalam sperma baik pada laki-laki subur maupun tidak subur. Oleh karena itu, analisis Universitas Sumatera Utara


(19)

fragmentasi DNA sperma dapat mengungkapkan kelainan tersembunyi dalam DNA sperma pada pria tidak subur yang saat ini diklasifikasikan sebagai kelainan yang mana tidak dapat dijelaskan dengan parameter sperma normal standar (Irvine et al, 2000). Pria infertil dengan karakteristik analisa sperma yang abnormal menunjukkan peningkatan kadar kerusakan DNA pada sperma mereka. Sperma dari pria infertil dengan sperma yang kelihatan normal dapat terlihat level kerusakan DNA sebanding dengan laki-laki infertil dengan parameter sperma yang abnormal. Data menunjukkan bahwa tes abnormal lebih mungkin terjadi dalam kasus-kasus parameter sperma abnormal. Dengan demikian, uji ini idealnya cocok untuk klinik kesuburan untuk menilai integritas DNA sperma laki-laki dalam kaitannya dengan potensi kesuburan dan perkembangan embrio serta efek dari bahan beracun reproduktif (Saleh et al, 2002).

Fertilisasi dan perkembangan embrio mamalia selanjutnya tergantung sebagian pada integritas yang melekat pada DNA sperma (Ahmadi dan Ng, 1999). Memang, tampaknya ada batas ambang kerusakan DNA sperma (fragmentasi DNA, kemasan kromatin yang abnormal, dan defisiensi protamine) yang mana bila dilewati akan timbul gangguan perkembangan dan kehamilan (Cho et al, 2003). Uji integritas DNA telah dikembangkan dan diterapkan dalam praktek klinis. Namun, data dari studi untuk mengevaluasi pengaruh integritas DNA sperma pada luaran reproduksi belum pernah dianalisis secara sistematis.

2.3 Fragmentasi DNA Sperma

2.3.1 DNA sperma Manusia dan struktur kromatin

Tidak seperti sel somatik kromatin, kromatin sperma sangat erat dipadatkan berdasarkan asosiasi unik di antara DNA, matriks nukleus, dan protein nukleus sperma. Selama tahap akhir pematangan spermatid, kondensasi chromatin dan reorganisasi histon dan digantikan oleh protamin dan hanya 15% DNA yang tetap berkondensasi dengan histon (Gatewood et al, 1990). Dimasukkannya protamin ke dalam inti sperma memungkinkan untai DNA untuk membentuk struktur toroidal (berbentuk donat), memfasilitasi pemadatan yang erat kepala nukleus sperma untuk menyediakan sarana untuk menonaktifkan sementara transkripsi dari genom haploid laki-laki dan untuk menstabilkan DNA sperma (Balhorn, 1998). Hal ini bertujuan untuk melindungi Universitas Sumatera Utara


(20)

integritas genom ayah selama transportasi melalui saluran reproduksi laki-laki dan perempuan dan menjamin DNA ayah disalurkan kedalam proses penyatuan dari dua genom gamet dan mewariskan informasi genetik kepada embrio yang telah terbentuk (Ward dan Zalensky, 1996). Disulfida cross-link inter dan intramolekular antara protamin memungkinkan pemadatan lebih lanjut dan stabilisasi inti sperma, melindungi DNA sperma dari stres eksternal dan kerusakan DNA berikutnya. Kurangnya protamin yang kaya sistein akan menyebabkan instabilisasi DNA sperma. Ada 3 jenis protamin pada manusia. Protein ini kecil, hanya berukuran setengah dari histon dan sangat basa, 55% - 70% mengandung arginin (Cho et al, 2003).

Pria subur dengan parameter semen normal hampir semua memiliki tingkat kerusakan DNA yang rendah, sedangkan laki-laki tidak subur, terutama mereka dengan parameter sperma yang abnormal mempunyai derajat kerusakan DNA yang lebih tinggi. Selain itu, sampai dengan 8% dari pria subur akan memiliki integritas DNA yang abnormal meskipun parameter semen normal (konsentrasi, motilitas, dan morfologi) (Spano et al, 2000).

2.3.2 Etiologi kerusakan DNA sperma

Etiologi kerusakan DNA sperma sama seperti etiologi infertilitas pria, tampaknya multifaktorial dan berupa faktor intrinsik atau eksternal dan sampai sekarang tidak sepenuhnya dipahami.

Gangguan intrinsik yang dapat mempengaruhi kerusakan DNA sperma meliputi: 1. Defisiensi protamin, yang mungkin menyebabkan masalah dalam

pemadatan DNA dan stabilisasi, di mana jika longgar, DNA akan mudah terfragmentasi (Cho et al, 2003; Oliva, 2006).

2. Mutasi yang mempengaruhi merusak proses pemadatan DNA (Gatewood et al, 1990).

3. Defek proses pengemasan DNA. Selama tahap akhir pematangan sperma, untai DNA dipecahkan oleh topoisomerase secara temporer dan ditemukan pada spermatid bulat dan lonjong, sementara itu inti histon dalam spermatid dihancurkan dan digantikan oleh protamin untuk proses pengemasan kromatin ulang. Jika pemecahan sementara DNA tidak diperbaiki karena berlebihan topoisomerase atau kekurangan topisomerase inhibitor maka fragmentasi DNA akan terjadi (Balhorn, 1982; Sharma et al, 2004).


(21)

4. Apoptosis abortif. Sampai dengan 75% spermatozoa potensial menyelesaikan proses kematian sel terprogram (apoptosis) selama spermatogenesis (Hikim et al, 1999). Proses ini bertujuan untuk membatasi garis sel germinal supaya sebanding dengan jumlah sel Sertoli yang mendukung mereka. Spermatozoa yang mulai menjalani apoptosis tetapi kemudian terhindar dari proses ("apoptosis abortif") akan menderita peningkatan kerusakan DNA (Sakkas et al, 2003). Teori ini didukung dengan ditemukannya Fas spermatozoa pada ejakulasi, spermatozoa yang mengandung banyak mitokondria yang apoptotik (Donnelly et al, 2000) dan adanya kehadiran aktivitas endonuklease, salah satu mediator potensial dalam apoptosis (Spadofora, 1998).

5. Tingginya kadar Reactive Oxygen Species (ROS) yang terdeteksi dalam cairan semen 25% dari pria infertil (Agarwal et al, 1994), dan kerusakan DNA sperma telah dikaitkan dengan kadar yang tinggi ROS dalam semen (Zini dan Lamirande, 1993). Sumber utama ROS dalam semen berasal dari leukosit (Ozgocmen et al, 2003) dan morfologi sperma dengan bentuk abnormal (Aitken dan Barat, 1990). Dalam keadaan normal, ROS berguna untuk meningkatkan fungsi sperma untuk kapasitasi, reaksi akrosom dan fusi sperma ke dalam oosist (Gagnon et al, 1991). Jumlah ROS juga dikendalikan oleh antioksidan semen. Ketika ROS berlebihan dibanding jumlah antioksidan semen ,keadaan ini disebut sebagai stres oksidatif (Aitken dan Fisher, 1994), ini akan mengoksidasi asam lemak tak jenuh ganda pada membran sperma dan selanjutnya akan terjadi kerusakan DNA (Lopes et al, 1998).

6. Usia ayah yang lanjut telah dikaitkan dengan kerusakan DNA sperma yang mungkin karena disebabkan proses mutasi dan apoptosis (Singh et al, 2003).

Faktor eksternal yang dapat menyebabkan fragmentasi DNA sperma seperti panas (Bank et al, 2005), agen kemoterapi (Hales et al, 2005), radiasi (Aitken dan Luliis, 2007), dan gonadotoxin lain seperti pestisida, kimia berkaitan dengan peningkatan dalam persentase spermatozoa ejakulasi dengan kerusakan DNA, (Bian et al, 2004) meskipun mekanisme yang tepat yang terlibat belum dapat digambarkan (Brinkworth et al, 2000). Merokok (Kunzle et al, 2003), peradangan saluran genital, varicocele (Saleh et al, 2003), Universitas Sumatera Utara


(22)

kriptorkismus dan kanker semua telah dikaitkan dengan peningkatan kerusakan DNA pada model binatang atau manusia (Evenson et al, 2006). Kurangnya stimulasi FSH juga akan meningkatkan fragmentasi DNA (Hikim et al, 1999). Akhirnya, tehnik preparasi sperma dengan menggunakan sentrifugasi kecepatan tinggi dan isolasi sperma dari cairan semen, yang mengandung antioksidan yang bersifat protektif , dapat berkontribusi terhadap kerusakan DNA sperma (Donnelly et al, 2000; Younglai et al, 2001).

2.3.3 Konsekuensi kerusakan DNA sperma

Sperma dengan fragmentasi DNA yang tinggi akan kehilangan kemampuannya untuk membuahi sel telur (Ahmadi dan Ng, 1999). Sampai tingkat tertentu kerusakan DNA sperma, oosit memiliki kemampuan untuk memperbaiki kerusakan DNA sperma dan telah dibuktikan dalam telur hamster (Genesca dan Caballin, 1992). Jika sel telur dibuahi dan menjadi embrio, kemungkinan menjadi cacat akan lebih tinggi. Hasil kehamilan dapat berakhir dengan keguguran atau keturunan dengan kelainan genetik (Crow, 1997). 2.3.4 Interpretasi hasil indeks fragmentasi sperma

Kerusakan DNA sperma dapat diukur dan dinyatakan sebagai Indeks Fragmentasi DNA sperma (DFI) dengan menghitung jumlah sperma dengan DNA terfragmentasi dan bandingkan dengan total sperma dihitung. Ambang batas DFI untuk manusia pertama kali dibuat menggunakan data-data dari 200 pasangan usia subur diduga berusaha untuk hamil secara alami dalam "Studi Faktor Infertilitas Pria Georgetown". Data-data dari studi ini digunakan untuk menetapkan ambang statistik DFI> 30% untuk 'lag signifikan', DFI 15-30% untuk 'batas ambang' dan DFI <15% untuk 'status kesuburan tinggi' (Evenson et al, 2006 ).

Studi dilakukan untuk menyelidiki hubungan fragmentasi DNA sperma pada hasil kehamilan menggunakan in-vivo dan prosedur IUI dan hasil menunjukkan bahwa pasien 7.1 kali lebih mungkin untuk mencapai kehamilan / persalinan jika indeks fragmentasi DNA (DFI) adalah <30%. Ketika IVF rutin dipertimbangkan, pasangan itu ~ 2,0 kali lebih mungkin untuk menjadi hamil jika mereka DFI <30% (Bungum et al, 2004). Studi menggunakan ICSI dan / atau pembuahan IVF untuk menyelidiki hubungan fragmentasi DNA sperma pada hasil kehamilan menunjukkan tren di mana pasien 1,8 kali lebih mungkin untuk mencapai kehamilan / persalinan jika DFI adalah < 30% . Tes ini secara Universitas Sumatera Utara


(23)

signifikan memprediksi keberhasilan kehamilan yang rendah dengan menggunakan in-vivo, IUI, dan IVF dan tingkat fertilisasi yang lebih rendah dengan ICSI (Morris et al, 2002). Data ini jelas menunjukkan bahwa DFI merupakan komponen penting dari pemeriksaan infertilitas dan menyarankan bahwa jika seorang pria memiliki DFI dari> 30% bahwa IUI seharusnya tidak dipertimbangkan dan bahwa langkah untuk pasangan ini adalah lebih tepat IVF atau ICSI (Bungum et al, 2004 ).

2.3.5 Metode untuk penilaian fragmentasi DNA sperma

Ada beberapa metode dalam penilaian fragmentasi DNA sperma:

a. Pewarnaan Asam anilin biru, dengan mendeteksi histon kaya lisin dan dan dan protamin kaya arginin. Histon akan menyerap warna biru dan protamin tidak akan menyerap warna biru (Hammadeh et al, 2001).

b. Acridine orange Test (AOT), dengan mendeteksi kerusakan DNA sperma menggunakan flow cytometer . Sperma yang dipanaskan sampai 100 ° C selama 5 menit untuk denaturasi DNA dan diikuti dengan pewarnaan dengan acridine Orange (AO), AO interkalasi ke dalam DNA asli dan berfluoresensi hijau bila terkena cahaya biru dan berfluoresensi merah bila dikaitkan dengan DNA beruntai tunggal (Agarwal et al, 2008).

c. Dalam uji in situ nick translation incorporation of biotinylated deoxyuridine trifosfat (dUTP) pada rantai tunggal DNA yang pecah dalam reaksi yang dikatalisis oleh enzim yang dependen DNA polimerase I. Secara khusus sperma yang mengandung cukup banyak kerusakan DNA endogen akan terwarnai (Manicardi et al, 1998).

d. Terminal Deoxynucleotidyl Mediated dUTP transferase Nick end labeling assay (Tunel), esensi dari tes adalah untuk mentransfer nukleotida berlabel ke 3 ° OH dari untai DNA yang pecah dengan menggunakan terminal deoxynucleotidyl transferase. Intensiatas Fluoresens dari masing-masing diperiksa sperma ditentukan sebagai ya atau tidak untuk sperma pada slide mikroskop cahaya fluoresence atau dengan saluran intensitas fluoresen dalam alat flow cytometer (Sailer et al, 1995).

e. Uji komet, terdiri dari untai DNA yang pecah terdeteksi dalam sel tunggal pada slide mikroskop. Metodologi ini terdiri dari pencampuran sperma dengan agarosa meleleh, yang ditempatkan pada slide kaca. Sel-sel mengalami lisis dan kemudian mengalami elektroforesis horisontal. Berat Universitas Sumatera Utara


(24)

molekul tinggi, DNA yang tidak rusak tetap di kepala sperma, sedangkan pecahan yang lebih kecil dari DNA bermigrasi keluar untuk mengambil bentuk komet (Morris et al, 2002).

f. Sperm chromatin Structure Assay (SCSA) mengukur kerentanan DNA situ terhadap asam yang menginduksi transisi kumparan heliks konformasi terhadap pewarnaan fluoresensi AO dengan menggunakan flow cytometry untuk mencari pergeseran metachromatic fluoresensi hijau (DNA asli) menjadi fluoresensi merah(DNA yang terdenaturasi) sebagai perubahan struktur kromatin yang termasuk kemungkinan adanya fragmentasi DNA, denaturasi protein yang memungkinkan denaturasi DNA (Apedaile, 2004). g. Fluoresece in situ Hibridization (FISH) Assay. Kemasan kromatin sperma

abnormal meningkatkan aksesibilitas ligan DNA dan sensitivitas denaturasi DNA oleh alkali dan ini berkaitan dengan adanya pelabelan intens (fluoresensi merah) oleh FISH (Fernandez et al, 1998).

h. 8-hidroksi-2-deoxyguanosine level assay, uji yang mewakili biomarker kerusakan DNA oksidatif menggunakan kromatografi cairan berkinerja tinggi (Shen dan Ong, 2000).

i. Sperma Kromatin Dispersi (SCD) assay, dasar teknologi terletak pada respon yang berbeda yang ditawarkan oleh inti sperma dengan DNA terfragmentasi dibandingkan dengan mereka yang utuh. Denaturasi dikendalikan dari DNA diikuti oleh ekstraksi protein nukleus menimbulkan nucleoids yang terdeproteiniisasi sebagian di mana untai DNA akan melebar , membentuk lingkaran cahaya dari dispersi kromatin dan nukleotida sperma yang terfragmentasi tidak akan membentuk atau sedikit halo. Tes ini juga disebut sebagai tes halosperm (Evenson et al, 2005; Fernandez et al, 2005).

2.4 Hiperhomosisteinemia

2.4.1 Metabolisme Homosistein

Homosistein adalah asam amino yang mengandung sulfur dengan rumus SCH2CH2CH (NH2) CO2H. Ini adalah homolog dengan sistein , berbeda oleh adanya tambahan kelompok metilen (CH2). Dia dibuat dari metionin dengan menghilangkan kelompok metil terminal C nya. Homosistein dapat didaur ulang menjadi metionin atau diubah menjadi sistein (Ueland et al,


(25)

Gambar 4 Metabolisme homositein direproduksi dari Malinow et al, 1999

Homosistein adalah molekul alami dalam tubuh, tidak diperoleh dari makanan dan diperlukan dalam beberapa reaksi yang terjadi dalam sel-sel yang membentuk tubuh manusia (Sonmez et al, 2007). Reaksi yang rinci ada dalam gambar di atas, mereka menghasilkan pembentukan sistein dan metionin, yang dapat lebih digunakan oleh tubuh. Jika jalur ke sistein atau metionin diblokir, maka kadar homosistein akan meningkat (Ueland et al, 1993).

Tiga enzim dalam diagram di atas akan difokuskan pada, karena mereka berhubungan dengan tingkat homosistein tinggi. Enzim ini adalah Methylenetetrahydrofolate Reduktase (MTHFR), Beta-Cystathionine Synthase (CBS) dan Synthase Metionin (MS). Selama remethilasi ke metionin, suatu kelompok metil yang disediakan oleh 5 tetrahidrofolat metil ditransfer ke homosistein oleh MS dan diperlukan vitamin B12 (methycobalamin) dalam rangka untuk melaksanakan reaksi nya. Jalur homosistein, alternatif juga dapat menjadi metionin oleh remethylated Betaine-Homosistein methyltransferase (BHMT) di mana kelompok metil disediakan oleh betaine. Metionin oleh kemudian akan digabungkan dengan berbagai peptida berubah menjadi S-Adenosyl-Metionin (SAM). SAM memiliki peran penting sebagai donor metil universal dalam sejumlah besar proses metilasi. Selama proses demetilasi, SAM memiliki kelompok metil dihapus oleh enzim methyltransferase khusus Universitas Sumatera Utara


(26)

untuk bentuk S-Adenosylhomocysteine (SAH). Akhirnya, SAH dihidrolisis dalam reaksi areversible menjadi homosistein (Forges et al, 2007).

Flavine dinukleotida adenin tergantung metilen 5,10 THF reduktase (MTHFR) diperlukan untuk membentuk 5-metil tetrahidrofolat dari tetrahidrofolat metilen 5-10. Hal ini diperlukan dalam rangka untuk mengubah homosistein untuk metionin. Jika hal ini tidak dapat dibentuk, maka tingkat homocysteine akan meningkat (Brattstrom et al, 1998).

Enzim akhir terkait dengan tingkat homosistein tinggi adalah CBS, ini dengan vitamin B6 sebagai kofaktor yang dibutuhkan untuk mengkonversi homosistein untuk cystathionine, yang oleh liase Beta Cystathionine (CBL) akan mengkonversi cystathionine untuk sistein. Dengan tidak adanya CBS, tingkat homosistein akan meningkat (Nelson dan Cox, 2000).

2.4.2 Tingkat homosistein plasma

Dalam tubuh manusia sekitar 75% dari homosistein terikat pada protein dan sisanya 25% dalam tiga bentuk: teroksidasi, campuran disulfida dicampur dan homosistein bebas (Aubard et al, 2000). Kadar total secara umum pada populasi Barat adalah 10 sampai 1βμmol / L dan kadar setinggi β0μmol / L ditemukan di populasi dengan asupan rendah vitamin B (NewDelhi). Kadar homosistein 30% lebih rendah pada anak dan kelompok usia lanjut memiliki 50 % lebih tinggi dari kadar dewasa normal (Selhub et al, 1993). Perempuan memiliki 10-15% homosistein lebih rendah selama dekade reproduksi mereka dibanding pria, tetapi setelah 60 tahun kadar meningkat sekitar 1 μml / L untuk setiap sepuluh tahun (Brattstorm et al, 1994).

Kadar homosistein dipengaruhi oleh hormon . Seorang wanita pramenopause memiliki kadar 2 umol / L lebih rendah dibandingkan laki-laki usia yang sama. Wanita normal yang memiliki kadar 6 - 10μml / L, sedangkan pria memiliki 8 -1βμmol / L. Setelah menopause, kadarnya menyerupai kadar laki-laki pada usia yang sama (Kang et al, 1986).

Kadar homosistein dapat dipengaruhi hormon tiroid. Pada hipothiroidisme kronis kadar homosistein dapat naik dan menyebabkan penyakit vaskular (Nedrebo et al, 1998). Asupan makanan juga mempengaruhi kadar homocysteine.Kadar akan naik bila dalam asupan makanan terdapat ketidakseimbangan yang kaya metionin, kurang vitamin B6 , Vitamin B12 dan folat (Fenech et al, 1998). Universitas Sumatera Utara


(27)

Tabel 3 Rujukan batas kadar homosistein (Selhub et al, 1999) Jenis

kelamin

Usia (tahun)

Nilai normal (µmol) Peningkatan (µmol) Wanita 12-19

> 60

3.3-7.2 4.9 – 11.6

> 10.4

Pria 12-19 > 60

4.3 - 9.9 5.9-15.3

> 11.4

2.4.3 hiperhomosisteinemia

Kondisi dengan peningkatan kadar homosistein dalam darah dikenal sebagai hiperhomosisteinemia. Ada banyak nilai acuan yang berbeda untuk hiperhomosisteinemia.

Salah satu nilai referensi untuk laki-laki <60 tahun sebagai berikut (Malinow et al, 1999; Passwater, 2002).

1. Ringan: 12-15μmol / L 2. Sedang: 16-γ0μmol / L 3. Menengah: 31-100μmol / L 4. Parah:> 100μmol / L

Kondisi ini dapat ditemukan pada pasien yang memiliki mutasi pada CBS atau MTHFR. Sebuah mutasi heterozigot umumnya memiliki peningkatan ringan pada kadar homosistein. Tipe lain mutasi yang dapat terjadi adalah dengan MTHFR. Mutasi ini menghasilkan varian termolabil (yang berarti bahwa protein menjadi inaktif jika dipanaskan). Penderita yang heterozigot mutasi ini tidak akan memiliki gejala hiperhomosisteinemia atau peningkatan risiko gangguan trombotik. Penderita yang homozigot dapat timbul hiperhomosisteinemia yang signifikan (Selhub et al, 1993). Prevalensi hiperhomosisteinemia pada populasi umum belum diketahui, tetapi penelitian melihat prevalensi homozigositas dari gen untuk mutasi varian termolabil di MTHFR menunjukkan prevalensi hampir 15% di Eropa, Tengah timur dan populasi Jepang, dibandingkan dengan rentang di bawah 1,4%, pada orang Afro Amerika. Pasien dengan heterozigot terlihat pada 30-40% dari populasi (Brattstrom et al, 1998; Selhub et al, 1999).

Kadar homosistein lebih tinggi di antara perokok dan peminum kopi berat. Latihan olahraga juga berhubungan dengan kadar homosistein. Kadar


(28)

homosistein lebih rendah dalam pekerja berat daripada mereka yang bekerja banyak duduk. Ada juga sejumlah obat yang dapat mengganggu metabolisme folat seperti methotrexate, niasin, fenofibrate, metformin, levodopa, phenitoin, fenotiazin, carbamazapine yang dapat meningkatkan kadar homocysteine. Sama untuk obat yang dapat mengganggu vitamin B6 seperti teofilin, azarabine, estrogen - yang mengandung kontrasepsi oral, merokok dan terhadap vitamin B12 seperti oksida nitrat (Passwater, 2002).

Individu yang memiliki status gizi buruk dan penyalahgunaan gizi seperti alkoholisme kronis, penyakit usus kronis / malabsorpsi, penyakit metabolik seperti diabetes, gangguan fungsi ginjal (Robinson et al, 1996), psoriasis berat, anemia pernisiosa, insufisiensi zincum, beberapa neoplasia (leukemia limphoblastik akut, kanker payudara, ovarium dan pankreas), paska stroke dan serangan jantung juga akan meningkatkan kadar homosistein (Hankey dan Eikelboom, 1999).

2.4.4 Risiko hiperhomosisteinemia

Pasien dengan hiperhomosisteinemia yang berat dan mengarah ke homocystinuria, umumnya mengalami kelainan tulang dan okular (mata) (Kang et al, 1992) serta keterlambatan perkembangan dan keterbelakangan mental serta komplikasi trombotik (Wilcken dan Dudman, 1989). Masalah-masalah ini terlihat pada pasien yang homozigot baik yang defisiensi CBS atau MTHFR.

Gagasan bahwa peningkatan homosistein berhubungan dengan penyakit trombotik arteri pertama kali dikemukakan pada tahun 1969 dalam hubungannya dengan pasien homocystinuria oleh Mc Cully (Passwater, 2002). Selama mencari hubungan kausal ini dilihat juga apakah peningkatan ringan (seperti dari kekurangan vitamin, heterozigositas untuk kekurangan CBS atau MTHFR atau homozigositas untuk varian termolabil dari MTHFR) juga meningkatkan risiko. Sejumlah penelitian telah menunjukkan adanya peningkatan risiko untuk penyakit jantung, stroke (Perry et al, 1995) dan penyakit pembuluh darah perifer (Stampfer dan Malinow, 1995; Graham, 1997) dan trombosis vaskular retina (Cahill et al, 2000).


(29)

2.5 Hiperhomosisteinemia dan fragmentasi DNA

2.5.1 hiperhomosisteinemia dan kerusakan DNA

Homosistein, suatu metabolit dari asam amino esensial metionin, memainkan peran kunci dalam menhasilkan kelompok metil diperlukan untuk sintesis DNA, dan homosistein dapat diremetilasi menadi metionin oleh enzim yang memerlukan folat atau kobalamin (vitamin B12) atau dikatolobilisasi oleh CBS, suatu enzim yang bergantung kepada piridoksin, untuk membentuk sistein (Selhub, 1999).

Sebuah studi baru-baru ini telah mengungkapkan peran homosistein dalam memberikan kontribusi patogenesis gangguan neurodegenerative yang menunjukkan bahwa homosistein menginduksi kematian sel pada sel saraf otak tikus. Untai DNA mengalami pemecahan dengan cepat setelah terpapar homosisstein sebelum terjaidnya disfungsi mitokondria, stres oksidatif dan aktivasi caspase (enzim yang mendegradasi DNA selama kematian sel) (Inna et al, 2000).

Peristiwa pada jalur apoptosis yang diaktifkan oleh homosistein tampaknya terjadi dengan urutan sebagai berikut: kerusakan DNA yang berhubungan dengan aktivasi Poli-ADP-ribosa Polymerase (PARP), aktivasi aktivasi caspase dan aktivasi p53, penurunan potensial membran mitokondria dan disintegrasi nukleus. Selanjutnya, aktivasi PARP meningkatkan ingkat ROS, kalsium intraseluler, p53 (Sakhi et al, 1996).

Akumulasi konsentrasi yang relatif tinggi dari homosistein dalam sel dapat menyebabkan untai DNA pecah dengan mengganggu siklus metilasi DNA dan selanjutnya menyebabkan kerusakan DNA. Peningkatan kadar homosistein juga terbukti menyebabkan kerusakan sel hati mencit dengan menginduks terjadinya hipometilasi DNA (Liu et al, 2008).

2.5.2 Hiperhomosisteinemia maternal dan luaran reproduksi

Hiperhomosisteinemia ibu akan meningkatkan risiko infertilitas dan keguguran berulang dengan peningkatan terjadinya pemecahan untai DNA , hipometilasi DNA, ketidakstabilan kromosom dan aneuploidi embrio atau oosit. Ada 14% dari pasien keguguran berulang primer dan 33% dari keguguran sekunder primer berulang dengan hiperhomosisteinemia (Wouters et al, 1993). Meta-analisis memastikan adanya peningkatan risiko keguguran berulang dini dengan hiperhomosisteinemia (Nelen et al, 2003). Kejadian keguguran berulang Universitas Sumatera Utara


(30)

dengan rasio odd sebesar 14,2 pada penderita dengan MTHFR allele 677T dan 1298C dan risikonya bahkan bisa lebih tinggi jika ibu dan janinnya adalah homozigot (Zetterberg et al, 2002). Kemungkinan terjadinya trisomi 21 juga meningkat (Passwater, 2002). Bukti yang paling jelas pengaruh homosistein terhadap luaran reproduksi adalah adanya peningkatan risiko cacat tabung saraf pada janin dari ibu yang kekurangan asam folat (Cristiansen et al, 2005; Forges et al, 2007). Pada akhir kehamilan, hiperhomosisteinemia dikaitkan dengan insiden yang lebih tinggi pre-eklampsia. Hal ini dilaporkan bahwa di antara penderita pra-elampsia berat, terdapat 17% memiliki hiperhomosisteinemia (Leeda et al, 1998).

Insiden hiperhomosisteinemia pada solusio plasenta adalah 31% dibandingkan dengan hanya 9% pada kelompok kontrol (Goddjin-Wessel et al, 1996). Sebesar 38,2% Kasus PJT yang tidak diketahui penyebabnya dikaitkan dengan hyperhomocysteinemia (De Vries et al, 1997). Burke et al menemukan 10% kematian perinatal berhubungan dengan hiperhomosisteinemia.

Kehamilan dengan risiko tinggi hiperhomosisteinemia memiliki resiko terjadinya thromboemboli. Kehamilan itu sendiri merupakan faktor risiko trombotik. Kombinasi hiperhomosisteinemia dan kehamilan membuat risiko meningkat terjadinya thromboembolic. Apakah tromboprofilaksis diperlukan , pertanyaan ini masih kontroversial.

2.5.3 Hiperhomosisteinemia paternal dan luaran reproduksi

Dampak dari hiperthomosisteinemia untuk infertilitas pria masih kontroversial. Dalam penelitian di Jerman, prevalensi dari polimorfisme MTHFR secara signifikan lebih tinggi di antara pasien laki-laki tidak subur dibandingkan dengan kontrol (18,8% vs 9,5%) (Bezold et al, 2001). Sebaliknya, hasil di atas tidak diperoleh pada kelompok Belanda yang tidak menemukan perbedaan yang signifikan dalam prevalensi polimorfisme MTHFR antara kelompok normal dan subur (Ebisch et al, 2003). Namun, efek peningkatan kadar homosistein dalam sel gamet ayah terhadap embrio dan luaran kehamilan masih tetap belum diketahui. Studi baru dibutuhkan untuk mengeksplorasi pengaruh homosistein terhadap sperma dan dampaknya terhadap janin dari akibat peningkatan kadar homocysteine ayah. Secara teoritis, kadar yang tinggi homosistein juga dapat meningkatkan ROS yang telah terbukti menyebabkan kerusakan DNA sperma.


(31)

Demikian jugaa, homosistein itu sendiri dapat menyebabkan kerusakan DNA sperma.

2.6 Kadar homosistein dalam cairan semen

Pada manusia, gluthatione tiol (GSH) (L- -glutamil-L-sistein-glisin) berfungsi sebagai antioksidan endogen yang paling penting yang terlibat dalam menjaga keseimbangan pro-oksidan-antioksidan dalam jaringan manusia. Tiol sistein endogen lainnya adalah (Cys), homosistein (hcy) dan Cysteinglycine (CGS). GSH juga terlibat dalam metabolisme dan detoksifikasi senyawa sitotoksik dan karsinogenik dan dalam eliminasi Reactive Oxygen Species (ROS) (Tremellen et al, 2008).

Tiol dan ROS terlibat dalam proses reproduksi manusia. Pada manusia, spermatozoa menghasilkan ROS yang diketahui mempengaruhi hiperaktivasi spermatozoa, reaksi akrosom dan penempelan spermatozoa ke oosit, sehingga berkontribusi untuk pembuahan oosit (Aitken et al, 1998). Tiol adalah berfungsi memangsa ROS dan karena itu menjadi penting dalam fungsi sperma dan pembuahan . DNA dalam kepala sperma sangat dipadatkan sebagai hasil dari jembatan disulfida antara residu Cys teroksidasi dalam molekul protamine yang penting selama pematangan spermatozoa pada epididimis. Oksidasi dari tiol juga penting untuk stabilisasi struktur ekor, motilitas sperma dan perlindungan kerusakan DNA sperma dari kerusakan fisik atau kimia (Aitken dan Clarkson, 1987). Setelah pembuahan oosit, sperma inti yang dipadatkan mengalami dekondensasi untuk membentuk pronuclear laki-laki (PN). Dekondensasi tergantung pada kehadiran sejumlah kecil Cys bebas yang mampu memulai proses pertukaran tiol-disulfida (Rousseaux et al, 1995). Selain efek yang menguntungkan, ROS yang berlebihan berakibat buruk terhadap spermatozoa dan menyebabkan kerusakan DNA dan membran plasma. Karena spermatozoa telah dibuang sebagian besar sitoplasma mereka selama tahap akhir spermatogenesis, ketersediaan enzim sitoplasma defensif menadi sangat terbatas. Sel-sel ini secara khusus rentan terhadap kerusakan terutama untuk ROS. Hal ini dapat menyebabkan disfungsi sperma (Agarwal et al, 1994). Peningkatan kadar homosistein dalam plasma semen dapat meningkatkan konsentrasi ROS dan mengganggu metilasi DNA yang selanjutnya dapat menyebabkan kerusakan DNA sperma. Universitas Sumatera Utara


(32)

Kadar homosistein dalam cairan semen ditemukan sebesar 4,8 ± 0.52uM/ml pada kasus normozoospermia dan 6,18 ± 1.17uM/ml pada kasus sperma abnormal (Zarghami dan Khosrowbeygi, 2005).

2.7 Penanganan hiperhomosisteinemia

Dalam reaksi yang dikatalisis oleh vitamin B12-metil transferase, homosistein dapat memperoleh gugus metil dari methyltetrahydrofolate untuk menghasilkan metionin .Kelebihan homosistein yang tidak diselesaikan dengan jalur methinonin dapat dikatabolisasi menjadi sistein melalui dua jalur yang melibatkan enzim yang tergantung kepada vitamin B6 (Forges et al, 2007). Pada jalur metabolism diatas kelihatan peran vitamin cyanocobalamin, piridoksin dan asam folat dalam metabolism homosistein. Dengan pemberian cyanocobalamin,piridoksin ,asam folat diharapkan dapart menurunkan kadar homosistein

Badan FDA Ameriksa Serikat melakukan fortifikasi folat ke dalam gandum pada Januari 1998 dan laporan pertama dari pengaruh fortifikasi menunjukkan pengurangan 92% dari prevalensi konsentrasi sirkulasi folat yang kurang dari 7μmol / L dan penurunan 48% dalam prevalensi homosistein lebih besar dari konsentrasi 1γμmol / L (Jacques et al, 1999).

Folat, piridoksin, dan sianokobalamin dapat mengurangi tingkat homosistein dalam tubuh manusia dan selanjutnya juga akan mengurangi fragmentasi DNA sperma dan akhirnya dapat mengurangi kejadian keguguran berulang. Studi lebih lanjut diperlukan untuk menyelidiki apakah folat, piridoksin, dan suplemen cyanocobalamin pada pasien laki-laki akan mengurangi fragmentasi DNA sperma dan kejadian keguguran berulang.


(1)

Tabel 3 Rujukan batas kadar homosistein (Selhub et al, 1999) Jenis

kelamin

Usia (tahun)

Nilai normal (µmol) Peningkatan (µmol) Wanita 12-19

> 60

3.3-7.2 4.9 – 11.6

> 10.4

Pria 12-19 > 60

4.3 - 9.9 5.9-15.3

> 11.4

2.4.3 hiperhomosisteinemia

Kondisi dengan peningkatan kadar homosistein dalam darah dikenal sebagai hiperhomosisteinemia. Ada banyak nilai acuan yang berbeda untuk hiperhomosisteinemia.

Salah satu nilai referensi untuk laki-laki <60 tahun sebagai berikut (Malinow et al, 1999; Passwater, 2002).

1. Ringan: 12-15μmol / L 2. Sedang: 16-γ0μmol / L 3. Menengah: 31-100μmol / L 4. Parah:> 100μmol / L

Kondisi ini dapat ditemukan pada pasien yang memiliki mutasi pada CBS atau MTHFR. Sebuah mutasi heterozigot umumnya memiliki peningkatan ringan pada kadar homosistein. Tipe lain mutasi yang dapat terjadi adalah dengan MTHFR. Mutasi ini menghasilkan varian termolabil (yang berarti bahwa protein menjadi inaktif jika dipanaskan). Penderita yang heterozigot mutasi ini tidak akan memiliki gejala hiperhomosisteinemia atau peningkatan risiko gangguan trombotik. Penderita yang homozigot dapat timbul hiperhomosisteinemia yang signifikan (Selhub et al, 1993). Prevalensi hiperhomosisteinemia pada populasi umum belum diketahui, tetapi penelitian melihat prevalensi homozigositas dari gen untuk mutasi varian termolabil di MTHFR menunjukkan prevalensi hampir 15% di Eropa, Tengah timur dan populasi Jepang, dibandingkan dengan rentang di bawah 1,4%, pada orang Afro Amerika. Pasien dengan heterozigot terlihat pada 30-40% dari populasi (Brattstrom et al, 1998; Selhub et al, 1999).

Kadar homosistein lebih tinggi di antara perokok dan peminum kopi berat. Latihan olahraga juga berhubungan dengan kadar homosistein. Kadar


(2)

homosistein lebih rendah dalam pekerja berat daripada mereka yang bekerja banyak duduk. Ada juga sejumlah obat yang dapat mengganggu metabolisme folat seperti methotrexate, niasin, fenofibrate, metformin, levodopa, phenitoin, fenotiazin, carbamazapine yang dapat meningkatkan kadar homocysteine. Sama untuk obat yang dapat mengganggu vitamin B6 seperti teofilin, azarabine, estrogen - yang mengandung kontrasepsi oral, merokok dan terhadap vitamin B12 seperti oksida nitrat (Passwater, 2002).

Individu yang memiliki status gizi buruk dan penyalahgunaan gizi seperti alkoholisme kronis, penyakit usus kronis / malabsorpsi, penyakit metabolik seperti diabetes, gangguan fungsi ginjal (Robinson et al, 1996), psoriasis berat, anemia pernisiosa, insufisiensi zincum, beberapa neoplasia (leukemia limphoblastik akut, kanker payudara, ovarium dan pankreas), paska stroke dan serangan jantung juga akan meningkatkan kadar homosistein (Hankey dan Eikelboom, 1999).

2.4.4 Risiko hiperhomosisteinemia

Pasien dengan hiperhomosisteinemia yang berat dan mengarah ke homocystinuria, umumnya mengalami kelainan tulang dan okular (mata) (Kang et al, 1992) serta keterlambatan perkembangan dan keterbelakangan mental serta komplikasi trombotik (Wilcken dan Dudman, 1989). Masalah-masalah ini terlihat pada pasien yang homozigot baik yang defisiensi CBS atau MTHFR.

Gagasan bahwa peningkatan homosistein berhubungan dengan penyakit trombotik arteri pertama kali dikemukakan pada tahun 1969 dalam hubungannya dengan pasien homocystinuria oleh Mc Cully (Passwater, 2002). Selama mencari hubungan kausal ini dilihat juga apakah peningkatan ringan (seperti dari kekurangan vitamin, heterozigositas untuk kekurangan CBS atau MTHFR atau homozigositas untuk varian termolabil dari MTHFR) juga meningkatkan risiko. Sejumlah penelitian telah menunjukkan adanya peningkatan risiko untuk penyakit jantung, stroke (Perry et al, 1995) dan penyakit pembuluh darah perifer (Stampfer dan Malinow, 1995; Graham, 1997) dan trombosis vaskular retina (Cahill et al, 2000).


(3)

2.5 Hiperhomosisteinemia dan fragmentasi DNA 2.5.1 hiperhomosisteinemia dan kerusakan DNA

Homosistein, suatu metabolit dari asam amino esensial metionin, memainkan peran kunci dalam menhasilkan kelompok metil diperlukan untuk sintesis DNA, dan homosistein dapat diremetilasi menadi metionin oleh enzim yang memerlukan folat atau kobalamin (vitamin B12) atau dikatolobilisasi oleh CBS, suatu enzim yang bergantung kepada piridoksin, untuk membentuk sistein (Selhub, 1999).

Sebuah studi baru-baru ini telah mengungkapkan peran homosistein dalam memberikan kontribusi patogenesis gangguan neurodegenerative yang menunjukkan bahwa homosistein menginduksi kematian sel pada sel saraf otak tikus. Untai DNA mengalami pemecahan dengan cepat setelah terpapar homosisstein sebelum terjaidnya disfungsi mitokondria, stres oksidatif dan aktivasi caspase (enzim yang mendegradasi DNA selama kematian sel) (Inna et al, 2000).

Peristiwa pada jalur apoptosis yang diaktifkan oleh homosistein tampaknya terjadi dengan urutan sebagai berikut: kerusakan DNA yang berhubungan dengan aktivasi Poli-ADP-ribosa Polymerase (PARP), aktivasi aktivasi caspase dan aktivasi p53, penurunan potensial membran mitokondria dan disintegrasi nukleus. Selanjutnya, aktivasi PARP meningkatkan ingkat ROS, kalsium intraseluler, p53 (Sakhi et al, 1996).

Akumulasi konsentrasi yang relatif tinggi dari homosistein dalam sel dapat menyebabkan untai DNA pecah dengan mengganggu siklus metilasi DNA dan selanjutnya menyebabkan kerusakan DNA. Peningkatan kadar homosistein juga terbukti menyebabkan kerusakan sel hati mencit dengan menginduks terjadinya hipometilasi DNA (Liu et al, 2008).

2.5.2 Hiperhomosisteinemia maternal dan luaran reproduksi

Hiperhomosisteinemia ibu akan meningkatkan risiko infertilitas dan keguguran berulang dengan peningkatan terjadinya pemecahan untai DNA , hipometilasi DNA, ketidakstabilan kromosom dan aneuploidi embrio atau oosit. Ada 14% dari pasien keguguran berulang primer dan 33% dari keguguran sekunder primer berulang dengan hiperhomosisteinemia (Wouters et al, 1993). Meta-analisis memastikan adanya peningkatan risiko keguguran berulang dini


(4)

dengan rasio odd sebesar 14,2 pada penderita dengan MTHFR allele 677T dan 1298C dan risikonya bahkan bisa lebih tinggi jika ibu dan janinnya adalah homozigot (Zetterberg et al, 2002). Kemungkinan terjadinya trisomi 21 juga meningkat (Passwater, 2002). Bukti yang paling jelas pengaruh homosistein terhadap luaran reproduksi adalah adanya peningkatan risiko cacat tabung saraf pada janin dari ibu yang kekurangan asam folat (Cristiansen et al, 2005; Forges et al, 2007). Pada akhir kehamilan, hiperhomosisteinemia dikaitkan dengan insiden yang lebih tinggi pre-eklampsia. Hal ini dilaporkan bahwa di antara penderita pra-elampsia berat, terdapat 17% memiliki hiperhomosisteinemia (Leeda et al, 1998).

Insiden hiperhomosisteinemia pada solusio plasenta adalah 31% dibandingkan dengan hanya 9% pada kelompok kontrol (Goddjin-Wessel et al, 1996). Sebesar 38,2% Kasus PJT yang tidak diketahui penyebabnya dikaitkan dengan hyperhomocysteinemia (De Vries et al, 1997). Burke et al menemukan 10% kematian perinatal berhubungan dengan hiperhomosisteinemia.

Kehamilan dengan risiko tinggi hiperhomosisteinemia memiliki resiko terjadinya thromboemboli. Kehamilan itu sendiri merupakan faktor risiko trombotik. Kombinasi hiperhomosisteinemia dan kehamilan membuat risiko meningkat terjadinya thromboembolic. Apakah tromboprofilaksis diperlukan , pertanyaan ini masih kontroversial.

2.5.3 Hiperhomosisteinemia paternal dan luaran reproduksi

Dampak dari hiperthomosisteinemia untuk infertilitas pria masih kontroversial. Dalam penelitian di Jerman, prevalensi dari polimorfisme MTHFR secara signifikan lebih tinggi di antara pasien laki-laki tidak subur dibandingkan dengan kontrol (18,8% vs 9,5%) (Bezold et al, 2001). Sebaliknya, hasil di atas tidak diperoleh pada kelompok Belanda yang tidak menemukan perbedaan yang signifikan dalam prevalensi polimorfisme MTHFR antara kelompok normal dan subur (Ebisch et al, 2003). Namun, efek peningkatan kadar homosistein dalam sel gamet ayah terhadap embrio dan luaran kehamilan masih tetap belum diketahui. Studi baru dibutuhkan untuk mengeksplorasi pengaruh homosistein terhadap sperma dan dampaknya terhadap janin dari akibat peningkatan kadar homocysteine ayah. Secara teoritis, kadar yang tinggi homosistein juga dapat meningkatkan ROS yang telah terbukti menyebabkan kerusakan DNA sperma.


(5)

Demikian jugaa, homosistein itu sendiri dapat menyebabkan kerusakan DNA sperma.

2.6 Kadar homosistein dalam cairan semen

Pada manusia, gluthatione tiol (GSH) (L- -glutamil-L-sistein-glisin) berfungsi sebagai antioksidan endogen yang paling penting yang terlibat dalam menjaga keseimbangan pro-oksidan-antioksidan dalam jaringan manusia. Tiol sistein endogen lainnya adalah (Cys), homosistein (hcy) dan Cysteinglycine (CGS). GSH juga terlibat dalam metabolisme dan detoksifikasi senyawa sitotoksik dan karsinogenik dan dalam eliminasi Reactive Oxygen Species (ROS) (Tremellen et al, 2008).

Tiol dan ROS terlibat dalam proses reproduksi manusia. Pada manusia, spermatozoa menghasilkan ROS yang diketahui mempengaruhi hiperaktivasi spermatozoa, reaksi akrosom dan penempelan spermatozoa ke oosit, sehingga berkontribusi untuk pembuahan oosit (Aitken et al, 1998). Tiol adalah berfungsi memangsa ROS dan karena itu menjadi penting dalam fungsi sperma dan pembuahan . DNA dalam kepala sperma sangat dipadatkan sebagai hasil dari jembatan disulfida antara residu Cys teroksidasi dalam molekul protamine yang penting selama pematangan spermatozoa pada epididimis. Oksidasi dari tiol juga penting untuk stabilisasi struktur ekor, motilitas sperma dan perlindungan kerusakan DNA sperma dari kerusakan fisik atau kimia (Aitken dan Clarkson, 1987). Setelah pembuahan oosit, sperma inti yang dipadatkan mengalami dekondensasi untuk membentuk pronuclear laki-laki (PN). Dekondensasi tergantung pada kehadiran sejumlah kecil Cys bebas yang mampu memulai proses pertukaran tiol-disulfida (Rousseaux et al, 1995). Selain efek yang menguntungkan, ROS yang berlebihan berakibat buruk terhadap spermatozoa dan menyebabkan kerusakan DNA dan membran plasma. Karena spermatozoa telah dibuang sebagian besar sitoplasma mereka selama tahap akhir spermatogenesis, ketersediaan enzim sitoplasma defensif menadi sangat terbatas. Sel-sel ini secara khusus rentan terhadap kerusakan terutama untuk ROS. Hal ini dapat menyebabkan disfungsi sperma (Agarwal et al, 1994). Peningkatan kadar homosistein dalam plasma semen dapat meningkatkan konsentrasi ROS dan mengganggu metilasi DNA yang selanjutnya dapat


(6)

Kadar homosistein dalam cairan semen ditemukan sebesar 4,8 ± 0.52uM/ml pada kasus normozoospermia dan 6,18 ± 1.17uM/ml pada kasus sperma abnormal (Zarghami dan Khosrowbeygi, 2005).

2.7 Penanganan hiperhomosisteinemia

Dalam reaksi yang dikatalisis oleh vitamin B12-metil transferase, homosistein dapat memperoleh gugus metil dari methyltetrahydrofolate untuk menghasilkan metionin .Kelebihan homosistein yang tidak diselesaikan dengan jalur methinonin dapat dikatabolisasi menjadi sistein melalui dua jalur yang melibatkan enzim yang tergantung kepada vitamin B6 (Forges et al, 2007). Pada jalur metabolism diatas kelihatan peran vitamin cyanocobalamin, piridoksin dan asam folat dalam metabolism homosistein. Dengan pemberian cyanocobalamin,piridoksin ,asam folat diharapkan dapart menurunkan kadar homosistein

Badan FDA Ameriksa Serikat melakukan fortifikasi folat ke dalam gandum pada Januari 1998 dan laporan pertama dari pengaruh fortifikasi menunjukkan pengurangan 92% dari prevalensi konsentrasi sirkulasi folat yang

kurang dari 7μmol / L dan penurunan 48% dalam prevalensi homosistein lebih

besar dari konsentrasi 1γμmol / L (Jacques et al, 1999).

Folat, piridoksin, dan sianokobalamin dapat mengurangi tingkat homosistein dalam tubuh manusia dan selanjutnya juga akan mengurangi fragmentasi DNA sperma dan akhirnya dapat mengurangi kejadian keguguran berulang. Studi lebih lanjut diperlukan untuk menyelidiki apakah folat, piridoksin, dan suplemen cyanocobalamin pada pasien laki-laki akan mengurangi fragmentasi DNA sperma dan kejadian keguguran berulang.