Studi Perbandingan Metode Perencanaan Perkerasan Kaku untuk Lapangan Terbang

BAB II
FAKTOR FAKTOR YANG PERLU DIPERHATIKAN DALAM
PERENCANAAN PERKERASAN PADA LAPANGAN TERBANG
Horonjeff (1993:146) dalam buku perencanaan dan perancangan bandar
udara “perencanaan suatu bandar udara adalah suatu proses yang sedemikian
rumitnya sehingga analisis suatu kegiatan tanpa memperhitungkan pengaruhnya
pada yang kegiatan lain tidak akan menghasilkan penyelesaian yang memuaskan”
(Basuki, 2008:) Lapangan terbang merupakan fasilitas yang kompleks dan saling
behubungan namun memiliki kebutuhan yang berbeda-beda.
Menurut Horonjeff et al. (2010:259) Dua faktor utama yang berkontribusi
terhadap ketebalan desain lapisan perkerasan lapangan udara adalah tanah dasar
serta volume dan berat lalu lintas yang menggunakan perkerasan. Sedangkan
menurut FAA pada AC 150/5320-6E (2009:13) menyatakan terdapat beberapa
faktor yang mempengaruhi perencanaan perkerasan “Besarnya karakter dari beban
pesawat yang akan didukung, volume lalu lintas, konsentrasi lalu lintas di daerah
tertentu, dan kekuatan tanah subgrade dan kualitas bahan yang membentuk
struktur perkerasan”. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut maka dapat
disimpulkan faktor-faktor yang perlu diperhatiakan dalam perencanaan perkerasan
lapangan terbang sebagai berikut : Beban pesawat, Volume lalu lintas pesawat,
lalu lintas didaerah tertentu dan kekuatan tanah dasar.
I.1 Beban Pesawat

Berbeda dengan jalan raya, lapangan terbang digunakan untuk menanggung
beban kendaraan berupa pesawat terbang yang lebih berat dari kendaraan pada
jalan raya. Struktur perkerasan pada lapangan terbang didesain agar dapat

Universitas Sumatera Utara

menahan beban dari pesawat terbang yang bertumpu dan beraktivitas diatasnya.
Terdapat beberapa jenis pembebanan yang terjadi pada lapangan terbang dan
pembebanan ini mempengaruhi perkerasan.
a. Beban statis
Menurut Vaitkus et.al (2014:2) diketahui bahwa beban statis adalah beban
yang mengarah ke suatu koordinat titik yang konstan dan tidak memiliki
percepatan yang signifikan selama waktu pembebanan”.
b. Beban Impact atau beban dinamis
Menurut Vaitkus et.al (2014:2) “beban impact adalah beban yang turun dari
ketingian tertentu dan tiba-tiba kelapis permukaan perkerasan.”
Dari kedua jenis pembebanan beban statis lebih diperhitungkan untuk
keperluan desain. “Perkerasan dirancang atas dasar analisis beban statis. Beban
Impact tidak dianggap untuk meningkatkan persyaratan ketebalan perkerasan”
(FAA, 1995:1). penyebab dari diabaikannya beban impact juga dijelaskan dalam

FAA (2009:18) “Selama impact pendaratan, yang tersisa daya angkat pada sayap
lebih jauh meredakan gaya vertikal dinamis yang sebenarnya ditransmisikan ke
perkerasan melalui gigi pendaratan”.
Pembebanan memberikan perbedaan fungsi perkerasan pada runway,
taxiway dan apron karena proses pembebanan yang terjadi. ”Daerah lapangan

terbang apron untuk pesawat baik yang diparkir atau bergerak dengan kecepatan
rendah jelas harus memiliki perencanaan yang berbeda dari karakteristik desain
dan penanganan dengan perkerasan pada landasan pacu dimana pesawat yang
sama dapat beroperasi pada kecepatan 150 mph” (Yoder, 1975:128). maka,
perencanaan perkerasan harus direncanakan sesuai dengan jenis fitur yang tepat.

Universitas Sumatera Utara

Pesawat terbang tidak lepas dalam proses perencanaan perkerasan untuk
lapangan terbang dan pada proses pembebanannya sebuah pesawat terbang
didasarkan pada berat kotornya seperti yang disampaikan ICAO (1983:130) dan
FAA (1995,24) “Metode desain perkerasan didasarkan pada berat kotor pesawat”.
“Beban rencana merupakan beban dari roda pendaratan utama ditentukan
dengan mempertimbangkan massa take-off pesawat” (Cojocaru, 2011:54). Roda

pendaratan utama dirancang untuk mendistribusikan beban pada pesawat terbang
kepada perkerasan. “Dalam prosedur desain FAA (1995:21) serta ICAO
(1983:324) mengasumsikan “untuk berat kotor dari pesawat 95 persen dilakukan
oleh roda pendaratan utama dan 5 persen dilakukan oleh roda depan”.
Pembebanan pada perkerasan menimbulkan tegangan. Tegangan yang
ditimbulkan oleh pembebanan bergantung pada wilayah pembebanannya. Huang
dalam bukunya Pavement Analysis and Design (2004:155-158) menyajikan
perhitungan tegangan dengan beban yang sama dengan wilayah kerja beban yang
berbeda menyimpulkan bahwa tegangan yang paling besar terjadi pada wilayah
pinggir (edge) kemudian wilayah sudut (corner ) dan yang terkecil merupakan
wilayah tengah (interior ).
II.2 Volume Lalu Lintas Pesawat
Volume lalu lintas pesawat adalah jumlah pesawat udara setiap jenisnya
yang melintas dan dihitung dalam waktu tertentu. Kedatangan, keberangkatan,
operasi taxi pesawat maupun ketiganya merupakan siklus lalu lintas yang terjadi
pada lapangan terbang. Mulai dari siklus kedatangan dan keberangkatan dari
setiap jenis pesawat yang digunakan untuk kebutuhan desain adalah volume
keberangkatan pertahun atau disebut juga Annual departure seperti yang telah

Universitas Sumatera Utara


dilampirkan dalam FAA AC 150/5320-6D (1995:24) dan FAA AC 150/5320-6E
(2009:14) “Prakiraan keberangkatan tahunan berdasarkan jenis pesawat yang
dibutuhkan untuk desain perkerasan.” Hal yang serupa juga disampaikan oleh
Basuki (2008:338) bahwa “Ramalan lepas landas tahunan (annual departure) atau
ramalan jumlah pesawat yang akan lepas landas selama 20 tahun design life,
perkerasan, yang harus dilayani oleh landasan pacu”. Kedatangan pesawat atau
ketika pesawat mendarat dianggap tidak lebih berat dibandingkan dengan
keberangkatan pesawat atau lepas landas. Pada saat mendarat berat pesawat
berkurang akibat penggunaan bahan bakar, dan daya angkat pada sayap pesawat
juga menjadi pengaruh dalam hal mengurangi beban pesawat pada perkerasan.
Sehingga volume keberangkatan pesawat tidak dipertimbangkan dalam keperluan
desain.
Dari segi parameter untuk banyaknya jumlah lalu lintas pada suatu bandara
di lampirkan dalam Kepadatan lalu lintas lapangan terbang oleh ICAO (1999:11)
dikategorigan menjadi tiga bagian, yaitu :


Ringan
Di mana jumlah pergerakan pada jam sibuk tidak lebih besar dari 15

perlandasan pacu atau kurang dari 20 pergerakan.



Sedang
Di mana jumlah pergerakan pada jam sibuk adalah dari 16 sampai 25 per
landasan pacu atau antara 20 sampai 35 total gerakan bandar udara.



Berat
Di mana jumlah pergerakan pada jam sibuk adalah 26 atau lebih per landasan
pacu atau lebih dari 35 jumlah pergerakan bandar udara.

Universitas Sumatera Utara

II.3 Lalu Lintas Didaerah Tertentu
“Roda pesawat udara sebenarnya tidak selalu melintasi perkerasan pada
lintasan yang tetap sesuai dengan konfigurasi sumbunya” (Kosasih ,2005:30).
Dalam FAA (2009:17) disampaikan hal yang sama yaitu “Sebagian pesawat

bergerak sepanjang bagian perkerasan jarang perjalanan di jalan lurus sempurna
atau sepanjang jalan yang sama seperti sebelumnya”. Sebuah pesawat yang
berjalan diatas perkerasan taxiway maupun runway memiliki jalur lintasan yang
berbeda-beda, hal ini bisa juga disebabkan oleh konfigurasi sumbu yang berbeda.
Sebuah lintasan merupakan satu gerakan dari siklus lalu lintas untuk satu
jenis pesawat tertentu pada taxiway paralel atau pada runway untuk taxiway
sentral, seperti yang terlihat pada gambar 2.1 berikut :

Gambar 2.1 Lintasan Pada Lapangan Terbang
Sumber : FAA AC No : 150/5335-5C (2011: 20)

Pada taxiway sentral memungkinkan pesawat melakukan taxi pada
sebagian runway dan sebaliknya pada taxiway paralel. Untuk masing-masing jenis
taxiway memiliki kaitan dengan jumlah lintasan hal ini dijelaskan dalam FAA AC

150/5335-5C (2011: 20) yaitu :
 Skenario taxiway paralel.

Universitas Sumatera Utara


Dalam kasus taxiway paralel, ditampilkan sebagai Gambar A1-1a, dua situasi
pembebanan mungkin dapat terjadi. Kedua situasi ini mengasumsikan bahwa
jumlah penumpang dan muatan kargo yang kurang lebih sama untuk seluruh
pendaratan dan siklus lepas landas :
 Jika pesawat memperoleh bahan bakar di bandara, maka siklus lalu lintas
hanya terdiri dari satu lintasan karena ketegangan beban pendaratan
dianggap pada tingkat berkurang, yang merupakan kesetaraan fractional.
Untuk kondisi ini hanya lintasan lepas landas yang dihitung, dan rasio
lintasan ke siklus lalu lintas (P / TC) adalah 1.


Jika pesawat tidak mendapatkan bahan bakar di bandara, lalu kedua
lintasan, mendarat dan lepas landas harus dihitung, dan siklus lalu lintas
terdiri dari dua lintasan stres beban yang sama. Dalam hal ini, rasio P / TC
adalah 2.

 Skenario taxiway sentral
Untuk konfigurasi taxiway sentral, ditampilkan sebagai Gambar A1-1b, ada
juga dua situasi pembebanan yang mungkin dapat terjadi. Seperti yang
dilakukan untuk kondisi taxiway paralel, kedua situasi ini menganggap bahwa

siklus yang kurang lebih sama untuk seluruh pendaratan dan lepas landas :


Jika pesawat memperoleh bahan bakar di bandara, maka baik lepas landas
dan taksi untuk lintasan lepas landas harus dihitung karena mereka
menghasilkan siklus lalu lintas yang terdiri dari dua lintasan pada tegangan
beban maksimum. Pendaratan dapat diabaikan dalam kasus ini. Hal ini
diakui bahwa hanya bagian dari landasan pacu digunakan selama beberapa
operasi ini tetapi konservatif untuk mengasumsikan bahwa seluruh

Universitas Sumatera Utara

landasan pacu tertutup setiap kali melintas terjadi. Untuk situasi ini rasio
P/TC adalah 2


Jika pesawat tidak mendapatkan bahan bakar di bandara, maka baik lintasa
pendaratan dan lepas landas harus dihitung, bersama dengan lintasan taxi,
dan siklus lalu lintas terdiri dari tiga lintasan pada beban yang sama
besarnya. Dalam hal ini, P / TC rasio 3

Dari sejumlah lintasan pesawat diatas perkerasan terdapat suatu titik yang

mengalami beban penuh. Dalam hal jumlah lintasan ini dikenal nilai coverages
“Untuk perkerasan lentur, coverage adalah ukuran jumlah pengulangan dari
tegangan maksimum yang terjadi di atas tanah dasar. Untuk perkerasan kaku,
coverage adalah ukuran pengulangan dari tegangan maksimum terjadi pada

bagian bawah lapisan PCC” FAA (2009:17). Satu coverage yang terjadi pada
satuan luasan perkerasan yang dilalui oleh sumbu roda pesawat, jumlah lintasan
satuan luas diatas perkerasan dinyatakan dalam nilai pass coverage ratio.
“Untuk perhitungan nilai coverages diperlukan nilai PCR (pass to
coverages ratio) yang merupakan unit kerusakan ekivalen yang terjadi dalam
struktur perkerasan yang disebabkan lintasan roda pesawat udara.” Kosasih
(2007:38). Menurut Packard dalam Engineering Bulletin (1995:42) “Prosedur
yang menggunakan istilah pass coverage ratio untuk merujuk kepada konversi
jumlah operasi lalu lintas ke jumlah pengulangan beban desain, yaitu, coverage
yang terjadi ketika masing-masing titik perkerasan dalam jalur lalu lintas telah
mengalami tegangan maksimum dengan pesawat yang beroperasi”.

Universitas Sumatera Utara


II.4 Kekuatan Tanah dasar
Tanah dasar berguna sebagai pondasi untuk struktur perkerasan, dimana
perkerasan akan mendistribusikan beban kepada tanah dasar. Semakin kuat tanah
dasar dalam menanggung beban maka semakin sedikit ketebalan yang dibutuhkan
untuk perkerasan. “Klasifikasi tanah untuk tujuan rekayasa memberikan indikasi
perilaku kemungkinan tanah sebagai tanah dasar perkerasan” (ICAO, 1983:141).
Nilai Menurut ICAO (1999:21) pada tabel 2.1 kategori kekuatan subgrade
berdasarkan nilai daya dukung tanah adalah :
Tabel 2.1 Kategori Kekuatan Tanah Dasar
KATEGORI KEKUATAN TANAH DASAR

CODE

Kekuatan tinggi :
dikarakterisasi dengan K = 150MN/M³ dan mewakili semua nilai K diatas 120
MN/M³ untuk perkerasan kaku, dan dengan CBR = 15 dan mewakili semua nilai

A


CBR diatas 13 untuk perkerasan lentur.

Kekuatan menengah:
dikarakterisasi dengan K = 80MN/M³ dan mewakili berbagai di K
dari 60 sampai 120 MN/M³ untuk perkerasan kaku, dan dengan CBR= 10 dan

B

mewakili berbagai CBR di 8 sampai 13 untuk perkerasan lentur

Kekuatan rendah:
dikarakterisasi dengan K = 40mn / M3 dan mewakili berbagai di K dari 25 sampai
60 MN / M3 untuk trotoar kaku, dan dengan CBR = 6 dan mewakili berbagai CBR

C

di 4 sampai 8 untuk perkerasan lentur

Ultra kekuatan rendah:
dikarakterisasi dengan K = 20MN / M³ dan mewakili semua nilai K bawah 25 MN
/ M³ untuk trotoar kaku, dan dengan CBR = 3 dan mewakili semua nilai CBR

D

bawah 4 untuk perkerasan lentur

Sumber : ICAO (1999)

Universitas Sumatera Utara

Tanah merupakan pendukung dalam hal mendistribusikan beban yang
dipikul oleh perkerasan. Untuk mengetahui kekuatan tanah dasar dalam
mendukung perkerasaan dibutuhkan nilai daya dukung tanah. Percobaan daya
dukung tanah yang dilakukan yaitu tes CBR (california bearing ratio) untuk
perkerasan lentur dan plate bearing test untuk perkerasan kaku. “Kekuatan
material yang digunakan dalam struktur perkerasan lentur diukur oleh California
Bearing Ratio (CBR) test. Material yang digunakan dalam struktur perkerasan

kaku diuji oleh tes dari plate bearing method” (ICAO, 1983: 141).
Persiapan tanah dimulai dengan melakukan survey atau pemeriksaan tanah
yang dilakukan dengan pengeboran dengan kedalaman tertentu pada masing
masing area struktur perkerasan untuk mendapatkan sampel. Bahan sampel
kemudian di uji untuk menentukan jenis tanah, gradasi tanah, batas cair atau
plastis, density, faktor penyusutan, permebealitas, kandungan organik dan
kekuatan tanah. Tabel 2.2 menjelaskan jarak serta kedalam untuk pengeboran.
Tabel 2.2 Jarak dan Kedalaman Pengeboran Tanah

Sumber : Horonjeff et al. (2010)
“Di Amerika Serikat, evaluasi tanah sampel untuk tujuan desain
perkerasan

lapangan terbang dilakukan sesuai dengan U.S. Army Corps of

Universitas Sumatera Utara

Engineers Unified Soil Classification (USC or “unified”) System” (Horonjeff,
2010: 35).

Tabel 2.3 berisi ringkasan dari komponen tanah sebagaimana

didefinisikan dalam Unified Soil Classification system of the Corps of Engineers.
Tabel 2.3 Komponen Tanah

Sumber : Yoder, et.al. (1975)

“Umumnya, komponen dasar tanah dibedakan atas dasar ukuran butir”
(Yoder, et.al., 1975:223). Dalam kalsifikasinya tanah dibagi kepada tanah berbutir
kasar dan halus. Tanah berbutir kasar adalah tanah yang tidak lolos saringan
No.200. Tanah berbutir kasar dibagi menjadi pasir (S) apabila lolos dari saringan
No.4 dan kerikil (G) apabila tidak lolos dari saringan No.4. Pasir dan kerikil
kemudian masing-masing dibagi lagi menjadi 4 bagian yaitu bergradasi baik (W),
bergradasi tidak baik (P), lanau (M), lempung (C).
Tanah berbutir halus adalah tanah yang lolos dari saringan No.200. Tanah
berbutir halus dibagi menjadi tanah lanau dan lempung organik (O), tanah lanau
anorganik (M), tanah lempung anorganik (C) dan tanah organik (Pt), dimana jenis
tanah tersebut kecuali tanah organik dibedakan berdasarkan batas cairnya. Batas
cair < 50 dinotasikan L (Low plasticity) dan batas cair > 50 dinotasikan sebagai H

Universitas Sumatera Utara

(High Plasticity). Seperti yang terlihat pada tabel 2.4 yang menunjukkan jenis dari
klasifikasi tanah.
Tabel 2.4 Klasifikasi Tanah

Sumber : Horonjeff et al (2010:260)
Setelah proses evaluasi, tanah dasar harus dipadatkan demi mendapatkan
nilai daya dukung yang dibutuhkan untuk mengetahui kekuatan tanah dasar di
dalam struktur perkerasan. “Bahan tanah dasar di bawah perkerasan kaku harus
dipadatkan untuk memberikan stabilitas yang memadai dan dukungan seragam
terhadap perkerasan” (FAA, 1995:55).
Pemadatan untuk mendapatkan nilai daya dukung pada tanah dasar, juga
berguna untuk menghindari terjadinya penurunan pada struktur perkerasan yang
akan mengakibatkan kerusakan. Nilai kekuatan yang digunakan untuk desain
perkerasan harus didasarkan pada hasil penelitian yang menyeluruh tentang
hubungan kelembapan, density dan kekuatan tanah dasar.
Dilakukannya pemadatan akan memaksa udara keluar dari tanah sehingga
berat isi tanah akan meningkat. “Pemadatan meningkatkan density dengan

Universitas Sumatera Utara

akibatnya potensi yang lebih rendah dari kadar air, bahkan dalam hal kejenuhan
berikutnya” (Yoder, et.al., 1975 : 326). Hubungan kelembapan dan density juga
disampaikan oleh (Packard, 1995:8) “Setelah perkerasan yang dibangun, kadar air
sebagian besar tanah dasar meningkat menjadi sekitar batas plastik tanah (ASTM
D424); yaitu, kadar air hamper mencapai batas atas optimal standar. Jika kadar air
ini diperoleh dalam konstruksi, perubahan berikutnya dalam kelembaban akan
jauh lebih sedikit dan tanah dasar akan mempertahankan stabilitas cukup seragam
diperlukan untuk kinerja perkerasan yang baik”.
Untuk mengontrol pemadatan selama konstruksi, tes untuk menentukan
hubungan kelembapan-density dari berbagai jenis tanah harus dilakukan, menurut
FAA (2009:5) :
 Beban Perkerasan berat
Perkerasan yang dirancang untuk melayani pesawat seberat £ 60.000 (27 216
kg) atau lebih, menggunakan ASTM Metode D 1557, Standard Test Methods
for Laboratory Compaction Characteristics of Soil Using Modified Effort
(56.000 ft-lbf / ft3 (2700 kN-m / m3) ).
 Beban Perkerasan Ringan
Perkerasan yang dirancang untuk melayani pesawat dengan berat kurang dari £
60.000 (27 216 kg), menggunakan ASTM Metode D 698, Standard Test
Methods for Laboratory Compaction Characteristics of Soil Using Standard
Effort (12 400 ft-lbf / ft3 (600 kN-m / m3)).
Beberapa persyaratan pemadatan menurut FAA (1995:56) adalah “Untuk
tanah kohesif yang digunakan dalam bagian fill Keseluruhan sampai harus
dipadatkan menjadi 90 persen kepadatan maksimum. Untuk tanah kohesif di

Universitas Sumatera Utara

bagian dipotong, bagian atas 6 inci (150 mm) dari tanah dasar harus dipadatkan
menjadi 90 persen kepadatan maksimum. Untuk tanah non kohesif digunakan di
bagian fill, diatas 6 inci (150 mm) dari fill harus dipadatkan hingga 100 persen
kepadatan maksimum, dan sisanya untuk bahan pengisi harus dipadatkan menjadi
95 persen kepadatan maksimum. Untuk bagian dipotong di tanah non kohesif, atas
6 inci (150 mm) dari tanah dasar harus dipadatkan hingga 100 persen kepadatan
maksimum dan 18 inci berikutnya (460 mm) dari tanah dasar harus dipadatkan
menjadi 95 persen kepadatan maksimum”
Kemudian saat perang dunia ke 2, US Army Corps Of Engineering
mengembangkan Modiefied Proctore Test untuk memperoleh tingkat kepadatan
yang lebih tinggi yang diperlukan untuk lapangan terbang yang didarati pesawatpesawat berat.
II.4.1 Metode CBR
“CBR tes pada dasarnya adalah tes penetrasi yang dibuat dengan
meratakan tingkat regangan” (ICAO, 1983:141). “Prinsip dasar dari metode CBR
adalah untuk menyedikan tebal lapisan perkerasan yang sesuai dengan kwalitas
bahan yang digunakan untuk melindungi lapisan dibawahnya dari kerusakan alur
(deformasi plastis) selama masa layan perkerasan yang umumnya ditetapkan 20
tahun” (Kosasih, 2005:15).
Tes CBR dapat dilakukan di lapangan maupun di laboratorium. “Tes
CBR laboratorium harus dilakukan sesuai dengan ASTM D 1883, Bearing Ratio
of Laboratory-Compacted Soils. Uji lapangan CBR harus dilakukan sesuai dengan

ASTM D 4429, Cara uji untuk Bearing Ratio dari Tanah di tempat” (FAA,
2009:9).

Universitas Sumatera Utara

“Uji lapangan CBR dapat memberikan informasi berharga tentang
pondasi eksisting yang telah ada selama beberapa tahun. Bahan-bahan harus
berada di tempat untuk waktu yang cukup demi memungkinkan tercapainya kadar
air pada kondisi seimbang” (ICAO,1983:141) dan (FAA, 2009:9). Untuk tes CBR
dilapangan prosedurnya menurut SNI 1738:2011.
Untuk prosedur tes CBR dilaboratorium secara singkat FAA (2009:9)
menyampaikan “Tes CBR laboratorium dilakukan pada bahan yang telah
diperoleh dari lokasi dan dibentuk ulang dengan kepadatan yang akan diperoleh
selama konstruksi. Spesimen direndam selama 4 hari untuk memungkinkan
material untuk mencapai saturasi. Sebuah tes CBR jenuh digunakan untuk
mensimulasikan kondisi mungkin terjadi di perkerasan yang telah bekerja selama
beberapa waktu. Pondasi Perkerasan cenderung mencapai kejenuhan hampir
selesai setelah sekitar 3 tahun. Perubahan kelembaban musiman juga mendikte
penggunaan nilai desain CBR jenuh karena lalu lintas harus didukung selama
periode kelembaban tinggi seperti musim semi”
Menurut Basuki (2008: 274) untuk lapangan terbang dengan subgrade
yang baik test pemadatannya harus di modifikasi, prosedur modifikasi oleh
AASHTO adalah 5 lapisan tanah pada silinder yang sama, berat pemadatan 4½
kg tinggi jatuh pemadatan 45 cm. Tiap-tiap lapis dipadatkan dengan 55
pukulan.Untuk tes CBR direndam, dilakukan perendaman selama 4 hari untuk
mendapat kan kejenuhan tanah, Dan karena 4 hari dianggap sebagai kondisi tanah
paling jelek. Tes CBR laboratorium dilakukan sesuai dengan prosedur ASTM D
1883 dan Uji lapangan CBR harus dilakukan sesuai dengan ASTM D 4429.

Universitas Sumatera Utara

Grafik 2.1. Contoh Pendekatan Grafik, Metode CBR Desain Perkerasan Lentur
Sumber : Horonjeff et al. (2010)
II.4.2 Plate Bearing Test
“Seperti namanya menunjukkan, plate bearing test mengukur daya dukung
perkerasan pondasi, Hasilnya, nilai k, dapat dianggap sebagai tekanan yang
dibutuhkan untuk menghasilkan defleksi unit dasar trotoar” (FAA AC 150/53206E, 2009:9). Nilai “k” atau modulus of subgrade reaction yang di dapat dari plate
bearing test yang dilakukan pada daerah pondasi yang mewakili akan menopang
beban perkerasan. Menurut Basuki (2008:339) harga K merupakan perbandingan
beban MN/

atau psi dengan penurunan dari plate bearing test dalam meter atau

inchi.
K=

=

Prosedur plate bearing test berdasarkan pada ASTM D1194-72 dan secara
garis besar prosedur plate bearing dapat dilakukan dengan alat hydraulic jack.
Beban akan diperoleh dengan memompa hydraulic jack sampai mencapai nilai

Universitas Sumatera Utara

tekanan tertentu pada manometer untuk setiap tahap pembebanan. Nilai tekanan
untuk setiap tahap telah ditentukan berdasarkan besarnya beban test dan kapasitas
hydraulic jack yang digunakan. kemudian Penurunan atau defleksi plate

percobaan diukur dengan 4 (empat) buah dial-gauges yang diletakkan siku satu
sama lain dan dipasang fixed pada magnet base pada pelat 1 ft . Ujung dial-gauges
diletakkan pada reference beam yang telah diberi landasan kaca polos, sehingga
defleksi tiang dapat diukur dengan teliti. Setelah itu semua data pengamatan dan
pengukuran pada setiap tahap pembebanan selalu dicatat dengan teliti di dalam
loading test record form. Dan dengan catatan semua alat ukur yang digunakan di

dalam beban pada plate bearing test ini seperti harus dikalibrasi.

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Studi Perbandingan Metode Perencanaan Perkerasan Kaku untuk Lapangan Terbang

39 140 133

ANALISA PERBANDINGAN KONSTRUKSI JALAN PERKERASAN LENTUR DENGAN PERKERASAN KAKU DITINJAU DARI METODE Analisa Perbandingan Konstruksi Jalan Perkerasan Lentur Dengan Perkerasan Kaku Ditinjau Dari Metode Pelaksanaan Dan Biaya (Studi Kasus: Pekerjaan Peningka

0 3 16

ANALISA PERBANDINGAN KONSTRUKSI JALAN PERKERASAN LENTUR DENGAN PERKERASAN KAKU Analisa Perbandingan Konstruksi Jalan Perkerasan Lentur Dengan Perkerasan Kaku Ditinjau Dari Metode Pelaksanaan Dan Biaya (Studi Kasus: Pekerjaan Peningkatan Struktur Jalan Ma

0 2 20

STUDI KOMPARASI PERENCANAAN TEBAL PERKERASAN KAKU JALAN TOL MENGGUNAKAN Studi Komparasi Perencanaan Tebal Perkerasan Kaku Jalan Tol Menggunakan Metode Bina Marga 2002 Dan Aashto 1993 ( Studi Kasus : Ruas Jalan Tol Solo – Kertosono ).

0 2 17

Studi Perbandingan Metode Perencanaan Perkerasan Kaku untuk Lapangan Terbang

0 0 11

Studi Perbandingan Metode Perencanaan Perkerasan Kaku untuk Lapangan Terbang

0 0 1

Studi Perbandingan Metode Perencanaan Perkerasan Kaku untuk Lapangan Terbang

0 0 10

Studi Perbandingan Metode Perencanaan Perkerasan Kaku untuk Lapangan Terbang

0 0 4

PERENCANAAN PERKERASAN KAKU JALAN KABUPA

0 2 5

PERBANDINGAN PERKERASAN LENTUR DAN PERKERASAN KAKU TERHADAP BEBAN OPERASIONAL LALU LINTAS DENGAN METODE AASHTO PADA RUAS JALAN KALIANAK STA 0+000 – 5+350 SURABAYA TUGAS AKHIR - PERBANDINGAN PERKERASAN LENTUR DAN PERKERASAN KAKU TERHADAP BEBAN OPERASIONAL

0 1 13