Studi Perbandingan Metode Perencanaan Perkerasan Kaku untuk Lapangan Terbang

(1)

DAFTAR PUSTAKA

1. Basuki, H. 2008. Merancang, Merencana Lapangan Terbang. Bandung:Penerbit PT.Alumni.

2. Horonjeff, R. dan McKevey, F. 1993. Perencanaan dan Perancangan Bandar Udara. jilid ketiga, Jakarta:Penerbit Erlangga.

3. FAA, Advisory Circular AC-150-5320-6E., 2009. Airport Pavemnet Design And Evaluation. United State Of America. 4. FAA, Advisory Circular AC-150/5370-16., 2007. Rapid

Construction Of Rigid (Portland Cement Concrete) Airfield Pavements. United State Of America.

5. FAA, Order 5300.7., 2005. Standard Naming Convention for Aircraft Landing Gear Configurations.United State Of America. 6. FAA, Advisory Circular AC-150/5300-13A., 2012. Airport

Design. United State Of America

7. International Civil Aviation Organization, ICAO Annex 14., 1999, Aerodrome Design Manual, third edition, Part 3, pavement.

8. Packard, R. 1995. Design Of Concrete Airport Pavement. Engineering Bulletin, Portland Cement Association.

9. Yoder, J. Dan Witczak, W., 1975. Principle Of Pavement Design. Second Edition, London.

10.Huang, Y., 2004. Pavement Analisis And Design. Pearson Education, Upper Saddle Silver, New Jersey.


(2)

11.Kosasih, D., 2005. Rekayasa Stuktur Dan Bahan Perkerasan. Catatan Kuliah Teknik Sipil Dan Lingkungan, Bandung: Penerbit ITB

12.Kosasih, D., 2005. Perancangan Perkerasaan Dan Bahan. Catatan Kuliah DepartemenTeknik Sipil, Bandung: Penerbit ITB

13.Kosasih, D., 2007. Analisis Desain Struktur Perkerasan Kaku Landasan Pesawat Udara Dengan Menggunakan Program Airfield. Jurnal Infrastruktur Dan Lingkungan, Volume 3, Nomor 1, Halaman 36-44.

14.Kawa, I. et al., 2002. Implementation Of Rigid Pavement Thickness Design For New Pavements. Federal Aviation Administration Airport Technology Transfer Confrence, United State Of America.

15.Tipnis, M. Dan Patil, M., 2014. Design Program Based PCN Evaluation Of Aircraft Pavements. FAA Worldwide Airport Technology Transfer Conference, New Jersey, United State Of America

16.Roesler, J. et al., 2007. Effect Of Gear Positions On Airfield Rigid Pavement Critical Stress Locations. FAA Worldwide Airport Technology Transfer Conference, Atlantic City, New Jersey, United State Of America


(3)

17.Shafabakhsh, G. Dan Khasi, E., 2014. Effect of aircraft wheel load and configuration on runway damages. Perodica

Polytechnica Civil Engineering, Halaman 85-94.

18.Prihatiningsih, A. Dan Itang, F., 2001. Desain Tebal Perkerasan Kaku Lapangan Terbang Dengan Metode Portland Cement Association. Jurnal teknik sipil universitas tarumanegara, No.2:227-237, Mei 2001.

19.Barman, M. Dan Pandey, B.B., 2008. Backcalculation Of Layer Moduli Of Concrete Pavement By Falling Weight Deflectometer. Paper No.545, Desember 2008.

20.Daggubati, S. et al. 2014. Runway design and structural design of an airfield pavement. e-ISSN: 2278-1684. Volume 11, halaman 10-27.

21.Cojocaru, R., 2011. The Design Of The Airport Rigid Pavement Stucture. Gheorghe Asachi Technical Univrsity Of Lasi, April 2011.

22.Covatariu, G. et al. 2011. Design Of Airport Rigid Runway Structure With Neural Network. Gheorghe Asachi Technical University Of Lasi, September 2011.

23.Shafabakhsh. dan Kashi., 2015 Effect of Aircraft Wheel Load and Configuration on Runway Damages. Periodica Polytechnica Civil Engineering, November 2014.

24.Horonjeff, R., et al . 2010. Planning And Design Of Airport. Fifth Edition, McGraw-Hill Companies, Inc.


(4)

25. Jodi, W., 2015. Airport Of the World. Online, tersedia : http://worldairports.de/index_en.php. 7 maret 2015.

26.http://www.airliners.net , “Characteristic and History Aircraft “

27.FAA., 2012. Aviation Maintenance Technician Handbook. Volume I, the United States Department of Transportation, Federal Aviation Administration, Oklahoma City.


(5)

BAB III

KARAKTERISTIK PESAWAT TERBANG

Pesawat terbang adalah alat transportasi udara yang dioperasikan untuk mengangkut penumpang maupun barang, dengan jumlah angkutan yang bervariasi sesuai dengan kapasitas pesawat. Berbeda dengan alat transportasi lain pesawat terbang dapat menjangkau tujuan dalam waktu yang lebih cepat dan membutuhkann sebuah lapangan terbang sebagai prasana transportasi. Jenis pesawat terbang berubah dan berkembang seiring dengan perkembangan teknologi dan material.

Perkembangan pesawat terbang terjadi pada seluruh komponen, yaitu pada material bahan dan mesin yang digunakan serta bentuk setiap sisi dari pesawat. Perubahan bentuk tersebut mempengaruhi karakteristik pesawat. Untuk keperluan desain perkerasan lapangan terbang, karateristik pesawat merupakan hal penting untuk diperkirakan. Karakteristik pesawat udara yang menjadi pertimbangan desain lapangan terbang adalah berat pesawat udara, dimensi pesawat udara dan konfigurasi sumbu roda pesawat udara.

III.1 Berat Pesawat

Setiap perkerasan berfungsi untuk menanggung beban kendaraan dengan berat tertentu yang beraktifitas diatasnya. Pada lapangan terbang, runway,taxiway dan apron di disain untuk menanggung beban pesawat dengan berat tertentu. “Berat pesawat penting untuk menentukan ketebalan dan kekuatan dari perkerasan landasan pacu, landasan hubung, dan apron, serta mempengaruhi panjang


(6)

kemudian untuk pengaruh besar terhadap tingkat perencanaan seluruh properti bandara.” (Horonjeff et. Al : 2010). Keperluan mengetahui berat pesawat adalah sebuah tahap untuk perencanaan sebuah lapangan terbang, karena setiap pesawat meskipun dengan konfigurasi dan dari produk yang sama namun, memiliki berat yang berbeda-beda. Terdapat beberapa pengukuran berat guna untuk keperluan perencanaan dan sebagai bagian dari karakteristik pesawat.Menurut Heru Basuki (2008:10) ada 6 macam pengertian berat pesawat yaitu :

a. Operating Weight Empty adalah berat dasar pesawat, termasuk di dalamnya crew, dan peralatan pesawat yang biasa disebut “No Go Item” tetapi tidak termaksud bahan bakar dan penumpang/barang yang membayar.

Operating weight empty tidak tetap untuk pesawat-pesaawat komersiil, besarnya tergantung konfigurasi tempat duduk.

b. Payload adalah produksi muatan (barang/penumpang) yang membayar, diperhitungkan menghasilkan pendapatan bagi perusahaan termaksud didalamnya penumpang, barang, surat-surat, paket-paket, excess bagasi. Maximum Structural Payload adalah muatan maximum yang diizinkn untuk tipe pesawat itu oleh direktorat jendral perhubungan udara, sertifikat muatan maximum bisa untuk penumpang/barang bisa untuk keduanya, tercantum dalam izin yang dikeluarkan.

Maximum payload yang dibawa biasanya lebih kecil dari maximum structural payload, mengingat batasan-batasan ruangan


(7)

Biasanya pada pesawat-pesawat penumpang susunan kursinya barang tertentu horizontal juga perbekalan dan peturasan yang membutuhkan ruangan.

c. Zero Fuel weight adalah batasan berat, spesifik pada tiap jenis pesawat, diatan batasan berat itu tambahan berat harus berupa bahan bakar, sehingga ketika pesawat sedang terbang, tidak terjadi momen lentur yang berlebihan pada sambungan.

Sayap pesawat berupa rongga-rongga yang berhubungan seperti bejana berhubungan, waktu pesawat sedang miring kesamping cairan bahan bakar tidak terkumpul ke satu sisi melainkan tetap terbagi rata.

d. Maximum Ramp weight adalah berat maximum pesawat diizinkan untuk taxi. Pada saat pesawat taxing dari apron menuju ujung landas pacu dan berjalan dengan kekuatan sendiri, membakar bahan bakar sehingga kehilangan berat.

Selisih dan perbedaan maximum ramp weight sangat sedikit, hanya beberapa ratus kilogram saja.

e. Maximum Structural Landing Weight adalah kemampuan struktural pesawat pada waktu mendarat. Main gear (Roda pendaratan) utama yang strukturnya direncanakan untuk menyerap gaya yang lebih besar tentu harus dengan gear yang lebih kuat. Selama penerbangan pesawat akan kehilangan berat dengan dibakarnya bahan bakar lebih-lebih untuk pesawat-pesawat yang menerbangi rute-rute jauh


(8)

Bisa dimengerti bila main gear direncanakan untuk menahan berat yang lebih kecil dari Maximum Structural Take Off Weight terutama pada pesawat-pesawat transport.

f.Maximum Structural Take Off Weight adalah berat maximum pesawat termaksud crew, berat pesawat kosong, bahan bakar, payload yang diizinkan oleh pabrik, sehingga momen tekuk yang terjadi pada badan pesawat, rata-rata masih dalam batas kemampuan material pembentuk pesawat.

Tidak ekonomis merencanakan main gear pesawat untuk menahan maximum struktural take off weight, waktu mendarat sangat jarang terjadi pesawat mendarat dengan berat maximum struktural take off weight. Bila terjadi ketika pesawat baru lepas landas dia harus kembali karena kerusakan, pilot pesawat harus terbang berputar-putar untuk membakar bahan bakar sampai berat tidak lebih dari maximum landing gear.

Disamping 6 hal mengenai pengukuran berat pesawat menurut horonjeff et al. (2010:61) terdapat lebih banyak istilah pengukuran berat pesawat yang berguna untuk keperluan desain, beberapa tambahannya yaitu :

a. The Maximum Structural Payload adalah beban maksimum dimana pesawat tersebut telah disertifikasi untuk dijalankan, apakah beban merupakan penumpang, barang, atau kombinasi keduanya. Secara teoritis, payload struktural maksimum adalah perbedaan antara The Zero Full Weight dan Operating Empty Weight. Maximum payload sebenarnya dilakukan biasanya kurang dari Maximum Structural Payload karena


(9)

keterbatasan ruang. Hal ini berlaku terutama untuk pesawat penumpang, di mana kursi dan barang-barang lainnya memakai sejumlah besar ruang b. Maximum Gross Take Off Weight adalah berat maksimum yang diizinkan

dengan melepas rem ketika lepas landas. Ini belum termasuk bahan bakar taxi dan run-up serta mencakup the operating empty weight, perjalanan dan cadangan bahan bakar, dan payload. Perbedaan antara maximum gross take off weight dan maximum ramp weight sangat nominal, hanya beberapa ribu pound untuk pesawat terberat. Berat kotor maksimum pendaratan sebenarnya bervariasi dengan kondisi atmosfer tertentu (yaitu, kepadatan udara, yang merupakan fungsi dari ketinggian lapangan maupun suhu udara sekeliling). Hal ini disebabkan fakta bahwa pada saat kerapatan udara rendah (seperti pada ketinggian tinggi dan / atau suhu tinggi), sebuah pesawat dengan berat tertentu mungkin tidak memiliki kekuatan mesin untuk mendapatkan take off, sementara pada berat yang sama beberapa pesawat mungkin mampu dengan kerapatan udara yang lebih tinggi, ditemukan di ketinggian rendah dan / atau suhu udara lebih rendah.

Setiap bagian dari istilah berat secara keseluruhan saling berkaitan dan penting untuk perkerasan, karena ketika berat pesawat tidak teerkordinasi secara tepat maka akan menimbulkan kerusakan pada perkerasan. Terutama jika terjadi kelebihan berat. Menurut FAA (2007:2) dalam Aircraft Weight and Balance Handbook. Beberapa masalah yang disebabkan oleh kelebihan beban sebuah pesawat adalah:


(10)

a. pesawat akan membutuhkan kecepatan lepas landas yang lebih tinggi, yang menghasilkan lebih lama lepas landas.

b. baik tingkat dan sudut pendakian akan berkurang. c. plafon layanan akan diturunkan.

d. kecepatan jelajah akan berkurang. e. kisaran jelajah akan dipersingkat. f. kemampuan manuvernya akan menurun.

g. roll pendaratan yang lebih lama akan diperlukan karena kecepatan pendaratan akan lebih tinggi.

h. beban yang berlebihan akan dibebankan pada strukturnya, terutama roda pendaratan.

Kelebihan berat pesawat akan menimbulkan kerusakan ketika struktur perkerasan harus dipaksa untuk menampung beban diluar jangkauan. perkembangan pesawat dan munculnya pesawat baru yang mengalami peningkatan bobot pesawat tersebut merupakan masalah untuk perkerasan. maka ketepatan dalam mempertimbangkan berat pesawat dalam hal karakteristik pesawat akan menghindari perkerasan dari kerusakan dan dapat digunakan sesuai dengan umur rencana.

III.2 Dimensi Pesawat

Dimensi pesawat merupakan karakteristik fisik pesawat yang diperkirakan dalam perencanaan karena akan mempengaruhi dimensi runway, taxiway maupun apron. Dimensi pesawat ini merupakan ukuran dari setiap bagian fisik pesawat. seperti terlihat pada gambar 3.1 yang menunjukan dimensi pesawat dalam kategori besar dan gambar 3.2 yang merupakan dimensi pesawat kecil.


(11)

Gambar 3.1 Dimensi Pesawat besar Sumber : FAA AC 150/5300-13A (2014)

Gambar 3.2 Dimensi Pesawat Kecil Sumber : FAA AC 150/5300-13A (2014)


(12)

Dimensi pesawat juga mengalami perubahan ketika terjadi perkembangan pesawat. Dimensi pesawat dapat berdampak pada penambahan berat pesawat. seperti pesawat terbaru jenis A-380 dan B-787 seperti yang terlihat pada gambar 3.3 dan 3.4 berikut :

Gambar 3.3 Dimensi Pesawat A380 Sumber : Airbus AC 380-800 (2014)


(13)

(14)

Dimensi dari pesawat-pesawat tersebut memiliki ukuran untuk setiap bagian-bagiannya. Beberapa definisi untuk dimensi pesawat menurut Horonjeff et al. (2010:57-58) adalah sebagai berikut :

a. Panjang pesawat didefinisikan sebagai jarak dari ujung depan badan pesawat, atau badan utama pesawat, ke ujung belakang bagian ekor, yang dikenal sebagai ekor rakitan. Panjang pesawat digunakan untuk menentukan panjang area parkir sebuah pesawat, hanggar. Selain untuk bandara komersial, panjang pesawat terbesar untuk melakukan setidaknya lima keberangkatan per hari yang menentukan jumlah yang dibutuhkan untuk penyelamatan dan peralatan pemadam kebakaran pesawat di lapangan terbang.

b. lebar sayap pesawat didefinisikan sebagai jarak dari sayap ke sayap sayap utama pesawat. Lebar sayap pesawat yang digunakan untuk menentukan lebar area parkir pesawat dan jarak gate, serta menentukan lebar dan pemisahan landasan pacu dan taxiway di lapangan terbang. c. Ketinggian maksimum pesawat biasanya didefinisikan sebagai jarak dari

tanah ke atas bagian ekor pesawat. Pada kasus yang jarang, tinggi maksimal pesawat ini ditemukan di tempat lain di pesawat misalnya, tinggi maksimum Airbus Beluga ini tercatat sebagai jarak dari tanah ke atas pintu masuk depan pesawat bila sepenuhnya diperpanjang ke atas dalam posisi terbuka .

d. Jarak sumbu roda dari pesawat didefinisikan sebagai jarak antara pusat roda pendaratan utama pesawat dan pusat nose gear , atau tail-wheel , dalam kasus pesawat tail-wheel. Jalur roda pesawat ini didefinisikan


(15)

sebagai jarak antara roda luar dari roda pendaratan utama pesawat. Jarak sumbu roda dan jalur roda pesawat menentukan radius minimum berputar, yang pada gilirannya memainkan peran besar dalam desain turnoffs taxiway, persimpangan, dan daerah lain di sebuah lapangan udara yang membutuhkan pesawat untuk berputar.

e. Memutar radius adalah fungsi dari sudut depan roda kemudi. Semakin besar sudut, semakin kecil radius tersebut. Dari pusat putaran jarak ke berbagai bagian dari pesawat, seperti ujung sayap, bagian depan, atau ekor, mengakibatkan sejumlah radius. Radius terbesar adalah yang paling penting dari sudut pandang izin untuk bangunan atau pesawat yang berdekatan. Radius putar minimum sesuai dengan sudut maksimum kemudi roda depan yang ditentukan oleh produsen pesawat. Sudut maksimum bervariasi dari 60 ° sampai 80 °, untuk keperluan desain sudut kemudi dari sekitar 50 ° sering diterapkan.

Radius putar dari dalam pesawat terbang dapat dinyatakan menggunakan rumus berikut :

R180° putaran = b tan (90 - b) + t / 2 (2-1) dimana :

b = jarak sumbu roda dari pesawat t = jejak roda pesawat

b = maksimum sudut kemudi

f. Pusat rotasi dapat dengan mudah ditentukan dengan menarik garis melalui sumbu roda hidung di sudut kemudi apapun yang diinginkan. Persimpangan garis ini dengan garis yang ditarik melalui sumbu dari dua roda gigi utama adalah pusat rotasi. Beberapa pesawat besar baru


(16)

memiliki kemampuan berputar gigi utama ketika membuat tikungan tajam

III.3 Konfigurasi Roda Pesawat

Pada bab sebelumnya telah dibahas bahwa beban pesawat di dasarkan pada berat kotor pesawat dan prosedur desain mengasumsikan 95% dari berat kotor dilakukan oleh roda gigi pendaratan utama dan 5% dilakukan oleh roda gigi depan. “Konfigurasi roda pendaratan dan berat kotor pesawat merupakan bagian tidak terpisahkan dari desain lapangan udara perkerasan dan sering digunakan untuk menggambarkan kekuatan perkerasan” (FAA Order 5300, 2005:1).

Kaitan ini dikarenakan roda pesawat berfungsi sebagai tempat mendistribusikan beban yaitu berat kotor pesawat, terhadap perkerasan. Roda pesawat memiliki penamaan untuk setiap konfigurasinya. “Dalam sejarahnya, kebanyakan pesawat udara yang digunakan geometri roda nya relatif sederhana seperti roda tunggal Berpenyangga atau dua roda berdampingan pada penyangga pendaratan” (Shafabakhsh dan Kashi, 2014:85). Pada FAA order 5300.7 (2005:1) dinyatakan bahwa sampai akhir 1980-an, sebagian besar pesawat sipil dan militer menggunakan tiga konfigurasi roda dasar: "roda tunggal" (satu roda per penyangga), "roda ganda" (dua roda berdampingan di setiap penyangga), dan "ganda tandem "(dua roda berdampingan diikuti oleh dua tambahan roda side-by-side). Jenis-jenis konfigurasi roda tersebut merupakan bentuk paling dasar.

Karena perkembangan pesawat yang menyebabkan meningkatnya berat kotor, maka terjadi penambahan roda pada konfigurasi dasar roda pesawat sehingga jenis dan bentuk konfigurasi roda semakin kompleks. Ketika sebuah pesawat mengalami peningkatan berat kotor maka harus ada penambahan roda


(17)

pada pesawat agar beban terdistribusi merata dan menghindari tekanan yang tinggi pada pekerasan akibat beban roda. ”Sebagaimana pesawat menjadi lebih besar dan lebih berat, mereka membutuhkan roda tambahan untuk mencegah beban roda individu dari memberikan tekanan terlalu tinggi kedalam struktur perkerasan.” (Shafabakhsh dan Kashi, 2014:85). Hal ini juga dinyatakan dalam kutipan berikut “Secara khusus, lebih banyak roda pada roda pendaratan, semakin berat sebuah pesawat bisa dan masih akan didukung pada jalan, taxiway, atau landasan pacu dari kekuatan perkerasan diberikan” (Horonjeff et.al, 2010:61).

Penambahan konfigurasi roda ke bentuk yang lebih kompleks menuntut untuk sistem penamaan dikembangkan dan dikoordinasi agar terdapat penamaan yang seragam dari setiap jenis dan bentuk roda pendaratan seperti yang terlihat pada gambar 3.5 sampai 3.7.


(18)

Gambar 3.6 Jenis dan Bentuk Roda pendaratan Sumber : FAA order 5300.7


(19)

Gambar 3.7 Jenis dan Bentuk Roda pendaratan Sumber : FAA order 5300.7


(20)

“Konfigurasi roda pesawat merupakan faktor efektif dalam kerusakan” (Shafabakhsh dan Kashi, 2014:88). Roda pesawat mendistribusikan beban dan menimbulkan kerusakan pada perkerasan. Semakin sedikit roda pesawat maka kerusakan yang ditimbulkan semakin besar. dari susunan roda dasar pada pesawat terbang seperti pada tabel 2.1 yaitu: single wheel, dual wheel, twin-tandem dan tandem. Terlihat pengaruh pengaruh susunan roda pada tekanan ban.

Tabel 2.1 Karakteristik Perwakilan Roda Pendaratan Pesawat Terbang

Sumber : Cojocaru (2011)

Ban diberlakukan untuk menanggung beban pesawat dalam waktu yang singkat sebelum akhirnya lepas landas. hal tersebut yang menyebabkan tekanan ban berhubungan dengan berat kotor pesawat dan susunan roda. Tekanan ban bervariasi antara 75 dan 200 PSI (516-1 380 kPa) tergantung pada konfigurasi roda dan berat kotor. perkembangan nilai definisi tekanan ban berkembang seiring kemajuan teknologi pesawat terbang. Pada FAA AC 150/5320-6E (2009:14) menyatakan bahwa “Tekanan ban bervariasi tergantung pada konfigurasi roda, berat kotor, dan ukuran ban. Tekanan ban memiliki signifikan lebih berpengaruh pada strain di lapisan permukaan aspal dari pada tanah dasar”.


(21)

BAB IV

STRUKTUR PERKERASAN KAKU

Perkerasan kaku atau Rigid Pavement merupakan susunan lapisan perkerasan yang menggunakan PCC (portland cement concrete) pada lapis permukaannya. Susunan lapisan pada perkerasan kaku yaitu tanah dasar, lapis pondasi dan lapisan perkerasan kaku. Lapisan pondasi bisa digunakan atau tidak pada struktur perkerasan kaku seperti terlihat pada gambar 4.1. Hal tersebut disebabkan kekakuan dan modulus elastisitas yang tinggi mengakibatkan beban pada perkerasan sebagian besar diberikan pada pelat beton itu sendiri. “Karena kekakuan perkerasan beton, beban tersebar di daerah yang luas dari tanah dasar dan tekanan pada tanah dasar yang sangat rendah. Akibatnya, 'perkerasan beton tidak selalu memerlukan dukungan yang kuat dari bawah” (Packard, 1995:15)

Gambar 4.1 Susunan Lapisan Perkerasan kaku Sumber : Huang (2004)

IV.1 Tanah Dasar

Kinerja perkerasan dipengaruhi oleh tanah dasar, semakin kuat tanah dasar untuk menahan beban, maka tebal perkerasan beton yang dibutuhkan akan semakin kecil. “Tergantung pada kekuatan tanah subgrade, ketebalan lapisan fleksibel serta kaku perkerasan akan terpengaruh” (Bezabih dan Chandra, 2009:1). Daya dukung tanah dasar atau modulus of subgrade harus cukup baik untuk meningkatkan kekuatan struktur. “Pondasi modulus dapat dinyatakan sebagai


(22)

modulus of subgrade reaction k atau sebagai elastic (Young‟s) modulus E dan dapat menjadi masukan ke dalam program secara langsung dalam bentuk baik” (FAA, 2009: 326).

IV.1.1 Modulus Reaksi Tanah Dasar

Untuk mendapatkan nilai modulus of subgrade reaction atau nilai k ditentukan oleh plate bearing test. “Harga k subgrade ditentukan di lapangan dengan test plate bearing” (Basuki, 2008:339). “Modulus reaksi tanah dasar, atau nilai k tanah dasar ditentukan oleh apa yang dikenal sebagai plate bearing test lapangan. Tes ini terdiri dari menerapkan beban dengan cara jack hidrolik melalui bingkai jacking pada pelat baja diameter 30 in pada tanah” (Horonjeff et.al., 2010:263). “plate diamter 30 inci umumnya digunakan dalam tes. Dengan menggunakan sistem pembebanan jack yang dikalibrasi, tanah dasar tersebut mengalami tekanan dikenal pada tingkat kecepatan yang telah ditentukan sebelumnya.” (Yoder, et.al., 1975:245). Pada suatu derah tanah yang mewakili sebuah plate berdiamerter 30 inci diletakkan dan dibebani kemudian diteliti penurunannya. Untuk memperoleh nilai k beban diintensites senilai 10 psi. Persamaan untuk nilai k (Yoder, et.al., 1975:245) adalah :

dimana : p = berat diatas plate (psi) = defleksi dari plate (in.)

“Secara umum, semakin besar kekasaran tanah, semakin tinggi nilai k dan sedikit defleksi untuk pembebanan yang diberikan yang dapat diharapkan”


(23)

(Horonjeff et.al., 2010:263). Hubungan antara defleksi dan pembebanan dapat dilihat pada gambar 4.2

Gambar 4.2 Hubungan Defleksi Dan Pembebanan Pada Plate Bearing Test Sumber : Yoder, et.al. (1975)

pada gambar kurva yang terlihat menjelaskan (a) hubungan waktu dengan deformasi, (b) pembebanan dan deformasi (c) pembebanan memantul dan


(24)

deformasi (d) perputaran pembebanan dan deformasi (e) pembebanan berulang dan deformasi (f) efek dari ukuran plate (g) beban berulang terhadap deformasi.

Terdapat parameter untuk kisaran pendekatan nilai modulus of subgrade reaction atau nilai k (Pci) yaitu sangat jelek, sedang-baik, sangat baik. hal ini terlampir dalam tabel 4.1 berikut

Tabel 4.1 Nilai Modulus Tahan Dasar (k)

Keterangan mengenai bahan pondasi k

Sangat jelek <150

Sedang sampai baik 200-250

Sangat baik >300

Sumber : Horonjeff dan McKevey (1993)

Plate bearing tes dilakukan pada kadar air alami. Jika keadaan tanah kering, akan sulit untuk mendapatkan nilai k. Untuk menghindari keadaan tanah yang tidak optimal tes ini dapat dilakukan dilaboratorium. “Hal ini dicapai dengan menjalankan konsolidasi di laboraturium atau tes kompressi sederhana pada sampel tanah tanah dasar pada kadar air dan kepadatan yang berlaku selama uji lapangan” (Yoder, et.al., 1975:247).

Untuk beberapa keadaan tanah, pada tabel 4.2 menunjukkan nilai modulus subgrade reaction dari jenis- jenis tanah seperti tanah berbutir kasan dan tanah berbutir halus. Pada tebal juga di tunjukkan jenis tanah dan nilai kualitasnya untuk diletakkan dibawah lapis pondasi.


(25)

Tabel 4.2 karakteristik tanah sehubungan dengan nilai k


(26)

IV.1.2 Modulus Elastis (Young)

Metode lainnya untuk menentukan nilai modulus pada tanah dasar adalah modulus elastisitas atau modulus young (nilai E) Nilai ini diperlukan ketika merencanakan perkerasan kaku dengan menggunakan program, salah satu program yang menggunakan nilai E adalah FAARFIELD dari metode FAA. “Semakin besar nilai E, semakin kaku material, dan mengurangi material untuk rentan terhadap deformasi dibawah beban tegangan yang diberikan” (Horonjeff, et.al., 2010:266). Persamaan nilai E secara empiris menurut Horonjeff (2010:266) dapat diperkirakan dengan evaluasi rasio tegangan dengan regangan.

Dimana: F = Gaya yang diterapkan pada perkerasan

= Luas penampang awal melalui gaya yang diterapkan L = Jumlah dari perubahan bentuk perkersan

= Bentuk awal objek

Jika nilai k didapatkan dari plate bearing test dilapangan, pada nilai Edidapat dari non-destructive testing. ”Untuk perkerasan yang sudah ada E modulus dapat ditentukan di lapangan dari non-destructive testing (NDT) seperti falling-weight deflectometer (FWD) dan tes ini mungkin diperlukan jika pengujian langsung dari tanah dasar menjadi tidak praktis” (FAA, 2009:34). Dalam perkerasan jika nilai k adalah yang diketahui, maka nilai ini dapat dikonversikan ke nilai E. Apabila menggunakan program konversi ini akan dilakukan oleh program secara otomatis, menurut Horonjeff (2010:266) dan menurut FAA (2009:34) dapat dirumuskan sebagai berikut:

E= = = =


(27)

IV.2 Lapis Pondasi

Lapis pondasi dibuat diatas tanah dasar dan dibawah perkerasan beton dengan tebal yang ditentukan. “Perkerasan rigid dicor diatas lapisan subbaase, maka lapisan subbase tebalnya harus 100mm (4inchi)” (Basuki, 2008:342). Mengenai tebal perkerasan beton juga jelaskan dalam PCA dan FAA (2009:33) “Standar FAA subbase untuk perkerasan kaku adalah 4 inci (102 mm) Item P-154, Subbase Course”. “Untuk lalulintas berat perkerasan bandara, ketebalan pondasi bawah maksimum 6 in. Disarankan untuk subbases granular tidak diolah” (Packard, 1975:11). Lapisan pondasi pada struktur perkerasannya terdiri dari material kerikil, batu pecah dengan gradasi baik dan distabilisasi dengan semen atau campuran aspal digunakan di pada perkerasan kaku untuk berbagai macam fungsi. menurut horonjeff (1993:118) dengan bahan berbutir dan yang distabilisasi yang didatangkan dari luar lokasi diletakkan diatas tanah asli untuk menjalankan satu atau lebih fungsi berikut :

 Untuk mencegah dan mengurangi pemompaan  Untuk mencegah kerusakan akibat es beku

 Untuk mencegah kerusakan akibat muai dan susut pada tanah bervolume tinggi

 Untuk meningkatkan daya dukung tanah asli

 Untuk menghasilkan permukaan yang stabil dan rata selama pelaksanaan “Ketika kondisi dimana laulintas dan berat dari volume lalulintas menyebabkan pemompaan pada daerah sambungan beton, sehingga lapisan dasar granular menjadi pilihan terbaik untuk mengatasi hal tersebut.” (Huang, 2004:12). Pemompaan dapat didefinisikan butiran jenuh air dari tanah dasar keluar seperti terpompa keatas melalui sambungan atau retak yang ada hal ini


(28)

disebabkan oleh penurunan perkerasan. Menurut Basuki (2008:341) Efek pompa pada perkerasan akan terjadi bila terdapat :

 air

 butiran tanah yang akan larut menjadi suspensi  lalu lintas.

Sedangkan menurut horonjeff (1993:119)” Tiga penyebab pemompaan dapat terjadi yaitu : air, tanah yang tertekan dan lalu lintas”. Packard (1975:11) dalam PCA Engineering Bulletin menjelaskan studi subbase menunjukkan bahwa tiga faktor yang diperlukan sebelum lumpur-memompa dapat terjadi:

 Tanah dari tanah dasar yang akan masuk ke suspensi.

 bebas air antara perkerasan dan tanah dasar, atau penjenuhan tanah dasar.  Bagian dengan beban berat yang sering.

Pemompaan lebih memungkinkan terjadi pada keadaan lalulintas tinggi dan berat serta adanya air pada lapisan antara slab beton dengan sungrade/subbase. Selain untuk efek pemompaan, efek dari kerusakan akibat es juga dapat diatasi. Namun, kerusakan akibat es pada perkerasan hanya terjadi di negara-negara dengan 4 musim, tidak berlaku untuk Indonesia. Pada jenis tanah tertentu sering terjadi berubahan akibat muai dan susut dan lapisan pondasi dapat memberi ketahan untuk hal tersebut.

Selain memperkuat lapisan pondasi juga dapat meningkatkan nilai modulus pada tanah dasar sehingga nilai k yang meningkat akan mengurangi tebal perkerasan beton dan biaya menjadi relatif lebih kecil. ”Biaya lapis pondasi kemudian bisa dipertimbangkan dengan penghematan pada ketebalan perkerasan beton” (Yoder, 1975:374). Kenaikan nilai k pada tanah dasar akibat dari lapis pondasi tanpa atau dengan di stabilisasi dapat dilihat pada gambar 4.3 dan 4.4.


(29)

Gambar 4.3 Pengaruh Lapis Pondasi Yang Tidak Distabilisasi Diatas Tanah Dasar Sumber : Packard (1995)

Gambar 4.4 Pengaruh Lapis Pondasi Yang Tidak Distabilisasi Diatas Tanah Dasar Sumber : Packard (1995)


(30)

Lapis pondasi berbahan granular dengan kualitas yang kurang baik dapat diatasi dengan dilakukan stabilisasi untuk memenuhi spesifikasi. beberapa hal yang dianggap menjadi alasan untuk menstabilisasi lapis pondasi menurut Yoder et.al. (1975:300) adalah :

 Kondisi tanah dasar yang buruk  material dasar perbatasan  pengendalian debu  kontrol kelembaban  menyelamatkan jalan lama  pembangunan lapisan terbaik

Menurut (Horonjeff, 1993:119) “Stabilisasi membantu untuk meningkatkan kualitas serta fungsi lapis pondasi pada perkerasan dan beberapa keuntungan yaitu:

 memberikan dukungan yang kuat, merata dan kedap air bagi perkerasan

 menghindarkan pengaruh pemadatan lalulintas terhadap bahan yang berada langsung dibawah pelat

 meningkatkan pemindahan beban pada sambungan sambungan

 mempermudah pelaksanaan karena lapisan yang distabilisasi akan mengurangi penutupan bandar udara karena cuaca jelek

 memberikan dukungan yang kuat selama pengecoran dengan menggunakan truk penghamparan belakang (slip-form paver) atau penghamparan samping (side-form), sehingga didapt permukaan perkerasan yang rata


(31)

IV.3 Lapisan Permukaan Beton

Lapisan permukaan beton pada perkerasan kaku diletakkan diatas lapis pondasi granular atau yang di stabilisasi. Tebal perkerasan beton dipengaruhi oleh beberapa faktor. Basuki (2008:338) faktor – faktor yang mempengaruhi ketebalan perkerasan rigid adalah :

a. Lalu lintas pesawat

Ramalan lepas landas tahunan (annual departure) atau ramalan jumlahpesawat yang akan lepas landas selama 20 tahun design life, perkerasan, harus dibuat untuk tiap-tiap tipe pesawat yang harus dilayani oleh landasan pacu

b. Ramalan lalu lintas disusun dalam tabel pesawat yang berbeda-beda dengan Bermacam-macam beratdan tipe roda pendaratn yang berlainan. Dalam menghitung tebal perkerasan yang dibutuhkan dipakai maximum pesawat lepas landas.

Tipe roda pendaratan menentukan bagaimana berat pesawat itu dibagi keatas perkerasan dan menentukan reaksi perkerasan terhadap beban pesawat. c. Kekuatan subgrade atau kombinasi subbase-subgrade.

Lapisan permukaan beton pada struktur perkerasan memiliki tebal yang berbeda - beda. Lapisan beton yang akan melayani lalulintas pesawat memiliki area kritis lalulintas atau daerah kritis yang disebut juga daerah T. Tebal perkerasan sepenuhnya diaplikasikan di daerah T. Yang menjadi bagian-bagian daerah T adalah bagian yang menjadi daerah keberangkatan pesawat seperti apron, taxiway dan runway. Perbedaan tebal perkerasan pada lapisan beton untuk landasan pacu diperlihatkan pada gambar 4.5.


(32)

Gambar 4.5 Penampang Landasan Pacu Sumber : FAA AC No: 150/5320-6D (1995)


(33)

Seperti terlihat pada gambar 4.4, Pada runway Daerah T terdapat dibagian tengah yaitu daerah keberangkatan lalulintas pesawat. Daerah T juga terdapat pada taxiway dan apron. Daerah yang tidak kritis yaitu pada bagian pesawat mendarat atau berbelok dengan kecepatan tinggi. Pada daerah ini tebal perkerasan dapat dikurangi menjadi 0,9T. “Ketebalannya adalah untuk daerah kritis „T‟,untuk daerah tidak kritis, ketebalan direduksi 10%menjadi 0,9T.” (Basuki,2008:358). Hal ini juga disampaikan dalam FAA (1995:58) “Ketebalan 0.9T untuk daerah non kritis berlaku untuk ketebalan pelat beton.

Untuk bagian ketebalan variabel bagian tepi dan transisi menipis, pengurangan berlaku untuk ketebalan pelat beton”. Bagian tepi merupakan bagian yang jarang atau sedikit dilalui pesawat. Hal ini juga berlaku pada taxiway. Pengurangan ketebalan dibagian tepi juga diterangkan dalam engineering bulletin “Penurunan ketebalan untuk lembaran dekat luar landasan pacu tepi dapat dibenarkan karena sangat sedikit, jika ada, perjalanan pesawat dekat dengan tepi , terutama pada landasan pacu yang luas (200 ft.)” (Packard, 1995:27).

Dengan keterangan tersebut untuk bagian tepi runway dan taxiway serta bagian transisi merupakan daerah tidak kritis sehingga tebal perkerasan dapat dikurangi menjadi 0,7T. Tebal ditengah landasan pacu dan menipis di tepi landasan pacu merupakan desain keel section. “Desain keel section dapat menghasilkan penghematan substansial dalam upaya pembangunan dan biaya” (Packard, 1995:20).


(34)

IV.3.1. Dimensi Plat

Pada peraturan perkerasan jalan kaku di Indonesia (BM, 2003), disyaratkan bahwa ketentuan dimensi pada plat beton yaitu L/B ≤ 1.25. Sedangkan ketentuan dimensi plat pada perkerasan lapangan terbang ditentukan berdasarkan analisa tegangan pada sudut (corner), dalam (interior), dan pinggir (edge). Beban yang digunakan untuk analisa merupakan beban pesawat yang mempunyai efek perusak yang paling besar, oleh karena itu bukan hanya beban pesawat terbesar saja, tetapi konfigurasi satu set beban juga sangat mempengaruhi.

a. Tegangan sudut (corner)

b. Tegangan dalam (interior)

c. Tegangan pinggir (edge)

dimensi sebuah beton merupakan bagian penting dalam merencanakan pelat beton. Salah satu penentu dimensi adalah alat konstruksi. ”Dimensi pelat yang dipilih adalah 5,00 × 7.00m yang mewakili lebar kerja maksimum mesin pengecoran beton dan panjang maksimal yang diperbolehkan antara kontraksi-lentur sambungan melintang” (Cojocaru,2011:53). Selain dari alat konstruksi, dimensi pelat beton juga dipengaruhi oleh tebal dari pelat beton. Hal ini terlihat dari rumus corps of engineering yang disampaikan oleh Yoder (1975:581), yaitu :


(35)

L =

L : panjang maksimum (melintang atau membujur) h : ketebalan pelat beton

f3 : tegangan baja

p : persen baja

IV.3.2. Sambungan (Joint)

“Lembaran PCC perkerasan kaku dihubungkan oleh sambungan untuk memungkinkan ekspansi dan kontraksi dari perkerasan, sehingga menghilangkan tekanan lentur disebabkan curling dan gesekan dan untuk memfasilitasi konstruksi” (Horonjeff et al, 2010:277). Joint atau sambungan juga dibutuhkan karena adanya perubahan suhu yang akan memberi efek kerusakan pada beton. Terdapat beberapa jenis joint menurut FAA (2009:38), yaitu :

 Isolation Joints (tipe A, A-1)

Fungsi sambungan isolasi untuk memisahkan perpotongan perkerasan dan memisahkan struktur perkerasan. Tipe A digunakan untuk menghindari keadaan dimana perpindahan beban yang mencakup seluruh sambungan, seperti batas struktur perkerasan atau perbedaan gerakan horisontal perkerasan mungkin terjadi. Sambungan ini dibentuk dengan meningkatkan ketebalan perkerasan sepanjang tepi pelat. Tidak ada dowel bar disediakan. Tipe A-1 sambungan dapat digunakan sebagai alternatif dalam kasus dimana penebalan tepi sambungan tidak diinginkan.

 Contractions Joint (tipe B,C,D)

Sendi kontraksi (Jenis B, C, D). Fungsi sambungan kontraksi adalah untuk memberikan pengendalian retak pada perkerasan ketika perkerasan mengalami


(36)

penurunan kadar air atau penurunan suhu. sambungan kontraksi juga menurunkan tekanan yang disebabkan oleh pelat beton bengkok.

 Construction Joints (tipe E)

Sambungan konstruksi diperlukan ketika dua pelat yang berdampingan ditempatkan pada waktu yang berbeda, seperti penempatan di hari yang berbeda atau antara jalur paving.

Detail untuk jenis jenis joint seperti terlihat pada gambar 4.6 berikut ini :

Gambar 4.6 Joint Pada Perkerasan Kaku Sumber : FAA AC No: 150/5320-6E (2009)


(37)

Pelat beton yang terdiri dari berapa dimensi (meshing) tentu akan dilakukan penyambungan secara vertical maupun horizontal. Penyambungan pada slab beton terdiri dari 3 jenis yaitu sambungan dowel, sambungan transversal (tie bar), dan sambungan tersebar seluas slab beton ( Distributed wire). Dapat dilihat pada gambar 4.7 berikut:

Gambar 4.7 Jenis Penyambungan Pada Perkerasan Sumber : Huangg (2004)

a. Dowel

Dowel berupa batang baja tulangan polos (maupun profil), yang digunakan sebagai sarana penyambung/pengikat pada beberapa jenis sambungan pelat beton perkerasan jalan. Dowel berfungsi sebagai penyalur beban pada sambungan, yang dipasang dengan separuh panjang terikat dan separuh panjang dilumasi atau dicat untuk memberikan kebebasan geser. “Jika jarak sambungan kecil, transfer beban pada sambungan dapat dicapai oleh interlock agregat dan dowels tidak diperlukan. Namun, dowels diperlukan jika jarak sambungan besar atau jika panel singkat yang terletak di dekat ujung perkerasan. Dalam kasus tersebut, sambungan mungkin terbuka dan transfer beban melalui interlock agregat mungkin akan hilang” (Huang, 2004:176)


(38)

Potongan baja yang diprofilkan dan dipasang pada sambungan lidah-alur dengan maksud untuk mengikat pelat agar tidak bergerak horizontal. Batang pengikat dipasang pada sambungan memanjang

c. Distributed Wire

Sesuai namanya distributed wire merpakan tulangan berdiameter kecil yang terbagi merata terhadap luasan sla beton guna mengurangangi tegangan yang dipikul oleh tulangan penyambung utama (dowel & tie bar)

IV.4 Sifat-Sifat Beton

Beton memiliki karakter atau sifat-sifat yang berbeda dengan material aspal. Sifat-sifat beton yang digunakan untuk pertimbangan ketebalan adalah kekuatan lentur beton dan kelelahan.

IV.4.1 Kuat Lentur

Kuat lentur (flexural strength) dan tegangan tekan (compressive stress) merupakan sifat yang muncul pada beton akibat dari beban pesawat terbang. Hubungan antara kuat lentur (flexural strength) dan tegangan tekan (compressive stress) yang digunakan untuk perencanaan perkerasan ditunjukkan dalam persamaan (Yoder, et.al., 1975:259) yaitu :

MR = K

Dimana : MR = Modulus of rupture (psi) K = Konstante antara 8 dan 10


(39)

Tegangan tekan dianggap relatif kecil sebagai pengaruh untuk tebal beton. sedangkan kekuatan lentur menjadi parameter dalam perhitungan tebal beton karena akan menentukan ketebalan beton pada struktur perkerasan kaku. Menurut FAA untuk menentukan kekuatan lentur untuk desain ketebalan perancang harus mempertimbangkan beberapa faktor, seperti:

 Kemampuan industri di daerah tertentu untuk menghasilkan beton pada kekuatan tertentu

 Kekuatan lentur terhadap data konten semen dari proyek-proyek sebelumnya di bandara

 Kebutuhan untuk menghindari semen konten yang tinggi, yang dapat mempengaruhi daya tahan beton

 Apakah persyaratan pembukaan awal mengharuskan menggunakan kekuatan lebih rendah dari 28-hari

Kekuatan lentur beton dapat diukur melalui tes modulus of rupture Kekuatan lentur ditentukan oleh modulus rupture (MR) tes (American Society for Testing dan Materials C78, third point loading)” (Packard,1995:13). hal ini juga disampaikan dalam FAA AC No: 150/5320-6E (2009:35) “Untuk tujuan desain FAA, kekuatan lentur beton diukur sesuai dengan ASTM C78, Cara uji untuk kekuatan lentur Beton, metode uji”.

Dalam bukunya Basuki (2008:343) modulus of rupture didapat dari rumus sebagai berikut:


(40)

P = Beban maximum yang menghasilkan keruntuhan (MN atau Lbs)

L = Panjang batang antara dua tumpuan (m atau inchi)

b = Lebar batang contoh pada titik terjadi kehancuran beton

d = Tebal batang contoh pada titik terjadi kehancuran beton

Tes Modulus of rupture dibuat pada batang contoh beton umur 7, 14, 28, 90 hari” (Packard, 1995:13). “Item P-501 biasanya menggunakan kekuatan 28-hari sebagai ukuran konstruksi praktis. Namun, kekuatan jangka panjang dicapai oleh beton biasanya diharapkan setidaknya 5 persen lebih dari kekuatan diukur pada 28 hari.” (FAA,2009:35). “Hasil test 28 hari dipakai sebagai spesifikasi teknis, sebab hasil penelitian dan evaluasi menunjukkan bahwa dengan harga kuat beton 28 hari akan didapat perkerassan yang over design” (Basuki, 2008:348).

Sedangkan menurut PCA dalam Bulletin Engineeering dikatakan “Biasanya untuk perkerasan bandara, hasil tes 90 hari yang dipilih sebagai kekuatan desain” (Packard, 1995:14). Tes dalam waktu 90 hari yang dipilih sebagai kekuatan desain untuk perkerkesan lapangan terbang. Tes dalam waktu 90 hari adalah setara dengan 110% kali nilai tes 28 hari. Hal tersebut dapat digunakan bila tidak memiliki hasil tes kuat lentur dalam waktu 90 hari. Gambar 4.5 menunjukkan hubungan antara kuat lentur dan umur beton.

“FAA merekomendasikan kekuatan lentur desain 600 - 700 psi (4,14 - 4,83 MPa) untuk sebagian besar aplikasi lapangan udara”. Basuki (2008: 348)


(41)

Gambar 4.8 Hubungan Kuat Lentur Dan Umur Beton Sumber : Packard (1995)

IV.4.2 Kelelahan

“Perkerasan dirancang untuk memberikan umur yang terbatas terhadap repetisi beban dan kelelahan” ( FAA, 2009:13). Setiap perkerasan mengalami kelelahan yang terjadi akibat pengulangan beban yang melebihi dari ketahanan perkerasan. Pada beton kerusakan yang terjadi akibat kelelahan yaitu kerusakan retak lelah dengan jenis kerusakan yang terjadi berupa retak pada pelat beton.

Kelelahan merupakan konsep untuk perencanaan yang dibuat oleh PCA. menurut Packard (1995:14) Efek kelelahan disajikan dalam prosedur desain di salah satu dari dua cara yaitu :


(42)

 Dengan pemilihan faktor keamanan konservatif didasarkan atas pengetahuan umum dari jumlah aplikasi beban yang diharapkan selama umur rencana perkerasan. Pengalaman menunjukkan bahwa ini menjadi prosedur yang berlaku untuk desain sebagian besar perkerasan ketika faktor-faktor yang tepat dipilih mempertimbangkan peningkatan volume, berat, dan penyaluran pesawat untuk dilayani di masa depan.

Ketika perkiraan spesifik beban lalu lintas dan volume telah ditentukan, analisis yang lebih rinci dari efek kelelahan dapat dibuat. Dalam prosedur ini, efek dari lalu lintas campuran dapat dianalisis, baik untuk desain perkerasan baru atau untuk evaluasi kapasitas struktural masa depan sebuah perkerasan yang ada.

Kelelahan akibat repetisi beban menimbulkan tegangan. Untuk mengetahui tegangan yang bekerja di dapatkan dari pembagian antara modulus of rupture dan faktor kemanan.

Faktor keamanan yang diterapkan untuk modulus of rupture dipengaruhi oleh jenis fitur seperti, runway, taxiway dan apron. Faktor keamanan (rasio modulus of rupture dengan tegangan yang bekerja) yang digunakan untuk desain perkerasan bandara tergantung pada frekuensi yang diharapkan dari operasi lalu lintas dan penyaluran mereka di runway, taxiway, dan apron” (Packard, 1995:18). Pada bagian tengah runway faktor kemanan kecil, hal tersebut dikarenakan pesawat terbang terdistribusi melintang dan melaju dengan kecepatan tinggi lalu mengudara. Pada keadaan ini jumlah tegangan pengulangan yang terjadi jauh lebih rendah dari pada saat di taxiway.


(43)

Menurut Yoder (1975:561) Faktor keamanan seperti yang direkomendasikan oleh Packard adalah sebagai berikut:

Aprons, taxiways, hard standings, ujung runway, lantai hangar -- 1.7 to 2.0  Runways (bagian tengah) keluar kecepatan tinggi taxiways -- 14 to 1,7

Seperti yang dibahas sebelumnya mengenai keel section. Menurut Packard (1995:21) Ketebalan slab untuk landasan pacu dengan keel-bagian desain dapat ditentukan dengan faktor keselamatan berikut:

Untuk untuk bagian tengah runway: Gunakan faktor keselamatan yang tinggi (biasanya 2.0 untuk landasan pacu dengan volume lalu lintas tinggi) untuk mendapatkan tebal perkerasan di tengah landasan pacu setidaknya lebar 75 kaki. Gunakan ketebalan perkerasan yang seragam untuk seluruh pelat, semua atau sebagian dalam area ini.  Untuk daerah di luar keel section : Gunakan faktor keamanan

menengah (sekitar 1,7) untuk menentukan ketebalan lebih rendah (20 hingga 25 persen kurang dari ketebalan keel section) untuk lembaran transisi antara bagian keel dan bagian tepi luar.

 Untuk tepi luar landasan pacu: Gunakan prosedur desain normal dengan faktor keamanan yang lebih rendah sesuai dengan jumlah operasi yang jarang untuk menentukan ketebalan minimum untuk lembaran luar perkerasan.

IV.5 Ketebalan Beton

Beton sebagai lapis permukaan pada perkerasan kaku memikul beban yang bekerja diatasnya. Beberapa kriteria serta data yang dibutuhkan. Menurut Packard


(44)

(1995:14) Untuk setiap proyek campuran beton harus dirancang untuk memberikan :

 Daya tahan yang memadai  Kekuatan lentur yang memadai  Tahan lama, permukaan skid-resistant

Untuk memenuhi ketiga hal tersebut perkerasan kaku harus direncanakan dengan ketebalan beton yang tepat. Terdapat beberapa faktor dan data yang diperlukan dalam menentukan ketebalan beton dalam proses perencanaan perkerasan yaitu perkiraan karakteristik serta volume pergerakan pesawat dan perkiraan struktur pekerasan. Menurut Kosasih (2005:3) ada 4 kelompok data yang diperlukan dalam proses desain struktur perkerasan kaku untuk landasan pesawat udara, yaitu:

 data karakteristik pesawat udara

 data pergerakan pesawat udara tahunan  data struktur perkerasan

 ketentuan teknis desain

Pada AC 150/5320-6D (1995:21) FAA menyebutkan beberapa perkiraan pesawat terbang untuk keperluan perencanaan lapangan terbang, yaitu :  Beban : Beban pesawat yang didistribusikan pada perkerasan adalah berat

kotor pesawat

 Jenis dan geometri roda pendaratan : roda pendaratan pesawat mendistribusikan 95% dari berat kotor pesawat

 Tekanan ban : dipengaruhi dengan jenis roda pendaratan dan berat kotor dari pesawat.


(45)

 Volume lalu lintas : pergerakan pesawat yang dibutuhkan yaitu lalulintas kedatangan pesawat pertahun.

Sebagai bagian dalam faktor yang menentukan ketebalan beton terdapat beberapa ketentuan desain untuk perkerasan kaku yaitu modulus elastisitas dan konstanta poisson. Menurut Huang (2004) dalam Kosasih (2005:4) “Rentang data modulus elastisitas adalah beton 3jt – 6jt psi, dan rentang data konstanta poisson0,15 –0,20”.

Hal ini juga disampaikan Packard (1995:14) dalam Engineering Bulletin “variasi modulus elastisitas, E, dan rasio Poisson, µ, hanya memiliki efek sedikit pada desain ketebalan. Nilai-nilai yang digunakan dalam prosedur desain ini adalah E = 4.000.000 psi dan µ = 0,1 5”.

Nilai modulus elastisitas dan konstanta poisson juga bisa diperoleh dari pengujian dilaboratorium. Prosedur pengujiannya dapat dilihat di ASTM C469-87a. Perkiraan struktur perkerasan yang digunakan untuk menentukan tebal perkerasan beton adalah :

 Umur rencana standart untuk lapangan terbang adalah 20 tahun  Kekuatan tanah dasar (modulus of subgrade)

 Kekuatan lentur beton (flexural strength)  Ketebalan tanah dasar


(46)

BAB V

METODE PERENCANAAN PERKERASAN KAKU PADA LAPANGAN TERBANG

Terdapat banyak metode yang dikenal untuk merencanaan perkerasan pada lapangan terbang. Menurut Basuki (2008:271) Ada beberapa perencanaan perkerasan lapangan terbang antara lain adalah :

Metode US Corporation Of engineers lebih dikenal dengan metode CBR  Metode FAA

 Metode LCN dari Inggris  Metode Asphalt Institute

 Metode Canadian Departement Of Transportation

Terdapat juga metode ACN/PCN yang dikembangkan oleh ICAO. Kesulitan dan efek dari perkembangan memunculkan juga program-program yang dibuat dan dikembangkan oleh beberapa cabang metode. Namun untuk perkerasan kaku Yoder, et.al (1975) dalam Kosasih (2005:1) mengatakan “Metode desain struktur perkerasan kaku landasan pesawat udara yang umum dikenal antaara lain metoda PCA dan metoda FAA.”

V.1 Metode FAA

Metode FAA atau Federal Avitiation Administration merupakan Pedoman untuk desain dan evaluasi bandara yang dapat digunakan secara umum. Pedoman desain dan evaluasi bandara dari FAA adalah AC No: 150/5320-6E pada tahun 2009, dan edisi sebelumnya yaitu AC No: 150/5320-6D yang dipublikasi pada tahun 1995. Pada dasarnya isi dari kedua versi ini adalah sama namun perbedaanya adalah pada FAA terbaru sudah menggunakan program untuk merencanakan perkeraassan kaku.


(47)

V.1.1 Perencanaan FAA Manual

Dalam FAA AC No: 150/5320-6D tahun 1995 perencanaan perkerasan kaku dilakukan secara manual menggunakan kurva. “Penggunaan kurva desain memerlukan empat parameter masukan desain: kekuatan lentur beton, modulus tanah dasar, berat kotor dari pesawat desain, dan keberangkatan tahunan pesawat desain” (FAA, 1995:58). Untuk kekuatan lentur beton dapat dilakukan sesuai dengan metode tes pada ASTM C-78 dan untuk modulus tanah dasar dapat dilakukan dengan plate bearing test. Berat kotor pesawat sudah di publikasikan dalam nilai Maximum Take off Weight (MTOW). Untuk keberangkatan tahunan pesawat desain makaharus menentukan pesawat desain terlebih dahulu.

V.1.1.1 Menentukan Pesawat Desain

“Karena perkiraan lalu lintas adalah campuran dari berbagai pesawat yang memiliki jenis landing gear yang berbeda dan bobot yang berbeda, efek dari semua lalu lintas harus diperhitungkan dalam hal desain pesawat.” (FAA, 1995:25). “Dengan pendekatan desain yang berdasarkan pesawat udara desain kritis, struktur perkerasan diperhitungkan hanya untuk memikul sejumlah repetisi beban sumbu roda ekivalen dari pesawat udara desain kritis tersebut selama masa layan rencana yang ditetapkan” (Kosasih, 2005:8). Menentukan pesawat desain harus memperhatikan beberapa faktor, yang terpenting adalah pesawat desain tidak selalu pesawat terbesar dari setiap jenis pesawat ramalan kedatangan. “Menentukan pesawat udara disain kritis pada tahapan proses disain ini sebenarnya tidak mudah. Ada 3 faktor utama yang dapat dipertimbangkan dalam menetapkan pesawat udara disain kritis, yaitu pesawat udara dengan volume pergerakan terbesar, pesawat udara terberat dan pesawat udara yang menghasilkan


(48)

dan berat kotor dari setiap jenis pesawat yang berbeda-beda dikonversikan pada tipe landing gear sesuai dengan pesawat desain” (Kosasih, 2007:37). Menurut FAA (1995:25) “Pesawat desain harus dipilih atas dasar satu yang membutuhkan ketebalan perkerasan terbesar”.

Untuk memilih pesawat yang memiliki kebutuhan tebal perkerasan paling besar dalam hal ini digunakan kurva. Tebal perkerasan yang dibutuhkan oleh masing-masing jenis pesawat di tentukan dengan menggunakan kurva desain yang di dasarkan pada perkiraan keberangkatan tahunan (annual departure). Kurva desain seperti yang terlihat pada gambar 6.1, 6.2, dan 6.3 yang merupakan pesawat dengan jenis gir roda tunggal, gir roda ganda dan tandem gir ganda. Untuk jenis pesawat berukuran besar, dengan jenis dan model lainnya dapat dilihat dari publikasi pembuat masing masing pesawat.

Gambar 5.1 Kurva Desain Tebal Perkerasan Metode FAA Sumber : FAA AC No:150/5320-6D (1995)


(49)

Gambar 5.2 Kurva Desain Tebal Perkerasan Metode FAA Sumber : FAA AC No:150/5320-6D (1995)


(50)

V.1.1.2 Perkiraan Keberangkatan Tahunan

“Pertama, semua pesawat harus dikonversi ke tipe landing gear sama dengan pesawat disain” (FAA, 1995:25). Hal ini juga disampaikan oleh Basuki dalam bukunya, “tahapan perencanaan perkerasan kaku dengan metode FAA “Konversikan tipe roda pendaratan tiap tipe pesawat yang diramalkan harus dilayani ke pesawat rencana”. Setelah mendapatkan pesawat desain yang membutuhkan tebal perkerasan paling besar, kemudian untuk perencanaan ini dibutuhkan konversi keberangkatan tahunan sesuai dengan pesawat desain. Karena banyaknya jenis pesawat, setiap pesawat pasti memiliki jenis roda pendaratan dan berat yang berbeda-beda. Maka, setiap jenis pesawat roda pendaratannya dikonversi kepada jenis roda pendaratan dari pesawat desain. “Meskipun beban sumbu roda yang bekerja adalah sama, tetapi pengaruh dari berbagai konfigurasi sumbu roda pesawat udara terhadap kerusakan struktur perkerasan dapat berbeda.” (Kosasih, 2005:8). Karena faktor kerusakan dari sejumlah jenis roda pendaratan yang berbeda maka harus dikonversikan dengan menggunakan nilai faktor ekivalen konfigurasi sumbu roda yang dapat dilihat pada tabel 6.1

Tabel 5.1 Faktor Ekivalen Konfigurasi Sumbu Roda

To Convert From To Multiply Departure by Single wheel

Single wheel Dual wheel

Double dual tandem Dual tandem Dual tandem Dual wheel

Double dual tandem

Dual wheel Dual tandem Dual tandem Dual tandem Single wheel Dual wheel Single wheel Dual wheel 0,8 0,5 0,6 1,0 2,0 1,7 1,3 1,7


(51)

“Analisis lalu lintas metode ini sama seperti untuk perkerasan lentur di mana keberangkatan setara dengan pesawat kritis digunakan dalam desain” (Yoder, et.al, 1975:573). Tahapan selanjutnya dari metode ini adalah mengkonversi keberangkatan tahunan setara dengan pesawat desain dengan menggunakan rumus berikut:

Dimana:

= keberangkatan tahunan setara pesawat desain

= keberangkatan tahunan masing-masing jenis pesawat dinyatakan dalam roda pendaratan pesawat desain

= Beban roda dari pesawat desain

= Beban roda masing-masing jenis pesawat

Untuk menentukan beban roda dari masing-masing jenis pesawat, 95% berat kotor pesawat ditopang oleh roda pendaratan utama. Dan untuk pesawat bebadan lebar memiliki susunan roda pendaratan yang berbeda dengan pesawat lain sehingga menurut FAA (1995:25) “memperlakukan setiap berbadan lebar sebagai 300.000 pound (136 kg 100) pesawat ganda tandem ketika menghitung keberangkatan tahunan”

Dengan nilai-nilai yang telah ada dijadikan sebagai parameter perhitungan tebal perkerasan beton dapat dilakukan dengan menggunakan kurva. Input pertama yaitu kekuatan lentur beton diproyeksikan secara horizontal sampai pada garis nilai modulus tanah dasar.kemudian diproyeksikan secara vertikal pada garis berat kotor pesawat dan proyeksi horizontal pada sisi kanan menuju parameter


(52)

keberangkatan tahunan dan kemudian menghasilkan tebal perkerasan beton. “Proses desain struktur perkerasan dengan pendekatan desain yang berdasarkan pesawat udara desain kritis juga melakukan dua kali proses iterasi baik terhadap tebal perkerasan desain maupun terhadap pesawat udara desain kritis” (Kosasih, 2005:12). Dari dua kali proses iterasi ini pada akhirnya hanya pesawat desain yang di analisis dan hanya untuk mendapatkan tebal perkerasan beton, komponen lainnya diperhitungkan secara terpisah. Ketebalan yang didapat untuk daerah kritis “T”.

V.1.2 Perencanaan Dengan Program FAARFIELD

Dalam perkembangan perencanaan perkerasan lapangan terbang telah diperkenalkan perencanaan desain tebal perkerasan kaku dengan menggunkan program FAARFIELD . Pada Gambar 6.4 menampilkan menu utama pada program FAARFIELD. Keterangan jelas tentang proses maupun dapat dilihat dalam FAA AC No:1550/5320-6E. “Penggunaan FAARFIELD program desain memerlukan lima kelompok data Input desain yaitu kekuatan lentur beton, modulus tanah dasar, kehidupan desain di beberapa tahun, lapisan data struktural, dan informasi pesawat campuran” (FAA, 2009:34).

Dalam hal data kehidupan desain FAA telah menentukan masa layanan rencana untuk desain perkerasan terbang adalah 20 tahun. Karena hanya menentukan tebal lapisan perkerasan beton maka data ketebalan lapisan dari struktur lainnya harus ditentukan. Tampilan lapisan struktur pada program FAARFIELD seperti terlihat pada gambar 6.5. Desain perkerasan dengan menggukan program FAARFIELD ini tidak lagi melalui tahapan mengkorversi keberangkatan tahunan setiap jenis pesawat kepada pesawat desain namun memperhitungkan lalulintas campuran. Data seperti jenis dari setiap pesawat,


(53)

keberangkatan tahunan dan pertumbuhan lalulintas dibutuhkan untuk input dalam program FAARFIELD.

Gambar 5.4 Tampilan Menu Utama Program FAARFIELD Sumber : Program FAARFIELD

Gambar 5.5 Tampilan Struktur Program FAARFIELD Sumber : Program FAARFIELD

Dengan menggunakan program FAARFIELD tidak dibutuhkan tahapan untuk menentukan pesawat desain. “Program desain FAARFIELD tidak mengkonversi campuran lalu lintas ke keberangkatan setara dengan pesawat


(54)

desain. Dengan menggunakan lalulintas campuran maka setiap jenis pesawat digunakan untuk memperkirakan total kerusakan kumulatif dari perkerasan atau Cumulative Damage Factor (CDF).

Konsep "pesawat desain" telah digantikan oleh desain untuk kerusakan kelelahan yang dinyatakan dalam sebuah "kumulatif faktor kerusakan" (CDF)” Horonjeff, et.al., 2010:270). “Ketebalan desain didirikan berdasarkan faktor kumulatif kerusakan (CDF) dari 1 untuk semua pengulangan beban pesawat per armada desain” (Tipnis dan Patil, 2014:8). CDF merupakan jumlah umur dari perkerasan yang telah habis. “Pengulangan yang dibolehkan dari pembabanan pesawat dihitung berdasarkan hubungan kelelahan secara diberikan dalam model persamaan kegagalan perkerasan kaku dengan menggunakan program FAARFIELD dan dibandingkan sebagai rasio dengan pengulangan yang diharapkan, sehingga memberikan faktor kerusakan” (Tipnis dan Patil, 2014:8). Rasio dari repetisi beban yang diaplikasikan diatas perkerasan dan repetisi yang diizinkan terhadap kegagalan perekerasan berupa kelelahan ditunjukan dalam nilai CDF.

Nilai yang CDF yag dianggap menjadi batas kerusakan akibat pengulangan pada perkerasan adalah 1. “Ketebalan desain didirikan berdasarkan faktor kumulatif kerusakan (CDF) dari 1 untuk semua pengulangan beban pesawat per armada desain.” (Tipnis dan Patil, 2014:8) dan hal ini juga disampaikan secara lebih terperinci oleh Shafabakhsh dan Kashi (2014,86) “Ketika CDF = 1, perkerasan akan menggunakan semua umur kelelahan. Ketika CDF <1, perkerasan akan memiliki beberapa sisa umur, dan nilai CDF akan memberikan sebagian kecil dari umur digunakan. Ketika CDF> 1, semua umur kelelahan telah digunakan dan


(55)

perkerasan akan gagal”. Tentang nilai CDF juga dijelaskan oleh Horonjeff, et.al. (2010,) “Ketika CDF memenuhi atau melebihi 1, prediksi jumlah kumulatif operasi untuk masing-masing pesawat dalam campuran akan menyebabkan kegagalan sistem perkerasan. Setiap nilai kurang dari 1 mewakili fraksi kehidupan perkerasan yang secara efektif sampai habis.”

V.2 Metode PCA

Metode PCA atau Portland Cement Association merupakan perencanaan perkerasan kaku untuk desain tebal lapisan beton pada lapangan terbang. Proses yang dilakukan dengan metode PCA menggunkan kurva, tidak jauh berbeda dengan kurva FAA. “Prosedur desain menurut kedua metoda desain secara umum juga terlihat serupa dengan menggunakan dua proses iterasi yang masing-masing dilakukan untuk memperoleh tebal perkerasan desain, dan jalur desain kritis untuk metoda PCA atau pesawat udara desain kritis untuk metoda FAA.” (Kosasih, 2005:1).

V.2.1 Perencanaan Menggunakan Kurva

Kurva yang digunakan untuk perkerasan kaku dengan metode PCA mengandung beberapa parameter, yaitu nilai tegangan yang diziinkan, berat dari roda pendaratan, dan nilai modulus tanah dasar (nilai k). Seperti yang terlihat pada gambar 6.4 sampai 6.7 merupakan kurva desain tebal perkerasan kaku dengan metode PCA. Pada gambar 6.4 dan 6.5 merupakan kurva untuk jenis pesawat Airbus dan gambar 6.6 dan 6.7 merupakan kurva untuk jenis pesawat Boeing. Karena tebal perekerasan di desain dari setia jenis pesawat maka dibutuhkan kurva untuk setiap jenis pesawat.


(56)

Gambar 5.6 Kurva Desain Tebal Perkerasan A-320 Sumber : Airbus A/C 320 (2015)

Gambar 5.7 Kurva Desain Tebal Perkerasan A-330 Sumber : Airbus A/C 330 (2014)


(57)

Gambar 5.8 Kurva Desain Tebal Perkerasan B747-400ER Sumber : Boeing Airport Planning (2002)

Gambar 5.9 Kurva Desain Tebal Perkerasan B777-200ER Sumber : Boeing Airport Planning (2008)


(58)

prosedur perencanaan PCA menurut packard dalam Design of concrete pavement PCA adalah :

k nilai ditentukan oleh plate-loading test atau dengan korelasi untuk tanah dasar data uji tanah

 Perkiraan untuk masa depan, serta kondisi saat ini, kondisi operasi dan beban dibuat dan faktor keamanan konservatif yang sesuai dipilih.

 Ketegangan yang bekerja akibat pesawat tertentu ditentukan dengan membagi modulus rupture beton dengan faktor keamanan yang dipilih.

 Dari grafik desain untuk pesawat tertentu, menentukan ketebalan perkerasan untuk stres kerja ditentukan pada Langkah 3. Lanjutkan horizontal dari stres ke beban gir, secara vertikal untuk nilai k, kemudian horizontal untuk ketebalan.

 Ulangi proses untuk pesawat lain dari beban kritis, kembali pemilihan baru, faktor keselamatan yang tepat untuk tingkat operasi diharapkan untuk pesawat tersebut, dan pilih ketebalan desain untuk kondisi paling kritis. V.2.1.1 Faktor Repetisi Beban

“Proses disain struktur perkerasan kaku berdasarkan analisis pergerakan pesawat udara campuran dilakukan pada jalur lintasan roda teoritis dari setiap pesawat udara yang beroperasi” (Kosasih, 2007:41). Faktor repetisi beban atau LRF menunjukan sejumlah pesawat yang melalui perkerasan dengan tegangan akibat repetisi yang menghasilkan kelelahan. “LRF menunjukkan pengaruh distribusi lateral lalu lintas pesawat pada landasan dan taxiway” (Basuki, 2008:371). . “Faktor Repetisi beban ditentukan dari profil tegangan lengkap dan mengakibatkan kelelahan untuk berbagai standar deviasi dari distribusi lalu lintas”


(59)

(Packard, 1995:44). Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pesawat tidak selalu pada lintasan yang sama. Pergeseran dari lintasan tersebut menimbulkan kerusakan pada struktur perkersan dan faktor koreksinya adalah faktor repetisi beban dari setiap jenis pesawat. “Konsekwensi dari pergeseran lintasan sumbu roda ini adalah bergesernya kurva tegangan lentur yang terjadi di dalam struktur perkerasan; dan tegangan lentur pada jalur lintasan sumbu roda rata-rata yang umumnya dijadikan sebagai referensi dalam perhitungan nilai LRF juga berubah” (Kosasih, 2005:7). Lebar dari pergeseran lintasan tersebut dinyatakan dalam standar devisiasi.

Sejumlah pesawat melewati perkerasan dengan lebar pergeseran lintasan disekitar jalur lintasan roda teoritis. “ Jalur lintasan roda teoritis dari setiap jenis pesawat udara ditentukan oleh konfigurasi sumbu roda, khususnya jarak antara kaki sumbu roda dan jarak antara roda pada satu sumbu roda yang sama dalam arah” (Kosasih, 2007:41). Ilustrasi dapri pergeseran lintasan dan sebagai proses perhitungan dari faktor repetisi beban terlihat pada gambar 6.8.

Gambar 5.10 ilustrasi Faktor Repetisi Beban Sumber : Kosasih (2005)


(60)

V.2.1.2 Konsep kelelahan

“Jumlah aplikasi beban pada balok beton akan bertahan pada lentur yang tergantung pada sejumlah faktor termasuk sifat-sifat beton dan besarnya beban” (Yoder, et.al., 1975:565). “Dari hasil pengamatan di laboratorium diketahui bahwa kerusakan struktur perkerasan kaku ditentukan tidak hanya oleh beban sumbu roda pesawat udara saja atau tegangan lentur yang bekerja di dalam struktur perkerasan saja tetapi juga oleh jumlah repetisi beban sumbu roda tersebut selama masa layan rencana serta oleh kwalitas bahan beton yang digunakan” (Kosasih, 2005:6). Jumlah Repetisi beban sumbu roda mengakibatkan menigkatnya tegangan pada beton. Dengan meningkatnya tegangan pada beton maka akan menimbulkan kelelahan dengan bentuk kerusakan berupa retak yang di sebut dengan kerusakan retak lelah. Maka, pada tabel 6.2 menunjukan nilai dari tegangan dan jumlah reetisi yang di izinkan

Tabel 5.2 Rasio Tegangan dan Repetisi beban yang diizinkan


(61)

Nilai tegangan didapatkan dengan cara trial and error. Terdapat juga persamaan dari model retak lelah yang digunakan untuk mendapatkan nilai Repetisi beban yang diizinkan yaitu Nilai tegangan lentur beton akibat setiap lintatasan sumbu roda dibagi dengan modulus lentur.

Dari persamaan tersebut pengulangan beban tidak terbatas ketika nilai tegangan lentur dibagi modulus lentur lebih kecil sama dengan 0,45. Untuk menghitung kapasitas perkerasan telah memadai atau tidak maka dibutuhkan suatu persamaan. “Kemudian, tingkat kerusakan retak lelah tahunan yang diakibatkan oleh setiap jenis pesawat udara yang beroperasi dihitung dengan membandingkan volume keberangkatan tahunan terhadap jumlah repetisi beban sumbu roda yang diijinkan untuk setiap jenis pesawat udara tersebut” (Kosasih, 2005:6).

Dimana :

i = masing-masing jenis pesawat udara


(62)

= volume keberangkatan tahunan (pesawat/tahun)

=jumlah repetisi beban sumbu roda yang diijinkan (pesawat)

ketika perhitungan pada persamaan tersebut hasilnya kurang lebih sama dengan 100% maka perkerasan akan runtuh pada akhir masa layanan rencana, namun jika nilai jauh lebih kecil dari 100% maka tebal perkerasan tidak memadai dan harus direncanakan lagi.

V.2.2 Perencanaan Menggunakan AIPPAVE 11

Perencanaan menggunakann program AIRPAVE 11 didasarkan pada PCA dengan solusi untuk memberikan ketebalan pada perkerasan ataupun untuk evaluasi perkerasan yang telah ada. Untuk program AIRPAVE 11 tampilan menu utama seperti pada gambar 6.11.

Gambar 5.11 Tampilan menu Utama AIRPAVE 11 Sumber : Program AIRPAVE 11

Parameter yang digunakan untuk perkerasan ini masih tidak jauh berbeda dengan perencanaan dari metode sebelumnya, yaitu masa layanan rencana,


(63)

jenis-jenis pesawat, modulus tanah dasar, modulus elastisitas dan modulus kelelahan. Modulus elastisitas dan kelelahan merupakan sifat dari beton. “Nilai dari dua variabel ini mungkin langsung masukan oleh pengguna, atau mereka dapat diturunkan dari kekuatan beton lainnya, termasuk kekuatan tekan dan kuat tarik belah, yang mungkin lebih mudah tersedia.” (ACPA, 2011:21)

Masa layanan rencana untuk desain perekeran menggunkan program AIRPAVE 11 ini juga sama dengan metode lainnya yaitu 20 tahun masa layanan rencana. Proses perkerasan pada program ini adalah dengan memasukkan setiap jenis pesawat pada perpustakaan pesawat dari program AIRPAVE 11. Seperti dengan menggunakan kurva yang menghitung tegangan akibat dari setiap jenis pesawat. Program ini menghitung tegangan akibat dari jalur lintasan yang diakibatkan oleh konfigurasi roda masing-masing jenis pesawat. Tegangan yang akan mengakibatkan kelelahan pada beton. “Untuk menghitung tegangan maksimum, AirPave berputar dan menggeser beban desain (s) (misalnya, setiap konfigurasi roda diperhatikan) pada bidang XY untuk menentukan tegangan maksimum beban-dipicu.” (ACPA, 2011:18).

Masing-masing pesawat menentukan rasio tegangan yang diizinkan dan tegangan yang diaplikasikan kemudian secara otomatis memproses desain perkerasan yang menghasilkan repetisi yang diizinkan dan tebal perkerasan untuk masing-masing pesawat. “Setelah semua variabel desain lainnya yang disediakan oleh pengguna dan pengguna mengklik tombol Komputer, AirPave mengiterasi ketebalan perkerasan untuk setiap pesawat desain sampai kriteria desain rasio tegangan terpenuhi untuk setiap pesawat” (ACPA, 2011:28). Pesawat yang menghasilkan tebal perkerasan terbesar merupakan pesawat desain.


(64)

V.3 Perbandingan FAA dan PCA

Perencanaan perkerasan kaku dengan metode FAA dan PCA secara manual menggunakan kurva maupun program memiliki perbedaan. Meskipun pada proses desain sama-sama disarkan pada tegangan lebutr dan dengan proses iterasi untuk mendapatkan tebal perkerasan. Perbedaan yang terjadi pada prosesnya jutru akan mempengaruhi nilai hasil akhir dari tebal perkerasan dalam desain.

V.3.1 Perbandingan FAA Manual dan Program

Pembahasan proses FAA dengan menggunakan kurva maupun program FAARFIELD telah jelas menunjukkan perbedaan dalam proses maupun parameternya. FAA manual menggunkan kurva, menentukan pesawat desain dan mengkonversi keberangkatan tahunan sesuai pesawat desain. Pada perencanaan program FAA program FAARFIELD tidak menggunakan pesawat desain melainkan menggunkan pesawat campuran. “Program desain FAARFIELD tidak mengkonversi campuran lalu lintas ke keberangkatan setara dengan pesawat desain. Sebaliknya, menganalisa kerusakan perkerasan untuk setiap pesawat dan menentukan ketebalan akhir untuk total kerusakan kumulatif” (FAA, 2009:17). V.3.2 Perbandingan PCA Manual dan Program

Perencanaan manual maupun pada metode PCA mengasumsi jalur desain dari setiap jenis pesawat, dan menggunkan kurva untuk menentukan kebutuhan ketebalan dari masing-masing pesawat. Program AIRPAVE 11 didasarkan pada metode PCA secara keseluruhan parameter tang digunakan adalah sama. Namun, merencanakan perkerasan dengan menggunakan program tidak membutuhkan kurva desain untuk masing-masing pesawat.


(65)

Metode FAA dan PCA secara manual maupun program memiliki perbedaan dari segi parameter yang diperhitungkan yaitu, Pada FAA menggunakan keberangkatan tahunan untuk menentukan tebal perkerasan. Pada PCA menentukan jalur desain akibat setiap pesawat untuk mendapatkan rasio tegangan untuk beton dan kemudian untuk menentukan ketebalan. Perencanaan secara program dari kedua metode dianggap lebih praktis sehingga perbandingan kedua metode dapat dilihat pada gambar 5.12.

Gambar 6.12 Perebandingan perencanaan perkerasan kaku metode FAA dan PCA

Aircraft Data

Modulus Of Elasticity (million psi)

Modulus Rupture (500-800 psi)

Modulus Of Subgrade

(k) INPUT PROCESS AIRPAVE 11 (PCA) FAARFIELD (FAA) Annual Departure Aircraft Data

Modify and Design Structure Layer Material Thickness Modulus RUNNING PROCESS OUTPUT PROSSES Desain Aircraft

Allowble Total repetition Thickness Thickness Cumulative Damage Factor (CDF) COMPLETE DESIGN


(66)

BAB VI

APLIKASI PERENCANAAN

PERKERASAN KAKU LAPANGAN TERBANG VI.1 Data Eksisting Kualanamu

Pada studi literatur ini data eksisting merupakan data Bandar Udara Kualanamu, Sumatera Utara, selama tahun 2014. Data eksisting diperuntukan sebagai data untuk mendesain tebal perkerasan kaku (tebal slab) dengan dua metode perencanaan dan kemuadian membandingkan kedua metode tersebut dan tidak dimaksudkan untuk mengevaluasi struktur perkerasan kaku yang telah ada. Pada saat proses desain lapisan dibawah lapisan surface serta mutu material yang digunakan disamakan dengan data eksisting sehingga yang menjadi pembeda pada masing-masing hasil dari metode desain merupakan tebal lapisan surface (tebal slab).

VI.1.1 Data Pesawat (Aircrafts Data)

Data pesawat yang diperoleh merupakan data pesawat yang beroperasi di Bandar Udara Kualanamu selama tahun 2014. Pesawat yang beroperasi pada Bandara Kualanamu terdiri dari pesawat komersil, nonkomersil, helicopter, dan lainnya digunakan untuk penerbangan domestik maupun internasional. Terdapat 69 jenis pesawat yang beroperasi. Dari 69 jenis pesawat kemudian dipilih 20 jenis pesawat tipikal yang memiliki berat kotor terbesar. Data pesawat meliputi tipe pesawat, MTOW, jadwal tahunan, tekanan ban (tire pressure), tipe ban (tire type), CDF, Pcr. Data Pesawat disajikan dalam table 6.1.


(67)

Tabel 6.1 Aircraft Data KualaNamu International Airport – KNIA Tahun 2014

No Tipe pesawat MTOW Year Schedule

Tire Properties Kondisi Tanah Dasar (k)

P/CR

pressure Dual Tandem S.BAIK BAIK SEDANG S.JELEK

LBS Arrivals Depatures Psi inci Inci CDF CDF CDF CDF

1 CRJ1000,G550, WW24 (DW) 100,000 1,833 1,885 140 23 3.55

2 BAE146-200 95,000 1 2 140 26 3.72

3 GLEX(Global Express) (SW) 75,000 16 11 120 2.51

4 F100 (Fokker 100) 101,000 1 1 156 23.1 3.72

5 A319 150,796 65 63 200 36.5 3.84

6 A320 172,842 9430 9360 209 36.5 0.10 0.10 0.14 3.67

7 A321 207,014 53 41 218 36.5 0.01 0.01 0.01 0.01 3.42

8 A330 515,661 2 3 206 55 78 1.87

9 A333 (A330-300) 515,661 1 2 210 55 78 1.89

10 B732 (737-200) 128,600 6 11 182 30.5 3.76

11 B733 (737-300) 140,000 245 218 201 30.5 3.79

12 B734 (737-400) 150,500 492 436 185 30.5 3.51

13 B735 (737-500) 134,000 682 598 194 30.5 3.8

14 B736 (737-600) 146,000 2 0 186 34 3.68

15 B737 (737-700) 155,000 10 10 197 34 3.67

16 B738 (737-800) 174,700 5754 5765 204 34 0.13 0.14 0.14 0.14 3.52

17 B739 (737-900ER) 188,200 7840 8156 220 34 0.75 0.75 0.75 0.75 3.53

18 B744 (747-400) 877,000 6 6 200 44 58 3.46


(68)

VI.1.2 Data Pekerassan

Perkerasan yang dijadikan bahan dalam penelitian merupakan perkerasan kaku. Data tebal perkerasan kaku ini digunakan sebagai referensi untuk menentukan kembali tebal perkerasan beton dengan kombinasi modulus of subgrade (k). Nilai k ditentukan dilapangan dalam percobaan plate bearing test pada tanah dasar. Untuk menentukan ketebalan beton pada struktur perkerasan akan digunakan kombinasi nilai k seperti pada pada tabel 6.2 dengan asumsi kombinasi nilai k akan mempengaruhi tebal perkerasan beton.

Dalam menggunakan program untuk modulus tanah dasar yang diperhitungkan adalah modulus elastis atau nilai E (Young‟s). namun, ketika input yang digunakan dalam program adalah nilai k maka, akan secara otomatis terkonversi ke nilai E. “Jika k-modulus telah ditentukan dengan plate bearing test, atau telah tersedia, maka nilai k dapat dimasukan langsung ke dalam program FAARFIELD tanpa terlebih dahulu dikonversi ke E modulus”. (FAA, 2009:34).

Tabel 6.2 Nilai Modulus Tahan Dasar (k) Keterangan Mengenai Bahan Pondasi K

Sangat jelek <150

Sedang sampai baik 200-250

Sangat baik >300

Sumber : Horonjeff dan McKevey (1993)

Lapisan perkerasan kaku Bandar Udara Kualanamu terlihat pada gambar 6.1 terdiri dari lapisan surface, CTB sebagai lapis stabilisasi dan


(69)

perbaikan tanah dasar dengan timbunan pilihan. Berikut merupakan Cross Section lapisan tersebut beserta mutu material lapisan:

Gambar 6.1 Cross Section Perkerasan Kaku Bandar Udara Kualanamu

VI.2 PCA Program ( AIRPAVE 11 )

Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, dalam mendesain tebal perkerasan membutuhkan grafik desain dari setiap jenis pesawat yang ada. Maka untuk mempermudah perhitungan digunakan program desain yang diterbitkan oleh PCA yaitu program AIRPAVE. Program AIRPAVE 11 yang digunkan pada sutdi ini masih ber-license trial 30 day. Program ini merupakan versi baru yang dapat digunakan pada operasi system windows.

18.89 inch

13.11 inch


(70)

Gambar 6.2 Interface Program AIRPAVE 11VI.2.1 Prosedur Desain Secara garis besar proses desain dilakukan dengan menginput data pesawat terbang yang beroperasi dan properties lapisan dibawak lapis permukaan (Surface).

VI.2.1.1 Proses Input

Proses input harus dilakukan dengan benar agar tidak terjadi error pada program pada saat poses running serta output yang dikeluarkan juga sesuai dengan yang diharapkan.

Gambar 6.3 Menu Utama Program AIRPAVE11 I. General Project Information

 Project ID yang akan diterangkan merupakan kondisi tanah dasar sangat jelek, maka ditulis K. Sangat jelek pada kolom yang tersedia

 Operator program merupakan penulis sendiri yaitu Monica


(1)

II.5.4. Plate Bearing Test ...32

BAB III. KARAKTERISTIK PESAWAT TERBANG ...39

III.1 Umum ...34

III.2 Berat Pesawat ...39

III.3 Dimensi Pesawat ...45

III.4 Konfigurasi Roda Pesawat ...51

BAB IV. STRUKTUR PERKERASAN KAKU ...56

IV.1. Umum ...56

IV.2. Tanah Dasar...56

IV.2.1. Modulus Reaksi Tanah Dasar ...56

IV.2.2. Modulus Elastis (Young) ...61

IV.3 Lapis Pondasi ...62

IV.4 Lapis Permukaan Beton ...66

IV.5 Sifat-sifat Beton ...69

IV.5.1. Kuat Lentur ...69

IV.5.2. Kelelahan ...72

IV.6 Properti Lainnya ...75

BAB V. METODE PERENCANAAN PERKERASAN KAKU PADA LAPANGAN TERBANG ...39

V.1 Umum...76

V.2. Metode FAA ...76

V.2.1 Perencanaan Menggunakan Kurva ...77


(2)

IV.2.1.2 Perkiraan Keberangkatan Tahunan ...80

V.2.2. Perencanaan dengan Program FAARFIELD ...82

V.3 Metode PCA ...85

V.3.1 Perencanaan Menggunakan Kurva ...85

V.3.1.1. Faaktor Repetisi Beban ...88

V.3.1.2 Konsep Kelelahan ...90

V.3.2. Perencanaan dengan Program AIRPAVE 11 ...92

V.4 Perbandingan Metode FAA dan PCA ...94

V.4.1 Perbandingan FAA Manual dan Program ...94

V.4.2 Perbandingan PCA Manual dan Program ...94

V.4.3 Perbandingan PCA Manual dan Program ...95

V.2.2. Perencanaan dengan Program AIRPAVE 11 ...92

BAB VI. APLIKASI PROGRAM PERENCANAAN PERKERASAN KAKU LAPANGAN TERBANG ...96

VI.1 Data Eksisting Kualanamu ...96

VI.1.1 Data Pesawat (Aircrafts Data) ...96

VI.1.2 Data Pekerasan ...96

VI.2 PCA Program ( AIRPAVE 11 ) ...98

VI.2.1 Prosedur Desain...100

VI.2.1.1. Proses Input ...100

VI.2.1.2 Proses Running ...103


(3)

VI.3.1.1. Proses Input ...100

VI.3.1.2 Proses Running dan Output Program ...113

VI.2.2 Hasil Desain ...115

BAB VII.KESIMPULAN ... 117

DAFTAR PUSTAKA ... 119


(4)

DAFTAR GAMBAR DAN GRAFIK

Gambar 2.1 Bagian-bagian Bangunan Pada Lapangan Terbang……….14

Grafik 2.1. Contoh Pendekatan Grafik, Metode CBR Desain Perkerasan Lentur………..32

Gambar 3.1 Dimensi Pesawat besar……….46

Gambar 3.2 Dimensi Pesawat Kecil……… 46

Gambar 3.4 Dimensi Pesawat B 787-8………47

Gambar 3.3 Dimensi Pesawat A380………48

Gambar 3.5 Jenis dan Bentuk Roda pendaratan………..52

Gambar 3.6 Jenis dan Bentuk Roda pendaratan………..53

Gambar 3.7 Jenis dan Bentuk Roda pendaratan………..54

Gambar 4.1 Susunan Lapisan Perkerasan kaku…… ………..56

Gambar 4.2 Hubungan Defleksi Dan Pembebanan Pada Plate Bearing Test.….58 Gambar 4.3 Pengaruh Lapis Pondasi Yang Tidak Distabilisasi Diatas Tanah Dasar……….64

Gambar 4.4 Pengaruh Lapis Pondasi Yang Distabilisasi Diatas Tanah Dasar…64 Gambar 4.4 Penampang Landasan Pacu………..67

Gambar 4.5 Hubungan Kuat Lentur Dan Umur Beton………72

Gambar 5.1 Kurva Desain Tebal Perkerasan Metode FAA……….………78

Gambar 5.2 Kurva Desain Tebal Perkerasan Metode FAA………..….. 79

Gambar 5.3 Kurva Desain Tebal Perkerasan Metode FAA………...……..79

Gambar 5.4 Tampilan Menu Utama Program FAARFIELD………...……83

Gambar 5.5 Tampilan Struktur Program FAARFIELD………...83

Gambar 5.6 Kurva Desain Tebal Perkerasan A-320 ……….…..86

Gambar 5.7 Kurva Desain Tebal Perkerasan A-330………...….86

Gambar 5.8 Kurva Desain Tebal Perkerasan B747-400ER……….87

Gambar 5.9 Kurva Desain Tebal Perkerasan B777-200ER……….87


(5)

Gambar 6.1 Cross Section Perkerasan Kaku Bandar Udara Kualanamu………98

Gambar 6.2 Interface Program AIRPAVE 11……… 98

Gambar 6.3 Menu Utama Program AIRPAVE11………. 100

Gambar 6.4 Menu Aircraft Data Input………...101

Gambar 6.5 Menu Pop-up Modulus of Elasticity Input………..102

Gambar 6.8 Proses Running Menu Utama……….102

Gambar 6.7 Menu Pop-up Modulus of Subgrade Input………. 103

Gambar 6.6 Menu Pop-up Modulus of Rupture Input………... 103

Gambar 6.9 Menu Pop-Up menyatakan Proses Running selesai………....104

Gambar 6.10 Resume Output……….104

Gambar 6.11 Output Tunggal Pesawat Tipe A319-100 Opt………. 105

Gambar 6.12 Menu Utama Program FAARFIELD………...106

Gambar 6.13 Menu Pop-Up Pengisian Nama Job File……… .107

Gambar 6.14 Menu Pop-Up Pengisian Nama Section………...107

Gambar 6.15 Job File dan Section Siap untuk Didesain………..108

Gambar 6.16 Tampilan Perkerasan yang akan Didesain………. 108

Gambar 6.17 Tanpilan Menu Aircraft data Input……… 109

Gambar 6.18 Pemilihan Material Surface……….110

Gambar 6.20 Pemilihan Material Timbunan……….111

Gambar 6.19 Pemilihan Material Stabilisasi……….111

Gambar 6.22 Penentuan Tebal dari Lapisan Tertetu………112

Gambar 6.21 Pementuan Lapiasan Tanah Dasar………..112

Gambar 6.23 Penentuan Properties Material………...113

Gambar 6.24 Proses Running sedang Berjalan & Proses Running telah……..114

Selesai Grafik 6.1 Tebal Perkerasan Kaku dengan Kombinasi Nilai k……….. 116

Grafik 6.1 Tebal Perkerasan Kaku dengan Kombinasi Nilai k………...116

Grafik 6.3 Perbandingan Tebal perkerasan kaku dengan metode ……….116 PCA dan FAA


(6)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 karakteristik perwakilan roda pendaratan pesawat terbang………….17

Tabel 2.2 Jarak dan Kedalaman Pengeboran Tanah……….23

Tabel 2.3 Komponen Tanah……….24

Tabel 2.3 Klasifikasi Tanah………..25

Tabel 3.1 Karakteristik Pesawat Penerbangan Komersil……….37

Tabel 3.2 Karakteristik Pesawat Penerbangan Non-Komersil………..38

Tabel 4.1 Nilai Modulus Tahan Dasar (k)………59

Tabel 4.2 karakteristik tanah sehubungan dengan nilai k……….60

Tabel 5.1 Faktor Ekivalen Konfigurasi Sumbu Roda……….…..80

Tabel 5.2 Rasio Tegangan dan Repetisi beban yang diizinkan……… 90

Tabel 6.1 Nilai Modulus Tahan Dasar (k)……… 97

Tabel 6.1 Aircraft Data KualaNamu International Airport–KNIA Tahun 2014...99

Tabel 6.2 Hasil Desain Tebal Perkerasan Program AIRPAVE11………..105


Dokumen yang terkait

ANALISA PERBANDINGAN KONSTRUKSI JALAN PERKERASAN LENTUR DENGAN PERKERASAN KAKU DITINJAU DARI METODE Analisa Perbandingan Konstruksi Jalan Perkerasan Lentur Dengan Perkerasan Kaku Ditinjau Dari Metode Pelaksanaan Dan Biaya (Studi Kasus: Pekerjaan Peningka

0 3 16

ANALISA PERBANDINGAN KONSTRUKSI JALAN PERKERASAN LENTUR DENGAN PERKERASAN KAKU Analisa Perbandingan Konstruksi Jalan Perkerasan Lentur Dengan Perkerasan Kaku Ditinjau Dari Metode Pelaksanaan Dan Biaya (Studi Kasus: Pekerjaan Peningkatan Struktur Jalan Ma

0 2 20

STUDI KOMPARASI PERENCANAAN TEBAL PERKERASAN KAKU JALAN TOL MENGGUNAKAN Studi Komparasi Perencanaan Tebal Perkerasan Kaku Jalan Tol Menggunakan Metode Bina Marga 2002 Dan Aashto 1993 ( Studi Kasus : Ruas Jalan Tol Solo – Kertosono ).

0 2 17

Studi Perbandingan Metode Perencanaan Perkerasan Kaku untuk Lapangan Terbang

0 0 11

Studi Perbandingan Metode Perencanaan Perkerasan Kaku untuk Lapangan Terbang

0 0 1

Studi Perbandingan Metode Perencanaan Perkerasan Kaku untuk Lapangan Terbang

0 0 10

Studi Perbandingan Metode Perencanaan Perkerasan Kaku untuk Lapangan Terbang

0 0 16

Studi Perbandingan Metode Perencanaan Perkerasan Kaku untuk Lapangan Terbang

0 0 4

PERENCANAAN PERKERASAN KAKU JALAN KABUPA

0 2 5

PERBANDINGAN PERKERASAN LENTUR DAN PERKERASAN KAKU TERHADAP BEBAN OPERASIONAL LALU LINTAS DENGAN METODE AASHTO PADA RUAS JALAN KALIANAK STA 0+000 – 5+350 SURABAYA TUGAS AKHIR - PERBANDINGAN PERKERASAN LENTUR DAN PERKERASAN KAKU TERHADAP BEBAN OPERASIONAL

0 1 13