Peranan Hakim dalam Pembatalan Perjanjian Kontrak Baku antara Pihak Penyedia dan Pengguna Jasa Terkait Asas Keseimbangan

BAB II
KEDUDUKAN PERJANJIAN KONTRAK BAKU DITINJAU
DARI PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

G. Pengaturan Perjanjian dalam Hukum Perjanjian di Indonesia
1. Pengertian perjanjian
Berbicara tentang kontrak baku maka tidaklah lepas dari pembahasan
tentang hukum perjanjian karena kontrak baku merupakan jenis perjanjian yang
lahir oleh karena perkembangan hukum perjanjian. Perkembangan hukum
perjanjian saat ini diwarnai oleh semakin tipisnya tabir pemisah antara dua sistem
hukum besar, yaitu common law dan civil law.49 Dinamika hubungan bisnis yang
melibatkan pelaku bisnis antar negara, khususnya kontrak komersial internasional,
telah membawa dampak perkembangan hukum kontrak yang mengadoptir asasasas universal yang dikembangkan dalam praktik kebiasaan (lex mercantoria ).50
Perjanjian adalah sesuatu peristiwa saat orang saling berjanji untuk melaksanakan
sesuatu hal. Berikut akan diuraikan pengertian perjanjian :
Kata “perjanjian” berasal dari kata janji, yang dalam kamus umum bahasa
Indonesia diartikan sebagai51 “perkataan yang menyatakan kesudian hendak
berbuat sesuatu”; sedangkan arti perjanjian adalah “persetujuan baik tertulis
maupun lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih yang masing-masing berjanji
akan menaati apa yang tersebut di perjanjian itu”. Jadi, dari pengertian tersebut
49


Hernoko, Op.Cit., hlm. 9.
Ibid.
51
W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka,1983),
hlm. 402.
50

Universitas Sumatera Utara

dapat disimpulkan perjanjian adalah suatu persetujuan antara dua pihak yang
tertuang secara lisan maupun tulisan yang dimana kedua belah pihak sepakat
untuk melakukan apa yang telah disanggupi untuk dilakukan. Menurut ketentuan
Pasal 1313 KUH Perdata bahwa:“perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana
satu orang atu lebih mengikatkan dirinya kepada satu orang atau lebih lainnya.”
Pengertian perjanjian menurut Abdulkadir Muhammad dalam arti sempit
dan lebih jelas yaitu:“perjanjian adalah persetujuan dengan mana dua pihak atau
lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal yang bersifat
kebendan di bidang harta kekayaan.”52
Pengertian dalam arti sempit tersebut jelas menunjukan telah terjadi

persetujaun (persepakatan) antara pihak yang satu (kreditur) dan pihak yang lain
(debitur), untuk melaksanakan suatu hal yang bersifat kebendaan (zakelijk)
sebagai objek perjanjian. Objek perjanjian tersebut dibidang harta kekayaan yang
dapat dinilai dengan uang. Perjanjian perkawinan misalnya, tidak dapat dinilai
dengan uang karena bukan hubungan mengenai suatu hal yang bersifat
kebendaan, melainkan mengenai hal yang bersifat keorangan (persoonlijk) antara
suami dan istri di bidang moral.53Apabila diidentifikasi secara teliti, konsep
perjanjian dalam arti sempit tersebut memuat unsur-unsur sebagai berikut54:
a. Subjek perjanjian, yaitu pihak-pihak dalam perjanjian.
b. Persetujuan tetap, yaitu kesepakatan final antara pihak-pihak.
c. Objek perjanjian, yaitu berupa benda tertentu sebagai prestasi.

52

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia (Bandung:PT.Citra Aditya
Bakti,2014), hlm. 289 (selanjutnya disebut Abdulkadir Muhammad I, hlm).
53
Ibid., hlm. 290.
54
Ibid.


Universitas Sumatera Utara

d. Adanya benda atau hal yang menjadi prestasi yang wajib dilaksanakan para
pihak sesuai dengan yang telah disepakati dalam perjanjian.
e. Tujuan perjanjian, yaitu hak kebendaan yang akan diperoleh pihak-pihak.
f. Bentuk perjanjian, yaitu dapat secara lisan atau secara tertulis.
g. Syarat-syarat perjanjian,yaitu isi perjanjian yang wajib dipenuhi para pihak.
Selain pengertian secara umum yang terdapat dalam KUH Perdata dan
pendapat Abdulkadir Muhammad mengenai pengertian perjanjian yang telah
dipaparkan diatas , terdapat pula beberapa pengertian lain dari beberapa ahli,
yaitu sebagai berikut :
a. Menurut R. Subekti, perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang
berjanji kepada orang lain atau dimana orang lain saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal.55
b. Menurut R. Wiryono Prodjodikoro, perjanjian adalah suatu perbuhungan
hukum mengenai harta benda antara dua belah pihak, dalam mana satu
pihak berjanji untuk melakukan suatu hal atau tidak melakukan suatu hal,
sedangkan pihak lain berhak untuk menuntut pelaksanaan perjanjian
tersebut.56

c. Menurut R. Setiawan, perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dimana satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.57

55

Subekti, Hukum Perjanjian (Jakarta: PT.Intermasa, 1963), hlm. 1.
R. Wiryono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian (Bandung: Sumur Bandung,
1987), hlm. 7.
57
R. Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan (Bandung: Bina Cipta,1979), hlm. 49.
56

Universitas Sumatera Utara

d. Menurut Sudikno Mertokusumo memberikan batasan bahwa perjanjian itu
suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat
untuk menimbulkan akibat hukum.58
Berdasarkan beberapa definisi yang telah dipaparkan diatas maka penulis
mencoba menarik kesimpulan tentang pengertian perjanjian. Pengertian perjanjian
menurut hemat penulis adalah suatu peristiwa dimana seorang mengikatkan

dirinya

kepada orang lain atau saling mengikatkan dirinya berdasarkan

kesepakatan diantara mereka dimana dari peristiwa tersebut timbul hubungan
hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban yang harus dipenuhi sesuai dengan
kesepakatan yang telah terjadi diantara mereka baik yang diungkapkan melalui
lisan atau tertuang dalam bentuk tulisan.
2. Syarat sah lahirnya perjanjian
Walaupun dikatakan bahwa perjanjian lahir pada saat terjadinya
kesepakatan mengenai hal pokok dalam perjanjian tersebut, namun masih ada hal
lain yang harus diperhatikan, yaitu syarat sahnya kontrak sebagaimana diatur
dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu:59
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Kesepakatan para pihak merupakan unsur mutlak untuk terjadinya suatu
perjanjian. Syarat yang pertama sahnya kontrak adalah adanya kesepakatan atau
konsensus pada pihak.Kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak

58


Panggabean, Op.Cit., hlm. 58.
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Perancangan Kontrak (Jakarta: PT. Grafindo
Persada,2010), hlm. 13.
59

Universitas Sumatera Utara

antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya.60 Kesepakatan ini dapat terjadi
dengan berbagai cara, namun yang paling penting adalah adanya penawaran dan
penerimaan atas penawaran tersebut. Cara-cara untuk terjadinya penawaran dan
penerimaan dapat dilakukan secara tegas maupun dengan tidak tegas, yang
penting dapat dipahami atau dimengerti oleh para pihak bahwa telah terjadi
penawaran dan penerimaan.61
Beberapa contoh yang dapat dikemukakan, sebagai cara terjadinya
kesepakatan atau terjadinya penawaran dan penerimaan adalah dengan cara
tertulis, cara lisan, simbol-simbol tertentu, dan

berdiam diri.62 Berdasarkan

berbagai cara terjadinya kesepakatan tersebut diatas, secara garis besar terjadinya

kesepakatan dapat terjadi secara tertulis dan tidak tertulis, yang mana kesepakatan
yang terjadi secara tidak tertulis tersebut dapat berupa kesepakatan lisan, simbolsimbol tertentu, atau diam-diam.63
Berdasarkan syarat sahnya perjanjian tersebut diatas, khususnya syarat
kesepakatan yang merupakan penentu terjadinya atau lahirnya perjanjian, berarti
bahwa tidak adanya kesepakatan para pihak, tidak terjadi kontrak. Akan tetapi,
walaupun terjadi kesepakatan para pihak yang melahirkan perjanjian, terdapat
kemungkinan bahwa kesepakatan yang telah dicapai tersebut mengalami
kecacatan atau yang biasa disebut cacat kehendak atau cacat kesepakatan sehingga
memungkinkan perjanjian tersebut dimintakan pembatalan oleh pihak yang

60

Salim H.S., Hukum Kontrak dan Teknik Perancangan Kontrak (Jakarta: Sinar
Grafika,2011), hlm. 33.
61
Miru, Op.Cit., hlm. 14.
62
Ibid.
63
Ibid.


Universitas Sumatera Utara

merasa dirugikan oleh perjanjian tersebut.64Cacat kehendak atau cacat
kesepakatan dapat terjadi karena terjadinya hal-hal diantaranya seperti kekhilafan
atau kesesatan, paksaan, penipuan, penyalahgunaan kehendak.65
Tiga cacat kehendak yang pertama diatur dalam KUH Perdata sedangkan
cacat kehendak yang terakhir tidak diatur dalam KUH Perdata sedangkan cacat
kehendak yang terakhir tidak diatur dalam KUH Perdata, namun lahir kemudian
dalm perkembangan hukum perjanjian. Ketiga cacat kehendak yang diatur dalam
KUH Perdata dapat dilihat dalam Pasal 1321 dan Pasal 1449 KUH Perdata yang
mengatur hal tersebut secara tegas66Secara sederhana keempat hal yang
menyebabkan terjadinya cacat pada kesepakatan tersebut secara sederhana dapat
dijelaskan sebagai berikut, yaitu:67
1) Kekhilafan terjadi jika salah satu pihak keliru tentang apa yang
diperjanjikan, namun pihak lain membiarkan pihak tersebut dalam
keadaan keliru.
2) Paksaan terjadi jika salah satu pihak memberikan kesepakatannya karena
ditekan (dipaksa secara psikologis), jadi yang dimaksud dengan paksaan
bukan paksaan fisik pada dasarnya tidak ada kesepakatan.

3) Penipuan terjadi jika salah satu pihak secara aktif memengaruhi pihak
lain sehingga pihak yang dipengaruhi menyerahkan sesuatu atau
melepaskan sesuatu.

64

Ibid., hlm. 17.
Ibid.
66
Ibid.
67
Ibid., hlm 18
65

Universitas Sumatera Utara

4) Penyalahgunaan keadaan terjadi jika pihak yang memiliki posisi yang
kuat

(posisi


tawarnya)

dari

segi

ekonomi

maupun

psikologi

menyalahgunakan keadaan sehingga pihak lemah menyepakati hal-hal
yang memberatkan baginya. Penyalahgunaan kehendak ini disebut juga
cacat kehendak yang keempat karena tidak diatur dalam KUH Perdata,
sedangkan tiga lainnya, yaitu penipuan, kekhilafan, dan paksaan diatur
dalam KUH Perdata.
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan

perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan
akibat hukum.

68

Untuk mengadakan perjanjian, para pihak harus cakap. Seorang

oleh hukum dianggap tidak cakap untuk melakukan kontrak jika orang tersebut
belum berumur 21 tahun, kecuali jika ia telah kawin sebelum cukup 21 tahun
(vide Pasal 330 KUH Perdata).69 Menurut Pasal 330 KUH Perdata, orang yang
telah dewasa dan karenanya telah dapat membuat perjanjian adalah:
1) Sudah genap berumur 21 tahun.
2) Sudah kawin, meskipun belum genap berumur 21 tahun.
3) Sudah kawin dan kemudian bercerai, meskipun belum berumur 21 tahun.
Selain bagi orang sebagai salah satu subjek hukum yang dapat membuat
perjanjian, terdapat pula ketentuan terhadap badan hukum yang juga merupakan
subjek hukum, yang dalam hal ini juga dapat membuat perjanjian dengan diwakili
oleh orang. Adapun orang yang mewakili dalam hal ini dapat dikatakan cakap dan
68
69

Salim, Op. Cit., hlm. 33.
Miru, Op.Cit., hlm. 29.

Universitas Sumatera Utara

berwenang untuk membuat perjanjian apabila orang tersebut mendapat legitimasi
misalnya dari perusahaan dalam bentuk dicantumkannya nama orang tersebut
beserta jabatan nya dalam Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAMsehingga
orang tersebut jelas kapasitasnya dan wewenang nya dalam membuat suatu
perjanjian.
Pengaturan mengenai umur 21 tahun yang dinyatakan dewasa oleh KUH
Perdata, sekarang tidak berlaku lagi dengan diterbitkan nya UU RI No. 1 Tahun
1974 tentang perkawinan. Undang-undang ini mengatur bahwa seseorang telah
dewasa adalah umur 18 tahun dan ketentuan berlaku untuk semua warga negara
tanpa melihat golongan penduduknya.Berlakunya umur 18 tahun ini dikuatkan
dengan dikeluarkannya putusan Mahkamah Agung No. 477 K/Sip/1976 pada
tanggal 13 Oktober 1976.Sebaliknya setiap orang yang berumur 21 tahun ke
atas,oleh hukum di anggap cakap, kecuali karena suatu hal dia ditaruh dibawah
pengampuan, seperti gelap mata, dungu,sakit ingatan atau pemboros (vide Pasal
433 KUH Perdata).70Sementara itu, dalam Pasal 1330 KUH Perdata, juga
ditentukan bahwa tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah:71
1) Orang-orang yang belum dewasa.
2) Mereka yang dibawah pengampuan.
3) Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undangundang; dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang
telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

70
71

Ibid.
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Orang-orang perempuan yang dimaksud pada huruf c diatas adalah
seorang perempuan yang sudah bersuami.Perempuan yang sudah bersuami oleh
undang-undang tidak cakap dalam melakukan perbuatan hukum. Akan tetapi,
khusus huruf c diatas mengenai perempuan sekarang ini tidak dipatuhi atau tidak
berlaku lagi, karena hak perempuan dan laki-laki telah disamakan dalam hal
membuat perjanjian serta dijamin dengan dikeluarkannya Surat Edaran
Mahkamah Agung No.3 Tahun 1963 yang menyatakan seorang istri tetap cakap
berbuat sesuatu dengan mencabut Pasal 108 dan 110 KUH Perdata. Selain hal-hal
diatas, adapun yang mengakibatkan seseorang dikatakan tidak cakap melakukan
perbuatan hukum adalah karena pailit nya orang tersebut. Orang yang dinyatakan
pailit tidak dapat melakukan perbuatan hukum sampai berakhirnya putusan pailit.
Dengan demikian, dapat disimpulkan seseorang dianggap tidak cakap apabila:
1) Orang yang belum dewasa (vide Pasal 330 KUH Perdata).
2) Orang yang berada di bawah pengampuan (vide Pasal 433 KUH Perdata).
3) Karena pailit
c. Hal tertentu (onderwerp der overeenkomst)
Syarat hal tertentu dalam hal ini memiliki arti yaitu objek perjanjian, dari
pengertian tersebut dapat diketahui bahwa suatu perjanjian haruslah memiliki
objek tertentu. Dalam suatu perjanjian objek perjanjian harus jelas dan ditentukan
oleh para pihak, objek perjanjian tersebut dapat berupa barang maupun jasa,
namun dapat juga berupa tidak berbuat sesuatu.72 Hal tertentu ini dalam perjanjian

72

Mahmul Siregar, Fotocopy Slide Bahan Materi Kuliah Hukum Kontrak Bisnis (Medan:
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,2015), hlm 3.

Universitas Sumatera Utara

disebut prestasi yang dapat berwujud barang, keahlian atau tenaga, dan tidak
berbuat sesuatu.73
d. Sebab yang halal (geoorloofde oorzaak)
Pasal 1320 KUH Perdata tidak menjelaskan pengertian oorzaak atau sebab
yang halal. Didalam Pasal 1337 KUH Perdata hanya disebutkan sebab yang
terlarang. Suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan undangundang, kesusilaan, an ketertiban umum.74 Istilah kata halal adalah bahwa isi
kontrak tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,
kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Syarat pertama dan kedua sah nya perjanjian disebut syarat subjektif,
karena menyangkut pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Sedangkan syarat
yang ketiga dan keempat disebut syarat objektif, karena menyangkut objek
perjanjian.75 Apabila syarat pertama dan kedua tidak terpenuhi maka perjanjian itu
dapat dibatalkan. Artinya, bahwa salah satu pihak dapat mengajukan kepada
pengadilan untuk membatalkan perjanjian yang disepakatinya. Tetapi apabila para
pihak tidak ada yang keberatan maka perjanjian itu tetap dianggap sah. 76 Syarat
ketiga dan keempat tidak terpenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum.
Artinya, bahwa dari semula perjanjian itu dianggap tidak ada.77

73

Ibid.
Salim, Op.Cit., hlm. 34.
75
Ibid., hlm. 35.
76
Ibid.
77
Ibid.

74

Universitas Sumatera Utara

3. Jenis perjanjian
Pasal 1319 KUH Perdata membedakan perjanjian menjadi dua macam,
yaitu perjanjian bernama (nominaat) dan tidak bernama (innominaat). Perjanjian
bernama maupun tidak bernama tunduk pada Buku III KUH Perdata.Maksud
pembedaan dalam Pasal 1319 KUH Perdata adalah bahwa ada perjanjianperjanjian yang tidak dikuasai oleh ajaran umum sebagaimana terdapat dalam
titel-titel I, II, dan IV.78 Mengenai jenis perjanjian, sesuai dengan pengaturan
KUH Perdata dikenal 2 (dua) jenis perjanjian, antara lain sebagai berikut:
a. Perjanjian bernama (nominaat)
Istilah perjanjian bernama merupakan terjemahan dari nominaat contract.
Perjanjian bernama sama artinya dengan benoemde dalam bahasa Belanda.
Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri, yang
dikelompokkan sebagai perjanjian-perjanjian khusus karena jumlahnya terbatas
dan sudah diatur didalam KUH Perdata.79 Perjanjian nominaat merupakan
perjanjian yang dikenal dan terdapat dalam Pasal 1319 KUH Perdata yang
berbunyi: “Semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus, maupun yang
tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum yang
termuat dalam bab ini dan bab yang lalu”.80 Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa unsur perjanjian bernama, yaitu:81
1) Perjanjian bernama terdapat dalam KUH Perdata.

78

Ibid.
Muhammad, Op.Cit., hlm. 87.
80
Salim, Op.Cit., hlm. 47.
81
Ibid.
79

Universitas Sumatera Utara

2) Perjanjian bernama dikuasai oleh titel I, II, IV, dan V sampai dengan titel
XVIII KUH Perdata.
3) Perjanjianbernama jumlahnya terbatas.
Perjanjian bernama diatur dalam Buku III KUH Perdata, yang dimulai dari
Bab 5 sampai dengan Bab 18.Jumlah pasal yang mengatur tentang Perjanjian
Bernama terdiri atas 394 pasal. Di dalam KUH Perdata ada 15 (lima belas) jenis
perjanjian nominaat, yaitu jual beli, tukar-menukar, sewa-menyewa, perjanjian
melakukan pekerjaan, persekutuan perdata, badan hukum, hibah, penitipan
barang, pinjam pakai, pinjam meminjam, pemberian kuasa, bunga tetap atau
abadi, perjanjian untung-untungan, penanggungan utang, dan perdamaian.
b. Perjanjian tidak bernama (innominaat)
Perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak mempunyai nama
tertentu yang jumlah nya tak terbatas.82Perjanjian tidak bernama adalah
perjanjian-perjanjian yang belum ada pengaturannya secara khusus di dalam
undang-undang, karena tidak diatur dalam KUH Perdata dan Kitab UndangUndang Hukum Dagang (KUHD). Lahirnya perjanjian ini didalam prakteknya
adalah berdasarkan asas kebebasan berkontrak, mengadakan perjanjian atau partij
otonomi. Tentang perjanjian tidak bernama diatur dalam Pasal 1319 KUH Perdata,

yaitu yang berbunyi: ”semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus
maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan
umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang lain”.

82

Muhammad, Op.Cit., hlm. 87.

Universitas Sumatera Utara

Selain itu, di luar KUH Perdata dikenal pula perjanjian lainnya, seperti
kontrak joint venture, kontrak production sharing, leasing, franchise, kontrak
karya, beli sewa, dan lain sebaginya. Perjanjian jenis ini disebut perjanjian
innominaat, yakni perjanjian yang timbul, tumbuh, hidup, dan berkembang dalam

praktik kehidupan masyarakat. Keberadaan perjanjian baik bernama (nominaat)
maupun tidak bernama (innominaat) tidak terlepas dari adanya sistem yang
berlaku dalam hukum perjanjian itu sendiri. Perjanjian kontrak baku merupakan
salah satu jenis dari perjanjian tidak bernama, hal ini dapat disimpulkan dari tidak
adanya pengaturan yang jelas atau secara limitatif mengenai perjanjian baku itu.
4. Berakhir atau hapusnya perjanjian
KUH Perdata tidak mengatur secara khusus tentang berakhirnya perjanjian
kontrak, tetapi yang diatur

dalam BAB IV Buku III KUH Perdata hanya

hapusnya perikatan-perikatan.83 Walaupun demikian, ketentuan tentang hapusnya
perikatan tersebut juga merupakan tentang hapusnya perjanjian karena perikatan
yang dimaksud dalam BAB IV Buku III KUH Perdata tersebut adalah perikatan
pada umumnya baik itu lahir dari perjanjian maupun yang lahir dari undangundang bahkan perbuatan melanggar hukum sekalipun.84
Mengenai hapusnya perikatan diatur dalam Pasal 1381 KUH Perdata,
adapun hal-hal yang menyebabkan hapusnya perikatan, antara lain karena
pembayaran, pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan,
pembaharuan utang, perjumpaan utang, perjumpaan utang dan kompensasi,

83
84

Miru, Op.Cit., hlm. 87.
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

percampuran utang, pembebasan utang, musnahnya barang yang terutang,
kebatalan atau pembatalan, berlakunya suatu syarat batal, lewatnya waktu.
Sedangkan menurut R.Setiawan, adapun hal-hal yang dapat menyebabkan
hapusnya suatu perjanjian adalah:85
a. Ditentukan dalam persetujuan oleh para pihak, misalnya persetujuan
tersebut berlaku dalam jangka waktu tertentu.
b. Undang-undang menentukan batas berlakunya suatu persetujuan, misalnya
Pasal 1066 ayat (3) KUH Perdata yang menyebutkan bahwa para ahli waris
tertentu tidak melakukan pemecatan harta warisan. Waktu persetujuan
dalam Pasal 1066 ayat (4) KUH Perdata dibatasi hanya selama 5 (lima)
tahun.
c. Para pihak atau undang-undang dapat menentukan bahwa dengan terjadinya
peristiwa tertentu, maka persetujuan tersebut akan hapus, misalnyajika
terjadi salah satu pihak meninggal dunia, maka persetujuan akan hapus,
antara lain:
1) Persetujuan perseroan (vide Pasal 1646 ayat (4) KUH Perdata).
2) Persetujuan pemberian kuasa (vide Pasal 1813 KUH Perdata).
d. Pernyataan penghentian persetujuan (Opzegging).
e. Persetujuan hapus karena putusan hakim.
f. Tujuan dari persetujuan telah tercapai.
g. Dengan persetujuan dari para pihak.

85

R.Setiawan, Op.Cit., hlm. 69.

Universitas Sumatera Utara

H. Asas-asas dalam Hukum Perjanjian di Indonesia
Asas memiliki peranan yang sangat penting dalam pembentukan suatu
norma hukum atau peraturan hukum. Asas tersebut dijadikan dasar atau acuan
ketika norma atau peraturan tersebut dibentuk, tidak terkecuali bagi hukum
perjanjian itu sendiri, dimana dalam pembentukan suatu perjanjian haruslah
beradasarkan pada asas-asas yang terdapat dalam hukum perjanjian. Perjanjian
merupakan suatu hal yang bersifat konkrit sedangkan asas hukum perjanjian
merupakan suatu hal yang bersifat umum dan abstrak yang menjadi latar belakang
dalam pembentukan hukum yang konkrit.86 Dalam khasanah hukum perjanjian
dikenal beberapa asas-asas hukum penting yang menjadi dasar berlakunya suatu
perjanjian. Adapun asas-asas tersebut, antara lain:
1. Asas kebebasan berkontrak (freedom of contract)
Asas ini merupakan konsekuensi dari sifat hukum kontrak yang sifatnya
sebagai hukum mengatur. Asas freedom of contract mengandung pengertian
bahwa para pihak bebas mengatur sendiri isi kontrak tersebut. Meskipun
demikian, kebebasan melakukankontrak tidak bersifat sebebas-bebasnya.87Dalam
sistem hukum perjanjian di Indonesia, kebebasan para pihak dalam melakukan
kontrak dibatasi sepanjang:88
a. Memenuhi syarat sebagai suatu kontrak.
b. Tidak bertentangan dengan undang-undang, kepatutan/ kesusilaan dan
ketertiban umum.

86

Panggabean, Op.Cit., hlm. 61.
Mahmul Siregar, Materi Kuliah Hukum Kontrak Bisnis Untuk Program Magister
Manajemen PPS – USU (Medan: Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara,2015), hlm. 1.
88
Ibid.
87

Universitas Sumatera Utara

2. Asas pacta sunt servanda
Asas pacta sunt servanda berarti perjanjian bersifat mengikat secara penuh
karenanya harus ditepati. Hukum kontrak di Indonesia menganut prinsip ini
sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata. Pasal 1338 KUH Perdata
“semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang- undang bagi
mereka yang membuatnya”. Berdasarkan pasal ini, daya mengikat kontrak sama
seperti undang-undang bagi para pihak yang menyepakatinya.89
3. Asas konsensual
Asas ini mempunyai pengertian bahwa suatu kontrak sudah sah dan
mengikat pada saat tercapai kata sepakat para pihak, tentunya sepanjang kontrak
tersebut memenuhi syarat sah yang ditetapkan dalam Pasal 1320 KUH
Perdata.90Perlu diingat bahwa asas konsensual tidak berlaku pada perjanjian
formal. Perjanjian formal maksudnya adalah perjanjian yang memerlukan
tindakan-tindakan formal tertentu, misalnya Perjanjian Jual Beli Tanah, formalitas
yang diperlukan adalah pembuatannya dalam Akta PPAT.91 Dalam perjanjian
formal, suatu perjanjian akan mengikat setelah terpenuhi tindakan-tindakan
formal dimaksud.92
4. Asas keseimbangan
Asas keseimbangan adalah asas yang menjamin bahwa kedudukan para
pihak dalam merumuskan kontrak harus dalam keadaan seimbang. Pasal 1321

89

Ibid.
Ibid.
91
Ibid.
92
Ibid.
90

Universitas Sumatera Utara

KUH Perdata menyebutkan bahwa tiada kata sepakat dianggap sah apabila
diberikan karena kekhilafan, keterpaksaan atau penipuan.93
Asas keseimbangan menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan
melaksanakan perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi
dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur;
namun debitur memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu
dengan iktikad baik.
5. Asas iktikad baik (goede trouw)
Asas itikad baik dapat dilihatpadaPasal 1338 ayat (3) KUH Perdata. Pasal
1338 ayat (3) KUH Perdata berbunyi: "perjanjian harus dilaksanakan dengan
iktikad baik." Asas iktikad merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur
dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau
keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak.

I. Kedudukan Perjanjian Kontrak Baku ditinjau dari Hukum Perjanjian
Selama perkembangannya hukum perjanjian Indonesia mengalami banyak
perubahan, antara lain sebagai akibat dari keputusan badan legislatif, keputusan
badan eksekutif serta pengaruh dari globalisasi.94 Perjanjian kontrak baku, tidak
hanya diatur dalam KUH Perdata, tetapi juga diatur dalam beberapa ketentuan
perundang-undangan lain di Indonesia, antara lain yakni UU N0.8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen (UUPK).

93
94

Ibid.
Mariam Darus, Aneka Hukum Bisnis (Bandung: Alumni,1994), hlm. 1.

Universitas Sumatera Utara

Dalam hukum perjanjian dikenal syarat-syarat sahnya suatu perjanjian.
Suatu perjanjian sah dan mengikat serta menimbulkan akibat hukum apabila
ketika syarat-syarat tersebut telah terpenuhi. Seperti yang telah dipaparkan oleh
penulis pada bab maupun sub-bab sebelumnya mengenai syarat sah nya
perjanjian, maka apabila dikaitkan dengan kontrak baku itu sendiri terdapat
beberapa hal yang perlu dikaji antara hakikat perjanjian kontrak baku dengan
syarat sahnya perjanjian. Seperti yang diketahui salah satu syarat sahnya
perjanjian adalah adanya “kesepakatan”seperti yang tertulis dalam Pasal 1320 ayat
1 huruf a yaitu “sepakat mereka yang mengikatkan dirinya”. Kesepakatan adalah
persesuaian kehendak antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian yang dibuat.
Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang
lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik.95
Berdasarkan syarat sahnya perjanjian, khususnya syarat kesepakatan yang
merupakan penentu terjadinya atau lahirnya perjanjian, dapat disimpulkan apabila
tidak adanya kesepakatan para pihak, maka tidak terjadi kontrak. 96 Akan tetapi,
walaupun terjadi kesepakatan para pihak yang melahirkan perjanjian, terdapat
kemungkinan bahwa kesepakatan yang telah dicapai tersebut dapat saja
mengalami kecacatan atau yang biasa disebut cacat kehendak atau cacat
kesepakatan sehingga memungkinkan perjanjian tersebut dimintakan pembatalan
oleh pihak yang merasa dirugikan oleh perjanjian tersebut.97

95

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan (Bandung:PT.Citra Aditya Bakti,1990),
hlm.89 (selanjutnya disebut Abdulkadir Muhammad II, hlm).
96
Miru, Op.Cit., hlm. 17.
97
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Sifat dari kontrak baku merupakan take it or leave it contract, artinya
apabila pihak yang ditawarkan suatu barang atau jasa dengan menggunakan
perjanjian kontrak baku menerima kontrak baku tersebut maka ia dapat
menerimanya (take it) sedangkan apabila tidak menerima kontrak baku tersebut
maka ia dapat menolak nya (leave it). Dari hal ini dapat disimpulkan, sebenarnya
mengenai kesepakatan para pihak sudahlah jelas jika ditinjau sifat dari kontrak
baku itu sendiri yakni take it or leave it, artinya apabila konsumen sebagai
pembeli dan/atau pengguna jasa sepakat dan menerima kontrak baku tersebut
maka perjanjian sudahlah terjadi diantara mereka, sedangkan apabila tidak sepakat
dan menolak kontrak baku tersebut maka perjanjian belum terjadi diantara
mereka. Namun permasalahan timbul ketika kesepakatan yang ada terjadi karena
adanya cacat kehendak atau kesepakatan, dimana cacat kehendak tersebut timbul
oleh karena adanya penyalahgunaan keadaan . Penyalahgunaan keadaan adalah
suatu keadaaan yang terjadi dimana ketika pihak yang memiliki posisi yang kuat
(posisi tawarnya) dari segi ekonomi maupun psikologi menyalahgunakan keadaan
sehingga pihak lemah menyepakati hal-hal yang memberatkan baginya.98
Selain itu di dalam syarat sahnya perjanjian juga dikenal salah satu syarat
yakni causa yang halal, syarat causa yang halal ini juga berkaitan dengan
penyalahgunaan keadaan.99 Syarat causa yang halal maksudnya adalah suatu
sebab yang menyebabkan orang membuat perjanjian, yang mendorong orang
membuat perjanjian. Tetapi yang dimaksud dengan causa yang halal dalam Pasal
1320 KUH Perdata tersebut bukanlah sebab dalam arti yang menyebabkan atau
98
99

Ibid., hlm. 18.
Abdulkadir Muhammad II, Op.Cit., hlm. 94.

Universitas Sumatera Utara

yang mendorong orang membuat perjanjian, melainkan sebab dalam arti “isi
perjanjian itu sendiri”, yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh
pihak-pihak.100
Undang-undang tidak memperdulikan apa yang menjadi sebab orang
mengadakan perjanjian. Yang diperhatikan atau diawasi oleh undang-undang
ialah “isi perjanjian itu” yang menggambarkan tujuan yang dicapai, apakah
dilarang oleh undang-undang atau tidak, apakah bertentangan dengan ketertiban
umum atau kesusilaan atau tidak. Menurut undang-undang, causa atau sebab itu
tidak halal apabila tidak dilarang oleh undang-undang , tidak bertentangan dengan
ketertiban umum dan kesusilaan (vide Pasal 1337 KUH Perdata).101Perjanjian
yang berisi causa atu sebab yang halal diperbolehkan, sebaliknya perjanjian yang
berisi causa atau sebab yang tidak halal, tidak diperbolehkan.102
Kesepakatan seseorang untuk mengikatkan dirinya merupakan syarat
penentu tentang ada tidaknya perjanjian sehingga dengan adanya kesepakatan dari
para pihak mengenai suatu hal yang diperjanjikan (dan telah memenuhi syarat
lainnya), maka para pihak akan terikat dengan perjanjian tersebut berdasarkan
asas konsensualisme. Asas konsensualisme ini sangat terkait pula dengan
kebebasan berkontrak karena dengan kebebasan yang dimiliki seseorang untuk
mengadakan perjanjian terhadap orang tertentu dengan persyaratan atau isi
perjanjian yang tertentu pula, sangat menentukan ada tidaknya kesepakatan yang
diberikan oleh orang tersebut terhadap orang atau isi perjanjian yang dimaksud.103

100

Ibid.
Ibid., hlm.94 -95.
102
Ibid.
103
Miru, Op.Cit., hlm. 43.

101

Universitas Sumatera Utara

Penggunaan perjanjian kontrak baku dalam perjanjian-perjanjian yang
biasanya dilakukan oleh pihak yang banyak melakukan perjanjian yang sama
terhadap pihak lain, didasarkan pada asas kebebasan berkontrak yang secara tidak
langsung diatur dalam Pasal 1338 (1) KUH Perdata bahwa semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Kebebasan berkontrak yang merupakan „roh‟ dan „napas‟ sebuah kontrak
atau perjanjian, secara implisit memberikan panduan bahwa dalam berkontrak
pihak-pihak diasumsikan harus mempunyai kedudukan yang seimbang bagi para
pihak, keseimbangan tersebut terjadi ketika para pihak dalam kontrak memiliki
kedudukan yang sama dalam memperoleh keuntungan dan tidak ada yang
dirugikan secara sepihak. Menurut Sultan Remi Sjahdeni, kontrak baku sebagai
perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausul nya dibakukan oleh pihak
pembuatnya mengakibatkan pihak lain yang menerima perjanjian tersebut pada
dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta
perubahan.104 Apabila dicermati dari pengertian asas kebebasan berkontrak yang
sesungguhnya, sebenarnya kontrak baku tidak bertentangan dengan asas
kebebasan berkontrak karena asas kebebasan berkontrak itu sendiri memberi
kebebasan bagi para pihak dalam menentukan isi dan bentuk perjanjian.
Dapat diketahui bahwa keempat point kebebasan yang diberikan oleh
hukum perjanjian terhadap para pihak yang membuat perjanjianbahwa
sesungguhnya asas kebebasan berkontrak tidaklah bertentangan dengan kontrak
baku tersebut karena para pihak dijamin kebebasannya dalam menetukan isi
104

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen

Indonesia (Jakarta:PT.Grasindo,2006),

hlm. 146.

Universitas Sumatera Utara

perjanjian, namun harus dipahami bahwa kebebasan berkontrak bukanlah satusatunya asas yang harus diperhatikan dalam suatu perjanjian, terdapat banyak
asas-asas lain yang harus berjalan beriringan bersama asas kebebasan berkontrak
tersebut sehingga membuat perjanjian tersebut benar-benar mewakili kepentingan
kedua belah pihak dan memberikan posisi yang seimbang bagi kedua belah pihak.
Perjanjian kontrak baku tidak akan bertentangan dengan asas kebebasan
berkontrak sepanjang asas kebebasan berkontrak tersebut dilaksanakan dengan
itikad baik dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,
kesusilaan,dan ketertiban umum. J.M van Dunne berpendapat daya berlaku asas
itikad baik meliputi seluruh proses perjanjian atau diibaratkan dengan“the rise
and fa ll contract”. Dengan demikian, itikad baik meliputi tiga fase proses

perjanjian, yaitu: pre contractual fase, contractual fase, dan post contractual fase.
105

Kaitannya dengan perjanjian kontrak baku adalah disaat dimana kontrak baku

tersebut menggunakan klausula baku atau mencantumkan klausul yang
mencerminkan ketidakseimbangan di antara para pihak sebagai isi atau ketentuan
dari perjanjian kontrak baku tersebut yang pada akhirnya membuat pihak si
penerima kontrak baku berada dalam kedudukan yang lemah dan dirugikan secara
sepihak. Alhasil, keadaan demikian menimbulkan ketidakseimbangan, yang
akhirnya juga melanggar asas keseimbangan sebagai salah satu asas yang juga
penting untuk diperhatikan dalam hubungan kontraktual.

105

Ridwan Khairandy, Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak (Jakarta:Program Pasca
Sarjana FH UI,2003), hlm. 35.

Universitas Sumatera Utara

D. Perkembangan Penerapan Perjanjian Kontrak Baku di Indonesia
Perkembangan hukum kontrak saat ini diwarnai oleh semakin tipisnya
tabir pemisah antara dua sistem hukum besar, yaitu common law dan civil law.
Dinamika hubungan bisnis telah membawa dampak perkembangan hukum
kontrak yang mengadoptir asas-asas universal yang dikembangkan dalam praktik
kebiasaan (lex mercartoria ).106 Buku III KUH Perdata menganut sistem terbuka,
artinya Buku III KUH Perdata memberi keleluasaan kepada para pihak untuk
mengatur sendiri pola hubungan hukumnya. Apa yang diatur dalam Buku III BW
hanya sekedar mengatur dan melengkapi (regelend-aanvullendrecht), dimana para
pihak dilarang menyimpangi aturan-aturan yang ada didalam Buku III KUH
Perdata tersebut.107
Sistem terbuka Buku III KUH Perdata ini tercemin dari substansi Pasal
1338 (1) KUH Perdata yang menyatakan bahwa, “semua perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Menurut Subekti, cara menyimpulkan asas kebebasan berkontrak adalah dengan
jalan menekankan pada perkataan “semua” yang ada di muka perkataan
“perjanjian”.

108

Dikatakan bahwa Pasal 1338 yat (1) itu seolah-olah membuat

suatu pernyataan (proklamasi) bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian apa
saja dan itu akan mengikat kita sebagaimana mengikatnya undang-undang.
Pembatasan terhadap kebebasan itu hanya berupa apa yang dinamakan “ketertiban
umum dan kesusilaan”. Istilah “semua” didalamnya terkandung – asas partij
autonomie; freedom of contract; beginsel van de contract vrijheid – memang
106

Hernoko, Op.Cit., hlm. 9.
Ibid., hlm. 109.
108
Ibid.
107

Universitas Sumatera Utara

sepenuhnya menyerahkan kepada para pihak mengenai isi maupun bentuk
perjanjian yang akan mereka buat, termasuk penuangan dalam bentuk perjanjian
kontrak baku. Kebebasan berkontrak disini memberikan kebebasan kepada para
pihak untuk membuat perjanjian dengan bentuk atau format apapun (tertulis, lisan,
scriptless, paperless, autentik, non autentik, sepihak/eenzijdig, adhesi, standar /

baku, dan lain-lain), serta dengan isi atau substansi sesuai yang diiginkan para
pihak. Dengan demikian menurut asas kebebasan berkontrak seseorang pada
umumnya mempunyai pilihan bebas untuk mengadakan perjanjian.109
Upaya mempertahankan pelanggan atau mempertahankan pasar atau
memperoleh kawasan pasar baru yang lebih luas padasituasi ekonomi baik dalam
skala nasional maupun global dalam menuju era perdagangan bebas merupakan
dambaan bagi setiap produsen, mengingat makin ketatnya persaingan untuk
berusaha. Berbagai cara dilakukan oleh pelaku usaha demi memperlancar
usahanya dan memenuhi kebutuhan konsumen atas barang dan jasa yang ia
tawarkan. Konsep-konsep pemasaran dipandang dari strategi pemasaran global
telah berubah dari waktu ke waktu dengan berbagai cara.
Salah satu tandanya adalah dengan berkembangnya penggunaan perjanjian
kontrak baku dalam dunia bisnis barang dan jasa. Latar belakang tumbuhnya
perjanjian baku disebabkan karena keadaan sosial ekonomi. Tingginya kebutuhan
konsumen akan barang dan jasa menuntut para pelaku usaha untuk berpikir
bagaimana melayani konsumen yang demikian banyak namun tetap efisien dan
efektif. Hal inilah yang menjadi alasan bagi para pelaku usaha dalam menerapkan

109

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

perjanjian kontrak baku, dimana para pelaku usaha menyiapkan suatu perjanjian
yang sifatnya kolektif dan massal, yang bisa ditawarkan kepada semua orang
tanpa harus membuat perjanjian secara perorangan kepada tiap konsumen.
Bentuk perjanjian baku yang paling lazim ditemukan dalam kehidupan
sehari-hari adalah perjanjian baku sepihak yang sekaligus menjadi bahan
penelitian dalam skripsi ini. Perjanjian baku sepihak tersebut dapat dijumpai di
berbagai bidang antara lain seperti perjanjian kerja (perjanjian kerja kolektif),
perbankan (ketentuan umum perbankan, peransuransian (polis), pembangunan
(ketentuan administratif untuk pelaksanaan pekerjaan, perdagangan eceran, sektor
pemberian jasa-jasa, hak sewa (erpacht), dagang dan perniagaan, perusahaan
pelabuhan, sewa-menyewa, beli-sewa, hipotek, pemberian kredit, pertanian,
urusan makelar, praktik notaris dan hukum lainnya, perusahaan-perusahaan
umum, penyewaan urusan pers, pengangkutan.110Perjanjian-perjanjian baku diatas
memiliki ciri-ciri yang sama pada umumnya mengikuti perkembangan kebutuhan
masyarakat yang semakin meningkat, ciri-ciri tersebut antara lain yaitu:111
1. Perjanjian dibuat secara tertulis.
2. Format perjanjian distandardisasikan.
3. Syarat syarat dalam perjanjian ditentukan oleh pelaku usaha.
4. Konsumen hanya menerima atau menolak.
5. Perjanjian baku berlaku secara kolektif dan massal.

110

Salim, Op.Cit., hlm. 154-155.
Abdulkadir Muhammad,Perjanjian Baku dalam Praktek Usaha Perdagangan
(Bandung: PT.Citra Aditya Bakti,1992), hlm. 6 (selanjutnya disebut Abdulkadir Muhammad
III,hlm).
111

Universitas Sumatera Utara

Sedangkan menurut Mariam D. Badrulzaman, adapun ciri-ciri dari
perjanjian baku antara lain sebagai berikut:112
1. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh kreditur yang posisinya relatif lebih kuat
dari debitur.
2. Debitur sama sekali tidak ikut menentukan isi perjanjian.
3. Terdorong oleh kebutuhannya, debitur terpaksa menerima perjanjian tersebut.
4. Dipersiapkan terlebih dahulu secara massal dan individual.
Selain menurut Mariam D.Badrulzaman, ada juga ahli lain yang
mengemukakan ciri-ciri dari perjanjian baku. Menurut Sluyter ciri-ciri perjanjian
baku antara lain:113
1. Bahwa isinya telah terlebih dahulu ditetapkan secara tertulis.
2. Bahwa perjanjian baku selalu menyimpang dari hukum yang mengatur.
3. Bahwa perjanjian baku lebih sebagai “adhesie contract” lebih bersifat
dipaksakan berdasarkan kekuatan ekonomi.
Itulah beberapa ciri-ciri dari perjanjian baku, maka dapat disimpulkan
bahwa ciri-ciri perjanjian baku yang paling menonjol adalah sifatnya yang tertulis
dan dibuat oleh pelaku usaha sebagai pihak yang mempunyai posisi (bargaining)
yang kuat. Penggunaan perjanjian baku dalam dunia bisnis baik barang dan jasa di
Indonesia kian meningkat seiring tingginya tuntutan konsumen akan barang dan
jasa. Pelaku usaha sebagai pihak yang kuat disini memanfaatkan kesempatan yang
ada dengan cara salah satunya yaitu menerapkan perjanjian baku dalam hubungan
bisnis nya dengan pihak konsumen, adapun motif dari pelaku usaha semata-mata
112

Darus, Op.Cit., hlm. 50.
Panggabean, Op.Cit., hlm. 78.

113

Universitas Sumatera Utara

untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya, berkaitan dengan hal tersebut
adapun bentuk keuntungan yang dapat diraih pelaku usaha ketika menerapkan
perjanjian baku antara lain:114
1. Perolehan keuntungan dalam hal biaya, waktu, dan tenaga.
2. Praktis karena sudah tersedia naskah yang dicetak berupa formulir atau blanko
yang siap diisi dan ditandatangani.
3. Proses transaksi cepat karena konsumen hanya menerima (menyetujui) atau
tidak;
4. Homogenitas perjanjian yang dibuat dalam jumlah banyak.
5. Pembebanan tanggung jawab kepada konsumen.
Perjanjian baku memegang peranan penting dalam aktivitas perdagangan
barang dan jasa. Tak dapat dipungkiri, bentuk perjanjian seperti ini disatu sisi
sangat menguntungkan jika dilihat dari segi waktu, tenaga, dan biaya yang dapat
diminimalisir. Perjanjian ini biasanya diterapkan oleh pengusaha dalam hubungan
ekonomi misalnya pemberian kredit, pelayanan jasa parkir, jual beli perumahan
dan berbagai hubungan ekonomi lain yang pada hakikatnya menawarkan barang
dan jasa yang serupa kepada tiap konsumen. Pelaku usaha menetapkan isi
perjanjian secara sepihak dan menuangkan ke dalam bentuk formulir dalam
jumlah banyak dengan maksud agar dapat digunakan kembali ketika melakukakan
penawaran kepada konsumen. Penentuan isi perjanjian secara sepihak jika dikaji

Tumbelaka, Arkie V,Y, “Kajian Kontrak Baku Dalam Perjnajian Pengikatan Jual Beli
Satuan Rumah Susun Dalam Perspektif Itikad baik (Kasus Rumah Susun Permata Gandaria Antara
Nyonya X Dengan PT.Putra Surya Perkasa)”, Tesis, Sekolah Pasca Sarjana Magister Hukum
Ekonomi UI, 2012, hlm. 21.
114

Universitas Sumatera Utara

dari sisi ekonomis memang baik untuk diterapkan karena pelaku usaha dan
konsumen tak perlu lagi melakukan perundingan terlebih bagi pelaku usaha dan
konsumen yang sering melakukan hubungan ekonomi, jelas hal ini sangat
menguntungkan dari segi waktu, tenaga dan biaya yang dikeluarkan, namun
permasalahan muncul tatkala pelaku usaha sebagi pihak yang menetapkan isi
perjanjian melakukan pencantuman klausul-klausul yang memberatkan pihak
konsumen sebagai si penerima kontrak.

E. Keterikatan Para Pihak dalam Perjanjian Kontrak Baku
Suatu perjanjian disusun dan dibuat oleh para pihak dalam perjanjian
berdasarkan persesuaian kehendak antara para pihak. Para pihak dalam membuat
suatu perjanjian haruslah memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian agar
perjanjian yang dibuat menimbulkan akibat hukum bagi para pihak. Demikian
pula dengan kontrak baku, harus lah memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian
agar perjanjian kontrak baku tersebut menimbulkan akibat hukum. Dalam
penerapan kontrak baku, dikenal 4 (empat) cara atau metode dalam
memberlakukan syarat-syarat baku dalam suatu kontrak baku, antara lain:115
1. Penandatanganan perjanjian kontrak baku
Dokumen perjanjian kontrak baku memuat secara lengkap dan rinci
syarat-syarat perjanjian kontrak baku. Ketika membuat perjanjian kontrak baku,
dokumen tersebut diberikan kepada konsumen untuk dibaca dan ditandatangani.

115

Abdulkadir Muhammad III, Op.Cit., hlm. 24-26.

Universitas Sumatera Utara

Dengan penandatanganan itu, maka konsumen menjadi terikat pada syarat-syarat
baku yang terdapat pada perjanjian kontrak baku tersebut.
2. Pemberitahuan melalui dokumen perjanjian
Menurut kebiasaan yang berlaku, syarat-syarat baku dicetak diatas
dokumen perjanjian yang tidak ditandatangani oleh konsumen, misalnya surat
penerimaan, surat pesanan dan nota pembelian. Syarat-syarat baku tersebut
diberitahukan melalui dokumen perjanjian .
3. Penunjukan dalam dokumen perjanjian
Dokumen perjanjian dalam hal ini tidak memuat atau menuliskan
mengenai syarat-syarat baku, melainkan hanya menunjuk kepada syarat-syarat
baku, misalnya dalam dokumen jual beli perdagangan ditunjuk suatu syarat
penyerahan barang secara free on board berarti syarat baku mengenai penyerahan
barang tersebut atas dasar free on board berlaku dalam perjanjian tersebut.
4. Pemberitahuan melalui papan pengumuman
Syarat-syarat baku dapat dijadikan bagian dari isi perjanjian dengan cara
pemberitahuan melalui papan pengumuman. Dalam hal ini papan pengumuman
harus di pasnag ditempat yang jelas, mudah dilihat, dan ditulis dalam bentuk huruf
dan bahasa yang sederhana serta mudah dibaca sebelum perjanjian dibuat.
Dapat diketahui dari keempat metode di atas bahwa ketika konsumen
melakukan penandatangan atas kontrak baku yang ditawarkan kepadanya maka itu
berarti konsumen tersebut menyetujui ketentuan-ketentuan perjanjian yang ada
didalam kontrak baku tersebut. Hal ini sesuai dengan asas yang terdapat dalam

Universitas Sumatera Utara

hukum perjanjian di Indonesia yaitu asas pacta sunt servanda yang mana asas ini
tertuang secara tertulis dalam Pasal 1338 KUH Perdata.
Perjanjian kontrak baku apabila dikaji dari sifatnya yaitu take it or leave
itcontract maka sesungguhnya dapat dijadikan dasar pengikatan para pihak yaitu

pelaku usaha dan konsumen. Namun menurut Sluitjer perjanjian baku bukanlah
perjanjian sebab kedudukan pengusaha didalam perjanjian tersebut adalah seperti
pembentuk undang- undang swasta (legio particuliere wet-gever ). Syarat-syarat
yang ditentukan pengusaha dalam perjanjian tersebut adalah undang-undang dan
bukan perjanjian. Perbedaan posisi para pihak ketika perjanjian baku diadakan
tidak memberikan kesempatan pada konsumen mengadakan “real bargaining”
dengan pelaku usaha. Konsumen tidak mempunyai kekuatan untuk mengutarakan
kehendak dan kebebasannya dalam menentukan isi perjanjian. Karena itu
perjanjian baku tidak memenuhi elemen yang dikehendaki Pasal 1320 KUH
Perdata jo Pasal 1338 KUH Perdata.116
Selain itu menurut Hondius dalam tanggapannnya terhadap pendapat
Zaylemaker

yang

mengatakan

bahwa

“ajaran

penundukan

kemauan

(wilsonderwerping) yang menyatakan bahwa orang mau tunduk karena ada
pengaturan yang aman dalam lalu lintas masyarakat, yang disusun oleh orang
yang ahli dalam bidangnya, dan tidak berlaku sepihak, sehingga orang tidak dapat
berbuat lain selain tunduk” memang dapat dijadikan dasar pengikatan bagi para
pihak dalam kontrak baku sepanjang kontrak baku tersebut dilengkapi dengan
alasan kepercayaan. Alasan kepercayaan yang dimaksud disini adalah

116

Darus, Op.Cit., hlm.105.

Universitas Sumatera Utara

kepercayaan yang timbul dari konsumen sebagai pihak penerima kontrak baku,
dimana ketika konsumen menandatangani kontrak baku tersebut bukan sematamata ia menyetujui saja karena ia butuh melainkan karena konsumen percaya
bahwa kontrak tersebut telah memihak kepada kepentingan nya dan tidak
merugikannya.117
Berdasarkan pada apa yang telah dipaparkan diatas maka dapat diketahui
bahwa

kontrak baku sepanjang ditandatangani oleh para pihak dan isi

perjanjiannya disetujui,maka kontrak baku tersebut berlaku sebagai undangundang dan mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak yang membuatnya.
Namun jika kontrak baku tersebut isinya terdapat unsur ketidakseimbangan yang
dalam penerimaannya juga mengandung unsur keterpaksaan, maka secara
normatif perjanjian tersebut dapat dibatalkan melalui gugatan ke pengadilan atau
badan yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa antara konsumen dan
pelaku usaha.

F. Batasan Penggunaan Perjanjian Kontrak Baku
Perjanjian kontrak baku dalam penerapannyaharuslahmemperhatikan
mengenai tata cara dan pengaturan hal-hal yang dilarang dalam penggunaan
klausula baku. Pengaturan tersebut menjadi batasan dalam penggunaan perjanjian
kontrak baku. Mengenai pembatasan penggunaan perjanjian kontrak baku selain
dapat dikaji dari KUH Perdata juga dapat dikaji dari peraturan hukum yang lain,

117

Tumbelaka, Op.Cit., hlm. 22.

Universitas Sumatera Utara

yang dimana secara konkrit mencantumkan batasan-batasan penggunaan kontrak
baku tersebut, pengaturan batasan tersebut dapat dilihat dalam UUPK. Didalam
UUPK, diatur mengenai pencantuman klausula baku, hal ini dapat dilihat dalam
Pasal 18 UUPK yang berbunyi sebagai berikut:
1. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dilarang untuk membuat atau mencantumkan klausula baku
pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila :
a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha.
b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali
barang yang dibeli konsumen.
c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang
yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen.
d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik
secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan
sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara
angsuran.
e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau
pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen.
f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau
mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa.
g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan
baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak

Universitas Sumatera Utara

oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang
dibelinya.
h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk
pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap bara
yang dibeli konsumen secara angsuran.
2. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya
sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya
sulit dimengerti.
3. Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen
atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.
4. Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan
undang-undang ini.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka setiap perjanjian dalam hal
hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen, yang mencantumkan klausula
baku didalamnya, wajib memperhatikan ketentuan Pasal 1